MAKALAH
Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah Ilmu Jarh wa Ta’dil, Pada
Jurusan Ilmu Hadis Reguler 2
Disusun Oleh;
Kelompok 9
NURUL FAUZIAH
(30700117066)
DELFHIA PURNAMA DWI SYAHPUTRI
(30700117094)
IRWANDI
(30700117079)
Dosen :
yang telah memberi rahmat, taufik, hidayah dan segala kemudahan sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam dipersembahkan kepada Nabi
Makalah ini dibuat untuk pemenuhan tugas dari mata kuliah ‘‘Ilmu Jarh
menyadari masih banyaknya kekurangan dari penulisan hasil makalah ini, kritik
dan saran yang membangun sangat membantu kami untuk mengurangi segala
kepada dosen Dr. Hj. Fadlina Arif Wangsa Lc M. Ag. yang telah membimbing
kami dalam pembelajaran. Dengan kerendahan hati, kami berharap makalah ini
bermanfaat bagi kami sendiri maupun bagi pembaca. Dan semoga makalah ini
bisa menambah keilmuan bagi kita semua. Amin yaa robbal ’alamin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Utsman bin ‘Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein bin
kelompok itu mencari dukungan dari hadits Nabi saw. Apabila hadits yang
Sejak saat itu para ulama kritikus hadits dalam menyeleksi hadits tidak
mendengar hadits mereka selalu menanyakan dari siapa hadits itu diperoleh.
Apabila diperoleh dari Ahlus-Sunnah, hadits itu diterima sebagai dalil dalam
agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid’ah, hadits itu
ditolak.
persyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang dapat diterima haditsnya,
ajaran Islam.
Kajian masalah kualifikasi perawi hadits tumbuh dan berkembang
menjadi suatu cabang ilmu hadits yang disebut ‘ilm jarh wa ta’dil, yakni
suatu ilmu yang mempelajari perihal para periwayat hadits dari segi sifat jelek
dan sifat baik (terpuji) yang dimilikinya untuk mengetahui apakah dengan
hadits yang dapat diterima atau ditolak, haruslah dengan mengetahui keadaan
para tabiin, dan ulama hadits generasi berikutnya tidak mau begitu saja
menyampaikannya itu adalah orang yang mereka kenal dan dapat dipercaya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
seorang perawi. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang adil
sekaligus dia dinilai sebagai orang yang mempunyai cacat. Oleh karena itu
Dalam hal Perbedaan pendapat tersebut yang secara garis besar dapat
pendapat Ulama:
1. Jarh itu didahulukan atas Ta’dil, secara mutlak walaupun yang men-
ta’dilkan itu lebih banyak jumlahnya. Hal itu karena pen-tajrih melihat
mengungkapkan aspek batin yang samar yang tidak diketahui oleh pen-
ta’dil. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama yang dipandang shahih
tersebut;
1
Muhammad Ajaj Al-Khatib, Al-Mukhtashar Al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Hadits, h. 107.
umumnya ulama hadis, fiqh dan ushul al-fiqh.2 Sementara itu,
ketercelaan seseorang.
2. Ta’dil didahulukan atas Jarh apabila jumlah pen-ta’dil lebih banyak. Hal
pujian, lalu muncul seorang kritikus hadis yang menilai tercela dan
Alasan lain, karena sifat asal periwayat adalah terpuji. Pendapat ini
dikemukakan antara lain oleh al-Nasa'i (w. 303 H/915 M),3 Sedangkan
2
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 77-78; Ibn Salah, 'Ulum al-Hadis,
h. 99; Fakhr al-Din Muhammad bin 'Umar al-Husain al-Razi, al-Mashul fi 'Ilm al-Ushul (Saudi
Arabia: Jami'ah al-Imam Muhammad bin Sa'ud al-Islamiyyah, 1400 H/1980 M), Juz II, h. 588.
3
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 77-78.
a) Ulama yang mengemukakan celaan telah dikenal benar-benar
berkata, “Jika bertentangan jarh dan ta’dil, maka tiadaklah menjadi kuat salah
periwayat hadis yang dinilai. Penggunan pendapat itu adalah dalam upaya
ketiga lebih kuat daripada pendapat yang lain. Pernyataan ini tidak harus
diartikan bahwa bila syarat-syarat dari pendapat ketiga tidak dipenuhi, maka
4
Syuhudi, Kaedah Kesahihan, h. 182 dan Metodologi Penelitian, h. 78-79; ‘Ali al-Qiri,
Syarh Nukhbah al-Fikr, h. 240; al-‘Asqalani, Nurzhah al-Nazhar, h. 69. Taj al-Din ‘Abd al-
Wahhab bin ‘Ali al-Subki, Qiidah fi al-Jarh wa al-Ta’dil wa Qiidah fi al-Muarrikhin, Cet. V
(Beirut: Maktabah al-Nahdah, 1404 H/1984M), h. 51.
5
Jalal al-Din Abd al-Rahman bin Abu Bakr al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-
Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1417 H/1996 M), h. 204.
6
Syuhudi, Metodologi Penelitian, h. 81.
7
Syuhudi, Kaedah Kesahihan, h. 182.
dalam hal ini Syuhudi cenderung bersikap ta’dil atau tawassut (moderat),
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
jumlahnya.
ta’dil lebih banyak. Hal itu karena dengan banyaknya pen-ta’dil dapat
memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan
tentang sebab-sebabnya.
B. Implikasi
ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca dan
DAFTAR PUSTAKA