Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

BERMADZHAB, URGENSI DAN


BIOGRAFI 4 IMAM MADZHAB
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
METODOLOGI STUDI FIQIH
Dosen Pengampu : Dr. Mualimul Huda, M.Pd.I

Disusun oleh:
1. Khansa Melatika Hilman (2110810040)
2. M. Rizqi Mubarok (2110810041)
3. Sinta Nuriyatul Mualifah (2110810042)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


KUDUS
FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang mana
berkat rahmat, nikmat dan pertolongan-Nya kami bisa menyelesaikan makalah kami
yang berjudul Bermadzhab, Urgensi, dan Biografi 4 Imam Madzhab. Sholawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau telah
berhasil membawa kita dari kehidupan yang anarkis menuju kehidupan yang harmonis.
Semoga kita selalu mendapatkan syafaat dan pertolongan beliau, baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Amin. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas kelompok, mata
kuliah Metodologi Studi Fiqih semester 2 tahun akademik 2021/2022 Prodi Tadris
Biologi (TB) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN Kudus). Oleh karena itu, kami
haturkan terima kasih banyak kepada bapak Dr. Mualimul Huda,M.Pd.I. sebagai Dosen
pengampu mata kuliah Metodologi Studi Fiqih Semester 2 dalam membimbing mata
kuliah ini.

Kudus, 22 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang .......................................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 2

Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Madzhab ............................................................................................................. 3

B. Latar Belakang Munculnya Madzhab .................................................................................. 3

C. Jenis-Jenis Madzhab ............................................................................................................. 4

D. Tujuan Bermadzhab ............................................................................................................. 5

E. Urgensi Bermadzhab ............................................................................................................ 6

F. Pentingnya Bermadzhab Pada Imam yang Empat .............................................................. 10

G. Biografi dan Sejarah Empat Imam Madzhab ..................................................................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .........................................................................................................................19

B. Saran ....................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting.
Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu
dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak
pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama
yang sedang mengalami modernisasi. Perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah
melahirkan pemikiran Islam bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri. 1
Tidak dapat dipungkiri lagi, rata-rata penduduk Indonesia adalah warga negara
yang menyandang status muslim. Bahkan riset membuktikan bahwa jumlah muslim
terbanyak di seluruh dunia salah satunya adalah negara Indonesia dan mayoritas dari
mereka bermazhab pada Imam Syafi’i. Namun tidak semua dari mereka yang benar-
benar tahu dan memahami islam secara hakikat. Parahnya, ada sebagian dari mereka
yang belum tahu pula tentang bermazhab. Pada akhirnya mereka lebih memilih sekedar
ikut-ikutan dengan orang yang lebih pintar (menurut mereka).
Selain itu, banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti
sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecahnya umat lain dalam sekte-sekte.
Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan
ada yang sampai anti mazhab. Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi
karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih.
Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi
dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua
sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.

1
Ahmad Izzuddin, “Sejarah Tarikh Tasyri,” in Pustaka Al-Bayyinah (Jakarta, 2015), 56.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari madzhab
2. Apa yang melatar belakangi munculnya madzhab?
3. Apa saja jenis-jenis madzhab?
4. Apa saja tujuan dari bermadzhab?
5. Bagaimana urgensi bermadzhab?
6. Apa pentingnya bermadzhab pada imam empat?
7. Bagaimana biografi dari empat imam madzhab?

C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Memahami pengertian dari madzhab.
2. Mengetahui latar belakang munculnya madzhab.
3. Mengidentifikasi jenis-jenis madzhab.
4. Mendeskripsikan tujuan dari bermadzhab.
5. Memahami urgensi bermadzhab.
6. Memahami pentingnya bermadzhab pada imam empat.
7. Mendeskripsikan biografi dari empat imam madzhab.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MADZHAB
Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat)
dari akar kata dzahaba (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”,
yaitu jalan (ath-thariq). 2 Dalam kamus Besar Indonesia Mazhab diartikan sebagai
"haluan atau aliran mengenai hukum fiqh yang menjadi ikutan umat Islam". Sedangkan
secara terminologis pengertian mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan
oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam.
Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi
kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau
mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam. 3
Jika dilihat dari bahasanya, mazhab terbagi menjadi dua makna. Pertama Mazhab
adalah al mu’taqad yang berarti diyakini. Kedua mazhab adalah at-thariqah yang
bermakna jalan atau metode. Dari segi bahasa ini, dapat dipahami bahwa mazhab adalah
sesuatu yang diyakini atau berupa jalan maupun metode untuk memahami hukum-hukum
yang berlaku dalam agama Islam. Secara umum, mazhab mencakup dua hal, yaitu
persoalan pokok (ushul) dan cabang (furu’). Dalam hal ini, setiap mazhab mempunyai
pandangan yang beragam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hukum agama di
masyarakat, baik hukum agama yang membahas persoalan pokok maupun cabang. 4

B. Latar Belakang Munculnya Madzhab


Lahirnya berbagai aliran atau madzhab dalam ilmu fiqih dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor antara lain disebabkan oleh:
a. Perbedaan pemahaman (pengertian) tentang lafadz nash.
b. Perbedaan dalam masalah hadits.
c. Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan qaidah lughawiyah nash.
d. Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-adillah).
e. Perbedaan tentang qiyas.

2
Opik Taupik, Fiqih 4 Madzhab Dan Kajian Fiqih - Ushul Fiqih (Bandung, 2014).
3
Norwili Syaikhu, “Penyesuaian Pendapat Di Kalangan Imam Madzhab,” in Perbandingan Madzhab Fiqih, ed.
K-Media (Yogyakarta, 2019).
4
Isti Ayu Prabandari, “Pendapat Imam Tentang Hukum Agama,” 2020.

3
f. Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum.
g. Perbedaan dalam pemahaman illat hukum.
h. Perbedaan dalam masalah nasakh.
i. Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum.
j. Perbedaan dalam pemahaman illat hukum.
k. Perbedaan dalam masalah nasakh.

C. Jenis-Jenis Madzhab
Dalam agama Islam terdapat empat mazhab yang ada dan berkembang hingga
saat ini. Jenis mazhab adalah mazhab hanafi, mazhab maliki, mazhab syafi’i, serta
mazhab hambali.

1. Mazhab Hanafi
Sesuai dengan namanya, mazhab hanafi didirikan oleh Imam Abu Hanifah An-
Nu’man bin Tsabit. Imam Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat
pada tahun 150 H. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab ahli qiyas (akal) karena hadis
yang sampai ke Irak hanya sedikit, sehingga Imam Abu Hanafi lebih banyak
menggunakan qiyas atau akal. Imam Abu Hanifat termasuk ulama cerdas, pengasih,
fasih membaca Al Quran dan ahli ibadah tahajjud. Pada zaman Bani Umayyah, beliau
diminta untuk menjadi hakim namun ia menolak tawaran tersebut. Meskipun begitu,
mazhab hanafi ini dapat berkembang karena menjadi mazhab pemerintah pada masa
Khalifah Harun Al-Rasyid.

2. Mazhab Maliki
Mazhab maliki dicetuskan oleh Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Beliau
lahir di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Imam Maliki ini
merupakan ahli hadis di Madinah di mana Rasulullah hidup dan menjadi tokoh
penting di kota tersebut. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab ahli hadist yaitu hukum
agama yang bersumber pada hadis-hadis. Dalam hal ini, Imam Maliki lebih
mengutamakan segala hal tindakan dan perbuatan berdasarkan hadis Rasul. Sebab,
menurutnya mustahil penduduk Madinah berbuat sesuatu bertentangan dengan
perbuatan Rasul yang menjadi tokoh besar di kota tersebut. Mazhab ini lahir di
Madinah dan berkembang hingga ke negara lain seperti Maroko. Imam Maliki ini

4
dikenal sangat hormat kepada Rasulullah dan menjadikannya junjungan dalam
melakukan berbagai hal dan perbuatan di dunia. Bahkan salah satu sikap hormatnya,
ditunjukkan dengan tidak pernah naik unta di kota Madinah untuk menghormati
makam Rasul.

3. Mazhab Syafi’i
Sesuai dengan namanya, mazhab syafi’i didirikan oleh Imam Muhammad bin
Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau lahir di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di
Mesir pada tahun 204 H. Dalam hal ini, Imam Syafi’i banyak belajar kepada Imam
Malik yang telah dikenal sebagai mahzabul hadist. Kemudian, beliau pergi ke Irak
dan belajar dari ulama Irak yang merupakan penganut mazhab qiyas atau akal. Di sini,
Imam Syafi’i berusaha menggabungkan mazhab hadis dan mazhab qiyas. Inilah yang
menjadi keutamaan mazhab syafi’i dibandingkan mazhab lain.

4. Mazhab Hambali
Mazhab hambali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani. Beliau
lahir di Baghdad tahun 164 H dan wafat tahun 248 H. Imam Hambali merupakan
murid dari Imam Syafi’i. Selama belajar dengan Imam Syafi’i, Imam Hambali
melahirkan mazhab yang digunakan untuk perbuatan-perbuatan afdal bukan untuk
menentukan hukum, yaitu tidak lain adalah hadist dla’if. Mazhab ini sangat berguna
dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.5

D. Tujuan Bermadzhab
Bermazhab sering disebut bertaklid atau lebih lumrahnya “Ro’ Nuro Ulama’”.
Namun bermazhab bukanlah tingkah laku orang awam saja, tetapi merupakan sikap yang
wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih
tergolong orang yang bermazhab Syafi’i. Jadi, ada tingkatan bermazhab atau bertaqlid.
Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi pula tingkat bermazhabnya sehingga
makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri. Secara kodrati,
manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang alim (pintar dan
cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada yang awam (yang kurang mengerti dan

5
Prabandari.

5
memahami suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang
pintar. Di dalam literatur fiqih, hal ini dikenal dengan istilah taqlid atau ittiba’.
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan
atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah itu
sendiri. Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang
bukan mujtahid. Dengan demikian, taqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja.
Orang-orang alim yang sudah mengetahui dalilpun masih dalam kategori seorang
muqallid, Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka tetap wajib bertaqlid,
sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan , tidak sampai kepada
proses, metode dan seluk-beluk dalam menentukan suatu hukum.
Perlu digaris bawahi, tidak semua taklid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah
taqlid buta yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti dan berusaha
untuk mengetahui dalilnya. Sedangkan taqlidnya orang alim yang belum sampai pada
tingkatan mujtahid, adalah hal yang terpuji bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik
dari pada memaksakan diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk
melakukannya.6

E. Urgensi Bermadzhab
Mengikuti dinamika perbedaan pendapat yang masih di dalam koridor empat
mazhab fiqih masih diakui oleh para ulama. Istilahnya, perbedaan yang mu’tabar.
Bagaimana pun juga pendapat-pendapat empat mazhab dianggap sebagai pendapat dari
ulama otoritatif. Jika ditelisik lebih dalam, kebenaran Al-Qur’an dan hadits mutawatir
adalah sebuah kebenaran mutlak (qath’iyyu tsubut), namun dalam Al-Qur’an-hadits
sendiri terdapat ayat yang bersifat qath’iyyud dilalah (ayat yang jelas dan tidak perlu
interpretasi), dan juga ada ayat yang dzanniyyud dilalah (interpretatif asumtif).
Perbedaan interpretasi kedua sumber pokok di atas dilatarbelakangi oleh pemahaman,
pemikiran dan penafsiran masing-masing ulama yang berbeda.
Di situlah ulama berimam mazhab dibutuhkan. Mereka yang akan bisa
menjelaskan duduk permasalah dan pengambilan hukumnya. Tidak bisa setiap orang
diberikan kebebasan menafsiri dalil-dalil agama karena tidak semua orang mempunyai
kepakaran (expertise) di bidang tersebut. Dengan proses yang sedemikian rumit, sangat

6
A Baidowi, “Seputar Tentang Madzhab, Tujuan Serta Urgensi Bermadzhab,” 2015.

6
wajar apabila mereka berbeda pendapat dalam mendekati sebuah dalil hukum. Meskipun
demikian, mereka tetap toleran terhadap perbedaan pendapat ulama lain.
Imam Syafi’i ketika pindah ke Mesir mempunyai pendapat-pendapat baru yang
dikenal dengan qaul jadid yang sebagian berbeda dengan pendapat beliau ketika masih di
Irak (qaul jadid). Artinya dalam ijtihad pribadinya, Imam Syafii sendiri memiliki
perbedaan pemikiran meskipun nanti ditarjih oleh para ulama. Imam Malik pernah
melarang khalifah Harun ar-Rasyid ketika khalifah mau memaksa masyarakat untuk
menjadikan kitab al-Muwatha’ susunannya sebagai pedoman resmi negara. Imam Malik
beralasan bahwa sahabat Nabi banyak yang tersebar di berbagai negara. Ia khawatir
jangan-jangan ada pendapat lain yang mengacu kepada salah satu sahabat yang mana
sahabat tersebut berpedoman pada hadits sedangkan hadits yang dipakai sahabat itu
belum pernah didengar oleh Imam Malik. Jadi, menurut Imam Malik, menjadikan satu
sumber tertentu saja dalam sebuah negara akan menimbulkan masalah sebab menutup
celah perbedaan pendapat yang mungkin masing-masing mempunyai sumber valid.
Toleransi antar mazhab juga biasa dilakukan oleh antar imam mazhab.
Imam Ahmad bin Hanbal adalah orang yang berpendapat jika bekam itu
membatalkan wudhu. Namun ketika ia ditanya bagaimana kalau ada orang makmum
kepada imam yang habis bekam tanpa wudhu lagi, “Apakah sah makmum kepada imam
tersebut?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Bagaimana aku tidak mau shalat di
belakang orang yang mengikuti pendapatnya Imam Malik dan Sa’id bin al-Musayyab?”
artinya, itu tidak masalah. Padahal nyata-nyata secara prinsip mereka berbeda pendapat.
Abu Hanifah dan ashab (murid-muridnya) berpendapat bahwa mengeluarkan darah dari
tubuh (misal: luka) atau sejenisnya hukumnya membatalkan wudhu, tapi ketika Abu
Yusuf (salah satu murid utama Abu Hanifah) melihat Harun ar-Rasyid bekam dan Imam
Malik berfatwa tidak perlu wudhu lagi, Abu Yusuf berkenan menjadi makmumnya
Harun ar-Rasyid tanpa perlu wudhu lagi dan ia juga tidak mengulangi shalatnya kembali.
Demikian pula Imam Syafii yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu sunnah. Namun
ketika ia mengimami shalat shubuh dengan makmum orang-orang bermazhab Hanafi di
sebuah masjid Imam Hanafi, satu daerah di Baghdad, Irak, Imam Syafii justru
meninggalkan qunut shubuh. Menurut para ulama, sikap Imam Syafii yang seperti ini
dalam rangka menjaga adab dengan Imam Hanafi.
Anehnya, konsep bermazhab yang otoritatif tapi tetap toleran ini ditolak oleh
sebagian orang yang anti mazhab. Di antara penolaknya adalah Khajandi dalam kitabnya
Al-Karas yang menyatakan bahwa mazhab yang benar adalah mazhab Nabi Muhammad
7
‫ ﷺ‬dan mazhab Khulafaur Rasyidin. Dia juga menyatakan bahwa bermazhab dengan
mazhab tertentu merupakan sebuah tindakan bid’ah. Dia mengklaim, semua sahabat
kembalinya kepada Al-Qur’an dan hadits. Apabila sahabat tidak menemukan dalil dari
Al-Qur’an maupun hadits, mereka menggali hukum secara mandiri. Menurut Khajandi,
fenomena mazhab dan taqlid baru muncul pada kurun ke-3. Syekh Said Ramadlan al-
Buthi menjawab tuduhan tersebut dengan beberapa jawaban argumentatif. Di antara
argumentasi ulama asal Suriah ini, ia mengatakan:
‫ ثم انظر‬،‫ وقل لهم يفهموا أحكام دينهم من النصوص التي فيها‬،‫ضع صحيحي البخاري أمام سواد المسلمين اليوم‬
‫ أفهذا الذي يريده "العالمة" الخجندي واألستاذ ناصر في وقفة الدفاع كيف‬.‫يكون الجهل والتخبط والعبث بالدين‬
‫العجيب عن لغوه وشذوذه؟‬
Artinya: “Sekarang coba letakkan kedua kitab shahih (al-Bukhari dan Muslim) di
hadapan mayoritas umat Islam pada hari ini. Suruh mereka memahaminya secara
langsung dari teks aslinya! Lihat bagaimana kebodohan, benturan, dan main-main
berlangsung dalam urusan agama. Apakah hal ini yang dikehendaki oleh Al-Khajandi
dan Nashir?” (Syekh Muhammad bin Said Ramadlan Al-Buthi, Al-La Mazhabiyyah
Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, hal. 31) Melihat mayoritas
umat yang cenderung awam, tidak mempunyai ilmu cukup dalam menggali langsung dari
sumbernya, itulah yang menjadikan konsensus bahwa bermazhab sangat dibutuhkan.
Contohnya secara mudah adalah misalnya ada ayat:
‫ اَلية‬.... َ‫َارى َحتَّى تَ ْعلَ ُموا َما تَقُولُون‬
َ ‫سك‬ُ ‫ص َالةَ َوأَ ْنت ُ ْم‬
َّ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَ ْق َربُوا ال‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS An-Nisa: 43)
Apabila orang memahami Al-Qur’an secara langsung tanpa melalui ilmu dan
ahwal ulama sedangkan mayoritas umat ini adalah orang yang terbatas pengetahuan ilmu
agamanya, niscaya mereka akan mengartikan ayat ini dengan diperbolehkannya mabuk
selama tidak mendekati waktu shalat. Hal ini akan terjadi apabila mereka tidak
mengetahui ilmu naskh-mansukh dan perangkat yang lain. Sedangkan perangkat-
perangkat ini semua berkaitan dengan dunia mazhab. Sehingga bermazhab merupakan
sebuah keniscayaan yang susah dihindari meskipun yang mengambil ilmu tersebut secara
tidak sadar sebenarnya ia juga sedang bermazhab. Keilmuan yang mengacu terhadap
mazhab masih relevan hingga sekarang ini. Sampai kapan pun justru semua orang
mukallaf yang tidak sampai pada level mujtahid, harus mengekor kepada ulama
mujtahid. Hal ini berdasarkan ayat:

8
ُ‫الرسُو ِل َو ِإلَى أُولِي ْاأل َ ْم ِر مِ ْن ُه ْم لَ َع ِل َمهُ الَّذِينَ َي ْستَ ْن ِبطُونَه‬
َّ ‫َو ِإذَا َجا َءهُ ْم أَ ْم ٌر مِنَ ْاأل َ ْم ِن أَ ِو ْالخ َْوفِ أَذَاعُوا ِب ِه َولَ ْو َردُّو ُه ِإلَى‬
‫مِ ْن ُه ْم‬
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka.” (QS an-Nisa’: 83)
Sebagaimana sudah menjadi maklum, kalimat yastanbithu itu mempunyai arti
menggali hukum. Yang bisa menggali hukum tidak ada lain kecuali orang yang memang
ahli atau pakar di bidangnya. Imam Syafi’i menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan
seorang pun setelah Rasulullah Muhammad ‫ ﷺ‬kecuali sudah ada ilmu sebelumnya.
Episentrum keilmuan itu adalah Al-Qur’an, hadits, ijma’, atsar, dan sesuatu yang
diistilahkan sebagai qiyas. Tidak seorang pun yang bisa mengqiyas kecuali orang yang
mempunyai piranti cukup yaitu memahami hukum-hukum yang ada di Al-Qur’an yang
meliputi fardhu, adab, nasikh, mansukh, istilah perkataan orang arab, perkataan orang-
orang salaf (terdahulu), kesepakatan ulama, perbedaan pandangan antar ulama dan lain
sebagainya. Orang yang cerdas saja, namun tidak memenuhi kriteria yang disebutkan di
atas, maka tidak akan bisa memasuki wilayah qiyas. Setelah adanya mujtahid mutlak
(empat imam mazhab), sebagaimana disebutkan dalam hadits, akan ada pembaharu Islam
dalam setiap tahunnya. Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬
‫علَى َرأْ ِس كُ ِل مِ ائَ ِة َسنَ ٍة َم ْن يُ َج ِددُ لَ َها ِد ْينَ َها‬
َ ‫ث لِهذ ِه األ ُ َّم ِة‬
ُ َ‫إنَّ هللاَ يَ ْبع‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus
tahun seseorang yang memperbaharui agamanya.” (HR Abu Dawud).
Yang dimaksud sebagai pembaharu di sini bukanlah orang yang memperbaharui
agama dengan hal yang benar-benar baru, namun mereka sebagai penguat hukum-hukum
dan syariat, tidak sebagai mujtahid muthlaq. KH. Habib Quraish Shihab mengatakan:
‫ان التجديد ليس مجرد ابداء رأي جديد لم يذكره علماءنا السابقون ولكن التجديد أيضا اختيار األنسب من أقوال‬
‫العلماء السابقين وازلة األغبرة التي تغطى الفكر اإلسالمي الحقيقية اَلغبرة التي سببتها المدنية الغير الدينية السائدة في‬
‫عصرنا هذا‬
Artinya: “Pembaharuan tidak semata-mata memperlihatkan pemikiran baru yang belum
pernah disampaikan ulama kita dahulu, namun pembaharuan juga memilih pendapat
ulama terdahulu yang paling relevan dan membersihkan debu yang menutupi pemikiran
Islam yang hakiki. Debu-debu yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar agama
yang berlangsung hingga era kita saat ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
bermazhab adalah sebuah kebutuhan pokok yang disepakati semua ulama. Mengikuti
9
mazhab hingga hari ini masih tetap relevan. Sedangkan slogan kembali kepada Al-
Qur’an dan sunnah secara langsung tanpa melalui perantara dan ilmu yang cukup adalah
sebuah tindakan yang seolah mustahil. 7
Tidak semua orang Islam mampu melakukan istinbath (mengeluarkan hukum)
dari al-Quran dan al-Hadits seperti imam-imam mazhab. Inilah sebabnya mengapa ada
mazhab dan taqlid. Dan ternyata sejarah membuktikan, bahwa taqlid tidaklah
menyebabkan umat menjadi jumud atau beku. Sebaliknya, seruan ijtihad dan bebas
mazhab hanya menimbulkan perpecahan dan kehinaan yang berkepanjangan bagi umat
ini. Seruan agar umat berijtihad tanpa melihat apakah umat memiliki kemampuan dan
kelayakan sebagai mujtahid atau tidak, adalah satu seruan yang berbahaya yang dapat
menimbulkan kekacauan dan perpecahan serta kerusakan di berbagai sektor kehidupan.
Mazhab-mazhab fiqh itu bukanlah representasi dari perpecahan atau perseteruan, apalagi
peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, adanya mazhab itu memang
merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada al-Quran dan al-Hadits.
Jelasnya, orang yang bermazhab sama artinya dengan orang yang mengamalkan
al-Quran dan al-Hadits, karena semua pendapat yang difatwakan oleh imam-imam
mazhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap al-Quran dan al-Hadits. Bahkan untuk
memudahkan orang-orang awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali
hukum-hukum didalam al-Quran dan al-Hadits yang notabene ribuan dan tidak
berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bab ke bab. Sehingga hukum-
hukum islam lebih mudah dipelajari. Ironinya ada sebagian orang yang mungkin karena
dengki atau iri atau karena kepentingan pribadi, bermaksud menghapus secara total
mazhab-mazhab yang ada dengan cara menolak dan mengibarkan bendera “anti
mazhab”, serta mengharuskan setiap orang Islam agar berijtihad atau menggali hukum
secara langsung dari sumbernya, tanpa melihat apakah mereka memiliki kemampuan dan
kelayakan sebagai mujtahid atau tidak. 8

F. Pentingnya Bermadzhab Imam yang Empat


Mengikuti mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengandung
kemaslahatan yang besar, dan meninggalkan seluruhnya membawa resiko kerusakan
yang fatal. Umat Islam telah sepakat bulat untuk mengacu dan menjadikan ulama salaf
sebagai pedoman dalam mengetahui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam secara
7
Ahmad Mundzir, “Urgensi Bermadzhab Di Era Kontemporer Dan Kearifan Didalamnya,” 2020.
8
Baidowi, “Seputar Tentang Madzhab, Tujuan Serta Urgensi Bermadzhab.”

10
benar. Syariat Islam tidak dapat diketahui kecuali dengan cara naql (mengambill dari
generasi sebelumnya) dan istinbath (mengeluarkan dari sumbernya, Al Quran dan
alHadits, melalui ijtihad untuk menetapkan hukum). Naql tidak mungkin dilakukan
dengan benar kecuali dengan cara setiap generasi mengambil langsung dari generasi
sebelumnya secara berkesinambungan. Sedangkan untuk istinbath, disyaratkan harus
mengetahui mazhab-mazhab ulama generasi terdahulu agar tidak menyimpang dari
pendapat-pendapat mereka yang bisa berakibat menyalahi kesepakatan mereka (ijma’).
Sebab, semua pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki seseorang, misalnya dibidang
shorof, nahwu, kedokteran, perdagangan dan keahlian logam mulia, tidak mungkin
begitu saja mudah dipelajari oleh seseorang kecuali dengan terus menerus belajar kepada
ahlinya.
Diluar cara itu, sungguh sangat langka dan jauh dari kemungkinan, bahkan nyaris
tidak pernah terjadi, kendatipun secara akal boleh saja terjadi. Jika pendapat-pendapat
para ulama salaf telah menjadi keniscayaan untuk dijadikan pedoman, maka pendapat-
pendapat mereka yang dijadikan pedoman itu haruslah diriwayatkan dengan sanad (mata-
rantai) yang benar dan bisa dipercaya, atau dituliskan dalam kitab-kitab yang
masyhurdan telah diolah (dikomentari) dengan menjelaskan pendapat yang unggul dari
pendapat lain yang serupa, menyendirikan persoalan yang khusus (takhshish) dari yang
umum, membatasi yang muthlaq dalam konteks tertentu, menghimpun dan menjabarkan
pendapat yang berbeda dalam persoalan yang masih diperselisihkan serta menjelaskan
alasan timbulnya hukum yang demikian. Karena itu, apabila pendapat-pendapat ulama
tadi tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan seperti diatas, maka pendapat tersebut
tidak dapat dijadikan pedoman. Tidak ada satu mazhabpun di zaman akhir ini yang
memenuhi syarat dan sifat seperti diatas selain mazhab empat ini. Memang ada juga
mazhab yang mendekati syarat dan sifat diatas, yaitu mazhabImamiyah (Syi’ah) dan
Zaydiyah (golongan Syi’ah). Namun keduanya adalah golongan ahlubid’ah, sehingga
keduanya tidak boleh dijadikan pegangan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihiwasallam telah bersabda: “Ikutilah golongan
terbesar (as-Sawadal-A’zham)!”. Ketika beberapa mazhab yang tergolong benar telah
hilang dan yang tersisa hanya tinggal empat mazhab ini, maka nyatalah bahwa mengikuti
empat mazhab berarti mengikuti as-Sawadal-A’zham, dan keluar dari sana berarti telah
keluar dari as-Sawadal-A’zham. Inilah pengertian yang secara tidak langsung
ditunjukkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khatthabradhiyallaahu ‘anhu melalui
perkataannya: “Islam akan hancur akibat kelihaian orang-orang munafik dalam berdebat
11
dengan menggunakan al-Qur’an” Dan juga sahabat Ibnu Mas’ud berpesan: “Barangsiapa
menjadi pengikut (yang baik) maka hendaklah mengikuti (para ulama) generasi
sebelumnya.” Dengan demikan gagasan yang pernah dilontarkan Ibnu Hazm bahwa
taqlid itu hukumnya haram, sesungguhnya hanya ditujukan kepada orang yang memiliki
kemampuan berijtihad meskipun hanya dalam satu permasalahan.
Setiap orang yang sudah mukallaf (aqil baligh) yang tidak mampu berijtihad
secara mutlak, harus mengikuti salah satu dari empat mazhab dan tidak boleh baginya
untuk ber-istidlal (mengambil dalil secara langsung) dari al-Qur’an atau Hadits. Ini
didasarkan pada firman Allah Ta’ala (yang artinya kurang lebih): “Dan seandainya
menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan ulilamri (yang menguasai pada bidangnya)
diantara mereka, niscayalah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan dapat
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulilamri).” Dan telah dimaklumi, bahwa mereka
yang dapat ber-istinbath (mengambil dalil langsung dari al-Qur’an dan Hadits) adalah
orang-orang yang telah memiliki cukup keahlian dan kemampuan berijtihad, bukan orang
lain, sebagaimana keterangan yang diuraikan dalam bab ijtihad di berbagai kitab. Adapun
orang yang dapat menyandang status mujtahid, maka haram baginya untuk bertaqlid
dalam persoalan yang ia sendiri mampu berijtihad, karena kemampuannya berijtihad
justru menjadi acuan bagi mereka yang taqlid. Namun demikian, mujtahid mustaqill
(mujtahid yang mampu menggali hukum langsung dari sumbernya, al-Qur’an dan
Hadits) dengan memenuhi segala persyaratnnya, ternyata sudah tidak ditemukan lagi
sejak kira-kira enam ratus tahun yang silam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu
Shalahrahimahullaauta’ala.
Bahkan, beberapa ulama pengikut mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa mengikuti
selain empat mazhab adalah tidak boleh, karena tidak ada jaminan kebenaran atas
hubungan mazhab itu dengan para imam yang bersangkutan, sebab tidak adanya sanad
(mata-rantai) yang dapat menjamin dari beberapa kekeliruan dan perubahan. Berbeda
dengan mazhab empat, karena para pemimpinnya telah mencurahkan jerih payahnya
dalam mengkodifikasi (menghimpun) pendapat-pendapat serta menjelaskan hal-hal yang
telah ditetapkan atau yang tidak ditetapkan oleh pendiri mazhab. Dengan begitu, maka
para pengikutnya menjadi aman dari segala perubahan dan kekeliruan, serta bisa
mengetahui mana pendapat yang benar dan yang lemah.Para imam dari masing-masing
empat mazhab ini begitu dikenal, sehingga orang yang bertanya tidak perlu lagi diberikan
pengenalan kepada mereka, karena begitu nama mereka disebut, dengan sendirinya orang
bertanya pasti mengenalnya.
12
G. Biografi dan Sejarah Imam Empat Madzhab

1. Riwayat Hidup Imam Hanafi


Imam Abu Hanifah dikenal dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu
Hanifah Nu’man ibn Tsabit Al Kufi, lahir di Irak (kuffah) pada tahun 80 Hijrah ( 699
M). Ia hidup pada dua Masa, yakni masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik
bin Marwan dan masa Bani Abbas, Khalifah Al-Manshur. Diberi gelar Abu Hanifah
(suci lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak
mulia, serta menjahui perbuatan dosa dan keji. Imam Abu Hanifah dilahirkan pada
tahun 80 H di Kufah pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan ( Bani
Umayyah). Imam Abu Hanifah tinggal di kota Kuffah di Irak. Kota ini terkenal
sebagai kota yang dapat menerima perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ia seorang yang bijak dan gemar ilmu pengetahuan. Abu Hanifah memiliki
seorang ayah bernama Thabit bin Zauty Al-Farisy,sementara kakeknya merupakan
penduduk Kabul, sebuah kota di Afganistan, ibu Abu Hanifah tidak terkenal di
kalangan ahli-ahli sejarah tetapi walau bagaimanapun ia menghormati dan sangat taat
kepada ibunya. Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang, sempat
terlibat dalam urusan perdagangan namun hanya sebentar sebelum dia memutuskan
perhatian pada soal-soal keilmuan. Imam Abu Hanifah dikenal sebagai orang yang
sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, dia pernah belajar fiqih
kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad Bin Abu
Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam Abu
Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majelis ilmu di Kuffah. Sepuluh tahun
sepeninggal gurunya, yakni pada tahun 130 H, Imam Abu Hanifah pergi
meninggalkan Kuffah menuju Makkah. Dia tinggal beberapa tahun lamanya di sana,
dan di tempat itu pula dia bertemu dengan salah seorang murid Abdullah Bin Abbas
r.a. Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam
ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama.
Sebagai seorang yang alim dan cerdas, Abu Hanifah pernah mendapat tawaran
dari penguasa (Bani Umayyah) untuk menjadi Gubernur. Namun tawaran itu
ditolaknya, sehingga beliau disiksa dan dipenjara. Namun berkat bantuan pengawal
penjara (sipir), dia kemudian dapat diloloskan, untuk selanjutnya pergi ke Mekkah
dan bermukim di sana beberapa saat lamanya setelah Bani Umayyah runtuh, dia pun

13
pulang ke Kuffah. Namun pada masa setelah Bani Umayyah, di mana pemerintahan
dipegang oleh Bani Abbasiyyah, beliau juga mengalami nasib yang sama. Bahkan
nasib beliau lebih tragis. Akibat penolakan untuk menjadi Qadli Qudlot, Abu Hanifah
dipenjara dan disiksa hingga akhir hayatnya.
Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di madrasah Kuffah dan
membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal dunia Islam, adalah:
a. Zufar bin Az-Zuhail meninggal pada tahun 158 H.
b. Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim bin Habib Al-Anshory meninggal pada tahun 182
H.
c. Muhammad bin Al-Hasan meninggal pada tahun 189 H.
d. Al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui meninggal pada 204 H.
Adapun kitab-kitab yang sudah dibukukan adalah:
a. Kitab al-Mabsuth
b. Kitab al-Jami’ ash-Shaghir
c. Kitab al-Jami’ al-Kabir
d. Kitab asy-Syarh ash-Shagir
e. Kitab asy-Syarh al-Kabir
f. Kitab az-Ziadat
g. Kitab al-Faraidl
h. Kitab asy-Syuruth
i. Fiqh al-Akbar
Abu Hanifah meninggal dunia pada tahun 150 H dan ada beberapa pendapat
yang berbeda tentang tarikh ini, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa beliau
meninggal pada tahun 151 dan 153 H, pendapat yang lebih kuat ialah beliau
meninggal pada tahun 150 H. Imam Nawawi berpendapat beliau meninggal dunia
ketika dalam tahanan. Jenazah Abu Hanifah dikebumikan di makam perkuburan Al-
khaizaran’ di Timur kota Baghdad.

2. Riwayat Hidup Imam Maliki


Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik
bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi,
lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M. Dia
dilahirkan pada zaman al-walid bin abdul malik dan meninggal di Madinah pada

14
zaman pemerintah al-rasyid. Dia tidak pernah keluar daerah meninggalkan Madinah.
Sama seperti imam abu hanifah, dia hidup dalam dua zaman pemerintahan, yaitu bani
Umayyah dan bani Abbasiyah. Negara Islam telah berkembang luas dalam kedua
masa pemerintahan ini, hingga kelautan atlantik di barat dan ke Negeri Cina di Timur.
Juga telah sampai ke tengah-tengah benua Eropa, yaitu ketika Negara Spanyol
berhasil dikuasai.
Dia berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum
maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun
setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya,
Malik , adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H.
Saat itu, Madinah adalah kota ilmu‟ yang sangat terkenal. Periwayat yang dapat
dipercaya menyatakan bahwa ia sudah duduk memberikan fatwa pada usia 17 tahun.
Ini bukan karena ambisi orang muda atau karena hasratnya untuk tampil, akan tetapi
70 orang imam telah bersaksi bahwa ia patut memberi fatwa dan mengajar.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya
kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan.
Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al
Ma‟mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi`i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli
lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai
1.300 orang.
Adapun karya-karya Imam Malik memiliki beberapa karya tulis yang terkenal
di kalangan umat islam, baik yang berbentuk buku maupun risalah. Karya utama
beliau dalam bentuk buku yang dikenal sampai sekarang adalah Al-Muwatta. Kitab
sang Imam ini merupakan kumpulan hadis sahih dan amalan-amalan penduduk
Madinah yang berkaitan dengan fikih. Setelah kitab atau buku, beliau juga pernah
menulis beberapa risalah. Risalah fil Qadar, risalah fi An Nujum wa Manazili Al
Qamar, risalah fil Al Aqdliyyah, risalah ila Abi Ghassan Muhammad binMutharrif,
risalah Juz’un fil at-tafsir, risalah Kitabu as sir, dan Risalatu ila Ar Rasyid adalah
contohnya. Semacam surat untuk pribadi tertentu yang sesungguhnya sangat layak
kita kaji.

15
3. Riwayat Hidup Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bernama Abu Abdullah Muhammad bin Idris Bin al Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al
Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai Al Qurasyi Al Muththalibi Asy-Syaif’i Al
Hijazi AlMakki. Dia terhitung masih keluarga Rasulullah SAW yang keturunannya
bertemu pada Abdu Manaf. Ia dilahirkan pada tahun 150 H, bertepatan dengan tahun
dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ia dilahirkan di Ghazzah, ketika
umurnya mencapai dua tahun, ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian
besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah.
Keduanya pun menetap disana. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun,
ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya.
Imam Syafi’i datang menemui Imam Malik saat berusia tiga belas tahun,
kemudian ia berangkat ke Yaman hingga dikenal masyarakat lantaran riwayat
hidupnya yang baik, arahannya agar selalu berpedoman kepada sunnah, metode yang
baik dan lain sebagainya. Setelah itu ia pindah ke Irak. Di sana ia mendalami ilmu
dengan serius, bertukar pikiran dengan Muhammad bin Al Hasan dan yang
lain,menyebarkan ilmu hadits, menegakkan madzhab penduduk Irak, serta membela
Sunnah hingga namanya dikenal dan semakin harum. Abdurrahman bin Mahdi, tokoh
ahli hadits di zamannya, kemudian meminta untuk menyusun kitab Ushul Fikih.
Meskipun menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, Imam Syafi’i lebih dikenal
sebagai ahli hadits dan hukum karena inti pemikiranya terfokus pada dua cabang ilmu
tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat ia digelari
Nashiru Sunnah ( pembela Sunnah Nabi).
Mekkah yang menjadi gurunya ialah Muslim bin Khalid Az-Zinji, Sufyan bin
Uyainah, Said bin Al-Kudah, Daud bin Abdur Rahman, Al-Attar dan Abdul Hamid
bin Abdul Aziz bin Abi Daud. Sementara di Madinah ialah Malik bin Anas, Ibrahim
bin Sa’ad Al-Ansari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi, Ibrahim bin Yahya
Al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ As-Saigh.
Sedangkan di Yaman, Matraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Kadhi bagi kota san’a,
Umar bin Abi Maslamah, dan Al-Laith bin Saad. Di Irak: Muhammad bin Al-Hasan,
Waki’ bin Al-Jarrah Al-Kufi, Abu Usamah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin
Attiah Al-Basri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Basri. Buku –buku karangan
Imam syafi’i:

16
a. Ar-Risalah Al Qadimah ( Kitab Al Hujjah).
b. Ar-Risalah Al Jadidah
c. Ikhtilaf Al Hadits
d. Al Istihsan
e. Ahkam Al Qur’an
f. Bayadh Al Fardh
g. Sifat Al Amr wa Nahyi
h. Ikhtilaf Al Malik wa Syafi’i
i. Ikhtilaf Al Iraqiyin
j. Ikhtilaf Muhamad bin Husain
k. Fadha’il Al Quraisy
l. Kitab Al Umm
m. Kitab As Sunan
Menurut Ar-Rabi Imam syafi’i wafat pada malam jum’at setelah magrib saat aku sedang
berada di sampingnya. Jasadnya kemudian disemayamkan setelah Ashar pada hari Jum’at ,
yaitu hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H. kuburnya berada di Mesir. Ia sangat dihormati
dan disanjung lantaran predikat imam yang disandangnya.

4. Riwayat Hidup Imam Hambali


Beliau ialah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-Syaibani,
beliau lahir Di Baghdad pada tahun 164 H bulan Rabiul Awwal, Imam Ahmad
biasanya dinisbatkan kepada kakeknya, maka dia dinamakan” Ahmad bin Hambal,
karena kakeknya lebih terkenal dari pada ayahnya. Ayahnya wafat ketika dia berumur
tiga tahun, beliau wafat ketika umur tujuh puluh tahun. Ibunya adalah Shafiah binti
Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibani, dia berasal dari Syaiban seperti ayahnya
dia adalah orang yang mengurus, merawat dan mendidik Imam Ahmad dengan sangat
baik. Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau Ahmad bin Hambal adalah Imam yang
keempat dari para Fuqaha Islam. Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat
yang luhur dan tinggi yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang hidup
semasa dengannya, juga orang yang mengenalinya. Beliau Imam bagi umat Islam
seluruh dunia, juga Imam bagi Darul Salam, Mufti bagi negeri Irak dan seorang yang
alim tentang hadis- hadis Rasulullah SAW. Juga seorang yang zuhud dewasa itu,
penerang untuk dunia dan sebagai contoh dan teladan bagi orang-orang ahli Sunnah,
seorang yang sabar di kala menghadap percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.

17
Kepandaian Imam Hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi. Putra
sulungnya Abdullah bin Ahmad, menyatakan bahwa Imam Hambali telah hafal
700.000 hadis di luar kepala. Hadis sebanyak itu kemudian diseleksinya secara ketat
dan ditulis kembali dalam kitabnya Al-Musnad berjumlah 40.000 hadis berdasarkan
susunan nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaian Imam
Hambali mengundang banyak tokoh ulama yang berguru kepadanya dan melahirkan
banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan
Imam Abu Dawud. Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk berapa
kali, di sanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i.
Beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antaranya guru
beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan
Ibn Abbas, Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadis,
dan beliau tidak mengambil hadis, kecuali hadis-hadis yang sudah jelas sahihnya.
Oleh karena itu, akhirnya beliau berhasil mengarang. Kitab hadis, yang terkenal
dengan nama Musnad Ahmad Hambal, beliau mulai mengajar ketika berusia empat
puluh tahun. Beberapa diantara karya-karya sang Imam antara lain kitab Al Musnad,
kitab At-Tafsir, kitab An-Nasikh Wa Al-Mansukh, kitab At-Tarikh, kitab Hadis
Syu’bah, kitab Al-Muqaddam Wa Al-Mu’akkhar fi Al-Qur’an, kitab Al-Manasik As-
saghir, kitab Al-Ilal, kitab Al-Manasik, kitab Az-Zuhd kitab Al-Iman, kitab Al-
Masa’il, kitab Al-Asyribah,kitab Al-Fadha’il, kitab Tha’ah Ar-Rasul, kitab Al-
Fara’idh, dan kitab Ar-Radd Ala Az-Zanadiqah Wa Al-Jahmiyyah. Dari sekian
banyak karya beliau , Al-Masa’il, Ar-Radd Ala Az-Zanadiqah Wa Al-Jahmiyyah, Al-
ilal, dan Az-Zuhd adalah paling terkenal. Perjalanan hidup Imam Hambali yang penuh
dengan derita dan luka tak menggetarkan dia untuk mencari ilmu dan membuat karya.
Ahmad Ibn Hambal meninggal pada hari Jum’at pagi tanggal 12 Rabiul Awal tahun
241 H/ 855 M dalam usia 77 tahun. Dimakamkan di pemakaman Bab Harb di kota
Bagdad.9

9
M Masrufah, “Sejarah Dab Biografi Empat Imam Madzhab,” Repository UIN Banten, 2019, 1–17.

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah melahirkan pemikiran Islam
bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri. Bahkan riset membuktikan bahwa
jumlah muslim terbanyak di seluruh dunia salah satunya adalah negara Indonesia dan
mayoritas dari mereka bermazhab pada Imam Syafi’i. Mazhab adalah pokok pikiran atau
dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbatkan hukum Islam. Dalam agama Islam terdapat empat mazhab yang ada dan
berkembang hingga saat ini. Jenis mazhab adalah mazhab hanafi, mazhab maliki,
mazhab syafi’i, serta mazhab hambali.
Bermazhab sering disebut bertaklid atau lebih lumrahnya “Ro’ Nuro Ulama’”.
Namun bermazhab bukanlah tingkah laku orang awam saja, tetapi merupakan sikap yang
wajar dari seorang yang tahu diri. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi pula
tingkat bermazhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya
berijtihad sendiri. Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok
besar. Ada yang alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada yang
awam (yang kurang mengerti dan memahami suatu permasalahan). Sudah tentu yang
tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqih, hal ini dikenal dengan
istilah taqlid atau ittiba’.
Mazhab-mazhab fiqh itu bukanlah representasi dari perpecahan atau perseteruan,
apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam. Sebaliknya, adanya mazhab itu memang
merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada al-Quran dan al-Hadits.
Jelasnya, orang yang bermazhab sama artinya dengan orang yang mengamalkan
al-Quran dan al-Hadits, karena semua pendapat yang difatwakan oleh imam-imam
mazhab adalah hasil dari kajian mereka terhadap al-Quran dan al-Hadits. Bahkan untuk
memudahkan orang-orang awam, mereka siang malam berusaha mengkaji dan menggali
hukum-hukum didalam al-Quran dan al-Hadits yang notabene ribuan dan tidak
berurutan, mereka atur sedemikian rupa, diurutkan dari bawb ke bab. Sehingga hukum-
hukum islam lebih mudah dipelajari.

19
B. SARAN
Dengan dibuatnya makalah berjudul Bermadzhab, Urgensi Dan Biografi Empat
Imam Madzhab, diharapkan mahasiswa memiliki tambahan wawasan tentang
bermadzhab dan seharusnya lebih berpikir kritis mengenai pemahaman bermadzhab. Jika
ditinjau ulang, tentu didalam makalah ini tidak akan lepas dari koreksi para pembaca.
Karena kami menyadari apa yang kami sajikan ini sangatlah jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca agar nantinya makalah ini akan menjadi lebih sempurna dan baik untuk
dikonsumsi otak kita.

20
DAFTAR PUSTAKA

Baidowi, A. “Seputar Tentang Madzhab, Tujuan Serta Urgensi Bermadzhab,” 2015.


Izzuddin, Ahmad. “Sejarah Tarikh Tasyri.” In Pustaka Al-Bayyinah, 56. Jakarta, 2015.
Masrufah, M. “Sejarah Dab Biografi Empat Imam Madzhab.” Repository UIN Banten, 2019,
1–17.
Mundzir, Ahmad. “Urgensi Bermadzhab Di Era Kontemporer Dan Kearifan Didalamnya,”
2020.
Prabandari, Isti Ayu. “Pendapat Imam Tentang Hukum Agama,” 2020.
Syaikhu, Norwili. “Penyesuaian Pendapat Di Kalangan Imam Madzhab.” In Perbandingan
Madzhab Fiqih, edited by K-Media. Yogyakarta, 2019.
Taupik, Opik. Fiqih 4 Madzhab Dan Kajian Fiqih - Ushul Fiqih. Bandung, 2014.

21

Anda mungkin juga menyukai