Anda di halaman 1dari 15

KULTUR SEKATEN DI YOGYAKARTA

Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Desti Widiani,S.Pd.I., M.Pd.I.

Oleh :
Erika Chandra Nuria
NIM. 192111019
Kelas: HES 2A

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2020

i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan karya
mini riset ini sesuai waktu yang telah ditentukan. Tanpa dorongan dan bantuan moral maupun
fisik dari semua pihak, mini riset ini tidak bisa terselesaikan. Oleh karena itu, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Desti Widiani,S.Pd.I., M.Pd.I, selaku dosen mata kuliah Islam dan Budaya Jawa, yang
telah memberikan ilmu yang insyallah bermanfaat kepada peliti.
2. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti untuk
menyelesaikan mini riset ini.
Peneliti menyadari bahwa ada banyak kekurangan dalam penelitian mini riset ini. Peneliti
senantiasa membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun sehingga penelitian ini
menjadi lebih baik lagi. Semoga mini riset ini bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, 1 Mei 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................. 1
1.3 Tujuan................................................................................... 1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Sekaten............................................................................. 2
2.2 Sejarah Sekaten dalam Keraton Jogyakarta........................... 2
BAB III KONDISI LAPANGAN
3.1 Ritual prosesi pelaksanaan Tradisi Sekaten Yogyakarta...... 5
3.2 Tujuan dilaksanakannya Sekaten......................................... 7
BAB IV ANALISA LAPANGAN
4.1 Pandangan Islam terhadap Budaya Sekaten........................ 8
4.2 Pendapat Peneliti tentang Budaya dengan Mengacu Teori
Pandangan Islam terhadap Budaya..................................... 9
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam setiap agama besar di Indonesia terdapat hari- hari besar keagamaan tertentu,
seperti Islam. Dalam agama Islam ada hari raya umat Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha,
ada juga hari peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang dalam beberapa tradisi
masyarakat berbeda-beda penyebutan dan tata caranya. Seperti di daerah Istimewa
Yogyakarta, disebut dengan istilah Tradisi Sekatenan. Tradisi Sekatenan sebagai bagain
dari kegiatan Keraton Yogyakarta dan masyarakat Yogyakarta. Perbedaan pola interaksi
dan tingkah laku masyarakat Yogyakarta ini terus berakumulasi oleh waktu yang
membawa tradisi ini bisa sampai hidup di masyarakat. Kebudayaan asli Jawa yang bersifat
transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme.
Adanya nilai Islam yang terkandung dalam Tradisi Sekatenan yang berbentuk simbol -
simbol. Muatan - muatan religiusitas ke-Islaman masyarakat keraton seiring dengan
masuknya agama Islam ke Jawa adalah wujud dari falsafah “mikul dhuwur medem jero”
atau gambaran, bagaimana Islam merangkul seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan
ningrat sampai masyarakat jelata. Menyentuh setiap aspek kehidupan, menarik dan
mengaturnya dengan hukum dan norma - norma yang Islam ajarkan tapi tidak sampai
meningglkan budaya yang sudah ada dari keraton terhadap perjuangan Walisongo yang
telah berhasil menyebarkan tuntutan Nabi Muhammad SAW.
Hal tersebut yang membuat peneliti ingin mengetahui lebih detail mengenai Yogyakarta
khususnya tradisi dalam Keraton Yogyakarta, yaitu tradisi sekaten melalui kegiatan mini
riset. Metode yang digunakan peneliti dalam mini riset adalah pendekatan kualitatif dengan
metode deskriptif analitik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Sekaten ?
2. Bagaimana sejarah sekaten dalam Keraton Jogyakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui definisi Sekaten.
2. Untuk mengetahui sejarah sekaten dalam Keraton Yogyakarta.

1
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Sekaten
Upacara sekaten yaitu suatu bentuk upacara untuk mengiringi pengucapan
‘Syahadatain’.Perayaan sekaten kompleks dengan beberapa kepentingan, merupakan
sebuah aktifitas yang bermula dari religi yang berkembang menjadi sebuah peristiwa
budaya. Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu pada kata sekati yaitu satuan berat
680 kilogram sebagai ilustrasi dari beratnya perangkat gamelan yang digunakan, kemudian
mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk pada kata dalam bahasa
Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Islam pertama di
Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna dalam transformasi konotatifnya bila
ditilik dan ditelusuri semenjak zaman Majapahit hingga Demak berkisar pada pemaknaan
dan asal kata Sekaten – hal ini mengakibatkan perubahan bentuk substansial menghasilkan
perubahan signifikan seiring proses konversi (Arif Lukmanul Hakim, 2007: 4)
Upacara Sekaten adalah upacara yang digunakan untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW, yang diselenggarakan di alun - alun utara kraton (istana) Jawa, setiap
tanggal 12 Maulud. Hingga sekarang upacara itu masih diselenggarakan oleh tiga kraton di
Jawa, yakni kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Upacara Sekaten sudah
berlangsung selama ratusan tahun, dan diselenggarakan pertamakali sejak jaman Kerajaan
Demak atau kerajaan Islam pertama di Jawa. Upacara ini merupakan peristiwa
kebudayaan, yang berarti peristiwa dari masa lampau hingga sekarang, bentuk, waktu, dan
tempatnya adalah tetap dan mengandung banyak keunikan. Dikatakan tetap, karena selalu
dilaksanakan pada jadwal yang telah mentradisi. Dalam perspektif ilmu sosial, upacara ini
telah berjalan secara terpola, terjadi ketaraturan, dan ekpesi peristiwanya selalu tetap
(Sutiyono, 2013).
2.2 Sejarah Sekaten dalam Keraton Jogyakarta.
Asal usul nama sekaten, ada beberapa pendapat. Pertama, sekaten berasal dari kata
sekati, diambil dari nama perangkat gamelan pusaka kraton yang dibunyikan dalam
rangkaian upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad. Kedua, sekati berasal dari kata

2
suka dan ati yang berarti senang hati. Ketiga, sekaten berasal dari kata sesek dan ati yang
berarti sesak hati. Ada juga yang berpendapat bahwa kata sekaten bersal dari syahadatain
yang artinya dua kalimat syahadat. maksud dan tujuan diaakannya upacara sekaten adalah
untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu bertujuan sebagai sarana
penyebaran ajaran agama Islam.
Sekaten muncul pertama kali ketika kerajaan Islam pertama berdiri di Jawa, Raden
Patah dinobatkan menjadi sultan (raja), dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar. Sri Baginda
menghapuskan adat istiadat yang telah dibangun sejak jaman Hindu, yaitu upacara kurban.
Upacara ini dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Dengan dihapuskan upacara
kurban, rakyat menjadi resah, karena sudah sejak lama upacara itu dilaksanakan.
Aakibatnya mereka banyak yang tidak bisa menerima sikap sultan (Sutiyono, 2013).
Para wali yang melihat keresahan rakyat itu, timbul niatnya untuk menghidupkan
kembali adat istiadat lama tersebut, namun bentuknya diramu dengan napas keislaman.
Upacara yang dibanjiri orang dipandang para wali sebagai wadah potensial untuk
menyebarkan agama Islam. Hal ini disebabkan telah dibangun masjid besar, dan para wali
sudah melakukan dakwah, akan tetapi penyebaran agama Islam tetap saja tidak mengalami
pertumbuhan. Salah satu para wali yang berkebangsaan Jawa, yaitu Sunan Kalijaga
mengetahui bahwa rakyat Jawa menyenangi perayaan yang di dalamnya terdapat upacara
kurban. Terlebih, bila perayaan itu juga disertai dengan hadirnya gamelan, tentu akan
mengundang kalayak ramai. Sunan Kalijaga mencetuskan ide untuk membuat perayaan
yang diselenggarakan kerajaan, guna menyongsong peringatan hari lahir Nabi Muhammad
SAW. Sultan Demak menyetujui usul Sunan Kalijaga, bahwa perayaan akan
diselenggarakan di alun-alun, dan di sekitar masjid besar (sebelah barat alun-alun). Untuk
menarik perhatian masyarakat luas agar mau datang ke alun - alun dan mendekati masjid,
maka dibunyikanlah Gamelan Sekaten yang ditempatkan di depan masjid. Sebuah
kesempatan yang amat leluasa, dengan banyaknya orang yang datang tumpah ruah di
depan masjid, para wali mengambil posisi untuk menyiarkan agama Islam (Sutiyono,
2013).
Di depan masjid, Gamelan Sekaten dibunyikan selama seminggu secara terus-menerus,
kecuali waktu-waktu sembahyang dan waktu malam Jumat hingga sembahyang Jumat.
Pada mulanya, Gamelan Sekaten itu dibunyikan dengan suara tipis, kemudian semakin

3
lama semakin nyaring, sehingga membuat orang-orang desa berdatangan untuk
menyaksikan upacara Sekaten. Sunan Kalijaga berdiri di pintu gerbang masjid untuk
berdakwah. Materi dakwah yang dibawakan adalah menguraikan tentang keutamaan
agama Islam, dengan diperbandingkan dengan agama lain terutama asas kesamaannya
dengan aturan agama Budha. Sebagai pendakwah awal di tanah Jawa, Sunan Kalijaga tidak
menyinggung dan mencela agama Hindu dan Budha, sehingga yang mendengarkan tertarik
hatinya untuk masuk agama Islam (Sutiyono, 2013).
Tradisi upacara Sekaten berlanjut dari kerajaan Demak, Pajang, dan hingga Mataram.
Khususnya pada jaman pemerintahan Sultan Agung, upacara Sekaten ditambah dengan
tradisi Garebeg Maulud, yaitu selamatan negara (kerajaan) dengan menyajikan sesaji yang
berupa bentuk gunung yang di dalamnya berisi makanan kecil, sayur-sayuran, buah-
buahan. Serangkaian tradisi ini juga diadakan Pasowanan Garebeg di Sitihinggil, yaitu
kunjungan para kerabat raja, abdi dalem (pegawai istana), dan kawula alit (rakyat kecil)
untuk menghadap dan menghaturkan sembah kepada raja (Sutiyono, 2013).
Upacara Sekaten yang diselenggarakan di kraton Yogyakarta setiap tahun, dalam
perkembangannya tidak hanya menjadi milik kerajaan, akan tetapi juga seluruh rakyat di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagi masyarakat luas, tradisi upacara Sekaten dapat
dipandang sebagai upacara religius Islam dengan warna kejawen, yang mendatangkan
sejumlah hikmah, berkah, dan tuah. Bagi kalangan istana, tradisi upacara Sekaten dapat
dipandang sebagai upacara religius Islam untuk melindungi agama Islam dalam negaranya
(kerajaan), sesuai dengan peran Sultan sebagai pemimpin, penata agama, dan wakil Tuhan
di dunia, sebagaimana gelar kepanjangan sultan Mataram yaitu Sultan Hamengku Buwono
Nabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah. Dalam hubungan ini, upacara Sekaten
yang diselenggarakan di alun - alun utara kraton Mataram setiap tahun juga merupakan
salah satu bentuk legitimasi yang memperkuat posisi dan kekuasaan sultan di tengah-
tengah kehidupan masyarakat Jawa dari jaman Demak hingga sekarang (Sutiyono, 2013).

4
BAB III
KONDISI LAPANGAN

3.1 Ritual prosesi pelaksanaan Tradisi Sekaten Yogyakarta


Kota Yogyakarta merupakan kota yang masih kental akan kebudayaan, terutama
sekaten. Upacara sekaten yaitu suatu bentuk upacara untuk mengiringi pengucapan
‘Syahadatain’. Perayaan sekaten kompleks dengan beberapa kepentingan, merupakan
sebuah aktifitas yang bermula dari religi yang berkembang menjadi sebuah peristiwa
budaya. Rangkain prosesi upacara sekaten antar kota berbeda – beda, dalam perayaan
sekaten daerah Yogyakarta, khususnya keraton memiliki tata cara atau tahapan dalam
upacara sekaten.
1. Miyos Gangsa
Perayaan Sekaten diawali dengan prosesi Miyos Gangsa. Upacara ini berupa
keluarnya Gamelan Sekati, yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai
Nagawilaga dari keraton. Gamelan tersebut selanjutnya akan ditempatkan
di Pagongan Masjid Gedhe dan ditabuh selama satu minggu. kedua perangkat gamelan
tersebut diletakan terlebih dahulu di Bangsal Pancaniti, Plataran Kamandhungan Lor.
Setelah itu baru menuju bangunan bernama Pagongan.
2. Numpak Wajik
Upacara Numplak Wajik dilaksanakan di Plataran Kemagangan dan dipimpin oleh
GKR Mangkubumi. Prosesi ini dilakukan dengan menempatkan wajik di tengah
badan Gunungan Wadon. Numplak Wajik adalah penanda dimulainya proses menyusun
gunungan yang akan diarak dan dibagikan saat Garebeg.
3. Mbusanani Pusaka
Prosesi Mbusanani Pusaka dilaksanakan di Gedhong Jene. Prosesi ini dilaksanakan
oleh para Pangeran Sentana yang dipimpin oleh Mantu Dalem Kangjeng Pangeran
Harya (KPH) Wironegoro. Dalam prosesi Mbusanani Pusaka ini, beberapa pusaka
Kraton Yogyakarta dikeluarkan dari ruang penyimpanan untuk dirawat dan diganti
busananya (kain pelindung) sebagai persiapan menjelang upacara Garebeg Mulud.

5
4. Bethak
Prosesi bethak dilaksanakan di Bangsal Sekar Kedhaton, komplek Keputren. Prosesi
ini dipimpin oleh GKR Hemas sebagai Permaisuri Dalem, Sri Sultan menyerahkan
pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan Kanjeng Kyai Blawong kepada GKR Hemas. GKR
Hemas bersama dengan Putra dan Sentana Dalem Putri (putri dan kerabat wanita
Sultan) akan menanak nasi sebanyak tujuh kali. Nasi yang dimasak dalam Upacara
Bethak tersebut akan diserahkan kepada Sri Sultan pada saat pesowanan.
5. Kundur Gangsa
Sebagai tanda berakhirnya Sekaten, gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng
Kiai Nagawilaga dibawa kembali dari Pagongan Masjid Gedhe ke dalam keraton.
Prosesi diawali dengan hadirnya (miyos) Sri Sultan di Pelataran Masjid untuk
menyebar udhik-udhik yang berisi beras, bunga, dan uang logam ini disebar
di Pagongan Kidul (selatan) terlebih dahulu, baru setelah itu di Pagongan Lor (utara).
Selesai menyebar udhik-udhik, Sri Sultan akan duduk di serambi Masjid Gedhe untuk
mendengarkan riwayat Nabi Muhammad. Berbeda dengan pelaksanaan Garebeg
Mulud biasa, setiap tahun Dal, Sultan akan menjejakkan kaki ke tembok bata di pintu
(butulan) selatan Masjid Gedhe sebelum kembali ke keraton. Upacara ini dikenal
dengan istilah Njejak Beteng.
6. Pesowanan Garebeg
Prosesi Pesowanan Garebeg dilaksanakan di Kagungan Dalem Bangsal Kencana.
Dalam prosesi ini juga dihadiri oleh KGPAA Paku Alam X, Sri Sultan mengambil nasi
dari periuk Kanjeng Nyai Mrica, mengepal-ngepalnya menjadi bulatan kecil, lalu
meletakannya pada Kanjeng Kiai Blawong (pusaka berwujud piring besar). Nasi yang
sudah dikepal oleh Sri Sultan kemudian dibagikan kepada GKR Hemas, KGPAA Paku
Alam X, diteruskan kepada para kerabat dan Abdi Dalem.
7. Kundur Gumungan Bromo
Prosesi Kundur Gunungan Bromo (Kutug) dilaksanakan di Plataran Gedhong
Purwaretna. Sebelumnya, Gunungan Bromo diarak bersama Gunungan Wadon,
Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Lanang  melewati alun – alun
Utara. Satu Gunungan Lanang dibawa ke Kepatihan, satu lagi dibawa menuju Puro
Pakualaman. Gunungan Lanang sisanya dibawa menuju Masjid Gedhe dengan arak-

6
arakan yang dikawal oleh barisan Bregada Prajurit Keraton.S etelah selesai didoakan
dimasjid Gedhe, Gunungan Bromo dibawa kembali masuk ke dalam keraton.
Selanjutnya Gunungan tersebut dibagikan kepada para kerabat Keraton Yogyakarta.
Lima gunungan yang diletakkan di Pelataran Masjid Gedhe kemudian dibagikan
kepada masyarakat sebagai bentuk sedekah dari Sri Sultan.
8. Bedhol Songsong
Upacara Bedhol Songsong merupakan pagelaran wayang yang dilaksanakan di Bangsal
Pagelaran. Upacara ini dilaksanakan untuk menutup rangkaian Garebeg Mulud.
(https://www.kratonjogja.id/, diakses pada 1 mei 2020 pukul 01.54 WIB).
3.2 Tujuan dilaksanakannya Sekaten
Upacara Sekaten adalah sarana untuk menyebarkan agama Islam melalui kegiatan
kesenian gamelan. Penyebarluasan agama Islam menggunakan media berupa kesenian
gamelan karena masyarakat saat itu menggemari kesenian Jawa dengan gamelannya.
Sehingga, untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW tidak lagi dengan kesenian
rebana, melainkan dengan kesenian gamelan.
Penyebarluasan agam Islam di Jawa dilakukan oleh para wali, dimana yang terkenal ada
9 wali atau biasa disebut Walisongo. Adapun nama-nama wali sanga yaitu Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan
Muria, Syekh Maulana Maghribi, dan Syekh Siti Jenar. Terkait dengan cerita di atas,
penyebarluasan agama Islam menggunakan kesenian gamelan, Kanjeng Sunan Kalijaga
kemudian membuat seperangkat gamelan yang diberi nama Kyai Sekati. Untuk
memeriahkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, maka gamelan Sekati ditempatkan
di halaman Masjid Demak. Gamelan tersebut dipukul bertalu-talu. Perayaan Maulid Nabi
Muhammad SAW dengan menggunakan kesenian gamelan dapat menarik perhatian
masyarakat dari berbagai penjuru. Moment berkumpulnya orang banyak tersebut dijadikan
wahana oleh para wali untuk menyampaikan ajaran agama Islam dengan jalan memberikan
wejangan dan ajaran tentang agama Islam. Orang yang datang juga boleh masuk dan duduk
di serambi masjid dengan terlebih dahulu membaca syahadatain. Orang-orang yang beada
di halaman masjid disuruh membasuh tangan, muka dan kaki dengan air kolam luar
serambi masjid (Soepanto, 1991).

7
BAB IV
ANALISA LAPANGAN

4.1 Pandangan Islam terhadap Budaya Sekaten


Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah sebagaimana diterangkan
dalam Qur’an pada potongan surat al-Maidah ayat 3 dibawah ini,
۟ ‫ين َكفَر‬
‫ُوا ِمن ِدينِ ُك ْم‬ َ ِ‫ْٱليَ ْو َم يَئ‬
َ ‫س ٱلَّ ِذ‬
yang artinya Artinya :
“…Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu, agamamu...”.
Ayat tersebut menunjukan Islam adalah agama yang telah sempurna dalam mengatur
segala aspek kehidupan manusia mulai dari urusan ibadah maupun mu’amalah. Begitupula
dalam perihal budaya yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia.
Kegiatan seni budaya dan religi berupa pasar malam perayaan sekaten sampai sekarang
masih dilestarikan, karena ada yang peduli terhadap nilai tradisi dan syiar islam yang
diwariskan Sunan Kalijaga. Sekaten merupakan kegiatan tahunan yang bermula dari syiar
agama islam yang dilakukan Sunan Kalijaga melalui kegiatan seni budaya. Sekaten
merupakan salah satu kebudayaan yang lahir dan tumbuh berkembang atas dasar inspirasi
Islam yang mengandung nilai-nilai spiritual agama. Dalam sekaten terdapat relasi positif
antara aspek budaya dan agama, bahkan bisa dikatakan bahwa “akar tunjang” Sekaten itu
sesungguhnya adalah agama (Asep Purnama Bahtiar, 2005).
Jadi, pandangan islam terhadap budaya sekaten yaitu Islam tidak melarang umatnya
untuk melestarikan kebudayaan selama kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan
prinsip dasar Islam. Begitu pula dengan budaya sekaten. Tidak ada larangan maupun
perintah dalam al - Qur’an dan al Hadis tentang budaya sekaten, maka dapat dilakukan
ijtihad istishlahi untuk menetapkan hukum sekaten, yaitu ijtihad yang didasarkan illah
mashlahah. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal, yakni agama,
jiwa, akal, kehormatan dan keturunan.
Sekaten dapat dijadikan sebagai jalan dakwah islam hingga jaman sekarang karena
sekaten oleh masyarakat Jawa, diidentikkan sebagai bagian integral dari ritus agama yang
terbingkai dalam spirit Maulid Nabi, sehingga perayaan saketan, sesungguhnya berkaitan
dengan syiar dan dakwah agama yang memuat simbol syahadatain.

8
4.2 Pendapat Peneliti tentang Budaya dengan Mengacu Teori Pandangan Islam terhadap
Budaya.
Islam merupakan agama yang sangat mendorong kebuayaan, bahkan turut mengatur
penganutnya untuk berkebudayaan. Agama islam mendorong umatnya berkebuayaan
dalam semua aspek kehidupan termasuk bidang ibadah. Kebudayaan islam adalah suatu
yang dicetuskan itu bersih dengan ajaran islam baik dalam bentuk pemikiran atau sudah
berupa bentuk, sikap atau perbuatan, dan didorong oleh perintah wahyu. Jika agama islam
diamalkan sungguh – sungguh, umat islam akan jadi maju, dan kemajuan tersebut
menghasilkan kebudayaan. Semakin banyak umat islam mengamalkan hukum isla,
semakin banyak kemajuan yang dihasilkan dan semakin banyak kebudayaan islam.
contoh kebudayaan islam banyak sekali, seperti di bidang fisik, seni, tradisi, dan
pertunjukan. Kebudayaan islam di bidang pertunjukan salah satunya adalah sekaten.
Menurut peneliti, tradisi sekaten merupakan tradisi peninggalan Walisongo, khususnya
Sunan Kalijaga, dimana eksistensinya pada zaman dahulu berfungsi sebagai metode
dakwah penyebaran agama islam dalam lingkungan Keraton Yogyakarta dan masyarakat
sekitar. Budaya sekaten sampai sekarang masih dilakukan oleh Keraton Jogyakarta, hal
tersebut sangat baik karena sebagai jalan dakwah melalui pendekatan budaya dan tidak
bertentangan dengan agama islam, karena dalam setiap proses upacara sekaten terdapat
filosofi – filosofi tentang agama islam dengan tuhan, Allah SWT.

9
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Upacara Sekaten adalah upacara yang digunakan untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW, yang diselenggarakan di alun - alun utara kraton (istana) Jawa, setiap
tanggal 12 Maulud.
2. Asal Usul sekaten dalam Keraton Yogyakarta adalah ketika Sunan Kalijaga
mencetuskan ide untuk membuat perayaan yang diselenggarakan kerajaan, guna
menyongsong peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Sultan Demak menyetujui
usul Sunan Kalijaga, bahwa perayaan akan diselenggarakan di alun-alun, dan di sekitar
masjid besar (sebelah barat alun-alun). Untuk menarik perhatian masyarakat luas agar
mau datang ke alun - alun dan mendekati masjid, maka dibunyikanlah Gamelan Sekaten
yang ditempatkan di depan masjid.
3. Rangkain prosesi upacara sekaten Keraton Yogyakarta, yaitu
1. Miyos Gangsa
2. Numpak Wajik
3. Mbusanani Pusaka
4. Bethak
5. Kundur Gangsa
6. Pesowanan Garebeg
7. Kundur Gumungan Bromo
8. Bedhol Songsong
4. Tujuan diadakannya upacara sekaten yaitu Upacara Sekaten adalah sarana untuk
menyebarkan agama Islam melalui kegiatan kesenian gamelan. Penyebarluasan agama
Islam menggunakan media berupa kesenian gamelan karena masyarakat saat itu
menggemari kesenian Jawa dengan gamelannya. Sehingga, untuk memperingati
Maulid Nabi Muhammad SAW tidak lagi dengan kesenian rebana, melainkan dengan
kesenian gamelan.
5. Pandangan islam terhadap budaya sekaten yaitu Islam tidak melarang umatnya untuk
melestarikan kebudayaan selama kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan
prinsip dasar Islam. Sekaten dapat dijadikan sebagai jalan dakwah islam hingga jaman

10
sekarang karena sekaten oleh masyarakat Jawa, diidentikkan sebagai bagian integral
dari ritus agama yang terbingkai dalam spirit Maulid Nabi, sehingga perayaan saketan,
sesungguhnya berkaitan dengan syiar dan dakwah agama yang memuat simbol
syahadatain.

11
DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, Asep Purnama. 2005. “Membaca Ulang Dinamika Muhammadiyah”. Yogyakarta:LPPI


UMY.
Hakim, Arif Lukmanul. “Sekaten, sebuah Proses Akulturasi Budaya dan Pribumisasi Islam”.
Solo: PT Raja.
Soepomo, dkk. 1991. “Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutiyono. 2013. “Upacara Sekaten di Keraton Yogyakarta : Gamela, Ritual, dan Simbol”. Imaji
Jurnal Seni dan Pendidikan Seni. Vol. 11, No. 1, Februari 2013.
(https://www.kratonjogja.id/, diakses pada 1 mei 2020 pukul 01.54 WIB).

12

Anda mungkin juga menyukai