Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi, Tuhan yang senantiasa melimpahkan
taufik serta hidayah Nya kepada kita semua. Alhamdulillah, berkat rahmat Nya pula segala
bentuk kesukaran berbuah kemudahan dalam menyelesaikan tulisan makalah dengan
judul Corak Tafsir adab al-ijtima. Salam dan taslim tak lupa kita haturkan kepada Baginda
Rasulullah SAW, Nabi akhir zaman pembawa serta penyempurna pedoman dan tuntunan
hidup bagi umat manusia di muka bumi.
Makalah ini di tujukan kepada mahasiswa untuk memahami berbagai macam corak
tafsir khususnya Corak Tafsir Adab Al-Ijtima. Penulis mengucapkan terima kasih yang
mendalam kepada berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.
Penulis menyadari makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Penulis membuka
diri untuk menerima masukan dan kritikan yang membangun, demi penyempurnaan makalah
ini,semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca .

Kolaka, 15 Mei 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
A. Latar Belakang................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. Pengertian Corak Tafsir Adabi Ijtima’i...........................................................................5
B. Latar Belakang Munculnya Corak Tafsir Adabi Ijtima’i................................................6
C. Karakteristik Corak Tafsir Adabi Ijtima’i.......................................................................7
D. Tokoh-Tokoh...................................................................................................................8
E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Adabi Ijtima’i.........................................................14
BAB III PENUTUP................................................................................................................15
A. Kesimpulan...................................................................................................................15
B. Kritik dan Saran............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa-masa suram, Bahkan terus-menerus
merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi
pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang pemimpin yang
mengumandangkan seruan untuk membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin
al-Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad
Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia
menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan
bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta
apa yang bernama kemajuan.

Maka dari itu lahirlah kitab-kitab tafsir yang sangat memberikan perhatian ummat,
baik dari sisi-sisi maupun dari segi kajiannya. seperti nahwu, istilah-istilah dalam
balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah
memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-
ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan
kabar gembira. Oleh karena tafsir itu yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir
yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran
agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk  mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.

Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal dengan nama al-Laun al-Adaby al-
Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang
merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu
Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.

Maka dari itu, dalam pembahasan kali ini pemakalah akan mencoba memaparkan
tafsir adabi ijtima’i, baik itu dari mulai pengertian, latar blakang munculnya,
karakteristik, tokoh-tokoh, contoh penafsiran, serta kelebihan dan kekurangan dari tafsir
adabi ijtima’i, semoga dapat bermanfaat dan menabah wawsan bagi para pembaca
sekalaian. Aamiin.
B. Rumusan Masalah
Guna untuk memahami latar blakang masalah di atas, dan
mempersempit/memperjelas materi yang akan dibahas, maka disusunlah rumusan
masalah sebagai berikut:
1) Apa pengertian dari corak tafsir adabi ijtima’i ?
2) Bagaimana latar belakang munculnya corak penafsiran tersebut ?
3) Apa saja yang menjadi karakteristik dari corak penafsiran tersebut?
4) Siapa sajakah tokoh yang menggunakan corak penafsiran tersebut dalam
penafsirannya ?
5) Apa kelebihan dan kekurangan dari corak tafsir adabi ijtima’i ini ?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat di pahami, adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah memberikan informasi mengenai:
1) Mengetahui pengertian dari corak tafsir adabi ijtima’i.
2) Mengetahui latar belakang munculnya corak penafsiran adabi ijtima’i.
3) Mengetahui karakteristik dari corak penafsiran adabi ijtima’i ?
4) Mengetahui tokoh-tokoh yang menggunakan corak penafsiran adabi ijtima’i dalam
penafsirannya.
5) Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari corak tafsir adabi ijtim’i.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Corak Tafsir Adabi Ijtima’i


Kata al-Adaby, dilihat dari bentuknya termasuk masdhar (infinitif) dari kata kerja
Aduba, yang berarti sopan santun, tatakrama dan sastera. Secara leksikal, kata tersebut
bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseotrang dalam bertingkah laku
dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. oleh karena itu, istilah
al-Adaby bisa diterjemahkan secara budaya. Sedangkan kata al-Ijtima’i, yang berakar
pada huruf jim, mim, dan a’in, jama’a, bermakna menyatukan sesuatu. Kata ini menjadi
bentuk Ijtima’a, yang melahirkan infinitif ijtima’, yang berarti banyak bergaul dengan
masyarakat , atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi, secara Etimologis, Tafsir al-
Adaby al-Ijtima’iy adalah tafsir yang berorientasi pada sastera budaya dan
kemasyarakatan, yang oleh Mu’in salim disebut tafsir dengan pendekatan Sosio-
Kultural.

Sedangkan secara terminologis, tafsir al-adaby al-ijtima’iy sebagai disebutkan oleh


al-farmawy adalah corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an
apada aspek ketelitian redaksinya, lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang
indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia.1

Corak tafsir Adabi Ijtima’i sebagai corak penafsiran yang menekankan penjelasan
tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah)
yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-
makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan
sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum
muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan
petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an.2

1
Supiana dan M. Karman. Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 316-317.
2
Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an(Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat) (Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 2009), hlm. 108
Jadi, tafsir adaby ijtima’iy adalah tafsir yang menitik berorientasi pada sastra-budaya
dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-
Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya., kemudian menyusun kandungan ayat-
ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-
Qur’an-yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian
ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia.3

B. Latar Belakang Munculnya Corak Tafsir Adabi Ijtima’i

Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi ijtimai pastilah tidak lepas
dari tokoh pembaharu di Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani.  Hal ini wajar kiranya
mengingat bahwa beliau adalah tokoh Islam yang dianggap pertama kali bersikap tegas
terhadap tantangan modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi Islam dengan
cara yang sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul akibat “Barat”
dengan klaim modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah” dengan tradisi
Islam tradisionalnya. Tema besar yang diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah
bahwa Islam merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal “Barat”.
Pemikiran lain yang dimunculkan oleh Jamaluddin al-afgani adalah tentang adanya
persamaan antara pria dan wanita. Wanita dan pria sama dalam pandangannya, keduanya
mempunyai akal untuk berpikir.

Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat dari respon sosial


politik itu diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid al-
Afgani yang sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan reformasi dengan cara
menyadarkan umat akan pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar ketertinggalan-
ketertinggalan dunia Islam terhadap dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi
keagamaan dan politikal-Afgani dan Abduh adalah majalah al-Urwah al-Wusqa yang
mampu memberikan kesadaran kolektif terhadap negara-negara Arab dan Islam lainnya
untuk bangkit menuju kemajuan dalam arti luas.4

3
M. Quraish shihab, Studi KritisTafsir Al-Manar (Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid Ridha)(Bandung:
Pustaka Hidayah., 1994), hlm.11.
4
Muhammad imrah, “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam
http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai, diakses tanggal 21
November 2014.
Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan mengikuti jejak mereka,
termasuk Muhammad Rasyid Ridha yang telah menyaksikan penderitaan umat dan
makin merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari kondisi sosial politik Timur
Tengah tersebut, dirumuskanlah Tafsir al-Manar  oleh Muhammad Abduh beserta
Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam
Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-
Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam pada saat dituliskannya
tafsir al-Manar itu adalah kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi
Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”.
Kondisi masyarakat yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang
seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi bodoh.5

Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah memperbaiki
sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-putri Mesir yang
terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka
mulailah ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan sebagaimana yang
diharapkan oleh Abduh. Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah
respon politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir. Majalah
al-Manar yang nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir
sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh
Abduh dan Rasyid Ridha itu kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.

C. Karakteristik Corak Tafsir Adabi Ijtima’i


Adapun ciri dari corak adabi ijtima’i adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat
al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik
hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-
hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Dalam artian lain bahwa memahami ayat
dari segi balaghahnya untuk kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di
dalamnya dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami dan indah. Sehingga al-
Qur’an dengan mudah difahami oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya

5
Dikutip dari Harun Nasution dalam Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan oleh Kukuh
Budiman dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar
Karya Rasyid Ridha), Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hlm. 31-32.
ulama) untuk dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi
utama dari al-Qur’an.6

D. Tokoh-Tokoh

Tokoh utama corak penafsiran ini sertayang berjasa meletakan dasar-dasarnya adalad
Syekh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus
sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain,
terutama Muhammad Mustafa Al-Maraghi.

1). Biografi Syaikh Muhammad Abduh

Nama lengkap beliau adalah Syaikh Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah. Ia
di lahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849
M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan
bangsawan. Namun ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi
pertolongan.7 Muhammad Abduh hidup di dalam lingkungan keluarga petani di
pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola pertanian, kecuali
Muhammad Abduh yang oleh ayahnya di tugaskan untuk menuntut ilmu pegetahuan.
Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga ia sangat di cintai oleh
ayah dan ibunya.

Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak sabar ketika ditinggal oleh
Muhammad Abduh kedesa lain. Baru dua minggu sejak kepergiannya, ibunya sudah
datang menjenguk dan juga dikawinkannya Muhammad Abduh dalam usia yang
sangat muda pada tahun 1865, pada waktu itu ia baru berusia 16 tahun.

 Pendidikan Syekh Muhammad Abduh

Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid Al-Ahmadi


Thantha (sekitar 80 km dari kairo) untuk mempelajari Tajwid Al-Qur’an. Namun
merasakan sangat menjengkelkan, sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di sana,
Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali kedesanya dan bertani seperti

6
Muhammad imrah, “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam
http://khazanahquranhadits.wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtimai, diakses tanggal 21
November 2014.
7
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 11.
saudara-saudara serta kaum kerabatnya.8 Nah, waktu kembali kedesanya inilah beliau
di nikahkan.

Walaupun sudah menikah, akan tetapi ayahnya tetap menyuruh putranya itu untuk
blajar dan menuntut ilmu. Namun muhammad abduh sudah bertekad untuk tidak
kembali. Muhammad Abduh lalu pergi kedesa Syibral Khit, di desa inilah banyak
paman dari pihak ayahnya yang bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan
Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan
mengenai Al-Qur’an dan menganut Tasawuf Al-Syaidziliah. Pamannya berhasil
mengubah pandangan Muhammad Abduh yang semula seorang yang membenci ilmu
pengetahuan menjadi seseorang menggemarinya.

Dari Thantha, Muhammad Abduh menunju ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar,


yaitu pada bulan Februari 1866. Di perguruan inilah Muhammad Abduh mengenal
dengan sekian banyak dengan dosen yang dikaguminya, antara lain. Syaikh Hasan Al-
Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filasafat karangan Ibnu Sina,
logikakaranganAristotelesdan lain sebagainya, padahalkitab-kita btersebut tidak
diajarkan di Al-Azha rpad awaktu itu dan juga Muhammad Basyuni, seorang yang
banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran
bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.9

 Karya-Karya dalam Bidang Tafsir

Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang tafsir terbilan gsedikit jika diukur
dengan kemampuan tokoh ini.Karya-karya tersebut adalah:

a) Tafsir Juz’ ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi peganganpara guru mengaji di
Marokko pada tahun 1321 H.
b) Tafsir surah Wal-‘Ashr, karya ini berasal dari kuliah atau pengajian-pengajian yang
disampaikannya dihadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat Al-Jazair.
c) Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’ : 77 dan 78, Al-Haj : 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab :
37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negatif terhadap
Islam dan Nabinya.

8
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 12.
9
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 12-13.
d) Tafsir Al-Qur’an bermula dari Al-Fatihah sampai dengan ayat 129 dari surah An-
Nisa’ yang di sampaikannya di Masjid Al-Azhar, kairo, sejak awal Muharram 1317 H
sampai dengan pertengahan Muharram 1323. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut
tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun ia dapat dikatakan sebagai
hasil karyanya, karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir
menunjukkan artikel yang dibuatnya itu kepada Abduh yang terkadang
memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat,
sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.10

 Ciri-Ciri Penafsiran Syekh Muhammad Abduh


1) Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2) Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3) Ayat al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum.
4) Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.11

2. Biografi Sayyid Muhammad Rasyid Ridha

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4


km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang
keturunan bangsawan arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina
husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.

Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada
semua garis keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai
keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga
mereka juga dikenal dengan sebutan “syaikh”.12

Dalam perjalanan pulang dari kota suez di mesir, setelah mengantar pangeran
Sa’ud Al-Faisal (yang kemudian menjadi raja saudi arabia), mobil yang dikendarainya
mengalami kecelakaan dan ia menderita geger otak. Selama dalam perjalanan, beliau
hanya membaca al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali muntah. Setelah
10
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 20-21.

11
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 26.
12
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 59.
memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini
wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman, tepatnya pada 23
Jumadil-‘Ula 1354/22 Agustus 1935.

 Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha

Di samping orangtuanya sendiri, beliau belajar juga ke sekian banyak guru. Di


masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya yang ketika itu
dinamai al-kuttab, disana ia beliau diajarkan membaca al-Qur’an, menulis dan dasar-
dasar menghitung.

Setelah tamat beliau dikirim oleh orang tuanya ke Tripoli (lebanon) untuk belajar
di madrasah ibtidaiyyah yang mengajarkan nahwu, shorof, aqidah, fiqih, berhitung,
dan ilmu bumi. Bahasa yang digunakan daerah tersebut adalah bahasa turki,
mengingat lebanaon itu berada di bawah kekuasaan kerajaan ustmaniyyah.

Pada tahun 1299 H/1822 M, beliau pindah ke sekolah islam negeri, yang
merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa
pengantar, di samping diajarkan pula bahasa turki dan prancis. Sekolah ini didirikan
dan dipimpin oleh ulama besar syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Pada
tahun 1314 H/1897 M, syaikh al-jisr memberikan ijazah kepada beliau dalam bidang
ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Selain belajar pada  Syaikh Husain al-Jisr
beliau juga belajar pada guru yang lain, diantaranya:Syaikh Mahmud Nasyabah,
Syaikh Muhammad Al-Qawijiy, Syaikh Abdul-Gani Ar-Rafi,Al-Ustadz Muhammad
Al-Husaini, danSyaikh muhammad kamil ar-rafi.13

 Karya-Karya Ilmiah Muhammad Rasyid Ridha

Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-azhar


dan al-manar dan masih banyak lagi yang lainnya.

 Ciri-ciri Pokok Tafsir Muhammad Rasyid Ridha

1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi


SAW.

13
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 60-61.
2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada
penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun
pemecahan problem-problem yang berkembang.
4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan
pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.

3. Pertemuan Muhammad Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh

Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik


melalui pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di
media massa, muhammad abduh mempin pula gerkan pembaruan Mesir.

Majalah al-urwah al-wutsqo yang di terbitkan oleh jamaluddin al-afghani dan


muhammad abduh di paris, yang tersebar ke seluruh dunia islam, ikut juga dibaca oleh
muhammad rasyid ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya,
sehingga memberi pengaruh pada sikap yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda
yang penuh semangat.

Pada awalnya usaha-usaha rasyid ridha hanya terbatas pada usaha perbaikan
aqidah dan syariah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi
dengan melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada
usaha-usaha membangkitkan semangat kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran
agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan
dan industri.

Pada tahun 1315 H/18 januari 1898  Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya
untuk menerbitkan suatu surat kabar yang memuat masalah-masalah sosial, budaya,
dan agama. Pada mulanya abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di
mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan yang akan diolah diduga
kurang menarik perhatian umum. Namun rasyid ridha menyatakan tekadnya,
walaupun harus menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah
penerbitan itu. Akhirnya abduh merestui dan memilih al-manar dari sekian banyak
nama yang di usulkan oleh rasyid ridha. Al-manar terbit pertama kali pada 22 syawal
1315 H/17 Maret 1898 M berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat
sambutan hangat, bukan hanya di mesir atau negara-negara arab sekitarnya saja, tetapi
sampai ke eropa bahkan ke indonesia.14

4. Contoh Tafsir Adabi Ijtima’i

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-tafsir sebelumnya


menitikberatkan hanya pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang terdapat pada
ayat, namun penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai ini bukan lagi hanya
mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat
dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-
Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-
Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam),
yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan
antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.

Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz Amma oleh Muhammad
Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.

“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong”.


Kata ‫ أبابيل‬ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing
kelompok mengikuti kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan ‫ طيرًا‬ialah
hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh
penglihatan mata ataupun tidak (3). “yang melempari mereka dengan batu-batu dari
tanah yang membatu”. Kata ‫ سجيل‬berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan
bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.15

Di dalam tafsir tersebut, Muhammad Abduh menjelaskan bahwa lafadz ‫يرا‬SS‫ط‬


tersebut merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit
tertentu. Dan bahwa lafadh ‫ بحجارة‬itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan
racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila
tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya

14
M. Quraish shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridh),hlm. 63-64

15
Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, terj.  Muhammad Bagir (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 320.
melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan
rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.16

Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat soaial
masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi
ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut
dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.

E. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Adabi Ijtima’i

Sebagaimana corak-corak tafsir yang ada, corak tafsir adabi ijtima’i juga mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah  dalam menafsirkan sebuah
ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga
mengkaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan
bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak
berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja).
Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi ijtima’i ini menganalogikan dengan sesuatu
berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya.

Sedangkan  sisi kekurangannya yaitu, terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan
daerah kondisi mufassir tinggal  ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal). Sehingga bisa
dipastikan bahwa penafsiran yang bercorak adabi ijtima’i belum tentu sesuai dengan
keadaan yang ada pada masyarakat lain.

16
Muhammad Abduh. Tafsir Juz Ama, terj. Muhammad Bagir, hlm. 322.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tafsir adaby ijtima’iy adalah tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya dan
kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an
pada segi-segi ketelitian redaksionalnya. kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an,
yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia.

Kemudian tokoh-tokoh yang berperan dalam kajian tafsir adabi ijtima’i ini tidak
terlepas dari para tokoh-tokoh pembaharu di mesir yakni jamaluddin al-Afghani, syekh
Muhammad Abduh,Muhammd Rasyid Ridha dan dilanjutkan oleh ulama-ulama lain,
terutama Muhammad Mustafa Al-Maraghi. Adapun ciri dari corak adabi ijtima’i adalah
penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung
dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.

B. Kritik dan Saran


Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Demikianlah makalah singkat tentang
“Tafsir Adabi Ijtima’i (Sastera dan Sosiologis)” yang dapat kami sampaikan, apabila
terdapat banyak kesalahan atau kekurangan di dalam penulisan makalah ini, sudi kiranya
kami (Penulis) mohon ma’af yang sebesar-besarnya.

Dan kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya dari para pembaca yang
budiman sekalian yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini dan untuk
penulisan makalah kami pada fase selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1998. Tafsir Juz Amma. terj.  Muhammad Bagir. Bandung: Mizan.

Budiman, Kukuh. 2011. Dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9

(Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha). Skripsi Fakultas

Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Imrah, Muhammad. “Corak Tafsir Adabi Ijtima’i” dalam

http//khazanahquranhadits.Wordpress.com/2013/12/20/corak-tafsir-adabi-ijtima’i,

diakses tanggal 21 November 2014 pukul 22.10 WIB.

M. Karman, Supiana. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika.

Shihab, M. Quraish. 20009. Membumikan al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat). Bandung: PT. Mizan Pustaka.

-------1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid Ridha).

Bandung: Pustaka Hidayah.

Anda mungkin juga menyukai