Anda di halaman 1dari 27

SHALAT SAFAR [JAMA’ DAN QASHAR] DAN SHALAT KHAUF

(KAJIAN TAFSIR MAUDHUI’ SURAH AN-NISA AYAT 101-103)

PENYEMPURNAAN
TUGAS MATA KULIAH STUDI TEKS ISLAM 1 (TAFSIR AYAT
AHKAM)
(DILENGKAPI TANYA JAWAB SEMINAR KELAS)

Oleh: H. Masrawan

DOSEN PEMBIMBING:

Prof. Dr. H. Akh. Fauzi Aseri, MA

Prof. Dr. H. Mahyudin Barni, M.Ag

Prof. Dr. H. Abdullah Karim, M.Ag

Dr. H. Hanafiah, M.Hum

UNIVERSITAS ISLAM ANTASARI BANJARMASIN


PROGRAM DOKTOR ILMU SYARI’AH
BANJARMASIN
2018
SHALAT SAFAR [JAMA’ DAN QASHAR] DAN SHALAT KHAUF
(KAJIAN TAFSIR MAUDHUI’ SURAH AN-NISA AYAT 101-103)
Oleh: H. MASRAWAN
A. PENDAHULUAN

Shalat adalah ritual yang telah ditetapkan tata cara dan waktu

pelaksanaannya oleh Allah SWT. Keharusan melaksanakan shalat ini tidak

mengenal kondisi, baik ketika sehat atau sakit, di rumah atau di perjalanan, ketika

keadaan damai atau saat perang. Kondisi-kondisi demikian Allah memberikan

rukhsah (keringanan) bagi orang yang mengalami kesulitan untuk melaksanakan

shalat dengan tujuan untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Bentuk

keringanan itu adalah dibolehkannya menjamak dan mengqashar shalat dalam

perjalanan jauh (safar) dan shalat khauf jika dalam keadaan perang.

Shalat jama’, qashar dan khauf merupakan jenis shalat yang dapat

dikerjakan dalam keadaan tertentu dan merupakan kemurahan yang Allah berikan

kepada umat Islam agar dapat melaksanakan shalat dengan lebih mudah dalam

kondisi apapun. Namun dalam kenyataan kehidupan sekarang banyak ditemukan

keadaan-keadaan yang lebih menyulitkan dibandikan perjalanan jauh. Untuk

memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf dharuriyat (kebutuhan esensial),

menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai sopir

taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dokter, pasien, terjebak

dalam kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan kesulitan untuk

menunaikan kewajiban shalat pada waktunya, sehingga menimbulkan berbagai

macam pendapat pelaksanaan shalat dalam kondisi demikain. Begitu pula halnya

dengan kondisi peperangan, perbedaan pendapat juga terdapat dalam masalah

shalat khauf, yakni apakah shalat ini masih bisa dilakukan dalam kondisi

|1
peperangan yang terjadi saat ini ataukah hanya berlaku ketika Nabi masih hidup

saja.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian untuk merespon realitas yang

terjadi saat ini. Dalam makalah ini penulis akan mengkaji mengenai shalat dalam

perjalanan (safar: jama’ dan qashar) dan shalat dalam keadaan takut dalam

keadaan peperangan (khauf) dengan merujuk kepada QS. An-Nisa ayat 101-103.

B. SURAH AN-NISA AYAT 101-103, TAFSIR MUFRADAT, DAN ASBAB AN-

NUZUL

1. Surah An-Nisa Ayat 101-102

‫صلَ ٰو ِة ِإ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم أَن‬ َّ ‫ص ُرواْ ِمنَ ٱل‬ ُ ‫علَ ۡي ُك ۡم ُجنَا ٌح أَن تَ ۡق‬ َ ‫س‬ َ ‫ض فَلَ ۡي‬ِ ‫ض َر ۡبت ُ ۡم ِفي ٱ ۡۡل َ ۡر‬ َ ‫َو ِإذَا‬
ْۚ
‫ت‬ َ ۡ‫نت فِي ِه ۡم فَأَقَم‬ َ ‫ َو ِإذَا ُك‬١٠١ ‫عد ُّٗوا ُّم ِب ّٗينا‬ َ ‫يَ ۡف ِتنَ ُك ُم ٱلَّذِينَ َك َف ُر ٓواْ ِإ َّن ٱ ۡل ٰ َك ِف ِرينَ َكانُواْ لَ ُك ۡم‬
‫س َجد ُواْ فَ ۡل َي ُكونُواْ ِمن‬ َ ‫ة ِم ۡن ُهم َّمعَ َك َو ۡليَ ۡأ ُخذ ُ ٓواْ أَ ۡس ِل َحت َ ُه ۡ ۖۡم فَإِذَا‬ٞ َ‫طآئِف‬َ ‫صلَ ٰوة َ فَ ۡلت َقُ ۡم‬ َّ ‫لَ ُه ُم ٱل‬
‫صلُّواْ َم َع َك َو ۡل َي ۡأ ُخذُواْ ِح ۡذ َر ُه ۡم َوأ َ ۡس ِل َحت َ ُه ۡ ۗۡم‬ َ ُ‫صلُّواْ فَ ۡلي‬ َ ُ‫طآئِفَةٌ أ ُ ۡخ َر ٰى لَ ۡم ي‬ َ ‫ت‬ ِ ‫َو َرآ ِئ ُك ۡم َو ۡلت َ ۡأ‬
‫ع َل ۡي ُكم َّم ۡيلَ ّٗة ٰ َو ِحدَ ّْٗۚة َو ََل‬َ َ‫ع ۡن أ َ ۡس ِل َح ِت ُك ۡم َوأ َ ۡم ِت َع ِت ُك ۡم فَيَ ِميلُون‬
َ َ‫َودَّ ٱلَّذِينَ َكفَ ُرواْ َل ۡو تَ ۡغفُلُون‬
ْ‫ضعُ ٓواْ أ َ ۡس ِل َحت َ ُك ۡ ۖۡم َو ُخذُوا‬ َ َ ‫ض ٰ ٓى أَن ت‬ َ ‫ط ٍر أ َ ۡو ُكنتُم َّم ۡر‬ َ ‫علَ ۡي ُك ۡم ِإن َكانَ ِب ُك ۡم أَ ّٗذى ِمن َّم‬ َ ‫ُجنَا َح‬
‫صلَ ٰوة َ فَٱ ۡذ ُك ُرواْ ٱ َّّللَ قِ ٰيَ ّٗما‬ َّ ‫ض ۡيت ُ ُم ٱل‬
َ َ‫ فَإِذَا ق‬١٠٢ ‫عذَابّٗ ا ُّم ِه ّٗينا‬ َ َ‫عدَّ ِل ۡل ٰ َك ِف ِرين‬
َ َ ‫ِح ۡذ َر ُك ۡ ۗۡم ِإ َّن ٱ َّّللَ أ‬
‫علَى‬ َ ‫صلَ ٰوة َ َكان َۡت‬ َّ ‫صلَ ٰو ْۚة َ إِ َّن ٱل‬َّ ‫علَ ٰى ُجنُوبِ ُك ْۡۚم فَإِذَا ٱ ۡط َم ۡأنَنت ُ ۡم فَأَقِي ُمواْ ٱل‬ َ ‫َوقُعُودّٗ ا َو‬
١٠٣ ‫ٱ ۡل ُم ۡؤ ِمنِينَ ِك ٰت َبّٗ ا َّم ۡوقُو ّٗتا‬
2. Tafsir Mufradat

‫ض‬ ْ ‫ ض ََر ْبت ُ ْم فِي‬: kalian bepergian di muka bumi, karena orang musafir memukul
ِ ‫األر‬
tanah dengan kedua kakinya dan tongkatnya atau dengan kaki-
kaki kendaraannya.
‫قصَرتٌ الشًيئ‬ : saya memendekkan sesuatu
ْ‫الجُناح‬ : kesempitan. Diambil dari kata juniha al-ba’ir yang berarti
‘pecah tulang rusuknya’ karena berat bebannya.
‫يَفتنكْم‬ : menyakiti kalian dengan membunuh atau lain sebagainya.
‫اقامة الصالة‬ : pengingatan yang dengan itu seseorang dipanggil
untuk memasuki shalat.
َ‫االسلحة‬ : setiap alat yang digunakan untuk berperang

|2
‫قضيتم الصالة‬ : kalian telah melakukan shalat
‫فاقيم الصال ة‬ : lakukanlah shalat dengan menyempurnakan rukun dan syaratnya
‫كتابا موقوتا‬ : suatu fardhu yang telah ditetapkan harus dilakukan dalam
waktu-waktu tertentu.1

3. Asbab an-Nuzul

Surah an-Nisa ayat 101 diturunkan karena ada salah satu dari kaum bani

Najjar yang bertanya kepada Nabi Muhammad. Mereka bertanya wahai Rasul

Allah, kita sering melakukan perjalanan jauh bagaimana cara kami melakukan

shalat? Pada waktu itu Nabi belum menemukan jawabannya, kemudian Allah

menurunkan Surah an-Nisa ayat 101 yang merupakan jawaban dari pertanyaan

tersebut, isi dari surah an-Nisa ayat 101 adalah:

ِ‫صلَ ٰوة‬ ُ ‫علَ ۡي ُك ۡم ُجنَا ٌح أ َن ت َ ۡق‬


َّ ‫ص ُرواْ ِمنَ ٱل‬ ِ ‫ض َر ۡبت ُ ۡم فِي ٱ ۡۡل َ ۡر‬
َ ‫ض فَلَ ۡي‬
َ ‫س‬ َ ‫َوإِذَا‬
“ketika kamu melakukan perjalanan di bumi (msuafir) tidaklah berdosa

bagimu untuk melakukan qashar shalat”

ُ ‫أَن ت َۡق‬
َّ ‫ص ُرواْ مِ نَ ٱل‬
Setelah ayat tersebut diturunkan sampai pada perkataan ِ‫صلَ ٰوة‬

Sebagai jawaban atas pertanyaan Bani Najjar, baru satu tahun kemudian ketika

Nabi melakukan perang dengan orang-orang kafir dan sedang melaksanakan

shalat zuhur, orang-orang kafir berkata pada teman-teman mereka untuk segera

menyerang Nabi dan sahabatnya pada saat melakukan shalat zuhur, karena

menurut pemahaman mereka shalat adalah hal yang paling berharga menurut

orang Islam melebihi apapun di dunia ini bahkan nyawanya sendiri, baru

kemudian diturunkan ayat selanjutnya yaitu:

ْۚ
َ ‫إِ ۡن ِخ ۡفت ُ ۡم أَن يَ ۡفتِ َن ُك ُم ٱلَّذِينَ َكفَ ُر ٓواْ إِ َّن ٱ ۡل ٰ َك ِف ِرينَ َكانُواْ لَ ُك ۡم‬
‫عد ُّٗوا ُّمبِ ّٗينا‬
1
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz IV, (Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 1993), hal. 226-229

|3
“jika kamu takut fitnah (diserang) orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-

orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

Kemudian penjelasan bagaimana tatacara melakukan shalat saat berperang

dijelaskan pada ayat berikutnya yaitu: surah an-Nisaya ayat 102.

‫ة ِم ۡن ُهم َّم َع َك َو ۡليَ ۡأ ُخذُ ٓواْ أ َ ۡس ِل َحتَ ُه ۡ ۖۡم فَإِذَا‬ٞ َ‫طآئِف‬


َ ‫ص َل ٰوة َ فَ ۡلتَقُ ۡم‬ َّ ‫ت َل ُه ُم ٱل‬ َ ‫نت ِفي ِه ۡم فَأَقَ ۡم‬ َ ‫َو ِإذَا ُك‬
ۡ
ْ‫صلُّواْ َمعَ َك َو ۡليَأ ُخذ ُوا‬ ۡ
َ ُ‫صلُّواْ فَ ۡلي‬ َ ُ‫طآئِفَةٌ أ ُ ۡخ َر ٰى َل ۡم ي‬ َ ‫ت‬ ِ ‫س َجد ُواْ فَ ۡل َي ُكونُواْ ِمن َو َرآ ِئ ُك ۡم َو ۡلتَأ‬ َ
‫علَ ۡي ُكم‬ َ َ
َ َ‫ع ۡن أ ۡس ِل َحتِ ُك ۡم َوأ ۡمتِ َعتِ ُك ۡم فَ َي ِميلُون‬ َّ َ
َ َ‫ِحذ َر ُه ۡم َوأ ۡس ِل َحت َ ُه ۡ ۗۡم َودَّ ٱلذِينَ َكفَ ُرواْ لَ ۡو ت َ ۡغفُلُون‬ ۡ
ْۚ
ْ‫ضعُ ٓوا‬ َ َ ‫ض ٰ ٓى أَن ت‬ َ ‫ط ٍر أَ ۡو ُكنتُم َّم ۡر‬ َ ‫ع َل ۡي ُك ۡم ِإن َكانَ ِب ُك ۡم أ َ ّٗذى ِمن َّم‬ َ ‫َّم ۡيلَ ّٗة ٰ َو ِحدَ ّٗة َو ََل ُجنَا َح‬
١٠٢ ‫عذَابّٗ ا ُّم ِه ّٗينا‬ َ َ‫عدَّ ِل ۡل ٰ َك ِف ِرين‬َ َ ‫أ َ ۡس ِل َحت َ ُك ۡ ۖۡم َو ُخذُواْ ِح ۡذ َر ُك ۡ ۗۡم ِإ َّن ٱ َّّللَ أ‬
Artinya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata,
kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan
serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang,
lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga
dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.
Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat
sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap
siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu. 2

dan kemudian dilanjutkan surah an-Nisa ayat 103.3

C. TAFSIR SURAH AN-NISA AYAT 101 - 103

a. SHALAT QASHAR DAN JAMA’

Penafsiran surat an nisa’ ayat 101 yang menjelaskan diperbolehkannya


melakukan qasar salat bagi orang yang sedang bepergian (musafir), ditafsirkan
dengan penafsiran yang berbeda-beda, perbedaan penafsiran ini terjadi karena

2
Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 5
(Damaskus: Dar al-Fikr al-Muasir, 1418), hal. 235
3
Sahkholid Nasution, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Tafsir II), (Medan: La-Tansa Press, 2011),
hal. 13

|4
terjadinya perbedaan pendapat dalam mendefinisikan arti dari qasar itu sendiri,
secara garis besar perbedaan dalam mengartikan qasar dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pendapat pertama mengartikan kata qasar dengan arti mengurangi bilangan
rakaat salat, sehingga yang asalnya empat rakaat menjadi dua rakaat.
2. Pendapat kedua mengartikan kata qasar dengan arti mengurangi tatacara
melakukan salat, sehingga yang asalnya ada rukuk, sujud dapat digantikan
dengan isyarat saja.4
Masing-masing dari kedua pendapat tersebut memiliki tendensi yang jelas dari
hadis Nabi, pendapat pertama yang menyatakan bahwa kata qasar yang dimaksud
adalah mengurangi jumlah rakaat salat berpedoman pada hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim:
ُ ‫علَي ُكمْ ُجنَاحٌْأَنْت َق‬
ْ‫ص ُروا‬ َ ‫َطابْْ }لَي‬
َ ْ‫س‬ َْ ‫عنْْ َيعلَىْبنْْأ ُ َميَّ ْةَْقَا‬
َّ ‫لْقُلتُْْلعُ َم َْرْبنْْالخ‬ َ ْ‫َّْللاْبنْْبَا َبيه‬
َّ ‫عبد‬
َ ْْ‫عن‬
َ ْ‫ار‬ َ ْ‫عنْْابنْْأَبي‬
ٍ ‫ع َّم‬ َ
َّ َّ‫صل‬
ُْ‫ىَّْللا‬ َ ْ ‫َّْللا‬
َّ ‫سو َل‬ َ ُ‫سأَلت‬
ُ ‫ْر‬ َ َ‫عجبتَ ْمنه ُْف‬
َ ْ‫عجبتُ ْم َّما‬
َ ْ‫ل‬ ُ َّ‫ص ََلة ْإن ْخفتُم ْأَن ْ َيفتنَ ُكم ْالَّذينَ ْ َكف َُروا { فَقَد ْأَمنَ ْالن‬
َْ ‫اس ْفَقَا‬ َّ ‫من ْال‬
5 َ
.ُ‫ص َدقت َ ْه‬َ ْ‫علَي ُكمْفَاقْ َبلُوا‬
َ ْ‫َّْللاُْب َها‬ َ َ ‫ص َدقَةٌْت‬
َّ َ‫صدَّق‬ َ ْ‫ل‬ َ ْ‫س َّل َم‬
َْ ‫عنْْذَلكَ ْفَقَا‬ َ ‫ْو‬َ ‫علَيه‬
َ
Dari Ya’la ibn Umayyah, dia berkata pada ‘umar ibn khattab bagaimana kita
melakukan qasar salat padahal sekarang kita dalam keadaan aman (tidak
berperang) padahal dalam surat an nisa‟ ayat 101 telah dijelaskan bahwa qasar
dilakukan bila ada unsur takut terkena fitnah dari orang kafir, lalu ‘umar ibn
khattab menjawab, aku juga pernah merasa heran seperti apa yang kamu
herankan, lalu saya bertanya kepada Nabi Muhammad, kemudian Nabi
Muhammad menjawab “qasar adalah merupakan sedekah dari Allah kepada
kalian semua, maka terimalah sedekah tersebut.

Berdasarkan hadis ini, dapat dipahami bahwa arti qasar adalah mengurangi jumlah
rakaat salat, karena orang yang bertanya sebenarnya telah memahami bahwa
dalam surat an nisa‟ ayat 101 qasar dilaksanakan saat terjadi kekacaun (tidak
aman) namun pada waktu yang lain qasar juga dilaksanakan pada saat tidak ada
kekacauan (masa aman) dan jawaban Nabi yang menyatakan qasar adalah sedekah
yang diberikan pada umat islam menunjukkan bahwa qasar yang ada dalam ayat
juga merupakan bagian dari qasar yang dilakukan saat aman, disamping itu kata
min dalam perkataan min al-Shalat menunjukkan arti tab’id (menunjukkan arti
sebagian) yang mengindikasikan bahwa salat yang asalnya empat rakaat setelah

4
Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (tt: Maktabah al-Asriyah, 2002), hal. 316
5
Muslim, Shahih Muslim, Juz I,(Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.th), hal. 487

|5
diqasar menjadi dua rakaat, ini membuktikan bahwa arti dari qasar yang dimaksud
adalah mengurangi jumlah rakaar salat.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa arti qasar dalam ayat tersebut
menunjukkan arti mengurangi tatacara melakukan salat yang asalnya terdapat
rukuk dan sujud dapat diganti dengan isyarat, berpedoman pada hadis yang
diriwayatkan dari ‘abd al-Rahman bin Aby Laila dari „umar, ia berkata bahwa
salat saat bepergian, salat id baik fitri maupun adha adalah dua rakaat secara
sempurna tanpa diqasar berdasarkan sabda Nabimu.
Berdasarkan hadis ini maka yang dimaksud qasar adalah qashr al-sifah

(mengurangi tatcara salat) yang asalnya harus melakukan rukuk, sujud secara

sempurna dalam keadaan bepergian dan ketakutan dapat digantikan dengan isyarat
6
saja. Perbedaan penafsiran arti dari qasar inilah yang menjadi akar terjadinya

perbedaan pendapat tentang hukum melakukan qasar salat saat bepergian menurut

ulama fiqh.

Perbedaan dalam mengartikan kata qasar memberikan implikasi

pemahaman yang berbeda diantara ulama fiqh tentang qasar salat itu sendiri,

apakah bagi orang yang sedang bepergian belah melakukan salat secara sempurna

(empat rakaat) atukah diharuskan melakukan qasar sehingga bila melakukan salat

secara sempurna (empat rakaat) dianggap tidak sah salatnya dan harus mengulang

kembali.

(1)Pendapat ulama fiqh yang menyatakan boleh memilih antara qasar dan itmam

(menyempurnakan salat menjadi empat rakaat).

Pendapat ini dikemukakan oleh al-Imam al-Syafi’i yang didukung oleh jumhur

al-Ulama, para ulama yang menyatakan boleh memilih antara

6
Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (tt: Maktabah al-Asriyah, 2002), hal. 316

|6
menyempurnakan salat dan melakukan qasar salat saat bepergian berpedoman

pada kata

artinya : tidaklah berdosa bagimu untuk melakukan qasar salat. Penjelasan ayat

tersebut menunjukkan adanya kelonggaran untuk memilih antara melakukan

qasar dan tidak, hal ini dikuatkan dengan adanya salah satu hadis yang

diriwayatkan oleh al-Daruqutniy dari ‘Aishah : bahwasanya Aishah pernah

suatu ketika melakukan umrah bersama Nabi dari Madinah ke Makkah, pada

saat sampai di Makkah Aishah bertanya kepada Nabi, ya Rasul Allah, engkau

melakukan qasar salat sedangkan aku menyempurnakannya, engkau tidak

berpuasa sedangkan aku melakukan puasa, lalu pertanyaan tersebut dijawab

oleh Nabi Muhammad dengan jawaban, engkau (Aishah) telah melakukan

kebaikan, dan engkau (Aishah) tidak perlu mencela apa yang aku lakukan.7

Berdasarkan hadis diatas memberikan pemahaman bahwa melakukan qasar

salat saat bepergian adalah merupakan pilihan yang bisa dilakukan umat islam,

dan pilihan yang dilakukan baik antara melakukan qasar salat dan

menyempurnakannya adalah sah dan tidak perlu mengulangi salat yang telah

dilakukan.

(2)Pendapat ulama fiqh yang menyatakan harus melakukan qasar.

Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad,

mereka menyatakan bahwa orang yang bepergian dan melakukan salat empat

rakaat selain magrib maka salat yang dilakukan dianggap tidak sah dan harus

diulangi kembali, karena menurut mereka salat bagi orang yang bepergian

7
Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Jilid 5, hal.
238

|7
adalah dua rakaat sebagaimana hadis yang menjelaskan bahwa salatnya orang

yang bepergian adalah dua rakaat tanpa qasar. Pendapat yang dikemukakan

oleh Abu Hanifah hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Imam Malik, menurut Iamam Malik seseorang yang bepergian dan melakukan

salat empat rakaat tanpa diqasar harus mengulangi salat yang telah dikerjakan

selama waktu salat tersebut belum habis, bila waktunya sudah habis misalkan

salat zuhur sudah memasuki waktu ashar maka salat zuhur yang dikerjakan

dengan tanpa diqasar tidak perlu diulangi lagi.8

Surat an nisa ayat 101 tidak menjelaskan secara detail kriteria bepergian

yang diperbolehkan malakukan qasar salat, oleh karena itu perlu diperjelas

pengertian yang terkandung dalan suatu ayat dengan menggunakan hadis Nabi,

karena salah satu fungsi dari hadis Nabi adalah sebagai bayan al-Tafsiri yaitu

fungsi hadis untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an

yang masih global, memberikan batasan terhadap ayat-ayat yang bersifat mutlak,

dan memberikan takhsis (penghususan) terhadap ayat-ayat yang bersifat umum.9

Dalam surat an nisa hanya disebutkan kata ‫ ضربتم فى اۡلرض‬yang diartikan dengan

al sair fiha (melakukan perjalanan dimuka bumi) tanpa disertai seberapa jauh

perjalanan yang harus ditempuh agar bisa melakukan qasar salat, begitu juga

dalam ayat tersebut tidak dijelaskan bepergian yang bagaimanakah yang bisa

mendapatkan dispensasi melakukan qasar salat.

8
Ahmad bin Aly Abu Bakar al-Razi al-Jasas al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 3 (Beirut: Dar
Ihya al-Turats, 1405 , hal. 323
9
Muhamadiyah Amin, Ilmu Hadits, (Gorontalo: Sultan Amal Press, 2008), hal. 19

|8
Penentuan berapa jauh perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang yang

menjadi musafir agar bisa mendapat dispensasi qasar salat dijelaskan oleh

beberapa pendapat ulama yang bersumber dari hadis Nabi diantaranya :

1. Pendapat Abu Hanifah.

Menurut pendapat Abu Hanifah, seorang musafir bisa melakukan qasar salat

apabila perjalanan yang ditempuh mencapi perjalanan tiga hari tiga malam

dengan menggunakan unta atau berjalan kaki didarat, begitu juga bila

perjalanan dilakukan dilautan dengan menggunakan perahu dalam kondisi

angin yang stabil. Pendapat Abu Hanifah ini bertendensi pada hadis yang

diriwayatkan oleh Ahmad dari ‘Auf bin Malik al-Asjaiy yaitu:

‫ والمسافر ثالثة ايام‬،‫يمسح المقيم يوما وليلة‬

artinya : orang yang muqim (tidak bepergian) boleh membasuh muzah (sejenis

sepatu yang terbuat dari kulit) selama sehari semalam, sedangkan orang yang

bepergian diperbolehkan membasuh muzah selama tiga hari, hal ini juga

dikuatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa seorang wanita tidak boleh

bepergian selama tiga hari dengan tanpa ditemani mahramnya. 10 Penjelasan

dari dua hadis diatas memberikan pengertian seseorang bisa dianggap musafir

bila telah menempuh perjalanan selama tiga hari tiga malam dengan

menggunakan unta, atau berjalan kaki maupun naik perahu. Bila perjalanan

yang ditempuh belum mencapai tiga hari tiga malam maka tidak dianggap

sebagai musafir. Menurut penelitian al-Marhum Ahmad al-Hasani Bik dalam

karyanya Dalil al-musafir, pendapat Abu Hanifah tersebut bila dihitung

10
Al-Zuhaily, Tafsir al-Munir, Jilid 5, hal. 241

|9
menggunakan ukuran kilo meter, maka perjalanan yang harus ditempuh agar

bisa melakukan qasar salat adalah 81 KM.11

2. Pendapat Syafi’i, Maliki dan Hambali.

Pendapat tiga imam ini menyatakan seorang yang bepergian bisa melakukan

qasar salat bila perjalan yang ditempuh mencapai empat burud (sebuah ukuran

yang digunakan pada masa itu) dan tiap satu burud sama dengan empat

farsakh. Pendapat ini bertendensi pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh

Daruqutny dari Ibn ‘Abbas bahwasannya Nabi pernah besabda : Wahai Ahli

Makkah janganlah kamu melakukan qasar salat dalam perjalanan yang kurang

dari empat burud yaitu perjalan dari Makkah ke ‘Usfan. berdasarkan hadis ini

menurut pendapat tiga imam diatas seorang musafir diperbolehkan melakukan

qasar salat bilah perjalanan yang ditempuh telah mencapai empat burud.

Menurut penelitian al-Marhum Ahmad al-Hasani Bik, empat burud bila diukur

menggunakan ukuran kilo meter menjadi sekitar 89 KM.12

Adapun mengenai shalat jama’ adalah menggabungkan antara shalat Ashar

dengan Zuhur dan Maghrib dengan Isya, baik itu dilakukan lebih awal pada waktu

shalat yang pertama (zuhur dan maghrib) atau diakhirkan pada waktu yang kedua

(Ashar dan Isya). Bila dilakukan pada waktu yang pertama disebut jama’ taqdim

dan bila dilakukan pada waktu yang kedua disebut jama’ ta’khir.

11
Ahmad bin Musthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Jilid 5, Mesir: Syirkah Maktabah
Mathba’ah Musthafa al-Bab, 1949), hal. 140
12
Ibid, hal. 140

| 10
Dibolehkan seseorang itu menjama’ shalat Zuhur dengan Ashar baik

secara taqdim maupun ta’khir, begitupun dibolehkan menjamak Maghrib dengan

Isya bila ditemukan salah satu di antara hal-hal berikut ini:13

a. Menjama ’ di Arafah dan Mudzdalifah


Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat Zuhur dan Ashar secara taqdim
pada waktu zuhur di Arafah begitu pun antara Maghrib dan Isya secara
ta’khir di Mudzdalifah hukumnya sunat, berpedoman kepada apa yang
dilakukan oleh Rasulullah saw.
b. Menjama Dalam Bepergian
Menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu dari kedua waktu itu,
menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaaan,
apakah dilakukannya itu sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan.
c. Menjama’ di waktu Hujan
Dalam sunannya Al Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin
Abdurrahman mengatakan bahwa termasuk sunnah Nabi saw. Menjama’ shalat
Maghrib dengan Isya apabila hari hujan lebat.
d. Menjama’ Sebab Sakit Atau Uzur
Imam Ahmad, Qadhi Husein, Al Khathabi dan Al Mutawalli dari golongan
Syafi’i membolehkan menjama’ baik takdim ataupun ta’khir disebabkab sakit,
dengan alasan karena kesukaran pada waktu itu lebih besar dari kesukaran di
waktu hujan. Ulama-ulama Hanbali memperluas keringan ini, hingga mereka
membolehkan pula menjama’ baik taqdim mapun ta’khir karena pelbagai
macam halangan dan juga ketakutan. Mereka membolehkan orang yang sedang
menyusui bila sukar baginya buat mencuci kain setiap hendak shalat. Juga
untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang ditimpa silsalatul
baul (kencing berkepanjangan), orang yang tidak dapat bersuci yang
mengkhawatirkan bahaya bagi dirinya pribadi, bagi harta dan kehormatannya,
juga bagi orang yang takut.

Dasar hukum bolehnya menjama’ shalat terdapat dalam Hadis Nabi

SAW, di antara hadis yang menjelaskan tentang menjama’ shalat adalah sebagai

berikut:

ْ‫عن‬
َ ٍْ‫سعد‬ ُ ‫ضالَ ْةَْ َواللَّي‬
َ ُْْ‫ثْبن‬ َ َ‫لْبنُْْف‬ َّ َ‫الرمليْْال َهم َدانيْْ َح َّدثَنَاْال ُمف‬
ُْ ‫ض‬ َّ ْ‫ب‬
ٍْ ‫َّللاْبنْْ َمو َه‬ َ ْْ‫َح َّدثَنَاْيَزْي ُْدْبنُْْخَالدْْبنْْيَزي َْدْبن‬
َّْ ْْ‫عبد‬
ْ‫سلَّ َمْ َكانَ ْفيْغَز َوة‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ْو‬ َّْ ْ‫صلَّى‬
َ ُْ‫َّللا‬ َ ْ‫َّللا‬ َ ‫عنْ ُم َعاذْبنْْ َج َب ٍلْأ َ َّن‬
َّْ َْ‫ْرسُول‬ َ ْ‫عنْأَبيْالطفَيل‬
َ ْ‫عنْأَبيْالز َبير‬
َ ٍْ‫سعد‬
َ ْْ‫هشَامْبن‬
ْ‫سْأ َ َّخ َرْالظه َرْ َحتَّى‬ َّ ‫ْوإنْيَرت َحلْقَبلَْأَنْت َزْيغَْال‬
ُ ‫شم‬ َ ‫سْقَبلَْأَنْيَرت َحلَْ َج َم َعْبَينَ ْالظهر‬
َ ‫ْوالعَصر‬ َّ ‫تَبُوكَ ْإذَاْزَ اغَتْال‬
ُ ‫شم‬

13
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1983) Cet. Ke-10, Jilid I, hal. 290

| 11
ْ‫ْوإنْ َيرت َحلْقَبلَْأَن‬ َ ‫سْقَبلَْأَنْ َيرت َحلَْ َج َم َعْ َبينَ ْال َمغرب‬
َ ‫ْوالعشَاء‬ َّ ‫ْوفيْال َمغربْمثلُْذَلكَ ْإنْغَا َبتْال‬
ُ ‫شم‬ َ ‫َينزلَْلل َعصر‬
14
َ ‫سْأ َ َّخ َرْال َمغر‬
.‫بْ َحتَّىْيَنزلَْللعشَاءْث ُ َّمْ َج َم َعْبَينَ ُه َما‬ َّ ‫يبْال‬
ُ ‫شم‬ َ ‫ت َغ‬
Yazid ibn Khalid ibn Yazid ibn Abdillah ibn Mauhab al-Ramliy al-
Hamdaniy menceritakan kepada kami, Al-Mufadhal ibn Fadhalah dan Laits ibn
Jabal menceritakan kepada Kami, (diterima) dari Hisyam ibn Sa’ad (diterima)
dari Abi al-Zubair (diterima) dari Abi al-Thufail (diterima) dari Muadz ibn Jabal,
bahwa Rasulullah s.a.w. pada waktu perang Tabuk menjama’ antara shalat
zhuhur dan ashar (jama’ taqdim) apabila berangkat setelah matahari tergelincir.
Dan bila berangkat sebelum matahari tergelincir beliau mengakhirkan zhuhur di
waktu ashar. Begitu pula dengan shalat maghrib, apabila matahari telah
terbenam sebelum beliau berangkat maka beliau menjama’ maghrib dan Isya
(dengan jama’ taqdim), dan bila beliau berangkat sebelum matahari terbenam,
beliau mengakhirkan Magrib di waktu Isya dan menjama’ keduanya (jama’
ta’khir).
ْ‫ْواثلَةَ ْأ َ َّن ْ ُمعَاذَ ْبنَ ْ َجبَ ٍل ْأَخبَ َرهُ ْأَنَّ ُهم ْخ ََر ُجواْ َم َع‬ َ ْ ‫عن ْأَبيْالطفَيل‬
َ ‫عامر ْبن‬ َ ْ ‫عن ْأَبيْالزبَير ْال َمكي‬ َ ْ‫وْ َح َّدثَني‬
َ ْ‫عن ْ َمالك‬
ْْ‫سلَّ َم ْيَج َم ُْع ْبَينَْ ْالظهرْ ْ َوالعَصرْ ْ َوال َمغرب‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ْو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ُْ‫ىَّْللا‬ َّ ‫سو ُل‬
َْ ْ ‫َّْللا‬ َ َ‫ام ْتَبُوكَ ْفَ َكان‬
ُ ‫ْر‬ َ ‫ع‬َ ْ ‫سلَّ َم‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ْو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ُْ‫ىَّْللا‬ َ ْ ‫َّْللا‬
َّ ‫سول‬
ُ ‫َر‬
َ ‫صلَّى ْال َمغر‬
ْ‫ب ْ َوالعشَا َْء‬ َ َ‫صلَّى ْالظه َْر ْ َوال َعص َْر ْ َجمي ًعا ْث ُ َّم ْ َد َخ َل ْث ُ َّم ْخ ََر َج ْف‬ َّ ‫ل ْفَأ َ َّخ َر ْال‬
َ َ‫ص ََلة َْ َيو ًما ْث ُ َّم ْخ ََر َج ْف‬ َْ ‫َوالعشَاءْ ْقَا‬
15
.‫َجميعًا‬
Imam Malik (menerima) dari Abi al-Zubair al-Makiy, (diterima) dari Abi Al-
Thufail, Amir ibn Watsilah, bahwa Muadz ibn Jabal memberitakan kepadanya:
bahwasanya mereka pada waktu perang Tabuk keluar (berperang) bersama
Rasulullah s.a.w., lalu Rasulullah s.a .w. menjama’ shalat zhuhur dan ashar serta
maghrib dan Isya (jama’ taqdim). Muadz bin Jabal berkata: pada suatu hari
beliau mengakhirkan shalat, lalu beliau keluar melakukan shalat zhuhur dan
ashar dengan jama’ (ta’khir). Kemudian beliau masuk (ke tempat beliau).
Setelah itu beliau keluar kembali, lalu shalat maghrib dan Isya dengan jama’
(ta’khir).
َّ ‫سو ُل‬
ْ‫َّْللا‬ َ َّ‫صل‬
ُ ‫ىْر‬ َْ ‫َّاس ْقَا‬
َ ْ‫ل‬ ٍ ‫عب‬ َ ْ ْ‫عنْ ْابن‬
َ ْ ‫سعيد ْبنْ ْ ُجبَي ٍر‬ َ ْ ْ‫عنْ ْأَبي ْالزبَير‬
َ ْ ْ‫عن‬ َ ْ ٍْ‫علَى ْ َمالك‬ َْ ‫َح َّدثَنَا ْيَحيَى ْبنُْ ْيَحيَى ْقَا‬
َ ْ ُْ‫ل ْقَ َرأت‬
َ ْ‫ْو ََل‬
. ‫سف ٍَْر‬ َ ٍ‫ْوالعشَا َءْ َجمي ًعاْفيْغَيرْخَوف‬ َ ‫ب‬َ ‫اْوال َمغر‬
َ ‫ْوال َعص َرْ َجمي ًع‬ َ ‫سلَّ َمْالظه َر‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ْو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ُْ‫ىَّْللا‬
16
َ
Yahya ibn Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku membacakan
(hadis) kepada Malik, (diterima ) dari Abi Al -Zubair, (diterima) dari Sa’id ibn
Al-Jubair, (diterima) dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah s.a .w., shalat

14
Abu Daud, Sunan Abu Daud (Bairut: al-Maktabah al-Asyriyah, t.th), Juz II, hal. 5
15
Malik bin Anas, Muwatha’ (t.tp: Muassasah Zaid ibn Sultan, 2004) Juz 2, hal. 197
16
Muslim, op.cit., hal. 490

| 12
zhuhur dan ashar dengan jama’, serta maghrib dan isya d engan jama, padahal
tidak dalam keadaan ketakutan dan tidak pula dalam perjalanan. Abu
Zubair berkata: aku bertanya kepada Sa’id mengapa demikian? Sa’id
berkata: aku bertanya kepada Ibn Abbas sebagaimana yang kamu
tanyakan, maka Ibn Abbas berkata: supaya tidak memberatkan bagi umatnya.
َْ‫شعبَة‬
ُ ْ‫عن‬ ُ ْ‫غن َد ٍرْقَا َلْأَبُوْ َبك ٍرْ َح َّدثَنَاْ ُم َح َّمدُْبنُ ْ َجعف ٍَر‬
َ ْ‫غن َد ٌر‬ ُ ْ‫عن‬
َ ْ‫ارْك ََل ُه َما‬ ٍ ‫ش‬ َّ ‫ْو ُم َح َّمدُْبنُ ْ َب‬َ َ‫وْ َح َّدثَنَاهْأَبُوْ َبكرْبنُ ْأَبيْشَي َبة‬
َّ
ْ‫سل َم ْإذَا‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ْو‬ َ ْ ُ‫ىَّْللا‬
َّ ‫صل‬ َّ َّ ‫سو ُل‬
َ ْ ‫َّْللا‬ ُ ‫ْر‬َ َ‫ص ََلة ْفَقَا َل ْ َكان‬ َّ ‫عن ْقَصر ْال‬ َ ْ ٍ‫َس ْبنَ ْ َْمالك‬ َ
َ ‫سألتُ ْأن‬ َ َ ْ ‫عن ْيَحيَىْبن ْيَزي َد ْال ُهنَائي ْقَا َل‬ َ
. ْ‫ىْركعَت َين‬
17 َّ
َ ‫صل‬ َّ ُ ُ
َ ْ‫لْأوْثَلثةْْف َراسخَْشعبَةْالشاك‬ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ٍْ ‫يرْة َْثَلثةْْأميَا‬
َ ‫جْ َمس‬ َْ ‫خ ََر‬
Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Muhammad ibn Basyar menceritakan kepada
kami (keduanya (menerima) dari Ghundar), berkata Abu Bakar: Muhammad ibn
Ja’far Ghundar menceritakan kepada kami, (diterima ) dari Syu’bah, (diterima)
dari Yahya ibn Yazid al Hunaiy, ia berkata: aku bertanya kepada Anas ibn Malik
tentang masalah qashar shalat, lalu ia berkata : Rasulullah s.a.w., apabila keluar
untuk melakukan perjalanan sejauh tiga mil atau tiga farsakh (Syu’bah ragu mil
atau farsakh), maka beliau shalat dua rakaat (qashar).
ْ‫ص َّلى‬ َّ ‫َّاسْأ َ َّنْالنَّب‬
َ -ْ ‫ي‬ ٍ ‫عب‬َ ْ‫عنْابن‬
َ ْ‫عنْ َجابرْبنْزَ ي ٍد‬َ ْ‫َار‬
ٍ ‫عمروْبنْدين‬ َ ْ‫عن‬ َ ْ‫ْ َح َّدثَنَاْ َح َّمادٌْه َُوْابنُ ْزَ ي ٍد‬:َ‫َح َّدثَنَاْأَبُوْالنع َمانْقَال‬
َْ‫يرةٍ؟ْقَال‬ َ َ َّ َ َ
َ ‫ْلعَلهُْفيْليلةٍْ َمط‬: ُ‫ْفَقَا َلْأيْوب‬،‫ْوالعشَا َء‬َ ‫ب‬ َ ‫ْوال َمغر‬ َ ‫اْوث َ َمانيًاْالظه َر‬
َ ‫ْوالعَص َر‬ َ ً‫سبع‬ َ ْ‫صلَّىْبال َمدينَة‬ َ ْ-‫سلَّ َْم‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ْو‬ َ ُْ‫َّللا‬
َّ
.18‫سى‬ َ ‫ع‬ َ
Abu Nu’man menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad menceritakan
kepada Kami, (diterima) dari Amr ibn Dinar, (diterima) dari Jabir ibn Zaid,
(diterima) dari ibn ‘Abbas: Bahwa Nabi s.a.w. Shalat di Medinah tujuh rakaat
dan delapan rakaat: Zhuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya, lalu Ayyub
berkata: semoga hal itu pada malam yang turun hujan lebat, Jabir ibn Zaid
berkata: semoga.

Dari penjelasan ayat al-Quran tentang qashar maupun Hadis Nabi tentang

Jama’ dan qashar sebagaiman disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa shalat

qasahr merupakan rukhshah yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dalam

perjalanan musafir. Bila dilihat dari ayat yang berbicara masalah qashar shalat

maka tampaknya qashar itu hanya dibolehkan bagi orang yang bepergian atau

dalam perjalanan. Oleh karena itu hukum mengqashar shalat di saat mengalami

kemacetan dalam perjalanan bila melihat kepada keumuman ayat surat Annisa’

ayat 101 di atas boleh dilakukan. Ayat tersebut tidak ada memberikan batasan

17
Ibid, hal. 481
18
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (t.tp: Dar Tauqi al-Najah, 1422 H), Juz V, h. 114

| 13
perjalanan yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Adapun batasan

bolehnya mengqashar di dalam hadis juga terdapat perbedaan( ikhtilaf). Ada hadis

yang memberikan batasannya tiga mil dan ada pula tiga farsakh. Oleh karena itu

menurut penulis menjama’ shalat dengan alasan macet adalah boleh bila

dikhawatirkan waktu shalat akan luput. Adapun mengqashar shalat dengan alasan

kesibukan tidak boleh dilakukan karena tidak ada nash baik al-Quran maupun

hadis yang melegalkannya. Oleh karena itu bila seseorang mengalami situasi yang

sangat sibuk dan mendesak (seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien)

maka solusi yang dapat dilakukan adalah menjama’ shalat.

Perbuatan tersebut tidak boleh dijadikan kebiasaan, karena tujuannya

hanya menghilangkan kesulitan bagi manusia dalam menjalankan ibadahnya.

Misalnya seorang dokter yang melaksanakan operasi terhadap pasiennya yang

tidak bisa ditinggalkannya, atau seorang polisi lalu lintas yang mendapat giliran

tugas di jalan pada waktu menjelang Maghrib sampai setelah Isya (yang tentunya

juga tidak bisa ditinggalkan. Dalam keadaan seperti ini, baik dokter ataupun polisi

tersebut, boleh menjama’ shalatnya untuk menghilangkan kesulitan yang mereka

hadapi. Hal ini sejalan dengan kaidah usul:


19
.‫الحكم الثابت على خالف الدليل لعذر‬

“Hukum yang berlaku berdasarkan dalail yang menyalahi dalil yang ada

karena udzur”.

Sebab realitas sosiologis dan budaya masyarakat muslim kekinian, untuk

memenuhi hajat kehidupan yang bertaraf dharuriyat (kebutuhan esensial),

19
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Mustayfa, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), Juz I, hal. 354

| 14
menyangkut nafkah kehidupan, banyak yang bekerja sepenuh waktu, sebagai supir

taksi, karyawan pabrik, penambang, pekerja bengkel, pilot dan co pilot, dokter

dan pasien, terjebak kemacetan lalu lintas, dan lainnya yang mengakibatkan

mereka mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban shalat pada waktunya.

Dengan pola ta’alli (penentuan illat/sebab) terhadap hadis-hadis Nabi saw

berkenaan dengan rukhsah salat dalam bentuk menjamak salat dengan berbagai

keadaannya, maka kita secara penalaran dapat menghubungkan semua

problematika kekinian tersebut di atas, dengan kata kunci yang sama dengan

penyebab (illat) dibolehkannya menjamak shalat oleh Rasulullah saw, yaitu

karena masyaqqat (kesukaran/kesulitan). Hal ini sesuai dengan kaidah al-

masyaqqah tajlib at-taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan) dan ad-dhararu

yuzal (kemudharatan harus dihilangkan).

b. SHALAT KHAUF

Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat khauf berlaku secara umum,

tidak hanya khusus bagi Rasulullah.20 Hal itu didasarkan pada dua dalil yakni al -

Qur’an surah al-Nisa’ ayat 102. Alasan yang mendasari disyariatkannya shalat

khauf adanya kekhawatiran serangan mendadak dari musuh sementara umat Islam

sedang melakukan shalat berjama’ah seperti biasanya.

Untuk itu, Allah swt. melalui malaikat Jibril mengajarkan tata cara shalat

dalam kondisi berperang dengan tetap tidak menghilangkan nilai jama’ah yang

20
Sebagian Ulama seperti Abu Yusuf berpendapat bahwa shalat khauf merupakan
keistimewaan atau kekhususan Rasulullah SAW berdasarkan kata mufrad dalm surah an-Nisa ayat
102. Namun pendapat ini ditentang oleh dengan mengatakan bahwa para sahabat seperti Ali
bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Huzaifah melakukannya setelah Rasulullah tiada. Lihat:
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1418), Jilid II, Cet. IV, hal.
1458

| 15
mereka cintai melebihi anak-anak dan nyawa mereka sendiri. Karena shalat

berjama’ah merupakan ikatan yang kuat, kokoh dan kentinyu sehingga meskipun

dalam suasana mengkhawatirkan, menegangkan lagi mendebarkan, shalat khauf

tetap jalan akan tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan kebutuhan

keamanan. Alasan di atas menjadi sebab turunnya ayat 102 dari surah al-Nisa’.21

Hadis-hadis yang membahas tentang shalat khauf begitu banyak dan

beragam. Hal itu terjadi karena Rasulullah dan sahabat-sahabatnya melakukan

shalat khauf dalam beberapa peristiwa dan tempat seperti perang Dzat al-Riqa’

(peristiwa yang terjadi setelah perang khandaq), Bathn Nakhl (nama lokasi di

daerah Najd, khususnya Ghathfan), ‘Uspan (daerah yang terletak sekitar dua

marhalah dari Makkah), Dzi Qard (nama air yang mengalir dari Madinah dan

peristiwa ini terjadi sebelum perjanjian Hudaibiyah).22 Rasulullah melakukan

shalat khauf dalam semua peristiwa itu sebanyak 24 kali yang terkadang antara

satu shalat dengan shalat yang lain berbeda tata-caranya karena kondisi dan

suasana keamanan yang berbeda-beda pula.

Pada dasarnya, hadis-hadis yang berbicara tentang shalat khauf dan tata cara

nya beragam. Menurut Imam Nawawy, Abu Daud dan beberapa ulama

meriwayatkan tata-cara shalat khauf yang mencapai 16 cara. Bahkan al-Khattaby

mengatakan bahwa shalat khauf yang diperagakan Rasulullah bermacam-macam

pada waktu yang berbeda-beda dan bentuk yang berlainan satu sama lain karena

yang terpenting adalah cara mana yang paling hati-hati menjaga gerakan shalat

21
Ketiak Rasulullah berada di daerah ‘Usfan, orang-orang musyrik yang dipimpin oleh
Khalid bin Walid ingin menyerang Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dalam keadaan shalat,
maka turunlah ayat 102 surah an-Nisa. Lihat: Jalaluddin As-Suyuthi, Lubab an-Nuqul fi Asbab al-
Nuzul, (Mekkah: al-maktabah al-Taufiqiyah, t,th), h. 110.
22
Wahbah al-Zuhaily, al-fiqh al-Islami, Jilid II, op.cit, hal. 1458

| 16
dan paling ideal dalam penjagaan musuh. Meskipun bentuknya bermacam-macam

akan tetapi inti dan kandungannya sama. Imam Ahmad berkata semua hadis-hadis

shalat khauf shahih dan semuanya bisa diamalkan sesuai kebutuhan tingkat

kewaspadaan terhadap musuh.23 Menurut Ibnu Hajar al-Asqalan³ menyatakan

bahwa shalat khauf pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam beberapa tempat

yaitu pada saat perang Dzat al-Riqa’, perang Dzi Qard, perang Muharib dan

Tsa’labah.24 Adapun tata-cara shalat khauf antara lain sebagai berikut:

Pertama; tata cara shalat khauf menurut cara pertama adalah imam

membentuk dua shaf/barisan dimana salah satunya bersama imam sedangkan

barisan yang lain menghadap musuh. Maka imam shalat satu rakaat bersama shaf

dibelakangnya, kemudian saat rakaat kedua, imam tetap berdiri sedangkan barisan

di belakangnya menyempurnakan shalatnya hingga selesai kemudian bubar dan

berbaris di hadapan musuh. Sedangkan barisan kedua segera berbaris di belakang

imam yang akan melanjutkan rakaat kedua. Setelah selesai satu rakaat, imam

duduk untuk tahiyyat sambil menunggu barisan kedua menyempurnakan

shalatnya. Setelah barisan tersebut menyempurnakan shalatnya hingga tahiyyat

maka imam salam bersama mereka.25 Shalat Nabi bersama sahabatnya dengan

model di atas, dilakukan dalam perang Dzat al-Riqa' yang terjadi pada tahun

kelima hijrah Rasulullah dan dianggap oleh Imam Malik sebagai tata cara shalat

khauf yang paling baik.26

23
Jalaluddin al-Suyuthi, Syarh Suna al-Nasa’I, (Bairut: Dar al-Jail), Jilid II, hal. 167
24
Abi Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari,
(Bairut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), Jilid VIII, hal. 179
25
Ibid., hal. 185
26
Abu al-Walid Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad al-Bajiy, al-Muntaqa Syarah Muwatha’
Malik, (Bairut: Dar al-Kitab a-Araby, 1403H), Jilid I, hal. 449

| 17
Kedua; Shalat khauf berdasarkan cara kedua adalah imam shalat bersama

salah satu dari dua kelompok pasukan sedangkan kelompok yang lain berjaga-jaga

menghadap musuh. Setelah selesai satu rakaat kelompok pertama pergi

menggantikan kelompok kedua menghadap musuh sementara kelompok yang

kedua shalat bersama imam untuk rakaat keduanya hingga salam. Setelah imam

salam, kelompok pertama dan kedua menambah satu rakaat hingga salam.27

Dalam hadis ini, tidak dijelaskan bahwa kelompok pertama dan kedua bersamaan

menambah satu rakaat atau bergiliran sehingga Imam Ibnu Hajar mengatakan

bahwa yang paling tepat tata cara penambahannya adalah saling bergantian karena

jika bersamaan maka dapat menghilangkan subtansi dari shalat khauf yaitu

ketidakadaan penjagaan dan membiarkan sendirian menghadapi musuh, padahal

shalat khauf disyariatkan hanya untuk melindungi satu sama lain ketika shalat

berjamaah.28

Ketiga; Shalat khauf berdasarkan ketiga adalah Imam membagi pasukannya

dalam dua barisan, satu barisan shalat bersamanya sedangkan barisan yang lain

shalat berjaga-jaga. barisan pertama shalat bersama imam dua rakaat kemudian

sama-sama salam29 lalu barisan pertama pergi mengambil alih posisi barisan

kedua sementara barisan kedua berbaris dibelakang imam untuk shalat dua rakaat

juga hingga salam, sehingga imam memiliki empat rakaat sementara makmumnya

(barisan pertama dan kedua) hanya shalat dua rakaat saja. Dan tata cara shalat

semacam ini dipraktekkan oleh Rasulullah dalam perang Bathn Nakhl

27
Lihat: Abu al-‘Ala Muhammad Abd Rahman bin Abd Rahim al-Mubarakfury, Tuhfah al-
Ahwadzym (Bairut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M), Jilid III, hal. 133
28
Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Azhim Abady, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan
Abi Daud, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423 H/2002 M), hal. 136
29
Al-Mubarakfuri, op.cit., hal. 136

| 18
sebagaimana komentar al-Muzany, akan tetapi Ibnu Abd al-Bar mengatakan

bahwa shalat dengan cara di atas dilakukan oleh Rasulullah dalam perang Dzat al-

Raiqa'.30

D. KESIMPULAN

Alasan bolehnya mengqashar shalat lebih khusus dibandingkan dengan

menjama’ shalat. Mengqashar shalat hanya dikhususkan bila dalam perjalanan.

Oleh karena itu mengqashar shalat dalam keadaan macet dapat dilakukan untuk

menghilangkan uzur atau kesulitan. Adapun mengqashar shalat dengan alasan

kesibukan tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalil yang mendukungnya.

Menjama’ shalat lebih umum dari mengqashar shalat. Menjama’ shalat

boleh dilakukan karena alasan perjalanan, ketakutan, hujan lebat dan lain-lain.

Sehingga menjama’ shalat ketikan ada kesibukan dan kemacetan dapat dilakukan

bila uzur tersebut tidak dapat lagi dihindarkan, dengan syarat bahwa hal tersebut

tidak dijadikan kebiasaan.

Begitu pula dengan shalat khauf yang beragam tata caranya, diriwayatkan

mencapai 16 cara, yang terpenting adalah cara mana yang paling hati-hati

menjaga gerakan shalat dan paling ideal dalam penjagaan terhadap musuh.

Meskipun cara-caranya bermacam-macam akan tetapi inti dan kandungannya

sama, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW., pada beberapa tempat yaitu

pada saat perang dzat al-Riqa’, perang Dzi Qard, perang Muharib dan Tsa’labah.

30
Al-Azhim Abady, op.cit, hal. 77

| 19
DAFTAR PUSTAKA

Abi Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-
Bukhari, Jilid VIII, Bairut, Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M

Abu al-‘Ala Muhammad Abd Rahman bin Abd Rahim al-Mubarakfury, Jilid III,
Tuhfah al-Ahwadzym, Bairut, Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M,

Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Azhim Abady, ‘Aun al-Ma’bud


Syarh Sunan Abi Daud, Jilid IV Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1423
H/2002 M

Abu al-Walid Sulaiman bin Khalaf bin Sa’ad al-Bajiy, al-Muntaqa Syarah
Muwatha’ Malik, Jilid I, Bairut, Dar al-Kitab a-Araby, 1403H,

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, Bairut, al-Maktabah al-Asyriyah, t.th

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Juz I, Al-Mustayfa, Bairut, Dar al-Fikr, t.th

Ahmad bin Aly Abu Bakar al-Razi al-Jasas al-Hanafi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 3,
Beirut, Dar Ihya al-Turats, 1405 H

Ahmad bin Musthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Jilid 5, Mesir, Syirkah


Maktabah Mathba’ah Musthafa al-Bab, 1949

Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz IV, Semarang,


PT. Karya Toha Putra, 1993

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz V, t.tp, Dar Tauqi al-Najah, 1422 H

Jalaluddin al-Suyuthi, Syarh Suna al-Nasa’I, Jilid II, Bairut, Dar al-Jail

Jalaluddin As-Suyuthi, Lubab an-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Mekkah: al-maktabah


al-Taufiqiyah, t,th

Malik bin Anas, Muwatha,’ Juz 2, t.tp, Muassasah Zaid ibn Sultan, 2004

Muhamadiyah Amin, Ilmu Hadits, Gorontalo, Sultan Amal Press, 2008

Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, tt, Maktabah al-Asriyah, 2002

Muhammad Aly al-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, tt, Maktabah al-Asriyah, 2002

Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.th

| 20
Sahkholid Nasution, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Tafsir II), Medan, La-Tansa Press,
2011

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Cet. Ke-10, Jilid I, Bairut, Dar al-Fikr, 1983

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid II, Cet. IV, Bairut, Dar
al-Fikr, 1418

Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,


Jilid 5, Damaskus, Dar al-Fikr al-Muasir, 1418 H

| 21
TANYA JAWAB SEMINAR KELAS

(MATA KULIAH STUDI TEKS ISLAM I / TAFSIR AYAT AHKAM)

PERTANYAAN :

1. Di era sedimikian canggih ini, kita semua tentu mengetahui bahwa perjalanan

yang biasa ditempuh dengan jalan kaki atau pakai unta selama berhari-hari,

sekarang sudah dapat ditempuh dalam hitungan waktu jam bahkan menit.

Apakah shalat jama dan qashar masih bisa dilakukan? Contoh, kalo mau ke

Jakarta dengan menggunakan pesawat cukup dalam waktu 1 jam 30 menit

sudah sampai. Apakah jarak yang biasa diperbincangkan para ulama sebagai

syarat pelaksanaan jamak dan qashar masih juga berlaku?

2. Apakah pernah rasulullah melakukan jamak dan qashar tidak dalam bepergian?

Sebagaiman disebutkan oleh pemakalah bahwa seorang dokter dalam kondisi

terjepit takut ketinggalan shalat kemudian melaksanakan jamak, padahal dokter

itu tidak dalam keadaan bepergian. Bagimana pendapat pemakalah?

3. Bagaimana dengan Jamak dan qashar yang ditentukan oleh hari, ada yang

menyatakan 3 hari dan ada yang mengatakan lebih? Bagaimana menurut

pendapat pemakalah?

4. Bagaimana tata cara shalat saat peperangan jika dihubungakan di era sekarang

yang sangat jauh berbeda dengan peperangan pada zaman nabi dan sahabat?

Apakah masih memungkinkan shalat dengan tata cara sebagaiman pemakalah

sebutkan? Kemudian, sekirannya tata cara nya berbeda apakah boleh

| 22
mengubah dan berbeda dengan tata cara sebagimana pemakalah sebutkan? Dan

apakah boleh ijtihad dalah perkara ibadah nahdhah?

JAWABAN :

1. Sebagaiaman disebutkan pada ayat tentang shafar Surat an-Nisa ayat 101

bahwa syarat qashar shalat adalah perjalanan,

‫ فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلوة‬.... ‫إذا ضربتم فى اۡلرض‬

‫ فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلوة‬.... ‫إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا إن الكافرين لكم عدوا مبينا‬

Di sini akan saya jelaskan bahwa dalam kaidah tata bahasa arab sudah sangat

jelas terlihat bahawa syarat shalat yang boleh diqhasar itu adalah pertama pada

saat dalam perjalanan dan yang kedua shalat khauf. Kata pada kalimat

..... ‫ إذا ضربتم‬dan ....‫إن خفتم أن يفتنكم‬ dijawab kata pada kalimat ...‫فليس عليكم جناح‬

Hal tersebut menujukkah syarat dan jawab syarat yang kedua duanya jawab

syarat nya adalah “tidak mengapa untuk mengqashar shalat” jika dalam

perjalanan dan peperangan. Maka dengan demikian “illat” boleh nya qhasar

(yang dipertanyakan) adalah bukan ditentukan oleh waktu, yang menentukan

adalah shafar atau dalam keadaan perjalanan meskipun waktu tempuh

perjalanan itu jika dihubungkan dengan kondisi sekarang dapat ditempuh

dalam waktu jam atau menit yang sangat jauh berbeda dengan jaman dulu

memerlukan waktu berhari-hari.

Pada intinya adalah shafar atau dalam keadaan perjalanan jauh, adapun

mengenai jarak perjalanan shafat itu memang diperselisihkan para ulama,

namun hampir ada kata sepakat yakni antara 80 km dan 90 km

| 23
Tambahan penjelasan Dosen Pembimbing: kata qashar pada kalimat ‫ان تقصروا‬

‫ من الصلوة‬adalah istilah yang dapat digunakan untuk menyingkat waktu shalat

boleh dipersingkat dengan mengurang rakaat yang 4 menjadi 2 dan boleh pula

menggabungkan dua waktu sebagaimana yang telah ditentukan oleh nash

berdasarkan petunjuk hadits sehingga waktu shalatnya juga menjadi singkat

atau qashar.

2. Berdasarkan ayat dan hadis yang penulis kemukakan dapat disimpulkan bahwa

Rasulullah tidak pernah mengqashar shalat kecuali dalam dua kondisi yakni

safar atau dalam perjalanan dan shalat khauf 2 rakaat dalam peperangan.

Berbeda dengan jamak tanpa qashar pernah dilakukan dalam beberapa keadaan

yakni:

a. Menjama ’ di Arafah dan Mudzdalifah


Para ulama sependapat bahwa menjama’ shalat Zuhur dan Ashar secara
taqdim pada waktu zuhur di Arafah begitu pun antara Maghrib dan Isya
secara ta’khir di Mudzdalifah hukumnya sunat, berpedoman kepada apa
yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
b. Menjama Dalam Bepergian
Menjama’ dua shalat ketika bepergian, pada salah satu dari kedua waktu
itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada
perbedaaan, apakah dilakukannya itu sewaktu berhenti, ataukah selagi
dalam perjalanan.
c. Menjama’ di waktu Hujan
Dalam sunannya Al Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin
Abdurrahman mengatakan bahwa termasuk sunnah Nabi saw. Menjama’
shalat Maghrib dengan Isya apabila hari hujan lebat.
d. Menjama’ Sebab Sakit Atau Uzur
Imam Ahmad, Qadhi Husein, Al Khathabi dan Al Mutawalli dari golongan
Syafi’i membolehkan menjama’ baik takdim ataupun ta’khir disebabkab
sakit, dengan alasan karena kesukaran pada waktu itu lebih besar dari
kesukaran di waktu hujan. Ulama-ulama Hanbali memperluas keringan ini,
hingga mereka membolehkan pula menjama’ baik taqdim mapun ta’khir
karena pelbagai macam halangan dan juga ketakutan. Mereka membolehkan
orang yang sedang menyusui bila sukar baginya buat mencuci kain setiap
hendak shalat. Juga untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang
yang ditimpa silsalatul baul (kencing berkepanjangan), orang yang tidak

| 24
dapat bersuci yang mengkhawatirkan bahaya bagi dirinya pribadi, bagi harta
dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut.

Ada banyak hadits tentang kejadian ini, lebih detailnya dapat dilihat pada

makalah yang kami tulis pada halaman 11 s.d 13 yang diantaranya:

َّ ‫سو ُل‬
ْ‫َّْللا‬ َ َّ‫صْل‬
ُ ‫ىْر‬ َْ ‫َّاس ْقَا‬
َ ْ‫ل‬ ٍ ‫عب‬ َ ْ ْ‫عنْ ْابن‬
َ ْ ‫سعيد ْبنْ ْ ُجبَي ٍر‬ َ ْ ْ‫عنْ ْأَبي ْالزبَير‬
َ ْ ْ‫عن‬ َ ْ ٍْ‫علَى ْ َمالك‬ َْ ‫َح َّدثَنَا ْيَحيَى ْبنُْ ْيَحيَى ْقَا‬
َ ْ ُْ‫ل ْقَ َرأت‬
َ ْ‫ْو ََل‬
.‫سف ٍَْر‬ َ ٍ‫ْوالعشَا َءْ َجميعًاْفيْغَيرْخَوف‬ َ ‫ب‬َ ‫اْوال َمغر‬
َ ً‫ْوال َعص َرْ َجميع‬ َ ‫سلَّ َمْالظه َر‬ َ ‫علَيه‬
َ ‫ْو‬ َّ َّ‫صل‬
َ ُْ‫ىَّْللا‬ َ
Yahya ibn Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku
membacakan (hadis) kepada Malik, (diterima ) dari Abi Al -Zubair,
(diterima) dari Sa’id ibn Al-Jubair, (diterima) dari Ibn Abbas, ia berkata:
Rasulullah s.a .w., shalat zhuhur dan ashar dengan jama’, serta maghrib
dan isya d engan jama, padahal tidak dalam keadaan ketakutan dan tidak
pula dalam perjalanan.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa illat untuk pelaksanaan qashar

shalat adalah pada saat perjalanan dan peperangan (salat pada saat safar dan

shalat khauf saat peperangan) adapun jamak tanpa qashar illatnya adalah

masqqah atau dalam kondisi kesulitan.

Maka dengan demikian pula, dokter yang akan melaksanakan tugas nya seperti

pelaksanaan operasi yang akan memerlukan waktu panjang dan bahkan akan

bertemu dengan 2 waktu shalat, maka dibolehkan menjamak tanpa

mengqhasar.

3. Mengenai penentuan berapa lama hari dan waktu pelaksanaan jamak dan

qashar itu adalah perbedaan pendapat ulama dengan mengambil istimbat

hukum. Ada yang berdasarkan qiyas, yakni dengan menggiyaskan waktunya

sebagaimana hadits tentang khuffah atau menggunakan sepatu kulit yang

melebihi mata kaki yang tentukan dengan tiga hari tiga malam, begitupulan

mengqiyaskan dengan perjalanan wanita yang melebihi 3 hari harus disertai

muhrim. Adapun pendapat yang menyatakan lebih dari 3 hari itu didasarkan

| 25
teks nas terkait dengan shafar dan khauf yang baru berhenti pelaksanaannya

kecuali setelah urusan shafar dan peperangan selesai.

4. Menurut hemat penulis, memang berbeda peperangan jaman dulu dengan

jaman sekarang, akan tetapi apabila masih memungkinkan pelaksanaan shalat

khauf sebagaiman tata cara yang penulis sebutkan dalam makalah, maka itu

tidak mengapa, dan bahkan boleh melaksanakan shalat khauf dengan cara yang

berbeda sesuai dengan kondisi peperagan saat ini, mengingat tata cara yang

penulis sebutkan pada makalah adalah beragam jenis yang tidak saja

dipraktekkan pada masa saat peperangan yang terjadi di masa Rasulullah, akan

tetapi juga oleh para sahabat saat berperang. Maka itu berarti merupakan

ijtihadi yang boleh saja dilaksanakan ijtihad sesuai kondisi peperangan saat ini.

Pelaksanaan shalat fardu yang telah ditentukan itu merupakan ibadah nahdah

yang merupakan kewajiban setiap individu, akan tetapi dalam kondisi

peperangan yang tata caranya ini merupakan ijtihadi sehingga membolehkan

dilaksanakan ijtihad asalkan jangan merubah esensi ibadah itu sendiri, seperti

mengurang rakaat qashar menjadi 1 rakaat. Namun demikian, kondisi

peperangan yang terjadi saat ini, tentu saja membuka peluang kebolehan qashar

shalat khauf untuk dilaksakan sendiri-sendiri “munfaridan” tidak berjamaah,

mengingat berjamaah juga merupakan sunnat muakkad yang bukan merupakan

kewajiban.

Demikian, semoga bermanfaat. Terimakasih.

| 26

Anda mungkin juga menyukai