Noorwahidah
Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari Banjarmasin
Abstract: Autenticity of istihsan as syarâ argument disputed by scholars. Group of Hanafiyah, Malikiyah, and most
Hanabilah scholars use istihsan as an argument, but Syafîiyah, Zhahiriyah, Mu’tazili, and Shi’a scholars reject istihsan.
The dispute happened because the difference of interpreting of istihsan. The scholars who use as argument interpret istihsan
as turned away from will of qiyas to more powerful qiyas or specialized qiyas because there is stronger evidence thereof,
meanwhile, scholars who refuse define istihsan as all things considered good by the mujtahid by his wits. Substantively all
scholars, both who use and who reject istihsan using it in some law conclusion, although scholars who reject not call it as
an istihsan. They categorize it as a qiyas.
Abstrak: Kehujjahan istihsan sebagai dalil syarâ diperselisihkan oleh para ulama. Kelompok Hanafiyah,
Malikiyah, dan sebagian Hanabilah menggunakannya, tetapi ulama-ulama Syafîiyah, Zhahiriyah,
Muktazilah, dan Syiah menolak. Perselisihan tersebut terjadi karena mereka berbeda dalam memberikan
pengertian terhadap istihsan. Para ulama yang menggunakannya mengartikan istihsan adalah berpaling
dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas karena ada dalil yang lebih kuat
daripadanya, semenntara ulama-ulama yang menolak mendefinisikannya sebagai semua hal yang dianggap
baik oleh mujtahid menurut akalnya. Secara substantif semua ulama, baik yang mendukung maupun
menolak sama-sama menggunakan istihsan dalam beberapa istimbath hukum, namun ulama yang menolak
tidak menyebutnya dengan istilah istihsan. Mereka mengkategorikannya sebagai qiyas.
Bagi ulama Malikiyah teori istihsan merupakan Karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai
salah satu teori dalam mencapai kemaslahatan kehujjahannya. Secara garis besar mereka terbagi
yang merupakan tujuan syarâ dalam menetapkan kepada dua golongan. Pertama, ulama-ulama yang
hukum.15 Ibn Arabi al-Maliki mendefinisikan memperbolehkan penggunaan istihsan. Mereka
istihsan sebagai berikut: adalah ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah dan
االستحسان ترك مقتضى الدليل على طريق االستثناء و sebagian Hanabilah. Kedua, ulama-ulama yang tidak
16
الرتخص ملعارضة ما يعارضه ىف مقتضياته menyetujui penggunaan istihsan. Mereka adalah
“Istihsan adalah meninggalkan suatu dalil ulama-ulama Syafîiyah, Zhahiriyah, Muktazilah,
dengan menggunakan metode pengecualian dan dan Syiah, terutama Syiah Koptik.
rukhsah dikarenakan ada hal yang bertentangan Golongan pertama dipimpin oleh ulama
dalam pelaksanaan dalil tersebut.” Hanafiyah, seperti diriwayatkan oleh Imam
Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Musthasfâ Muhammad bin Hasan r.a. bahwa tidak ada larangan
vol. I, hal. 137 mengatakan bahwa istihsan adalah bagi seorang mujtahid menggunakan istihsan dalam
semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menentukan hukum suatu permasalahan tertentu.
menurut akalnya. Pendapat ini disepakati oleh ulama Malikiyah
Definisi yang lebih jelas dan mudah difahami seperti diriwayatkan oleh Imam Malik r.a. sendiri
dikemukakan oleh Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan dan Asba' bin Faraj bahwa penggunaan istihsan
Prof. Drs. Fatchurrahman. Menurutnya, “istihsan oleh mazhab Maliki lebih dominan daripada qiyas
adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk dalam permasalahan fikih. Begitu pula ulama
menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) Hanabilah seperti yang diriwayatkan oleh Jalal ad-
atau meninggalkan hukum kulli untuk menjalankan Din al-Mahally dan disepakati oleh al-'Athar dalam
hukum istisnâi (pengecualian) disebabkan ada dalil hasyiyah-nya yang dinukil dari Imam al-Amidi dan
yang menurut logika membenarkannya.”17 Ibnu Hajib. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
Definisi terakhir ini menegaskan bahwa 1. Firman Allah swt. dalam surat az-Zumar (39)
istihsan menyangkut salah satu dari dua hal. ayat 17:
Pertama, meninggalkan qiyas jali (nyata) untuk
menggunakan qiyas khafi (samar), atau kedua,
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“Mereka yang mendengarkan perkataan lalu
meninggalkan hukum kulli untuk menggunakan mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
hukum istisnâi. Semua itu dilakukan karena ada dalil Menurut mereka, ayat ini menunjukkan
yang mendukung. Dalil tersebut bersifat logis dan keutamaan dan keharusan untuk mengikuti yang
bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. baik. Keutamaan dan keharusan merupakan
Dari keseluruhan definisi di atas terlihat bahwa pertanda hujjiyyah /dasar hukum. Karena itu,
istihsan terkait dengan dua hal penting. Pertama, peng gunaan istihsan sebagai dasar hukum
qiyas. Dengan adanya qiyas maka persoalan istihsan dibolehkan.
muncul. Kedua, maslahat manusia. Dengan tujuan 2. Firman Allah swt. dalam surat az-Zumar (39)
inilah Imam Abu Hanifah mengonsep istihsan ayat 55:
sebagai metode ijtihad. Karena itu, istihsan dalam
mayoritas penggunaan hampir tidak lepas dari qiyas واتبعوا أحسن ما أنزل إليكم من ربكم
dan maslahat, walaupun dalam pembagiannya ada “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah
beberapa ulama yang mengaitkan istihsan dengan diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.
sumber hukum lainnya seperti Alquran, sunah, Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt.
dan ijmak. memuji golongan manusia yang apabila dihadapkan
kepada mereka perkara-perkara yang baik dan lebih
Kehujjahan Istihsan baik, mereka memilih perkara yang lebih baik.
Sebagaimana dikemukakan di atas, istihsan 3. Hadis riwayat Abdullah bin Mas'ud r.a.:
adalah dalil syarâ yang diperselisihkan (mukhtalaf fîh). "إ ّن هللا ـ عز وجل:روي عن عبدهللا بن مسعود أنّه قال
15
Chaerul Umam, dkk., op. cit., hlm. 119. ـ نظر يف قلوب عباده فاختار حممدا ـ صلى هللا عليه وآله
16
Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar, op. cit., hlm. 247. مث نظر يف قلوب العباد فاختار له، فابتعثه برسالته،وسلم ـ
17
Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar- فما رآه املسلمون، فجعلهم أنصار دينه ووزراء نبيه،أصحااب
Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, PT Al-Mâarif,
Bandung, 1986, hlm. 100. وما رآه املسلمون قبيحاً فهو،حسنا فهو عند هللا حسن
عند هللا قبيح
16 SYARIAH Jurnal Hukum dan Pemikiran, Volume 16, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 13- 24
Muhammad bin Idris asy-Syafîi , Al-Umm, Dar al-Kutub Tsaqâfah, Kairo, 1996, hlm. 330. lihat juga ibid., hal.
al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 2002, Jilid 7, hlm. 39-40. lebih lengkap lihat Muhammad bin Idris asy-Syafîi,
267-277. Al-Umm, op. cit., hlm. 273.
18 SYARIAH Jurnal Hukum dan Pemikiran, Volume 16, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 13- 24
Dalam konteks ini, Imam Ghazali dari Syafîiyah sepanjang istihsan dimaknai sebagai pengambilan
mengatakan, "Ini (wujud istihsan) adalah hal yang yang terbaik dengan dasar dan landasan yang kuat,
tidak diingkari oleh semua ulama, akan tetapi bukan didasarkan kepada kemauan atau kehendak
pengingkaran terletak pada lafaz dan pengkhususan hawa nafsu semata. Dengan kata lain, istihsan yang
jenis dalil ini dan penamaannya sebagai istihsan."21 ditolak oleh kedua Imam tersebut adalah istihsan
Perkataan Imam Syafîi r.a. yang menyatakan yang hanya berorientasi kepada sesuatu yang
bahwa orang yang menggunakan istihsan telah dianggap baik tanpa dilandasi oleh nas atau dalil
membuat syariat baru mengandung makna syariat, tetapi semata-mata hanya untuk memuaskan
bahwa barangsiapa menggunakan istihsan dengan nafsu dan taladzdzudz (bersenang-senang).
mengikuti hawa nafsunya sendiri maka seakan-akan Jika demikian pandangan Imam Syafîi dan
ia menjadi seorang nabi yang memiliki syariat. Imam Ahmad bin Hanbal berarti secara substantif
Jika dicermati lebih jauh, apabila istihsan tidak ada perbedaan mendasar antara kedua Imam
dimaknai sebagai seorang mujtahid mengambil yang tersebut dengan Imam Hanafi dan para ulama
terbaik dari beberapa nas atau dari beberapa qiyas yang menggunakan istihsan. Dalam pandangan
atas nas tersebut karena ketiadaan nas, hal ini tidak Imam Hanafi, Istihsan bukanlah untuk memuaskan
ditentang oleh Imam Syafîi, seperti yang diuraikan hawa nafsu dan tanpa dalil, tetapi menarjih
di dalam Kitab Pembatalan Istihsan. Bahkan dengan suatu dalil dengan dalil yang lain. Karena itu, di
makna seperti ini, Imam Syafîi dalam berbagai dalam pembahasan definisi istihsan, Imam Syatibi
kesempatan juga menggunakan istihsan untuk menambahkan, ”Orang yang menggunakan
menqistimbath hukum berbagai masalah, walaupun, istihsan tidak boleh hanya berdasarkan keinginan
tentu saja, Imam Syafîi tidak menyebutnya sebagai dan menurutkan hawa nafsunya semata. Ia harus
istihsan karena ia dengan tegas menolak istihsan. memiliki ilmu dan pemahaman mengenai maqasid
Imam Syafîi menyebutnya qiyas. Baginya, semua syariah (tujuan syariat) dalam konteks yang lebih
persoalan hukum yang tidak termuat secara eksplisit luas.”23
di dalam Alquran dan sunah dapat diselesaikan
dengan qiyas. Penerapan Istihsan Sebagai Dalil Syarâ
Di antara contoh istimbath hukum Imam Syafîi Sebagaimana perbedaan ulama di dalam
yang sejalan dengan teori istihsan adalah: memberikan definisi dan kedudukan hujjiyyah
1. menentukan nilai mut’ah yaitu sebanyak 30 istihsan, mereka juga berbeda pendapat dalam
dirham; penerapan istihsan sebagai dalil syarâ. Secara
membatasi waktu syuf ’ah (hak prioritas umum, mereka terbagi kepada dua golongan:24
pembelian) dengan berpendapat bahwa Pertama, ulama yang menggunakan istihsan secara
waktu syuf ’ah bagi pemegang hak prioritas mutlak tanpa mempersoalkan apakah maslahat
(syafi’) adalah tiga hari. yang terdapat di dalamnya merupakan maslahat
Imam Ahmad bin Hanbal juga menggunakan dharuriyyah (primer), hajjiyyah (sekunder), atau
istihsan dengan pengertian ini. Menurut Ibn tahsiniyyah (tersier). Ulama yang masuk ke dalam
Taimiyyah, di dalam riwayat al-Maimuni, Imam golongan ini adalah ulama-ulama Hanafiyah,
Ahmad menggunakan istihsan ketika berpendapat Malikiyah, dan sebagian Hanabilah dalam ruang
bahwa setiap orang harus bertayammum pada lingkup yang lebih luas.
setiap kali akan shalat sampai batal atau mendapat Yang dimaksud dengan dharuriyyah (skala
air, padahal qiyasnya adalah hanya sekali seperti primer) adalah sesuatu yang menjadi ketergantungan
wudu dengan air.22 manusia baik itu di dunia maupun di akhirat;
Pandangan-pandangan dan praktek istimbath hajjiyyah (skala sekunder) adalah suatu hal yang
hukum yang pernah dilakukan oleh Imam Syafîi dianggap maslahat dan dibutuhkan oleh manusia
dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana serta berfungsi untuk memudahkan sesuatu yang
dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kedua sulit; dan tahsiniyyah (skala tersier) adalah mengambil
imam besar ini tidak menolak istihsan secara a priori kebiasaan yang baik dan melaksanakan kemuliaan
21
Muhammad al-Khudhari, Ushûl al-Fiqh, Dâr al-Hadîs, 23
Ibid., hlm. 248
Kairo, 2003, hal. 330. 24
Zainal Abidin al-'Abd Muhammad Nur, op.cit., hlm. 171-
22
Umar Sulaiman al-Asyqar, op. cit., 245. 180.
Noorwahidah, Dalil Syarâ yang Diperselisihkan 19
akhlak. 25 Ketiga skala tersebut merupakan Hanbal r.a.28 Beberapa ulama Syafîiyah seperti Imam
pembagian maqashid asy-syarîah ditinjau dari segi Haramain juga lebih sependapat dengan Imam
pengaruhnya terhadap masyarakat. Malik r.a. dalam masalah ini. Walaupun Mazhab
Menurut teori maqasid asy-syari’ah, setiap Syafîi mengingkari adanya istihsan, beberapa
maslahat umat harus terus dijaga karena ia adalah ulama Syafîiyah mengakui penggunaan maslahat.
tujuan diturunkannya syariat Islam. Dalam kaitan Mereka tidak membedakan dan memilah-milah
antara mashlahah dam maqashid, dapat dijelaskan antarmaslahat tersebut.
bahwa maqashid syariah adalah mashalih yang Kedua, ulama yang membedakan maslahat,
dikembalikan terhadap manusia di dunia dan di yaitu Imam Syafîi dan Imam Ghazali. Meskipun
akhirat, baik dengan cara mengambil manfaat atau ada beberapa ulama Syafîiyah yang tidak memilah-
menolak mudarat. Maqashid asy-syarîah mengandung milahkan maslahat, namun Imam Syafîi dan Imam
mashlahah bagi manusia. Dalam kaidahnya, maqashid Ghazali memilahkannya. Bagi mereka, jika maslahat
asy-syarîah harus berdasarkan mashlahah, tapi tidak masuk dalam bagian primer dan sekunder, boleh
semua mashlahah merupakan maqashid. Karenanya, digunakan istihsan [tentu yang dimaksud di sini
mashlahah tidak boleh bertentangan dengan nash adalah istihsan dalam pengertian yang bisa diterima
syar’i. Jika terjadi pertentangan, hal itu tidak bisa keduanya] sebagai ijtihad didalamnya, tetapi
dinamakan mashlahah. apabila masuk kategori tersier, istihsan tidak boleh
Pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian digunakan. Pandangan Imam Syafîi mengenai hal
Hanabilah sebagaimana disebutkan di atas ini diutarakan oleh Imam Baidhawi r.a. bahwa
ditegaskan oleh Imam al-Qarafy dalam bukunya hanya maslahat primer yang diperhatikan ketika
Syarah al-Mahshul yang menolak pendapat Imam ar- ada permasalahan, sedangkan maslahat lainnya
Razy mengenai pembatasan maslahat dengan dalil yang tidak membahayakan manusia tidak boleh
perkataan dan perbuatan para sahabat yang tidak digunakan ijtihad apabila sudah ada nas. Imam
membatasi jenis maslahat dalam berijtihad.26 Ibn al- Haramain, yang mengambil nas dari Imam
Arabi dari kalangan Malikiyah menyatakan, “Istihsan Syafîi r.a., mengatakan, “Imam Syafîi r.a. tidak
yang digunakan oleh Imam Malik r.a. dikhususkan memperbolehkan pengecualian dan berlebihan
untuk maslahat.”27 Ungkapan ini menunjukkan dalam menentukan hukum suatu maslahat. Ia lebih
bahwa maslahat yang dimaksud bersifat mutlak memilih mengorelasikan hukum-hukum dengan
tanpa perincian primer, sekunder, maupun tersier. maslahat-maslahat yang menjadi kebutuhan pokok
Penggunaan ini terlihat antara lain dalam penafsiran secara umum saja.”29
surat al-Baqarah ayat 233: Pendapat Imam Ghazali mengenai hal ini
tertuang di dalam karyanya yang berjudul Syifâ'
"... "والوالدات يرضعن أوالدهن حولني كاملني al-Ghalîl dan al-Mustashfâ. Ia menspesifikasikan
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh,… pengambilan maslahat apabila hanya berada dalam
Menurut Imam Malik r.a., bagi seorang ibu tataran primer seperti yang tercantum dalam Syifâ'
yang menyusui anaknya, masa dua tahun seperti al-Ghalîl atau primer dan sekunder saja seperti yang
yang tercantum dalam ayat di atas masuk dalam tercantum dalam al-Mustashfâ.
kategori maslahat tersier, bukan maslahat primer Perbedaan pandangan mengenai penerapan
maupun sekunder yang dalam kasus ini adalah maslahat dalam berijtihad, termasuk dalam masalah
pentingnya susu bagi seorang anak, tanpa perincian istihsan, tidak hanya terjadi di kalangan ulama-ulama
masa pemberian susu kepada anak tersebut. klasik. Para ulama kontemporer pun berbeda
Ibnu Daqiq al-’Ied mengatakan, yang rajih pendapat mengenai hal tersebut. Secara umum
dalam penggunaan istihsan adalah pendapat Imam mereka terbagi kepada dua kelompok.30
Malik r.a., kemudian pedapat Imam Ahmad bin Kelompok pertama, golongan yang berlebihan
dalam memandang maslahat sampai berpendapat
25
Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî, Dâr al-Fikr, bahwa maslahat dapat membatalkan nas suatu
Damaskus, cet.3, 2005, juz 2, hlm. 309-317.
26
Imam al-Qarafi, Nafâis al-Ushûl fi Syarh al-Mahsul, 28
Muhammad bin Yusuf (Abu Hayyan al-Andalusi), Al-
Maktabah Nubbaz Musthafa al-Baz, Makkah al- Bahr al-Muhîth, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1993,
Mukarramah, t.th., vol. III, hlm. 200. vol 3, hlm. 240.
27
Ibnu Arabi, Ahkâm al-Qurân, Dar al-Fikr, Beirut, t.th. 29
Ibid., hal. 241.
vol. II, hlm. 746. 30
Zainal Abidin al-'Abd Muhammad Nur, op.cit., hal 221.
20 SYARIAH Jurnal Hukum dan Pemikiran, Volume 16, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 13- 24
hukum tertentu atau paling tidak maslahat lebih Qiyâs dan Istihsan
dikedepankan, baru disesuaikan dengan nas. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, di
Salah seorang ulama yang berprinsip demikian samping maslahat, masalah yang berhubungan
adalah Abdul Wahhab Khalaf. Ia seorang ulama dengan istihsan adalah qiyas. Keduanya mempunyai
yang mengedepankan maslahat baru kemudian hubungan yang sangat erat, bahkan jika diperhatikan
menyesuaikannya dengan nas. Menurutnya, keterangan Abdul Wahhab Khallaf dan definisi-
Nabi Muhammad s.a.w. menggambarkan kepada definisi istihsan yang ada, terlihat bahwa unsur
sahabat-sahabatnya metode yang digunakan dalam pembentukan istihsan itu adalah qiyâs jali dan qiyâs
menentukan suatu hukum; yaitu mengarahkan khafi. Karena itu, apabila terjadi pertemuan antara
mereka terlebih dahulu kepada nas dari Alquran dan istihsan dan qiyâs, dapat dijabarkan menjadi empat
sunah kemudian ijtihad sebagai metode alternatif. bagian, istihsan dua bagian dan qiyâs dua bagian. Dua
Namun, ia juga mengatakan bahwa para sahabat bagian yang dimiliki oleh istihsan adalah istihsan yang
kadang-kadang melihat hukum melalui ijtihad kuat pengaruhnya dan istihsan yang tersembunyi
mereka yang sesuai dengan maslahat, meskipun kerusakannya dan terlihat kebenarannya; sedangkan
berbeda dengan zahir nas dari makna hukum dua bagian yang dimiliki oleh qiyâs adalah qiyâs
tersebut. yang lemah pengaruhnya dan qiyâs yang terlihat
Di samping Abdul Wahhab Khallaf, Syekh kerusakannya dan tersembunyi kebenarannya.
Ali Hasballah juga berpendapat demikian. Di Pertentangan di antara keempat hal tersebut
dalam bukunya Ushûl Tasyri’ ia menjelaskan bahwa bukanlah hal yang mustahil terjadi. Karenanya, jika
maslahat lebih dikedepankan daripada nas. Apabila pertentangan itu terjadi, cara penggunaan dalil yang
ada pertentangan antara maslahat dan nas, maslahat tepat adalah sebagai berikut:
harus dikedepankan terlebih dahulu. 1. Bagian pertama dari istihsan.
Kelompok kedua, g olongan yang tetap
2. Bagian pertama dari qiyâs.
berpegang pada nas dalam kondisi dan tidak lebih
mengutamakan maslahat. Syekh Muhammad 3. Bagian kedua dari qiyâs.
Musthafa asy-Syulbi, salah seorang ulama Malikiyah, 4. Bagian kedua dari istihsan.
menjelaskan metode Imam Malik r.a. dalam Untuk memperjelas keterangan di atas dapat
berijtihad bahwa nas-nas yang ada merupakan dikemukakan dalam contoh berikut, yaitu hukum
intisari yang digunakan manusia untuk menjaga air sisa minuman burung yang buas seperti gagak,
maslahatnya. Oleh sebab itu segala hal yang menjadi rajawali, dan elang. Menurut qiyas, air sisa minuman
maslahat manusia, itulah yang menjadi makna bagi itu najis, namun menurut istihsan, air itu suci.
nas tersebut. Ditinjau dari sudut qiyas, air sisa minuman
Syekh Abdullah bin Baz, mufti Arab Saudi, burung buas itu najis karena sisa minuman burung-
dalam beberapa fatwanya menjelaskan, maslahat burung yang diharamkan memakannya sama
manusialah yang mengikuti nas. Jika terjadi dengan sisa minuman binatang buas yang juga
pertentangan di antara keduanya, nas yang sharîh diharamkan, seperti harimau, singa, dan serigala.
digunakan sebagai hukum yang rajih. Hal ini dapat Alasannya, hukum sisa minuman dari hewan-hewan
dilihat dari beberapa pendapatnya tentang haji dan tersebut mengikuti hukum dagingnya. Namun,
umrah bagi wanita. menurut istihsan, sisa minuman burung buas itu
Walaupun pada kesimpulan terakhir, para ulama suci. Ada perbedaan antara burung buas dengan
kontemporer lebih banyak menggunakan kaidah la binatang darat yang buas. Burung-burung buas
ifrath wa la tafrith fi ad-din (tidak berlebih-lebihan walaupun diharamkan dagingnya, ludah yang keluar
dalam agama dan tidak pula meninggalkan sama dari perutnya tidak bercampur dengan sisa air bekas
sekali). Semuanya disesuaikan dengan situasi dan yang diminumnya; sedangkan binatang darat yang
kondisi dengan lebih mengedepankan kemudahan buas air liurnya bercampur dengan sisa air yang
dan tidak mempersulit dalam menentukan hukum. diminumnya. Hal itu terjadi karena burung minum
Metode inilah yang dipakai Dr. Yusuf Qaradhawi menggunakan paruh yang terbuat dari tulang yang
dalam berfatwa.31 suci dan binatang darat minum menggunakan
mulutnya.32
Yusuf Qaradhawi, Fatâwâ Mu'ashirah, Dar al-Qalam,
31
Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, op. cit., hlm.
32
Dari contoh di atas, qiyâs jali-nya adalah sisa air atau lemahnya pengaruh qiyâs tersebut. Dua hal ini
yang diminum oleh binatang buas adalah najis. Kata pula yang menjadi asas al-istihsan al-qiyâsi.
‘buas’ identik dengan pemakan daging dan setiap Contoh lain dari al-istihsan al-qiyâsi adalah
binatang pemakan daging adalah najis. Sedangkan masalah aurat wanita. Pada dasarnya aurat wanita
qiyâs khafi-nya adalah sisa air yang diminum yang tidak boleh dilihat oleh yang bukan muhrim
burung buas tidak najis sebagaimana sisa minuman meliputi seluruh tubuhnya kecuali muka dan
manusia. Antara manusia dan burung buas ada telapak tangan, tetapi dokter diperbolehkan melihat
kesamaan, yaitu sama-sama makhluk hidup yang bagian-bagian lain dari tubuh wanita tersebut untuk
haram dimakan dagingnya. Illat yang digunakan keperluan medis. Dalam hal ini ada dua qiyâs yang
adalah bercampurnya ludah yang najis dengan air. dipakai. Pertama, ketetapan syariat tentang aurat
Hal itu dapat terjadi pada binatang buas, tetapi tidak wanita dan keharaman melihat aurat tersebut. Kedua,
terjadi pada burung karena burung menggunakan kebolehan wanita yang berpenyakit membuka aurat
paruh waktu minum bukan lidah atau mulut seperti yang diperlukan bagi dokter untuk pengobatannya.
binatang buas. Illat dari kebolehan tersebut adalah menjauhi
Penetapan hukum suci terhadap air bekas kesulitan.
minuman burung buas sebagaiamana diuraikan di Kedua, yang menjadi illat bukan kuat atau
atas merupakan bentuk istihsan yang mengedepankan lemahnya pengaruh qiyâs, tetapi ada pengaruh luar
qiyas khafi (samar) atas qiyas jali (jelas/terang).33 yang berperan di dalamnya. Istihsan dalam bentuk
Bentuk Istihsan semacam ini disebut istihsan qiyas ini terbagi kepada tiga macam:
(al-istihsan al-qiyasi). 1. Istihsan sunah, yaitu apabila ada ketetapan dari
sunah yang mewajibkan untuk menolak qiyâs.
Bentuk-Bentuk Istihsan Misalnya, sahnya puasa seseorang yang makan
Sebagai dalil syarâ yang masih diperselisihkan atau minum dalam keadaan lupa. Keadaan ini
kehujjahannya oleh para ulama, pembagian istihsan diqiyaskan oleh para ulama dengan seseorang
tidak terlepas dari perbedaan tersebut. Semuanya yang berbuka di tengah hari. Akan tetapi ulama
dipengaruhi oleh definisi-definisi yang berbeda, Hanafiyah menolak qiyâs ini dan menggunakan
juga dalil-dalil yang dipakai dalam pembentukan istihsan sunah untuk mengesahkan puasa yang
istihsan. bersangkutan.
Ulama Hanafiyah membagi istihsan menjadi 2. Istihsan ijmak, yaitu meninggalkan qiyâs pada
dua macam:34 permasalahan yang telah menjadi ijmak walaupun
Pertama, al-istihsan al-qiyâsi, yaitu mentarjihkan memiliki hukum yang berbeda dengan qiyâs
qiyas yang tidak nyata (samar-samar/khafi) atas tersebut. Misalnya, kebolehan jual beli secara
qiyas yang nyata (jali) berdasarkan suatu dalil,35 salam (jual beli dengan pembayaran terlebih
seperti contoh di atas. Istihsan dalam bentuk ini dahulu, barang yang dibeli dikirim kemudian)
terjadi apabila dalam satu permasalahan terdapat dan istishnâ (memesan untuk dibuatkan sesuatu
dua macam qiyâs, salah satunya zahir disebut qiyâs yang belum ada atau jual beli secara inden). Jika
isthilâhi dan kedua khafi yang memerlukan sandaran menggunakan qiyâs maka akad itu batil, karena
kepada asal yang lain. al-istihsan al-qiyâsi, dapat terjadi barang tidak ada di tempat ketika pelaksanaan
apabila qiyâs khafi memiliki pengaruh dan implikasi akad. Akan tetapi karena akad semacam ini
lebih besar dari qiyas jali. Syamsu al-A'immah as- sering dilakukan orang dan sudah menjadi
Sarakhsi mengatakan, “Istihsan sebenarnya adalah kebiasaan maka akad itu dinyatakan sah. Illat
dua qiyâs yang satu jali akan tetapi memiliki pengaruh yang dijadikan argumen di dalam kasus ini
yang lemah dinamakan dengan qiyâs dan kedua khafi ijmak atau kebiasaan, sehingga qiyâs yang ada
yang memiliki pengaruh yang besar dinamakan dapat ditinggalkan. Istihsan ijmak dapat juga
istihsan.” 36 Kemudahan bagi manusia dan menjauhi disebut istihsan ‘urf. Istihsan ini digunakan untuk
kesulitan (raf'u al-haraj) merupakan asas dari kuat menghindari kesulitan menentukan hukum
ketika berhadapan dengan kebiasaan umum.
33
Zainal Abidin al-'Abd Muhammad Nur, op.cit., hal 328.
34
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 242. 3. Istihsan dharûrah, yaitu apabila dalam suatu
35
Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, op. cit., permasalahan terdapat bahaya yang dapat
hlm. 101. mengancam. Misalnya, tidak melakukan
36
Ibid., hlm. 240.
22 SYARIAH Jurnal Hukum dan Pemikiran, Volume 16, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 13- 24
pembersihan terhadap air di dalam sumur atau jika seseorang menzakatkan seluruh hartanya
telaga yang terkena najis dan menetapkannya suci tanpa disertai dengan niat zakat, kewajiban
karena kesulitan melakukan pembersihan itu dan zakat tersebut tidak gugur. Argumentasi
membahayakan. Apabila qiyâs yang digunakan yang dikemukakan adalah bahwa dalam
dengan mengiaskannya kepada tempat air lain melaksanakan pekerjaan yang wajib, niat
yang dapat dibersihkan, air di dalam sumur itu merupakan syarat yang harus dipenuhi. Jika
bisa saja dibersihkan; dan jika tidak dibersihkan seseorang menzakatkkan seluruh hartanya tanpa
air itu akan terus bernajis sehingga tidak berniat untuk menggugurkan kewajibannya (niat
dapat dipakai untuk bersuci. Namun, dengan zakat) maka kewajiban zakatnya tidak gugur.
menggunakan istihsan, air tersebut dihukumkan Hal ini sama dengan orang yang shalat atau
suci tanpa harus dibersihkan dari najis karena melaksanakan ibadah puasa wajib tanpa disertai
kesulitan melakukan pembersihannya dan dengan niat. Ibnu Quddamah dalam kitabnya
membahayakan. Hal tersebut disepakati oleh Al-Mughni mengatakan, hukum seseorang
jumhur ulama dalam menentukan kesucian air menyedekahkan semua hartanya adalah sunah.
dilihat dari banyak atau sedikitnya air itu. Jika tidak berniat zakat, ia tidak mendapat
pahala zakat dan tidak gugur kewajiban zakatnya
Implikasi Istihsan dalam Penetapan Hukum tersebut.
Meskipun ada titik persamaan antara ulama 2. Para ulama berbeda pendapat mengenai syarat
pendukung dan penentang istihsan dalam beberapa muamalat yang telah ditetapkan oleh kebiasaan
hal namun perbedaan mereka tetap lebih menonjol. manusia, seperti garansi yang ditetapkan bagi
Perbedaan tersebut melahirkan perbedaan hukum pembeli barang sesuai kesepakatan kedua
yang mereka tetapkan. Berikut beberapa contoh belah pihak. Ulama-ulama Hanafiyah dan
perbedaan tersebut. Malikiyah berpendapat, syarat muamalat yang
1. Para ulama sepakat bahwa zakat yang dikeluarkan telah ditetapkan kebiasaan manusia adalah
oleh muzakki (orang yang berzakat) harus disertai sah hukum akad dan syaratnya. Dalam hal ini
dengan niat. Zakat tidak sah tanpa niat untuk mereka menggunakan istihsan untuk menganulir
memisahkan antara harta yang dizakati dan zakat qiyas yang mengharuskan akad jual beli tanpa
yang dikeluarkan. Akan tetapi mereka berbeda ada syarat tertentu, walaupun dalam hadis
pendapat dalam hal menzakatkan seluruh harta Rasulullah sendiri ada dalil yang melarang
tanpa niat zakat. Apakah kewajiban zakat yang mengumpulkan syarat dan jual beli dalam satu
bersangkutan sudah gugur atau muzakki masih akad. Ulama Malikiyah bahkan lebih jauh lagi,
memiliki tanggungan sampai dia meniatkan menganggap sah syarat apa pun asalkan hal
zakat yang dikeluarkan? tersebut merupakan kesepakatan kedua belah
Imam Hanafi dan pengikutnya berpendapat, pihak. Pendapat ini berbeda dengan pendapat
kewajiban zakat tersebut telah gugur sehingga ulama Syafiiyah, Zhahiriyah dan Syiah. Menurut
muzakki tidak perlu mengeluarkan zakat lagi. Di mereka, setiap syarat yang dikumpulkan bersama
dalam kitab Al-Hidayah dikatakan, barangsiapa akad jual beli hukum syaratnya batal.
berzakat dengan seluruh hartanya, tetapi ia Dalam kasus ini yang rajih menurut pendapat
tidak menyertainya dengan niat zakat, gugurlah ulama, terutama ulama kontemporer, adalah
kewajibannya. Pendapat ini didasarkan atas pendapat pertama dari ulama Hanafiyah dan
istihsan. Penggunaan dalil istihsan terhadap Malikiyah, dilihat dari berbagai aspek terutama
zakat tanpa niat tersebut adalah apabila nisab aspek maslahat dan keridlaan kedua belah pihak
zakat harta sudah tercapai. Jika sesuatu sudah atas syarat tersebut.
ditentukan, tidak perlu penentuan lagi karena Dari dua contoh di atas terlihat bahwa
ketentuan tersebut hanyalah untuk menyatakan istihsan yang digunakan oleh para ulama Hanafiyah,
kewajiban. 37 Malikiyah dan sebagian Hanabilah menghasilkan
Mazhab Syafîi dan Hanbali berpendapat, produk hukum yang berbeda dengan ulama lainnya.
kewajiban itu tidak gugur. Dalam kitab Al- Walaupun dari segi dalil mereka lebih banyak
Majmu’ karya Imam Nawawi r.a. dikatakan, mengedepankan maslahat umum daripada nas
Rachmat Syafie'i, MA, op.cit., hlm. 114
37
Noorwahidah, Dalil Syarâ yang Diperselisihkan 23
yang ada. Keberadaan istihsan sebagai dalil syarâ dan Nur, Zainal Abidin al-'Abd Muhammad, Prof.
metode ijtihad memudahkan masyarakat muslim Dr., Ra’yu Ushuliyyîn fi Mashâlih al-Mursalah
untuk saling berinteraksi antarsesama. wa al-Istihsan, Darul Buhuts li al-Dirasah
al-Islamiyah wa ‘Ihyâ Turats, U.A.E, 2004,
Kesimpulan vol. II.
Dari uraian dan pembahasan yang dipaparklan Qaradhawy, Yusuf, Dr., Fatâwâ Mu’ashirah, Dar
di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai al-Qalam, Kairo, 2003, vol. 1.
berikut: Qarafy, Imam Al-, Nafâ’is al-Ushûl fi Syarh al-
1. Perbedaan pendapat mengenai istihsan sebagai Mahshul, Maktabah Nubbaz Musthafa al-
dalil syarâ bersumber dari perbedaan pandangan Baz, Makkah al-Mukarramah, t.th, vol. III.
mengenai pengertian istihsan itu sendiri. Pada
Syafie'i,. Rachmat Prof. Dr. H., M.A, Ilmu Ushul
hakekatnya, semua ulama meng gunakan
Fiqih, Pustaka setia, Bandung, Cetakan
maslahat sebagai maqashid syâriah (tujuan syariat)
Pertama, 1999.
di dalam ijtihad mereka, sementara maslahat
adalah masalah pokok dalam persoalan istihsan. Syafîi, Muhammad bin Idris Asy-, Al-Umm, Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetaka Pertama,
2. Meskipun para ulama berbeda pendapat
2002, Jilid 7.
mengenai kehujjahan istihsan, secara substantif
mereka sama-sama menggunakannya di dalam Yahya, Mukhtar, Prof. Dr., dan Prof. Drs.
istimbath hukum. Para ulama Hanafiyah, Malikiyah Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan
dan sebagian Hanabilah adalah pendukung Hukum Fiqh Islami, PT Al-Mâarif, Bandung,
dan pengguna istihsan dalam ijtihad mereka; 1986.
sementara Imam Syafîi dan pengikutnya menolak Yunus, Mahmud, Prof. Dr. H., Kamus Bahasa Arab-
penggunaan istihsan sebagai dalil syara‘, namun Indonesia, PT Hidakarya Agung, Jakarta,
dalam beberapa hal mereka menggunakannya Cetakan Kedelapan, 1990.
meskipun mereka tidak menyebutnya sebagai Yusuf, Muhammad bin (Abu Hayyan al-Andalusi),
istihsan. Al-Bahr al-Muhîth, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
3. Meskipun secara substantif para ulama Beirut, 1993.
sama-sama menggunakan istihsan, perbedaan Umam, Chaerul, Drs., dkk., Ushul Fiqh 1, Pustaka
pandangan mereka tentang perngertian istihsan Setia, Bandung, Cetakan Kedua, 2000.
mengakibatkan terjadi perbedaan hukum yang Zahrah, Muhammad Abu, Ushûl Fiqh, Dâru'l fikri
dihasilkan dalam istimbath. al-Araby, Kairo, 2004.
4. Penggunaan istihsan yang dilandasi oleh nas Zaidan, Abdul Karim, Dr., Al-Wajiz fi Ushul al-
dan tidak didasarkan kepada keinginan hawa Fiqh, Muassasah ar-Risalah, Beirut, Cetakan
nafsu dapat memberikan jalan keluar terhadap Kelima, 1996.
berbagai problema hukum Islam yang muncul
di dalam perkembangan dunia modern. Zuhaili, Wahbah Az-, Prof. Dr., Ushûl al-Fiqhi al-
Islâmîy, Dâr al-Fikr, Damaskus, Cetakan
Ketiga, 2005, juz 2
DAFTAR PUSTAKA
Araby, Ibnu, Ahkâm al-Qurân, Dar al-Fikr, Beirut,
t.th. vol. II.
Asyqar, Umar Sulaiman Abdullah Al-, Dr.,
Nazhariyat Fi Ushul al-Fiqh, Dar an-Nafâis,
Oman, Cetakan kedua, 2004.
Bardisi, Muhammad Zakaria Al-, Ushûl Fiqh, Dar
ats-Tsaqâfah, Kairo, 1996.
Hakim, Abdul Halim, Al-Bayân fi ‘Ilmi Ushûl al-Fiqh,
Darussalam Press, Gontor, t.th. vol. III.
Khudhary, Syekh Muhammad Al-, Ushûl Fiqh, Dâr
al-Hadîs, Kairo, 2003.