html
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat merupakan suatu kewajiban yang harus dikerjakan bagi setiap muslim yang sudah akhil
baligh maupun mu’alaf sesuai dengan waktu yang sudah dianjurkan / ditentukan sebagaimana perintah
Allah SWT, baik dalam kondisi apapun dan dimanapun kita berada. Shalat merupakan rukun Islam kedua
setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang
siapa mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,
maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat terdiri dari shalat wajib dan shalat sunah. Shalat wajib merupakan shalat / ibadah yang
harus dikerjakan oleh setiap muslim dalam kondisi apapun dan tidak boleh ditinggalkan. Dalam sehari
shalat wajib dikerjakan lima kali dengan jumlah rakaat sebanyak 17. Sedangkan shalat sunah merupakan
shalat tambahan di luar shalat fardhu / wajib, bila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan
tidak berdosa. Shalat sunnah termasuk amalan yang mesti kita jaga dan rutinkan. Di antara
keutamaannya, shalat sunnah akan menutupi kekurangan pada shalat wajib, dihapuskan dosa dan
ditinggikan derajat, akan dekat dengan Rasul SAW di surga, shalat adalah sebaik-baik amalan,
menggapai wali Allah yang terdepan, Allah akan beri petunjuk pada pendengaran, penglihatan, kaki dan
tangannya, serta doanya pun mustajab.
Banyak sekali macam-macam shalat yang dapat dikerjakan, salah satunya yaitu shalat khauf.
Shalat khauf dapat dikerjakan dalam kondisi yang darurat seperti dalam keadaan perang, bahaya baik
dari musuh maupun serangan binatang buas, dan sebagainya. Sebab dalam kondisi apapun baik itu
perang tidak boleh meninggalkan shalat. Maka dari itu ketika dalam kondisi yang darurat sebagaiaman
tersebut diatas, dianjurkan untuk melakukan shalat khauf. Sebab shalat khauf bukanlah shalat yang
dapat berdiri sendiri seperti shalat ied, gerhana, dan sejenisnya. Tetapi shalat khauf adalah shalat
fardlu/ wajib dengan syarat, rukun, sunnah-sunnah dan jumlah rakaat seperti biasa (ketika aman), dan
dilakukan secara berbeda jika berjamaah.
Untuk membatasi bahasan dalam penulisan makalah ini, maka penulis hanya membahas
tentang shalat khauf. Sehingga dengan apa yang telah dipaparkan dalam makalah ini kita bisa lebih
mengerti tentang shalat khauf dan tata cara pelaksanaannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, perumusan masalah yang dapat
diambil sebagai berikut:
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama Islam pada semester 3
2. Agar setiap orang lebih mengetahui sejarah dari shalat khauf
3. Untuk menambah wawasan kita mengenai tata cara pelaksanaan shalat khauf dan segala yang
membatalkan shalat khauf
4. Untuk menambah kimanan kita kepada Allah SWT dan selalu melakasanakan ibadah yang diperintahkan
5. Agar setiap orang mengetahui hikmah dari pelaksanaan shalat khauf
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis :
a. Mengetahui lebih dalm mengenai sejarah dari dilaksanakannya shalat khauf
b. Mengetahui tata cara dan hal-hal yang membatalkan dalam melaksanakan shalat khauf
c. Bisa memotivasi untuk selalu menunaikan ibadah dalam kondisi apaun dan dimanapun ita berada
2. Bagi Pembaca :
a. Memberikan tambahan pengetahuan kepada setiap pembaca mengenai shalat khauf
b. Pembaca dapat mengetahui hikmah, tata cara, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan shalat
khauf
c. Memberikan dorongan kepada setiap pembaca untuk senantiasa melaksanakan ibadah kepada Allah
dalam kondisi apapun dan dimanapun berada sebagaimana yang tlah dilakukan oleh Rasul SAW
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
Shalat khauf adalah shalat yang dilaksanakan dalam keadaan bahaya atau takut (suasana
perang) karena bimbang akan diserang musuh. Selain itu shalat khauf juga dilaksanakan karena
kebakaran dan sebagainya baik dalam perjalanan atau mukim (di suatu tempat). Shalat Khauf
merupakan kemudahan yang tidak terdapat dan tidak boleh dilaksanakan di dalam shalat-shalat yang
lain. Shalat wajib dilakukan dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaan bahaya (perang). Shalat
dalam keadaan bahaya dilakukan diwaktu perang melawan musuh dan segala bentuk perang yang tidak
haram seperti pertempuran melawan pemberontak atau orang orang yang melawan pemerintahan yang
sah atau melawan perampok, penjahat dan teroris yang semuanya dibolehkan dalam Islam, sesuai
dengan firman Allah:
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika
kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit, dan siap-siagalah
kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”. (Qs
an-nissa’ ayat: 102)
Ulamak–ulamak fiqah telah bersepakat tentang adanya ketetapan syarak mengenai shalat khauf
ini, “Khauf bagi mereka bukan semata-mata takut kepada serangan musuh malah termasuk juga khauf
(takut) dari ancaman kebakaran dan juga binatang-binatang buas dan lain-lain lagi daripada ancaman
yang boleh menyebabkan kemusnahan dan kehancuran.”
Menurut bahasa shalat berarti doa, dan menurut istilah shalat berarti ibadah kepada Allah SWT
yang memiliki ucapan dan perbuatan tertentu dan khusus, yang diawali dengan takbir dan diakhiri
dengan salam. Disebut shalat karena mencakup (berisi doa ibadah dan doa permohonan).
Sedangkan kata khauf, secara bahasa berarti takut. Dan menurut istilah, khauf berarti
kegoncangan di dalam diri karena khawatir terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, atau hilangnya
sesuatu yang disukai. Diantara hal itu adalah rasa takut dijalanan. Jadi shalat khauf merupakan
penunaian shalat yang di fardhukan (diwajibkan) yang dilakukan pada saat-saat genting atau kondisi
yang mengkhawatirkan dengan cara tertentu.
Shalat khauf merupakan bentuk shalat bagi orang-orang yang memiliki udzur Syar’i, yang mana
gerakan, jumlah rokaat dan tata caranya berbeda dengan shalat pada umumnya. Shalat khauf
disyariatkan dalam setiap peperangan yang dibolehkan, seperti memerangi orang-orang kafir,
pemberontak, dan para perampok atau penyamun sebagaiman firman Allah yang artinya, “Dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”(QS. An-
Nisaa’ : 101)
Pada tahun 6 Hijriah, Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya menuju Mekah. Di
sebuah tempat bernama Hudaibiyah, rombongan Nabi SAW berhadap-hadapan dengan Khalid bin Walid
yang bersama pasukan sebanyak 200 orang. Mereka datang untuk mencegah Nabi SAW dan umat Islam
memasuki Mekah. Waktu itu telah masuk waktu shalat Zuhur dan Bilal bangkit mengumandangkan
adzan. Umat Islam kemudian bersiap-siap melaksanakan shalat jamaah. Melihat kondisi umat Islam itu
Khalid bin Walid merasa ada kesempatan untuk menyerang mereka dan itu ketika mereka sedang
melaksanakan shalat. Namun ketika itu turunlah surat An-Nisa ayat 102 yang membongkar niat Khalid
bin Walid dengan pasukannya. Dan menjadikan Khalid bin Walid yang melihat peristiwa itu dan mukjizat
Al-Quran akhirnya memilih Islam sebagai agamanya.
Ibnu Umar r.a berkata : Nabi Muhammad SAW bersabda : “jika keadaan itu terlalu gawat,
bolehlah shalat dilakukan secara berdiri, berjalan, atau berkendaraan, menghadap kiblat ataupun tidak”
(Hadits Riwayat Al-Bukhari r.a)
Islam cukup menitik beratkan shalat dan harus ditunaikan karena shalat merupakan kewajiban
ke atas (kepada Allah SWT) setiap muslim. Shalat berlaku dan wajib dilaksanakan dalam keadaan /
kondisi apapun baik itu ketika sakit, keuzuran ataupun ketika berada di medan peperangan, dengan
cara-cara yang telah ditetapkan.
Ciri-ciri asas shalat itu secara berjamaah sama dengan shalat qasar dan jamak. Shalat ketika
perang tidak begitu banyak perbedaan kecuali makmum dapat bergerak, menangguhkan shalat dan
menyambung semulanya selepas berperang.
)(رواه مسلم
“Suatu ketika aku turut melakukan shalat khauf bersama Rasulullah saw. Beliau membagi kami menjadi
dua barisan, satu barisan berada di belakang Rasulullah saw. sedang musuh berada di antara kami dan
kiblat. Ketika Nabi saw takbir kami semua ikut takbir. Kemudian beliau ruku’, kami semua ikut ruku’.
Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, kami semua melakukan hal yang sama. Kemudian
beliau turun untuk sujud bersama barisan yang berada langsung di belakang beliau. Sementara itu
barisan yang terakhir tetap berdiri menjaga musuh. Ketika Nabi saw. selesai sujud, dan barisan yang di
belakangnya berdiri, maka barisan yang terakhir tadi turun untuk melakukan sujud lalu mereka berdiri.
Lalu barisan yang di belakang maju, dan barisan yang di depan mundur. Kemudian Nabi saw. ruku dan
kami semua ikut ruku. Kemudian Nabi mengangkat kepalanya, kami pun mengikutinya. Sementara
barisan yang tadi berada di belakang ikut turun sujud bersama beliau, barisan yang satunya lagi tetap
berdiri menjaga musuh. Ketika Nabi saw. selesai sujud bersama barisan yang tepat di belakangnya,
maka barisan yang di terakhir turun untuk sujud. Setelah mereka selesai sujud, Nabi saw. mengucapkan
salam dan kami semua ikut salam. Jabir berkata: Seperti yang biasa dilakukan oleh para pasukan
pengawal terhadap para pemimpin mereka.” (HR. Muslim)
“Dari Ibnu Umar r.a katanya, “Rasulullah SAW shalat dengan salah satu dari dua kelompok satu rakaat,
sedangkan kelompok yang lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pergi
menggantikan kelompok kedua untuk menghadapi musuh, sementara kelompok ini datang untuk shalat
dengan Nabi SAW satu rakaat, lalu beliau memberi salam dan kedua kelompok itu masing-masing
menyelesaikan satu rakaat lagi.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim)
Artinya: ”Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”
(Qs Al-Baqarah ayat: 239)
Berdasarkan latar belakang dan pembahsan-pembahasan diatas, setiap orang wajib untuk
melakuan ibadah kepada Allah SWT, yang salah satunya yaitu shalat, sebab shalat merupakan ibadah
wajib dan tidak boleh ditinggalkan. Dalam hal ini shalat khauf merupakan shalat wajib bagi setaiap
muslim yang pelaksanannya dalam kondisi / suasan yang gawat / genting / ataupun darurat. Jadi yang
wajib melaksanakan shalat khauf yaitu setiap orang muslim yang sedang dalam perjalanan (musafir),
setiap orang muslim yang sedang mengalami suatu bencana / berada di lokasi bencana, dalam keadaan
darurat / dalam kondisi perang untuk menghindari suatu perlawanan yang datang dari musuh ataupun
untuk menghindari rasa kekhawatiran-kekhwatiran yang tidak diharapkan terjadi, dan sebagainya.
Untuk melaksanakan shalat khauf, harus diperhatikan dalam pembagian shaf yaitu,
1. Imam perlu membagikan anggota tentara kepada dua kumpulan (dibagi dua kelompok / lebih)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan mencermati lebih jauh ayat 102 surat An-Nisa yang menjelaskan tentang shalat khauf ini
ada beberapa poin pelajaran yang dapat dipahami:
1. Shalat tidak pernah libur, bahkan dalam kondisi perang. Seorang pejuang juga adalah orang yang
menegakkan shalat. (... lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka ... dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata)
2. Pentingnya shalat berjamaah. Di medan perangpun tetap dilakukan shalat jamaah, sekalipun dengan
satu rakaat. (hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyang
mereka denganmu)
3. Ketika ada dua kewajiban penting seperti shalat dan jihad, kita tidak boleh mengorbankan satu demi
yang lainnya. (lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka ... dan menyandang senjata)
4. Kewaspadaan dalam setiap kondisi itu sangat penting. Bahkan shalat tidak boleh membuat umat Islam
lupa akan musuhnya. (... dan menyandang senjata)
5. Pemimpin merupakan pusat persatuan dan ibadah. (Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
... kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka)
6. Pembagian kerja, saling membantu dan mengajak orang lain dalam pekerjaan yang baik, bahkan pada
kondisi gentingpun hal ini merupakan faktor yang mempersatukan masyarakat. Dalam ayat ini dua
rakaat shalat dibagi-bagi untuk dua kelompok dari umat Islam, sehingga tidak ada diskriminasi dalam
ibadah dan semua berpartisipasi dalam perbuatan baik. (hendaklah datang golongan yang kedua yang
belum shalat)
7. Perintah Allah SWT berbeda-beda sesuai dengan kondisi. Ayat ini tentang shalat Khauf ketika
berhadapan dengan musuh. (hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat)
8. Shalat jamaah di medan perang merupakan tanda cinta akan tujuan, Allah, pemimpin dan komitmen
terhadap nilai-nilai. (Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka ... kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka)
9. Di medan perang, rotasi dan pergerakan pasukan harus bisa dilakukan dalam jangka waktu satu rakaat
shalat. (maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah
datang golongan yang kedua yang belum shalat)
10. Selama melakukan shalat di medan perang semakin panjang waktunya, kesempatan musuh untuk
menyerang akan semakin besar. Dengan demikian, penjagaan harus semakin diperketat. Pada rakaat
pertama cukup dengan memegang senjata, tapi pada rakaat kedua harus memegang senjata dan
perlengkapan lain untuk melindungi diri. (dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata)
11. Allah SWT mengabarkan Nabi-Nya SAW akan konspirasi dan rencana musuh. Dengan mencermati sebab
turunnya ayat 102 surat an-Nisa, dapat diketahui bahwa Khalid bin Walid berencana menyerang Nabi
SAW dan sahabatnya ketika sedang melakukan shalat. Ketika ayat ini diturunkan, rencana serangan itu
akhirnya dibatalkan.
12. Usaha dengan ikhlas akan mendatangkan bantuan illahi pada waktu yang tepat. Turunya ayat ini dengan
perintah melakukan shalat khauf merupakan bantuan illahi untuk menggagalkan konspirasi musuh.
13. Di medan perang, acara ibadah tidak boleh dilakukan dengan waktu yang panjang dan pekerjaan apa
saja yang dapat menghilangkan kewaspadaan menjadi haram hukumnya. (Orang-orang Kafir ingin
supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus)
14. Ibadah tidak boleh menjadi sarana yang melupakan manusia akan musuh. (Orang-orang Kafir ingin
supaya kamu lengah) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
B. Saran
Melihat dari kesimpulan dan pembahasan yang sudah dipaparkan diatas, ada beberapa saran /
masukan yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kita. Adapun saran tersebut antara lain :
1. Sebagai seorang muslim hendaknya selalu menunaikan ibadah wajib yaitu shalat dimanapun, kapanpun
dan dalam kondisi apapun. Sebab dalam kondisi-kondisi tertentu Allah SWT memberikan kemudahan
bagi setiap hamba-Nya dalam melakukan ibadah shalat
2. Usahakan untuk selalu melaksanakan ibadah shalat secara berjamaah, karena shalat yang dilakukan
secara berjamaah jauh lebih besar pahala dan keutamaannya apabila dibandingkan dengan
melaksanakan ibadah shalat secara munfarid
3. Tunaikan shalat dengan tepat waktu, tanpa menunda-nunda waktu untuk shalat, sebab kelak yng akan
dihisab pertama kalinya di akherat yaitu shalat kita masing-masing, bukan jumlah harta yang kita miliki
selama hidup di dunia
DAFTAR PUSTAKA
Asyur, Ahmad Isa. 1995. Fiqih Islam Praktis Bab Ibadah. Solo : Pustaka Mantiq
Abiding, Slamet. 1998. Fiqih Ibadah Untuk IAIN, STAIN, dan PTAIS. Bandung : Pustaka Setia
Mahalli, A.M. 2003. Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih Bagian Ibadat. Jakarta : Prenada Media
http://indonesian.irib.ir/al-quran1/-/asset_publisher/pZT6/content/sejenak-bersama-al-quran-melaksanakan-
shalat-khauf-dalam-perang
http://islamiwiki.blogspot.com/2012/10/hikmah-disyariatkanya-shalat-khauf.html#.Uph1gtJdWHY
http://aljaami.wordpress.com/2011/10/27/shalat-khauf/
http://alislamu.com/ibadah/4-shalat/205-bab-shalat-khauf.html
http://www.alsofwah.or.id/cetakfiqih.php?id=158
http://hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/29/shalat-khauf/
https://jacksite.wordpress.com/2007/12/06/hukum-sholat-qashar-dan-sholat-jama/
SHOLAT QASHAR
Dari Muhammad bin Ja’far : ” Telah bercerita kepadaku Syu’bah, dari Yahya bin Yazid Al-
Hanna’i yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat.
Sedangkan aku pergi ke Kufah maka aku shalat dua raka’at hingga aku kembali. Kemudian Anas
berkata : “Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manakala keluar
sejauh tiga mil atau tiga farskah (Syu’bah ragu), dia mengqashar shalat. (Dalam suatu
riwayat) : Dia shalat dua rakaat”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/129) dan Al-
Baihaqi (2/146).
Syaikh Al Albani menilai hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Semua perawinya tsiqah,yakni
para perawi Asy-Syaikhain, kecuali Al-Hanna’i dimana dia adalah perawi Muslim. Namun
segolongan orang-orang tsiqah juga telah meriwayatkan darinya.
Dan hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim (2/145), Abu Dawud (1201), Ibnu Abi
Syaibah (2/108/1/2). Juga diriwayatkan darinya oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (Q. 99/2)
dari beberapa jalur yang berasal dari Muhammad bin Ja’far, tanpa dengan ucapan Al-Hanna’i :
“Sedangkan aku pergi ke Kufah….sampai aku kembali”. Meskipun ini tambahan yang benar.
Bahkan oleh karenanya hadits ini berlaku. Demikian pula hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu
Awannah (2/346) dari jalur Abu Dawud (dia adalah Ath-Thayalisi), dia berkata : “Telah bercerita
kepadaku Syu’bah. Namun Ath-Thayalisi tidak meriwayatkannya dalam Musnad-nya”.
(Al-Farsakh) berarti tiga mil. Dan satu mil adalah sejauh mata memandang ke bumi, dimana
mata akan kabur ke atas permukaan tanah sehingga tidak mampu lagi menangkap
pemandangan. Demikianlah penjelasan Al-Jauhari.
Namun dikatakan pula ; batas satu mil adalah jika sekira memandang kepada seseorang di
kejauhan, kemudian tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan dan dia hendak pergi
atau hendak datang, seperti keterangan dalam Al-Fath (2/467). Dan menurut ukuran sebagian
ulama sekarang adalah sekitar 1680 meter.
Kandungan Hukumnya.
Hadits ini menjelaskan bahwa jika seseorang pergi sejauh tiga farsakh (satu farsakh sekitar 8
km), maka dia boleh mengqashar shalat. Al-Khuththabi telah mnjelaskan dalam Ma’alimus
Sunan (2/49) : “Meskipun hadits ini telah menetapkan bahwa jarak tiga farsakh merupakan
batas dimana boleh melakukan qashar shalat, namun sungguh saya tidak mengetahui
seorangpun dari ulama fiqih yang berpendapat demikian”.
Bahwa hadits ini memang tetap seperti semula, namun Imam Muslim mengeluarkannya dan
tidak dinilai lemah oleh lainnya.
Hadits ini tidak berbahaya dan boleh saja diamalkan. Soal tidak mengetahui adanya seorangpun
ulama fiqih yang mengatakan demikian, itu tidak menghalangi untuk mengamalkan hadits ini.
Tidak menemukan bukan berarti tidak ada.
Sesungguhnya perawinya telah mengatakan demikian, yaitu Anas bin Malik. Sedang Yahya bin
Yazid Al-Hanna’i, sebagai perawinya juga telah berfatwa demikian, seperti keterangan yang
telah lewat. Bahkan telah berlaku pula dari sebagian sahabat yang melakukan shalat qashar
dalam perjalanan yang lebih pendek daripada jarak itu. Maka Ibnu Abi Syaibah (2/108/1) telah
meriwayatkan pula dari Muhammad bin Zaid bin Khalidah, dari Ibnu Umar yang menuturkan.
“Shalat itu boleh diqashar dalam jarak sejauh tiga mil”. Hadits ini sanadnya shahih. Seperti yang
telah Syaikh Al Albani jelaskan dalam Irwa’ul Ghalil (no. 561).
Kemudian diriwayatkan dari jalur lain yang juga berasal dari Ibnu Umar bahwa dia berkata :
“Sesunguhnya aku pergi sesaat pada waktu siang dan aku mengqashar (shalat)”.
Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dishahihkan pula oleh Al-Hafidz dalam Al-Fath (2/467).
Kemudian dia meriwayatkan dari Ibnu Umar (2/111/1).
“Sesunngguhnya dia mukim di Makkah dan manakala dia keluar ke Mina, dia mengqashar
(shalat)”. Hadits ini sanadnya juga shahih, dan dikuatkan. Apabila penduduk Makkah hendak
keluar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina, dalam haji Wada’, maka mereka
mengqashar shalat juga sebagaimana sudah tidak ada lagi dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan
jarak antara Makkah dan Mina hanya satu farsakh. Ini seperti keterangan dalam Mu’jamul
Buldan.
Sementara itu Jibilah bin Sahim memberitahukan : “Aku mendengar Ibnu Umar berkata :
“Kalau aku keluar satu mil, maka aku mengqashar shalat”
Hal ini tidak menafikan terhadap apa yang terdapat dalam Al-Muwatha maupun lainnya dengan
sanad-sanadnya yang shahih, dari Ibnu Umar, bahwa dia mengqashar dalam jarak yang jauh
daripada itu. Juga tidak menafikan jarak perjalanan yang lebih pendek daripada itu. Nash-nash
yang telah Syaikh Al Albani sebutkan adalah jelas memperbolehkan mengqashar shalat dalam
jarak yang lebih pendek daripada itu. Ini tidak bisa disanggah, terlebih lagi karena adanya hadits
yang menunjukkan lebih pendek lagi daripada itu.
Apalagi Al-Baihaqi juga menyebutkan bahwa Yahya bin Yazid bercerita : “Saya bertanya
kepada Anas tentang mengqashar shalat. Saya keluar Kufah, yakni Bashrah, saya shalat dua
raka’at dua raka’at, sampai saya kembali. Maka Anas berkata ; (kemudian menyebutkan hadits
ini)”.
Jadi jelas bahwa Yahya bin Yazid bertanya kepad Anas tentang diperbolehkannya mengqashar
shalat dalam bepergian bukan tentang tempat dimana dimulai shalat qashar. Kemudian yang
benar dalam hal ini adalah bahwa soal qashar itu tidak dikaitkan dengan jarak perjalanan tetapi
dengan melewati batas daerah dimana seorang telah keluar darinya. Al-Qurthubi
menyanggahnya sebagai suatu yang diragukan, sehingga tidak dapat dijadikan pegangan. Jika
yang dimaksudkannya adalah bahwa jarak tiga mil itu tidak bisa dijadikan pegangan adalah
bagus. Akan tetapi tidak ada larangan untuk berpegang pada batas tiga farsakh. Karena tiga mil
memang terlalu sedikit maka diambil yang lebih banyak sebagai sikap berhati-hati.
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Hatim bin Ismail, dari Abdurrahman bin Harmilah
yang menuturkan : “Aku bertanya kepada Sa’id bin Musayyab : “Apakah boleh mengqashar
shalat dan berbuka di Burid dari Madinah ?” Dia menjawab : “Ya”. Wallahu a’lam. [Syaikh Al
Albani mengatakan sanad atsar ini, menurut Ibnu Abi Syaibah (2/15/1) adalah shahih.]
Diriwayatkan dari Allajlaj, dia menceritakan. “Kami pergi bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu
sejauh tiga mil, maka kami diberi keringanan dalam shalat dan kami berbuka”.
Hadits ini sanadnya cukup memadai untuk perbaikan. Semua adalah tsiqah, kecuali Abil Warad
bin Tsamamah, dimana hanya ada tiga orang meriwayatkan darinya. Ibnu Sa’ad mengatakan :
“Dia itu dikenal sedikit haditsnya”.
Atsar-atsar itu menunjukkan diperbolehkan melakukan shalat qashar dalam jarak yang lebih
pendek daripada apa yang terdapat dalam hadits tersebut.
Ini sesuai dengan pemahaman para sahabat Radhiyallahu anhum. Karena dalam Al-Kitab
maupun As-Sunnah, kata safar (bepergian) adalah mutlak, tidak dibatasi oleh jarak tertentu,
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan apabila kamu berpergian di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat….” [An-Nisaa : 101]
Dengan demikian maka tidak ada pertentangan antara hadits tersebut dengan atsar-atsar ini.
Karena ia memang tidak menafikan diperbolehkannya qashar dalam jarak bepergian yang lebih
pendek daripada yang disebutkan di dalam hadits tersebut.
Oleh karena itu Al-Allamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad (juz I, hal.
189) mengatakan : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi bagi umatnya pada
jarak tertentu untuk mengqashar shalat dan berbuka. Bahkan hal itu mutlak saja bagi mereka
mengenai jarak perjalanan itu. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempersilahkan kepada mereka untuk bertayamum dalam setiap bepergian. Adapun mengenai
riwayat tentang batas sehari, dua hari atau tiga hari, sama sekali tidak benar. Wallahu ‘alam”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Setiap nama dimana tidak ada batas tertentu
baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan kepada pengertian
umum saja, sebagaimana ‘bepergian” dalam pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian
dimana Allah mengaitkannya dengan suatu hukum”.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan diperbolehkannya qashar shalat.
Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh pendapat. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat
Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai
dengan kemudahan Islam.
Pembatasan dengan sehari, dua hari, tiga hari atau lainnya, seolah juga mengharuskan
mengetahui jarak perjalanan yang telah ditempuh, yang tentu tidak mampu bagi kebanyakan
orang. Apalagi untuk jarak yang belum pernah ditempuh sebelumnya.
Dalam hadits tersebut juga ada makna lain, yakni bahwa qashar itu dimulai dari sejak keluar dari
daerah. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Sebagaimana dalam kitab Nailul Authar (3/83) dimana penulisnya mengatakan : “Sebagian
ulama-ulama Kufah, manakala hendak berpergian memilih shalat dua raka’at, meskipun masih
di daerahnya. Sebagian mereka ada yang berkata :”Jika seseorang itu naik kendaraan, maka
qashar saja kalau mau”.
Sementara itu Ibnul Mundzir lebih cenderung kepada pendapat yang pertama. Dimana mereka
sepakat bahwa boleh qashar setelah meninggalkan rumah. Namun mereka berbeda mengenai
sesuatu sebelumnya. Tapi hendaknya seseorang menyempurnakan sesuatu yang perlu
disempurnakan sehingga dia diperbolehkan mengqashar shalat. Ibnul Mundzir berkata lagi :
“Sungguh saya tidak mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqashar shalat
dalam suatu perjalanannya, kecuali setelah keluar dari Madinah”.
Syaikh Al Albani menemukan : Sesungguhnya hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini
adalah banyak. Syaikh Al Albani telah mengeluarkan sebagian darinya dalam Al-Irwa’ yaitu dari
hadits Anas, Abi Hurairah, Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Silahkan periksa no. 562 !
Adapun mengenai sholat qashar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berpendapat :
“Qashar shalat itu dianjurkan, bukan wajib walau dari zhahir nas terlihat wajib, sebab di sana
sini masih banyak nas lainnya yang menunjukkan tidak wajib. Safar yang bisa membolehkan
qashar shalat, berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari
lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka mensyaratkan bahwa jarak
qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km. Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu
yang penting sesuai dengan adat yang berlaku, sebab syara’ tidak menentukannya. Dalam suatu
nazham disebutkan : “Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara’, maka
lindungilah dengan ketentuan adat suatu tempat (‘uruf)“.
Dengan demikian, jika telah berlaku hukum safar, baik menurut jarak atau ‘uruf, maka setiap
orang patut mengikutinya, baik dalam hal qashar shalat, berbuka puasa atau menyapu sepatu,
dalam waktu tiga hari lamanya. Jika tidak ada kesulitan, maka puasa lebih baik tetap dipenuhi
bagi yang tengah dalam perjalanan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat sebagai berikut :
Qashar di sini berlaku untuk shalat-shalat empat rakaat, yaitu Zhuhur, Ashar dan Isya. Dinukil
dari Ibnul Mundzir adanya ijma’, bahwa tidak ada qashar dalam shalat Maghrib dan Shubuh.
Tidak ada sebab untuk qashar ini kecuali perjalanan, karena ini merupakan rukhshah yang
ditetapkan sebagai rahmat bagi musafir dan adanya kesulitan yang dialaminya.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhum, dia berkata, ‘Aku menyertai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melebihkan shalat dalam perjalanan dari dua
rakaat, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar, Umar dan Utsaman”.
Makna Hadits
Abdullah bin Umar menuturkan bahwa dia pernah menyertai nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam perjalan beliau, Dia juga pernah menyertai Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam
perjalanan mereka. Ternyata masing-masing di antara mereka senantiasa mengqashar shalat
empat rakaat menjadi dua rakaat dan tidak lebih dari dua rakaat itu.
Para ulama saling berbeda pendapat tentang qashar, apakah itu wajib ataukah rukhshah yang
disunnatkan pelaksanaannya ?
Tiga Imam, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkan penyempurnaan shalat, namun yang
lebih baik adalah mengqasharnya. Sedangkan Abu Hanifah mewajibkan qashar, yang juga
didukung Ibnu Hazm. Dia berkata, “Fardhunya musafir ialah shalat dua rakaat”.
Dalil orang yang mewajibkan qashar ialah tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang senantiasa mengqashar dalam perjalanan. Hal ini dapat ditanggapi bahwa perbuatan tidak
menunjukkan kewajiban. Begitulah pendapat jumhur. Mereka juga berhujjah dengan hadits
Aisyah Radhiyallahu ‘anha di dalam Ash-Shahihaian, “Shalat diwajibakan dua rakaat, lalu
ditetapkan shalat dalam perjalanan dan shalat orang yang menetap disempurnakan.
Hujjah ini dapat ditanggapi dengan beberapa jawaban. Yang paling baik ialah, ini merupakan
perkataan Aisyah yang tidak dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara
Aisyah juga tidak mengikuti masa difardhulkannya shalat.
Adapun dalil-dalil jumhur tentang tidak wajibnya qashar ialah firman Allah “Maka tidaklah
mengapa kalian mengqashar shalat kalian” [An-Nisa : 101]
Penafian kesalahan di dalam ayat ini menunjukkan bahwa qashar itu merupakan rukhshah dan
bukan sesuatu yang dipastikan. Di samping itu, dasarnya adalah penyempurnaannya. Adanya
qashar karena dirasa shalat itu terlalu panjang. Dalil lainnya adalah hadits Aisyah, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqqashar dalam perjalanan dan
menyempurnakannya, pernah puasa dan tidak puasa [Diriwayatkan Ad-Daruquthni, yang
menurutnya, ini hadits Hasan]
Dalil-dalil jumhur dapat ditanggapi sebagai berikut : Ayat ini disebutkan tentang qashar sifat
dalam shalat khauf dan hadits tentang hal ini dipermasalahkan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyah
berkata : “Ini merupakan hadits yang didustakan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam”.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam mengatakan, sebaiknya musafir tidak
meninggalkan qashar, karena mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai
cara untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang
qashar inilah yang lebih baik menurut mayoritas ulama.
Kesimpulan Hadits
Pensyaratan qashar shalat empat rakaat dalam perjalanan menjadi dua rakaat saja.
Qashar merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Al-Khulafa Ar-
Rasyidun dalam perjalanan mereka.
Qashar bersifat umum dalam perjalanan haji, jihad dan segala perjalanan untuk ketaatan. Para
ulama juga memasukkan perjalanan yang mubah. Menurut An-Nawawy, jumhur berpendapat
bahwa dalam semua perjalanan yang mubah boleh dilakukan qashar. Sebagian ulama tidak
membolehkan qashar dalam perjalanan kedurhakaan. Yang benar, rukhshah ini bersifat umum
dan sama untuk semua orang.
Kasih sayang Allah terhadap makhlukNya dan keluwesan syari’at ini, yang memberi kemudahan
dalam beribadah kepada makhluk. Karena perjalanan lebih sering mendatangkan kesulitan,
maka dibuat keringanan untuk sebagian shalat, dengan mengurangi bilangan rakaat shalat. Jika
tingkat kesulitan semakin tinggi seperti karena memerangi musuh, maka sebagian shalat juga
diringankan.
Perjalanan di dalam hadits ini tidak terbatas, tidak dibatasi dengan jarak jauh. Yang lebih baik
ialah dibiarkan menurut kemutlakannya, lalu rukhshah diberikan kepada apapun yang disebut
perjalanan. Pembatasanya dengan tempo tertentu atau jarak farsakh tertetntu, tidak pernah
disebutkan di dalam nash. Syaihul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Perjalanan tidak pernah
dibatasi oleh syari’at, tidak ada pembatasan menurut bahasa. Hal ini dikembalikan kepada
tradisi manusia. Apa yang mereka sebut dengan perjalanan, maka itulah perjalanan”
SHOLAT JAMA’
Syaikh Al Albani menilai : “Dia adalah tsiqah dan tepat. Maka tidak mengapa meskipun dia
sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits selain darinya. Inilah yang benar, semua
perawinya tsiqah. Yakni para perawi Asy-Syaikhain. Juga telah dinilai shahih oleh Ibnul Qayyim
dan lainnya. Namun Al-Hakim dan lainnya menganggapnya ada ‘illat yang tidak baik, seperti
yang telah saya jelaskan dalam Irwa ‘Al-Ghalil (571). Di sana saya menyebutkan mutabi’ (hadits
yang mengikuti) kepada Qutaibah dan beberapa syahid (hadits pendukung) yang memastikan
keshahihannya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (I/143/2) dari jalur lain yang berasal dari Abi
Thufail dengan redaksi, “Sesungguhnya mereka keluar bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada tahun Tabuk. Maka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumpulkan antara Dzuhur dan Ashar serta Magrib dan Isya. Abu Thufail berkata :
‘Kemudian beliau mengakhirkan (jama’ takhir) shalat pada suatu hari. Lalu beliau keluar
dan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau masuk (datang). Kemudian
keluar dan shalat Maghrib serta Isya sekalian“.
Dan dari jalur Malik telah dikeluarkan oleh Imam Muslim (7/60) dan Abu Dawud (1206), An-
Nasa’i (juz I, hal 98), Ad-Darimi (juz I, hal 356), Ath-Thahawi (I/95), Al-Baihaqi (3/162),
Ahmad (5/237) dan dalam riwayat Muslim (2/162) dan lainnya dari jalur lain :
“Kemudian saya berkata : ‘Apa maksudnya demikian ?” Dia berkata : Maksudnya agar tidak
memberatkan umatnya”.
Kandungan Hukumnya
Boleh mengumpulkan dua shalat pada waktu bepergian walaupun pada tempat selain Arafah
dan Muzdalifah ; demikian pendapat jumhurul ulama. Berbeda dengan mazdhab Hanafiyah.
Mereka menakwilkannya dengan ‘jama’ shuwari’ yakni mengakhirkan Dzhuhur sampai
mendekati waktu Ashar demikian pula Maghrib dan Isya’. pendapat ini telah dibantah oleh
jumhurul ulama dari berbagai segi. Pertama : Pendapat ini jelas menyalahi pengertian jama’
secara dhahir. Kedua : Tujuan disyariatkan jama’ adalah untuk mempermudah dan
menghindarkan kesulitan, seperti yang telah dijelaskan oleh riwayat Muslim. Sedangkan jama’
dalam pengertian ‘shuwari’ masih mengandung kesulitan. Ketiga : Sebagian hadits tentang jama’
jelas menyalahkan pendapat mereka itu. Seperti hadits Anas bin Malik yang berbunyi.
“Mengakhirkan Dzuhur sehingga masuk awal Ashar, kemudian dia menjama’ (mengumpulkan)
keduanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (2/151) dan lainnya. Keempat : Bahkan
pendapat itu juga bertentangan dengan pengertian jama taqdim sebagaimana dijelaskan oleh
hadits Mu’adz berikut ini. “Dan apabila dia berangkat setelah tergelincir matahari, maka dia
akan menyegerakan Ashar kepada Dzuhur”. Dan sesungguhnya hadits-hadits yang serupa ini
adalah banyak, sebagaimana telah disinggung.
Sesungguhnya soal jama’ (mengumpulkan dua shalat) disamping boleh jama takhir, boleh juga
jama taqdim. Ini dikatakan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Um (I/67), disamping oleh Imam
Ahmad dan Ishaq, sebagaimana dikatakan oleh At-Tarmidzi (2/441).
Syaikh Al Albani berpendapat : Dengan nash ini maka tidaklah perlu menghiraukan kata Ibnul
Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/189) menuturkan : “Bukanlah petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melakukan jama’ sambil naik kendaraan dalam perjalanannya,
sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak juga jama’ itu harus pada waktu
dia turun“.
Nampaknya banyak kaum muslimin yang terkecoh oleh kata-kata Ibnul Qayyim ini. Oleh
karenanya mestilah ingat kembali.
Adalah janggal bila Ibnul Qayyim tidak memahi nash yang ada dalam Al-Muwatha’, Shahih
Muslim dan lain-lain ini. Akan tetapi keheranan tersebut akan hilang manakala kita ingat bahwa
dia menulis kitab Az-Zad itu, adalah pada waktu dimana dia jauh dari kitab-kitab lain, yakni dia
dalam perjalanan, sebagai seorang musafir. Inilah sebabnya mengapa dalam kitab tersebut
disamping kesalahan itu, banyak juga kesalahan yang lain. Dan mengenai hal ini telah saya
jelaskan dalam At-Ta’liqat Al-Jiyad ‘Ala Zadil Ma’ad.
Yang membuat pendapat ini tetap janggal adalah bahwa gurunya, yakni Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, telah menjelaskan dalam sebuah bukunya, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh
Ibnul Qayyim. Mengapa hal itu tidak diketahui oleh Ibnul Qayyim padahal dia orang yang paling
mengenal Ibnu Taimiyah dengan segala pendapatnya.? Setelah menuturkan hadits itu, Syaikhul
Islam dalam Majmu’atur Rasail wal-Masa’il (2/26-27) mengatakan : “Pengertian jama’ itu ada
tiga tingkatan : Manakala sambil berjalan maka pada waktu yang pertama.
Sedangkan bila turun maka pada waktu yang kedua. Inilah jama’ sebagaimana disebutkan dalam
Ash-Shahihain dari hadits Anas dan Ibnu Umar. Itu menyerupai jama’ di Muzdalifah. Adapun
manakala di waktu yang kedua baik dengan berjalan maupun dengan kendaraan, maka di-jama’
pada waktu yang pertama. Ini menyerupai jama’ di Arafah. Sungguh hal ini telah diriwayatkan
dalam As-Sunnan (yakni hadits Mu’adz ini). Adapun manakala turun pada waktu keduanya,
maka dalam hal ini tidak aku ketahui hadits ini menunjukkan bahwa beliau Nabi turun di
kemahnya dalam bepergian itu. Dan bahwa beliau mengakhirkan Dzuhur kemudian keluar lalu
shalat Dzuhur dan Ashar sekalian.
Kemudian beliau masuk ke tempatnya, lalu keluar lagi dan melakukan shalat Maghrib dan Isya’
sekalian. Sesungguhnya kala ‘ad-dukhul’ (masuk) dan ‘khuruj’ (keluar), hanyalah ada di rumah
(kemah saja). Sedangkan orang yang berjalan tidak akan dikatakan masuk atau keluar. Tetapi
turun atau naik.
“Dan Tabuk adalah akhir peperangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau sesudah itu,
tidak pernah bepergian kecuali ketika haji Wada’. Tidak ada kasus jama’ darinya kecuali di
Arafah dan Muzdalifah. Adapun di Mina, maka tidak ada seorangpun yang menukil bahwa
beliau pernah menjama’ di sana.
Mereka hanya menukilkan bahwa beliau memang mengqashar di sana. Ini menunjukkan bahwa
beliau dalam suatu bepergian terkadang menjama’ dan terkadang tidak. Bahkan yang lebih sering
adalah bahwa beliau tidak men-jama’ . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menjama’. Dan
juga menunjukkan bahwa jama’ bukan menjadi sunah Safar sebagaimana qashar, tetapi
dilakukan hanya bila diperlukan saja, baik dalam bepergian maupun sewaktu tidak dalam
bepergian supaya tidak memberatkan umatnya. Maka seorang musafir bilamana memerlukan
jama’ maka lakukan saja, baik pada waktu kedua atau pertama, baik ia turun untuknya atau untuk
keperluan lain seperti tidur dan istirahat pada waktu Dzuhur dan waktu Isya’. Kemudian dia
turun pada waktu Dzuhur dan waktu Isya. Dia turun pada waktu Dzuhur karena lelah dan
mengantuk serta lapar sehingga memerlukan istirahat, tidur dan makan. Dia boleh mengakhirkan
Dzuhur kepada waktu Ashar kemudian menjama’ taqdim Isya dengan Maghrib lalu sesudah itu
bisa tidur agar bisa bangun di tengah malam dalam bepergiannya.
Maka menurut hadits ini dan lainnya adalah diperbolehkan men-jama’. Adapun bagi orang yang
singgah beberapa hari di suatu kampong atau kota, maka meskipun ia boleh mengqashar, karena
dia musafir, namun tidak diperkenankan men-jama’. Ia seperti halnya tidak boleh shalat di atas
kendaraan, tidak boleh shalat dengan tayamum dan tidak boleh makan bangkai.
Hal-hal seperti ini hanya diperbolehkan sewaktu diperlukan saja. Lain halnya dengan soal
qashar. sesungguhnya ia memang menjadi sunnah dalam shalat perjalanan”.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam berpendapat sebagai berikut :
Diperbolehkan baginya manjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar dalam salah satu waktu di antara
keduanya, menjama’ shalat Maghrib dengan Isya’ dalam salah satu waktu di antara keduanya.
Semua ini merupakan keluwesan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kemudahannya, yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam
agama.
“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga
menjama antara Maghrib dan Isya” [Ini lafazh Al-Bukhary dan bukan Muslim, seperti yang
dikatakan Abdul haq yang menghimpun Ash-Shahihain. Ibnu Daqiq Al-Id juga mengingatkan
hal ini. Mushannif mengaitkan takhrij hadits ini kepada keduanya, karena melihat asal hadits
sebagaimana kebiasaan para ahli hadits, karena Muslim mentakhrij dari riwayat Ibnu Abbas
tentang jama’ antara dua shalat, tanpa mempertimbangkan lafazhnya. Inilah yang telah
disepakati bersama. Menurut Ash-Shan’any. Al-Bukhary tidak metakhrijnya kecuali berupa
catatan. Hanya saja dia menggunakan bentuk kalimat yang pasti]
Makna Hadits
Para ulama saling berbeda pendapat tentang jama’ ini. Mayoritas shahabat dan tabi’in
memperbolehkan jama’, baik taqdim maupun ta’khir. Ini juga merupakan pendapat Asy-Syafi’i,
Ahmad dan Ats-Tsaury. Mereka berhujjah dengan hadits-hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Umar,
begitu pula hadits Mu’adz, bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat
sebelum matahari condong, maka beliau menjama shalat Zhuhur dan Ashar pada waktu
shalat Ashar. Beliau mengerjakan keduanya secara bersamaan. Tapi jika beliau berangkat
sesudah matahari condong, maka beliau shalat Zhuhur dengan Ashar, lalu berangkat. Jika
beliau berangkat sebelum Maghrib, maka belaiu menunda shalat Maghrib dan
mengerjakannya bersama shalat Isya. Jika beliau berangkat sesudah masuk waktu
Maghrib, maka beliau mengerjakan shalat Isya bersama shalat Maghrib. [Diriwayatkan
Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidizy]
Sebagian Imam menshahihkan hadits ini. Sementara yang lain mempermasalahakannya. Asal
hadits ini ada dalam riwayat Muslim tanpa menyebutkan jama taqdim.
Sementara Abu Hanifah dan dua rekannya. Al-Hasan dan An-Nakha’y tidak
memperbolehkan jama’. Mereka menakwil hadits-hadits tentang jama’, bahwa itu merupakan
jama’ imajiner. Gambarannya, menurut pendapat mereka, beliau mengakhirkan shalat Zhuhur
hingga akhir waktunya lalu mengerjakannya, dan setelah itu mengerjakan shalat Ashar pada awal
waktunya. Begitu pula untuk shalat Maghrib dan Isya.
Tentu saja ini tidak mengenai dan bertentangan dengan pengertian lafazh jama’, yang artinya
menjadikan dua shalat di salah satu waktu di antara dua waktunya, yang juga ditentang ketetapan
jama’ taqdim, sehingga menafikan cara penakwilan seperti itu. Al-Khaththaby dan Ibnu Abdil
Barr menyatakan jama’ sebagai rukhshah. Mengerjakan dua shalat, yang pertama pada akhir
waktunya dan yang kedua pada awal waktunya, justru berat dan sulit. Sebab orang-orang yang
khusus pun sulit mencari ketetapan waktunya. Lalu bagaimana dengan orang-orang awam ?
Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Malik menyatakan, yang boleh dilakukan ialah
jama’ ta’khir dan tidak jama’ taqdim. Mereka menanggapi hadits-hadits yang dikatakan
sebagian ulama, yang dipermasalahkan.
Mereka juga saling berbeda pendapat tentang hukum jama’. Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur
berpendapat, perjalanan merupakan sebab jama’ taqdim dan ta’khir. Ini juga merupakan
salah satu riwayat dari Malik. Pendapat Malik dalam riwayat yang masyhur darinya,
pengkhususan darinya, pengkhususan jama’ pada waktu dibutuhkan saja, yaitu jika
sedang mengadakan perjalanan. Ini juga merupakan pilihan pendapat Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim. Menurut Al-Bajy, ketidaksukaan Malik
terhadap jama’, karena khawatir jama’ inmi dilakukan orang yang sebenarnya tidak mendapat
kesulitan. Adapun pembolehannya jika mengadakan perjalanan, didasarkan kepada hadits Ibnu
Umar.
Abu Hanifah tidak memperbolehkan jama’ kecuali di Arafah dan Muzdalifah, karena
untuk keperluan manasik haji dan bukan karena perjalanan.
Jumhur berhujjah dengan hadits-hadits yang menyebutkan jama’ secara mutlak tanpa ada batasan
perjalanan, ketika singgah atau ketika mengadakan perjalanan. Begitu pula yang disebutkan di
dalam Al-Muwaththa’ dari Muadz bin Jabal, bahwa pada Perang Tabuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat, kemudian keluar shalat Zhuhur dan Ashar bersama-sama,
kemudian masuk dan keluar lagi untuk shalat Maghrib dan Isya’. Menurut Ibnu Abdil Barr, isnad
hadits ini kuat. Asy-Syafi’y menyebutkannya di dalam Al-Umm. Menurut Ibnu Abdul Barr dan
Al-Bajy, keluar dan masuknya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa
beliau sedang singgah dan tidak sedang dalam perjalanan. Ini merupakan penolakan secara tegas
terhadap orang yang menyatakan bahwa beliau tidak menjama’ kecuali ketika mengadakan
perjalanan.
Dalil Al-Imam Malik, Syaikhul Islam dan Ibnul Qayyim ialah hadits Ibnu Umar, bahwa jika
beliau mengadakan perjalan, maka beliau menjama’ Maghrib dan Isya’, seraya berkata : “Jika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjalanan, maka beliau menjama
keduanya”.
Tapi menurut jumhur, tambahan bukti dalam beberapa hadits yang lain layak untuk diterima.
Bagaimanapun juga, bepergian mendatangkan banyak kesulitan, baik ketika singgah maupun
ketika dalam perjalanan. Rukhshah jama’ tidak dibuat melainkan untuk memberikan kemudahan
didalamnya.
Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu, menjadikan hadits Mu’adz dan sejenisnya termasuk dalil-
dalilnya, bahwa rukhshah jama’ tidak ditetapkan melainkan ketika mengadakan perjalanan
(bukan ketika singgah). Adapun pendapat Abu Hanifah tertolak oleh berbagai hadits yang shahih
dan jelas maknanya.
Faidah Hadits
Pertama,
Seperti yang disebutkan pengarang tentang jama’ karena perjalanan, maka disana ada beberapa
alasan selain perjalanan yang memperbolehkan jama’, di antaranya hujan. Al-Bukhary
meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ Maghrib dan Isya’ pada
suatu malam ketika turun hujan. Jama’ ini dikhususkan untuk Maghrib dan Isya’, bukan untuk
Zhuhur dan Ashar. Namun ulama lain membolehkannya juga, di antaranya Al-Imam Ahmad dan
rekan-rekannya.
Begitu pula alasan sakit. Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menjama’ Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ bukan karena takut dan hujan. Dalam
riwayat lain disebutkan, bukan karena takut dan perjalanan. Tidak ada sebab lain kecuali sakit.
Banyak ulama yang memperbolehkannya, di antaranya Malik, Ahmad, Ishaq dan Al-Hasan. Ini
juga merupakan pendapat segolongan ulama dari madzhab Syafi’y, seperti Al-Khaththaby dan
ini juga merupakan pilihan An-Nawawy di dalam Shahih Muslim. Ibnu Taimiyah menyebutkan
bahwa Al-Imam Ahmad menetapkan pembolehan jama’ bagi orang yang terluka dan karena
kesibukan, yang didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan tentang masalah ini. Ada pula yang
menetapkan pembolehan jama’ bagi wanita istihadhah, karena istihadhah termasuk penyakit.
Kedua,
Batasan perjalanan yang menyebabkan pembolehan jama’ diperselisihkan para ulama. Asy-
Syafi’i dan Ahmad menetapkan lama perjalanan selama dua hari hingga ke tujuan, atau
sejauh enam belas farskah [Satu farskah sama dengan empat mil. Satu mil sama dengan satu
setengah kilometer. Enam belas farsakh sama dengan enam puluh emapt mil, atau sama denan
sembilan puluh enam kilometer]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menetapkan pilihan bahwa apa pun yang disebut dengan
perjalanan, pendek atau jauh, diperbolehkan jama’ didalamnya. Jadi tidak diukur dengan
jarak tertentu. Menurut pendapatnya, di dalam nash Al-Kitab dan As-Sunnah tidak disebutkan
perbedaan antara jarak dekat dengan jarak jauh. Siapa yang membuat perbedaan antara jarak
dekat dan jarak jauh, berarti dia memisahkan apa yang sudah dihimpun Allah, dengan sebagian
pemisahan dan pembagian yang tidak ada dasarnya. Pendapat Syaikhul Islam ini sama dengan
pendapat golongan Zhahiriyah, yang juga didukung pengarang Al-Mughny.
Ketiga,
Menurut jumhur ulama, meninggalkan jama’ lebih utama daripada jama’, kecuali dalam dua
jama’, di Arafah dan Muzdalifah, karena disana ada kemaslahatan.
Kesimpulan Hadits
Boleh menjama shalat Zhuhur dengan Ashar, shalat Maghrib denan Isya’
Keumuman hadits menimbulkan pengertian tentang diperbolehkannya jama’ taqdim dan ta’khir
antara dua shalat. Beberapa dalil menunjukkan hal ini seperti yang sudah disebutkan di atas.
Menurut zhahirnya dikhususkan saat mengadakan perjalanan. Diatas telah disebutkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama dan dalil dari masing-masing pihak. Menurut Ibnu Daqiq
Al-Id, hadits ini menunjukkan jama’ jika dalam perjalan. Sekiranya tidak ada hadits-hadits lain
yang menyebutkan jama’ tidak seperti gambaran ini, tentu dalil ini mengharuskan jama’ dalam
kondisi yang lain. Diperbolehkannya jama’ di dalam hadits ini berkaitan dengan suatu sifat yang
tidak mungkin diabaikan begitu saja. Jika jama’ dibenarkan ketika singgah, maka pengamalannya
lebih baik, karena adanya dalil lain tentang pembolehannya diluar gambaran ini, yaitu dalam
perjalanan. Tegaknya dalil ini menunjukkan pengabaian pengungkapan sifat ini semata. Dalil ini
tentu tidak dapat dianggap bertentangan dengan pengertian di dalam hadits ini, karena
pembuktian pembolehan apa yang disampaikan di dalam gambaran ini secara khusus, jauh lebih
kuat.
Hadits ini dan juga hadits-hadits lainnya menunjukkan bahwa jama’ dikhususkan untuk shalat
Zhuhur dengan Ashar, Mgahrib dengan Isya, sedangkan Subuh tidak dapat dijama’ dengan shalat
lainnya.
Tidak boleh menjama (menggabungkan) shalat Ashar dengan shalat Jum’at ketika
diperbolehkan menjama antara shalat Ashar dan Dzuhur (karena ada alasan syar’i,
seperti perjalanan,-red) . Seandainya seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh
melintasi suatu daerah, lalu dia melakukan shalat Jum’at bersama kaum muslimin disana,
maka (dia) tidak boleh menjama Ashar dengan shalat Jum’at.
Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga diperbolehkan untuk menjama shalat,
(lalu ia) menghadiri shalat dan mengerjakan shalat Jum’at, maka dia tidak boleh menjama shalat
Ashar dengan shalat Jum’at. Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Sesungguhnya
shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”
[An-Nisaa : 103]
Maksudnya, (ialah) sudah ditentukan waktunya. Sebagian dari waktu-waktu ini sudah dijelaskan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara global dalam firmanNya “Dirikanlah shalat dari
sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh.
Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)” [Al-Israa : 78]
Jika ada yang mengatakan, apakah tidak boleh mengqiyaskan jama shalat Ashar ke Jum’at
dengan menjama shalat Ashar ke Dzuhur?
Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga turun hujan yang menimbulkan
kesulitan, akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjama shalat Ashar dengan
Jum’at, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya dari sahabat Anas bin
Malik, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta hujan pada hari Jum’at saat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar. Sebelum beliau turun dari mimbar, hujan
turun dan mengalir dari jenggotnya. Ini tidak akan terjadi, kecuali disebabkan oleh hujan yang
bisa dijadikan alasan untuk menjama shalat, seandainya boleh menjama Ashar dengan shalat
Jum’at. Sahabat Anas bin Malik mengatakan, pada hari Jum’at berikutnya, seseorang datang dan
berkata : “Wahai, Rasulullah. Harta benda sudah tenggelam dan bangunan hancur, maka
berdo’alah kepada Allah agar memberhentikan hujan dari kami”.
Kondisi seperti ini, (tentunya) memperbolehkan untuk menjama, jika seandainya boleh menjama
‘ shalat Ashar dengan shalat Jum’at.
Jika ada yang mengatakan “Mana dalil yang melarang menjama shalat Ashar dengan shalat
Dzuhur?”
Pertanyaan seperti ini tidak tepat, karena hukum asal beribadah adalah terlarang, kecuali ada
dalil (yang merubah hukum asal ini menjadi wajib atau sunat, -pent). Maka orang yang melarang
pelaksanaan ibadah kepada Allah dengan suatu amalan fisik atau hati, tidak dituntut untuk
mendatangkan dalil. Akan tetapi, yang dituntut untuk mendatangkan dalil ialah orang yang
melakukan ibadah tersebut, berdasarkan firman Allah yang mengingkari orang-orang yang
beribadah kepadanya tanpa dasar syar’I “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan
selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” [Asy-
Syuura : 21]
Dan firmanNya “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” [Al-Maidah
: 3]
Berdasarkan ini, jika ada yang menanyakan, “Mana dalil larangan menjama shalat Ashar dengan
shalat Jum’at?” (Maka) kita mengembalikan pertanyaan “Mana dalil yang memperbolehkannya ?
Karena hukum asal shalat Ashar dikerjakan pada waktunya. Ketika ada faktor yang
memperbolehkan untuk menjama shalat Ashar, hukum asal ini bisa diselisihi, (maka yang) selain
itu tetap pada hukum asalnya, yaitu tidak boleh diajukan dari waktunya.
Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana pendapatmu jika dia berniat shalat Dzuhur ketika shalat
Jum’at agar bisa menjama?”
Jawab, jika seorang imam shalat Jum’at di suatu daerah, berniat shalat Dzuhur dengan shalat
Jum’atnya, maka tidak syak lagi (demikian) ini merupakan perbuatan haram, dan shalatnya batal.
Karena bagi mereka, shalat Jum’at itu wajib. Jika ia mengalihkan shalat Jum’at ke shalat Dzuhur,
berarti mereka berpaling dari perintah-perintah Allah kepada sesuatu yang tidak diperintahkan,
sehingga berdasarkan hadits di atas, (maka) amalnya batal dan tertolak.
Sedangkan jika yang berniat melaksanakan shalat Jum’at dengan niat Dzuhur adalah -seorang
musafir (misalnya) yang bermakmum kepada orang yang wajib melaksanakannya, maka
perbuatan musafir ini juga tidak sah. Karena, ketika dia menghadiri shalat Jum’at, berarti dia
wajib melakukannya. Orang yang terkena kewajiban shalat Jum’at namun dia melaksanakan
shalat Dzuhur sebelum imam salam dari shalat Jum’at, maka shalat Dzuhurnya tidak sah.
Sumber :
Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah Wa Syaiun Min Fiqhiha Wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah
Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani, terbitan CV. Pustaka Mantiq, hal. 362-372.
257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad Al-Shalih Al-‘Utsaimin,
terbitan Gema Risalah Press, hal 133-134.
Kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim,
Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diambil dari Fatawa Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin.
http://www.almanhaj.or.id
http://nafafaz.blogspot.com/2016/02/shalat-qashar-dan-pandangan-hukumnya.html
Dari riwayat tersebut diatas, mereka menyimpulkan bahwa qashar shalat adalah azimah. Jadi
wajib bagi musafir untuk tidak menyempurnakan shalat dengan empat rakaat. Jika sempurna,
maka ia wajib mengulangnya dengan dua rakaat.
Madzhab Kedua
Madzhab ini mengatakan bahwa qashar shalat adalah rukhsah. Ini pendapat madzhab Maliki,
Syafi’i dan Hanbali. Tapi, mereka berbeda pendapat dalam masalah; apakah itu hukumnya sunah
muakkadah?
Menurut madzhab Maliki dalam pendapatnya yang masyhur mengatakan, “Sesungguhnya qashar
shalat dalam perjalanan hukumnya sunah muakkad. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan
oleh Rasulullah Saw.
Lebih lanjut, madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan, “Qashar shalat adalah rukhsah sebagai
pilihan bagi mereka yang melakukan perjalanan. Jadi, mereka boleh saja menyempurkan atau
mengqashar shalat. Namun, menurut madzhab Hanbali, mengqashar shalat lebih utama daripada
menyempurnakannya. Adapun menurut madzhab Syafi’i dalam pendapatnya yang masyhur,
yang lebuh utama adalah menyempurnakan shalat.
Lebih lanjut mereka mendasarkan pendapatnya tersebut kepada firman Allah Swt:
ُ علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح ا َ ْن ت َ ْق
.ص ُر ْو ِامنَ الصلوة َ فَلَي
َ ْس
“Tidak ada dosa bagimu, jika memang hendak mengqashar shalat”. (QS. An-Nisa’: 101)
Lafadz “minasshalat” yang dipakai dalam ayat diatas menunjukkan makna sebagian (littab’idl).
Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa seseorang boleh-boleh saja mengqashar shalat. Kemudian
“la junaha” yang berarti tidak ada dosa memberikan makna bahwa seseorang tidak mendapatkan
dosa dengan melakukan qashartersebut menunjukkan qashar shalat adalah rukhsah, bukan
azimah. Kalau memang ada keterangan bahwa seseorang tidak berdosa dengan melakukan itu,
berarti hal itu bersifat alternative, bukan mutlak. Rukhsah bersifat alternatif. Kalau kalau azimah
bersifat mutlak.
Mereka juga melandaskan pendapatnya kepada sabda Rasulullah Saw:
فسألت رسول هللا, عجبت مما عجبت منه:حديث عمر بن الخطاب حينما قال ليعلى بن امية
. صدقة تصدق هللا بها عليكم فاقبلوا صدقته:صلى هللا عليه وسلم عن ذلك فقال
Dari hadits Umar bin Khattab Ra diceritakan. Ketika beliau mengatakan sesuatu kepada Ya’la
bin Umayyah, “Saya terkagum-kagum terhadap sesuatu”. Sayapun menanyakannya kepada
Rasulullah Saw. Beliau menjawab, “Shadaqah yang Allah bersedekah denganya. Maka terimalah
shadaqahnya”. (HR. Muslim)
Kata “shadaqah” disini mengandung makna bahwa qashar adalah rukhsah, bukan azimah. Lebih
lanjut, Imam Syafi’I menambahkan bahwa mengqashar shalat adalah rukhsah yang diberikan
Allah Swt kepada mukallaf. Jika mereka hendak menyempurnakan shalat, maka hukumnya sah-
sah saja.[6]
[1] M. Muzaki, Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab, hal 251
[2] Muhammad Asnawi, Fashalatan, (Kudus: Menara Kudus, tt), hal 76
[3] Departemen Agama, Al-Quran Terjemahan, hal 95
[4] Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, al-Sholah fi al-Hawa’. Dialih bahasakan
Bahasa Indonesia
Fakhruddin Aziz, Shalat di Pesawat dan Angkasa, (Tuban: Syauqi Press, 2007), hal 144
[5] Ibid
[6] Ibid, hal 145-147
http://aqlamuna.blogspot.com/2014/03/surat-nisa-ayat-101-103.html
َّصال ِة ِإن ِخفتُم أَن َيفتِ َن ُك ُم الَّ ِذينَ َكفَ ُروا ِإن َّ ص ُروا ِمنَ ال ُ علَيكُم ُجنَاح أَن تَق َ س َ ض فَلَي ِ َو ِإ َذا ض ََربتُم فِي األر
صالةَ فَلت َقُم َطا ِئفَة ِمن ُهم َم َعكَ َول َيأ ُخذُوا َّ يهم فَأَقَمتَ لَ ُه ُم ال ِ ) َو ِإ َذا كُنتَ ِف١٠١( عد ًُّوا ُمبِينا َ الكَا ِف ِرينَ كَانُوا لَكُم
صلُّوا َم َعكَ َول َيأ ُخذُوا ِحذ َر ُهم َ ُصلُّوا فَليَ ُت َطا ِئفَة أ ُخ َرى لَم ي ِ س َجدُوا فَل َيكُونُوا ِمن َو َرا ِئكُم َولتَأ َ أَس ِل َحت َ ُهم فَ ِإ َذا
علَيكُم َ علَيكُم َميلَة َوا ِحدَة َول ُجنَا َح َ ََوأَس ِل َحت َ ُهم َو َّد الَّ ِذينَ َكفَ ُروا لَو تَغفُلُونَ عَن أَس ِل َح ِت ُكم َوأَم ِت َع ِتكُم فَيَ ِميلُون
ع َذابا َ َ ّللاَ أ
َ َع َّد ِللكَافِ ِرين َّ َّضعُوا أَس ِل َحت َكُم َو ُخذُوا ِحذ َر ُكم إِن َ َ إِن كَانَ بِكُم أَذى ِمن َم َطر أَو كُنتُم َمرضَى أَن ت
َصالة َّ علَى ُجنُوبِكُم فَ ِإ َذا اط َمأنَنت ُم فَأَقِي ُموا ال َ ّللاَ قِيَاما َوقُعُودا َو َّ صالةَ فَاذك ُُروا
َّ ) فَ ِإ َذا قَضَيت ُ ُم ال١٠٢( ُم ِهينا
)١٠٣( علَى ال ُمؤ ِمنِينَ ِكتَابا َموقُوتا َ صالةَ كَانَت َّ إِنَّ ال
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar sholat, jika kamu
takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Dan apabila kamu (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat)
besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian apabila mereka (yang sholat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang lain yang belum sholat, lalu mereka sholat
denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir
ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu
sekaligus. Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu
kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit, dan bersiap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah
menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan sholat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada
waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah sholat
itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nisa: 101-103)
Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul ayat 101-102: diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ali beliau berkata: satu kaum dari
Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah Saw., mereka berkata: “wahai Rasulullah, kami sedang dalam
perjalanan, maka bagaimana kami sholat?”. Maka turunlah ayat ( علَيكُم َ ض فَلَي
َ س ِ َو ِإ َذا ض ََربتُم فِي األر
ُ ) ُجنَاح أَن تَق. Ayat (wahyu) terputus sampai di sini. Kemudian setelah hampir setahun
َّ ص ُروا ِمنَ ال
صال ِة
setelah kejadian itu Nabi keluar tuk berperang, dan ketika tiba waktu zuhur Nabi bersama para
sahabatnya melaksanakan sholat zuhur. Pada saat Nabi sedang sholat, kaum Musyrikin berseru:
“Sungguh memungkinkan bagi kalian untuk menyerang Muhammad dan Shohabatnya dari belakang,
apakah kalian ingin menyerangnya?”. Kemudian salah seorang di antara mereka berkata: “masih ada
kelompok lain yang sama banyaknya dengan kelompok itu di belakangnya”. Kemudian Allah pun
menurunkan ayat (َكفَ ُروا َ )إِن ِخفتُم أَن يَفتِنَ ُك ُم الَّ ِذينsampai pada ayat (ع َذابا ُم ِهينا
َ ).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang ayat, ( ِإن كَانَ بِكُم
)أَذى ِمن َم َطر أَو كُنتُم َمرضَىIa berkata, "Ketika itu Abdurrahman bin 'Auf terluka." Al Haafizh berkata,
"Maka turunlah ayat tersebut."
Tafsir Mufradat
Qashar yang artinya meringkas, bisa berarti meringkas secara 'adad (jumlah), yakni dengan
mengerjakan sholat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, dan bisa pula maksudnya qashrush sifat,
yaitu meringankan rukun-rukun sholat yang 2 rakaat itu, ketika dalam perjalanan dan saat kondisi khauf
(khawatir). Mengerjakan dua rakaat sholat yang empat rakaat tersebut dilakukan karena dalam
perjalanan, dan meringankan sifat dilakukan karena kondisi khauf (mengkhawatirkan serangan musuh).
Namun jika dalam perjalanan yang tidak mengkhawatirkan, maka hanya berlaku qashar jumlah, yakni
mengerjakan sholat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, sedangkan jika tidak dalam perjalanan
(hadhar), tetapi kondisi mengkhawatirkan, maka berlaku qashrush sifat, yakni memberikan keringanan
rukun-rukun sholat seperti pada sholat khauf yang disebutkan pada ayat 102 dari surah an-Nisa di atas.
Menurut Imam Syafi'i, mengqashar adalah rukhshah (kelonggaran) sehingga tidak wajib.
Namun demikian, hal itu tidaklah menafikan keutamaan qashar. Bahkan mengqashar lebih utama
berdasarkan beberapa alasan: Pertama, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa mengqashar
sholatnya ketika safar. Kedua, mengqashar merupakan bentuk kelonggaran dan rahmat (kasih sayang)
Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala suka apabila rukhshah-Nya
dikerjakan sebagaimana Dia tidak suka maksiat dikerjakan.
Zhahir ayat di atas menunjukkan bahwa meng-qashar sholat yang berjumlah empat menjadi
dua tidak dilakukan kecuali ada dua sebab, yaitu safar dan kondisi mengkhawatirkan, oleh karena itu
Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu sampai bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Wahai Rasulullah, mengapa kita mengqashar sholat, padahal kita dalam keadaan aman?" Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َ علَيكُم فَاقبَلُوا
. ص َدقَتَه َ ّللاُ بِ َها
َّ ق َ َ ص َدقَة ت
َ ص َّد َ
Artinya: "Ia adalah sedekah, di mana Allah memberikannya kepada kamu, maka terimalah sedekah itu."
Dengan demikian, meskipun kita tidak dalam kondisi mengkhawatirkan, mengqashar sholat
dalam safar tetap disyari'atkan.
Mengenai cara sholat khauf seperti tersebut pada ayat 102 di atas dilakukan dalam keadaan
yang masih mungkin dikerjakan, apabila tidak memungkinkan untuk dikerjakan seperti peperangan
berkecamuk dan sulit membagi dua pasukan, maka masing-masing mengerjakan sholat sesuai
kemampuan, bisa sambil berjalan, naik kendaraan menghadap kiblat maupun tidak (berdasarkan surat
Al Baqarah ayat 239).
Maka segala puji bagi Allah atas nikmat-nikmat-Nya yang diberikan kepada kaum mukmin,
dikuatkan-Nya mereka dan diajarkan-Nya mereka cara-cara yang jika mereka mengerjakannya secara
sempurna, maka tidak ada jalan bagi musuh menguasai mereka kapan pun dan di mana pun.
Yakni dalam setiap keadaan. Hal itu, karena baiknya hati, beruntung dan bahagianya terletak
pada kembalinya mereka kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala, mencintai-Nya dan memenuhi hati
dengan mengingat dan memuji-Nya. Yang demikian dapat dilakukan, salah satunya –bahkan yang paling
besarnya- adalah dengan sholat secara sempurna, di mana sholat itu pada hakikatnya merupakan
penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Dalam sholat khauf yang ringkas tersebut tujuan dari sholat tidak tercapai karena hati dan
badan ketika itu disibukkan oleh perkara lain, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk
menutupi kekurangan tersebut dengan dzikrullah dalam setiap keadaan. Manfaat dzikrullah sangat
banyak; hati dan badan yang sebelumnya lemah karena memerangi musuh menjadi segar kembali
dengannya, karena memang dzikrullah merupakan makanan bagi hati. Demikian juga dzikrullah dengan
sikap sabar dan teguh merupakan sebab keberuntungan dan kemenangan, sebagaimana firman Allah,
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah
kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung." (Q.S. Al Anfaal: 45), dan
hikmah-hikmah lainnya yang begitu banyak.
Kesimpulan
Tiga ayat di atas menerangkan secara gamblang tentang meng-qashor sholat, di ketika
seseorang sedang dalam perjalanan jauh atau sedang bepergian dan di saat dalam keadaan tidak aman
atau dalam kekhawatiran, seperti dalam peperangan dan lainnya.
Dan dijelaskan pula pada ayat 102 tentang bagaimana kaifyah atau cara melaksanakan sholat
khauf (meng-qashor dalam keadaan tidak aman atau dalam kekhawatiran akan serangan musuh). Bukan
hanya sekedar itu, dalam ayat ini juga terdapat dalil bahwa shalat berjama'ah hukumnya fardhu 'ain,
karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan shalat berjama'ah dalam kondisi yang
mengkhawatirkan ini. Jika dalam kondisi seperti ini masih diperintahkan shalat berjama'ah, maka dalam
kondisi aman lebih diperintahkan lagi.
Kemudian pada ayat selanjutnya Allah menyuruh untuk menutup segala kekurangan di dalam
sholat itu dengan memperbanyak berzikir kepadanya, baik di ketika berduduk, berdiri, maupun
berbaring atau dalam hal bagaimana pun. Karena dzikrullah di sini sangat bermanfaat terutama bagi hati
dan badan yang sebelumnya lemah karena memerangi musuh, maka iaakan menjadi segar kembali
dengannya, karena memang dzikrullah merupakan makanan bagi hati.
http://syukronbinmakmur.blogspot.com/2018/01/makalah-tafsir-tahlili-juz-1-5.html
PENDAHULUAN
Yang paling populer dari antara corak atau metode penafsiran tersebut
adalah metode tahlili dan maudhu’i. Penafsiran dengan metode tahlili yang oleh
Baqir dinamai sebagai metode Tajzi’i adalah sebuah metode tafsir dimana
mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai
seginya dengan memperhatikan runtutan ayat demi ayat atau surah demi surah
sebagaimana tersebut dalam mushaf. Untuk lebih jelasnya, makalah ini akan
membahas beberapa kajian yang terkait dengan tafsir tahlili tersebut.
II
PEMBAHASAN
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (An-Nisa'
4:101)
Yaftinakum, Akar kata dari kalimat ini adalah al-fatn artinya memasukkan
emas ke dalam api untuk bisa diketahui mana yang asli dan mana bagian yang
bukan asli, atau mana yang asli dan mana yang campuran. Lalu kata fitnah
akhirnya digunakan untuk segala macam cobaan berupa kebaikan maupun
keburukan (al-Anbiya/21:35). Harta dan anak-anak adalah fitnah yang bisa
menjerumuskan seseorang ke neraka karena salah urus (at-Tagabun/64:15). Hanya
saja pemakaian kata fitnah lebih banyak diperuntukan pada hal keburukan. Dari
pengertian etimologis bisa diambil pengertian bahwa fitnah adalah satu cobaan,
seseorang dihadapkan pada satu keadaan yang demikian besar yang bisa
menggoncangkan sendi-sendi keimanannya. Oleh karena itu, menganiaya orang
Islam agar mereka berpaling dari agama mereka adalah fitnah, inilah disebut oleh
Al-Qur'an bahwa fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan (al-Baqarah/ 2:191).
Syirik juga disebut fitnah (al-Ahzab/33:14). Membuat orang lain ragu tentang
kebenaran agama islam adalah juga fitnah (Ali-Imran/3:7)
Munasabah
Tafsir
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dibenarkan umat islam menunaikan fardhu
shalat qasar (qasar) pada waktu dia dalam perjalan, baik dalam keadaan aman atau
dalam ancaman musuh. Salat dalam perjalanan yang aman disebut sholat safar.
Pada sholat safar yang terdiri dari empat rakaat: zuhur, asar, dan isya' diqasar
menjadi dua rakaat. Magrib dan subuh tidak diqasar. Syarat mengqasar sholat safar
ialah perjalanan yang jauhnya diukur dengan perjalanan kaki selama tiga hari tiga
malam. Menurut Imam Syafi'i, perjalanan dua hari atau 89 km. Menurut
perhitungan mazhab Hanafi 3 farsakh (18). Sedangkan menurut pendapat lain,
kebolehan mengqasar sholat tidak terikat dengan ketentuan jauh jarak tetapi asal
sudah dinamai safar, boleh mengqasar.
Menurut tafsir Al-Misbah ayat ini merupakan dasar tentang bolehnya shalat
qasar dalam perjalanan baik dalam keadaan takut maupun tidak. dikatakan dalam
ayat: “Jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” shalat khauf ini diterangkan
dalam ayat berikut.
Tafsir
Dalam ayat ini dijelaskan cara salat khauf, yaitu bilamana Rasulullah berada
dalam barisan kaum Muslimin dan beliau hendak salat bersama pasukannya, maka
lebih dahulu beliau membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama salat bersama Rasul sedang kelompok kedua tetap ditempatnya
menghadapi musuh sambil melindungi kelompok yang sedang salat. Kelompok
yang sedang salat ini diharuskan menyandang senjata dalam salat untuk menjaga
kemungkinan musuh menyerang dan agar mereka tetap waspada. Bilamana
kelompok pertama ini telah menyelesaikan rakaat pertama hendaklah mereka pergi
menggantikan kelompok kedua, dan Nabi menanti dalam salat. Kelompok kedua
ini juga harus menyandang senjata bahkan harus lebih bersiap siaga. Nabi salat
dengan kelompok kedua ini dalam rakaat kedua. Sesudah rakaat kedua ini beliau
membaca salam, kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan satu rakaat
lagi dengan cara bergantian. Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:
صلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صَلة الخوف بإحدي الطائفتين ركعة والطائفة اْلخرى
مواجهة اَللعدو ثم انصرفوا وقاموا مقام أصحابهم مقبلين على العدو وجاء أولئك ثم صلى
بهم النبي صلى هللا عليه وسلم ركعة ثم سلم ثم قضى هؤَلاء ركعة وهؤَلاء ركعة
“Nabi saw mengerjakan solat khauf dengan salah saru antara dua kelompok
satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok
pertama pindah menempati kelompok teman-teman mereka sambil menghadapi
musuh, lalu datanglah kelompok kedua dan salat di belakang nabi satu rakaat pula
kemudian membaca salam. Kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan
salatnya satu rakaat lagi.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dan Ibnu ‘Umar)
Ayar ini menjadi dasar salat khauf. dalam ayat ini Allah swt menjelaskan
alasan kaum Muslimin salat menyandang senjata dalam salat khauf, yaitu bila
musuh yang berada tidak jauh dari mereka, maka pada saat itulah pasukan kafir
dapat menggempur mereka. Kemudian Allah menerangkan bilamana pasukan itu
mendapat kesusahan karena hujan atau sakit atau kesulitan lain maka membawa
senjata dalam salat khauf dibolehkan walaupun tidak disandang. Sesungguhnya
Allah telah menyediakan azab yang menghinakan terhadap orang-oran kafir yaitu
kekalahan yang mereka alami.
Mauqutan terambil dari kata waqt/waktu. Dari segi bahasa, kata ini
digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang untuk menyelesaikan
satu pekerjaan. Setiap salat mempunyai waktu dalam arti ada masa ketika
seseorang harus menyelesaikannya. Apabila masa itu berlalu, pada dasarnya
berlalu juga waktu salat itu. Ada juga yang memahami kata ini dalam arti
kewajiban yang bersinambung dan tidak berubah sehingga firman-Nya melukiskan
salat sebagai ( ) ِك ٰت َبًا َّم ْوقُوتًاberarti salat adalah kewajiban yang tidak berubah,
selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur apapun sebabnya. Pendapat
inilah yang kemudian menganggap mengapa perintah shalat setelah mengalami
kedaan darurat harus dilakukan.
Tafsir
Sesudah itu Allah memerintahkan apabila salat khauf itu selesai dikerjakan
dengan cara yang telah diterangkan itu, maka hendaklah pasukan Islam itu
mengingat Allah SWT terus menerus dalam segala keadaan. Lebih-lebih lagi
mereka harus menyebut nama Allah pada saat mereka berada dalam ancaman
musuh. Allah SWT akan menolong mereka selama mereka menolong agama Allah.
Hendaklah mereka mengucapkan tahmid dan takbir ketika berdiri di medan
pertempuran, atau ketika duduk memanah musuh atau ketika berbaring karena
luka-luka. Segala penderitaan lahir dan batin itu akan lenyap jika jiwa sudah diisi
penuh dengan zikir kepada Allah SWT. Di waktu damaipun kaum muslimin harus
terus ingat dan berzikir kepada Allah SWT.
Orang beriman setiap saat berada di dalam pertempuran. Pada suatu saat dia
berperang dengan musuh pada saat yang lain dia bertempur melawan hawa
nafsunya. Demikianlah berzikir mengingat Allah itu diperintahkan Setiap saat
karena dia mendidik jiwa, membersihkan rohani dan menanamkan kebesaran Allah
SWT ke dalam hati. Bila peperangan sudah usai, ketakutan sudah lenyap dan hati
sudah tenteram, hendaklah dilakukan salat yang sempurna rukun dan syaratnya.
Karena salat adalah suatu kewajiban bagi orang-orang mukmin dan mereka wajib
memelihara waktunya yang telah ditetapkan. Paling kurang lima kali dalam sehari
semalam orang Islam bersalat agar dia selalu ingat kepada Tuhannya sehingga
meniadakan kemungkinan terjerumus ke dalam kejahatan dan kesesatan. Bagi
orang yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah waktu lima kali itu
dipandang sedikit, maka dia menambah lagi dengan salat salat sunah di waktu-
waktu yang telah ditentukan dalam agama.
Tafsir
Kemudian Allah menerangkan bahwa sesudah selesai pasukan Islam
menunaikan ibadah salat, haruslah dia siap kembali menghadapi musuh. Jangan
ada sedikitpun rasa gentar dalam mengepung musuh. Dalam peperangan jika tidak
menyerang pasti diserang. Pada ayat ini sebenarnya ada perintah untuk menyerang
musuh, karena semangat tempur si penyerang lebih tinggi dari pada yang diserang.
Karenanya Allah memerintahkan supaya pasukan Islam berada di pihak yang
menyerang. Kesudahan suatu peperangan ialah penderitaan, dan penderitaan bukan
saja bagi si penyerang bahkan juga bagi yang diserang. Firman Allah SWT:
“jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang
Badar) mendapat luka yang serupa.” (Ali ‘Imran 3:140)
Jika musuh yang diserang sabar menahan derita, mengapa si penyerang tidak
sabar? Pasukan Islam patut lebih sabar dan lebih tabah dari orang kafir karena
mereka mempunyai harapan dari Allah SWT yang tidak dipunyai oleh orang kafir.
Allah menjanjikan kepada mujahid Islam sekurang-kurangnya memperoleh satu
dari dua keberuntungan. Yaitu mereka memperoleh kemenangan dalam
pertempuran atau surga bagi yang syahid. Janji Allah ini mendorong setiap pejuang
Islam yang penuh dadanya dengan iman untuk berjuang lebih gigih, lebih sabar
dan lebih berani. Allah Maha Mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi agama
dan bagi kaum Muslim in. Dia tidak akan memikulkan beban di luar kesanggupan
mereka, karena Dia Maha Bijaksana sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan Nya
yang maha luas, maka keuntungan pasti di pihak yang benar dan kehancuran pasti
di pihak yang batil.
Daftar Pustaka
Kementrian Agama RI. Al-Qur’an Dan Tafsirnya jilid 4. Jakarta: Lembaga Percetakan
Al-Qur’an Kementrian Agama, 2010
Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbah volume 5. Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2012
http://bobandriansambas.blogspot.com/2016/11/tafsir-maushui-dasar-hukum-shalat-jama.html
Perjalanan, merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan
manusia, apa lagi pada jaman modern ini. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga dan menyita
waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Meski dengan berkembangnya teknologi transportasi,
jarak tempuh perjalanan tidak selalu berbanding lurus dengan waktu yang dibutuhkan, karena
ada faktor lain yang sangat menentukan, yaitu alat transportasi yang dipergunakan.
Demi sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski
kita tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita
tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban terhadap sang
khalik, yaitu Sholat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan aturan-aturan yang sangat
mempermudah bagi para musafir. Sholat yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut
sholatus safar.
Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para
pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholehnya, sebagaimana firman Allah
SWT : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(QS. Al Baqoroh : 185) dan “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (QS. Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karena itulah
shalat merupakan tiang agama. kemudian apabila seseorang meninggalkan shalat ia disebut
penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka
ia disebut sebagai penegak agama. Oleh karena, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat
walau bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian.
Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan
bertayammum, begitupula dengan sholat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’ (dirangkap)
maupun diqoshor (dipotong). Dengan demikian, pembahasan kali ini akan membahas tentang
jama’ qashar dan menjama’ shalat.
Shalat Jama’
1. Pengertian
Menurut bahasa shalat jama' artinya shalat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat
Islam ialah dua shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada sebab-sebab tertentu.
Shalat jama’ juga bisa dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat dan ketentuan sebagaimana
yang telah ditetapkan. Berikut ini jenis shalat yang bisa di jama’beserta macam-macamnya.
a. Shalat yang Boleh Dijama'
Shalat yang boleh dijama' adalah shalat zhuhur dengan shalat ashar, dan shalat maghrib
dengan shalat isya.
b. Shalat jama' ada dua macam, yakni
1) Jama' Taqdim yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar dikerjakan pada waktu zhuhur, atau shalat
maghrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu maghrib.
2) Jama' Ta'khir yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar atau shalat
maghrib dan isya dikerjakan pada waktu isya.
2. Hal-hal Yang Membolehkan Jama'
Adapun beberapa sebab yang dibolehkan untuk melaksanakan shalat Jama’ :
a. Sebab Safar
Menjama' shalat dibolehkan bila seseorang berada dalam keadaan safar (perjalanan).
Namun para ulama menetapkan bahwa sebuah safar itu minimal harus menempuh jarak tertentu
dan ke luar kota. Di masa Rasulullah SAW, jarak itu adalah 2 marhalah. Satu marhalah adalah
jarak yang umumnya ditempuh oleh orang berjalan kaki atau naik kuda selama satu hari. Jadi
jarak 2 marhalah adalah jarak yang ditempuh dalam 2 hari perjalanan.
Ukuran marhalah ini sangat dikenal di masa itu, sehingga dapat dijadikan ukuran jarak
suatu perjalanan. Orang arab biasa melakukan perjalanan siang hari, yaitu dari pagi hingga
tengah hari. Setelah itu mereka berhenti atau beristirahat.
Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini sesuai dengan ukuran jarak yang dikenal
di zaman mereka masing-masing. Misalnya, di suatu zaman disebut dengan ukuran burud,
sehingga jarak itu menjadi 4 burud. Di tempat lain disebut dengan ukuran farsakh, sehingga jarak
itu menjadi 16 farsakh.
Di zaman sekarang ini, ketika jarak itu dikonversikan, para ulama mendapatkan hasil
bahwa jarak 2 marhalah itu adalah 89 km atau tepatnya 88, 704 km.
Maka tidak semua perjalanan bisa membolehkan shalat jama', hanya yang jaraknya
minimal 88, 704 km saja yang membolehkan. Bila jaraknya kurang dari itu, belum dibenarkan
untuk menjama'.
Namun dalam prakteknya, bukan berarti jarak itu adalah jarak minimal yang harus sudah
ditempuh, melainkan jarak minimal yang akan ditempuh. Berarti, siapa pun yang berniat akan
melakukan perjalanan yang jaraknya akan mencapai jarak itu, sudah boleh melakukan shalat
jama', asalkan sudah keluar dari kota tempat tinggalnya.
b. Sebab Hujan
Kita juga menemukan dalil-dalil yang terkait dengan hujan. Di mana turunnya hujan
ternyatamembolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak untuk jama'
antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil;
Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama' antara shalat Maghrib
dengan Isya' (HR Atsram).
Kemudian dalil lain yang membahas hal ini adalah:
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan; Zuhur,
Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata, ”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir
berkata, ”Mungkin”. (HR Bukhari 543 dan Muslim 705).
Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata, ”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara
maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad Shahih).
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin
Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di
masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab
dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di
Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR Muslim 705).
c. Sebab Sakit
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama' shalat.
Dalilnya adalah hadits nabawi:
Bahwa Rasulullah SAW menjama' shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
d. Sebab Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar
ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah.Dalilnya adalah hadits berikut ini:
Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` Maghrib dan Isya` di
Muzdalifah pada haji wada`. (HR Bukhari 1674).
e. Sebab Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain
menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai
kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan di atas. Allah SWT
berfirman:
Artinya: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj:
78)
Dari Ibnu Abbas ra,: “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.(HR Muslim 705).
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`
di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
Hukum melaksanakan shalat jama' adalah mubah (boleh) bagi orang yang dalam
perjalanan dan mencukupi syarat-syaratnya. Termasuk udzur yang membolehkan seseorang
untuk menjama' shalatnya adalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di
tempat tujuan, turunnya hujan, dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz,
Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141).
Berkata Imam Nawawi: “Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim
boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan." (Syarh
Muslim, Imam Nawawi 5/219).
Dari Ibnu Abbas berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama
antara zhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan
safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu
Abbas beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin
memberatkan ummatnya. (Shahihul Jami’ 1070).
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
Dari Muadz bin Jabal : "Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, apabila beliau
berangkat sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirkan shalat zhuhur sehingga beliau
kumpulkan dengan ashar (beliau sholat zhuhur dan azhar pada waktu ashar). Jika beliau
berangkat sesudah tergelincir matahari beliau melaksanakan sholat zhuhur dan ashar sekaligus
kemudian beliau berjalan. Jika beliau berangkat sebelum maghrib beliau mengakhirkan sholat
maghrib sehingga beliau mengerjakan sholat maghrib dan isya, dan jika beliau berangkat
sesudah waktu maghrib beliau mengerjakan sholat isya dan beliau sholat isya beserta maghrib."
(HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Turmudzi).
I. PENDAHULUAN
Al-Qur'an merupakan pedoman hidup umat Islam, yang diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad melalui wahyu yang dibawa Malaikat Jibril, dan memahami kandungan al-Qur'an
sangatlah urgen, yang harus dikaji oleh intelektual muslim pada khususnya dan seluruh orang
Islam pada umunya.
Oleh karena itu, kaitanya dengan pemahaman kandungan al-Qur'an para mufassirin, dengan
segenap kemampuan serta berbagai persyaratan sebagai mufassir berusaha memberikan
gambaran kandungan tersebut. Tentunya dengan berbagai metode yang digunakan sehingga
banyak bermunculan tafsir-tafsir al-Qur'an seperti methode tafsir maudhui, tafsir bil ma’sur dll.
Akan tetapi pada makalah ini kami akan mencoba memberikan pemahaman kandungan al-Qur'an
yang berluang lingkup seputar masalah shalat qosor dan khauf. Untuk lebih jelasnya akan
dipaparkan pada bagian berikutnya.
II. PEMBAHASAN
واذاضربتم فى االرض فليس عليكم جناح ان تقصروامن الصلوة ان خفتم ان يفتنكم الذين كفروا انالكفرين كانوا لكم عدوا مبينا
واذاكنتم فيهم فاقمت لهم الصلوة فلتكم طا ئفة منهم معك ولياء خذوااسلحتهم فاذاسجدوافليكونوامن ورائكم ولتاءت طا101
ئفةاخرىلم يصلوامعك ولياءخذواحذرهم واسلحتهم ودالذين كفروالوتغفلون عن اسلحتكم وامتعتكم فيميلون عليكم ميلة واحدة وال
فاذاقضيتم102 جناح عليكم ان كان بكم اذىمن مطراوكنتم مرضىان تضعواا سلحتكم وخذواحذركم ان هللا اعدللكفرين عذابامهينا
103 الصلوة فاذكروا هللا قياماوقعوداوعلى جنوبكم فاذا اطماءننتم فاقيموا الصلوة ان الصلوة كانت علىالمؤمنين كتباموقوتا
A Arti Mufrodat:
ضربتم فىاالرض: Kalian bepergian di muka bumi, karena orang musyafir memukul tanah dengan
kedua kakinya dan tongkatnya atau dengan kaki-kaki kendaraannya.
القصر: lawan
الطول: (panjang)
قصرت الثئ: berarti saya memendekkan sesuatu.
الجناح: kesempitan.diambil dari kata juniha al ba’ir yang berarti pecah tulang rusuknya karena
berat bebannya.
B Arti Global
101. Apabila kamu berjalan di bumi, maka tiada berdosa kamu memendekkan shalat, jika kamu
takut akan disakiti oleh orang-orang kafir. Sunguh orang- orang kafir itu musuhmu yang nyata.
102. Apabila engkau (ya Muhammad) berada diantara mereka, lalu engkau hendak mendirikan
shalat bersama mereka, maka hendaklah shalat satu golongan diantara mereka bersama engkau,
dan hendaklah mereka memegang senjata apabila mereka sujud(shalat), hendaklah golongan
yang lain (menjaga) dibelakang kamu. Kemudian hendaklah dating golongan yang lain yang
belum shalat, lalu mereka sholat bersama engkau dan hendaklah mereka waspada, serta
memegang senjatanya. Orang-orang yang kafir itu bercita-cita, supaya kamu lengah dari
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerangmu sekaligus. Tiada berdosa kamu
meletakkan senjatamu, jika kamu dalam kesakitan, karena hujan atau kamu sakit. Tetapi
waspadalah kamu sesungguhnya Allah menyediakan siksa kehinaan untuk orang-orang yang
kafir itu.
103. Apabila kamu telah selesai mengerjakan shalat, hendaklah kamu ingat akan Allah waktu
aman (tiada berperang lagi), maka dirikanlah shalat (sebaik-baiknya). Sesungguhnya shalat itu
adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang mukmin.
C Asbabun Nuzul
Dikemukakan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ali. Ia berkata: pada suatu kaum dari Bani
Najjar bertanya kepada Rasulullah SAW katanya “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami selalu
bepergian (berniaga atau berdagang ), bagaimana shalat kami? Maka Allah menurunkan ayat
“Waidza Dlarabtum Fil Ardhi Falaisa ‘Alaikum Junaahun An Taqsyuruu Min Ash Shalaati
“.Yang memperbolehkan mengqhasar shalat ditengah perjalanan. Wahyu ini terputus sampai
disini ketika ada peperangan yang terjadi sesudah ayat ini, Nabi mengerjakan shalat zhuhur.
Maka berkatalah orang-orang musyrik :”Sungguh Muhammad dan shahabatnya memberi
kemungkinan untuk menggempur dari belakang, ayo kalian perhebat dengan serangan kalian
terhadap mereka !” lalu diantara mereka ada yang berkata “Ambil kesempatan lain saja, toh nanti
mereka akan mengerjakan hal yang serupa ditempat yang sama.”maka Allah menurunkan ayat
antara kedua waktu shalat itu ”Inkhiftum An Yaftinakum Mukadzi Nakafaru” sampai “Adzaaban
Muhiinan” lalu diturunkan pula ayat shalat khauf.
Dikemukakan oleh Ahmad, al Hakim dan beliau telah mentashihkannya dan al Baihaki di dalam
kitab al Dalail yang bersumber dari ibn ‘Iyasy Az-Zurqi Ibn ‘Iyasy, Az Zurzy berkata “ Kami
(para sahabat) bersama Rasulullah SAW di Ashfar maka datanglah serbuan orang-orang
musyrik, diantara mereka terdapat Khalid Bin Walid. Mereka berada diantara kami dan kiblat
lalu Nabi SAW mengimami kami shalat dhuhur berkatalah mereka: “alangkah baiknya kita dapat
membunuh pimpinannya dalam keadaan seperti ini?” yang lainnya berkata: sebentar lagi datang
waktu shalat, dan mereka lebih menyukai shalat dari pada anak-anak dan jiwa mereka sendiri”.
Maka malaikat Jibril turun dengan membawa ayat ini “Waidzaa Kunta Fiihim Faaqamta Lahu
Mushshalaata” pada waktu antara dzuhur dan ashar.
Diriwayatkan oleh At Tirmidzi yang bersumber dari Abi Hiurairah dan Ibn Jarir yang bersumber
dari Tabii Bin Abdullah dan Ibn Abbas seperti hadits tersebut di atas.
Dikemukakan oleh Al Bukhari yang bersumber dari Ibn Abbas berkata: “Ayat ini inkaana bikum
adzaa minmatharin aukuntum mardlaa diturunkan mengenai Abdurrahman Bin Auf yang
menderita luka parah.
D Munasabah Ayat
ان هللا اعدللكفرين عذابا مهسناAzab yang menghinakan ini ialah kemenangan atas kaum mulimin atas
mereka yang terjadi apabila kaum muslimin menjalankan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala
kepada mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat At Taubah ayat 14:
قا تلوهم يعدبهم هللا با يديكم ويخزهم وينصركم عليهم
“Perangilah mereka nniscaya Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan tangan-tangan
kalian dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kalian terhadap mereka”
فاذا قضيتم الصالة فاذكرهللا قياماوقعود ا
“Mengingat Allah termasuk salah satu faktor yang meneguhkan hati, mengobarkan semangat
membuat segala kepayahan dunia menjadi tidak ada”.
Artinya dengan segala kesulitan menjadi mudah serta memberikan ketabahan dan kesabaran
yang akan disusl dengan keberuntungan dan kemenangan. Sesuai dengan firman Allah dalam
surat al Anfal aat 45:
اذالقيتم فئة قاثبتوا وذكروهللا كثيرا لعلكم تفلحون
“Apabila kalian memerangi pasukan musuh maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah nama
Allah sebanyak-banyaknya agar kalian berutung”.
Dari sini dapat difahami betapa kita sangat diperintahkan untuk berzikir kepadanya dalam
keadaan apapun, sesuai dengan firmannya surat al Imran ayat 191:
الذين يذكرون هللا قياماوقعوداوعلىجنو بهم
“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri duduk atau dalam keadaan berbaring”.
E Tafsir Bil Ma’tsur
Kandungan Hukum Ayat
Ayat ini mengandung hukum bahwa diperbolehkannya mengqashar shalat ketika dalam
perjalanan. Yang dalam hal ini terdapat perbedaan tentang perjalanan yang diperbolehkannya
mengqashar shalat dan jarak yang harus ditempuh antar imam mujtahid yang dalam hal ini
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Ayat ini juga mengandung hukum diperbolehkannya
melaksanakan shalat khauf ketika dalam situasi perang.
Hikmah Ditetapkan Hukum
Diperbolehkannya mengqashar shalat dan melakukan shalat khauf ini menunjukan bahwa Allah
SWT tidak ingin mempersulit hambanya dalam menjalankan perintah-perintah agama yang telah
diturunkannya kepada nabi Muhammad SAW.
III. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar dalam hal pembuatan makalah ini pasti banyak
kekurangannya, untuk itu saran dan kritik selalu kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Dan mudah-mudahan bermanfaat. Amiiiin
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mushtafa al Maraghi, Terjemah Tafsir Al Maraghi, Jakarta; Taha Putra, 1992.
Al Imam Jalaludin A Syuyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci al-Qur'an, Surabaya: Mutuara
Ilmu Ghaib, 1986
https://alquranmulia.wordpress.com/2016/02/27/tafsir-ibnu-katsir-surah-an-nisaa-ayat-102/
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud
(telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan kedua yang belum shalat, lalu shalatlah
mereka denganmu dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang
kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika
mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah
kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir
itu.” (QS. an-Nisaa’: 102)
Shalat khauf mempunyai banyak cara (macam). Terkadang musuh berada di arah kiblat dan
terkadang berada bukan di arah kiblat. Shalatnya terkadang empat rakaat, terkadang tiga rakaat
seperti Maghrib dan terkadang dua seperti Shubuh dan shalat safar. Terkadang mereka shalat
berjama’ah dan terkadang perang sedang berkecamuk, sehingga mereka tidak sanggup
berjama’ah, bahkan shalat sendiri-sendiri menghadap kiblat atau tidak, serta berjalan atau naik
kendaraan dan pada keadaan seperti (perang), mereka boleh berjalan, keadaan ini sambil
memukul dengan berturut-turut dalam keadaan shalat.
Sebagian ulama ada yang berkata bahwa dalam keadaan demikian mereka shalat hanya satu
rakaat, berdasarkan hadits Ibnu `Abbas yang lalu. Itulah pendapat Ahmad bin Hanbal. Ada pula
yang membolehkan menta’khirkan shalat karena udzur peperangan dan pertempuran,
sebagaimana Nabi mengakhirkan shalat Zhuhur dan `Ashar pada perang Ahzab, di mana beliau
shalat setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu, shalat Maghrib dan `Isya. Sebagaimana
perkataan beliau sesudahnya (sesudah perang Ahzab), pada perang Bani Quraizhah ketika tentara
dipersiapkan: “Kalian tidak boleh shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Lalu mereka
mendapatkan waktu shalat di tengah jalan. Sebagian orang berpandangan, “Rasulullah tidak
menghendaki dari kita kecuali agar kita mempercepat perjalanan, dan tidak bermaksud agar kita
mengakhirkan shalat dari waktunya. Maka mereka shalat pada waktunya dijalan.” Sedangkan
yang lain melaksanakan shalat `Ashar di Bani Quraizhah setelah tenggelam.” Rasulullah tidak
mencela seorang pun di antara dua kelompok itu.
Kami telah membicarakan hal ini di dalam kitab Sirah dan telah pula kami jelaskan bahwa
orang-orang yang shalat `Ashar pada waktunya lebih mendekati kebenaran, sekalipun pendapat
yang lain dimaafkan pula. Hujjah (Mereka) dalam hal ini, dalam udzur mereka menta’khirkan
shalat, adalah karena jihad dan penyegeraan (mereka) dalam mengepung orang-orang yang
melanggar perjanjian terhadap sekelompok orang-orang Yahudi yang terkutuk. Sedangkan
Jumhur berkata: “Semua ini dinasakh dengan shalat khauf, karena waktu itu shalat khauf belum
turun. Maka ketika ia turun, berarti menasakh ta’khir shalat. Pendapat ini lebih jelas pada hadits
Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dan Ahlus Sunan.
Wa idzaa kunta fiiHim fa aqamta laHumush shalaata (“Dan apabila kamu berada ditengah
mereka, lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.”) Yaitu engkau shalat
bersama mereka menjadi imam dalam shalat khauf. Keadaan (qashar yang dikemukakan) ini
berbeda dengan keadaan pertama. Karena pada keadaan yang pertama shalat diqashar hingga
satu rakaat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits (sendiri-sendiri, berjalan kaki dan
berkendaraan, menghadap kiblat dan tidak menghadap kiblat).
Kemudian, Dia menyebutkan situasi berjama’ah dan bermakmum dengan satu imam. Alangkah
baiknya pengambilan dalil yang dilakukan oleh orang yang berpendapat wajibnya shalat
berjama’ah dengan ayat yang mulia ini, di mana banyak perbuatan yang diringankan karena
berjama’ah. Seandainya shalat berjama’ah itu bukan kewajiban, niscaya tidak mungkin
dibolehkan hal itu. Sedangkan orang yang mengambil dalil dengan ayat ini bahwa shalat khauf
dinasakh setelah (wafatnya) Rasulullah saw. karena berdasarkan firman-Nya: wa idzaa kunta
fiiHim (“Apabila kamu berada di tengah-tengah mereka”) sehingga setelah beliau tidak ada,
maka cara seperti ini hilang.
Sesungguhnya, penyimpulan seperti ini merupakan cara pengambilan dalil yang lemah.
Tertolaknya pendapat ini sama dengan tertolaknya pendapat orang yang enggan berzakat, di
mana ia berdalil dengan firman-Nya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka, sesungguhnya
do’a mu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103).
Mereka mengatakan bahwa kita tidak perlu membayar zakat kepada seorangpun setelah Nabi
saw. wafat. Akan tetapi kita langsung mengeluarkannya kepada orang yang kita pandang
do’anya menenteramkan kita. Dalam hal ini, para Sahabat menolak pendapat mereka dan
menolak cara pendalilan mereka, serta memaksa mereka untuk membayar zakat dan memerangi
orang yang enggan membayarnya diantara mereka.
Pertama-tama kita akan menceritakan sebab turunnya ayat yang mulia ini, sebelum menceritakan
cara-caranya. Dari Abu `Iyasy az-Zarqa ia berkata: “Dahulu kami bersama Rasulullah saw. di
`Asfan, di saat kaum musyrikin pimpinan Khalid bin al-Walid berhadapan dengan kami.
Sedangkan mereka berada di arah kiblat, lalu Nabi saw. shalat Zhuhur bersama kami. Mereka
berkata: `Sesungguhnya mereka dalam keadaan dimana seandainya kita bisa mendapatkan
kesempatan lengah mereka. Kemudian mereka berkata: `Sekarang telah datang waktu shalat
yang mereka lebih cintai dibandingkan anak-anak dan jiwa mereka’. Maka Jibril turun membawa
ayat-ayat ini antara Zhuhur dan `Ashar: wa idzaa kunta fiiHim (“Apabila kamu berada ditengah-
tengah mereka.”) Maka waktunya tiba, dan Rasulullah saw. memerintahkan mereka untuk
mengambil senjata, lalu kami membuat dua shaf di belakang beliau. Kemudian beliau ruku’ dan
kami pun ruku’ seluruhnya, lalu beliau bangkit dan kami pun bangkit seluruhnya. Kemudian
Nabi sujud dengan shaf yang pertama, sedangkan shaf kedua berdiri menjaga mereka. Ketika
shaf pertama selesai sujud dan berdiri, maka shaf kedua sujud menempati shaf pertama,
kemudian setelah itu mereka menempati kembali shaf masing-masing, lalu beliau ruku’ bersama
mereka seluruhnya. Kemudian beliau bangkit dan mereka bangkit seluruhnya, lalu di saat Nabi
saw. sujud dan (diikuti) shaf yang pertama, maka shaf kedua berdiri menjaga mereka. Di saat
mereka duduk, maka shaf kedua duduk, lalu sujud. Kemudian beliau salam, lalu pergi. Nabi saw.
melaksanakan hal tersebut dua kali. Satu kali di `Asfan dan satu kali di tempat Bani Sulaim.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan an-Nasa’idari hadits Syu’bah dan `Abdul
`Aziz bin `Abdush shamad, isnad hadits ini shahih dan memiliki banyak saksi.
Di antaranya adalah riwayat al-Bukhari, dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Nabi berdiri dan diiringi
oleh para Sahabat. Di saat beliau takbir, merekapun takbir. Di saat beliau ruku’, sebagian di
antara mereka rukuk, kemudian beliau sujud dan mereka sujud. Lalu beliau berdiri untuk raka’at
kedua, maka jama’ah yang pertama sujud tadi bangun menjaga saudara-saudara mereka. Lalu
datanglah bagian yang lain, lalu mereka ruku’ dan sujud bersama beliau. Semua orang berada
dalam shalat, akan tetapi sebagian mereka menjaga sebagian lainnya.”
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sulaiman bin Qais al-Yasykuri bahwa dia bertanya kepada Jabir
bin `Abdillah tentang qashar shalat, pada hari apakah hal itu diturunkan atau hari apakah itu?
Jabir berkata: “Kami bertolak untuk menghadang satu kafilah Quraisy yang datang dari Syam.
Hingga setibanya kami di Nikhlah, seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata: ‘Hai
Muhammad, apakah engkau takut padaku?’ Beliau menjawab: `Tidak.’ Dia berkata: `Siapakah
yang dapat menghalangimu dariku?’ Beliau menjawab: ‘Allah yang melindungiku darimu.’ Lalu
beliau menghunus pedangnya laki-laki itu digertak dan diancam, lalu beliau menyuruh kami
berangkaat dan beliau sudah mengambil senjata. Kemudian diserukan panggilan shalat. Maka
Rasulullah saw. shalat dengan satu kelompok, sedangkan kelompok lain menjaga mereka. Beliau
saw. shalat dengan kelompok pertama dua rakaat. Kemudian kelompok pertama mundur ke
belakang untuk berjaga, lalu datang kelompok yang sebelumnya dan berjaga, maka beliau shalat
bersama mereka dua rakaat. Sedangkan kelompok yang lain berjaga. Kemudian beliau salam.
Nabi shalat empat rakaat. Sedangkan kelompok tadi masing-masing dua rakaat. Pada waktu
itulah Allah menurunkan ayat tentang qashar shalat dan memerintahkan kaum mukminm untuk
membawa senjata.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin `Abdillah, bahwa Rasulullah saw. melaksanakan
shalat khauf bersama para Sahabat. Dalam hal ini, ada yang berada di depan beliau dan ada shaf
yang di belakang beliau. Beliau shalat ma shaf yang di belakang satu rakaat dan dua sujud.
Kemudian shaf belakang maju menempati shaf depan yang belum shalat. Sedangkan shaf depan
mundur untuk shalat bersama Rasulullah satu rakaat dan dua sujud kemudian beliau salam. Maka
Nabi shalat dua rakaat, sedangkan mereka masing-masing satu raka’at.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasai. Hadits ini memiliki banyak jalan dari Jabir, dan
terdapat dalam kitab Shahih Muslim melalui sanad yang lain, dengan lafazh yang lain pula.
Banyak ahli hadits yang meriwayatkan dari Jabir dalam kitab-kitab Shahih Sunan, dan Shahih
Musnad.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Salim, dari bapaknya, ia berkata: wa idzaa kunta fiiHim fa
aqamta Humush shalaata (“jika engkau berada bersama mereka, lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama mereka”) yaitu shalat khauf. Dan Rasulullah shalat dengan salah satu dari dua
kelompok satu rakaat dan kelompok lain menghadapi musuh. Kemudian kelompok yang
berhadapan dengan musuh itu shalat bersama Rasullullah satu rakaat, kemudian beliau salam
bersama mereka. Kemudian setiap kelompok berdiri shalat satu rakaat, satu rakaat.
Hadits ini diriwayatkan oleh jama’ah dalam kitab-kitab mereka dari jalan Ma’mar. Hadits ini
memiliki banyak jalan dari banyak Sahabat.
Sedangkan perintah membawa senjata di waktu shalat khauf, menurut sekelompok para ulama
adalah wajib berdasarkan zhahir ayat. Hal itu adalah salah satu pendapat dari Imam asy-Syafi’i.
Hal tersebut ditunjukkan oleh firman Allah: walaa junaaha ‘alaikum in kaana bikum adzam mim
matharin au kuntum mardlaa an tadla’uu aslihatakum wa khudzuu hidz-rakum (“Dan tidak ada
dosa atasmu meletakkan senjata-senjatarnu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan
atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu.”) Di mana saja kalian berada,
hendaklah selalu siap siaga. Jika kalian membutuhkannya, kalian dapat langsung memakainya
tanpa kesulitan.
innallaaHa a-‘adda lil kaafiriina ‘adzaabam muHiinan (“Sesungguhnya Allah telah menyediakan
adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.”)
http://my-bukukuning.blogspot.com/2012/02/tafsir-ayat-ayat-ahkam-3-hukum-
shalat.html#.W58BC7iyRPY
Oleh karena itu, pada pertemuan ke-3, Mata kuliah Tafsir Ayat-
ayat Ahkam ini, penulis hadirkan tiga ayat dari dua surah
berbeda di atas, yaitu: Ayat ke-238 dari surah al-baqarah dan
ayat ke-101 serta 102 dari surah an-Nisaa’, yang semuanya
berbicara tentang hukum-hukum shalat, dengan konsertrasi
sebagai berikut:
Dan inilah yang kami anggap lebih shah, dengan hadits riwayat
Muslim dan selainnya dari Abdullah bin Mas’ud berkata: Pernah
kami memberi salam kepada rasulullah SAW sedang Beliau
mengerjakan shalat dan menjawab kami, tetapi setelah kami
pulang dari negeri an-Najjasyi, kami pun memberi salam lalu
Beliau tidak menjawa kami, maka kami bertanya: Wahai
rasulullah, kami dulu pernah memberi salam kepadamu dalam
keadaan shalat dan engkau menjawab kami? Maka bersabda:
Bahwasanya shalat merupakan perbuatan (taat).
Makna Qashar:
Qashar atau meng-qashrah Shalat: Adalah mengurangi dari
padanya, sebagaimana diketahui bahwa anggota-anggota
shalat itu terdiri dari beberapa rakaat dengan sujud-sujud dan
bacaan-bacaannya, maka meng-qashar shalat dapat dipastikan
adalah mengurangi dari rakaatnya. Hal ini sudah dijelaskan dari
sunnah fi’liyah rasulullah SAW, yaitu Beliau mengerjakan shalat
yang empat rakaat menjadi dua rakaat .
Dikatakan bahwa ayat ini turun pada nabi SAW ketika perang
“Bathnu Nakhlah”, dimana kekalahan dipihak orang-orang
musyrikin dan harta rampasan dipihak orang-orang Muslimin,
pada saat itu cuaca sedang hujan dan nabi SAW keluar
melaksanakan hajatnya dengan melepas senjatanya, lalu orang-
orang kafir melihat Beliau terpisah dari sahabat-sahabatnya dan
dihadanglah oleh Ghautats bin al-Harits yang turun dari puncak
gunung, lalu berkata: Siapa yang dapat menolongmu dari saya
sekarang? Nabi bersabda: “Allah” (yaitu Allah yang menolong
saya), maka Ghaurats mengayunkan pedangnya hendak
menghabisi nabi, tiba-tiba jatuh sesuatu menimpa wajahnya
dan terjatuh hingga pedang lepas dari tangannya. Maka nabi
mengambil pedang itu dan bersabda: “Siapa yang akan
menolongmu dari dari saya hai Ghaurats?”, ia berkata: Tidak
ada satupun kecuali enkau.
Pada saat itu pula Abdurrahman bin Auf jatuh sakit karena luka
yang dideritanya, sebagaimana diriwayatkan Bukhari, maka
Allah SWT memberikan keringanan pula bagi mereka
meletakkan senjata dan senantiasa memantau musuh saat
hujan. Seperti dalam Firman Allah: “atau karena kamu memang
sakit”.
َِّللا ْ َون ِم ْن ف
َّ ض ِل ِ ون فِي ْاْل َ ْر
َ ُض يَ ْبتَغ ْ َون ي
َ ُض ِرب َ ع ِل َم أ َ ْن
َ سيَكُو ُن ِم ْن ُك ْم َم ْرضى َوآ َخ ُر َ
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. (Al-Muzzammil: 20), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.:
ُ ح أ َ ْن ت َ ْق
َّ ص ُروا ِم َن ال
}صَل ِة ٌ علَ ْي ُك ْم ُجنَا َ {فَلَ ْي
َ س
maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101)
Yakni meringankan; adakalanya dari segi rakaatnya, misalnya salat yang empat rakaat dijadikan dua
rakaat, seperti yang disimpulkan oleh jumhur ulama dari ayat ini. Mereka menjadikannya sebagai dalil
salat qasar dalam perjalanan, sekalipun mereka masih berselisih pendapat mengenainya. Karena di
antara mereka ada yang mengatakan bahwa perjalanan yang dilakukan harus mengandung ketaatan,
seperti berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari ilmu atau ziarah, atau lain-lainnya yang semisal.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ata dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu Umar, karena berdasarkan kepada
makna lahiriah firman-Nya yang mengatakan:
*******************
Adapun firman-Nya:
ع ْب ِدَ ع َْن،ع َّم ٍار َ ع َِن ا ْب ِن أ َ ِبي، َح َّدثَنَا ا ْبنُ ُج َر ْيج،يس َ َح َّدثَنَا ا ْبنُ ِإد ِْر:ُاِل َما ُم أ َ ْح َمد
ِ ْ قَا َل
علَ ْي ُك ْم
َ س َ {لَ ْي: ُب قُ ْلت ِ طا َّ ع َم َر ْب َن ا ْل َخ َ : ع َْن َي ْعلَى ْب ِن أ ُ َميَّةَ قَا َل،َّللاِ ْب ِن بابَ ْيه
ُ ُسأ َ ْلت َّ
س؟ َّ صَل ِة ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ْن يَ ْفتِنَ ُك ُم الَّذِي َن َكفَ ُروا} َوقَ ْد أ َّمن
َ َّللاُ النَّا َّ ص ُروا ِم َن ال ُ ح أ َ ْن ت َ ْق ٌ ُجنَا
سلَّ َم ع َْنَ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا
َّ سو َل ُ فسألتُ َر،ُ عجبتُ ِم َّما عجبتَ ِم ْنه:ع َم ُر ُ فَقَا َل ِلي
."ُص َدقَتَهَ فَا ْقبَلُوا،علَ ْي ُك ْمَ َّللاُ ِب َها
َّ َّق ْ َ ص َدقَةٌ ت
َ صد َ " : فَقَا َل، َذَ ِلك
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Juraij, dari Abu Ammar, dari Abdullah ibnu Rabiyah, dari Ya'la ibnu Umayyah yang menceritakan
bahwa ia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab mengenai makna firman-Nya: tidaklah mengapa
kalian meng-qasar salat (kalian), jika kalian takut diserang orang-orang kafir. (An-Nisa: 101) Sedangkan
orang-orang di masa sekarang dalam keadaan aman (ke mana pun mereka mengadakan perjalanan)?
Maka Umar r.a. berkata kepadaku bahwa ia pun pernah merasa heran seperti apa yang aku rasakan, lalu
ia bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal tersebut. Maka beliau Saw. menjawab: Sedekah yang
diberikan oleh Allah kepada kalian. Karena itu, terimalah sedekah-Nya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pemilik kitab sunan melalui hadis Ibnu Juraij,
dari Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abu Ammar dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan
bahwa hadis ini hasan sahih.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih melalui Umar, dan tiada yang hafal kecuali dari
jalur ini; semua perawinya dikenal.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah
menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul, dari Abu Hanzalah Al-Hazza yang menceritakan bahwa ia
pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang salat safar (salat dalam perjalanan). Maka ia menjawab
bahwa salat perjalanan itu adalah dua rakaat (yakni qasar). Lalu aku bertanya, "Kalau demikian,
bagaimanakah dengan firman Allah Swt. yang mengatakan: 'jika kalian takut diserang orang-orang kafir
(An-Nisa: 101). Sedangkan kita sekarang dalam keadaan aman?" Maka Ibnu Umar menjawab, "Itulah
sunnah, Rasulullah Saw."
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Isa,
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami
Minjab, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Qais ibnu Wahb, dari Abul Wadak yang
mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar mengenai dua rakaat dalam perjalanan. Maka
ia menjawab bahwa hal itu adalah rukhsah (keringanan) yang diturunkan dari langit; jika tidak
menginginkannya, kalian boleh mengembalikan ke asalnya (yaitu empat rakaat).
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Kami salat
bersama Rasulullah Saw. di antara Mekah dan Madinah sebanyak dua rakaat-dua rakaat, padahal kami
dalam keadaan aman dan tidak takut dengan apa pun di antara Mekah dan Madinah itu."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai melalui Muhammad ibnu Abdul A'la, dari Khalid Al-Hazza,
dari Abdullah ibnu Aun dengan lafaz yang sama.
Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, demikian pula telah diriwayatkan oleh Ayyub, Hisyam, dan Yazid
ibnu Ibrahim At-Tusturi, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi Saw. dengan lafaz
yang semisal.
Menurut kami, hal yang sama diriwayatkan oleli Imam Turmuzi dan Imam Nasai; semuanya dari
Qutaibah, dari Hasyim, dari Mansur, dari Zazan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa Nabi Saw. berangkat dari Madinah menuju Mekah tanpa ada rasa takut kecuali
kepada Tuhan semesta alam, tetapi beliau Saw. salat dua rakaat (yakni qasar). Kemudian Imam Turmuzi
mengatakan bahwa hadis ini sahih.
ق
َ س َحا ْ ِ َح َّدثَنَا يَ ْحيَى ْب ُن أَبِي إ،ِع ْب ُد ا ْل َو ِارث َ َح َّدثَنَا، َح َّدثَنَا أَبُو َم ْع َمر:ي ُّ َوقَا َل ا ْلبُ َخ ِار
سلَّ َم من المدينة ِإلَى َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللاَّ سو ِل ُ َخ َر ْجنَا َم َع َر:سا يَقُو ُل ً َس ِم ْعتُ أَن َ :قَا َل
َ َ أَقَ ْمت ُ ْم ِب َمكَّة: ُ قُ ْلت. َحتَّى َر َج ْعنَا ِإلَى ا ْل َمدِينَ ِة،ص ِلي َر ْك َعت َ ْي ِن َر ْك َعت َ ْي ِن
ش ْيئ ًا؟ َ َُان يَ فَك،ََمكَّة
.عش ًْراَ أَقَ ْمنَا بِ َها:قَا َل
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada
kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia
pernah mendengar Anas menceritakan hadis berikut: Kami keluar bersama-sama Rasulullah Saw. dari
Madinah ke Mekah, beliau Saw. salat dua rakaat-dua rakaat hingga kami kembali ke Madinah. Aku
(Yahya ibnu Abu Ishaq) bertanya, "Apakah kalian tinggal di Mekah selama beberapa waktu?" Anas
menjawab, "Kami bermukim selama sepuluh hari di Mekah."
Hal yang sama diketengahkan oleh jamaah lainnya melalui berbagai jalur dari Yahya ibnu Abu Ishaq Al-
Hadrami dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wa-ki telah menceritakan kepada kami
Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Wahb Al-Khuza'i yang menceritakan bahwa ia pernah salat
dengan Nabi Saw. (yaitu salat Lohor dan Asar) di Mina dan banyak orang yang bermakmum kepadanya,
dalam keadaan yang aman, masing-masing dua rakaat.
Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Ibnu Abu Ishaq, dari
Anas dengan lafaz yang sama.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq, bahwa ia pernah
mendengar Harisah ibnu Wahb menceritakan hadis berikut: Kami salat bersama-sama Rasulullah Saw.
dalam situasi yang aman sekali di Mina sebanyak dua rakaat.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada
kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepadaku Nafi’, dari
Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia salat dua rakaat bersama Rasulullah Saw. (yakni di
Mina), begitu pula pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan permulaan masa Khalifah Usman;
kemudian Usman menggenapkannya empat rakaat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan lafaz
yang sama.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami
Abdul Wahid, dari Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, bahwa ia pernah mendengar
Abdur Rahman ibnu Yazid menceritakan asar berikut, Khalifah Usman ibnu Affan r.a. salat bersama kami
di Mina empat rakaat. Lalu diceritakan kepada Abdullah ibnu Mas'ud r.a. hal tersebut, maka Abdullah
mengucapkan istirja' (yakni inna lillahi wa inna ilaihi raji'un). Kemudian Abdullah mengatakan, 'Aku salat
bersama Rasulullah Saw. di Mina dua rakaat, dan aku salat bersama Abu Bakar di Mina dua rakaat, dan
aku salat bersama Umar ibnul Khattab di Mina dua rakaat pula. Aduhai, keberuntunganku dari dua
rakaat yang pasti diterima ketimbang empat rakaat'."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Imam
Muslim mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari As-Sauri, antara lain dari Qutaibah, sama seperti
yang disebut di atas.
Hadis-hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa qasar itu tidak disyaratkan adanya situasi yang
menakutkan. Karena itu ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qasar
dalam bab ini ialah qasar dari segi kaifiyah, bukan kammiyyah. Demikianlah menurut apa yang dikatakan
oleh Mujahid, Ad-Dahhak, dan As-Saddi, seperti yang akan diterangkan kemudian.
Mereka memperkuat alasannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Saleh ibnu
Kaisan, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa salat itu pada asal
mulanya difardukan dua rakaat-dua rakaat, baik dalam bepergian maupun di tempat tinggal. Kemudian
salat dalam bepergian ditetapkan, sedangkan salat di tempat tinggal ditambahkan (menjadi empat
rakaat).
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Yusuf At-Tanisi, dan Muslim dari Yahya ibnu
Yahya, sedangkan Abu Daud dari Al-Qa'nabi, dan Imam Nasai dari Qutaibah; keempat-empatnya dari
Malik dengan lafaz yang sama.
Timbul suatu pertanyaan dari mereka, apabila asal salat dalam perjalanan adalah dua rakaat,
bagaimanakah yang dimaksud dengan qasar kammiyyah dalam bab ini? Mengingat sesuatu yang
merupakan asal tidak dapat disebut demikian (yakni istilah qasar, karena sejak semula sudah dua
rakaat), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: maka tidaklah mengapa kalian mengqasar salat
(kalian). (An-Nisa: 101) '
Hal yang lebih jelas lagi penunjukannya dari ayat ini ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Sufyan serta Abdur Rahman, dari Zubaid
Al-Yami, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Umar r.a. yang mengatakan bahwa salat dalam
perjalanan itu dua rakaat, salat Hari Raya Kurban dua rakaat, salat Hari Raya Fitri dua rakaat, dan salat
Jumat dua rakaat, sebagai salat yang lengkap, bukan qasar (ditetapkan) melalui lisan Nabi Muhammad
Saw.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya
melalui berbagai jalur dari Zubaid Al-Yami dengan lafaz yang sama. Sanad hadis ini harus dengan syarat
Imam Muslim.
Imam Muslim menetapkan di dalam mukadimah kitab sahihnya bahwa Ibnu Abu Laila benar pernah
mendengar hadis dari Umar. Sesungguhnya hal itu disebutkan dengan jelas dalam hadis ini, juga dalam
hadis lainnya.
Hal ini, insya Allah benar, sekalipun Yahya ibnu Mu'in dan Abu Hatim serta Imam Nasai mengatakan
bahwa Ibnu Abu Laila belum pernah mendengar dari Umar.
Menanggapi pendapat ini Imam Muslim mengatakan pula, "Sesungguhnya telah terjadi dalam sebagian
jalur Abu Ya'la Al-Mausuli melalui jalur As-Sauri, dari Zubaid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari
seorang yang siqah, dari Umar, lalu Imam Muslim mengetengahkannya. Imam Ibnu Majah disebutkan
melalui jalur Yazid ibnu Abu Ziyad ibnu Abul Ja'd, dari Zubaid, dari Abdur Rahman, dari Ka'b ibnu Ujrah,
dari Umar.
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah
meriwayatkan melalui hadis Abu Uwwanah Al-Waddah ibnu Abdullah Al-Yasykuri; Imam Muslim dan
Imam Nasai menambahkan dan melalui Ayyub ibnu Aiz, keduanya dari Bukair ibnul Akhnas, dari
Mujahid, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah mewajibkan salat melalui lisan Nabi
kalian (Nabi Muhammad Saw.) empat rakaat di tempat dan dua rakaat dalam perjalanan, sedangkan
dalam keadaan khauf (takut) adalah satu rakaat. Sebagaimana beliau melakukan salat qabliyah dan
ba'diyah di tempat, demikian pula beliau Saw. melakukannya dalam salat perjalanan.
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu Zaid, yang ia riwayatkan dari Tawus sendiri.
Hal ini membuktikan bahwa hadis ini benar-benar bersumber dari Ibnu Abbas r.a.
Akan tetapi, hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah dikisahkan oleh Siti Aisyah r.a. yang
mengatakan bahwa asal salat itu adalah dua rakaat, tetapi pada salat di tempat ditambahkan (dua
rakaat lagi). Setelah keadaannya mapan, maka benarlah bila dikatakan bahwa salat di tempat difardukan
seperti apa yang diceritakan oleh Ibnu Abbas (yakni empat rakaat).
Akan tetapi, hadis Ibnu Abbas dan hadis Siti Aisyah sepakat mengatakan bahwa salat safar itu adalah
dua rakaat; dan bahwa dua rakaat tersebut merupakan salat yang lengkap, bukan qasar, seperti juga
yang diterangkan di dalam hadis Umar r.a.
Bilamana demikian, berarti firman Allah Swt. yang mengatakan: maka tidaklah mengapa kalian meng-
qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) Makna yang dimaksud ialah qasar kaifiyyah, seperti halnya dalam
salat Khauf. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: jika kalian takut diserang orang-
orang kafir. (An-Nisa: 101), hingga akhir ayat.
Dalam ayat berikutnya disebutkan pula: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102), hingga akhir
ayat.
Maka dalam ayat selanjutnya disebutkan tujuan utama dari qasar disertai dengan penyebutan gambaran
dan tata caranya. Karena itulah ketika Imam Bukhari hendak mencatat Bab "Salat Khauf dalam kitab
sahihnya, terlebih dahulu ia memulainya dengan menyebutkan firman-Nya: Dan apabila kalian
bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101)
sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang yang kafir itu. (An-Nisa: 102)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Juwaibir dari Ad-Dahhak sehubungan dengan firman-Nya: maka
tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) Bahwa hal tersebut di saat
peperangan, seorang lelaki yang berkendaraan salat dengan dua takbir menghadap ke arah mana pun
kendaraannya mengarah.
Asbat meriwayatkan dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila kalian bepergian di
muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar salat (kalian), jika kalian takut. (An-Nisa: 101),
hingga akhir ayat. Sesungguhnya jika kamu salat dua rakaat dalam perjalanan, maka itulah batas qasar
yang diperbolehkan baginya. Tidak diperbolehkan selain itu kecuali bila ia takut diserang oleh orang-
orang kafir di saat ia melakukan salat, maka qasar-nya boleh hanya dengan satu rakaat.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: maka tidaklah mengapa
kalian meng-qasar salat (kalian). (An-Nisa: 101) Hal tersebut terjadi ketika Nabi Saw. dan para
sahabatnya berada di Asfan, sedangkan pasukan kaum musyrik berada di Dajnan, maka mereka menjadi
berhadap-hadapan. Nabi Saw. salat Lohor bersama semua sahabatnya empat rakaat lengkap dengan
rukuk dan sujudnya, dan mereka berdiri bersama-sama pula. Maka pasukan kaum musyrik hampir saja
hendak menyerang dan menjarah barang-barang serta perabotan yang dibawa pasukan kaum muslim.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid, As-Saddi, dari Jabir dan Ibnu Umar. Ibnu Jarir memilih
pendapat ini pula, karena ternyata ia mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan hal tersebut
sesudah meriwayatkan hadis ini, dan inilah yang benar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi-b, dari
Ibnu Syihab, dari Umayyah ibnu Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu
Umar, "Kami menjumpai di dalam Kitabullah masalah qasar salat khauf, tetapi kami tidak menjumpai
qasar salat safar." Maka Abdullah ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya kami menjumpai Nabi kami
mengamalkan perbuatan yang kita kerjakan sekarang. Salat Khauf itu dinamakan salat qasar, serta
menginterpretasikan ayat dengan pengertian tersebut, bukan dengan pengertian qasar salat untuk
musafir."
Ibnu Umar menetapkan hal tersebut. Ia menyimpulkan dalil sehubungan dengan salat qasar musafir
hanya dari perbuatan pentasyri’, bukan dengan nas Al-Qur'an.
Hal yang lebih jelas dari itu ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Walid Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah ibnu Sammak Al-Hanafi yang menceritakan bahwa
ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang salat safar. Maka Ibnu Umar menjawab, "Salat safar
adalah dua rakaat sebagai salat yang lengkap, bukan qasar. Sesungguhnya salat qasar hanyalah pada
keadaan Khauf saja." Lalu aku (Al-Hanafi) bertanya, "Bagaimanakah caranya salat khauf itu?" Ibnu Umar
menjawab, "Hendaknya imam salat dengan segolongan orang sebanyak satu rakaat, kemudian mereka
yang sudah salat datang ke posisi mereka yang belum salat untuk menggantikannya, lalu mereka yang
belum salat datang menggantikan kedudukan mereka yang sudah salat, lalu imam salat bersama
golongan yang kedua satu rakaat lagi. Dengan demikian, imam melakukan salat dua rakaat, sedangkan
masing-masing dari dua golongan tersebut satu rakaat-satu rakaat."
http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2011/06/kupas-tuntas-masalah-hukum-shalat-jama.html
Muqaddimah
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah pada junjungan kita,
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarganya, para shahabatnya, dan yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir.
Amma ba’du:
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua dan sangatlah penting. Saking pentingnya
ibadah ini tidak boleh sekali pun ditinggalkan oleh hamba-hambaNya. Bila ada yang memiliki
udzur, maka tetap wajib mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah)
agar mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan umumnya masalah yang dihadapi kaum
muslimin saat ini adalah shalat dalam keadaan safar (berpergian). Dan sudah seharusnya kita
mengetahui tentang bagaimana Allah telah memudahkan para musafir yang hendak shalat
dengan menggunakan Jama’ dan Qashar. Berikut adalah uraian yang semoga mendatangkan
manfaat bagi kita mengenai shalat Jama’ dan Qashar bagi mereka yang memiliki udzur.
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (zhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua
rakaat. (Tafsir ath-Thabari 4/244)
Dasar men-qashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para
ulama). (Al-Mughni 3/104)
Allah berfirman,
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar
salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" ( QS. An-Nisaa': 101)
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab tentang
ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal manusia telah
aman ?!. Sahabat Umar menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab:
(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut””
(HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu shallallahu
‘alaihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim) dan dua raka'at apabila safar" (HR.
Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud)
Dari Umar berkata: “Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat Jum'at adalah dua
raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at" (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih, lihat Shahih
Ibnu Majah 871)
Dari Ibnu Umar berkata:Aku menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku
menemani Abu Bakar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat,
kemudian aku menemani Umar dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai
wafat, kemudian aku menemani Utsman dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at
sampai wafat. Dan Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu." (Al-Ahzaab : 21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik: Kami pergi bersama Rasulullah dari kota Madinah ke kota
Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena
tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian
boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian
umumnya. Sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh
kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan
dalil sahih yang jelas. (Pendapat Ibn Hazm, Ibnul Qayyim, dll. Sebagaimana dalam Kitab As-
Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul ‘Azhim Al-Khalafi 138)
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan
diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang
menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat
ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad. (Majmu' Fatawa wa
Rasail Syaikh Utsaimin 15/265)
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar
(meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas: Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di kota
Madinah empat raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" (HR. Bukhari dan
Muslim)
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang
dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur
(sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama
yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Bin Baz,
Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir
diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke
kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena
tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu
dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat
banyak, diantaranya:
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir
(perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak
berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin dan Irwa’ul
Ghalil Syaikh Al-Albani)
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat
nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan
sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya
Rasulullah shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan
beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari dan Muslim)
Jama’
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Zhuhur dan Ashar atau
Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan
jama' taqdim dan jama'ta'khir.
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat
pertama, yaitu; Zhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Zhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan
dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan
shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu
shalat kedua, yaitu; zhuhur dan ashar dikerjakan dalam waktu ashar, Maghrib dan
'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh
pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz
93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177)
Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir
atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika
diperlukan saja.
Berkata Imam Nawawi: “Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang
mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai
kebiasaan." (Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219)
Dari Ibnu Abbas berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama
antara zhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut
dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada
Ibnu Abbas beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin
memberatkan ummatnya. (Shahihul Jami’ 1070)
Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar
dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun
dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara zhuhur dan ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan
yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak
bisa diqiyaskan dengan zhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah
harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia
menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu
dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat perkara baru
dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.
(HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718)
Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah
kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak. (HR. Muslim)
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-
masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan
shalat lain. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378)
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat
dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya
dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana
dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada',
yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama, (lihat dalam Shifat Haji Nabi, karya Syaikh
Al-Albani) dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan jama'sekaligus qashar
pada waktu perang Tabuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukan jama'
sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan (Pendapat Syaikh Bin Baz
dan ulama lain, lihat Kitab As-Shalah, Abdullah At-Thayyar). Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam sedikit sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
melakukannya ketika diperlukan saja. (Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308)
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang
musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu
empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua
raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas. Berkata Musa bin Salamah:
Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami
melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami
kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas
menjawab: Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi
wasallam)Ӭ (HR. Ahmad dengan sanad shahih, lihat Irwa'ul Ghalil no 571)
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar
shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai
(empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi
tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim)
meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam
dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada
di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami
adalah musafir.” (HR. Abu Daud)
Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka
meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam. (Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin
15/269)
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia
shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah
sunnah mu'akkadah dan bukan wajib. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-
Bassam 2/294-295)
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun
apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib
atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam
Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh
Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370)
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila safar
(bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang
dijama' (digabung) dengan Ashar. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah)
dan para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhuma serta orang-orang yang setelah mereka apabila
safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan zhuhur.
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama
dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum'at"
Sahabat Anas tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak
melaksanakan shalat Jum'at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para
ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan
menyelisihinya. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.)
Wallahu A'lam.
(Tulisan Abdullah Shaleh Al-Hadrami, disadur dari almanhaj.or.id, diedit ulang oleh
Jundullah Abdurrahman Askarillah)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena atas Hidayah, Karunia serta
limpahan Rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah
yang berjudul “SHALAT JAMA’ DAN QASHAR” ini disusun untuk disampaikan pada mata
kuliah Tafsir Ahkam I di STAI ALMAWA Kabupaten Way Kanan untuk Mahasiswa Jurusan
Syari’ah PRODI AAS.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama yang
sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal,
berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya
dengan rukhsah (keringanan/ kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-
Baqarah:185)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat
merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi
sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak
agama. Bila ada yang memiliki udzur, maka tetap wajib mendirikan shalat dengan mengambil
rukhshah (keringanan dari Allah) agar mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan sudah
seharusnya kita mengetahui bagaimana Allah telah memudahkan hamba-Nya yang tidak bisa
shalat seperti biasanya dengan menggunakan Jama’ dan Qashar. Menjama’ dan mengqasar shalat
adalah rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah kepada hambanya karena adanya kondisi
yang menyulitkan. Rukhshah ini merupakan shodakoh dari Allah SWT yang dianjurkan untuk
diterima dengan penuh ketawadlu’an. Melalui makalah ini penyusun mencoba untuk
menguraikan tentang sholat jama’ dan qashar.
Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh karenanya kritik saran
serta masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai bahan perbaikan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada umat Islam dalam beribadah
kepada Allah SWT. Jazakumullahu Khairan Katsiran.
Way Kanan, 26 Desember 2012
Penyusun
*) staf Pengajar di STAI ALMAWA
B. SHALAT QASHAR
1. PENGERTIAN
Qashar artinya memendekkan atau meringkas. Shalat qashar maksudnya adalah meringkas
jumlah rakaat shalat yang empat menjadi dua; misalnya shalat Dzuhur, ‘Ashar dan ‘Isya’. Hal ini
boleh dilakukan berdasarkan firman Allah Swt:
Artinya : “dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-
qasharsembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang
kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” .(QS. An-Nisa’:101)
2. SAFAR
Dan diantara Asbaabut Takhfif (sebab-sebab keringan) adapun bentuk Rukhshah dalam safar
yaitu menjama' shalat. Safar adalah keluar dari daerah kediaman ke tempat lain, dan jarak
minimal safar 5 km, dan masih berniat (bermaksud) kembali ke tempat asalnya.
Berdasarkan ayat 101 dan hadits di atas berarti tidak semua keadaan, seseorang dapat
mengqashar shalat, hanya diperbolehkan dan dilakukan bagi orang yang melakukan safar
(perjalanan) yang kemudian orang itu disebut Musafir.
Dalam ayat ini ada istilah jika kamu khawatir diganggu oleh orang kafir, sementara untuk saat ini
gangguan itu sudah tidak ada lagi (aman-aman saja) bagaimana hukum ayat ini apa masih boleh
kita melakukan shalat dengan qashar. Kalau demikian hukum pada ayat ini tetap berlaku,
sekalipun gangguan itu sudah tidak ada lagi,
َصالَ ِة إِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ ْن َي ْف ِتنَ ُك ْم الهذِينَ َكفَ ُروا فَقَدْ أَ ِمنوام ْن ال ه ِ ص ُر ُ ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَ ْن ت َ ْق َ ب لَي ِ طا َع ْن َي ْعلَى ب ِْن أ ُ َميهةَ قَا َل قُ ْلتُ ِلعُ َم َر ب ِْن ْال َخ ه
ُ ْ َ
صد هقَ هللاُ بِ َها َعل ْي ُك ْم فَاقبَلوا ٌ
َ َصدَقَة ت َ ع ْن ذَلِكَ فَقَا َل َ سل َمه َ عل ْي ِه َوَ َ ُصلى هللاه َ ِسو َل هللا ْ
ُ سأَلتُ َر َ َاس فَقَا َل َع ِجبْتُ ِم هما َع ِجبْتَ ِم ْنهُ ف ُ النه
ُصدَقَتَه َ .
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul
Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashalah in khiftum
an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman.
Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian
saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah
yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” (HR. Jama’ah)
سفَ ِر ي َر ْك َعتَي ِْن ِفي ال ه َ ص ِّل
َ ُأَ َم َرنَا أ َ ْن ن
“Rasulullah memerintahkan kami agar shalat dua rakaat dalam safar.”(HR. Ahmad, Ibnu Hibban,
Baihaqi dan Khuzaimah dan rawi yang dipercaya)
ْ َت ْالع
ص ِر ث ُ هم نَزَ َل ِ الظ ْه َر إِلَى َو ْق ُّ س أ َ هخ َر ُ ش ْم ارت َ َح َل قَ ْب َل أ َ ْن ت َِزي َغ ال ه
ْ سله َم إِذَا
َ صلهى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِسو ُل هللا ُ َع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ قَا َل َكانَ َر
متفق عليه.ب َ ظ ْه َر ث ُ هم َر ِكُّ صلهى ال َ س قَ ْب َل أ َ ْن َي ْرت َِح َل ُ ش ْمَت ال ه ْ فَ َج َم َع َب ْي َن ُه َما فَإ ِ ْن زَ اغ
“Diriwayatkan dari Anas ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika berangkat dalam bepergiannya
sebelum terdelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu shalat ‘ashar;
kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila
sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dhuhur terlebih dahulu
kemudian naik kendaraan.” (HR. Muttafaqun 'Alaih)
3. JARAK BOLEHNYA QASHAR
Firman Allah dan hadits shahih di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa setiap
pebergian bisa mengqashar shalat. Dan tidak ada hadits shahih dari Nabi Saw yang menerangkan
adanya jarak minimal mengqashar shalat.
Ada riwayat yang mengatakan dari shahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw mengqashar
shalat dalam perjalanan yang berukuran 3 mil atau 1 farsakh.
س ْو ُل هللاِ ص اِذَا خ ََر َج َم ِسي َْرةَ ثَالَثَ ِة اَ ْميَا ٍل اَ ْو ُ َكانَ َر:َصالَةِ فَقَال ص ِر ال ه ْ َسا َع ْن ق ً َسأ َ ْلتُ اَن ّ ِش ْعبَةَ َع ْن يَحْ يَى ب ِْن يَ ِز ْي ِد اْل َهنَائ
َ :َي قَال ُ َع ْن
صلهى َ ْك َعتَ ْي ِن َ خ
َ س ا ر
ِ َ ِ َ ف ةَ ثَ الَ ث
“Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid Al-Hanaiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas
tentang mengqashar shalat, lalu ia menjawab, “Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh
tiga mil atau tiga farsakh, maka beliau shalat dua reka’at”. (Syu’bah ragu, tiga mil atau tiga
farsakh” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)
صالَة ص ُر ال ه ّ ِ َس ًخا يُقَ سافَ َر فَ َرا َ سله َم إِذَا
َ صلهى هللاُ َعلَ ْي ِه َوَ ِس ْو ُل هللا ُ َكانَ َر
“Adapun Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar
Shalat”(HR. Sa’id bin Manshur. Dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhish, ia mendiamkan
adanya hadits ini, sebagai tanda mengakuinya)
Lahiriyah hadits ini, berhubungan dengan qashar, dan setiap orang yang boleh mengqashar shalat
berarti boleh menjama’nya, artinya dalil ini adalah dalil shalat jama’ dan qashar.
Ibnu Hazm dalam al-Mahalla5:20. mengatakan bahwa jarak minimal boleh mengqashar shalat
adalah 1 mil.
Catatan:
Satu mil = 1609 meter
Tiga mil = 4827 meter
Jadi 1 Farskh = 3 mil, 3 mil ± 5 km
Jama’ taqdim itu dilakukan ketika safar, sedangkan safar itu batas minimal 3 mil (± 5 km)
artinya jama’ itu sudah dapat dilakukan pada jarak 3 mil dari batas daerah (luar kota), maka dari
itu pendapat yang mengatakan harus berjarak 80 km itu tidak dapat dijadikan dasar, karena dasar
atau dalil yang ada tidak shahih, jadi kita kembali kepada ketentuan batas minimal yaitu 3 mil
yang sudah jelas ada nash shahih yang mendasarinya.
Memang ada riwayat yang menyatakan tidak bolehnya qashar jika kurang dari 4 barid (± 80 km)
yaitu;
َع ْسفَان ُ صالَة َ فِى أَدْنَى ِم ْن أَ ْربَ َع ِة ب ُُر ٍد ِم ْن َم هكةَ ِإلَى ص ُروا ال ه ُ يَا أ َ ْه َل َم هكةَ الَ ت َ ْق
“Hai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat dalam jarak
kurang dari empat barid, dari Makkah ke Usfan.” (HR. Daraquthni)
Menurut riyawat di atas, qashar boleh dilakukan setelah mencapai jarak 80 km, demikian juga
dengan jama’ taqdim banyak orang yang mengaitkannya dengan qashar, yang boleh dilakukan.
Setelah dilakukan penelitian dari hadits di atas, ternyata DHA’IF, sebab dalam sanadnya ada
’ABDUL WAHAB bin MUJAHID, yang oleh al-Hakim dinyatakan bahwa ia biasa
meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ (palsu), sementara Sofyan ats-Tsauri mendustakannya, dan
dalam Nailul Authar dinyatakan Matruk (ditinggalkan), sedangkan al-Azdi menyatakan tidak
halal riwayat darinya, (Tahdzibut Tahdzib VI:453, Talkhishul-habir, Nailul Authar III:235,
Irwa’ul Ghalil III:13 No. 565 dan juga dalam Ibanatul Ahkam II:63 No.35).
KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa shalat jama’ dan qashar merupakan rukhsah dan
dibolehkan dalam bepergian atau keadaan darurat. Prinsipnya selagi manusia mempunyai
kesempatan untuk melakukan shalat dan tidak menjadi darurat, selayaknya manusia tidak malu
untuk segera melaksanakan shalat seperti biasanya. Menjadi suatu kewajiban bagi yang
melaksanakan shalat menjadi suri tauladan bagi yang lain sehingga mengajari yang lainnya.
Karena yang demikian adalah dari syi’ar Islam yang mesti dimuliakan.
Bagi yang mendapati kesulitan atau kesukaran dalam tiap kali shalat pada waktunya maka
memungkinkan baginya untuk menjama’ shalat. Pemaparan hal itu sudah dikemukakan di atas
tetapi dengan syarat tidak menjadi kebiasaan dan rutin dan hal tersebut tidak bermaksud selain
untuk memudahkan dan tidak menyulitkan umat. Demikian, meski sering jalan-jalan, dan
menempuh perjalanan panjang jangan lupa melaksakan sholat 5 waktu.
REFERENSI/MARAJI’
1. Agus Hasan Bashari al-Sanuwi, Lc, M.Ag. M. Syu’aib al-Faiz al-Sanuwi Lc, 2006. Riyadus
Shalihin Karya Imam Nawawi, takhrij, Syaikh Muhammad Nasirudin al-Albani, Duta Ilmu.
2. Al-Awaisyah al-Hawasy Husen, 2006. Shalat Khusyu’ Seperti Nabi SAW. Pustaka elBa.
3. Albani, M. Nasiruddin Syaikh, 2000, Sifat-Sifat Shalat Nabi SAW, Jld I-III, Media
Hidayah/kampoeng Sunnah.
4. As-Sayyid Salim ibnu Abu MAlik Kamal Syaikh 2007. PAnduan Beribadah Khusus Wanita.
Al-MAhira, Jakarta_Timur.
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur kamiucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan KaruniaNya kepada kita semua sehingga Makalah ini dapat kami susun dengan baik dan
lancar. Tak lupa pula kita ucapkan salam serta salawat kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam gelap gulita menuju alam yang
terang benderang seperti saat ini. Makalah kami ini berjudul SHALAT JUM’AT JAMAK DAN
QASHAR
Kami menyadari bahwa didalam pembuatanmakalah ini banyak sekali kekurangan dan
kesalahan dalam penulisan ataupun isi dalam cerita, oleh karena itu berkat bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu
dalam kesempatan ini kami memberikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatanmakalah initerutama kepada
dosen pembimbing mata kuliah FIQH IBADAH bapak AIDIL SUSANDI, Lc.M.H.I
Dengan ini kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga makalah ini dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati menerima masukan, saran dan usul
guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembacanya.
Wassalammualaikum wr.wb.
Binjai, 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................... II
Daftar isi ................................................................................................................. III
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
1. Latar Belakang Permasalahan ...........................................................................................1
2. Rumusan Masalah .............................................................................................................1
3. Tujuan Pembahasan ...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A. Shalat Jum’at ....................................................................................................................... 2
1. Pengertian dan Hukum Shalat jum’at ................................................................................. 2
2. Syarat wajib dan Syarat sah shalat jum’at .......................................................................... 3
3. Sunnah Sunnah Shalat jum’at ............................................................................................. 4
4. Ma’mum Masbuq ................................................................................................................ 4
B. Khutbah Jum’at
1. Arti Khutbah Jum’at ........................................................................................................... 5
2. Syarat Dua Khutbah Jum’at ............................................................................................... 5
3. Rukun Khutbah Jum’at ...................................................................................................... 6
4. Sunnat-Sunnat Khutbah Jum’at ......................................................................................... 8
C. Shalat Bagi Yang Berpergian
a. Shalat Qashar
1. Syarat-syarat sahnya shalat qashar ................................................................................... 11
2. Batas Masa Jadi Musafir ................................................................................................... 12
3. Pendapat Tentang Jarak Tiga Mil Boleh Mengqashar ...................................................... 12
b. Shalat Jama’
1.Ketentuan Shalat Jama’ ..................................................................................................... 13
2. Praktik Shalat Jama’.......................................................................................................... 14
3. Yang Hendak Mulai Berjalan Jauh ................................................................................... 15
4. Shalat Jama’ Bagi Yang Tidak Musafir ............................................................................ 15
5. Lafadz niat niat shalat qashar dengan jama’ ...................................................................... 16
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 18
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19
Biografi Penulis .................................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan shalat dalam agama islam sangat tinggi dibanding dengan ibadah yang
lainnya. Shalat merupakan pondasi utama bagi tegaknya agama islam dan keislaman seseorang.
Dengan demikian tidaklah dapat di katakan seseorang beragama islam jika yang bersangkutan
tidak melakukan shalat.
Shalat merupakan kewajiban hamba Allah Swt yang beriman. Bentuknya adalah serangkaian
gerakan dan do’a dengan menghadapkan wajahnya kepada Yang Maha Pencipta. Shalat
merupakan ibadah yang pertama kali diperhitungkan dan pertama kali dihisab di hari akhir.
B. Rumusan Masalah
1. Apapengertiandanhukumshalatjum’at?
2. Apasajasyaratdansunnahshalatjum’at?
3. Apa arti, syarat, rukun, dan sunnah, khutbah jum’at?
4. Apa saja syarat-syarat shalat qashar ?
5. Bagaimana niat shalat jama’ takdim dan jama’ ta’khir ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk memahami pengertian dan hukum shalat jum’at
2. Untuk memahami syarat dan sunnah shalat jum’at
3. Untuk memahami arti, syarat, rukun, dan sunnah khutbah jum’at
4. Untuk memahami syarat-syarat shalat qashar
5. Untuk memahami niat shalat jama’ takdim dan jama’ ta’khir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Shalat jum’at
1. Pengertian dan HukumShalat jum’at
Shalat jum’at yaitu shalat dua rakaat yang dikerjakan sesudah dua khutbah pada hari
jum’at di waktu zhuhur.[1]
Hukumnya
Salat jumat itu fardu’ain, artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama islam,
merdeka, dan tetap dalam negeri. Perempuan , kanak-kanak, hamba sahaya, dan orang yang
sedang dalam perjalanan tidak wajib salat jumat.
Firman Allah Swt :
9 الخمعة. ص َالةِ ِمن َي ْو ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْسعَ ْوا إِلَى ِذ ْك ِر هللاِ َوزَ ُروااْلبَيِ َح
يَا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا إِذَا نُودِي ِلل ه
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabiladiserukanuntukmengerjakanshalatjum’at,
makasegeralahkamupergimengingat Allah dantinggalkanlahjualbeli.” (Q.S Al-Jumu’ah [62]:9)
Sabda Rasulullah Saw
ٌ ى أ َ ْو َم ِر
يض َ ع ْبدٌ َم ْملُوكٌ أَ ِو ْام َرأَة ٌ أ َ ْو
ٌّ ص ِب َ ًع ٍة ِإاله أَ ْربَ َعة
َ علَى ُك ِّل ُم ْس ِل ٍم فِى َج َما
َ ب ِ ْال ُج ُم َعةُ َح ٌّق َو
ٌ اج
رواه آبوداودوالحاكمر.
Artinya :
“Salat jum’at itu hak yangwajibdikerjakanolehtiap-tiap orangislamdenganberjamaah,kecuali
empat macam orang: hamba sahaya, perempuan, anak- anak, Orang sakit”.(RiwayatAbuDawud
dan Hakim)[2]
Dari Abu Hurairah r.a dan Ibn Umar r.a bahwa keduanya mendengar nabi saw bersabda :
B. Khutbah Jum’at
1. Arti Khutbah Jum’at
Khutbah jum’at ialah perkataan yang mengandung mau’izhah dan tuntunan ibadah yang
diucapkan oleh khatib dengan syarat yang telah ditentukan syara’ dan menjadi rukun untuk
memberikan pengertian para hadirin, menurut rukun dari shalat jum’at.
2. Syarat Dua Khutbah Jum’at
1. Yang berkhutbah harus laki-laki.
2. Yang berkhutbah bukan orang tuli, yang tidak dapat mendengar sama sekali.
3. Khutbah harus dilakukan dalam bangunan yang digunakan shalat jum’at.
4. Suci dari hadas besar dan hadas kecil.
5. Badan, Pakaian dan tempat khatib harus suci dari najis.
6. Menutup ‘aurat.
7. Berdiri diwaktu melakukan khutbah itu bagi yang kuasa.
8. Duduk antara dua khutbah dengan istirahat yang pendek.
9. Khutbah pertama dengan khutbah kedua harus dilaksanakan secara berturut-turut,
begitu juga antara khutbah dengan shalat.
10. Suaranya keras sehingga dapat didengar oleh paling sedikit empat puluh orang
pengunjung jum’at.
11. Khutbah dilakukan diwaktu zhuhur
12. Rukun-rukun khutbah itu harus dengan bahasa arab.[5]
Peringatan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa khutbah itu hendaklah mempergunakan bahasa Arab, karena
di masa Rasulullah Sawdan sahabat-sahabat beliau khutbah itu selalu berbahasa Arab. Tetapi
mereka lupa bahwa keadaan di waktu itu hanya memerlukan bahasa Arab karena bahasa itulah
yang umum digunakan oleh para pendengar. Mereka lupa bahwa maksud mengadakan khutbah
ialah memberikan pelajaran dan nasihat kepada kaum muslim, dan yang mendengar
diperintahkan supaya tenang (mendengarkan dan memperhatikan isi khutbah itu).
Firman Allah Swt :
ْ ئ اُلقُرا ُن فَا
204 اَلعراف.ست َ ِمعُ ْوالَه’ َوا َ ْن ِصت ُ ْوالَعَلك ُْمت ُ ْر َح ُم ْو َن َ َواِزاقُ ِر
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlahbaik-baik, dan perhatikanlah
denganTenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’RAF: 204)
Beberapa orang ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan karena berkaitan dengan
urusan khutbah.
Kalau khatib berkhutbah dengan bahasa yang tidak dipahami oleh pendengar, sudah tentu
maksud khutbah itu akan sia-sia belaka. Pendengar akan dipersalahkan pula karena tidak
menjalankan perintah, sedangkan perintah itu tidak dapat mereka jalankan karena tidak mengerti.
Jadi, memberi pekerjaan kepada orang yang sudah jelas tidak dapat mengerjakannya merupakan
perbuatan yang tidak berfaedah.
Firman Allah Swt :
س ْو ِل
ُ ار
َ لى َ ُ صالَة
َ ع َوا ه
Artinya :
“Dan shalawatatasNabi”
3. Membacatasyahudkepada Allah dankepadaRasulNya, sekurang-kurangnya.
س ْو َل
ُ لر
َ أط ْيعُ ْوا َ ا َ ِط ْيعُوا
ِ َّللاَ َو
Artinya :
“Ikutlah Allah dan Ikutlah RasulNya”
5. Membaca ayat Al-Quran di dalam salah satu kedua khutbah itu. Dan yang lebih utama
didalam khutbah yang pertama.
Keterangan menyatakan :
“Dari Jabir bin samurah, bahwasannya Nabi SAW, telah biasa membaca ayat Al-Quran
didalam khutbah untuk mengingatkan orang-orang banyak.” (HR. Abu Daud)
Sabda s.a.w.
“Berkata Al-Mutawalli : Disunahkan bagi khatib, bahwa ia belum berangkat ke jum’at, kecuali
setelah masuk waktu, sekira-kira waktu ia sampai terus naik kemimbar, sesungguhnya demikian
itulah yang ditiru dari perbuatannya Rasulullah s.a.w.; apabila ia sampai lalu naik ke mimbar,
dan tidak usah ia sembahyang tahyat mesjid, dan gugurlah padanya tahyat itu.” (H.R. Al-
Madjmu)
10. Membaca surat Al-ikhlas diwaktu duduk antara dua khutbah.[8]
C. Shalat Bagi Yang Berpergian
a. Shalat Qashar
Shalat Qashar artinya shalat yang diringkaskan bilangan rakaatnya, yaitu dianta shalat
fardu yang lima; yang mestinya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Shalat lima waktu yang
boleh di qashar adalah shalat Zhuhur, Ashar dan Isya. Adapun shalat Maghrib dan Shubuh tetap
sebagaimana biasa, tidak boleh diqashar.[9]
Hukum shalat qashar itu boleh sebagaimana firman Allah SWT
ِص َالة ُ علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ْن ت َ ْق
ص ُروا ِمنَ ال ه َ ْس ِ ض َر ْبت ُ ْم فِي ْاْل َ ْر
َ ض فَلَي َ َوإِذَا
Artinya :
“Apabila kamu mengadakan perjalanan diatas bumi (didarat maupun dilaut) maka tidak ada
halangan bagimu untuk memendekkan shalat.” (Q.S An-Nisa, ayat 101)
Sabda Rasulullah S.a.w
“Dari Ja’la bin Umaiyah ia berkata : Pernah aku bertanya pada Umar r.a. : maka tiadalah dosa
atasmu jika kamu memendekkan sembahyang bila kamu takut bahwa kamu akan dibinasakan
oleh orang-orang kafir, padahal sesungguhnya manusia telah aman. Umar menjawab : Saya
juga heran sebagaimana engkau heran terhadap hal itu, maka saya tanyakan kepada Rasulullah
s.a.w. maka Rasulullah s.a.w. menjawab : itu (sembahyang qashar) adalah karunia yang
dikaruniakan Allah swt kepadamu, maka terimalah olehmu karuniaNya.”(Riwayat Muslim)[10]
1. Syarat-syarat sahnya shalat qashar
1. Jarak perjalanan sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki, atau dua marhalaah (yaitu sama
dengan 16 farsah).
Keterangan ini berdasarkan hadits Nabi s.a.w. :
“Pernah ibn Umar dan Ibnu Abbas r.a. mengqashar dan berbuka dalam perjalanan sejauh
empat burud, yaitu enam belas farsakh.” (H.R. Bukhari)
Keterangan lain juga menyatakan :
“Dari ibn Abbas r.a berkata : rasulullah saw. Bersabda : Janganlah kamu mengqashar shalat
dalam perjalanan yang kurang dari empat barid, yaitu dari mekkah ke Usfan.”(H.R. Ad
Daruquthni dengan sanad Dha’if)
Dalam hadits lain dinyatakan pula sbb :
“Dari Atha r.a sesungguhnya ia pernah berkata : Bertanya seseorang kepada Ibnu Abas r.a
“Apakah aku boleh mengqashar (dalam perjalanan sejauh) ke Arafah ?”Maka Ibnu Abas
menjawab : “Tidak” maka orang itu bertanya pula : Ke Mina ? Ibnu abas menjawab : Tidak,
tetapi ke Jiddah dan ke Usfan dan ke Thaif.” (H.R. Asy-Syafi’i dan Baihaqi)
Tentang jarak jauh yang menurut Syekh Abdur Rahman Al-Jazairi dalam Kitabul Fiqih
’alaa Madzaahibil Arba’ah, jilid I halaman 472, dinyatakan 16 farsakh = 80.640 km (dibulatkan
menjadi 81 km).
Kebanyakan para Ulama di Indonesia menerangkan bahwa 16 farsakh itu = 138 km.
Menurut K.H. Ma’shumbin Ali Jombang, 16 farsakh itu sama dengan 8.992.992 m
(dibulatkan menjadi 90 km.)
2. Bepergian bukan untuk maksiat
3. Shalat yang boleh di qashar hanya shalat yang empat raka’at saja, dan bukan shalat-shalat
Qadla.
Cara mengqashar ialah supaya shalat yang empat raka’at itu dikerjakan (dijadikan) dua raka’at
saja.
Sebagaimana Sabda Nabi s.a.w :
“Dari anas r.a ia berkata : “Pernah kami pergi keluar beserta Nabi s.a.w. ke Mekkah, maka ia
mengerjakan shalat dua-dua raka’at, hingga kami kembali ke Madinah.”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
4. Niat mengqashar pada waktu takbiratul ihram.
5. Tidak ma’mum kepada orang shalat yang bukan musafir.
2. Batas Masa Jadi Musafir
Tentang batas jadi waktu musafir, sebagian para Ulama menyatakan tiga hari tiga malam
saja. Selebihnya dianggap sudah menjadi muqim. Hal ini berdasarkan hadits Nabi s.a.w.
“Dari Al-Ula bin Hadrami r.a. ia berkata : Nabi Muhammad s.a.w. bersabda : Telah tinggal
kaum muhajirin di mekkah selama tiga hari setelah menunaikan rukun hajinya.” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain juga dinyatakan :
“Dari Umar r.a. bahwasannya ia pernah membawa orang-orang Yahudi dari Hijaz, lalu
diijinkan orang yang datang di antara mereka, untuk berdiam selama tiga hari.” (H.R.
Malik dalam Kitab Muwatha)
Dari hadits diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa orang musafir yang tinggal selama
tiga hari itu, belum dinamakan muqim, tetapi masih disebut musafir, sehingga mereka masih
boleh mengerjakan shalatnya dengan qashar. Jika ia berdiam diri lebih dari tiga hari maka
bukanlah disebut musafir lagi. Demikian menurut hadits tersebut.
3. Pendapat Tentang Jarak Tiga Mil Boleh Mengqashar
Ada sebagian ulama berpendapat, bahwa mengqashar itu boleh dalam perjalanan tiga mil,
sebagaimana dinyatakan dalam hadits : “Saya bertanya kepada Anas bin Malik tentang
mengqashar shalat. Ujarnya : “Rasulullah s.a.w. mengerjakan shalat dua raka’at kalau sudah
keluar dari rumah sejauh tiga mil atau tiga farsakh.” (H.R. Muslim).[11]
b. Shalat Jama’
Allah memberi keringanan kepada umatNya dalam mengerjakan kewajiban. Keringanan
itu berupa penggabungan dua shalat fardhu dalam satu waktu. Misalnya, shalat Zhuhur digabung
dengan Ashar, dan shalat Maghrib digabung dengan Isya. Penggabungan atau dikumpulkannya
dua shalat fardu menjadi satu waktu disebut dengan shalat jama’.
Menurut pelaksanaannya, shalat jamak dibedakan menjadi dua macam sebagai berikut:
1. Jama’ Takdim
Jama’ Takdim adalah menggabungkan dua shalat fardu pada satu waktu dan dikerjakan
pada waktu shalat yang pertama.
Contohnya :
a. Shalat Zhuhur digabung dengan Ashar dan dikerjakan pada waktu Zhuhur.
b. Shalat Maghrib digabung dengan Isya dan dikerjakan pada waktu Maghrib.
2. Jama’ Ta’khir
Jama’ Ta’khir adalah menggabungkan dua shalat fardhu pada satu waktu dan dikerjakan
pada waktu shalat yang kedua. Meskipun shalat Zuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu shalat
Ashar, maka yang harus pertama dikerjakan adalah shalat Zhuhur dulu, kemudian Ashar. Begitu
juga dengan shalat Maghrib dan Isya.
Contohnya :
1. Shalat Zhuhur digabung dengan Ashar dan dikerjakan pada waktu Ashar.
2. Shalat Maghrib digabung dengan Isya dan dikerjakan pada waktu Isya.
a) Ketentuan Shalat Jama’.
1) Jama’ Takdim
a) Niat shalat jama’ dilakukan pada shalat yang pertama.
b) Dikerjakan dengan tertib sesuai dengan urutan waktu shalat.
c) Perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang diperbolehkan oleh syariat Islam.
d) Berurutan antara keduanya dan tidak boleh disatukan dengan perbuatan yang lainnya.
2) Jama’ Ta’khir
a) Niat jama’ takhir dilakukan pada waktu shalat yang pertama.
b) Masuknya waktu shalat yang kedua masih dalam perjalanan.
c) Seseorang dapat menjamak shalat jika menempuh perjalanan berjarak minimal 16 farsa atau
88,656 km. Selain itu, seseorang yang dalam kondisi sulit boleh menjamak shalat.
b) Praktik Shalat Jama’
1) Jama’ Takdim
a) Didahului dengan iqamat, baik pada waktu akan mengerjakan shalat Zhuhur maupun shalat
Ashar.
b) Dilaksanakan waktu Zhuhur dengan niat jamak takdim bersama shalat Ashar.
c) Mengerjakan shalat Ashar tanpa melakukan shalat sunnat terlebih dahulu.
d) Setelah shalat Ashar selesai, baru berzikir, atau berdoa. Demikian halnya ketika melakukan
shalat Maghrib dan Isya.
2) Jama’ Ta’khir
a) Didahului dengan iqamat, baik pada waktu akan mengerjakan shalat Zhuhur maupun shalat
Ashar atau shalat maghrib dengan isya.
b) Mengerjakan shalat Zhuhur Terlebih dahulu baru Ashar, tanpa diselingi shalat lain, demikian
halnya shalat Maghrib dan Isya.
c) Setelah melakukan shalat Ashar atau Isya pada jama’ ta’khir, baru berzikir dan
sebagainya[12]
c) Yang Hendak Mulai Berjalan Jauh
Bagi orang yang hendak melakukan perjalanan jauh yang dikhawatirkan dalam tengah
perjalanan tidak dapat mengerjakan shalat menurut semestinya, misalnya mungkin masih di
dalam kendaraan kereta api yang mungkin sukar melakukan shalat, maka yang lebih utama
baginya ialah mengerjakan jama’ taqdim. Dan jika seseorang itu dalam perjalanan, maka yang
lebih utama ialah mengerjakan jama’ ta’khir.
Dalam hadits dinyatakan sbb:
“Dari ibn abbas r.a berkata ia : aku akan beritahukan kepadamu tentang shalat Rasulullah
s.a.w. yaitu : Jika matahaari telah condong, sedang beliau masih di rumahnya, beliau menjama’
shalat Ashar dengan jama’ taqdim pada waktu Zhuhur, dan dijama’kannya keduanya ketika
matahari telah condong” (H.R. Baihaqi).
d) Shalat Jama’ Bagi Yang Tidak Musafir
Orang yang bukan musafir, boleh juga mengerjakan shalat jama’ kalau dalam keadaan
darurat. Misalnya orang yang sedang mengerjakan shalat berjama’ah di mesjid di suatu tempat
yang khusus seperti di mesjid atau mushalla, kemudian turun hujan lebat yang menghalangi
orang untuk pulang dan kembali lagi untuk berjama’ah.
Melakukannya haruslah dengan syarat-syarat sbb :
1. Hujan lebat hingga menyulitkan perjalanan.
“Bahwasannya Nabi s.a.w. menjama’ shalat Maghrib dan Isya di malam yang hujan lebat”
(H.R. Bukhari)
2) Setelahselesaishalatpertama, hujanmasihberjalanterus, sampaipadapermulaanshalat yang
kedua .
3) Dikerjakanberurutanantarakeduanya.
4) Tertib; yaitumendahulukanZhuhurdaripadaAshar’ atauMaghribdaripadaIsya.
Dalamhalinihanyabolehjama’ taqdimsaja.[13]
e) Lafadz niat niat shalat qashar dengan jama’
1. Niat shalat zhuhur jama’ taqdim dengan ashar
Di laksanakan pada waktu zhuhur
َ أُص َِلي فَ ْر
ٍ ض ال ُّظه ِْرأربع َرك َعا
ت َمجْ ُم ْوعًا مع العَص ِْر اَدَا ًء هللِ تَعَالى
"Ushollii fardlozh zhuhri arba'a raka'aatin majmuu'an ma'al ashri adaa-an lillaahi ta'aalaa."
Artinya : "Aku sengaja shalat fardu dhuhur empat rakaat yang dijama’ dengan Ashar, fardu
karena Allah Ta'aala”.
2. Niat shalat ashar jama’ ta’khir dengan zhuhur
Dilaksanakan saat memasuki shalat zhuhur
ٍ أُص َِلي فَ ْرضَ العَص ِْر أربع َركعَا
ت َمجْ ُم ْوعًا مع ال ُّظه ِْر اَدَا ًء هللِ تَعَالى
"Ushollii fardlol 'ashri arba'a raka'aatin majmuu'an ma'azh zhuhri adaa-an lillaahi ta'aalaa."
Artinya : "Aku sengaja shalat fardu Ashar empat rakaat yang dijama’ dengan dhuhur, fardu
karena Allah Ta'aala”
3. Niat shalat zhuhur jama’ ta’khir dengan ashar
Dilakasanakan saat memasuki shalat ashar
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa shalat jum’at adalah ibadah
shalat yang dikerjakan di hari jum’at dua raka’at secara berjamaah dan dilaksanakan setelah
khutbah. Shalat Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi setiap muslim laki-laki atau pria dewasa
beragama islam, merdeka sudah mukallaf, sehat badan serta muqim (bukan dalam keadaan
mussafir) dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu dan shalat jum’at juga memiliki
syarat-syarat wajib dan syarat syah nya yang harus dilaksanakan, supaya shalat jum’at nya
menjadi sempurna.
Menjamak dan mengqasar shalat adalah Rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah
kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. Rukhshah ini merupakan shadakah
dari Allah SWT yang dianjurkan untuk diterima dengan penuh ketawadlu’an, namun jika tidak
ada musyafir yang mengqasar shalatnya tetap sah. Hanya saja kurang sesuai dengan sunah Nabi
SAW, karena Nabi Saw selalu menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika bepergian.
Shalat Jama’ ialah shalat yang dikumpulkan. Artinya dua shalat fardhu dikerjakan pada
satu waktu, misal shalat zhuhur dan Ashar dikerjakan pada waktu zhuhur atau pada waktu ashar.
Shalat Qashar ialah shalat yang diringkas. Artinya, shalat fardhu yang empat raka’at
diringkas menjadi dua raka’at. Shalat yang dapat diqashar ialah shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya.
Shalat Maghrib dan Shalat Shubuh tidak boleh di qashar.
DAFTAR PUSTAKA
Ust: Abdurrahman Al-Qahthani, Rangkuman Pengetahuan Agama Islam lengkap (Penerbit: SANDRO JAYA
Jakarta)
SulaimanRasjid, FIQH ISLAM, (Bandung: SinarBaruAlgensindo)
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Penerbit: CV. TOHA PUTRA Semarang)
Mohammad Fauzi AG, Learning More Islamic Education and Moral values 1, (Penerbit GRAFINDO Media
Pratama)
Idris Ahmad, Fiqh Syafi’i, (Penerbit Widjaya Djakarta)
http://www.carasholatdhuha.com/2014/08/niat-sholat-jamak-takhir-dan-taqdim.html
BIOGRAFI PENULIS
M Ronaldo Ibrahim
[1]Ust: Abdurrahman Al-Qahthani,Rangkuman Pengetahuan Agama Islam lengkap (Penerbit: SANDRO JAYA
Jakarta) hal:44
[2]SulaimanRasjid, FIQH ISLAM, (Bandung: SinarBaruAlgensindo) hal:123
[3]Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap (Penerbit: CV. TOHA PUTRA Semarang) hal: 176-178
[4]Mohammad Fauzi AG, Learning More Islamic Education and Moral values 1, (Penerbit GRAFINDO Media
Pratama) hal: 46
[5]Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Penerbit: CV. TOHA PUTRA Semarang) hal: 181-185
[6]SulaimanRasjid, FIQH ISLAM, (Bandung : SinarBaruAlgensindo), hal:126
[7]Idris Ahmad, Fiqh Syafi’i, (Penerbit Widjaya Djakarta) hal: 187
[8]Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Penerbit: CV. TOHA PUTRA Semarang) hal: 188-191
[9]SulaimanRasjid, FIQH ISLAM, (Bandung: SinarBaruAlgensindo),hal:118
[10]Idris Ahmad, Fiqh Syafi’i, (Penerbit Widjaya Djakarta), hal: 173
[11]. MohRifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Penerbit: CV. TOHA PUTRA Semarang), hal: 161-164
[12]Mohammad Fauzi AG, Learning More Islamic Education and Moral values 1, (Penerbit GRAFINDO Media
Pratama), hal: 91-92
[13]MohRifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Penerbit: CV. TOHA PUTRA Semarang), hal :168
[14]ceramah
usatadz, “Niat shalat jamak taqdim dan takhir lengkap”.
www.carasholatdhuha.com diakses dari http://www.carasholatdhuha.com/2014/08/niat-sholat-
jamak-takhir-dan-taqdim.html.
POSTED ON 5:49 PM
http://zaqiudin.blogspot.com/2010/05/shalat-jama-dan-qashar.html
Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Allah , sebagaimana firman-Nya, ”Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu,
(QS.Annisa; 101), Dan itu merupakan shadaqah (pemberian) dari Allah yang disuruh oleh Rasulullah
untuk menerimanya, (HR.Muslim).
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh
orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang
musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang
menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan
menjama’ shalat. Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
bahwasanya Rasulullah menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di
Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan,
“Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan
yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan).
Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir,
berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena
sakit atau musafir”.
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang boleh
menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena sebab hujan
adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang
membolehkan untuk menjama’, (Al Albaniy,Irwa’, III/40).
Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para ulama. Bahkan Ibnu
Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat adalah tidak ada batasan jarak, selama
mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Karena kalau ada ketentuan jarak yang pasti, Rasulullah mesti menjelaskannya kepada kita, (AlMuhalla,
21/5).
Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia telah keluar dari
kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan, “Saya tidak mengetahui Nabi
menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas
menambahkan, Saya shalat Dhuhur bersama Rasulullah di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah
(sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR.Bukhari Muslim).
Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar shalatnya begitu juga
sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya. Seperti melakukan
shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal
bagi mereka yang musafir namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya
bepergian ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak menjama’nya
sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia
menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di
Tabuk. Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena yang
demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.
Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama musafirnya lebih
dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi kalau waktunya empat hari atau
kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ketika haji Wada’. Beliau
tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun seseorang yang
belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia bisa kembali ke rumahnya maka
dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama
berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau tinggal sampai
sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari beliau mengqashar shalatnya
(HR.Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang
mengalami ketidakpastian jumlah hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya
(Fiqhussunah I/241).
Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung shalat kedua
setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak mesti Muwalah ( langsung
berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan pada waktunya. Seperti orang yang
melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia
istirahat dulu kemudian dilanjutkan dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan
cara berturut –turut lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasulullah .
Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu juga ia boleh
menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum pada imam yang muqim, maka ia
harus mengikuti imam dengan melakukan shalat Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi
Imam maka boleh saja mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah
imammya salam.
Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah sesudah dan sebelum
shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena Rasulullah selalu melakukannya baik dalam
keadaan musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya seperti shalat
Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah.
Referensi :
Fatawa As-Sholat, Syeikh Abd. Aziz bin Baz
Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abd. Adhim bin Badawi Al-Khalafi
SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA? DAN QASHAR
Published by Abdullah Hadrami [abdullah] on 2007/5/21 (5477 reads)
SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA? DAN QASHAR
Qashar adalah meringkas shalat empat raka?at (Dhuhur, Ashar dan ?Isya?) menjadi dua rakaat.[1]
Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur?an, As-Sunnah dan Ijma? (kesepakatan para ulama).[2]
?Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika
kamu takut di serang orang-orang kafir.? (QS. 4 An-Nisaa?: 101).
Dari Ya?la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab ?radhiallahu anhu
tentang ayat ini seraya berkata: ?Jika kamu takut di serang orang-orang kafir?, padahal manusia telah
aman ?!?. Sahabat Umar ?radhiallahu anhu menjawab: ?Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu
akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau
menjawab: ?(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah
tersebut.? [3]
Dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma berkata: ?Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu
?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam empat raka?at apabila hadhar (mukim) dan dua raka?at
apabila safar.? [4]
Dari Umar ?radhiallahu anhu berkata: ?Shalat safar (musafir) adalah dua raka?at, shalat Jum?at adalah
dua raka?at dan shalat ?Ied adalah dua raka?at.? [5]
Dari Ibnu Umar ?radhiallahu anhuma berkata: ?Aku menemani Rasulullah ?shallallahu alaihi wa ?ala alihi
wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka?at sampai wafat, kemudian aku
menemani Abu Bakar ?radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka?at sampai
wafat, kemudian aku menemani Umar ?radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua
raka?at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman ?radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka?at sampai wafat. Dan Allah ?subhaanahu wa ta?ala telah berfirman:
?Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu. ? (QS. 33 Al-Ahzaab:
21).[6]
Berkata Anas bin Malik ?radhiallahu anhu: ?Kami pergi bersama Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala
alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami
kembali ke kota Madinah.? [7]
Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil
yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar
apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama? memberikan
batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak
rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas. [8]
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya
mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan
tersebut -yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam
dan ulama yang layak berijtihad. [9]
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa
?ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota
Madinah.?
Berkata Anas ?radhiallahu anhu : ?Aku shalat bersama Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi
wasallam di kota Madinah empat raka?at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka?at.? [11]
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai
musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang
termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi?i dan Hambali ?rahimahumullah berpendapat
bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur
Rahman As-sa?di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya ?rahimahumullah
berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai
niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-
tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu
dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak,
diantaranya:
Sahabat Jabir ?radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi
wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari meng-qashar shalat. [12]
Sahabat Ibnu ?Abbas ?radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi
wa ?ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. [13]
Nafi? ?rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar ?radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan
selama enam bulan meng-qashar shalat. [14]
Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam tidak
memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir
(perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat
untuk menetap di daerah perantauan tersebut. [15]
Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/
tathawwu? bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib
(qobliyah dan ba?diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah ?shallallahu
?alaihi wa ?ala alihi wasallam shalat delapan raka?at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu
Makkah dan beliau dalam keadaan safar.[16]
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari?atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan)
shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba?diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu
Umar ?radhiallahu anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah
rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka beliaupun berkata: ?Kalau sekiranya aku shalat sunnah
rawatib setelah shalat fardhu tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak
mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi
wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka?at sampai wafat, kemudian aku
menemani Abu Bakar ?radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka?at sampai
wafat, kemudian aku menemani Umar ?radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua
raka?at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman ?radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka?at sampai wafat. Dan Allah ?subhaanahu wa ta?ala telah berfirman:
?Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.? (QS.33 Al-Ahzaab:
21). [17]
Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu? lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar,
dhuha, shalat yang ada sebab -sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathwwu? muthlak adalah
tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari?atkan berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.
[18]
JAMA?.
Menjama? shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan ?Isya?)
dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama? taqdim dan jama?
ta?khir. [19]
Jama? taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu;
Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan ?Isya? dikerjakan dalam waktu
Maghrib. Jama? taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh
terbalik.
Adapun jama? ta?khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua,
yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan ?Isya? dikerjakan dalam waktu
?Isya?. Jama? ta?khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang
afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ?shallallahuhu
?alaihi wa ?ala alihi wasallam.[20]
Menjama? shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya -baik musafir atau bukan- dan
tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama? shalatnya dalah musafir ketika masih
dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22], turunnya hujan[23], dan orang sakit[24].
Berkata Imam Nawawi ?rahimahullah: ?Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang
mukim boleh menjama? shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan.? [25]
Dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi
wasallam menjama? antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya? di Madinah tanpa
sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu
kepada Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma beliau menjawab: ?Bahwa Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa
?ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.?[26]
Tidak diperbolehkan menjama? (menggabung) antara shalat Jum?at dan shalat Ashar dengan alasan
apapun ?baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang
di perbolehkan menjama? antara Dhuhur dan Ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama? antara Jum?at dan Ashar, dan yang ada adalah
menjama? antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan ?Isya?. Jum?at tidak bisa diqiyaskan
dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil,
apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak
akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam bersabda: ? Barang siapa membuat perkara baru
dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.?[27]
Dalam riwayat lain: ?Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada
ajarannya) maka amalannya tertolak.? [28].
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali
apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama? (menggabungnya) dengan shalat lain.[29]
Tidak ada kelaziman antara jama? dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus
menjama?, yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di
tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama? sebagaimana dilakukan Rasulullah ?shallallahu
?alaihi wa ?ala alihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada?, yaitu beliau hanya
mengqashar saja tanpa menjama? [30], dan beliau ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam pernah
melakukan jama? sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31] Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala
alihi wasallam selalu melakukan jama? sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai
tujuan. [32] Jadi Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam sedikit sekali menjama? shalatnya
karena beliau ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam melakukannya ketika diperlukan saja. [33]
Shalat berjama?ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di
belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun
apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka?at). Hal ini di dasarkan atas
riwayat sahih dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di
Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: ?Kami melakukan shalat empat raka?at
apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama
musafir) maka kami shalat dua raka?at ?? Ibnu Abbas ?radhiallahu menjawab: ?Itu adalah sunnahnya
Abul Qasim (Rasulullahanhuma ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam).? [34]
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka
hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka?at), namun
agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia
shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri
dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka?at. Hal ini pernah di lakukan
Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi
imam penduduk Mekkah, beliau ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam berkata: ?Sempurnakanlah
shalatmu (empat raka?at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir.? [35] Beliau
?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai
empat raka?at setelah beliau salam.[36]
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat
raka?at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu?akkadah
dan bukan wajib. [37]
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum?at bagi musafir, namun apabila musafir
tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum?at maka wajib atasnya untuk mengikuti
shalat Jum?at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi?I, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu
Tsaur, dll. [38]
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam apabila safar
(bepergian) tidak shalat Jum?at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada? Beliau ?shallallahu ?alaihi wa
?ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum?at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang
dijama? (digabung) dengan Ashar.[39] Demikian pula para Khulafa? Ar-Rasyidun (empat khalifah)
?radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya ?radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah
mereka apabila safar tidak shalat Jum?at dan menggantinya dengan Dhuhur. [40]
Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: ?Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-
Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum?at.?
Sahabat Anas ?radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak
melaksanakan shalat Jum?at.
Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma? (kesepakatan para ulama?) yang
berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya. [41]
(Disampaikan Pada 14 Rabi?uts Tsani 1425 / 23 Mei 2005 Dalam Pengajian Umum INDAHNYA ISLAM 22-
24 Mei 2005 di Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya Malang).
Catatan Kaki:
[2] Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu? Syarah Muhadzdzab 4/165.
[3] HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami? li Ahkamil Qur?an, Al-Qurthubi 5/226-227.
[5] HR. Ibnu Majah dan An-Nasa?i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871 dan Zaadul
Ma?ad, Ibnul Qayim 1/467
[6] HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul Adhim bin Badawi
Al-Khalafi 138.
[8] Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma?ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll.
[15] Lihat Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa?ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah
1/309-312.
[17] HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma?ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313,
Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254.
[18] Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 308.
[20] Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177.
[21] Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/ 316-317.
[24] Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141, Fiqhus
Sunnah 1/313-317
[25] Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.
[30] Lihat Sifat haji Nabi ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam karya Al-Albani.
[32] As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama
termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[33] Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.
[34] Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa?ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh
Al-Albani 317
[36] Lihat Al-Majmu? Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269
[37] Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Bassam 2/294-295
[38] Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu? Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248,
lihat pula Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.
[39] Lihat Hajjatun Nabi ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -
radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT kami panjatkan, karena atas hidayah, karunia serta limpahan
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah yang berjudul “sholat
jama dan Qosor” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih dengan guru pembimbing Bapak
Dosen AHMAD MAESUR , MHI
Islam dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat.Karenanya shalat merupakan
tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia
melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Bila ada yang
memiliki udzur, maka tetap wajib mendirikan shalat dengan mengambil rukhshah (keringanan dari Allah)
agar mereka tetap shalat di saat kondisi apa pun. Dan sudah seharusnya kita mengetahui tentang
bagaimana Allah telah memudahkan hamba-Nya yang tidak bisa shalat seperti biasanya dengan
menggunakan Jama’ dan Qashar. Menjama’ dan mengqasar shalat adalah keringanan yang diberikan
Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan.Melalui makalah ini penulis mencoba
untuk menguraikan tentang sholat jama’ dan qashar.
Atas selesainya penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orang tua yang telah memberikan motivasi, serta teman-teman dan pihak-pihak yang
telah berkontribusi dalam penulisan makalah ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh karenanya kritik saran
serta masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai bahan perbaikan makalah
ini.Semoga makalah ini dapat memberikan pencerahan kepada umat Islam dalam beribadah kepada
Allah SWT. Jazakumullahu Khairan Katsiran.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul
BAB I PENDAHULUAN
A.Kesimpulan ............................................................................................................. 8
B.Saran ........................................................................................................................ 8
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Namun jika ada musafir yang tidak mengqashar shalatnya maka shalatnnya tetap sah, hanya saja
kurang sesuai dengan sunnah karena Nabi saw senantiasa menjama’ dan mengqashar shalatnya saat
melakukan safar. Dan yang seharusnya selaku umat muslim harus menerima
shodaqoh/keringanan (rukhsah) yang diberikan oleh Allah kepada hambanya.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SHALAT JAMA’ DAN SHOLAT QOSHOR
a. Shalat jama’
Sholat jama’ ialah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu.Seperti melaksanakan shalat
Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur. menjama’ shalat separti ini dinamakan Jama’ Taqdim. atau
melaksanakan shalat dzuhur dan ashar di waktu Ashar dinamakan Jama’ Ta’khir. Dan melaksanakan
shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu sholat Magrib atau melaksanakannya di waktu Isya’.
Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh
harus dilakukan pada waktunya, shalat subuh tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat
Dhuhur. Dan untuk menjama’ shalat harus sesuai dengan urutan waktu sholat yang telah ditentukan
oleh Allah SWT dan tidak boleh menjama’ sholat dengan membalikkan waktu sholat yang telah
ditentukan oleh Allah SWT, dan pada saat menjama’ dua sholat, maka cukup dengan
mengumandangkan iqamat di antara dua sholat yang dijama’.
b. Shalat Qashar
shalat Qashar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Seperti shalat
Dhuhur, Ashar dan Isya’.Sedangkan shalat Magrib dan shalat Shubuh tidak bisa diqashar.
a. Safar (Bepergian)
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat tinggal) atau dalam
perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan menjama’ shalat, baik dilakukan secara jama’
taqdim maupun jama’ ta’khir sama saja, dan selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’
shalat dengan syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu. Seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW.
َ ب َو ْال ِع
ِشاء ِ سي ٍْر َويَجْ َم ُع بَيْنَ ا ْل َم ْغ ِر َ علَى
َ ظ ْه ِر ْ َالظ ْه ِر َو ْالع
َ َص ِر إِذَا َكان ُّ ِص َلة
َ ََّللاِ يَجْ َم ُع بَيْن ُ َكانَ َر
سو ُل ه
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah
perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
b. Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka
dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar,
“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur
hujan lebat.” (HR. Bukhari)
c. Sakit
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar dalam
menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, khususnya
perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara
dijama’
d. Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang, akan tetapi
yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul Khaththab
tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junaahun an taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-
lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata:
Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada
Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian,
maka terimalah pemberian-Nya.”(HR. Muslim)
Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan beberapa
keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim
beriman. Maka boleh menjama’ shalat bagi orang yang tidak dalam safar, jika ada kepentingan yang
mendesak, asal hal itu tidak dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.
Dalam menggabungkan dua shalat dianjurkan cukup dengan satu adzan dan dua kali iqomat
untuk tiap-tiap sholatnya.
a. Jamak Taqdim yaitu menjamak shalat diwaktu sholat yangpertama. Contohnya menjamak sholat
zuhur dan asar diwaktu zuhur dan menjamak sholat maghrib dan isya’ diwaktu maghrib. Dalam hal ini
jumhur berpendapat bahwa disyaratkannya untuk beriringan antar dua sholat tadi tanpa ada pemisah.
Syeikh islam Ibnu Taimiyah tidak sependapat dengan pendapat ini, dia berkata, “Tidak disyariatkan yang
demikian.Dan ini adalah satu Riwayat dari imam Ahmad dan satu pendapat di kalangan madzhab syafi’i.
dan inilah pendapat yang paling mengarah. Tata caranya yaitu:
1. Sholat diwaktu yang pertama.(dhuhur sebelum asar atau maghrib sebelum isya’)
2. Berniat jama’ taqdim pada sholat pertama agar berbeda dari sholat-solat biasa.
3. Berturut-turut dalam mengerjakan diantara keduanya sehingga antara keduanya tidak berselang
lama, yakni lebih kurang selama dua rakaat ringan tetapi diantara kedua sholat itu diperbolehkan
bersuci, adzan dan iqomah. Ketentuan ini berlaku bagi jamak taqdim, sedangkan untuk jamak ta’khir
tidak berlaku[24]
4. Kedua sholat dilakukan secara tertib, yakni dimulai dengan sholat pertama terlebih dahulu (zuhur
ato maghrib) yakni:
Contoh:
” Saya niat salat salat duhur empat rakaat digabungkan dengan salat asar dengan jamak takdim karena
Allah Ta’ala”
2. Takbiratul ihram
4. Salam
5. Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (asar), jika dilafalkan sebagai berikut;
“ Saya niat salat asar empat rakaat digabungkan dengan salat duhur dengan jamak takdim karena Allah
ta’ala.”
6. Takbiratul Ihram
8. Salam
A. Jamak Ta’khir yaitu menjamak shalat di waktu shalat yang kedua. Contohnya: menjamak sholat
zuhur dan asar diwaktu asar dan menjamak sholat maghrib dan isya’ diwaktu isya’. [25]Apabila kedua
shalat yang dijamak dilakukan di waktu shalat yang kedua (jamak ta’khir) , maka tidak di syari’at kan
beriringan antara dua sholat yang digabung itu, bahkan diperbolehkan untukmemisah keduanya.
Misalkan shalat dhuhur di awal waktu ashar dan shalat ashar di akhirkan sampai habis waktunya.Ini
pendapat Jumhur selain madzhab Hanbali. Tata caranya yaitu :
2. Berniat sejak waktu yang pertama bahwa ia akan melakukan sholat pertama itu diwaktu yang
kedua, supaya ada maksud yang keras untuk mengerjakan shalat yang pertama dan tidak ditinggalkan
begitu saja[26].
3. Sholat yang dilakukan terlebih dahulu adalah sholat asar atau isya’ terlebih dahulu, baru kemudian
sholat dhuhur atau maghrib dan bias juga dilakukan sholat dhuhur atau maghrib terlebih dahulu, baru
kemudian sholat asar atau isya’.
Contoh:
1. Berniat menjamak salat magrib dengan jamak ta’khir. Bila dilafalkan yaitu:
“ Saya niat salat magrib tiga rakaat digabungkan dengan salat ‘isya dengan jamak ta’khir karena
Allah Ta’ala”
2. Takbiratul ihram
4. Salam.
5. Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (‘isya), jika dilafalkan sebagai berikut;
“ Saya berniat salat ‘isya empat rakaat digabungkan dengan salat magrib dengan jamak ta’khir karena
Allah Ta’ala.”
6. Takbiratul Ihram
8. Salama
Adapun tata cara sholat qoshor itu tidak ada bedanya dengan sholat dua reka’at yang lainnya,
karena qoshor hanya meringkas sholat yang empat reka’at menjadi dua reka’at
Pada prinsipnya, pelaksanaan sholak qoshor sama dengan sholat biasa hanya saja berbeda pada
niat reka’atnya dijadikan dua reka’at dan tidak ada tasyahud awal. Jadi setelah dua reka’at kemudian
melakukan tasyahud akhir dan salam.
Adapun jarak perjalanan (safar) yang dibolehkan untuk menjama’ dan mengqashar ternyata
ulama berbeda pendapat. Ada ulama yang berpendapat jarak minimal 1 farsakh atau tiga mil, ada yang
minimal 3farsakh, ada yang berpendapat safar minimal harus sehari-semalam, bahkan ada yang
berpendapat tidak ada jarak dan waktu yang pasti karena sangat tergantung pada kondisi fisik, psikis
serta keadaan sosiologis dan lingkungan masyarakat. Jika memang perjalanan tersebut berat dan
menyulitkan maka ada keringanan dan kelonggran (rukhsah)berupa shalat jama’ dan qashar. Sebab
maksud pemberian rukhsahadalah untuk mehilangkan beban dan kesulitan.
Ada riwayat yang mengatakan dari shahabat Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw mengqashar
shalat dalam perjalanan yang berukuran 3 mil atau 1 farsakh.
“Dari Syu’bah dari Yahya bin Yazid Al-Hanaiy, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Anas
tentang mengqashar shalat, lalu ia menjawab, “Adalah Rasulullah SAW apabila bepergian sejauh tiga
mil atau tiga farsakh, maka beliau shalat dua reka’at”. (Syu’bah ragu, tiga mil atau tiga farsakh” (HR.
Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)
“Adapun Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar
Shalat”(HR. Sa’id bin Manshur. Dan disebutkan oleh Hafidz dalam at-Talkhish, ia mendiamkan adanya
hadits ini, sebagai tanda mengakuinya)
Para ulama juga berbeda pendapat berapa lama perjalanan yang membolehkan musafir
melaksanakan sholat jama’ dan qashar.
Imam Malik, As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa maksimal 3 hari bagi muhajirin yang
akan mukim (tinggal) di tempat tersebut. Sementara ada juga yang berpendapat maksimal 4 hari, 10 hari
(Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Maliik), 12 hari (H.R. Ahmad, dari ‘imran), 15 hari (pendapat Abu
Hanifah), 17 hari, dan 19 hari (muttafaq ‘alayh, dari Ibn ‘Abbas).
Jika diperlihatkan secara seksama pada hadis-hadis dari para sahabat di atas, umumnya mereka
menceritakan sholat safar sesuai dengan keadaan dan perspektif mereka masing-masing. Inilah yang
kemudian dipahami oleh para Imam Madzhab sehingga mereka berbeda pendapat dalam batasan jarak
dan waktu kebolehan shalat jama’ dan qashar. Dari pendapat yang ada, yang lebih kuat adalah pendapat
yang menyatakan bahwa selama berstatus sebagai musafir biasa (bukan musafir perang) dan tidak
tinggal lebih dari 19 hari di satu tempat tersebut, maka masih diberikan keringanan untuk menjama’-
qashar shalatnya. tetapi Kalau musafir perang, maka boleh menjama’-qashar shalatnya selama masih
dalam suasana perang. Sedangkan bagi musafir dengan tujuan maksiat, maka senagian besar ulama
berpendapat tidak ada keringanan qashar kepadanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Shalat jama’ dan qashar adalah keringanan (rukhsah) yang diberikan Allah kepada hambanya, yang
harus diterima oleh umat muslim sebagai shodaqah dari Allah SWT. Shalat yang dapat di jama’ adalah
semua shalat fardhu kecuali sholat subuh.Dan shalat yang dapat di qashar adalah semua shalat fardhu
yang empat rakaat yaitu shalat isya’, dhuhur dan ashar.
2. Hal-hal yang membolehkan jama’ dan qashar ada beberapa hal, yaitu : Safar (Bepergian), Hujan,
Sakit, Takut, Keperluan (kepentingan) Mendesak.
3. Dalam persoalan jarak safar, para ulama’ berbeda pendapat. Ada ulama yang berpendapat jarak
minimal 1 farsakh atau tiga mil, ada yang minimal 3farsakh, ada yang berpendapat safar minimal harus
sehari-semalam, bahkan ada yang berpendapat tidak ada jarak dan waktu yang pasti karena sangat
tergantung pada kondisi fisik, psikis serta keadaan sosiologis dan lingkungan masyarakat.
4. Lama safar yang dibolehkan jama’ dan qashar para ulama’ berbeda pendapat.Tetapi dalil yang paling
kuat adalah 19 hari (bukan dalam keadaan perang) berdasarkan hadits muttafaq ‘alayh, dari Ibnu Abbas.
B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah di kesempatan-
kesempatan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syakir Jamaluddin. sholat sesuai tuntunan Nabi SAW mengupas kontroversi hadis sekitar sholat. LPPI
UMY.
DR. Ahmad Hatta, MA. Tafsir Qur’an perkata, 2009. Magfirah Pustaka.
http://makalahcyber.blogspot.com/search/label/Makalah%20Pendidikan
Ar-Rahbawi , Abdul qodir. 2008. Salat Empat Madzhab. Bogor : PT Pustaka Litera AntarNusa
Kamal, Abu malik bin As-Sayyid Salim. 2006. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta : Pustaka Azam
Abdul Aziz Muhammad Azzam. FIQIH IBADAH. Abdul Aziz sayyed Hawwas. Jakarta: amzah. 2009. Hlm
288
Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Sholat Menurut Empat Madzhab, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar. 2005.
Hlm 283
http://baniebanie.blogspot.com/2013/04/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
BAB I
PENDAHULUAN
Shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak. Shalat juga dapat dijadikan
barometer amal-amal lain seperti diungkapkan dalam sebuah hadits:
“Hal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat”.
Khalifah Umar bin Al Khattab pernah mengirim surat kepada Gubernur yang diangkatnya,
pesannya, “sesungguhnya tugas kalian sebagai Gubernur yang paling utama di mataku adalah shalat.
Barang siapa memelihara shalat, berarti ia telah memelihara agamanya. Barang siapa yang lalai
terhadap shalatnya, terhadap urusan lain akan lebih lalai”.
Begitu pentingnya shalat, karena shalat merupakan penentu amal yang lain. Jika shalatnya baik,
maka baik pula amalnya yang lain. Ada juga para ulama yang mengibaratkan bahwa shalat itu
diibaratkan sebagai angka I (satu) sedangkan amal selain shalat itu diibaratkan angka 0, sehingga jika
shalatnya rusat atau bahkan tidak melakukan shalat maka nilai sama dengan nol walaupun amalnya
banyak. Akan tetapi jika shalatnya baik dan selalu dikerjakan maka semua amalnya itu bernilai.
Oleh karena itu, maka shalat tidak boleh ditinggalkan walau bagaimanapun keadaannya kecuali
orang yang haid atau nifas atau keadaan bahaya. Namun ada beberapa keringanan (rukhsah) bagi orang
yang ada dalam perjalanan (musafir) dalam tata cara pelaksanaan shalat, yaitu dengan cara shalat jama
dan shalat qashar. Namun hal itu juga bukan berarti boleh meninggalkan shalat begitu saja, hanya
berpindah pelaksanaan pada waktu tertentu (yang telah diisyaratkan) dan syarat-syarat tertentu pula.
1.1 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana latar belakang disyari'atkannya sholat jama'?
1.2 Tujuan
1.3.1 Mengetahui latar belakang disyari'atkannya sholat jama'
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
2.1.1Sholat Qosor
Definisi qosor secara etimologi bahasa arab adalah ringkasan, meringkas. Adapun definisi qosor
menurut terminologi syara’ adalah meringkas sholat fardlu yang empat raka’at menjadi dua raka’at.
Maka biasa yag diqosor hanya sholat dzuhur, ashar, dan isya’ saja. Sholat qosor adalah sholat yang
diringkas dari empat raka’at menjadi dua raka’at dengan tetap menbaca al-fatihah dan surat. Dengan
demikian, sholat maghrib dan sholat subuh tidak dapat diqosor, karena sholat maghrib tiga raka’at dan
subuh dua raka’at.1[1]
Menjama’ sholat yaitu mengumpulkan dua sholat fardlu dalam satu waktu sholat, dengan
mengajukan sholat yang kemudian kepada waktu sholat yang lebih dahulu atau dengan mengundurkan
sholat yang lebih dahulu kepada waktu sholat yang kemudian2[2].
Sholat-sholat yang boleh dijama’kan yaitu sholat dhuhur dengan sholat ashar, sholat magrib
dengan dengan sholat ‘isya’. Apabila dengan mengajukan sholat yang kemudian kepada waktu sholat
yang kebih dahulu, yakni sholat dhuhur dengan sholat ashar dikerjakan pada waktu sholat dhuhur, dan
sholat maghrib dengan sholat ‘isya’ dikerjakan pada waktu sholat maghrib, yang dinamakan dengan
jama’ taqdim. Sedangkan dengan mengundurkan sholat yang lebih dahuku pada waktu sholat yang
kemudian, yakni sholat dhuhur dengan sholat ashar dikerjakan pada waktu sholat ashar, dan sholat
maghrib dengan sholat ‘isya’ dikerjakan pada waktu sholat ‘isya’, dinamakan dengan jama’ ta’khir.
1[1] Abbas arfan, Fiqh Ibadah, (UIN Maliki Press, 2011), hal 95
َصلَ ٰوةِ ا ِْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ْن يَ ْفتِ َن ُك ُم اله ِذيْن ُ علَ ْي ُك ْم ُجنا َ ٌح أَن ت َ ْق
ص ُر ْو ِامنَ ال ه َ ض فَلَي
َ ْس ِ ض َر ْبت ُ ْم فِي اال َء ْر
َ َوإِ َذا
.َكفَ ُر ْوا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak lah engkau menqoshor sembahyang (mu), jika
kamu takut diserang oleh orang-orang kafir4[4].
Semetara dalam sunnah, terdapat khabar yang mutawatir bahwa rosullah SAW. Mengqoshor
sholatnya di beberapa perjalanan beliau, baik saat haji, umroh, dan berperang.
“Dari Anas RA. Bahwa sesunggunya Nabi Muhammad saw sholat dzuhur di kota Madinah empat
raka’at (tidak qosor) dan sholat ashar di Dzi al-Hulaifah (miqathaji penduduk Madinah) dua raka’at
(diqosor).”5[5]
“ Nabi terkadang menqoshor sholat dalam perjalanan dan terkadang pula tidak menqoshornya, juga
kadang berpuasa terkadang tidak”. ( Hadist Daraqutsi dan para perowinya dapat dipercaya )6[6].
3[3]Wahbah az-Zuhaili,fiqih islam wa adillatuhu, depok: Gema Insani. 2010, Hlm 423
4[4]Al qur’an dan terjemah, Departemen Agama: Menara Kudus, 1997, Hlm 95
6[6]
Sedangkan dalam ijma’, pendapat para ahli fiqih yang dipegang terpecah menjadi tiga pendapat:
ada yang mengatakan wajib, sunnah, ataupun sekedar keringanan yang diperselisihkan bagi musafir
untuk memilihnya.
Sedangkan dalil nyang menunjukkan disyari’atkannya sholat jama’ antar alin yaitu :
Sesunggahnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan oleh waktunya atas orang-orang
yang beriman ( QS: An-Nisa’ ayat 103 )7[7], dan waktu-waktu sholat ditentukan secara mutawatir maka
tidak boleh ditinggalkan.
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, dia berkata “ Aku tidak pernah melihat Rosulloh
SAW sholat diluar waktunya kecuali dua sholat, beliau menggabungkan antara sholat maghrib dan ‘isya’
di Muzdalifah, dan mengerjakan sholat subuh pada hari itu sebelum waktunya”.
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan jarak perjalan yang dibolehkan menqoshor
sholat.Menurut sebagian besar ‘ulama’ madzhab syafi’i, menqoshor sholat oleh orang yang sedang
perjalanan jauh ataupun menyempurnakannya seperti biasa, kedua-duannya ja-iz ( yakni sama-sama
dibolehkan, atau boleh memilih diantara kedua-duanya ). Tetapi apabila perjalanan tersebut berjarak
lebih dari dua marhalab atau ditempuh dalam sedikitnya tiga hari perjalanan ( kira-kira 120 KM ) maka
menqoshor sholat lebih afdlal dari pada menyempurnakannya.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi, menqoshor sholat bagi musafir adalah wajib hukumnya.
Tetapi hanya berlaku bagi orang yang menempuh perjalanan sejauh “tiga hari perjalanan” atau kira-kira
120 KM atau lebih.
7[7] Al qur’an dan terjemah, Departemen Agama: Menara Kudus, 1997, Hlm 95
Untuk boleh men-qoshor sholat, jarak perjalanan yang ditempuh harus mencapai jarak tertentu
yang membolehkan men-qoshor sholat yang berjumlah empat reka’at8[8]. Adapun yang dijadikan
ukuran dalam soal menqoshor sholat ini adalah jarak perjalanan bukan lamanya perjalanan. Dengan
demikian penggunaan sarana perjalanan apapun ( mobil, kereta apai, kapal laut, maupun pesawat
terbang ) tidak dipersoalkan sepanjang erjalanan tersebut mencapai 80,640 KM, walaupun hanya
ditempuh dalam waktu satu jam saja9[9].
Mayoritas ulama’ membolehkan menqoshor sholat bagi mereka yang melakukan perjalanan yang
sifatnya mendekatkan diri pada Allah SWT, seperti dalam perjalanan haji, umroh dan jihad. Atau yang
mubah seperti perjalanan untuk perdagangan, menjenguk keluarga, dan sebagainya. Akan tetapi qoshor
tidak berlaku bagi orang yang melakukan perjalanan maksiat seperti merampok, memerangi sesama
muslim, dan sebagainya10[10].
b) Seorang musafir ketika sholat tidak boleh makmum kepada orang yang mukim
Seorang musafir ketika sholat tidak boleh makmum kepada orang yang mukim, atau musafir itu
yang menyempurnakan sholatnya.Maka jika seseorang melakukannya, dia wajib menyempurnakn
sholatnya, walaupun saat menjadi makmum ketika sedang tasyahud akhir.Sedangkan menurut
Hanafiyah, apabila bersamnya imam tidak mendapatkan reka’at secara sempurna, maka sholatnya
secara qoshor.
Adapun seorang yang bermukim boleh menjdai makmum orang yang bermusafir, dan bagi
musafir hendaknya memberi tahukan bahwa ia akan menqoshor sholatnya, sehingga orang yang
bermukim menyempurnakan sholatnya.
c) Berniat untuk safar ( bepergian jauh ), dalam niat untuk safar disyaratkan dua perkara :
Pertama, berniat untuk menempuh perjalanan dengan sempurna sejak mulai awal perjalanannya.
Kedua, berhak menentukan niat sendiri, maka tidak cukup memerlukan niat apabila seseorang pengikut
tanpa adanya niat oleh orang yang diikuti.
Hendaknya berniat sholat qoshor stiap akan melaksanakan sholat yang akan diqoshor. Dari madzhab
Malikiyah berpendapat bahwa hanya cukup melakukan niat pada awal melaksanakan sholat yang akan
8[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam. FIQIH IBADAH. Abdul Aziz sayyed Hawwas. Jakarta: amzah. 2009.
Hlm 288
9[9] Muhammad Baghir al-Habsy, FIKIH PRAKTIS :MENURUT AL QUR’AN, AS-SUNNAH DAN PEDAPAT
PARA ULAMA’. Bandung: Mizan Media utama. 2002. Hlm 208
e) Tidak boleh menqoshor sholat kecuali sudah meninggal kan bangunan kota ( batas kota )
Demikian pendapat empat madzhab, sedangkan menurut pendapat Imamiyah bahwa harus
benar-benar jauh dari bangunan kota sehingga tidak tampak oleh pandangan lagi serta sudah tidak
kedengaran suara adzan.
Bagi seseorang diperbolehkan menjamak (menggabungkan) sholat zuhur dengan asar dan
magrib dengan isya'. Sedangkan sholat subuh tetap harus dilakukan pada waktunya. Sholat jama' dapat
dilakukan dengan syarat-syarat:
11[11]Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Sholat Menurut Empat Madzhab, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar.
2005. Hlm 283
13[13] Abdul qodir Ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab (Bogor:PT Pustaka Litera AntarNusa, 2008), hal
394
Menjamak dua sholat dalam satu waktu dari kedua shalat itu boleh dilakukan dengan syarat-
syarat berikut:
1. Jarak perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang dibolehkan mengqosor14[14]. Imam Maliki15[15]
berkata “seorang musafir (orang yang sedang bepergian) tidak boleh menjama’ sholat kecuali jika
perjalanannya memberatkan”
2.
َا
ْنَي
ُبَع
ْم ََ
يج ْر
ٍو ِسَي
هرَْ ََ
لىظانع َاك
َ َ ِذ ْر
ِإ َص ْ َ
الع ِو ُّْ
هر َََلة
ِالظ َص َي
ْن َع
ُب َج
ْم ِي َّ وُل
لله ُ َُس َ َ
انر ك
ِِشَا
َ
ء ْ َ
الع ِو
ِبْر
َغْلم
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah perjalanan
dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)16[16]
14[14]Menurut Syafi’I sejauh 540 km, Maliki sejauh 65,764 km dan Hanafi sejauh 85 km.
16[16] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 773
19[19] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 775
dikenal pada masa Nabi SAW, karena kalau tidak demikian maka tidak ada faidah apapun yang didapat
dari peniadaan hujan sebagai sebab untuk membolehkan jamak.(Irwa’ Al Ghalil :3/40)
d) Ketika dalam keadaan sakit atau udzur
Dibolehkan menjamak disebabkan sakit menurut ulama’ Hanbali, Maliki dan Syafi’i. Ulama’
Hanbali20[20] memperluas kebolehan menjamak ini hingga boleh juga bagi orang yang berhalangan
(uzur) seperti wanita yang mengeluarkan darah istihadhoh, orang beser kencing dan sebagainya, bagi
orang yang khawatir terjadi bahaya bagi jiwa, harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut
mendapat kesulitan dalam mata pencahariannya sekiranya ia meninggalkan jamak , dan bagi wanita
yang sedang menyusui bila sukar mencuci kain setiap hendak shalat. Demikian itu berdasarkan
keterangan dari Ibn Abbas:
“Rasulullah pernah menjamak salat zuhur dengan asar, maghrib dengan Isya’ tanpa ada alas an
ketakutan atau turun hujan. Ditanyakan kepada Ibn Abbas: apa maksud Nabi berbuat demikian itu?
Maksudnya untuk tidak membeeratkan ummatnya,’ jawab Ibnu Abbas” (Hadist Muslim)
2.4 Tata Cara Melaksanakan Sholat Jama' dan Qoshor
Dalam menggabungkan21[21] dua shalat dianjurkan cukup dengan satu adzan dan dua kali
iqomat untuk tiap-tiap sholatnya.dalam hadist jabir disebutkan bahwa Nabi SAW shalat di Arafah
dengan satu adzan dan dua iqomat, lalu beliau dating ke muzdalifah dan melakukan sholat maghrib dan
isya’ dengan satu adzan dan dua iqomat. Beliau tidak melakukan sholat sunnah diantara keduanya.
Kemudian beliau tidur sampai terbit fajar (Shahih)
a. Jamak Taqdim yaitu menjamak shalat diwaktu sholat yang pertama. Contohnya menjamak
sholat zuhur dan asar diwaktu zuhur dan menjamak sholat maghrib dan isya’ diwaktu maghrib.
Dalam hal ini jumhur berpendapat22[22] bahwa disyaratkannya untuk beriringan antar dua
sholat tadi tanpa ada pemisah. Syeikh islam Ibnu Taimiyah tidak sependapat dengan pendapat
ini, dia berkata, “Tidak disyariatkan yang demikian.Dan ini adalah satu Riwayat dari imam
20[20] Abdul qodir Ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab (Bogor:PT Pustaka Litera AntarNusa, 2008), hal.
397
21[21] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 777
22[22] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 777
Ahmad dan satu pendapat di kalangan madzhab syafi’i. dan inilah pendapat yang paling
mengarah. Tata caranya23[23] yaitu:
1. Sholat diwaktu yang pertama.(dhuhur sebelum asar atau maghrib sebelum isya’)
2. Berniat jama’ taqdim pada sholat pertama agar berbeda dari sholat-solat biasa.
3. Berturut-turut dalam mengerjakan diantara keduanya sehingga antara keduanya tidak berselang lama,
yakni lebih kurang selama dua rakaat ringan tetapi diantara kedua sholat itu diperbolehkan bersuci,
adzan dan iqomah. Ketentuan ini berlaku bagi jamak taqdim, sedangkan untuk jamak ta’khir tidak
berlaku24[24]
4. Kedua sholat dilakukan secara tertib, yakni dimulai dengan sholat pertama terlebih dahulu (zuhur ato
maghrib) yakni:
Contoh:
” Saya niat salat salat duhur empat rakaat digabungkan dengan salat asar dengan jamak takdim karena
Allah Ta’ala”
2. Takbiratul ihram
4. Salam
5. Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (asar), jika dilafalkan sebagai berikut;
“ Saya niat salat asar empat rakaat digabungkan dengan salat duhur dengan jamak takdim karena Allah
ta’ala.”
6. Takbiratul Ihram
24[24] Abdul qodir Ar-Rahbawi, Salat Empat Madzhab (Bogor:PT Pustaka Litera AntarNusa, 2008), hal.
394
8. Salam
b. Jamak Ta’khir yaitu menjamak shalat di waktu shalat yang kedua. Contohnya: menjamak sholat
zuhur dan asar diwaktu asar dan menjamak sholat maghrib dan isya’ diwaktu isya’.
25[25]Apabila kedua shalat yang dijamak dilakukan di waktu shalat yang kedua (jamak ta’khir) ,
maka tidak di syari’at kan beriringan antara dua sholat yang digabung itu, bahkan diperbolehkan
untuk memisah keduanya. Misalkan shalat dhuhur di awal waktu ashar dan shalat ashar di
akhirkan sampai habis waktunya. Ini pendapat Jumhur selain madzhab Hanbali. Tata caranya
yaitu :
1. Sholat dilakukan diwaktu yang kedua (asar atau isya’)
2. Berniat sejak waktu yang pertama bahwa ia akan melakukan sholat pertama itu diwaktu yang kedua,
supaya ada maksud yang keras untuk mengerjakan shalat yang pertama dan tidak ditinggalkan begitu
saja26[26].
3. Sholat yang dilakukan terlebih dahulu adalah sholat asar atau isya’ terlebih dahulu, baru kemudian
sholat dhuhur atau maghrib dan bias juga dilakukan sholat dhuhur atau maghrib terlebih dahulu, baru
kemudian sholat asar atau isya’.
Contoh:
1. Berniat menjamak salat magrib dengan jamak ta’khir. Bila dilafalkan yaitu:
“ Saya niat salat magrib tiga rakaat digabungkan dengan salat ‘isya dengan jamak ta’khir karena
Allah Ta’ala”
2. Takbiratul ihram
4. Salam.
5. Berdiri lagi dan berniat salat yang kedua (‘isya), jika dilafalkan sebagai berikut;
25[25] Abu malik kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah (Jakarta: Pustaka Azam, 2006) , hal. 777
6. Takbiratul Ihram
8. Salama
Adapun tata cara sholat qoshor itu tidak ada bedanya dengan sholat dua reka’at yang lainnya,
karena qoshor hanya meringkas sholat yang empat reka’at menjadi dua reka’at
Pada prinsipnya, pelaksanaan sholak qoshor sama dengan sholat biasa hanya saja berbeda pada
niat reka’atnya dijadikan dua reka’at dan tidak ada tasyahud awal. Jadi setelah dua reka’at kemudian
melakukan tasyahud akhir dan salam.
Sedangkan tatcara sholat jama’ dan qoshor yang dilakukan sekaligus, tinggal menggabungkan
tatacara sholat jama’ di atas yang dikurangi dua reka’at yang semulanya empat reka’at, maka sholat
sholat maghrib tiga reka’at walaupun sholat Isya’nya diqoshor menjadi dua.
BAB III
3.1 KESIMPULAN
sholat jama’ qoshor merupakan salah satu rukhsoh yang diberikan oleh Allah kepada manusia
bagi yang bepergian menempuh jarah jauh, adapun jarak yang sudah ditetapkna oleh para ulama’ yang
sudah diuraikan ditas.
Sholat jama’ dan qoshor ini sudah disyari’atkan sejak masa nabi, ketika itu nabi juga melakukan
sholat jama’ dan sholat qoshor pada waktu terentu atau pada waktu nabi bepergian yang jauh, yang
mana sudah memenuhi syarta untuk melaksanakan jama’ qoshor.
Untuk melaksankan sholat jama’ dan qoshor harus memenuhi syarat yang sudah ditetapkan
oleh para ulama’.Dalam hal ini, ulama’ berdeda pendapat dalam menetapkan jarak yang harus ditempuh
bagi musafir. Sholat jama’ qoshor ini hanya berlaku pada orang yang bepergian yang jauh saja ,
sekiranya sudah mencapai jarak minimal 80,640 KM, baru seorang musafir itu boleh melakukan sholat
jama’ qoshor.
Untuk tata cara melaksanakan sholat jama’ dan qoshor, bahwa sama seperti melakukan sholat
biasa yang semulanya empat reka’at menjadi dua reka’at, atau menggabungkan antara dua sholat
menjadi satu dengan pelaksanaannya dua reka’at.
Adapun soal Tanya jawab ini diajukan oleh audien kepada presentator ketika presentasi makalah
ini. Adapun soal Tanya jawab antara lain sebagai berikut:
1. Ketika sopir mengendarai bus antar propinsi yang tidak pernah berhenti, apakah boleh menqhosor
sholatnya, apa hukumnya dan alasannya
Jawaban :
Dalam masalah ini, seorang supir bus antar propinsi boleh melakukan sholat jama’ qoshor,
apabila sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk melakukan sholat jama’ qoshor.Dan
supir bisa melakukan sholatnya ketika berhenti atau saat menyebrang pulau, jadi supir mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan sholatnya. Dan apabila supir bus itu tidak berhenti berhari-hari dan
hanya di gantikan oleh temannya, maka mereka mendapatkan rukhsoh untuk melaksanakan sholatnya
dengan di jama’ qoshor dan tergantung pada masyaqoh( kesusahan ) yang di dapat oleh supir bus.
Jawaban :
Dalam permasalahan ini ulama’ berbeda pendapa dalam menetapkan jarak untuk boleh
melakukan sholat jama’ qoshor. Menurut imam Hambali,Maliki, dan Syafi’I menetapkan jarak yang harus
ditempuh yaitu 80,5 KM dan di tambah 140 Meter, menurut imam Hanafi jarak yang harus ditempuh
oleh seorang musafir adalah 107,5 KM dan ditambah 20 meter, sedangkan menurut madzhab Imamiyah
harus menempuh jarak 320 KM.
Jawaban :
Apabila orang yang mukin melakukan sholat fardlu empa reka’at dibelakang seorang musafir,
maka para ulama’ sepakat bahwa dia harus menyempurnakan sholatnya menjadi empat reka’at setelah
imam mengucapkan salam27[27]. Dan apabila orang yang bermukim tidak mengetahuinya, hendaknya
seorang musafir iu mengatakn kepada orang yang bermukim bahwa saya akan menqoshor sholat.
4. Permasalahan dalam kasus peserta pernikahan. Apakah kedua mempelai boleh menjama’ dan
menqoshor sholatnya ketika sedang melaksankan acara pesta pernikahan yang dilakukan pada waktu
siang hari atau jam 11.00 siang.
Jawaban :
Dalam masalah ini, kedua mempelai sebelum dirias seharusnya sudah berwudlu dulu, selain itu
waktu dalam pelaksanaan acara pesta perenikahan sudah mendaki waktu sholat dhuhur, alangkah
baiknya kedua mempelai itu melaksanakan sholat dhuhur dulu.
5. Apakah boleh melakukan sholat rowatib qobliyah dan ba’diyah secara berurutan dengan sholat jama’
qoshor.
Jawaban :
Untuk melaksanakan sholat jama’ qoshor, sebaiknya tidak usah melaksanakan sholat rowatib
qobliyah, karena melaksanakan sholat sunnuah dalam sholat jama’ secara berturut-turut tidak
ddiperbolehkan dan sholatnya menjadi batal.
6. Dalam syarat-syarat jama’ qoshor, seorang musafir tidak boleh melakukan perjalanan maksiat. Apa yang
dimaksud dengan al-‘Ashi bis safar dan al-‘Ashi fis safar.
Jawaban :
Yang dimaksud dengan al-‘Ashi bis safaryaitu : menurut Imam Syafi’i, apabila seseorang sedang
melakukan perjalan yang jauh dan memenuhi syarat untik menqoshor sholat dengang tujian atau niat
untuk maksiat, maka tidak ada rukhsoh untuk menjama’ dan menqhor sholat bagi musafir yang
bertujuan untuk maksiat.
Sedangkan yang dimaksud dengan al-‘Ashi fis safar yaitu : apabila seseorang sedang melakukan
perjalan yang jauh dan memenuhi syarat untik menqoshor sholat pada niatan atau tujuan awalnya tidak
27[27]Abdul Malik Kamal bin Sayyid Salim, SHOHIH FIKIH SUNNAH Lengkap, Jakarta: Pusaka Azzam,
2006, Hlm 768
ada tujuan untuk maksiat, tetapi sampai di tengah perjalanan musafir itu melakukan maksiat, maka
musafir tidak mendapatkan rukhsoh untuk menjama’ dan menqoshor sholatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rahbawi , Abdul qodir. 2008. Salat Empat Madzhab. Bogor : PT Pustaka Litera AntarNusa
Kamal, Abu malik bin As-Sayyid Salim. 2006. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta : Pustaka Azam
Abdul Aziz Muhammad Azzam. FIQIH IBADAH. Abdul Aziz sayyed Hawwas. Jakarta: amzah. 2009. Hlm 288
Muhammad Baghir al-Habsy, FIKIH PRAKTIS :MENURUT AL QUR’AN, AS-SUNNAH DAN PEDAPAT PARA
ULAMA’. Bandung: Mizan Media utama. 2002. Hlm 208
Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Sholat Menurut Empat Madzhab, Jakarta: Pustaka Al-Kaustar. 2005.
Hlm 283
https://abuolifa.wordpress.com/2016/10/10/kajian-tentang-shalat-jama-dan-qashar-di-jaman-
moderen/
Saya bingung ketika seorang jama`ah haji menanyakan, bolehkah menjama` sholat ashar ketika
kita dalam keadaan darurat (macet ) dan berhadats, sedangkan jarak perjalanannya tidak jauh
misalnya, dari MINA ke Makkah?
Lalu saya menjawab, hal tersebut boleh2 saja karena shalat merupakan suatu kewajiban. Dan
saya menambahkan sedikit dengan kaidah ushul fiqih :
Pembahasan Fiqhiyah:
Sebelum membahas masalah jama’ dan qashar ini, ada 2 perkara yg harus diperhatikan:
1. Shalat yg terkena qashar (pengurangan rakaat) hanyalah shalat yg rakaatnya 4 (zuhur, ashar,
dan isya). Adapun maghrib dan subuh maka rakaatnya tetap dalam keadaan safar, tidak
dikurangi. Ini adalah kesepakatan di kalangan ulama, sebagaimana yg dinukil oleh Imam Ibnu
Al-Mundzir dan selainnya.
2. Qashar shalat hanya syariat yg diperuntukkan bagi imam atau yg shalat sendiri. Adapun bagi
mereka yg bermakmum kepada seorang imam dalam shalat berjamaah, maka mereka mengikuti
jumlah rakaat imamnya.
Dari Musa bin Salamah Al-Hudzali dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas:
“Bagaimana saya shalat jika saya berada di Makkah (sedang safar) dan saya tidak ikut shalat di
belakang imam (berjamaah)?” Maka beliau menjawab, “Shalatlah 2 rakaat, itu merupakan
sunnahnya Abu Al-Qasim shallallahu alaihi wasallam.” (HR. Muslim: 5/197-Syarh An-Nawawi)
Maka dari atsar di atas bisa dipahami, bahwa jika seseorang shalat di belakang imam yg mukim
maka dia mengikuti rakaat imamnya yaitu 4 rakaat.
3. Boleh menjama’ atau mengqashar shalat jika safarnya tidak untuk maksiat
4. Shalat yg bisa dimana’ adalah zhuhur dengan ashar atau maghrib dengan isya’. Sementara
shubuh tidak bisa dijama’
Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`,
maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan
atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan di atas. Allah Ta’ala
berfirman:
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj: 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”. (HR Muslim 705).
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar,
Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.”
Kita yg hidup di tengah belantara metropolitan ini seringkali disulitkan dengan urusan macet,
khususnya masalah waktu shalat maghrib. Sedangkan shalat Dzhur, Ashar, Isya dan Shubuh
relatif tidak terlalu berpengaruh karena waktunya leluasa.
Yang paling mengkhawatirkan adalah shalat Maghrib yang waktunya sangat singkat. Padahal
jam2 seperti itu adalah jam macet di mana2. Sehingga banyak orang yg berpikiran bahwa macet
itu ‘boleh’ dijadikan alasan untuk menjama’ shalat.
Tetapi apa dalilnya? Bisakah dalil darurat dijadikan alasan? Dan seberapakah nilai darurat
sebuah kemacetan itu sehingga boleh menggeser waktu shalat? Adakah dalil yg shahih dan
sharih dari Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg membolehkan jama lantaran macet?
Jawabannya tentu tidak ada. Tidak ada hadits yg bunyinya bila kalian kena macet, maka silahkan
menjama’ shalat.
Lalu apakah kondisi macet sesuai dengan salah satu penyebab di atas? Misalnya dengan urusan
safar, hujan, sakit, haji atau keperluan mendesak?
Kalau dikaitkan dengan safar, maka macet yg sering kita alami tidak memenuhi syarat, karena
dari segi jarak tidak memenuhi standar minimal. Kalau dikaitkan dengan keperluan mendesak, di
sana ada syarat bahwa hal itu tidak boleh terjadi tiap hari. Dan yg namanya darurat itu tidak
boleh terjadi sepanjang waktu.
Bukankah kita masih bisa turun dari bus atau mobil untuk shalat di mana pun? Bukankah shalat
itu tidak harus di dalam sebuah masjid atau musholla? Bukankah kalau tidak ada air kita masih
diperbolehkan bertayamum? Bukankah air tersedia di mana2, bahkan para penjual air minum
kemasan pun berkeliaran saat macet?
Maka kaidah fiqhiyah yg anda sampaikan itu masih ada pasangannya, yaitu:
Ada silang pendapat yg besar di kalangan ulama dalam masalah ini, sampai2 sebagian ulama ada
yg menyebutkan sampai 20 pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini lahir akibat
perbedaan dalam menshahihkan sebuah hadits dan dalam memahami hadits2 yg menyebutkan
adanya penyebutan jara’ dalam safar Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di antara hadits2 yg
menyebutkan adanya jarak tertentu adalah:
1. Hadits Anas di atas yg menunjukkan beliau shalat qashar di Zil Hulaifah. Sementara Zul
Hulaifah jaraknya sekitar 3 mil atau 4,8 km dari Madinah, karena mil = 1,6 km
Hanya saja para ulama menyebutkan bahwa hadits ini tidak menunjukkan bahwa itu merupakan
jarak minimal safar, tapi hanya menunjukkan bahwa beliau melakukan qashar di Zul Hulaifah.
2. Hadits Anas riwayat Muslim no. 691 dia berkata, “Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam
keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh, maka beliau shalat 2 rakaat.”
Hanya saja dalam hadits di atas juga tidak ada keterangan itu adalah jarak safar minimal yg
diizinkan qashar. Lagipula riwayat Muslim di atas terjadi perbedaan lafazh yg mengharuskan
perbedaan hukum, yaitu dalam penyebutan jarak antara 3 mil atau 3 farsakh. 1 mil = 1,6 km dan
1 farsakh = 5,541 km (walaupun tentunya ukuran 1 farsakh ini bukanlah ukuran yg disepakati).
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila engkau
mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka
janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’
[Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari
perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran
dengan hal itu. Sungguh orang yg lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya
(shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat)
jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunujukkan bahwa hujan dan tanah yg berlumpur (karena sebelumnya hujan)
merupakan udzur (alasan) untuk tidak melakukan shalat jum’at. Hal ini dapat dilihat dari
perkataan Ibnu Abbas di atas ”Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat)” yg
merupakan illah (sebab) untuk meninggalkan shalat jum’at ketika hujan dan ketika tanah
berlumpur (becek). Dan kedua hal ini termasuk kesulitan.
صلُّ ْوا فِي ِر َحا ِل ُك ْم ِ َسله َم يُنَادِي ُمنَا ِد ْي ِه فِي الله ْيلَ ِة ال َم ِطي َْرةِ أ َ ْو الله ْيلَ ِة الب
ّ ِ َاردَةِ ذَات
َ ِالريْح َ صلهى هللاُ َعلَ ْي ِه َو ُ َكانَ َر
َ ِس ْو ُل هللا
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa mengumandangkan adzan ketika malam yang hujan
dan malam yang dingin disertai angin kencang, lalu diucapkan ”shalatlah di rumah-rumah
kalian”.” (HR. Ibnu Majjah)
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta
Maghrib dan Isya’ di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”
Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau
melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”
Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yg berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yg Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab,
”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits2 seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena
itu, dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yg jika tidak jamak maka seorang itu akan
berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yg telah Allah hilangkan dari umat ini.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yg si sakit akan merasa kesulitan jika
harus shalat pada waktunya masing2 adalah suatu hal yg lebih layak lagi.” (Maumu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah 24/84).
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ”Semua alasan yg menjadi sebab bolehnya meninggalkan
shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yg membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh
karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yg menghadang di jalan, anging yg
kencing membawa hawa dingin menurut pendapat yg nampak pada Imam Ahmad. Demikian
pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yg mengalami istihadhah dan wanita
yg menyusui (yg harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)”. (Maumu’
Fatawa Ibnu Taimiyah 24/14).
ْصالَ ِة ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَن َي ْف ِتنَ ُك ُم ا هلذِينَ َكفَ ُروا ُ ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْق
ص ُرواْ ِمنَ ال ه ِ ض َر ْبت ُ ْم ِفي اْل َ ْر
َ ض فَلَي َ َو ِإذَا
“Jika kalian mengadakan perjalanan di muka bumi maka tidak mengapa atas kalian untuk
mengqashar shalat jika kalian khawatir orang-orang kafir akan membahayakan kalian.” (QS. An-
Nisa’: 101)
Dari Ya’la bin Umayyah dia berkata kepada Umar bin Al-Khaththab meminta penjelasan ayat di
atas:
“Sekarang manusia sudah merasa aman (tidak ada bahaya dari orang kafir). Maka Umar
menjawab, “Aku juga mengherankan hal tersebut, karenanya aku juga menanyakan hal tersebut
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Itu (qashar) adalah
sedekah yang Allah bersedekah kepada kalian, karenanya terimalah sedekah-Nya.” (HR. Muslim
no. 686)
“Dia awal kali Allah mewajibkan shalat, Dia mewajibkannya 2 rakaat 2 rakaat dalam keadaan
mukim dan safar. Belakangan, shalat dalam keadaan safar ditetapkan sebagaimana awalnya, dan
shalat dalam keadaan mukim ditambah (jadi 4 rakaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1090 dan Muslim
no. 685
Pendapat yg lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa mengqashar shalat bagi musafir
hukumnya adalah wajib. Ini adalah pendapat Umar bin Abdil Aziz, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Hasan
bin Saleh, dan merupakan mazhab Zhahiriah dan selainnya, serta yg dikuatkan oleh Asy-
Syaukani dalam Nail Al-Authar: 3/202.
2. Hadits Aisyah di atas yg tegas menunjukkan bahwa dalam safar, shalat kembali kepada rakaat
asalnya yaitu dua rakaat. Karenanya barangsiapa yang shalat itmam (4 rakaat) dalam safar maka
dia telah menambah 2 rakaat tanpa ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya.
“Saya bersahabat dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebegitu lama), akan tetapi
dalam safar beliau tidak pernah shalat lebih dari 2 rakaat. Demikian pula yg dilakukan oleh Abu
Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. Al-Bukhari no. 1102)
Ibnu Al-Mundzir rahimahullah berkata, “Semua ulama yg kami hafal pendapat mereka telah
bersepakat bahwa siapa yg ingin safar maka dia boleh mengqashar jika dia sudah meninggalkan
semua rumah yg ada di kampung yang dia keluar darinya.”
Apa yg disebutkan oleh Ibnu Al-Mundzir di sini akan adanya ijma’ adalah sebatas apa yg beliau
hafal -sebagaimana yg beliau sendiri ingatkan-, karena kenyataannya ada silang pendapat di
kalangan ulama dalam masalah ini. Pendapat yg beliau sebutkan tersebut adalah pendapat
mayoritas ulama, dan di antara dalil mereka adalah atsar dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau
pernah safar lalu beliau melakukan qashar bersama yg lainnya dalam keadaan mereka melihat
rumah2 (di dalam kampung). Lalu ketika mereka pulang, mereka mengqashar dalam keadaan
mereka melihat rumah2.
Atsar di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2/569) secara mu`allaq dengan konteks al-jazm
(pemastian keshahihannya).
“Nabi shallallahu alaihi wasallam tinggal di tepat safarnya selama 19 hari sambil mengqashar
shalat. Karenanya, jika kami safar selama 19 hari kami mengqashar dan jika lebih maka kami
melakukan shalat itmam (rakaat sempurna).” (HR. Al-Bukhari no. 1080)
Dan pembatasan 19 hari inilah yang dipilih oleh Ishaq bin Rahawaih dan yg dikuatkan oleh Asy-
Syaukani.
Maraji’: Dhiya` As-Salikin fii Ahkam wa Adab Al-Musafirin karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri
hafizhahullah.
Demikian Ibnu Mas’ud menjelaskan dalam kajiannya semoga bermanfaat. Aamiin
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya dan dengan ibadah
manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat nanti. Bentuk dan
jenis Ibadah sangat bermacam-macam, seperti shalat, puasa, naik haji, membaca Al Qur’an, jihad dan
lainnya.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang)
salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama
(Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama(Islam). Shalat harus
didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut
merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat
maupun sakit.
Di dalam pelaksanaan sholat Allah tidak pernah memberatkan umatnya melainkan Allah
memberikan keringanan baginya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sholat jamaah,
sholat qasar dan jamak, serta salat bagi orang yang sakit.
2. RUMUSAN MASALAH
Dari Ibn Umar r.a., bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Sholat berjamaah itu adalah lebih utama
dua puluhtujuh derajat dibanding sholat sendiri” (Hadis muttafaqun alaih)
2. Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka
dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar,
النبي صلى هللا عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة
“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan
lebat.”(HR. Bukhari)
3. Sakit
Orang yang sakit diperbolehkan menjama’ shalat, karena bagi orang yang sakit rasa kesulitan
untuk melakukan shalat, lebih susah dibandingkan dalam keadaan hujan, kasus lain misalnya wanita
yang sedang istihadhah (yang darahnya keluar secara terus menerus) sehingga kesulitan untuk terus
menerus berwudhu’, maka bagi mereka dibolehkan untuk menjama’ shalat.
4. Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang, akan yang
dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin misalnya, hati dan jiwa seseorang merasa terancam
apabila melakukan aktivitas (kegiatan) di luar, atau takut karena sesuatu yang mengancam seperti kalau
akan terkena bencana alam dan lain sebagainya.
5. Keperluan (kepentingan) Mendesak
Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan beberapa keperluan,
kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi kewajiban bagi setiap muslim beriman.
Maka dari itu Imam Nawawi dalam kitab syarah Muslim mengatakan: dari beberapa imam
membolehkan menjama’ shalat bagi orang yang tidak dalam safar, jika ada kepentingan yang mendesak,
asal hal itu tidak dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.
2. Sholat Qasar
a. Pengertian dan hukum sholat qasar
Salat qasar artinya salat yang diringkaskan bilangan rakaatnya, yaitu di antara salat fardhu yang
lima; yang mestinya empat rakaat menjadi dua rakaat saja. Salat lima waktu yang boleh diqasar hanya
dzuhur, Asar, dan isya’. Adapun magrib dan subuh tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh diqasar.
Hukum salat qasar dalam mazhab syafii harus (boleh), bahkan lebih bagi orang yang dalam perjalanan
serta cukup syarat-syaratnya.[6]
b. Jarak Bolehnya Qashar.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw mengqashar shalat dalam perjalanan yang
berukuran 3 mil atau 1 farsakh.
صلَة ِ َس ًخا يُق
ص ُر ال ه َ سله َم إِذَا
َ سافَ َر فَ َرا َ ُصلهى هللا
َ علَ ْي ِه َو ُ َكانَ َر
َ ِس ْو ُل هللا
“Adapun Rasulullah SAW bila bepergian sejauh satu farsakh, maka beliau mengqashar Shalat”(HR. Sa’id
bin Manshur).
Lahiriyah hadits ini, berhubungan dengan qashar, dan setiap orang yang boleh mengqashar shalat
berarti boleh menjama’nya, artinya dalil ini adalah dalil shalat jama’ dan qashar.
c. Niat sholat qasar
Sholat qasar dhuhur
ُّ ض
ْ َالظ ْه ِر َر ْكعَتَي ِْن ق
ص ًرا ا َ َدا ًء ِ هلِلِ تَعَالَى َ ُا
َ ص ِلى فَ ْر
Artinya: Niat shalat fardhu dzuhur secara qashar dua rakaat karena Allah
Sholat qasar ashar
لِل ت َ َعالَى ْ َض العصر َر ْك َعتَي ِْن ق
ِ ص ًرا ا َ َدا ًء ِ ه َ ُا
َ ص ِلى فَ ْر
Artinya: Niat shalat fardhu Ashar secara qashar dua rakaat karena Allah
Sholat qasar isya’
لِل تَعَالَى ْ َض العشاء َر ْكعَتَي ِْن ق
ِ ص ًرا ا َ َدا ًء ِ ه َ ُا
َ ص ِلى فَ ْر
Artinya: Niat shalat fardhu Isya secara qashar dua rakaat karena Allah[7]
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Shalat berjama'ah ialah shalat yang dilakukan oleh orang banyak, sekurang-kurangnya dua
orang, seorang diantaranya mereka yang lebih fasih bacaannya dan lebih mengerti tentang hukum
Islam dipilih menjadi imam. Orang yg diikuti (yang di hadapan) dinamakan imam, sedangkan yang
mengikuti di belakang dinamakan makmum. Shalat berjama'ah hukumnya sunnah mu'akkad
kecuali shalat jama'ah pada shalat jum'at. Sholat jamaah mempunyai sebuah keutamaan yaitu
mendapatkan pahala 27 derajat (kali) dibandingkan dengan shalat sendirian. Jika seseorang dalam sholat
jama’ah, hendaknya meluruskan barisan sholatnya karena shaf yang lurus adalah sebagian dari
kesempurnaan sholat.
Didalam pelaksanaan shalat Allah tidak memberatkan ummatnya, artinya shalat dapat di qasar
dan di jamak (jamak taqdim dan jamak ta’khir) ketika seseorang tersebut mempunyai halangan seperti
ketika dalam perjalanan jauh, sakit, dan masih banyak contoh yang lain, dan Allah juga memberikan
keringanan terhadap pelaksanaan shalat orang yang sakit dengan cara salat sambil duduk, berbaring,
dan terlentang.
2. SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan
dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada. Kami banyak berharap para pembaca yang budiman
sudi memeberikan kritik dan saran yang memebangun kepada kami. Semoga makalah ini berguna bai
kita semua. Aamiin.
Daftar pustaka
Al Mundziri, Hafizh. 2012. Jalan Menuju Surga (Terjemah Attarghib Wat Tarhib). Surabaya: Menara Suci.
Rasjid, Sulaiman, Haji, dkk. 1994. Fiqih Islam (hukum fiqih lengkap)-cet27-Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
http://LafalNiat dan Cara Shalat Qasar Jamak Taqdim dan Takhir-Sukron Onepeace.html. Di Akses
Tanggal 22 Oktober 2015
http://CaraBersuci dan Shalat Orang yang Sakit-Lembaga Dialog Ilmiah dan dakwah penerangan-Fatwa
Indonesia-PDF.html. Di Akses Tanggal 22 Oktober 2015
[1] Al Mundziri, Hafizh, Jalan Menuju Surga (Terjemah Attarghib Wat Tarhib), (Surabaya; Menara Suci,2012).hlm 59
[2] RASJID, Sulaiman, Haji,dkk, Fiqih Islam(hukum fiqih lengkap)-cet27-(Bandung;Sinar Baru Algensindo, 1994).hlm 106
[4] Http://JamakDan Qashar-Syarat dan ketentuan shalat jamak dan qashar.html. Di Akses Tanggal 22 Oktober 2015
[5] http://LafalNiat dan Cara Shalat Qasar Jamak Taqdim dan Takhir-Sukron Onepeace.html. Di Akses Tanggal 22 Oktober 2015
[6] Http://JamakDan Qashar-Syarat dan ketentuan shalat jamak dan qashar.html. Di Akses Tanggal 22 Oktober 2015
[7] Abdul Yasin,fatihuddin, Bimbingan Sholat. (surabaya;Terbit Terang, 2010)
[8] http://CaraBersuci dan Shalat Orang yang Sakit-Lembaga Dialog Ilmiah dan dakwah penerangan-Fatwa Indonesia-PDF.html.
Di Akses Tanggal 22 Oktober 2015
https://nafafaz.blogspot.com/2016/01/shalat-khauf-dan-hukum-pelaksanaannya.html
I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW melalui malaikat jibril yang
merupakan pedoman bagi umat islam. Selain itu juga terdapat sunnah dan hadis yang membantu dalam
menjelaskan apa yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Hadits adalah perkataan, perbuatan maupun ketepan dari baginda Rasulullah SAW. Adapun isi
dari hadits Rasul tersebut bermacam-macam mulai dari tentang shalat, puasa, zakat, aqidah dan banyak
lainnya. Shalat ada berbagai macam, seperti shalat yang wajib maupun yang hukumnya sunnah. ada juga
yang dinamakan dengan shalat Khauf pada masa peperangan Rasulullah SAW. Yang perlu dikaji lebih
dalam tentangnya.
III. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN SHALAT KHAUF
Secara etimologi, kata shalat bermakna do’a atas kebaikan. Menurut pendapat lain, asal kata
shalat bermakna pengagungan (ta’dzim). Bisa juga bermakna ibadah yang dikhususkan. Karena
didalamnya terdapat pengagungan terhadap Allah Swt. Secara terminology syara (Jumhur Ulama), shalat
berarti ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, sesuai
dengan syarat-syarat tertentu.[1]
Kata khauf, secara bahasa berarti takut. Dan menurut istilah, khauf berarti kegoncangan di dalam
diri karena khawatir terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, atau hilangnya sesuatu yang disukai.
Diantara hal itu adalah rasa takut dijalanan. Jadi shalat khauf dapat dipahami bahwa ia adalah penunaian
shalat yang di fardhukan (diwajibkan) yang dilakukan pada saat-saat genting atau kondisi yang
mengkhawatirkan dengan cara tertentu.[2]
Diperbolehkan mengqashar shalat dalam keadaan genting, sesuai firman Allah SWT:
Terjemah :
101. “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat-mu,
jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang
nyat bagimu
102. “Dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang sholat besertamu) sujud (telah menyempurnakan
serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapimu) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap
siaga dan nyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta
bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-
senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit dan siap
siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghnakan bagi orang-orang yang
kafir itu
103. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu
duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman.
a) Mufrodat
b) Asbabun Nuzul
Al-Imam Ahmad dan para penyusunan kitab Sunan meriwayatkan sebuah hadis dari Abi ‘Ayyasy
Az-Zarqi, ia berkata : “kami pernah bersama-sama dengan Rasulullah SAW di ‘Asfan. Kaum musyrikin
yang dipimpin oleh Khalid Ibnul Walid menghadap kearah kami, dan mereka berada diantara kami dan
kiblat. Kemudian Rasulullah SAW melakukan shaat Zuhur bersama-sama dengan kami. Maka berkatalah
mereka : “sungguh mereka berada dalam posoisi yang empuk seandainya kita serang dari depan. Lalu
mereka berkata : “sekarang tiba saatnya mereka melakukan shalat. Ibadah tersebut lebih mereka cintai
daripada anak-anak dan diri mereka”. Aabu ‘Ayyasi berkata: “maka turunlah Jibril pada waktu antar
zuhur dan asar membawa ayat-ayat ini:
َ
الصَلة ِيهم فَاَقَمتَ لَهم
ِ َواِذَا كُنتَ ف
Artinya : “dan apabila kamu berada ditengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka”.[5]
Apabila kamu, hai Rasul, berada di dalam jamaahmu dari orang-orang yang beriman dan kamu
hendak mendirikan salat bersama mereka, maka bagilah mereka menjadi dua golongan, kemudian
hendakalah segolongan dari mereka salat bersamamu dan segolongan yang lain berdiri menghadapi
musuh sambl menjaga orang-orang yang sedang shalat karena khawatir akan datang serangan dari musuh:
hendaknya orang-orang yang melaksanakan shalat bersamamu menyandang senjatanya dan tidak
meninggalkannya sewaktu melaksanakan shalat, agar mereka tidak berlangsung berperag sesudah dan
sebelum menyelesaikan shalat itu, sehingga mereka benar-benar selalu dalam keadaan siap siaga.
Sesudah itu, hendaknya segolongan sisanya bersiap-siapa untuk menggantikan golongan pertama
dan shalat bersama Nabi SAW. Sebagaimana meeka telah melaksanakannya.
Hendaklah datang golongan lainyang belum shalat karena sibuk mengadakan penjagaan,
kemudian shalat sebagaiman telah dilakukan oleh golongan pertama: dan hendaknya mereka bersiap siaga
dan menyandang senjatanya di dalam shalat.
Kalian tidak berdosa untuk meletakkan senjata, jika kalian mendapatkan halangan berupa hujan
yang menyiram kalian, sehingga sulit bagi kalian untuk terus menyandangnya karena beratnya, dan
barangkali air telah merusak senjata itu karena dapat membuatnya berkarat; atau atau jika kalian sakit
akibat terluka dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana pun kalian tetap wajib berjaga-
jaga dan jangan lalai terhadap diri, senjata serta perbekalan kalian, karena musuh tidak akan pernah lalai
terhadap kalian, tidak pula menyayangi kalian. Demikianlah keadaan darurat itu diukur dengan ukurannya
sendiri.
Apabila kalian telah melaksanakan shalat dengan cara seperti ini, maka ingatlah Allah Ta’ala di
dalam diri kalian dengan mengingat janjia-Nya bahwa Dia akan menolong agama-Nya di dunia dan
memberikan pahala di akhirat; kemudian dengan lisan kalian yakni dengan memuji, bertakbir dan
berdo’a. semua itu kalian lakukan dalam setiap keadaan, seperti berdiri sewaktu berlari dan berkelahi,
duduk sewaktu memanah atau untuk bergulat, dan berbaring karena luka atau untuk memperdaya musuh.
Mengingat Allah, termasuk salah satu faktor yang meneguhkan hati, mengobarkan semangat, membuat
segala kepayahan dunia menjadi tidak ada artinya dan segal kesulitan menjadi mudah, serta memberi
ketabahan dan kesabaran yang akan disusul dengan keberuntungan.
َعلَى ُجنُو ِب ُك ْم فَ ِإذَا ا ْط َمأْنَ ْنت ُ ْم فَأَقِي ُموا الصََّلة َّ ض ْيت ُ ُم الصََّلةَ فَا ْذ ُك ُروا
َ َّللاَ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو َ َفَ ِإذَا ق
Apabila hati kalian telah telah tenang dari rasa takut dan kalian telah merasa aman setelah segala
urusan perang berakhir, maka laksanakanlah shalat dengan menyempurnakan segala rukunnya dan
memperhatikan segala persyaratannya dan janganlah kalian mengqashar bentuk shalat itu sebagaimana
kalian diizinkan dalam keadaan takut.
علَى ا ْل ُمؤْ مِ نِينَ ِكت َابًا َم ْوقُوت ًا
َ ْإِنَّ الصََّلةَ كَانَت
Dalam hukum Allah, shalat adalah suatu kewajiban yang mempunyai waktu-waktu tertentu dan
sebisa mungkin harus dilaksanakan di dalam waktu-waktu itu. Melaksanakan shalat pada waktunya,
meskipun dengan dengan di qasar tetapi syaratnya terpenuhi, adalah lebih baik daripada
mengakhirkannya agar dapat melaksanakannya dengan sempurna.[6]
IV. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, maka bisa di ambil kesimpulan bahwa shalat khauf ialah penunaian shalat
yang di fardhukan (diwajibkan) yang dilakukan pada saat-saat genting atau kondisi yang
mengkhawatirkan dengan cara tertentu yaitu dengan cara mengqashar shalat.
V. PENUTUP
Alhamdulillah makalah kami dapat selesai dengan tepat waktu, kami menyadari dalam
pembuatan makalah ini terdapat kesalahan baik tulisan, editan dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
kami menunggu kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. 1993. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz IV, Semarang: PT. Karya Toha Putra
Mu’thi, Fadlolan Musyaffa’. 2007. Shalat di Pesawat dan Angkasa, Semarang: Syauqi Press
Rochim, Abdur, dkk. 1987. Syariat Islam tafsir ayat-ayat ibadah, Jakarta: Rajawali
[1] Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, Shalat di Pesawat dan Angkasa, (Semarang: Syauqi Press, 2007), hal 25
[3] Drs. H. Abdur Rochim dan Drs. Fathony, Syariat Islam tafsir ayat-ayat ibadah, (Jakarta: Rajawali,
1987), hal.150
[4] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz IV, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993), hal. 226-229
[5] Drs. H. Abdur Rochim dan Drs. Fathony, Syariat Islam tafsir ayat-ayat ibadah, (Jakarta: Rajawali,
1987), hal.138
[6] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz IV, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993), hal. 229-239
AYAT – AYAT YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM
Agama di dunia ini banyak, dan setiap agama memiliki kitab sucinya masing-masing yang
menjadi acuan kehidupan bagi para pemeluknya. Ada banyak cara interaksi pemeluk agama
terhadap kitab sucinya, ada yang memahami berdasar tafsiran pemuka agama, ada memahami
dengan mempelajari bahasa asli kitab suci tersebut, ada yang menterjemahkan kitab suci tersebut
bahkan ada yang menganggap terjemahan kitab suci adalah kitab suci itu sendiri.
Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan dengan bahasa Arab, banyak
terjemahan al qur’an ke berbagai bahasa. Bahkan al Qur’an merupakan kitab suci yang banyak
memiliki tafsir baik secara kuantitas para penafsir maupun banyaknya jilid kitab-kitab tafsir oleh
seorang penafsir.
Para penafsir tersebut memberikan penafsiran terhadap al qur’an lewat berbagai pendekatan, ada
yang mengkhususkan terhadap masalah-masalah ayat-ayat hukum.
Berikut ini disajikan ayat – ayat yang berkaitan dengan masalah- masalah hukum dalam Kitab
Rawai ‘ul Bayan Tafsir Aat Ahkam Minal Qur’an karya syaeikh ali ash shabuni jilid 1
Juz yang kedua dari kitab tafsir tersebut memuat ayat ahkam sebagai berikut:
Demikian tabel ayat-ayat ahkam dalam kitab tersebut, perlu di catat, topik tersebut hanyalah
secara umum, tetapi secara lebih detail tentu saja kandungan ayat-ayat tersebut lebih luas dari
topik yang disajikan. Wallhu a’lam bish shawwab.