Anda di halaman 1dari 6

Substansi Peradaban Islam

Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi


Makna Peradaban Islam
Islam yang diturunkan sebagai din, sejatinya telah memiliki konsep seminalnya
sebagai peradaban. Sebab kata din itu sendiri telah membawa makna
keberhutangan, susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderungan manusia
untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang
adil. Artinya dalam istilah din itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab
itu ketika din(agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan
dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar
kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti
membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.
Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti
peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base
culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab,
perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh
Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah
Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan
secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayutamaddun digunakan untuk
pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah
tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar
madinah ataumadana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan
medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata
hadharah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat
Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua
Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan
peradaban menggunakan istilahtahdhib.
 Islam sebagai Peradaban
Konon, ketika Nabi menerima laporan bahwa ajakannya kepada Kaisar Romawi,
Heraclitus untuk berpegang pada keyakinan yang sama (kalimatun sawa’) ditolak
dengan halus, nabi hanya berkomentar pendek “sa uhajim al-rum min uqri baiti”
(Akan saya perangi Romawi dari dalam rumahku). Ucapan Nabi ini bukan
genderang perang, ia hanya berdiplomasi. Tidak ada ancaman fisik dan juga tidak
menyakitkan pihak lawan. Ucapan itu justru menunjukkan keagungan risalah yang
dibawanya, bahwa dari suatu komunitas kecil di jazirah Arab yang tandus, Nabi
yakin Islam akan berkembang menjadi peradaban yang kelak akan mengalahkan
Romawi.
Dan Nabi benar, pada tahun 700 an, tidak lebih dari setengah abad sesudah
wafatnya Nabi Muhammad (632 M), ummat Islam telah tersebar ke kawasan Asia
Barat dan Afrika Utara, dua kawasan yang dulunya jatuh ketangan Alexander the
Great. Selanjutnya, Muslim memasuki kawasan yang telah lama dikuasai oleh
Kristen dengan tanpa perlawanan yang berarti. Menurut William R Cook pada
tahun 711 M – 713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ketangan
Muslim dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke 7 kawasan itu cukup
makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir keseluruhan kawasan itu
dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke sebelas kerajaan Kristen di kawasan itu
mulai melawan Muslim. Demitri Gutas dengan jelas mengakui:

…..pada tahun 732 M kekuasaan dan peradaban


baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama
yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang
berkembang seluas Asia Tengah dan anak benua
India hingga Spanyol dan Pyrennes.
Gutas bahkan menyatakan bahwa dengan munculnya peradaban Islam, Mesir
untuk pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat dipersatukan
secara politis, administratif dan ekonomis dengan Persia dan India dalam jangka
waktu yang cukup lama. Perbedaan ekonomi dan kultural yang memisahkan dua
dunia yang berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang yang dibatasi
oleh dua sungai besar dengan mudahnya lenyap begitu saja.
Sudah tentu proses kejatuhan Romawi tidak disebabkan oleh faktor tunggal.
Edward Gibbon dalam The Decline And Fall Of The Roman Empire menyatakan
bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya Kekaisaran Romawi disebabkan
oleh lima faktor: pertama di era kekuasaan Justinian banyak wewenang memberi
kepada Imperium Romawi di Timur; kedua adanya invasi Italia oleh Lombards;
ketiga penaklukan beberapa provinsi Asia dan Afrika oleh orang Arab yang
beragama Islam; keempat pemberontakan rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja
Konstantinopel yang lemah; dan terakhir munculnya Charlemagne yang pada tahun
800 M mendirikan Kekaisaran Jerman di Barat.
Jadi penyebab kejatuhan Romawi merupakan kombinasi dari berbagai faktor,
seperti problem agama Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan, keuangan
dan militer. Dan di antara faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi adalah
datangnya Islam. Pernyataan Nabi yang diplomatis itu nampaknya terbukti. Nabi
tidak pernah pergi menyerang Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya
gelombang peradaban Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan
Romawi. Ini juga merupakan bukti bahwa Islam sebagai din yang menghasilkan
tamaddun yang dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Sebab
Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, sehingga mampu
membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh
bangsa-bangsa non Arab karena universalitas ajarannya alias kekuatan pancaran
pandangan hidupnya.
Ketika Kaisar Persia Ebrewez, cucu Kaisar Khosru I, merobek-robek surat Nabi
sambil berkata : ”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah
budakku”, Nabi pun berkomentar pendek “Semoga Allah merobek-robek
kerajaannya”. Dan Sabda Nabi kembali terbukti bahwa sesudah itu putera Kaisar
yang bernama Qabaz merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar Ebrewez,
ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian hanya berkuasa empat bulan saja lamanya.
Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa
empat tahun. Ia benar-benar porak poranda. Akhirnya, rakyat mengangkat kaisar
Yazdajir dan pada masa inilah Persia tidak berdaya ketika tentara Islam datang.
Sejak itu kekaisaran Persia benar-benar runtuh.
Sebagaimana sikapnya terhadap kekaisaran Romawi, Nabi tidak keluar rumah
untuk menjatuhkan (merobek-robek) kekaisaran Persia. Nabi hanya menyerbarkan
Islam yang memang merupakan peradaban yang memiliki konsep ketuhanan,
kemanusiaan dan kehidupan yang jelas dan teratur. Di Indonesia, Islam masuk
tanpa peperangan. Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki
kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam mudah
merasuk kedalam pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka dalam
kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan melulu karena
pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan (mengislamkan)
masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber
alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada pertambahan
kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke
kawasan yang didudukinya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan
ummat Islam justru menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang
sangat berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.
 Substansi Peradaban Islam
Tanda wujudnya peradaban, menurut Ibn Khaldun adalah berkembangnya ilmu
pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optic, kedokteran
dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan
maju mundurnya ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting
dalam teori Ibn Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak
mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. Karena
itu suatu peradaban atau suatu umrun harus dimulai dari suatu “komunitas kecil”
dan ketika komunitas itu membesar maka akan lahir umrun besar. Komunitas itu
biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah
akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang
daripadanya timbul suatu sistem kemasyarakat dan akhirnya lahirlah suatu Negara.
Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo dan lain-lain
adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian
melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan hidupnya suatu umrun bagi Ibn Khaldun
di antaranya adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan /
arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi,
musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu terdapat
komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih terdapat faktor
lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para sarjana Muslim kontemporer
umumnya menerima pendapat bahwa agama adalah asas peradaban, menolak
agama adalah kebiadaban. Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah
sumber peradaban. Meskipun dalam paradaban Islam struktur organisasi dan
bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai
asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah ketaqwaan kepada
Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan (tawhid), supremasi
kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat material, pengembangan nilai-
nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap
keluarga, menyadari fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan
petunjuk dan perintahNya (syariat).
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan bahwa
agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-bangsa purbakala
seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun peradaban mereka dari sebuah
agama, keyakinan atau kepercayaan. Arnold Toynbee juga mengakui bahwa
kekuatan spiritual (batiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang
melahirkan manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut
sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika agama serta
kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi tindakan nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya,
maka sejalan dengan teori modern bahwa pandangan hidup (worldview)
merupakan asas bagi setiap peradaban dunia.
Para pengkaji peradaban, filsafat, sains dan agama kini telah banyak yang
menggunakan worldviewsebagai matrik atau framework. Ninian Smart
menggunakannya untuk mengkaji agama, S.M. Naquib al-Attas, al-Mawdudi,
Sayyid Qutb, memakainya untuk menjelaskan bangunan konsep dalam Islam,
Alparslan Acikgence untuk mengkaji sains, Atif Zayn, memakainya untuk
perbandingan ideologi, Thomas F Wall untuk kajian filsafat, Thomas S Kuhn
dengan konsep paradigmanya sejatinya sama dengan menggunakanworldview bagi
kajian sains.
Meski mereka berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya
mengaitkanworldview dengan peradaban atau seluruh aktivitas ilmiyah,sosial dan
keagamaan seseorang. Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi
makna worldview sebagai “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam
pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan
sosial dan moral.” Penekanannya pada fungsi worldview sebagai motor perubahan
sosial dan moral. Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai
“sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan
tentang makna eksistensi”. Dalam kaitannya dengan aktivitas ilmiyah Alparslan
Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia,
termasuk aktivitas-aktivitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia
akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktivitas manusia dapat
direduksi kedalam pandangan hidup itu. Dalam konteks sains, hakekatworldview
juga dapat dikaitkan dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn. Istilah Kuhn
“perubahan paradigma” (paradigm shift) menurut Edwin Hung sebenarnya dapat
dianggap sebagai weltanschauung Revolution (revolusi pandangan hidup). Sebab,
paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi,
yang merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk
kajian sains. Singkatnya, worldview berkaitan erat secara konseptual dengan segala
aktivitas manusia secara sosial, intelektual dan religius. Dan yang terpenting adalah
bahwa worldcview sebagai sistem kepercayaan, pemikiran, tata pikir, dan tata nilai
memiliki kekuatan untuk merobah. Maka dari itu, aktivitas manusia dari yang
sekecil-kecilnya hingga yang sebesar-besarnya yang kemudian menjadi peradaban
bersumber dari worldview.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan sosial, asas bagi
pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah, maka Islam mengandung itu
semua. Islam bahkan memiliki pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik
secara integral. Ayat-ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang
memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan kehidupan yang
disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam (worldview, al-taÎawwur al-
Islami, al-mabda al-Islami) itu. Bukan hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium
pelaksanaannya yang berupa institusi yang disebut din, yang di dalamnya
terkandung konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri. Bagi al-
Mawdudi worldview Islam adalahIslami Nazariyat (Islamic Vision) yang berarti
“pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang
berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia….secara
menyeluruh”. Menurut Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tashawwur al-
Islami, yang berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran
dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan apa-
apa yang terdapat dibalik itu.” Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah
al-Mabda’ al-Islami yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan
karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang
berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal. Namun Shaykh
Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk ideologi non-Muslim. Ini berarti
bahwa tidak selamanya berarti aqidah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan
worldview Islam sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang
nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa
yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka worldview Islam berarti
pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam li al-wujud).
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam adalah pokok-
pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata
nilai, tapi merupakan super-sistem yang meliputi keseluruhan pandangan tentang
wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqidah)
dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh kegiatan
kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika pandangan hidup itu
berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia akan memancar dalam keseluruhan
kegiatan kehidupannya dan akan menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan
dalam bentuk karya nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau
bangsa maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem kehidupan
bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah pandangan hidup Islam.
Namun elemen pandangan hidup yang terpenting adalah pemikiran dan
kepercayaan.
Menurut Ibn Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi
tiga elemen penting yaitu 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang
menghasilkan sains dan teknologi 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk
kekuatan politik dan militer dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi
kemampuan berfikir merupakan elemen asas suatu peradaban. Suatu bangsa akan
beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu telah mencapai tingkat kemapuan
intelektual tertentu. Sebab kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian
pemikirannya. Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya
memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan taraf
kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu saja tanpa sarana dan
prasarana ataupun supra-struktur dan infra-struktur yang tersedia. Dalam hal ini
pendidikan merupakan sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang
lebih mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan yang berasal
dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran dalam peradaban
Islam merupakan faktor terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam,
kita rujuk tradisi intelektual Islam.

Anda mungkin juga menyukai