Anda di halaman 1dari 17

POKOK POKOK JINAYAT: JARIMAH HUDUD,

QISHAS/DIYAT, DAN TA’ZIR

Dosen Pembimbing : Abdul Qadir, MA

Disusun Oleh :
Muhammad Risky Aulia (200203067)
Mai Sharah (200203100)
Putri Cut Thuershina (200203055)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR RANIRY

TAHUN 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah Swt. Yang telah memberikan penulis kemudahan untuk dapat
menyelesaikan makalah berjudul “POKOK POKOK JINAYAT: JARIMAH HUDUD,
QISHAS/DIYAT, DAN TA’ZIR” ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk pemenuhan tugas Mata Kuliah Fiqh dan
Ushul Fiqh yang dibimbing oleh Bapak Abdul Qadir HS, M.A. Penulis mengucapkan terima kasih
atas bimbingan dari beliau, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulisan makalah ini
dapat berjalan dengan lancar berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini sehingga
selesai pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Maka dari itu
kritik dan saran sebagai masukan bagi penulis dalam pembuatan makalah kedepan sangat berarti.
Akhir kata penulis mengucapkan maaf bila ada kata-kata dalam penyampaian yang kurang
berkenan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Sabang, 29 Juni 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..4
A. Latar Belakang………………………………………………………………...4
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………...6
A. Pengertian Jinayat……………………………………………………………..6
A. Jarimah Hudud………………………………………………………………...6
B. Qishash………………………………………………………………………...12
C. Diyat…………………………………………………………………………...13
D. Ta’zir…………………………………………………………………………..14
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………16
A. Kesimpulan………………………………………………………………….....16
B. Saran…………………………………………………………………………...16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jianayah atau lengkapnya Fiqh Jinayah merupakan satu bagian dari bahsan fiqh. kalau fiqh
adalah ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah dan bersifat amaliah (operasional) yang mengatur
kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah
secara khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan sanksi
hukuman yang berkenan dengan kejahatan itu.
Tujuan umum dari ketentuan yang di tetapkan Allah itu adalah mendatangkan kemaslahatan
untuk manusia, baik mewujudkan keuntungan dan menfaat bagi manusia, maupun menghindarkan
kerusakan dan kemudaratan dari manusia. Dalam hubungan ini Allah menghendaki terlepasnya
manusia dari segala bentuk kerusakan. Hal ini di penjelas oleh hadist Nabi yang mengatkan

“Tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh manusia melakukan perusakan
terhadap orang lain”.
Segala bntuk tindakan perusakan terhadap orang lain atau makhluk di larang oleh agama dan
tindakan tersebut di namai tindakan kejahatan atau jinayah dan di sebut juga jarimah. Karena
tindakan itu menyalahi larangan Allah berarti pelakunya durhaka terhadap Allah. Oleh karena itu,
perbuatan yang menyalahi kehendak Allah itu disebut pula ma’siyat. Di antara tindakan yang
dilarang Allah itu ada yang di iringi dengan ancaman hukuman terhadap pelakunya, baik ancaman
itu dirasakan pelakunya didunia, maupun dalam bentuk azab di akhirat. Semua bentuk tindakan
yang dilarang Allah dan diancam pelakunya dengan ancaman hukuman tertentu itu secara khusus
di sebut jinayah atau jarimah.

Fiqh jinayah ini berbicara tentang bentuk-bentuk tindakan kejahatan yang dilarang Allah
manusia melakukannya dan oleh karenanya ia berdosa kepada Allah dan akibat dari dosa itu akan
dirasakannya azab Allah di akhirat. Dalam rangka mempertakut manusia melakukan kejahatan
yang dilarang Allah itu, Allah menetapkan sanksi atau ancaman hukuman atas setiap pelanggaran
terhadap larangan Allah itu. Sanksi hukuman itu dalam bahasa fiqh disebut ‘uqabat. Dengan begitu
setiap bahasan tentang jinayat diiringi dengan bahasan tentang ‘uqabat. Dalam istilah umum biasa
dirangkum dalam ‘hukum pidana’.
Setiap tindakan disebut jahat atau kejahatan bila tindakan itu merusak sandi-sandi kehidupan
manusia. Ada lima hal yang mesti ada pada manusia yang tidak sempurna manusia bila satu
diantaranya luput yaitu : agama, jiwa, akal, harta, keturunan (sebagian ulama memasukkan pula
harga diri dalam bentuk terakhir ini). Kelimanya disebut daruriat yang lima. Manusia di
perintahkan untuk mewujudkan dan melindungi kelima unsur kehidupan manusia itu. Sebaliknya,
manusia dilarang melakukan sesuatu yang menyebabkan rusaknya lima hal tersebut. Hal-hal apa
saja yang manusia tidak boleh254 merusak pada dasarnya merujuk kepada lima hal tersebut.
Adapun kejahatan yang dinyatakan Allah dan Nabi-Nya sanksinya adalah : murtad, pembunuhan,
penganiayaan, pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan perzinaan tampa bukti, minum-
minuman keras, makar dan pemberontakan. Sedangkan kejahatan lain yang secara jelas tidak

4
disebutkan sanksinya oleh Allah dan Nabi diserahkan kepada ijtihat ulama dan diterapkan aturan
dan ketentuannya oleh penguasa, seperti perjudian, penipuan, dan lainya.

B. RUMUSAN MASALAH

a. Apakah yang dimaksud dengan Jinayah ?


b. Apakah yang dimaksud dengan Qishahs ?
c. Apakah yang dimaksud dengan Diyat ?
d. Apakah yang dimaksud dengan Ta,zir ?

5
BAB ll
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JINAYAT
Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang
diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’
baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di
kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’.
Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan
perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’
menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan
jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang
membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan
qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan
istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman
had atau ta’zir.

A. Jarimah Hudud
Jarimah Hudud sering di artikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya
di tetapkan secara mutlak Oleh Allah. Sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan
hukuman lain selain hukum yang di tetapkan berdasarkan kitab allah. Kejahatan hudud
adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana islam.ia adalah
kejahatan terhadap kepentingan publik. Jumhur ulama’ merumuskan jarimah hudud ada
tujuh yaitu : zina, Qadzaf (Tuduhan palsu zina), sariqah (Pencurian), hirabah(Perampokan),
Riddah (murtad), al-baghy (Penberontakan) dan syurb al-khamr(Meminum
khamr).sementara madzab malikiyah hanya memasukan jarimah hudud dalam lima
kategori yaitu: zina, qadzaf, sariqah, hirabah dan baghy.

1. Jarimah Zina
Zina adalah hubungan kelamin antara lki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan
perkawinan yang sah dan di lakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.
Perzinaan di tegaskan dalam al-Qur’an dan sunah. Hukuman bagi pelaku zina yang
belum menikah ( ghairu mukhsan) di dasarkan pada ayat Al-Qur’an yakni di dera
100 kali,Sedangkan bagi pezina muhsan dikenai hukuman rajam.Rajam dari segi
bahasa adalah melempari batu,sedangkan menurut istilah adalah melempari pezina
muhsan sampai menemui ajalnya. Adapun hukum dasar dera atau cambuk 100 kali
adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2

6
ِ ‫اﺣ ٍﺪ ِﻣ ْﻨ ُﮭ َﻤﺎ ِﻣﺎﺋَﺔَ َﺟ ْﻠﺪَ ٍة َوﻻ ﺗ َﺄ ْ ُﺧﺬْ ُﻛ ْﻢ ِﺑ ِﮭ َﻤﺎ َرأْﻓَﺔٌ ﻓِﻲ د‬
َ‫ِﯾﻦ اﻟﻠﱠ ِﮫ إِ ْن ُﻛ ْﻨﺘ ُ ْﻢ ﺗُﺆْ ِﻣﻨُﻮن‬ ‫اﻟﺰاﻧِﯿَﺔُ َو ﱠ‬
ِ ‫اﻟﺰاﻧِﻲ ﻓَﺎﺟْ ِﻠﺪ ُوا ُﻛ ﱠﻞ َو‬ ‫ﱠ‬
ْ ٌ َ َ ْ ْ
َ‫اﻵﺧ ِﺮ َوﻟﯿَﺸ َﮭﺪْ َﻋﺬاﺑَ ُﮭ َﻤﺎ طﺎﺋِﻔَﺔ ِﻣﻦَ اﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﯿﻦ‬ ْ
ِ ‫ﺑِﺎﻟﻠ ِﮫ َواﻟﯿَ ْﻮ ِم‬ ‫ﱠ‬

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.

Sedangkan penetapan hukum rajam adalah berdasarkan hadis nabi:

‫ﻟﮭﻦ ﺳﺒﯿﻼً اﻟﺒﻜﺮ ﺑﺎﻟﺒﻜﺮ ﺟﻠﺪ ِﻣﺎﺋﺔ وﻧﻔﻲ ﺳﻨﺔ واﻟﺜﯿّﺐ‬


ّ ‫ﺧﺬوا ﻋﻨﻲ ﺧﺬوا ﻋﻨﻲ ﻗﺪ ﺟﻌﻞ اﻟﻠﮫ‬
‫ﺑﺎﻟﺜﯿّﺐ ﺟﻠﺪ ِﻣﺎﺋﺔ واﻟﺮﺟﻢ‬

“Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh allah telah memberi jalan kepada
mereka.bujangan yang berzina dengan gadis di jilid seratus kali dan di asingkan
selama satu tahum.dan orang yang telah kawin dan berzina did era seratus kali
dan di rajam”.

Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya di kenakan sangsi yang
amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam,karena alasanyang dapat di
pertanggung jawabkan secaramoral adan akal.kenapa zina di ancam dengan
hukuman berat hal ini di sebabkan karena perbuatan zina sangat tercela oleh islam
dan pelakunya di hukum hukuman rajam(di lempari batu hingga meninggal dengan
di saksikan banyak orang).jika ia muhsan. jika ghoiru muihsan,maka di hukum
cambuk 100 kali.

2. Jarimah qazf
Qazf dari segi bahasa berarti ar-rumyu(melempar).menurut istilah qazf adalah
menuduh wanita baik baik berbuat zina tanpa adanya alasan yang meyakinkan.
Dalam hukum islam,perbuatan seperti ini masuk kategori tindak pidana hududyang
di ancam dengan hukuman yang berat yaitu 80 kali.hukuman bagi orang yang
menuduh zina tapi tidak terbukti(qazf) di dasarkan pada firman Allah surat an nur
ayat 4:

َ‫ﺷ َﮭﺎدَة ً أَﺑَﺪًا َوأُوﻟَﺌِﻚَ ُھ ُﻢ ْاﻟﻔَﺎ ِﺳﻘُﻮن‬ ُ ‫ت ﺛ ُ ﱠﻢ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺄْﺗُﻮا ﺑِﺄ َ ْرﺑَﻌَ ِﺔ‬
َ ‫ﺷ َﮭﺪَا َء ﻓَﺎﺟْ ِﻠﺪ ُو ُھ ْﻢ ﺛ َ َﻤﺎﻧِﯿﻦَ َﺟ ْﻠﺪَة ً َوﻻ ﺗ َ ْﻘﺒَﻠُﻮا ﻟَ ُﮭ ْﻢ‬ َ ْ‫َواﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﯾَ ْﺮ ُﻣﻮنَ ْاﻟ ُﻤﺤ‬
ِ ‫ﺼﻨَﺎ‬

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik”.
Unsur dalam tindak pidana dalam jarimah qadzaf ini ada tiga, yaitu :

7
a. Menuduh zina atau mengingkari nasab.

b. Orang yang di tuduh itu muhsan, dan bukan pezina.

c. Ada itikad jahat. Orang yang menuduh zina harus membuktikan kebenarannya.

3. Jarimah sariqah.
Sariqah(pencurian)di definisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam
dengan maksud untuk memilikin serta tidak ada paksaan. Menurut syarbini al khatib yang di sebut
pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi sembunyi di tempat penyimpanan dengan
maksut untuk memiliki yang di lakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-
syarat tertentu. Al-Qur’an menyatakan orang yang mencuri di kenakan hukum potong
tangan.Hukum potong tangan sebagai sangsi bagi jarimah sariqah di dasarkan pada firman Allah
surat Al-maidah ayat 38:

ٌ ‫ﻄﻌُﻮا أ َ ْﯾ ِﺪﯾَ ُﮭ َﻤﺎ َﺟﺰَ ا ًء ﺑِ َﻤﺎ َﻛ َﺴﺒَﺎ ﻧَﻜَﺎﻻ ِﻣﻦَ اﻟﻠﱠ ِﮫ َواﻟﻠﱠﮫُ َﻋ ِﺰ‬
‫ﯾﺰ َﺣ ِﻜﯿ ٌﻢ‬ َ ‫ﱠﺎرﻗَﺔُ ﻓَﺎ ْﻗ‬
ِ ‫ﱠﺎر ُق َواﻟﺴ‬
ِ ‫َواﻟﺴ‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Hukum potong tangan di berlakukan dalam islam dengan mempertimbangkan dengan


syarat dan rukun yang sangat ketat.

a. syarat yang berkaitan dengan subyek yaitu pelakunya dewasa ,tidak terpaksa dan tahu bahwa
perbuatan itu di larang.

b. Syarat yang berkaitan dengan materi curian yaitu mengambil harta secara diam-diam
,mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaan.

a. Syarat berkaitan dengan obyek yaitu barang yang di curi berupa hartabenda dan
bergerak,serta mencapai satu nilai minimal tertentu.Imam malik mengukur nisab
sebesar ¼ dinar atau lebih sedangkan imam abu Hanifah menyatakan bahwa nisab
pencurian itu senilai 10 dirham/ 1 dinar.

8
4. Jarimah hirabah.
tas yang sesuai dengan kemaslahatan.Bagi pelaku yang mengambil harta dan membunuh maka
hukumannya menurut pendapat imam syafi’i ,ahmad dan Zadiyah adalah di hukum mati lalu di
salib.Sedangksn menurut imam abu hanifah ,ulil amri dapat memilih apakh di potong tangan
danHirabah sama dengan qat’u tariq yaitu sekelompok orang yang membuat
keonaran,pertumpahan darah,merampas harta,kehormatan, tatanan serta membuat kekacauan di
muka bumi.[7] Dasar hukum jarimah hirabah adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 33
sebagai berikut :

‫ﻄ َﻊ أ َ ْﯾﺪِﯾ ِﮭ ْﻢ َوأَ ْر ُﺟﻠُ ُﮭ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ِﺧﻼفٍ أَ ْو ﯾُ ْﻨﻔَ ْﻮا‬


‫ﺼﻠﱠﺒُﻮا أ َ ْو ﺗ ُﻘَ ﱠ‬
َ ُ‫ﺴﺎد ًا أ َ ْن ﯾُﻘَﺘﱠﻠُﻮا أ َ ْو ﯾ‬َ َ‫ض ﻓ‬ ُ ‫ﺎرﺑُﻮنَ اﻟﻠﱠﮫَ َو َر‬
ْ ‫ﺳﻮﻟَﮫُ َو َﯾ ْﺴ َﻌ ْﻮنَ ِﻓﻲ‬
ِ ‫اﻷر‬ ِ ‫ِإﻧﱠ َﻤﺎ َﺟﺰَ ا ُء ﱠاﻟﺬِﯾﻦَ ﯾُ َﺤ‬
‫اﻵﺧ َﺮةِ َﻋﺬَابٌ َﻋ ِﻈﯿ ٌﻢ‬ َ
ِ ‫ي ﻓِﻲ اﻟﺪ ﱡ ْﻧﯿَﺎ َوﻟ ُﮭ ْﻢ ﻓِﻲ‬ ٌ ‫ض ذَﻟِﻚَ ﻟَ ُﮭ ْﻢ ِﺧ ْﺰ‬ِ ‫اﻷر‬ ْ َ‫ِﻣﻦ‬

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar.

Jarimah hirabah dapat terjadi dalam berbagai kasus, Antara lain yaitu :

a. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan
intimidasi,namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh.

b. Seseorang berangkat dengan niat untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan
kemudian mengambil dengan harta yang di maksut tetapi tidak membunuh.

c. Seseorang berangkat dengan niat merampok ,kemudian membunuh tetapi tidak mengmbil
harta korban,.dan

d. Seseorang berangkat untuk merampok kemudian ia mengambil harta dan membunuh


pemiliknya.

Sanksi bagi perampok menurut Imam abu hanifah ,Imam syafi’i dan Imam ahmad
berbeda beda sesuai dengan perbuatannya. Bila hanya mengambil harta dan membunuh ia di
hukum salib ,jika ia tidak mengambil harta tetapi membunuh ia di hukum bunuh. Jika hanya
mengambilharta dengan paksa dan tidak membunuh,maka sangsinya adalah potong tangan dan
kaki secara bersilang,bila hanya menakut nakuti hanya hukum penjara.Menurut imam malik ,
sangsi hirabah ini di serahkan kepada imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum
dalam ayat di a kakinya dulu,baru di hukum mati dan di salib,ataukah di hukum mati saja tanpa
tdi potong tangan dan kakinya dulu,ataukah di salib saja. Sedangkan menurut imam malik bahwa

9
aw dalam ayat di atas berfungsi sebagai takyir.maka imam dapat memilih alternatif di antara 4
hukuman yang di tentukan dalam Al-qur’an yaitu hukuman mati,salib,potong tangan dan kaki
secara bersilang atau hukuman pengasingan.Namun tidak boleh menggabungkan sangsi-sangsi
yang di tentukan dalam ayat di atas.
5. Jarimah al-baghy (penberontakan).
Al-baghyu(pemberontakan) sering di artikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada
imam yang sah tanpa alasan.Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa yang di maksut al-bagyu adalah
orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri
darinya atau menolak kewajiban dengan kekuatan,argumentasi dan memiliki pemimpin.sedangkan
menurut madzab malik al-baghyu di artikan sebagai penolakan untuk menaati imam yang sah
dengan jalan kekuatan.Penolakan untuk taat ini mungkin di dasarkan pada penafsiran
tertentu.mereka mendefinisikan bughat sebagai satu kelompok orang-orang islam yang menentang
imam dan wakil-wakilnya.
Hukum bunuh bagi pemberontak di pahami oleh sebagian ulama’ sebagai serangan balik dan hanya
di tujukan untuk mematahkan pemberontak guna mengembalikan ketaatannya kepada penguasa
yang sah.Memerangi pemberontak hukumnya adalah wajib,karena menegakkan hukum Allah,
sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur’an dalam surat al-hujarat ayat 9:

‫اﻷﺧ َﺮى ﻓَﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮا اﻟﱠ ِﺘﻲ ﺗَ ْﺒ ِﻐﻲ َﺣﺘﱠﻰ ﺗَ ِﻔﻲ َء ِإﻟَﻰ أَ ْﻣ ِﺮ اﻟﻠﱠ ِﮫ ﻓَﺈ ِ ْن‬ ْ ‫َﺖ ِإﺣْ ﺪَا ُھ َﻤﺎ َﻋﻠَﻰ‬ ْ َ ‫َﺎن ِﻣﻦَ ْاﻟ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﯿﻦَ ا ْﻗﺘَﺘَﻠُﻮا ﻓَﺄ‬
ْ ‫ﺻ ِﻠ ُﺤﻮا َﺑ ْﯿﻨَ ُﮭ َﻤﺎ ﻓَﺈ ِ ْن َﺑﻐ‬ َ ‫َو ِإ ْن‬
ِ ‫طﺎ ِﺋﻔَﺘ‬
َ‫ِﻄﯿﻦ‬ ِ ‫ﻄﻮا ِإ ﱠن اﻟﻠﱠﮫَ ﯾ ُِﺤﺐﱡ ْاﻟ ُﻤ ْﻘﺴ‬ ُ ‫ﺻ ِﻠ ُﺤﻮا َﺑ ْﯿﻨَ ُﮭ َﻤﺎ ِﺑ ْﺎﻟ َﻌﺪْ ِل َوأَ ْﻗ ِﺴ‬
ْ َ ‫ت ﻓَﺄ‬
ْ ‫ﻓَﺎ َء‬

“Jika salah satu dari kedua golongan berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah)”.

6. Jarimah syurb al-Khamr


Larangan meminum minuman memabukan di dasarkan pada ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat
90 :
َ‫ﺎن ﻓَﺎﺟْ ﺘَﻨِﺒُﻮهُ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗ ُ ْﻔ ِﻠﺤُﻮن‬
ِ ‫ﻄ‬َ ‫ﺸ ْﯿ‬
‫ﺲ ِﻣ ْﻦ َﻋ َﻤ ِﻞ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﯾَﺎ أَﯾﱡ َﮭﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮا ِإﻧﱠ َﻤﺎ ْاﻟﺨ َْﻤ ُﺮ َو ْاﻟ َﻤ ْﯿﺴ ُِﺮ َواﻷ ْﻧ‬
ْ ‫ﺼﺎبُ َو‬
ٌ ْ‫اﻷزﻻ ُم ِرﺟ‬
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Al-Qur’an tidak menegaskan hukuman apa bagi peminum khamr.Sangsi terhadap delik ini di
sandarkan pada hadits melalui sunah fi’liyahnya,bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah 40
kali dera.Abu bakar mengikuti jejak ini tetapi umar bin khatab menjatuhkan 80 kali dera. Menurut
imam Abu hanifah dan imam malik,sanksi meminum khamr adalah 80 kali dera,sedangkan
menurut Imam Syafi’i adalah 40 kali dera,Tetapi imam boleh menambah menjadi 80 kali dera.Jadi
yang 40 kali adalah hukuman had,sedangkan sisanya adalah hukuman ta’zir. Pelarangan jarimah
syurb al-khamr ,juga hal hal yang mempunyai illat hukum yang sama, di haramkan karena
memabukan,maka setiap yang memabukan adalah haram.termasuk jenis khamr adalah
narkotika,heroin,sabu-sabu dan lain sebagainya.

10
7. Riddah
Riddah dari segi bahasa berarti rujuk (kembali).menurut istilah riddah adalah orang yang kembali
dari agama islam,pelakunya di sebut murtad.yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah
beriman.[13] Nash yang berkaitan dengan murtad di jelaskan dalam al-Qur’an surat Al-baqoroh
ayat 217 :

َ‫ﺳﺒِﯿ ِﻞ اﻟﻠﱠ ِﮫ َو ُﻛ ْﻔ ٌﺮ ﺑِ ِﮫ َو ْاﻟ َﻤﺴ ِْﺠ ِﺪ ْاﻟ َﺤ َﺮ ِام َوإِ ْﺧ َﺮا ُج أَ ْھ ِﻠ ِﮫ ِﻣ ْﻨﮫُ أَ ْﻛﺒَ ُﺮ ِﻋ ْﻨﺪ‬َ ‫ﻋ ْﻦ‬ َ ‫ﺻﺪ ﱞ‬َ ‫ﯿﺮ َو‬ ٌ ِ‫ﺸ ْﮭ ِﺮ ْاﻟ َﺤ َﺮ ِام ﻗِﺘ َﺎ ٍل ﻓِﯿ ِﮫ ﻗُ ْﻞ ﻗِﺘ َﺎ ٌل ﻓِﯿ ِﮫ َﻛﺒ‬
‫ﯾَ ْﺴﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ َﻋ ِﻦ اﻟ ﱠ‬
‫ﺖ َوھ َُﻮ ﻛَﺎ ِﻓ ٌﺮ‬ ْ ‫ﻄﺎﻋُﻮا َو َﻣ ْﻦ َﯾ ْﺮﺗ َ ِﺪدْ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َﻋ ْﻦ دِﯾ ِﻨ ِﮫ ﻓَ َﯿ ُﻤ‬ َ َ ‫اﻟﻠﱠ ِﮫ َو ْاﻟ ِﻔﺘْﻨَﺔُ أ َ ْﻛ َﺒ ُﺮ ِﻣﻦَ ْاﻟﻘَﺘْ ِﻞ َوﻻ َﯾﺰَ اﻟُﻮنَ ﯾُﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮﻧَ ُﻜ ْﻢ َﺣﺘﱠﻰ َﯾ ُﺮدﱡو ُﻛ ْﻢ َﻋ ْﻦ دِﯾ ِﻨ ُﻜ ْﻢ ِإ ِن ا ْﺳﺘ‬
َ‫ﺎر ُھ ْﻢ ﻓِﯿ َﮭﺎ ﺧَﺎ ِﻟﺪ ُون‬ ِ ‫ﺻ َﺤﺎبُ اﻟﻨﱠ‬ ْ َ ‫اﻵﺧ َﺮةِ َوأُوﻟَﺌِﻚَ أ‬ِ ‫ﺖ أ َ ْﻋ َﻤﺎﻟُ ُﮭ ْﻢ ﻓِﻲ اﻟﺪﱡ ْﻧﯿَﺎ َو‬ ْ ‫ﻄ‬َ ِ‫ﻓَﺄُوﻟَﺌِﻚَ َﺣﺒ‬

“barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka
mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya”.

Dalam hadis di riwayatkan bahwa rasulullah bersabda :

‫[ﻣﻦ ﺑﺪل دﯾﻨﮫ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮه‬14]

“Artinya :Barang siapa mengganti agamanya,maka bunuhlah dia”.

Para ulama’beragam dalam membuat batasan tentang perbuatan riddah.Riddah dapat


di lakukan dengan perbuatan(atau meninggalkan perbuatan),dengan ucapan, dengan I’tikad. Yang
di maksut dengan riddah dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram dengan
menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya
perbuatan tidak wajib,misalnya sujud kepada matahari atau bulan, atau melakukan zina dengan
menganggap zina itu bukan suatu perbuatan maksiat.

Adapun ketentuan di antara para ahli hukum islam bahwa tindak pidana ini di ancam dengan
hukuman mati perlu di kaji ulang.karena pernyataan nabi ketika orang yang mengganti agama
harus di hukum mati,hal itu terjadi pada musim perang,yakni ada sebagian tentara islam yang
berjiwa munafik melakukan tindakan desersi (penghianatan Negara),maka orang yang melakukan
desersi di perintahkan untuk di bunuh.

11
B. Qishahs

Hukum qisas adalah salah satu bagian dari hukum pidanaIslam atau biasa diistilahkan
dengan fiqh al-jinayah. Hukum pidana Islam atau fiqh al-jinayah adalah segala ketentuan hukum
mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh manusia khususnya
mukallaf, dan sebagai fikih, ia merupakan hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terinci di dalam al-Qur‟an dan hadis. Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-
tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum, dan di antaranya mengatur tentang
hukum qisas.
Qisas merupakan salah satu dari sekian macam aturan hukuman hudud (yang jelas aturan
dan batasannya) dalam hukum pidana Islam. Sebagai sebuah aturan dalam hukum public, ia
menjadi bagian dari tulang punggu terwujudnya ketentraman di dalam masyarakat, sebagaimana
aturan-aturan hukum pidana atau hukum public lainnya. Sebaliknya, apabila ia tidak berjalan
efektif, maka masyarakat akan merasa tidak tenteram dalam kehidupannya.
Qisas yang berasal dari bahasa Arab al-qisas bermaknaan yaf’ala bil-fa’il misla ma fa’ala
yang berarti melakukan seperti apa yang telah dilakukan pelakunya. Pendapat lain, kata qisas
berarti al-musawa wa al-ta’addul(sama dan seimbang), juga dipahami dalam pengertian qata’a
(memangkas atau memotong). Dari pengertian kebahasaannya, qisas memiliki persamaan
pengertian dengan istilah “adil” sebelumnya, yaitu sama dan seimbang. Yang berarti bahwa qisas
adalah hukuman yang sama atau seimbang dengan kejahatan yang diperbuat oleh pelaku tindak
pidana, juga untuk memangkas atau memotong tindak kejahatan tertentu agar tidak berulang-
ulang, dan karena dalam aturannya terdapat pemotongan kehidupan (hukuman mati) pelaku
kejahatan yang terbuti bersalah.
Ruang lingkup hukum qisas dibatasi oleh para fuqaha hanya pada tindak pidana atau
kejahatan yang berhubungan dengan jiwa (pembunuhan) dan badan (penganiayaan), atau biasa
diistilahkan dengan al-nafs wa al-jarahah (nyawa dan luka). Adapun mengenai landasan hukum
qisas yaitu dalam al-Qur’an terdapat kurang dari sepuluh ayat dan pada umumnya selalu berkaitan
dengan aturan diyat. Mungkin dari situlah kemudian para fuqaha umumnya membahas hukum
qisas secara bersamaan dengan hukum diyat secara umum. Salah satunya yang termuat dalam
surah al-Baqarah Ayat 178.
Adapun Syarat-syarat berlakunya qisas. Ulama fikihmengemukakan beberapa syart yang
harus dipenuhi oleh pelaku pembunuhan yang akan dikenai hukuman kisas. Syarat-syarat yang
dimaksud adalah sebagai berikut pelaku seorang mukalaf (balig atau berakal). Oleh sebab itu,
kisas tidak dapat dilaksanakan pada anak kecil atau orang gila. Adapun terhadap orang yang
membunuh dalam keadaan mabuk, ulama mazhab yang empat berpendapat bahwa jika orang yang
mabuk itu melakukan pembunuhan sengaja, maka ia tetap dikenai qisas; tidak ada pengaruh
keadaan mabuknya tersebut terhadap tindak pembunuhan yang dilakukannya. pembunuhan itu
dilakukan dengan sengaja, unsure kesengajaan dalam pembunuhan tidak diragukan, menurut
ulama Mazhab Hanafi, pelaku pembunuhan itu melakukannya dengan kesadaran sendiri, tanpa
paksaan dari orang lain Akan tetapi, jumhur ulama fikih menyatakan bahwa sekalipun

12
pembunuhan itu dilakukan oleh orang yang terpaksa di bawah ancaman, tetap dikenaihukuman
qisas.
Mengenai Syarat-syarat wajib qisas
1. Orang yang membunuh sudah balig dan berakal
2. Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh
3. Orang yang dibunuh tidak kurang derajatnya yaitu: agama, merdeka, anak dan bapak, orang
kafir.
4. Yang dibunuh adalah orang yag terpelihara darahnya, dengan Islam, atau dengan perjanjian.

C. Diyat
Kata diyat secara etimologi berasal dari kata “wadâ – yadî– wadyanwa diyatan” . Bila
yang digunakan mashdar wadyan berarti sâla (mengalir) yang sering dikaitkan dengan lembah,
seperti di dalam firman Allah Azza wa Jalla:
Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu;
sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.
Akan tetapi, jika yang digunakan adalah mashdar diyatan berarti membayar harta tebusan
yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana penganiyaan (jinâyat),
harta yang diberikan sebagai gantidari jiwa yang terbunuh.
Sedangkan diyat secara terminologi syariat adalah hartayang wajib dibayar dan diberikan oleh
pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan jinâyat yang dilakukan
oleh si pelaku kepada korban. Definisi ini mencakup diyat pembunuhan dan diyat anggota tubuh
yang dicederai, sebab harta ganti rugi ini diberikan kepada korban bila jinâyatnya tidak sampai
membunuhnya dan diberikan kepada walinya bila korban terbunuh.

Diyat ada dua macam yaitu:


1. Diyat kabir (denda besar) yaitu seratus ekor onta, dengan perincian: 30 ekor unta betina
umur 3 tahun masuk empat tahun, 30 ekor unta betina umur empat tahun masuk lima tahun,
dan 40 ekor unta betina yang sudah hamil.
Diwajibkan denda berat karena:
a. Sebagai ganti hukum bunuh (qisas) yang dimaafkan pasa pembunuhan yang betul-betul
disengaja. Denda ini wajib dibayai tunai oleh yang membunuh sendiri. Hal ini dilandasi
hadis nabi:
"barang siapa membunuh orang dengan sengaja, ia diserahkan kepada keluarga yang terbunuh.
Mereka boleh membunuhnya atau menarik denda, yaitu 30 ekor unta betina umur tiga masuk
empat tahun, 30 ekor unta betina umur empat tahun masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang
sudah hamil. (H.R. al-Turmizi).
b. Melakukan pembunuhan “semi sengaja”. Denda ini wajib dibayar oleh keluarganya,
diangsur dalam waktu selama tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun wajib dibayar sepertiga.

2. Diyat Shaghir (denda ringan), banyaknya seratus ekor unta juga, tetapi dibagi lima: 20 ekor
unta betina umur satu masuk dua tahun, 20 ekor unta betina umur dua tahun masuk tiga,
13
20 ekor unta jantan umur dua tahun masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina umur tiga tahun
masuk empat, 20 ekor unta jantan umur empat tahun masuk lima. Denda ini wajib dibayr
keluarga yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Jika denda tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang sebanyak harga
unta tersebut. Ini pendapat sebagian ulama. Ringannya denda dipandang dari tiga segi:
1. Jumlahnya yang dibagi lima
2. Diajibkan atas keluarga yang bersangkutan
3. Diberi waktu tiga tahun . Berat denda dipandang dari tiga segi juga:

1. Jumlah denda hanya dibagi tiga, sedangkan tingkat umurnya lebih besar
2. Denda diwajibkan atas yang membunuh itu sendiri
3. Denda wajib dibayar tunai

Denda perempuan (kalau yang terbunuh perempuan) adalah sperdua dari denda laki-laki hal ini
didasiri gadis nabi:

“denda perempuan seperdua denda laki-laki” (H.R. Amr Ibni Hazm)


Denda orang yang beragama Yahudi dan Nasrani adalah sepertiga dari denda orang Islam, dan
denda orang yang beragama Majusi sepelimabelas dari denda orang Islam. Keterangannya
berdasarkan perbuatan sahabat.
Disempurnakan diyat sebagai diyat membunuh orang yang apabila anggota-anggota berikut ini
atau melenyapkan manfaatnya, yaitu, dua tangan, dua kaki, hidung,dua telinga, dua mata, lidah,
dua bibir, kemaluan, dua pelir, membisukan, membutakan, menghilangkan pendengaran,
menghilangkan penciuman, dan menghlangkan akal.

D. Ta’zir
Secara etimologi kata ta’zîr (‫ ) ﺗﻌ ﺰﯾﺮ‬berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘azara (‫ )ﻋﺰر‬dan
mashdarnya ‘azuran (‫ )ﻋﺰرا‬yang artinya mencela dan menegur. Dalam kamus istilah fiqh, ta’zîr
(‫ ) ﺗﻌ ﺰﯾﺮ‬adalah bentuk mashdar (asal) dari kata kerja ‘azzara (‫)ﻋﺰر‬, artinya menolak. Dalam
ensiklopedi hukum Islam, ta’zîr (‫) ﺗﻌ ﺰﯾﺮ‬diartikan sebagai mencela, menegur, pencegahan,
larangan, menghukum dan memukul. Ta’zîr juga diartikan sebagai penghinaan, Sebagaimana
dapat dipahami dari kalimat ‘azzâ fulânun fulânâ ( ‫) اﻓ ﻼن ﻓ ﻼن ﻋﺰا‬. Bilamana fulan yang pertama
penghinaan terhadap fulan kedua dengan motivasi memberi peringatan dan pelajaran kepadanya
atas dosa yang telah dilakukan olehnya. Oleh ‘Abd al-‘Azîz al-‘Amîr menyatakan ta’zîr menurut
bahasa adalah menolak dan mencegah.
Namun ‘Atiyyah juga menyatakan arti ta’zîr dengan mencela dan mendidik. Al-Qur’ân dan
al-Ĥadīth tidak menyebutkan secara eksplisit yang menjadi dasar terhadap ketentuan ta’zîr (‫ﺗﻌ ﺰﯾﺮ‬
), namun yang dikehendaki oleh surat al-Fatħ ayat 9 –menurut al-Syarbaynī al-Khâtib tampaknya
kurang relevan dengan istilah ta’zîr yang dimaksudkan –meskipun terdapat kalimat tu’azzirûhu
(bermakna supaya kamu tolak dan mencegah musuhnya), tetapi ia lebih sesuai dengan pengertian
secara bahasa saja dan tidak secara istilah dalam fiqih. Sedangkan pengertian ta’zîr (‫)ﺗﻌ ﺰﯾﺮ‬
menurut terminologi adalah pengdegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak
mempunyai hukum ħad, kifarat dan qišaš/diat. Artinya ta’zîr di sini mengandung unsur-unsur
pengajaran, baik yang diputuskan oleh hakim ataupun yang dilakukan oleh orang tua terhadap

14
anaknya, suami terhadap isterinya dan sebagainya, demi kepentingan si pelaku maupun
masyarakat umum. Ta’zîr juga mempunyai pengertian, yaitu tindakan edukatif terhadap pelaku
perbuatan dosa yang tidak ada sanksi had dan kifaratnya.
Fatħ al-Durainī, guru besar fiqih di Universitas Damascus, Suriah –mengemukakan bahwa
ta’zîr adalah hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya
sesuai dengan kemaslahatan yang menghendaki dan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yang
ditetapkan pada seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan yang wajib atau
mengerjakan perbuatan yang dilarang, yang semuanya itu tidak termasuk dalam kategori ħudûd
dan kafarah, baik yang berhubungan dengan hak Allah Swt berupa gangguan terhadap masyarakat
umum, keamanan mereka, serta perundang-undangan yang berlaku, maupun yang terkait dengan
hak pribadi. Sementara itu, ‘Abd al-‘Azîz ‘Amîr –ahli hukum pidana Islam, menyatakan bahwa
ruang lingkup tindak pidana ta’zîr itu amat luas, baik yang berkaitan dengan hak Allah Swt maupun
hak pribadi, sehingga tidak ada satu nash (ayat dan/atau al-hadith) pun yang menunjukkan jumlah
dan batasan jarimah ta’zîr tersebut. Oleh sebab itu, ruang lingkup jarimah ta’zîr didefinisikan
dengan segala bentuk maksiat di luar jarimah ħudûd (tindak pidana hudud) dan jarimah al-qatl wa
al-jarħ (tindak pidana pembunuhan dan perlukaan). Dengan demikian, pengertian ta’zîr yang
dimaksudkan dalam pengertian ini adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh
penguasa atas pelaku tindak pidana atau pelaku maksiat yang hukumannya belum ada. Dalam hal
ini, di pengadilan hakim diberikan wewenang untuk menjatuhkan hukuman –dari sering-ringannya
hingga yang seberat-beratnya sesuai dengan pelanggaran atau kesalahan si terhukum, dan bersifat
mendidik –demi masyarakat umum.

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Jinayat bentuk jamak (plural) dari jinayah. Menurut bahasa, jinayat bermakna
penganiayaan terhadap badan, harta, jiwa. Sedangkan menurut istilah, jinayat pelanggaran
terhadap badan yang didalamnya diwajibkan qisas atau diyat. Jinayat juga bermakna sanksi-sanksi
yang dijatuhkan atas penganiayaan atas badan. Dengan demikian, tindak penganiayaan itu sendiri
dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan badan disebut jinayat. Jinayat secara garis besar
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu sebagai berikut:
Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan menghilangkan
nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran
terhadap seseorang dengan merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu badannya,
baik sengaja maupun tidak sengaja.

B. SARAN
Mungkin didalam makalah yang kami buat ini, sungguh banyak kesalahan-kesalahan yang
membuat pembaca ataupun yang mendengar bacaan makalah ini tidak efektif, itu adalah kesalahan
kami yang sewajarnya kami di berikan keritikan dan di berikan sara-saran untuk membuat atau
memperbaiki makalah kedepannya. Dan juga di dalam makalah ini banyak sekali yang kurangnya,
baik dari segi tulisan ataupun dari segi penyusunan kata-kata, karena kami masih belajar, mohon
sara-saran dari kawa-kawan untuk memperbaikinya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Aswaja,(Jakarta: Bulan Bintang, 1967),225.
Abd al-Qadir awdah,Al-Tasyri al-Jina’I al-Islami(Beirut:Dar al-Fikr,t.t,),79
Abu zahrah,Al-jarimah wa al-uqubah Fi al-Fiqh al-Islam( Beirut:Dar al-Fikr,t.t.),109
Marsum,Fiqh.,96. H.A. dzazuli,Fiqh jinayah., 77.
“Pembunuhan Dalam Perspektif Hukum Islam.” Nurani 13 (2013): 9.

Qisas, Dalam Hukum. “Jurnal Kajian Hukum.” Muh. Tahmid Nur 1 (1992): 23.

17

Anda mungkin juga menyukai