PENYEMPURNAAN
TUGAS MATA KULIAH STUDI TEKS ISLAM 1 (TAFSIR AYAT
AHKAM)
(DILENGKAPI TANYA JAWAB SEMINAR KELAS)
Oleh: H. Masrawan
DOSEN PEMBIMBING:
Shalat adalah ritual yang telah ditetapkan tata cara dan waktu
mengenal kondisi, baik ketika sehat atau sakit, di rumah atau di perjalanan, ketika
perjalanan jauh (safar) dan shalat khauf jika dalam keadaan perang.
Shalat jama’, qashar dan khauf merupakan jenis shalat yang dapat
dikerjakan dalam keadaan tertentu dan merupakan kemurahan yang Allah berikan
kepada umat Islam agar dapat melaksanakan shalat dengan lebih mudah dalam
menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai sopir
taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dokter, pasien, terjebak
dalam kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan kesulitan untuk
macam pendapat pelaksanaan shalat dalam kondisi demikain. Begitu pula halnya
shalat khauf, yakni apakah shalat ini masih bisa dilakukan dalam kondisi
|1
peperangan yang terjadi saat ini ataukah hanya berlaku ketika Nabi masih hidup
saja.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian untuk merespon realitas yang
terjadi saat ini. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji mengenai shalat dalam
perjalanan (safar: jama’ dan qashar) dan shalat dalam keadaan takut dalam
keadaan peperangan (khauf) dengan merujuk kepada QS. An-Nisa ayat 101-103.
NUZUL
صلَ ٰو ِة ِإ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم أَن َّ ص ُرواْ ِمنَ ٱل ُ علَ ۡي ُك ۡم ُجنَا ٌح أَن تَ ۡق َ س َ ض فَلَ ۡيِ ض َر ۡبت ُ ۡم ِفي ٱ ۡۡل َ ۡر َ َو ِإذَا
ْۚ
ت َ ۡنت فِي ِه ۡم فَأَقَم َ َو ِإذَا ُك١٠١ عد ُّٗوا ُّم ِب ّٗينا َ يَ ۡف ِتنَ ُك ُم ٱلَّذِينَ َك َف ُر ٓواْ ِإ َّن ٱ ۡل ٰ َك ِف ِرينَ َكانُواْ لَ ُك ۡم
س َجد ُواْ فَ ۡل َي ُكونُواْ ِمن َ ة ِم ۡن ُهم َّمعَ َك َو ۡليَ ۡأ ُخذ ُ ٓواْ أَ ۡس ِل َحت َ ُه ۡ ۖۡم فَإِذَاٞ َطآئِفَ صلَ ٰوة َ فَ ۡلت َقُ ۡم َّ لَ ُه ُم ٱل
صلُّواْ َم َع َك َو ۡل َي ۡأ ُخذُواْ ِح ۡذ َر ُه ۡم َوأ َ ۡس ِل َحت َ ُه ۡ ۗۡم َ ُصلُّواْ فَ ۡلي َ ُطآئِفَةٌ أ ُ ۡخ َر ٰى لَ ۡم ي َ ت ِ َو َرآ ِئ ُك ۡم َو ۡلت َ ۡأ
ع َل ۡي ُكم َّم ۡيلَ ّٗة ٰ َو ِحدَ ّْٗۚة َو ََلَ َع ۡن أ َ ۡس ِل َح ِت ُك ۡم َوأ َ ۡم ِت َع ِت ُك ۡم فَيَ ِميلُون
َ ََودَّ ٱلَّذِينَ َكفَ ُرواْ َل ۡو تَ ۡغفُلُون
ْضعُ ٓواْ أ َ ۡس ِل َحت َ ُك ۡ ۖۡم َو ُخذُوا َ َ ض ٰ ٓى أَن ت َ ط ٍر أ َ ۡو ُكنتُم َّم ۡر َ علَ ۡي ُك ۡم ِإن َكانَ ِب ُك ۡم أَ ّٗذى ِمن َّم َ ُجنَا َح
صلَ ٰوة َ فَٱ ۡذ ُك ُرواْ ٱ َّّللَ قِ ٰيَ ّٗما َّ ض ۡيت ُ ُم ٱل
َ َ فَإِذَا ق١٠٢ عذَابّٗ ا ُّم ِه ّٗينا َ َعدَّ ِل ۡل ٰ َك ِف ِرين
َ َ ِح ۡذ َر ُك ۡ ۗۡم ِإ َّن ٱ َّّللَ أ
علَى َ صلَ ٰوة َ َكان َۡت َّ صلَ ٰو ْۚة َ إِ َّن ٱلَّ علَ ٰى ُجنُوبِ ُك ْۡۚم فَإِذَا ٱ ۡط َم ۡأنَنت ُ ۡم فَأَقِي ُمواْ ٱل َ َوقُعُودّٗ ا َو
١٠٣ ٱ ۡل ُم ۡؤ ِمنِينَ ِك ٰت َبّٗ ا َّم ۡوقُو ّٗتا
2. Tafsir Mufradat
ض ْ ض ََر ْبت ُ ْم فِي: kalian bepergian di muka bumi, karena orang musafir memukul
ِ األر
tanah dengan kedua kakinya dan tongkatnya atau dengan kaki-
kaki kendaraannya.
قصَرتٌ الشًيئ : saya memendekkan sesuatu
ْالجُناح : kesempitan. Diambil dari kata juniha al-ba’ir yang berarti
‘pecah tulang rusuknya’ karena berat bebannya.
يَفتنكْم : menyakiti kalian dengan membunuh atau lain sebagainya.
اقامة الصالة : pengingatan yang dengan itu seseorang dipanggil
untuk memasuki shalat.
َاالسلحة : setiap alat yang digunakan untuk berperang
|2
قضيتم الصالة : kalian telah melakukan shalat
فاقيم الصال ة : lakukanlah shalat dengan menyempurnakan rukun dan syaratnya
كتابا موقوتا : suatu fardhu yang telah ditetapkan harus dilakukan dalam
waktu-waktu tertentu.1
3. Asbab an-Nuzul
Surah an-Nisa ayat 101 diturunkan karena ada salah satu dari kaum bani
Najjar yang bertanya kepada Nabi Muhammad. Mereka bertanya wahai Rasul
Allah, kita sering melakukan perjalanan jauh bagaimana cara kami melakukan
shalat? Pada waktu itu Nabi belum menemukan jawabannya, kemudian Allah
menurunkan Surah an-Nisa ayat 101 yang merupakan jawaban dari pertanyaan
ُ أَن ت َۡق
َّ ص ُرواْ مِ نَ ٱل
Setelah ayat tersebut diturunkan sampai pada perkataan ِصلَ ٰوة
Sebagai jawaban atas pertanyaan Bani Najjar, baru satu tahun kemudian ketika
shalat zuhur, orang-orang kafir berkata pada teman-teman mereka untuk segera
menyerang Nabi dan sahabatnya pada saat melakukan shalat zuhur, karena
menurut pemahaman mereka shalat adalah hal yang paling berharga menurut
orang Islam melebihi apapun di dunia ini bahkan nyawanya sendiri, baru
ْۚ
َ إِ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم أَن يَ ۡفتِ َن ُك ُم ٱلَّذِينَ َكفَ ُر ٓواْ إِ َّن ٱ ۡل ٰ َك ِف ِرينَ َكانُواْ لَ ُك ۡم
عد ُّٗوا ُّمبِ ّٗينا
1
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz IV, (Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 1993), hal. 226-229
|3
“jika kamu takut fitnah (diserang) orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-
2
Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 5
(Damaskus: Dar al-Fikr al-Muasir, 1418), hal. 235
3
Sahkholid Nasution, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Tafsir II), (Medan: La-Tansa Press, 2011),
hal. 13
|4
terjadinya perbedaan pendapat dalam mendefinisikan arti dari qasar itu sendiri,
secara garis besar perbedaan dalam mengartikan qasar dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pendapat pertama mengartikan kata qasar dengan arti mengurangi bilangan
rakaat salat, sehingga yang asalnya empat rakaat menjadi dua rakaat.
2. Pendapat kedua mengartikan kata qasar dengan arti mengurangi tatacara
melakukan salat, sehingga yang asalnya ada rukuk, sujud dapat digantikan
dengan isyarat saja.4
Masing-masing dari kedua pendapat tersebut memiliki tendensi yang jelas dari
hadis Nabi, pendapat pertama yang menyatakan bahwa kata qasar yang dimaksud
adalah mengurangi jumlah rakaat salat berpedoman pada hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim:
ُ علَي ُكمْ ُجنَاحٌْأَنْت َق
ْص ُروا َ َطابْْ }لَي
َ ْس َْ عنْْ َيعلَىْبنْْأ ُ َميَّ ْةَْقَا
َّ لْقُلتُْْلعُ َم َْرْبنْْالخ َ َّْْللاْبنْْبَا َبيه
َّ عبد
َ ْْعن
َ ْار َ ْعنْْابنْْأَبي
ٍ ع َّم َ
َّ َّصل
ُْىَّْللا َ ْ َّْللا
َّ سو َل َ ُسأَلت
ُ ْر َ َعجبتَ ْمنه ُْف
َ ْعجبتُ ْم َّما
َ ْل ُ َّص ََلة ْإن ْخفتُم ْأَن ْ َيفتنَ ُكم ْالَّذينَ ْ َكف َُروا { فَقَد ْأَمنَ ْالن
َْ اس ْفَقَا َّ من ْال
5 َ
.ُص َدقت َ ْهَ ْعلَي ُكمْفَاقْ َبلُوا
َ َّْْللاُْب َها َ َ ص َدقَةٌْت
َّ َصدَّق َ ْل َ ْس َّل َم
َْ عنْْذَلكَ ْفَقَا َ ْوَ علَيه
َ
Dari Ya’la ibn Umayyah, dia berkata pada ‘umar ibn khattab bagaimana kita
melakukan qasar salat padahal sekarang kita dalam keadaan aman (tidak
berperang) padahal dalam surat an nisa‟ ayat 101 telah dijelaskan bahwa qasar
dilakukan bila ada unsur takut terkena fitnah dari orang kafir, lalu ‘umar ibn
khattab menjawab, aku juga pernah merasa heran seperti apa yang kamu
herankan, lalu saya bertanya kepada Nabi Muhammad, kemudian Nabi
Muhammad menjawab “qasar adalah merupakan sedekah dari Allah kepada
kalian semua, maka terimalah sedekah tersebut.
Berdasarkan hadis ini, dapat dipahami bahwa arti qasar adalah mengurangi jumlah
rakaat salat, karena orang yang bertanya sebenarnya telah memahami bahwa
dalam surat an nisa‟ ayat 101 qasar dilaksanakan saat terjadi kekacaun (tidak
aman) namun pada waktu yang lain qasar juga dilaksanakan pada saat tidak ada
kekacauan (masa aman) dan jawaban Nabi yang menyatakan qasar adalah sedekah
yang diberikan pada umat islam menunjukkan bahwa qasar yang ada dalam ayat
juga merupakan bagian dari qasar yang dilakukan saat aman, disamping itu kata
min dalam perkataan min al-Shalat menunjukkan arti tab’id (menunjukkan arti
sebagian) yang mengindikasikan bahwa salat yang asalnya empat rakaat setelah
4
Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (tt: Maktabah al-Asriyah, 2002), hal. 316
5
Muslim, Shahih Muslim, Juz I,(Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.th), hal. 487
|5
diqasar menjadi dua rakaat, ini membuktikan bahwa arti dari qasar yang dimaksud
adalah mengurangi jumlah rakaar salat.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa arti qasar dalam ayat tersebut
menunjukkan arti mengurangi tatacara melakukan salat yang asalnya terdapat
rukuk dan sujud dapat diganti dengan isyarat, berpedoman pada hadis yang
diriwayatkan dari ‘abd al-Rahman bin Aby Laila dari „umar, ia berkata bahwa
salat saat bepergian, salat id baik fitri maupun adha adalah dua rakaat secara
sempurna tanpa diqasar berdasarkan sabda Nabimu.
Berdasarkan hadis ini maka yang dimaksud qasar adalah qashr al-sifah
(mengurangi tatcara salat) yang asalnya harus melakukan rukuk, sujud secara
sempurna dalam keadaan bepergian dan ketakutan dapat digantikan dengan isyarat
6
saja. Perbedaan penafsiran arti dari qasar inilah yang menjadi akar terjadinya
perbedaan pendapat tentang hukum melakukan qasar salat saat bepergian menurut
ulama fiqh.
pemahaman yang berbeda diantara ulama fiqh tentang qasar salat itu sendiri,
apakah bagi orang yang sedang bepergian belah melakukan salat secara sempurna
(empat rakaat) atukah diharuskan melakukan qasar sehingga bila melakukan salat
secara sempurna (empat rakaat) dianggap tidak sah salatnya dan harus mengulang
kembali.
(1)Pendapat ulama fiqh yang menyatakan boleh memilih antara qasar dan itmam
Pendapat ini dikemukakan oleh al-Imam al-Syafi’i yang didukung oleh jumhur
6
Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (tt: Maktabah al-Asriyah, 2002), hal. 316
|6
menyempurnakan salat dan melakukan qasar salat saat bepergian berpedoman
pada kata
artinya : tidaklah berdosa bagimu untuk melakukan qasar salat. Penjelasan ayat
qasar dan tidak, hal ini dikuatkan dengan adanya salah satu hadis yang
suatu ketika melakukan umrah bersama Nabi dari Madinah ke Makkah, pada
saat sampai di Makkah Aishah bertanya kepada Nabi, ya Rasul Allah, engkau
kebaikan, dan engkau (Aishah) tidak perlu mencela apa yang aku lakukan.7
salat saat bepergian adalah merupakan pilihan yang bisa dilakukan umat islam,
dan pilihan yang dilakukan baik antara melakukan qasar salat dan
menyempurnakannya adalah sah dan tidak perlu mengulangi salat yang telah
dilakukan.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad,
mereka menyatakan bahwa orang yang bepergian dan melakukan salat empat
rakaat selain magrib maka salat yang dilakukan dianggap tidak sah dan harus
diulangi kembali, karena menurut mereka salat bagi orang yang bepergian
7
Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 5, hal.
238
|7
adalah dua rakaat sebagaimana hadis yang menjelaskan bahwa salatnya orang
yang bepergian adalah dua rakaat tanpa qasar. Pendapat yang dikemukakan
oleh Abu Hanifah hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Imam Malik, menurut Iamam Malik seseorang yang bepergian dan melakukan
salat empat rakaat tanpa diqasar harus mengulangi salat yang telah dikerjakan
selama waktu salat tersebut belum habis, bila waktunya sudah habis misalkan
salat zuhur sudah memasuki waktu ashar maka salat zuhur yang dikerjakan
Surat an nisa ayat 101 tidak menjelaskan secara detail kriteria bepergian
yang diperbolehkan malakukan qasar salat, oleh karena itu perlu diperjelas
pengertian yang terkandung dalan suatu ayat dengan menggunakan hadis Nabi,
karena salah satu fungsi dari hadis Nabi adalah sebagai bayan al-Tafsiri yaitu
fungsi hadis untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an
yang masih global, memberikan batasan terhadap ayat-ayat yang bersifat mutlak,
Dalam surat an nisa hanya disebutkan kata ضربتم فى اۡلرضyang diartikan dengan
al sair fiha (melakukan perjalanan dimuka bumi) tanpa disertai seberapa jauh
perjalanan yang harus ditempuh agar bisa melakukan qasar salat, begitu juga
dalam ayat tersebut tidak dijelaskan bepergian yang bagaimanakah yang bisa
8
Ahmad bin Aly Abu Bakar al-Razi al-Jasas al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 3 (Beirut: Dar
Ihya al-Turats, 1405 , hal. 323
9
Muhamadiyah Amin, Ilmu Hadits, (Gorontalo: Sultan Amal Press, 2008), hal. 19
|8
Penentuan berapa jauh perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang yang
menjadi musafir agar bisa mendapat dispensasi qasar salat dijelaskan oleh
Menurut pendapat Abu Hanifah, seorang musafir bisa melakukan qasar salat
apabila perjalanan yang ditempuh mencapi perjalanan tiga hari tiga malam
dengan menggunakan unta atau berjalan kaki didarat, begitu juga bila
angin yang stabil. Pendapat Abu Hanifah ini bertendensi pada hadis yang
artinya : orang yang muqim (tidak bepergian) boleh membasuh muzah (sejenis
sepatu yang terbuat dari kulit) selama sehari semalam, sedangkan orang yang
bepergian diperbolehkan membasuh muzah selama tiga hari, hal ini juga
dikuatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa seorang wanita tidak boleh
dari dua hadis diatas memberikan pengertian seseorang bisa dianggap musafir
bila telah menempuh perjalanan selama tiga hari tiga malam dengan
menggunakan unta, atau berjalan kaki maupun naik perahu. Bila perjalanan
yang ditempuh belum mencapai tiga hari tiga malam maka tidak dianggap
10
Al-Zuhaily, Tafsir al-Munir, Jilid 5, hal. 241
|9
menggunakan ukuran kilo meter, maka perjalanan yang harus ditempuh agar
Pendapat tiga imam ini menyatakan seorang yang bepergian bisa melakukan
qasar salat bila perjalan yang ditempuh mencapai empat burud (sebuah ukuran
yang digunakan pada masa itu) dan tiap satu burud sama dengan empat
farsakh. Pendapat ini bertendensi pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Daruqutny dari Ibn ‘Abbas bahwasannya Nabi pernah besabda : Wahai Ahli
Makkah janganlah kamu melakukan qasar salat dalam perjalanan yang kurang
dari empat burud yaitu perjalan dari Makkah ke ‘Usfan. berdasarkan hadis ini
qasar salat bilah perjalanan yang ditempuh telah mencapai empat burud.
Menurut penelitian al-Marhum Ahmad al-Hasani Bik, empat burud bila diukur
dengan Zuhur dan Maghrib dengan Isya, baik itu dilakukan lebih awal pada waktu
shalat yang pertama (zuhur dan maghrib) atau diakhirkan pada waktu yang kedua
(Ashar dan Isya). Bila dilakukan pada waktu yang pertama disebut jama’ taqdim
dan bila dilakukan pada waktu yang kedua disebut jama’ ta’khir.
11
Ahmad bin Musthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Jilid 5, Mesir: Syirkah Maktabah
Mathba’ah Musthafa al-Bab, 1949), hal. 140
12
Ibid, hal. 140
| 10
Dibolehkan seseorang itu menjama’ shalat Zuhur dengan Ashar baik
SAW, di antara hadis yang menjelaskan tentang menjama’ shalat adalah sebagai
berikut:
ْعن
َ ٍْسعد ُ ضالَ ْةَْ َواللَّي
َ ُْْثْبن َ َلْبنُْْف َّ َالرمليْْال َهم َدانيْْ َح َّدثَنَاْال ُمف
ُْ ض َّ ْب
ٍْ َّللاْبنْْ َمو َه َ َْْح َّدثَنَاْيَزْي ُْدْبنُْْخَالدْْبنْْيَزي َْدْبن
َّْ ْْعبد
ْسلَّ َمْ َكانَ ْفيْغَز َوة َ علَيه
َ ْو َّْ ْصلَّى
َ َُّْللا َ َّْللا َ عنْ ُم َعاذْبنْْ َج َب ٍلْأ َ َّن
َّْ َْْرسُول َ ْعنْأَبيْالطفَيل
َ ْعنْأَبيْالز َبير
َ ٍْسعد
َ ْْهشَامْبن
ْسْأ َ َّخ َرْالظه َرْ َحتَّى َّ ْوإنْيَرت َحلْقَبلَْأَنْت َزْيغَْال
ُ شم َ سْقَبلَْأَنْيَرت َحلَْ َج َم َعْبَينَ ْالظهر
َ ْوالعَصر َّ تَبُوكَ ْإذَاْزَ اغَتْال
ُ شم
13
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1983) Cet. Ke-10, Jilid I, hal. 290
| 11
ْْوإنْ َيرت َحلْقَبلَْأَن َ سْقَبلَْأَنْ َيرت َحلَْ َج َم َعْ َبينَ ْال َمغرب
َ ْوالعشَاء َّ ْوفيْال َمغربْمثلُْذَلكَ ْإنْغَا َبتْال
ُ شم َ َينزلَْلل َعصر
14
َ سْأ َ َّخ َرْال َمغر
.بْ َحتَّىْيَنزلَْللعشَاءْث ُ َّمْ َج َم َعْبَينَ ُه َما َّ يبْال
ُ شم َ ت َغ
Yazid ibn Khalid ibn Yazid ibn Abdillah ibn Mauhab al-Ramliy al-
Hamdaniy menceritakan kepada kami, Al-Mufadhal ibn Fadhalah dan Laits ibn
Jabal menceritakan kepada Kami, (diterima) dari Hisyam ibn Sa’ad (diterima)
dari Abi al-Zubair (diterima) dari Abi al-Thufail (diterima) dari Muadz ibn Jabal,
bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk menjama’ antara shalat
zhuhur dan ashar (jama’ taqdim) apabila berangkat setelah matahari tergelincir.
Dan bila berangkat sebelum matahari tergelincir beliau mengakhirkan zhuhur di
waktu ashar. Begitu pula dengan shalat maghrib, apabila matahari telah
terbenam sebelum beliau berangkat maka beliau menjama’ maghrib dan Isya
(dengan jama’ taqdim), dan bila beliau berangkat sebelum matahari terbenam,
beliau mengakhirkan Magrib di waktu Isya dan menjama’ keduanya (jama’
ta’khir).
ْْواثلَةَ ْأ َ َّن ْ ُمعَاذَ ْبنَ ْ َجبَ ٍل ْأَخبَ َرهُ ْأَنَّ ُهم ْخ ََر ُجواْ َم َع َ ْ عن ْأَبيْالطفَيل
َ عامر ْبن َ ْ عن ْأَبيْالزبَير ْال َمكي َ ْوْ َح َّدثَني
َ ْعن ْ َمالك
ْْسلَّ َم ْيَج َم ُْع ْبَينَْ ْالظهرْ ْ َوالعَصرْ ْ َوال َمغرب َ علَيه
َ ْو َّ َّصل
َ ُْىَّْللا َّ سو ُل
َْ ْ َّْللا َ َام ْتَبُوكَ ْفَ َكان
ُ ْر َ عَ ْ سلَّ َم َ علَيه
َ ْو َّ َّصل
َ ُْىَّْللا َ ْ َّْللا
َّ سول
ُ َر
َ صلَّى ْال َمغر
ْب ْ َوالعشَا َْء َ َصلَّى ْالظه َْر ْ َوال َعص َْر ْ َجمي ًعا ْث ُ َّم ْ َد َخ َل ْث ُ َّم ْخ ََر َج ْف َّ ل ْفَأ َ َّخ َر ْال
َ َص ََلة َْ َيو ًما ْث ُ َّم ْخ ََر َج ْف َْ َوالعشَاءْ ْقَا
15
.َجميعًا
Imam Malik (menerima) dari Abi al-Zubair al-Makiy, (diterima) dari Abi Al-
Thufail, Amir ibn Watsilah, bahwa Muadz ibn Jabal memberitakan kepadanya:
bahwasanya mereka pada waktu perang Tabuk keluar (berperang) bersama
Rasulullah s.a.w., lalu Rasulullah s.a .w. menjama’ shalat zhuhur dan ashar serta
maghrib dan Isya (jama’ taqdim). Muadz bin Jabal berkata: pada suatu hari
beliau mengakhirkan shalat, lalu beliau keluar melakukan shalat zhuhur dan
ashar dengan jama’ (ta’khir). Kemudian beliau masuk (ke tempat beliau).
Setelah itu beliau keluar kembali, lalu shalat maghrib dan Isya dengan jama’
(ta’khir).
َّ سو ُل
َّْْللا َ َّصل
ُ ىْر َْ َّاس ْقَا
َ ْل ٍ عب َ ْ ْعنْ ْابن
َ ْ سعيد ْبنْ ْ ُجبَي ٍر َ ْ ْعنْ ْأَبي ْالزبَير
َ ْ ْعن َ ْ ٍْعلَى ْ َمالك َْ َح َّدثَنَا ْيَحيَى ْبنُْ ْيَحيَى ْقَا
َ ْ ُْل ْقَ َرأت
َ ْْو ََل
. سف ٍَْر َ ٍْوالعشَا َءْ َجمي ًعاْفيْغَيرْخَوف َ بَ اْوال َمغر
َ ْوال َعص َرْ َجمي ًع َ سلَّ َمْالظه َر َ علَيه
َ ْو َّ َّصل
َ ُْىَّْللا
16
َ
Yahya ibn Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku membacakan
(hadis) kepada Malik, (diterima ) dari Abi Al -Zubair, (diterima) dari Sa’id ibn
Al-Jubair, (diterima) dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah s.a .w., shalat
14
Abu Daud, Sunan Abu Daud (Bairut: al-Maktabah al-Asyriyah, t.th), Juz II, hal. 5
15
Malik bin Anas, Muwatha’ (t.tp: Muassasah Zaid ibn Sultan, 2004) Juz 2, hal. 197
16
Muslim, op.cit., hal. 490
| 12
zhuhur dan ashar dengan jama’, serta maghrib dan isya d engan jama, padahal
tidak dalam keadaan ketakutan dan tidak pula dalam perjalanan. Abu
Zubair berkata: aku bertanya kepada Sa’id mengapa demikian? Sa’id
berkata: aku bertanya kepada Ibn Abbas sebagaimana yang kamu
tanyakan, maka Ibn Abbas berkata: supaya tidak memberatkan bagi umatnya.
َْشعبَة
ُ ْعن ُ ْغن َد ٍرْقَا َلْأَبُوْ َبك ٍرْ َح َّدثَنَاْ ُم َح َّمدُْبنُ ْ َجعف ٍَر
َ ْغن َد ٌر ُ ْعن
َ ْارْك ََل ُه َما ٍ ش َّ ْو ُم َح َّمدُْبنُ ْ َبَ َوْ َح َّدثَنَاهْأَبُوْ َبكرْبنُ ْأَبيْشَي َبة
َّ
ْسل َم ْإذَا َ علَيه
َ ْو َ ْ ُىَّْللا
َّ صل َّ َّ سو ُل
َ ْ َّْللا ُ ْرَ َص ََلة ْفَقَا َل ْ َكان َّ عن ْقَصر ْال َ ْ ٍَس ْبنَ ْ َْمالك َ
َ سألتُ ْأن َ َ ْ عن ْيَحيَىْبن ْيَزي َد ْال ُهنَائي ْقَا َل َ
. ْىْركعَت َين
17 َّ
َ صل َّ ُ ُ
َ ْلْأوْثَلثةْْف َراسخَْشعبَةْالشاك َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ٍْ يرْة َْثَلثةْْأميَا
َ جْ َمس َْ خ ََر
Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Muhammad ibn Basyar menceritakan kepada
kami (keduanya (menerima) dari Ghundar), berkata Abu Bakar: Muhammad ibn
Ja’far Ghundar menceritakan kepada kami, (diterima ) dari Syu’bah, (diterima)
dari Yahya ibn Yazid al Hunaiy, ia berkata: aku bertanya kepada Anas ibn Malik
tentang masalah qashar shalat, lalu ia berkata : Rasulullah s.a.w., apabila keluar
untuk melakukan perjalanan sejauh tiga mil atau tiga farsakh (Syu’bah ragu mil
atau farsakh), maka beliau shalat dua rakaat (qashar).
ْص َّلى َّ َّاسْأ َ َّنْالنَّب
َ -ْ ي ٍ عبَ ْعنْابن
َ ْعنْ َجابرْبنْزَ ي ٍدَ َْار
ٍ عمروْبنْدين َ ْعن َ ْْ َح َّدثَنَاْ َح َّمادٌْه َُوْابنُ ْزَ ي ٍد:ََح َّدثَنَاْأَبُوْالنع َمانْقَال
َْيرةٍ؟ْقَال َ َ َّ َ َ
َ ْلعَلهُْفيْليلةٍْ َمط: ُْفَقَا َلْأيْوب،ْوالعشَا َءَ ب َ ْوال َمغر َ اْوث َ َمانيًاْالظه َر
َ ْوالعَص َر َ ًسبع َ ْصلَّىْبال َمدينَة َ ْ-سلَّ َْم َ علَيه
َ ْو َ َُّْللا
َّ
.18سى َ ع َ
Abu Nu’man menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad menceritakan
kepada Kami, (diterima) dari Amr ibn Dinar, (diterima) dari Jabir ibn Zaid,
(diterima) dari ibn ‘Abbas: Bahwa Nabi s.a.w. Shalat di Medinah tujuh rakaat
dan delapan rakaat: Zhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya, lalu Ayyub
berkata: semoga hal itu pada malam yang turun hujan lebat, Jabir ibn Zaid
berkata: semoga.
Dari penjelasan ayat al-Quran tentang qashar maupun Hadis Nabi tentang
Jama’ dan qashar sebagaiman disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa shalat
qasahr merupakan rukhshah yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dalam
perjalanan musafir. Bila dilihat dari ayat yang berbicara masalah qashar shalat
maka tampaknya qashar itu hanya dibolehkan bagi orang yang bepergian atau
dalam perjalanan. Oleh karena itu hukum mengqashar shalat di saat mengalami
kemacetan dalam perjalanan bila melihat kepada keumuman ayat surat Annisa’
ayat 101 di atas boleh dilakukan. Ayat tersebut tidak ada memberikan batasan
17
Ibid, hal. 481
18
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (t.tp: Dar Tauqi al-Najah, 1422 H), Juz V, h. 114
| 13
perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Adapun batasan
bolehnya mengqashar di dalam hadis juga terdapat perbedaan( ikhtilaf). Ada hadis
yang memberikan batasannya tiga mil dan ada pula tiga farsakh. Oleh karena itu
menurut penulis menjama’ shalat dengan alasan macet adalah boleh bila
dikhawatirkan waktu shalat akan luput. Adapun mengqashar shalat dengan alasan
kesibukan tidak boleh dilakukan karena tidak ada nash baik al-Quran maupun
hadis yang melegalkannya. Oleh karena itu bila seseorang mengalami situasi yang
sangat sibuk dan mendesak (seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien)
tidak bisa ditinggalkannya, atau seorang polisi lalu lintas yang mendapat giliran
tugas di jalan pada waktu menjelang Maghrib sampai setelah Isya (yang tentunya
juga tidak bisa ditinggalkan. Dalam keadaan seperti ini, baik dokter ataupun polisi
“Hukum yang berlaku berdasarkan dalail yang menyalahi dalil yang ada
karena udzur”.
19
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Mustayfa, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), Juz I, hal. 354
| 14
menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai supir
taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dan co pilot, dokter
dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan
berkenaan dengan rukhsah salat dalam bentuk menjamak salat dengan berbagai
problematika kekinian tersebut di atas, dengan kata kunci yang sama dengan
b. SHALAT KHAUF
tidak hanya khusus bagi Rasulullah.20 Hal itu didasarkan pada dua dalil yakni al -
Qur’an surah al-Nisa’ ayat 102. Alasan yang mendasari disyariatkannya shalat
khauf adanya kekhawatiran serangan mendadak dari musuh sementara umat Islam
Untuk itu, Allah swt. melalui malaikat Jibril mengajarkan tata cara shalat
dalam kondisi berperang dengan tetap tidak menghilangkan nilai jama’ah yang
20
Sebagian Ulama seperti Abu Yusuf berpendapat bahwa shalat khauf merupakan
keistimewaan atau kekhususan Rasulullah SAW berdasarkan kata mufrad dalm surah an-Nisa ayat
102. Namun pendapat ini ditentang oleh dengan mengatakan bahwa para sahabat seperti Ali
bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Huzaifah melakukannya setelah Rasulullah tiada. Lihat:
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1418), Jilid II, Cet. IV, hal.
1458
| 15
mereka cintai melebihi anak-anak dan nyawa mereka sendiri. Karena shalat
berjama’ah merupakan ikatan yang kuat, kokoh dan kentinyu sehingga meskipun
tetap jalan akan tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan kebutuhan
keamanan. Alasan di atas menjadi sebab turunnya ayat 102 dari surah al-Nisa’.21
shalat khauf dalam beberapa peristiwa dan tempat seperti perang Dzat al-Riqa’
(peristiwa yang terjadi setelah perang khandaq), Bathn Nakhl (nama lokasi di
daerah Najd, khususnya Ghathfan), ‘Uspan (daerah yang terletak sekitar dua
marhalah dari Makkah), Dzi Qard (nama air yang mengalir dari Madinah dan
shalat khauf dalam semua peristiwa itu sebanyak 24 kali yang terkadang antara
satu shalat dengan shalat yang lain berbeda tata-caranya karena kondisi dan
Pada dasarnya, hadis-hadis yang berbicara tentang shalat khauf dan tata cara
nya beragam. Menurut Imam Nawawy, Abu Daud dan beberapa ulama
pada waktu yang berbeda-beda dan bentuk yang berlainan satu sama lain karena
yang terpenting adalah cara mana yang paling hati-hati menjaga gerakan shalat
21
Ketiak Rasulullah berada di daerah ‘Usfan, orang-orang musyrik yang dipimpin oleh
Khalid bin Walid ingin menyerang Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dalam keadaan shalat,
maka turunlah ayat 102 surah an-Nisa. Lihat: Jalaluddin As-Suyuthi, Lubab an-Nuqul fi Asbab al-
Nuzul, (Mekkah: al-maktabah al-Taufiqiyah, t,th), h. 110.
22
Wahbah al-Zuhaily, al-fiqh al-Islami, Jilid II, op.cit, hal. 1458
| 16
dan paling ideal dalam penjagaan musuh. Meskipun bentuknya bermacam-macam
akan tetapi inti dan kandungannya sama. Imam Ahmad berkata semua hadis-hadis
shalat khauf shahih dan semuanya bisa diamalkan sesuai kebutuhan tingkat
bahwa shalat khauf pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam beberapa tempat
yaitu pada saat perang Dzat al-Riqa’, perang Dzi Qard, perang Muharib dan
Pertama; tata cara shalat khauf menurut cara pertama adalah imam
barisan yang lain menghadap musuh. Maka imam shalat satu rakaat bersama shaf
dibelakangnya, kemudian saat rakaat kedua, imam tetap berdiri sedangkan barisan
imam yang akan melanjutkan rakaat kedua. Setelah selesai satu rakaat, imam
maka imam salam bersama mereka.25 Shalat Nabi bersama sahabatnya dengan
model di atas, dilakukan dalam perang Dzat al-Riqa' yang terjadi pada tahun
kelima hijrah Rasulullah dan dianggap oleh Imam Malik sebagai tata cara shalat
23
Jalaluddin al-Suyuthi, Syarh Suna al-Nasa’I, (Bairut: Dar al-Jail), Jilid II, hal. 167
24
Abi Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), Jilid VIII, hal. 179
25
Ibid., hal. 185
26
Abu al-Walid Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad al-Bajiy, al-Muntaqa Syarah Muwatha’
Malik, (Bairut: Dar al-Kitab a-Araby, 1403H), Jilid I, hal. 449
| 17
Kedua; Shalat khauf berdasarkan cara kedua adalah imam shalat bersama
salah satu dari dua kelompok pasukan sedangkan kelompok yang lain berjaga-jaga
kedua shalat bersama imam untuk rakaat keduanya hingga salam. Setelah imam
salam, kelompok pertama dan kedua menambah satu rakaat hingga salam.27
Dalam hadis ini, tidak dijelaskan bahwa kelompok pertama dan kedua bersamaan
menambah satu rakaat atau bergiliran sehingga Imam Ibnu Hajar mengatakan
bahwa yang paling tepat tata cara penambahannya adalah saling bergantian karena
jika bersamaan maka dapat menghilangkan subtansi dari shalat khauf yaitu
shalat khauf disyariatkan hanya untuk melindungi satu sama lain ketika shalat
berjamaah.28
dalam dua barisan, satu barisan shalat bersamanya sedangkan barisan yang lain
shalat berjaga-jaga. barisan pertama shalat bersama imam dua rakaat kemudian
sama-sama salam29 lalu barisan pertama pergi mengambil alih posisi barisan
kedua sementara barisan kedua berbaris dibelakang imam untuk shalat dua rakaat
juga hingga salam, sehingga imam memiliki empat rakaat sementara makmumnya
(barisan pertama dan kedua) hanya shalat dua rakaat saja. Dan tata cara shalat
27
Lihat: Abu al-‘Ala Muhammad Abd Rahman bin Abd Rahim al-Mubarakfury, Tuhfah al-
Ahwadzym (Bairut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M), Jilid III, hal. 133
28
Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Azhim Abady, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan
Abi Daud, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423 H/2002 M), hal. 136
29
Al-Mubarakfuri, op.cit., hal. 136
| 18
sebagaimana komentar al-Muzany, akan tetapi Ibnu Abd al-Bar mengatakan
bahwa shalat dengan cara di atas dilakukan oleh Rasulullah dalam perang Dzat al-
Raiqa'.30
D. KESIMPULAN
Oleh karena itu mengqashar shalat dalam keadaan macet dapat dilakukan untuk
kesibukan tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalil yang mendukungnya.
boleh dilakukan karena alasan perjalanan, ketakutan, hujan lebat dan lain-lain.
Sehingga menjama’ shalat ketikan ada kesibukan dan kemacetan dapat dilakukan
bila uzur tersebut tidak dapat lagi dihindarkan, dengan syarat bahwa hal tersebut
Begitu pula dengan shalat khauf yang beragam tata caranya, diriwayatkan
mencapai 16 cara, yang terpenting adalah cara mana yang paling hati-hati
menjaga gerakan shalat dan paling ideal dalam penjagaan terhadap musuh.
sama, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., pada beberapa tempat yaitu
pada saat perang dzat al-Riqa’, perang Dzi Qard, perang Muharib dan Tsa’labah.
30
Al-Azhim Abady, op.cit, hal. 77
| 19
DAFTAR PUSTAKA
Abi Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-
Bukhari, Jilid VIII, Bairut, Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M
Abu al-‘Ala Muhammad Abd Rahman bin Abd Rahim al-Mubarakfury, Jilid III,
Tuhfah al-Ahwadzym, Bairut, Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M,
Abu al-Walid Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad al-Bajiy, al-Muntaqa Syarah
Muwatha’ Malik, Jilid I, Bairut, Dar al-Kitab a-Araby, 1403H,
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, Bairut, al-Maktabah al-Asyriyah, t.th
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Juz I, Al-Mustayfa, Bairut, Dar al-Fikr, t.th
Ahmad bin Aly Abu Bakar al-Razi al-Jasas al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 3,
Beirut, Dar Ihya al-Turats, 1405 H
Jalaluddin al-Suyuthi, Syarh Suna al-Nasa’I, Jilid II, Bairut, Dar al-Jail
Malik bin Anas, Muwatha,’ Juz 2, t.tp, Muassasah Zaid ibn Sultan, 2004
Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, tt, Maktabah al-Asriyah, 2002
Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, tt, Maktabah al-Asriyah, 2002
Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.th
| 20
Sahkholid Nasution, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Tafsir II), Medan, La-Tansa Press,
2011
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Cet. Ke-10, Jilid I, Bairut, Dar al-Fikr, 1983
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid II, Cet. IV, Bairut, Dar
al-Fikr, 1418
| 21
TANYA JAWAB SEMINAR KELAS
PERTANYAAN :
1. Di era sedimikian canggih ini, kita semua tentu mengetahui bahwa perjalanan
yang biasa ditempuh dengan jalan kaki atau pakai unta selama berhari-hari,
sekarang sudah dapat ditempuh dalam hitungan waktu jam bahkan menit.
Apakah shalat jama dan qashar masih bisa dilakukan? Contoh, kalo mau ke
sudah sampai. Apakah jarak yang biasa diperbincangkan para ulama sebagai
2. Apakah pernah rasulullah melakukan jamak dan qashar tidak dalam bepergian?
3. Bagaimana dengan Jamak dan qashar yang ditentukan oleh hari, ada yang
pendapat pemakalah?
4. Bagaimana tata cara shalat saat peperangan jika dihubungakan di era sekarang
yang sangat jauh berbeda dengan peperangan pada zaman nabi dan sahabat?
| 22
mengubah dan berbeda dengan tata cara sebagimana pemakalah sebutkan? Dan
JAWABAN :
1. Sebagaiaman disebutkan pada ayat tentang shafar Surat an-Nisa ayat 101
فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلوة.... إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا إن الكافرين لكم عدوا مبينا
Di sini akan saya jelaskan bahwa dalam kaidah tata bahasa arab sudah sangat
jelas terlihat bahawa syarat shalat yang boleh diqhasar itu adalah pertama pada
saat dalam perjalanan dan yang kedua shalat khauf. Kata pada kalimat
..... إذا ضربتمdan ....إن خفتم أن يفتنكم dijawab kata pada kalimat ...فليس عليكم جناح
Hal tersebut menujukkah syarat dan jawab syarat yang kedua duanya jawab
syarat nya adalah “tidak mengapa untuk mengqashar shalat” jika dalam
perjalanan dan peperangan. Maka dengan demikian “illat” boleh nya qhasar
dalam waktu jam atau menit yang sangat jauh berbeda dengan jaman dulu
Pada intinya adalah shafar atau dalam keadaan perjalanan jauh, adapun
| 23
Tambahan penjelasan Dosen Pembimbing: kata qashar pada kalimat ان تقصروا
boleh dipersingkat dengan mengurang rakaat yang 4 menjadi 2 dan boleh pula
atau qashar.
2. Berdasarkan ayat dan hadis yang penulis kemukakan dapat disimpulkan bahwa
Rasulullah tidak pernah mengqashar shalat kecuali dalam dua kondisi yakni
safar atau dalam perjalanan dan shalat khauf 2 rakaat dalam peperangan.
Berbeda dengan jamak tanpa qashar pernah dilakukan dalam beberapa keadaan
yakni:
| 24
dapat bersuci yang mengkhawatirkan bahaya bagi dirinya pribadi, bagi harta
dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut.
Ada banyak hadits tentang kejadian ini, lebih detailnya dapat dilihat pada
َّ سو ُل
َّْْللا َ َّصْل
ُ ىْر َْ َّاس ْقَا
َ ْل ٍ عب َ ْ ْعنْ ْابن
َ ْ سعيد ْبنْ ْ ُجبَي ٍر َ ْ ْعنْ ْأَبي ْالزبَير
َ ْ ْعن َ ْ ٍْعلَى ْ َمالك َْ َح َّدثَنَا ْيَحيَى ْبنُْ ْيَحيَى ْقَا
َ ْ ُْل ْقَ َرأت
َ ْْو ََل
.سف ٍَْر َ ٍْوالعشَا َءْ َجميعًاْفيْغَيرْخَوف َ بَ اْوال َمغر
َ ًْوال َعص َرْ َجميع َ سلَّ َمْالظه َر َ علَيه
َ ْو َّ َّصل
َ ُْىَّْللا َ
Yahya ibn Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku
membacakan (hadis) kepada Malik, (diterima ) dari Abi Al -Zubair,
(diterima) dari Sa’id ibn Al-Jubair, (diterima) dari Ibn Abbas, ia berkata:
Rasulullah s.a .w., shalat zhuhur dan ashar dengan jama’, serta maghrib
dan isya d engan jama, padahal tidak dalam keadaan ketakutan dan tidak
pula dalam perjalanan.
shalat adalah pada saat perjalanan dan peperangan (salat pada saat safar dan
shalat khauf saat peperangan) adapun jamak tanpa qashar illatnya adalah
Maka dengan demikian pula, dokter yang akan melaksanakan tugas nya seperti
pelaksanaan operasi yang akan memerlukan waktu panjang dan bahkan akan
mengqhasar.
3. Mengenai penentuan berapa lama hari dan waktu pelaksanaan jamak dan
melebihi mata kaki yang tentukan dengan tiga hari tiga malam, begitupulan
muhrim. Adapun pendapat yang menyatakan lebih dari 3 hari itu didasarkan
| 25
teks nas terkait dengan shafar dan khauf yang baru berhenti pelaksanaannya
khauf sebagaiman tata cara yang penulis sebutkan dalam makalah, maka itu
tidak mengapa, dan bahkan boleh melaksanakan shalat khauf dengan cara yang
berbeda sesuai dengan kondisi peperagan saat ini, mengingat tata cara yang
penulis sebutkan pada makalah adalah beragam jenis yang tidak saja
dipraktekkan pada masa saat peperangan yang terjadi di masa Rasulullah, akan
tetapi juga oleh para sahabat saat berperang. Maka itu berarti merupakan
ijtihadi yang boleh saja dilaksanakan ijtihad sesuai kondisi peperangan saat ini.
Pelaksanaan shalat fardu yang telah ditentukan itu merupakan ibadah nahdah
dilaksanakan ijtihad asalkan jangan merubah esensi ibadah itu sendiri, seperti
peperangan yang terjadi saat ini, tentu saja membuka peluang kebolehan qashar
kewajiban.
| 26