Anda di halaman 1dari 13

PENGERTIAN, DASAR HUKUM, MACAM-MACAM, PENYERAPAN ADAT

DALAM HUKUM DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG ‘URF


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas:
Ushul fiqh
Dosen Pengampu:
Masrul Anam, M.A.

Penyusun:
Fajrin Aulia Vitara NIM. 21104040
Sakhowatul Aghniya’ NIM. 21104057

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Al-‘Urf” ini
dengan sebagaimana mestinya.
Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Selain itu
kami berharap makalah ini tidak hanya menjadi sekedar rangkaian kata-kata diatas kertas
saja. Akan tetapi dapat menjadi penambah wawasan kita dalam mengetahui salah satu sumber
dalam menetapkan hukum Islam yaitu Al-‘Urf.
Dalam penulisan makalah ini tentunya tidak sedikit kendala yang kami temui. Akan
tetapi karena kerja sama dari berbagai pihak yang terlibat maka kesulitan tersebut dapat
teratasi. Kami juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Sehingga itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami
harapkan guna perbaikan penulisan makalah kedepannya.
Akhir kata, kami tetap berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.
Wassalamualaikum wr.wb

Kediri, 02 November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Perumusan Masalah...................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf...........................................................................................................2
B. Dasar hukum..............................................................................................................2
C. Macam Macam ‘Urf...................................................................................................3
D. Penerapan Adat Dalam Hukum.................................................................................5
E. Pendapat Ulama Tentang ‘Urf...................................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat muslim
karena menyangkut hukum-hukum Islam. Memang secara keseluruhan ilmu tersebut tidak
mudah untuk dipahami. Oleh karena itu, perlu sebuah pengantar dari ilmu tersebut karena
dapat mengarahkan pemahaman menuju ilmu fiqh sesungguhnya.

Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan ilmu fiqh akan terus berkembang.
Sekalipun demikian perubahannya dalam sejarah kadang pesat dan adakalanya lambat.
Bahkan tidak jarang tampak statis. Padahal tuntutan atas perkembangannya merupakan
konsekuensi logis. Disini akan membahas sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan
sosial masyarakat yaitu kebiasaan atau dalam bahasa ushul fiqh disebut ‘urf.

B. Perumusan Masalah

1. Pengertian ‘Urf
2. Dasar Hukum ‘Urf
3. Macam-Macam ‘Urf
4. Penyerapan Adat Dalam Hukum
5. Penyerapan Adat Dalam Hukum

C. Tujuan

1. Dapat Memahami Pengertian ‘Urf


2. Dapat Memahami Dasar Hukum ‘Urf
3. Dapat Memahami Macam-Macam ‘Urf
4. Dapat Memahami Penyerapan Adat Dalam Hukum
5. Dapat Memahami Penyerapan Adat Dal am Hukum

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Urf

Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: ‫ )العرف‬merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat
kebiasaan. ‘Urf terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi
Umum atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan
menurut syariat. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang
tidak bertentangan dengan syari'at.

Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) berasal dari kata ‘arafa, ya‘rufu sering diartikan
dengan al-ma‘ruf ( ُ‫ )اَ ْل َم ْع ُروف‬dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal lebih dekat
kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh
akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab
ٌ‫ ; عَا َدة‬akar katanya: ‘ada, ya‘udu (ُ‫وْ د‬SS‫يَ ُع‬-َ‫اد‬SS‫ ) َع‬mengandung arti perulangan. Oleh karena itu
sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak
melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa
perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.

Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.

B. Dasar hukum

‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari intisari Al-
Qur’an.

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َو ْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


َ‫ف َواَ ْع ِرضْ ع َِن ْال ٰج ِهلِ ْين‬

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi),
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."
—QS. Al-A’raf: 199
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang berpihak kepada yang aci dan telah menjadi

2
hukum budaya masyarakat. Berlandaskan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah
untuk mengerjakan sesuatu yang telah diasumsikan berpihak kepada yang aci sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‘ruf gunanya sesuatu yang diakui
berpihak kepada yang aci oleh hati. Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa seruan ini
didasarkan pada pertimbangan hukum budaya yang berpihak kepada yang aci pada umat, dan
hal yang menurut kesepakatan mereka bermanfaat untuk kemaslahatan mereka. Kata al-
ma‘ruf ialah kata umum yang mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-
ma‘ruf hanya diceritakan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia,
berpihak kepada yang aci dalam soal mu‘amalah maupun aturan sejak dahulu kala istiadat.

Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru akbar Ushul Fiqih di
Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang
dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan
kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah.
Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab akbar fiqih tersebut sepakat menerima aturan
sejak dahulu kala istiadat sebagai landasan pembentukan hokum, meskipun dalam banyak
dan rinciannya terdapat perbedaan alasan di sela mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf diisi
kedalam kumpulan dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.

C. Macam Macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam:

1.) Dari segi objeknya


Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada: al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

a. Al-‘Urf al-Lafzhi. Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan


tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami
dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti
daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila
seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki
bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang
itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

3
b. Al-‘urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan
masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam berjual
beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya,
apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga
lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.

2.) Dari segi cakupannya


Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas
di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh
alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban
serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain
adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang
pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu.
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang
dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak
dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa
garansi terhadap barang tertentu.
3). Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;

a. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah). Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah


masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada
mereka. Dengan kata lain, 'urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi

4
halal atau sebaliknya. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan
hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai maskawin.
b. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak). Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-'urf ash-
shahih, maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram,
dan mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan
pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama
pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan,
harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan
bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan
utang sebesar 10% tidaklah memberatakan, karena keuntungan yang diraih dari
sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi
praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam
pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling
melebihkan.[3] dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di
zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari
hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh
termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.

D. Penyerapan Adat Dalam Hukum

Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap adat/tradisi


Arab sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Tahmil
Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya
sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima
dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Apresiasi
tersebut tercermin dalam ketentuan atau aturan yang bersifat umum dan tidak mengubah
paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat yang mengatur tidak
menyentuh masalah yang mendasar dan nuansanya berupa
anjuran dan bukan perintah. Disisi lain, aturannya lebih banyak menyangkut etika yang
sebaiknya dilakukan tetapi tidak mengikat.
Contoh dalam masalah ini adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.
5
2. Tahrim
Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat.
Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi
dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap praktik tersebut juga dibarengi
dengan ancaman bagi yang melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan
berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.

3. Taghyir
Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya
sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan
simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan
prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur’an
mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah
beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk
dalam kelompok ini adalah : pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait
dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat.

E. Pendapat Ulama Tentang ‘Urf

Secara umum ‘Urf diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama mashab
Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Madshab hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa
hukum yang ditetapakan berdasarkan Ur‘f yang shahih (benar), bukan yang fasid
(rusak/cacat), sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy.[5] Secara lebih
singkat, pensyarah kitab “al-asyabah wa an-Nazair” mengatakan:

Artinya: “Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf sama dengan diktum


hukum yang ditetapkan berdasarkan syari’iy”.

Imam as-Sarkhasi dalam kitab “al-Mabssudh” berkata:


Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan Urf statusnya seperti yang ditetapkan
berdasarkan nash”.

Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu


bentuk istihsan itu adalah istihsan al-Urf (istihsan yang menyandar pada ‘Urf. Oleh

6
ulama Hanafiyah, ‘Urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash
yang umum, dalam arti: ‘mentakhsis umum nash.

Ulama Malikiyah menjadikan ‘Urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah


sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadish ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘Urf dalam hal-hal jika tidak menemukan
ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka
mengemukakan kaidah sebagai berikut:
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam
syara’maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah pada ‘Urf”.

Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘Urf dalam fiqih, al-suyuthi mengulasnya


dengan mengembalikannya kepada kaidah:
‘Adat (‘Urf) itu menjadi pertimbangan hukum
Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap ‘Urf tersebut
adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan imam Ahmad
dalam musnadnya, yaitu:
“Apa-apa yang dilihat oleh umat islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di
sisi Allah adalah baik”.
Disamping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti:
orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘Urf tersebut. Bahkan
ulama menempatkannya sebagai “syarat yang diisyaratkan”.
“Sesuatu yang berlaku secara ‘Urf adalah seperti suatu yang telah diisyaratkan”.
Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada ‘Urf, maka kekuatannya menyamai
hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: ‫رف‬S‫ )الع‬merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat
kebiasaan. ‘Urf terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi
Umum atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan
menurut syariat. Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh
Abdul Karim Zaidah berarti: Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena
telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau
perkataan.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru akbar Ushul Fiqih di Universitas
Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal
banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan
malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah.
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam:

1.) Dari segi objeknya


Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada: al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

2.) Dari segi cakupannya


Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

3). Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;


a. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah).
b. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak).
Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap adat/tradisi Arab
sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Tahmil
Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah
tradisi.
2. Tahrim
Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat. Sikap
ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi dimaksud oleh
ayat-ayat Al-Qur’an.
3. Taghyir

8
Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya
sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya.
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu
adalah istihsan al-Urf (istihsan yang menyandar pada ‘Urf. Oleh ulama Hanafiyah, ‘Urf itu
didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti:
‘mentakhsis umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘Urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai
dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadish ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘Urf dalam hal-hal jika tidak menemukan ketentuan
batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.

9
DAFTAR PUSTAKA
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Urf#:~:text=Urf%20atau%20'Urf%20(bahasa
%20Arab,dari%20segi%20keabsahan%20menurut%20syariat. (diakses pada 31 oktober
2021)
https://ibelboyz.wordpress.com/2011/10/13/%E2%80%98urf-pengertian-dasar-hukum-
macam-macam-kedudukan-dan-permasalahannya/ (diakses pada 31 oktober 2021)
https://iainpspblog.blogspot.com/2019/04/makalah-urf-dan-penerapannya-di-lembaga.html?m=1
(diakses pada 01 november 2021)

https://unupurwokerto.ac.id/prinsip-islam-dalam-merespon-tradisi-adat-urf/ (diakses pada 01


november 2021)

10

Anda mungkin juga menyukai