Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH STUDI HADIST

TENTANG

ILMU AL-JARH WA TA’DIL  

Disusun untuk memenuhi tugas Studi Hadist

Dosen Pengampu :

Dini Arifah Nihayati, M.H

Disusun oleh :

Wilujeng Handayani (203210234)

KELAS G

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil  ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu dosen Dini Arifah
Nihayati, M.H pada Studi Hadits

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasanbagipara pembaca dan juga bagi
penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Dini Arifah Nihayati, M.H selaku Dosen Studi
Hadist yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah .....................................................................................................................4
C. Tujuan .......................................................................................................................................4
BAB II PEMABAHSAN
1. Pengertian ilmu al-jarh wa ta’dil ...............................................................................................5
2. Urgensi ilmu al-jarh wa ta’dil ...................................................................................................5
3. Cara mengetahui kecacatan dan keadilan perawi.......................................................................5
4. Sebutkan Tingkatan-tingkatan al-jarh wa ta’dil ........................................................................6
5. Bagaimana Perlawanan antara al-jarh dan ta’dil........................................................................8
6. Sebutkan Kitab-kitab al-jarh wa ta’dil.......................................................................................8
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………............……10
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………….............……11

BAB I
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mempelajari dan mengkaji hadis harus secara mendalam dan menyeluruh mencakup sisi matan,
sanad, dan metodologinya. Alasannya, dikarenakan dalam sejarah hadis itu sendiri, pembukuannya
dilakukan satu abad setelah nabi hijrah, tepatnya pada masa dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan
Umar bin abdul Aziz. Bukan hanya itu, pemalsuan hadis juga banyak terjadi, antara lain; golongan
pembela Ali bin Abi Thalib yang membuat hadis “barang siapa yang ingin melihat Adam pada
ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh pada ketinggian takwanya, ingin melihat Musa pada
kehebatannya, ingin melihat Isa pada ibadahnya, maka hendaklah ia melihat Ali.”, Golongan
Mu’awiyah yang membuat hadis palsu “yang amanah itu ada tiga, aku (Muhammad), Jibril, dan
Mu’awiyah, dan juga golongan ‘Abbasiyah yang membuat hadis “‘Abbas itu orang yang mengurus
wasiatku (Muhammad) dan ahli warisku (Muhammad).1
Salah satu cabang ilmu hadis yang mengkaji masalah tersebut adalah ilmu jarh wat-
ta’dil, ilmu jarh wat-ta’dil merupakan buah manis dari jerih payah para ulama hadis yang telah berusaha
maksimal menjaga dan membersihkan hadis-hadis Nabi SAW dari tangan-tangan kotor. Ilmu ini dapat
dijadikan sebagai timbangan dalam melihat kualitas perawi, tentang
kualitas keadilan dan kedhabitannya, serta kecacatannya. Sehingga dapat diketahui siapa di antara para
perawi yang dapat diterima riwayatnya dan siapa pula yang harus ditolak. Bahkan ilmu ini merupakan
ilmu yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain.2

Dengan demikian, sanad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hadis. Oleh karena itu
suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad sama sekali,
dinyatakan palsu. Secara ekplisit, Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) mengatakan: “sesungguhnya
pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu.” Lebih
lanjut Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan hubungan hadis dengan sanad ibarat hubungan hewan
dengan kakinya, sehingga jika sanad itu sahih maka hadis diterima, dan sebaliknya.3
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian ilmu al-jarh wa ta’dil ?
2. Apa yang dimaksud Urgensi ilmu al-jarh wa ta’dil ?
3. Bagaimana Cara mengetahui kecacatan dan keadilan perawi?
4. Sebutkan Tingkatan-tingkatan al-jarh wa ta’dil !
5. Bagaimana Perlawanan antara al-jarh dan ta’dil?
6. Sebutkan Kitab-kitab al-jarh wa ta’dil!
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Pengertian ilmu al-jarh wa ta’dil
2. Mengetahui Urgensi ilmu al-jarh wa ta’dil
3. Mengetahui Cara mengetahui kecacatan dan keadilan perawi
4. Mengetahui Tingkatan-tingkatan al-jarh wa ta’dil
5. Mengetahui Perlawanan antara al-jarh dan ta’dil
6. Mengetahui Kitab-kitab al-jarh wa ta’dil

BAB II
PEMBAHASAN
1
M. Abdurrahman & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 111-112.
2
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 129
3
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 156.
4
1. Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Kalimat Al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu
‘Al-jarh dan ‘Al-adl’. Al-jarh merupakan bentuk masdar dari kata ‫ يجرح‬-‫ جرح‬yang berarti “seseorang
membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.” Dikatakan
juga ‫جرحاحاكموغيرهالشاهد‬, yang berati hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjauhkan siafat adil
saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
Kata Al-jarh merupakan betuk dari kata jaraha-yajrahu atau Jariha-yajrahu yang berarti cacat atau
luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari
luka itu. Istilah acat ini digunakan untuk menunjukkan sifat jelek yang melekat pada periwayat hadits
seperti pelupa, pembohong dan sebagainya. Sedangkan kata Al-Ta’dil merupakan akar kata dari ‘Addala-
Yu’addilu yang berarti mengadilkan, menyucikan atau menyamakan. 4
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sifat negatif dan positif
perawi hadis yang berpengaruh pada kualitas hadis yang diriwayatkannya. Dengan al-jarh, segi-segi
kelemahan atau kecacatan perawi diuangkapkan. Sedangkan at-ta’dil, segi-segi penilaian positif pada
perawi diuangkapkan. Dengan begitu dapat diketahui apakah sebuah hadis yang diriwayatkan perawi
tersebut dapat dipercaya atau tidak.
2. Urgensi AL-Jarh wa Ta’dil Ilmu jarh wa ta‟dil
Dibutuhkan oleh para ulama hadis karena dengan ilmu ini dapat dipisahkan, mana informasi yang
benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan. Lafadzlafadz yang digunakan untuk men-jarh-kan dan
men-ta‟dil-kan rawi memiliki tingkatantingkatan. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu‟s Shalah dan Imam
Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al Hafidh Ad- Dzahaby dan Al „Iraqy,
menjadi 5 tingkatan, yaitu ditambah dengan ungkapan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6
tingkatan. Dalam tradisi ilmu-ilmu hadis, seorang yang hendak melakukan jarh maupun ta‟dil sebelumnya
harus memenuhi bebarapa syarat sebagai berikut:
a) ia harus seorang yang alim, wara’, bertakwa, dan jujur, ini adalah syarat yang paling mendasar,
b) ia harus mengetahui sebab-sebab seseorang di-jarh maupun di-ta‟dil, sebab yang diterima adalah
tazkiyah (rekomendasi) dari seseorang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak
tahu.
c) ia harus menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak meletakkan kalimat di luar
maknanya, sehingga terhindar dari melakukan jarh dengan kalimat yang bukan kalimat jarh.5
3. Cara mengetahui kecacatan dan keadilan perawi
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah
melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil
para perawi yang pada pokoknya meliputi:
Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad
Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan
kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara
dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak
kuat hafalannya.
Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik
ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk
mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
4
Agus Solahudin, Ulumul Hadis. (Bandung : CV PUSTAKA, 2008) , h. 157.
5
Munandar, Ulum Al-Hadis, (Medan: UINSU, 2013), hlm. 23
5
‫اللسان تستقيم يكن لم‬
“ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak
menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulantsiqah
atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau
‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab
al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor,
ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan:6
Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai
orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih
jauh lagi.
Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula
belum dikenal keadilannya.
Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada cara mengetahui keadilan seorang
perawi yang disebutkan di atas.
4. Tingkatan-tingkatan al-jarh wa ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya,
kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang
dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan
amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui
tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan
tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada
enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).7
Tingkatan At-Ta’dil
 Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala
dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam
periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling
kuat hafalan dan ingatannya”.
 Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan
periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-
tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.8
 Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt,
atau hafidh.
 Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan
dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran),
atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah

6
Ajaz al-Khatib, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975),h. 267
7
Drs. H. Munzier Suparta, M.A., Ilmu Hadis, Cet. Ke-6 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 31.
8
Ibid, h. 262.
6
tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila
ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).9
 Tingkatan Kelima
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang
syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik
haditsnya).
 Tingkatan Keenam
Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu
hadiitsuhu. 10
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari
sebagian yang lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis,
dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah
yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka
ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk
dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.11
Tingkatan Al-Jarh
 Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti :
layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun
(padanya ada kelemahan).
 Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah;
seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang
munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
 Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if
sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in
(tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai
petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).12
 Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh
berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan),
atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
 Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau
dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan
hadits).
 Tingkatan Keenam
9
Prof. Dr. Teungku M. Hasbi as Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 279.
10
Ajaz al-Khatib,op.cit., h. 261.
11
Drs. H. Munzier Suparta, M.A, Op.cit., h. 31-32.
12
Dr. Nawir Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 171-172.
7
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan
orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
 Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi
boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah
kedudukannya daripada tingkatan pertama.
 Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak
dianggap sama sekali. (Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman
152-154).
5. Perlawanan antara al-jarh dan ta’dil
Apabila terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama’ men-ta’dil-
kan dan sebagian ulama’ yang lain men-tarjih-kan dalam hal ini terdapat empat pendapat:
a. Jarh harus didahulukam secara mutlak, walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak daripada jarhnya.
Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil dan kalau jarih
dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberikan menurut lahirnya saja, sedang jarih
memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’addil. Pendapat ini dipegang oleh
jumhuru’l ulama’.
b. Ta’dil harus didahulukan daripada jarh. Karena sijarih dalam mengaibkan si rawi kurang tepat,
karenakan sebab yang digunakan untuk mengaibkan itu bukan sebab yang mencacatkan yang
sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedangkan mu’addil, sudah barang tentu tidak
sembarangan menta’dilkan seseorang selama tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
c. Bila jumlah mu’addil-nya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta’dil. Sebab jumlah yang
banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar
mereka.
d. Masih tetap dalam ke-ta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya. Pengarang at-
taqrib mengemumakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau
jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarihnya, maka mndahulukan jarh itu sudah merupakan
putusan ijma’.13
6. Kitab-kitab al-jarh wa ta’dil
Adapun  kitab-kitab yang pernah disusun tentang ilmu al jarh wa at ta’dil yang menerangkan keadaan
periwayat hadis secara umum, baik yang tsiqah maupun yang dhaif diantaranya, adalah :
1. Kitab At-Tarikh al-Kabir oleh Imam Al-Bukhari (w. 256 H)
2. Kitab Al-jarh wa Ta’dil oleh Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar-Razi (w. 377 H)
3. Kitab As-Tsiqah oleh Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (w. 354 H)
4. Kitab Tarikh Asma As-Tsiqah min man Nuqila Anhum al-Ilm oleh Umar bin Ahmad bin Syahin (w. 385
H)
5. Kitab Ma’rifat Ar-Rijal oleh Yahya bin Ma’in (w. 233 H)
6. Kitab Adh-Dhu’afa’ Al-Kabir dan Adh-Dhu’afa’ As-Saghir oleh Imam Muhammad bin Isma’il Al-
Bukhari (w. 256 H)
7. Kitab Al-Hidayah wa Al-Irsyad oleh Abu Nasr Ahmad bi Muhammad Al-Kalabadzi (w. 398 H)
8. Kitab At-Ta’rif bi Rijal Al-Muwatha’ oleh Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-Tamimi (w. 416 H)
9. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim oleh Abu Al-Hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (w. 385 H)

13
Khusniati Rofiah Studi Ilmu HADITS (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), hal 160
Footnote
8
10. Kitab Tahdzib Al-Kamal oleh Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (w. 742 H).
11. Kitab Lisan Al-Mizan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani  (w. 852 H), dll.14

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

14
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis. (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 155
9
Yang dimaksud dengan ilmu Jarh wa Ta’dil ialah ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang
dihadapkan pada perawi dan dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai
kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.
Fungsi mengetahui ilmu ilmu al-jarh wa ta’dil, kita bisa menyeleksi mana Hadits sahih,hasan,ataupun
Hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi,bukan dari matannya. Tingkatan jarh wa
ta’dil sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib ada 6 macam tingkatan, dan hal tersebut
berpengaruh terhadap ke hujjahan hadts. Dalam masalah pertentangan jarh dan ta’dil, para ulama’
terbagi dalam beberapa pendapat, yang pertama ta’dil di dahulukan dari pada jarh, yang kedua jarh di
dahulukan dari pada ta’dil, yang ketiga apa bila jarh wa ta’dil bertentangan salah satunya tidak ada yang
di dahulukan kecuali ada perkara yang mengokohkan salah satunya. Dalam hal mengkritik sahabat
terdapat dua pendat, menurut sunni mutlaq tiada kebolehan untuk melakukan kritik terhadap sahabat,
sedangkan menurut syi’ah dan mu’tazila ada kebolehan melakukan kritik terhadap sahabat mulai
terjadinya pembunuhan terhadap ali dan munculnya fitnah. Pemetaan kitab-kitab jarh wa ta’dil untuk
mempermudah mengetahui kualitas dari suatu hadist dan para perawinya.

DAFTAR PUSTAKA

Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis. (Yogyakarta: Teras, 2010)


10
al-Khatib, Ajaz. Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Dar al-Fikr, Damaskus,1989.
Agus Solahudin, Ulumul Hadis. Bandung : CV PUSTAKA, 2008.
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra)
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. Prof. Dr. Pengantar Ilmu hadits, PT. Pustaka Rizki Putra
Semarang, 2010.
Khusniati Rofiah, Khusniati.2010. Studi Ilmu HADITS. Ponorogo: STAIN PO Press.M.
M. Abdurrahman & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011)
Munandar, Ulum Al-Hadis, (Medan: UINSU, 2013)
Smeer, Zeid B.2008. Ulumul Hadis.Malang: UIN Malang Press
Suparta , Munzier. Ilmu Hadis, Cet. Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Yuslem, Nawir, Dr. M.A. Sembilan Kitab Induk Hadis, Hijri Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

11

Anda mungkin juga menyukai