Anda di halaman 1dari 34

KONSTITUSI MADINAH DAN KETATANEGARAAN

MODREN

Disusun
Oleh:

Ayu Syofia Cindy 2105111604

Fitri Rohani 2105111263

Muhammad Raihan 2105136271

Rio Hariansyah 2105113568

Saputri Kenanga Dewi 2105113569

Suci Ranisya Putri 2105113571

Yori Alfitra Salam 2105124812

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PPKN

FAKULTAS FKIP

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah maka saya boleh menyelesaikan
sebuah makalah dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul


“Konstitusi Madinah Dan Ketatanegaraan Modern”, yang menurut saya dapat
memberikan manfaat yangbesar bagi kita untuk mempelajari Konstitusi Madinah
Dan Ketatanegaraan Modern.

Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar


pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.

Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa


terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat
memberikan manfaat.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 3

BAB II ..................................................................................................................... 4

PEMABAHSAN ..................................................................................................... 4

2.1 konstitusi Madinah ........................................................................................ 4

2.2 Isi Piagam Madinah ....................................................................................... 9

2.3 Ketatanegaraan modern ............................................................................... 13

2.4 Islam dan ketatanegaraan modern ............................................................... 15

2.4.1 Sifat dan Kekuasaan Badan-Badan Negara .......................................... 20

2.4.2 Sistem Administrasi Negara ................................................................. 23

2.4.3 Pendapatan Negara ............................................................................... 25

2.5.4 Politik Luar Negeri ............................................................................... 26

iii
BAB II ................................................................................................................... 27

KESIMPULAN ..................................................................................................... 27

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 27

3.2 Saran ............................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Konsepan awal Piagam Madinah adalah kesepakatan (jalan tengah) untuk

menghindari konflik dan juga tidak memihak pihak tertentu di Madinah pada abad

ke-7 Masehi, karena Madinah terkenal dengan masyarakat yang Multikulturalnya

dan Multi-religi. Piagam Madinah juga disebut sebagai konstitusi negara pada saat

itu karena dibuat untuk mempersatukan golongan Yahudi dan Bani Qoinuqo, Bani

Nadhir dan juga Bani Quraidlah, yaitu masyarakat yang ada di Madinah pada masa

itu yang langsung di bentuk oleh Nabi Muhammad saw, untuk membentuk suatu

perjanjian yang isinya melindungi hak-hak azasi manusia dan hidup rukun

berdampingan antar umat Beragama ada pula makud dan tujuan dari dibentuknya

piagam madinah ini misalkan komunitas muslim diserang oleh komunistas lain dari

luar maka komunitas yahudi harus membantu dan begitupun sebaliknya.

Pluralitas masyarakat Madinah tersebut tidak luput dari pengamatan Nabi.

Beliau menyadari, tanpa adanya acuan bersama yang mengatur pola hidup

masyarakat yang majemuk itu, konflik-konflik diantara berbagai golongan itu akan

menjadi konflik terbuka dan pada suatu saat akan mengancam persatuan dan

kesatuan kota Madinah.Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah mengikat seluruh

penduduk yang terdiri dari berbagai kalibah (Kaum) yang menjadi penduduk

Madinah. (Astuti, 2012: 24).

Sebelum di nabi hijrah ke madinah terjadi konflik di Yathrib maka dimintalah

nabi hajrah untuk mendamaikan koflik tersebut dan membuat konstitusi Madinah

1
atau Piagam Madinah, konstitusi Madinah ialah sebuah dokum yang disusun oleh

Nabi Muhammad SAW, yang merupakan perjanjian formal semua masyarakat di

Yathrib (Kemudian bernama Madinah). Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya

dengan tujuan untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani `Aus dan Bani

Khazraj di Madinah. (Astuti, 2012: 239).

Ditetapkannya piagam tersebut merupakan salah satu siasat Rasul sesudah

hijrah ke Madinah, yang dimaksud untuk membina kesatuan hidup berbagai

golongan warga Madinah. Dalam piagam itu, dirumuskan kebebasan beragama,

hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan

lainlain. Hijrahnya Nabi ke Yatrib disebabkan adanya permintaan para sesepuh

Yathrib dengan tujuan supaya Nabi dapat menyatukan masyarakat yang berselisih

dan menjadi pemimpin yang diterima oleh semua golongan. Piagam ini disusun

pada saat Beliau menjadi pemimpin pemerintah di kota Madinah. (Sukarjda,

2014:3).

Sebagian orang mungkin meyakini kenabian Muhammad, tetapi kenyataan

bahwa dia bukan seorang Yahudi menjadi problematik bagi mereka yang menganut

teologi Yahudi dengan tegas. Perpecahan antara kaum Yahudi yang meyakini

dirinya bangsa terpilih oleh Tuhan dan kaum muslim yang mendukung persatuan

umat manusia akan menimbulkan ketegasan serius di dua kelompok ini, dalam

konteks itulah Piagam Madinah menemuan fungsinya yang paling hakiki.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diaatas adapaun rumusan maslah pada makalah ini

adalah:

2
1. bagaimana konstitusi Madinah?

2. apa isi konstitusi Madinah?

3. bagaimana ketatanegaraan yang modern?

4. bagaimana konstitusi Islam dan ketatanegaraan modern?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk

1. Untuk mengetahui konstitusi Madinah

2. Untuk mengetahui materi muatan konstitusi Madinah

3. Untuk mengetahui ketatanegaraan modern

4. Untuk mengetahui Islam dan ketatanegaraan modern

3
BAB II

PEMABAHSAN
2.1 konstitusi Madinah
Istilah piagam Madinah atau dalam bahasa Arab mitlaq al-Madinah adalah

sebutan bagi shahifah yaitu suatu lembaran yang tertulis atau kitab yang tertulis

oleh Nabi Muhammad SAW. Kata piagam menunjukkan kepada naskah, sedangkan

Madinah menunjukkan kepada tempat dimana naskah dibuat. Piagam (charter)

adalah dokumen tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan pembuat undang-

undang yang mengakui hak-hak rakyat, baik hak-hak kelompok sosial maupun hak

individu. Piagam juga berarti setiap surat atau dokumen resmi seperti perjanjian,

persetujuan, penghargaan, konstitusi dan sejenisnya yang berisi tentang pernyataan

suatu hal disebut piagam (charter).1 Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa

konstitusi merupakan bagian dari bentuk piagam.

Sebelum terbentuknya negara Madinah, Nabi Muhammad SAW

membangun masyarakat melalui perjanjian tertulis bersama kelompok-kelompok

sosial di Madinah, dengan tujuan untuk menjamin hak-hak mereka, menetapkan

kewajiban mereka, menetapkan hubungan baik dan kerja sama serta hidup

berdampingan damai diantara kelompok sosial politik. Akhirnya Nabi Muhammad

berhasil membuat pernyataan tertulis melalui piagam Madinah. Terdapat 14 prinsip

yang dibangun dan terangkum dalam butir butir piagam yang terdiri 47 pasal.

Prinsip-prinsip tersebut adalah persamaan, umat dan persatuan, kebebasan,

toleransi beragama, tolong menolong dan membela yang teraniaya, musyawarah,

1
Suyuthi Pulungan, Prinsi-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari
Pandangan Al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), Hlm. 14-15.

4
keadilan, persamaan hak dan kewajiban, hidup bertetangga, pertahanan dan

perdamaian, amar ma‟ruf nahi munkar, ketakwaan dan kepemimpinan yang

terangkum dalam butir piagam madinah tersebut.2

Lebih lanjut Muhammad Khalid merumuskan 8 prinsip dalam Piagam

Madinah, antara lain:3

1) Kaum Muhajirin dan Anshar serta siapa saja yang ikut berjuang bersama

mereka adalah umat yang satu.

2) Orang-orang mukmin harus bersatu menghadapi orang bersalah dan orang

yang durhaka walaupun itu anaknya sendiri.

3) Jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk semua melindungi orang-orang

kecil. 4) Orang-orang mukmin harus saling membela diantara mereka dan

membela golongan lain, dan siapa saja kaum Yahudi yang mengikuti

mereka berhak memperoleh pembelaan dan bantuan seperti yang diperoleh

orang muslim.

4) Perdamaian orang muslim itu adalah satu.

5) Apabila terjadi persengketaan di antara rakyat yang beriman, maka

penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum Tuhan dan kepada

Muhammad sebagai kepala negara.

6) Kaum Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum muslimin. Mereka

bebas memeluk agama mereka.

2
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan.., hlm. 9
3
Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), hlm. 78-

5
7) Sesungguhnya tetangga adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar

haknya dan tidak boleh berbuat kesalahan kepadanya.

Prinsip-prinsip dalam piagam Madinah tersebut secara tidak langsung telah

diterapkan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat bahwa dengan banyak suku, ras,

yang beraneka ragam dikumpulkan menjadi satu satu negara, namun perbedaan

tersebut bukanlah masalah. Menurut W. Montgemerry di dalam piagam Madinah

terdapat 10 Bab dan 47 pasal, yang didahului dengan mukaddimah, yakni Bab 1.

Pembentukan Bangsa dan Negara (pasal 1) II, Hak Asasi Manusia (pasal 2-10), III.

Persatuan seagama (pasal 11-15), IV. Persatuan Segenap Warga (pasal 16-24) V.

Golongan Minoritas (pasal 25-55) VI. Tugas Warga Negara (pasal 36-38) VII.

Melindungi Negara (pasal 39-41) VIII. Pemimpin Negara pasal 42-44) IX. Politik

Perdamaian (pasal 45-46) X. Penutup (Pasal 47). 4

Menurut penulis, konstitusi Madinah merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari piagam Madinah, karena setelah terbentuk negara Madinah dan

kemudian dibuat suatu perjanjian tertulis yang disebut piagam madinah, maka

secara tidak langsung piagam madinah adalah konstitusi Madinah. Jika

dihubungkan dengan pemerintahan di Indonesia saat ini maka Nabi Muhammad

bukan hanya sebagai kepala negara Madinah (eksekutif) akan tetapi beliau juga

sebagai legislatif, yang membuat konstitusi tertulis yaitu piagam Madinah. Menurut

pakar politik bahwa konstitusi pertama di dunia adalah Konstitusi Madinah. Kaum

Muslimin merupakan ummah yang identitas dan keterkaitan utamanya tidak lagi

4
M. Nashir Rasyid, Seputar Sejarah & Muamalah, (Bandung: Al-Bayan, 1997), hlm. 22-23

6
ikatan kesukuan tetapi iman, agama dan komitmen bersama, begitupun kaum

yahudi Madinah diakui sebagai komunitas (ummah). Menurut sarjana barat D. B.

Mac Donald mengatakan bahwa Madinah telah membentuk negara Islam pertama

dan telah diletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam. 5

Sebutan „Madinah‟ sendiri dalam bahasa Arab memiliki akar kata yang

sama dengan „dīn‟, yang berasal dari akar kata “dāna” yaitu sikap tunduk dan patuh

kepada ajaran agama, yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Oleh

karena itu, Madinah sering disebut sebagai „Madînah Madaniyyah‟ (kota

berperadaban). Istilah “madaniyyah” sendiri pada awal dakwah Islam selalu

dikaitkan dengan prosesi pembentukan negara.6 Banyak penulis Muslim

beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah merupakan konstitusi Negara Islam

pertama atau bahkan juga disebut sebagai Islamic State pertama yang dilakukan

oleh Nabi Muhammad Saw. Sudah memenuhi kriteria bahwa dalam sebuah

persyaratan suatu negara harus terdiri dari adanya wilayah, pemerintahan, negara,

rakyat, kedaulatan, dan ada konstitusi. Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad

sudah memenuhi kriteri tersebut. Yang menarik, pernyataan dua tokoh Barat H. A.

R. Gibb, W. Montgomery Watt, dan Muhammad Marmaduke Pickthal bahwa

Piagam Madinah adalah merupakan hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari

Nabi Muhammad dan bukanlah wahyu dan sebagai pencetus konstitusi yaitu

5
D.B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and constitution
Theory, (New York: New York Press, 1993), hlm. 67-68
6
Nasr Muhammad Arief, al-Hadharah, ats-Tsaqafah, al-Madaniyyah: Dirasat li Sirat al-
Mushtolah wa Dalalat al-Mafhum, (Herndon, USA,The International Institute of Islamic Thought,
1994), hlm. 50

7
Piagam Madinah atau Watt menyebutnya sebagai “Constitution of Medina”

(Konstitusi Madinah).

Semua sarjana mengetahui, dan mengakui bahwa salah satu insiden

tindakan pertama Nabi Saw., untuk mewujudkan masyarakat Madinah itu ialah

menetapkan suatu dokumen perjanjian yang disebut Mitsaq al-Madinah (Charter of

Medina). Inilah dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia, yang

meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam Piagam itu ditetapkan

adanya pengakuan kepada semua penduduk Madinah, tanpa memandang perbedaan

agama dan suku, sebagai anggota umat yang tunggal (ummah wahidah), dengan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama. Dalam hal ini menunjukkan bahwa

Nabi Muhammad Saw., sudah diakui sebagai pemimpin (leaders) yang memiliki

kekuasaan politik dan sebagai kepala Negara yang ada di Madinah. Oleh karena itu,

jelas bahwa berdasarkan pendapat di kalangan muslim maupun non muslim

mengakui bahwa piagam Madinah merupakan konstitusi. Piagam Madinah dalam

pembuatan bersifat demokratis. Secara teoritis, kesepakatan yang dibuat oleh

Rasulullah SAW bersama masyarakat Madinah tentunya menjadi undang-undang

bagi mereka yang wajib mereka patuhi. Oleh sebab itu, Apabila adanya salah satu

diantara mereka melanggar piagam Madinah atau melakukan wanspretasi

(perbuatan melawan hukum) terhadap perjanjian tersebut, maka akan diberikan

sanksi oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara sekaligus sebagai penegak

hukum. Akan tetapi bisa saja beliau mendelegasikan kepada sahabat apabila terjadi

banyaknya pelanggaran piagam Madinah tersebut, karena tidak mungkin Rasul

SAW menyelesaikan semua urusannya tersebut yang begitu banyak.

8
2.2 Isi Piagam Madinah
a) Pembentukan Ummat (Community) Pasal ini terdiri dari Pasal 1 yang

berbunyi “Mereka adalah satu masyarakat tunggal yang berada di

masyarakat lain. Pada intinya dalam pasal ini pembentukan komunitas

masyarakat Madinah menjadi ummah. Pada pasal 2 Nabi Muhammad juga

menyinggung sebagai satu ummah (ummatan wahidah) yakni antara kaum

muhajirin dari Quraisy dan kaum Muslimin di Madinah.7

b) Hak Asasi Manusia (HAM) Terdiri dari pasal 2 sampai Pasal 10 yang berisi

bahwa Setiap keluarga (tha'ifah) dapat membayar tebusan dengan secara

baik dan adil di kalangan orang-orang beriman. Umat madinah adalah satu

bangsa yang merdeka bebas dari tekanan maupun pengaruh dari orang lain.

Kaum muhajirin dari Quraisy, Banu Auf, Banu Sa‟idah, Banu Harts, Banu

Jusyam, Banu Najjar, Banu Amrih, Banu An-Nabiet, Banu Aus, memiliki

hak-hak asli dan saling membantu dalam membayar denda secara adil dan

baik.

c) Persatuan Se-Agama Terdiri dari Pasal 11 sampai Pasal 15. Isi pasal ini

secara komprehensif membahas tentang orang-orang Muslim Madinah

harus saling membantu, saling melindungi, saling tolong menolong dalam

hal kebaikan, menyantuni fakir miskin, membantu kaum-kaum yang lemah.

Orang-orang Muslim Madinah dilarang membantu orang-orang kafir dalam

memerangi orang-orang sesama Muslim atau dilarang membantu orang-

orang kafir yang ingin menghancurkan Islam. Orang-orang Muslim harus

7
Muhammad Jalal asy-Syarf dan Ali Abdul Mu‟thi, al-Fiqh as-Siyasi fi al-Isam
Syakhshiyyat wa al-Madzahib, (Mesir: Dar al-Jama‟at al-Mishriyyah, 1978), hlm. 55.

9
bersatu dalam memerangi kejahatan, pengacauan, menghindari

permusuhan, orang-orang Muslim dilarang melanggar ketertiban, dilarang

membunuh sesama Muslim ataupun nonMuslim tanpa alasan yang kuat.

d) Persatuan Segenap Warga Negara

Terdiri dari Pasal 16 sampai 23. Isi pasal ini secara umum membahas

tentang orang Yahudi (diluar Islam), yang setia kepada Negara berhak

mendapatkan perlindungan, perlakuan yang layak dari orang-orang yang

beriman tanpa mengucilkan ataupun menjauhi orang Yahudi tersebut.

Orang Muslim tidak boleh membuat perjanjian sepihak, tanpa

sepengetahuan orang Musim lainnya. Jadi, umat Muslim lainnya harus

mengetahui perjanjian tersebut. Setiap penyerangan musuh terhadap umat

Muslim, maka umat Muslim harus bersatu untuk melawan kezoliman

musuh tersebut, tanpa adanya persatuan, umat muslim akan tercerai berai.

e) Golongan Minoritas

Terdiri dari Pasal 24 sampai Pasal 35. Pada intinya adalah bahwa semua

warga negara Madinah termasuk orang-orang Yahudi di dalamnya, harus

ikut memikul bersama-sama biaya selama Negara dalam keadaan perang.

Kaum Yahudi dari suku Auf, dari Banu Najar, Banu Harts, Banu Sa‟idah,

Banu Aus, Banu Tsa‟labah, Syutaibah, Suku Jatnah yang bertalian darah

dengan kaum Yahudi dari Banu Tsa‟labah, pengikut Banu Tsa‟labah adalah

satu bangsa dengan warga Negara yang beriman dan orang-orang Yahudi

tersebut bebas memeluk agama mereka seperti halnya orang-orang beriman

(Muslim) di Madinah.

10
f) Tugas Warga Negara

Terdiri dari Pasal 36 sampai Pasal 38. Berisi tentang warga negara (Muslim)

tidak boleh bertindak tanpa seizin Nabi Muhammad Saw. Setiap warga

negara dapat membalaskan kejahatan yang dilakukan orang lain kepadanya,

yang berbuat kejahatan akan menerima kejahatan kecuali untuk membela

diri. Tuhan melindungi orang-orang yang setia pada Piagam Madinah.

Kaum Yahudi memikul biaya negara seperti halnya orang-orang beriman

(Muslim). Setiap warga negara (Yahudi dan Muslim) terjalin pembelaan

untuk menentang musuh negara serta memberikan pertolongan pada orang-

orang teraniaya.

g) Melindungi Negara

Terdiri dari Pasal 39 sampai Pasal 41 yang berisi tentang kota Yastrib

sebagai ibu kota negara tidak boleh dilanggar kehormatannya oleh setiap

peserta Piagam Madinah. Tetangga yang berdekatan rumah harus

diberlakukan seperti diri sendiri, saling tolong-menolong dan saling

membantu tanpa pamrih. Tetanga wanita tidak boleh di ganggu

kehormatannya dan ketentramannya dan harus seizin suaminya apabila akan

bertamu ke rumahnya.

h) Pimpinan Negara

Terdiri dari Pasal 42 sampai Pasal 44. Berisi tentang warga negara tidak

boleh bertikai, tiap permasalahan dikembalikan penyelesaiannya pada

hukum Allah dan Hadis Nabi. Orang-orang kafir (musuh) tidak boleh

dilindungi termasuk orang-orang yang membantu mereka. Setiap warga

11
Negara Madinah yang terikat pada perjanjian ini wajib mempertahankan

kota Yastrib dari aggressor.

i) Politik Perdamaian

Terdiri dari Pasal 45 sampi Pasal 46 yang berisi bahwa setiap kali ajakan

pendamaian seperti demikian, sesungguhnya kaum yang beriman harus

melakukannya, kecuali terhadap orang (Negara) yang menunjukkan

permusuhan terhadap agama (Islam). Dan, yang terakhir adalah pasal 47

sebagai Penutup yang berisi tentang amanah Muhammad adalah sebagai

Pesuruh Tuhan (Rasulullah) sebagai rahmat bagi alam semesta.

Berdasarkan isi tentang piagam Madinah di atas yang dibentuk dengan

kesepakatan dengan konsep ummah tentunya sangat relevan untuk diterapkan di

Indonesia, karena piagam Madinah merupakan konstitusi yang menyatukan

beberapa kelompok sosial yang kemudian menjadi satu ummah. Hal ini sangat

cocok dengan negara Indonesia yang terdiri banyak suku bangsa, agama yang

berbeda dengan tujuan yang sama. Dengan piagam Madinah, masyarakat Indonesia

akan lebih mengenal toleransi beragama dengan benar, menerima perbedaan yang

ada, tidak ada lagi rasisme yang terjadi yang mengakibatkan runtuhnya persatuan

dan kesatuan bangsa Indonesia. Menurut penulis, piagam Madinah dengan konsep

ummah yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini sangat relevan untuk diterapkan di

negara Republik Indonesia sebagai negara yang pluralisme. Secara tidak langsung,

sebenarnya Indonesia telah mencontoh kepemimpinan Nabi Muhammad dengan

konsep Ummah, hal tersebut tersebut tercermin dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal

29 ayat (2) tentang kebebasan beragama. Artinya bahwa prinsip toleransi telah

12
diterapkan di Indonesia, mereka pada realitanya masih ada rasisme baik dalam

masalah suku, ras maupun Agama.

2.3 Ketatanegaraan modern


Konstitusi modern dimulai sejak adanya pengundangan dalam bentuk UUD

yang tertulis, yaitu UUD Amerika Serikat (1787) dan deklarasi Prancis tentang hak-

hak asasi manusia dan warga negara (1789). Kedua naskah tersebut memberikan

dampak yang cukup besar terhadap negara-negara lainnya. Diundangkannya UUD

tertulis banyak memengaruhi dan memberikan wawasan tentang perlunya UUD

sebagai konstitusi yang harus dimiliki oleh setiap negara didunia. Akan tetapi, ada

sebagian kecil negara yang tidak memiliki UUD secara tertulis, seperti Inggris.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Inggris tidak memiliki konstitusi karena

sesuai dengan zaman modern konstitusi biasa lahir dari adanya kebiasaan yang

timbul dari praktik ketatanegaraan.

Secara luas, konstitusi berarti keseluruhan hukum dasar, baik yang tertulis

maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat penyelenggaraan

ketatanegaraan dalam suatu negara. Pada dasarnya konstitusi modern menganut

pokok-pokok berikut:

1. Jaminan hak-hak asasi manusia;

2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;

3. Pembagian pada pembatasan kekuasaan. Konstitusi dibuat oleh lembaga

khusus dan tinggi kekuasaannya.

13
Konstitusi juga sebagai sumber hukum tertinggi sehingga dijadikan patokan

untuk menentukan undang-undang, membuat kebijakan, serta membatasi

kewenangan penguasa dalam suatu negara. Dari sifat konstitusi

yang flexible dan rigid (kaku), konstitusi pada perkembangan modern dapat

menyesuaikan keadaan dalam suatu negara yang berhubungan dengan masyarakat

sehingga lebih menjamin hak-hak asasi masyarakat suatu negara. Ketatanegaraan

dituangkan sebagai bentuk kaidah hukum yang dapat digunakan untuk membatasi

kekuasaan yang di dalamnya mengandung prinsip negara hukurn, pembatasan

kekuasaan, demokrasi, dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam bentuk konstitusi.

Pembatasan kekuasaan dapat dilakukan melalui suprastruktur politik ataupun

infrastruktur politik.

Dengan keberadaan konstitusi, rakyat dapat mengontrol kekuasaan

penguasa dan lebih berperan dalam keikutsertaannya dalam suatu lembaga negara.

Secara ringkas, konstitusi merupakan tujuan dan cita-cita suatu negara sampai saat

ini.

Dalam konteks Indonesia, Soedjatmoko, salah seorang anggota dewan

konstituante mengemukakan bahwa ciri-ciri dasar negara konstitusional adalah

sebagai berikut: "Fungsi konstitusi dalam masyarakat adalah menentukan batas-

batas daripada kekuasaan politik terhadap kebebasan anggota masyarakat itu.

Fungsi konstitusi dalam suatu masyarakat yang bebas adalah menentukan prosedur

serta alat-alatnya untuk menyalurkan dan menyesuaikan pertentangan politik serta

pertentangan kepentingan yang terdapat dalam tubuh rnasyarakat.

14
Jimly Ashiddiqie menguraikan bahwa di Indonesia konsensus yang menjaga

tegaknya konstitusionalisme adalah lima prinsip dasar Pancasila, yang berfungsi

sebagai landasan filosofis-ideologis dalam mencapai dan mewujudkan empat

tujuan negara. Kelima prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

Perrnusyawaratan Perwakilan.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Keempat tujuan negara yang harus dicapai meliputi:

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

2. Meningkatkan kesejahteraan umum;

3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial.

Dari konsensus yang berfungsi sebagai landasan filosofis-ideologis itulah,

selanjutnya disusun konstitusi Indonesia, yang materi muatannya merupakan

cerminan dari paham konstitusionalisme yang dianut Indonesia.

2.4 Islam dan ketatanegaraan modern


Sejarah menyebutkan bahwa ketika Rasusullah SAW. berada di Mekkah, ia

dengan gigih menyiarkan Islam, namun usaha itu tidak memperoleh hasil yang

menggembirakan. Nabi dan pengikutnya secara politis benar-benar terpojok dan

15
terjepit. Di saat yang sama keadaan masyarakat Yatsrib (sebelum Madinah) saat itu

sedang bergolak. Yatsrib yang terdiri atas banyak komunitas kesukuan 8 dan agama

terjadi konflik politik (perang Bu’ăth, perang antara suku Aus dan Khazraj) 9 yang

berkepanjangan. Hal ini terjadi karena kepongahan, praktik monopoli dan dominasi

ekonomi dari orang-orang Yahudi.

Ketika konflik semakin besar, bangsa Yahudi sering berkata “tunggulah,

rasul terakhir kalian yang akan segera tiba dan dengan pertolongannya, kami akan

mengunguli kalian”.10

Ketika kaum Yatsrib mendengar risalah kenabian Muhammad, mereka

berdiskusi panjang sesama tokoh Yatsrib dan mengundang Nabi Muhammad untuk

datang ke Yatsrib sebagai juru damai di antara mereka. Hal ini mengakibatkan

mereka yang merasa tertindas berkepanjangan selalu berharap seseorang yang dapat

menjadi pemimpin untuk menyelamatkan mereka dari penindasan ekonomi dan

politik. Akhirnya setelah beberapa kali bertemu dengan nabi beberapa di antara

mereka memutuskan untuk memeluk Islam sebelum di dahului kaum Yahudi.

Afzalur Rahman mengatakan pemimpin mereka pergi ke Mekkah dan menyepakati

sebuah bai’at ‘Aqabah (perjanjian ‘Aqabah) dengan Rasulullah. Dalam perjanjian

‘Aqabah yang ke dua, salah satu kesepakatannya adalah untuk saling melindungi

antara kaum Yatsrib dengan rasulullah. Peristiwa bersejarah inilah yang mengubah

8
Imam Taufik Alkhotob, Kepemimpinan Muhammad, makalah dipresantasikan dalam
diskusi Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) Pamekasan wilayah
Yogyakarta, 13 Februari 2011.
9
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. ke-II (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2009), p. 67.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. Ke-II, Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2009.
10
Afzalur Rahman, Muhammad: Encyclopaedia of Seerah, terj. Taufik Rahman cet. ke-1
(Bandung: Pelangi Mizan, , 2009), p. 13

16
arah perjalanan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari kelompok tertindas menjadi

kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Hijrahnya Nabi ke Yatsrib dan

dijadikannya ia sebagai seorang pemimpin, merupakan titik awal kehidupan politik

bagi Nabi Muhammad sebagai pemimpin Negara Islam yang masih kecil, yang

kemudian diikuti oleh berbagai kejadian, perjanjian, dan perang, yang semuanya

menjadi saksi atas kebesarannya sebagai negarawan yang ber-ibu kota Madinah.

Proses pengangkatan Nabi sebagai pimpinan (kepala negara) ini

berdasarkan kesepakatan yang disebut dalam perjanjian, bukan berdasarkan wahyu.

Dalam ilmu politik, proses ini disebut “kontrak sosial”.11 Implikasi bai’at adalah

proteksi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Sama halnya masyarakat

kesukuan menerapkan sebuah sistem politik proteksi, suku yang kuat dapat diminta

melindungi suku yang lemah.

Pada masa awal-awal kehidupan di Madinah, Rasulullah dihadapkan pada

situasi yang sanga sulit kaum Muhajir (pengungsi dari Mekkah) hidup serba

kekurangan, tidak berdaya, dan tidak mempunyai berbagai sarana kehidupan.

Sementara itu, kaum Yahudi Madinah bersekongkol dengan orang-orang musyrik

Mekkah untuk memusuhi kaum Muslim mengancam untuk menyerang Madinah,

menghacurkan komunitas Muslim yang masih kecil. 12

Menghadapi kenyataan yang sangat sulit itu, Nabi Muhammad mengambil

serangkaian langkah untuk mengukuhkan Negara Islam Madinah yang baru

11
Ubaidillah, et. all., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), p. 75
12
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press,
1984), p. 92.

17
didirikan itu baik secara sosial, politik, maupun ekonomi. Langkah pertama yang

dilakukan Nabi adalah membangun masjid untuk tempat ibadah, berkumpul dan

bermusyawarah dengan masyarakat Madinah. Selanjutnya Nabi menegakkan

otoritas politik dan memelihara hukum ketertiban di seluruh wilayah suku-suku di

dalam dan di sekitar Madinah. Kemudian, Nabi membuat berbagai perjanjian

dengan kepala-kepala suku arab dan suku-suku Yahudi di sekitar Madinah.

Perjanjian yang sangat fenominal yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di

Madinah dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah perjanjian dengan 12

kelompok masyarakat yang diwakili oleh tiga kelompok besar, yakni kaum muslim,

orang Arab yang belum masuk Islam, dan kaum Yahudi dari Bani Nadir dan Bani

Quraizah. Perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Piagam Madinah (Mitsaq

al-Madinah). Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan-peraturan dan

hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk.

Di antara substansi konstitusi tersebut adalah pertama, membangun ikatan

persaudaraan timbal-balik antara kaum Muhajir (pengungsi Mekkah) dan kaum

Anshar Madinah13 guna mendekatkan mereka, baik secara ekonomi maupun sosial,

sehingga keduanya menjadi komunitas sosial.

Kedua, kebebasan untuk orang bangsa Yahudi. Di Madinah saat itu, terdapat

banyak suku Yahudi yang kuat dan berkuasa. Mereka menjalin hubungan yang erat

dan teratur dengan kaum Quraisy, maka, perjanjian dengan kaum Yahudi sangat

dibutuhkan untuk melindungi komunitas Muslim dari pelbagai kemungkinan

permusuhan, pemberontakan, atau persekongkolan mereka (YahudiQuraisy) untuk

menjatuhkan kaum Muslim. Salah satu isi perjanjiannya adalah kebebasan

18
beragama dan berpikir bangsa Yahudi dijamin, kehidupan dan kekayaan mereka

dilindungi oleh Negara Islam, serta pelbagai bentuk tindakan kriminal dinyatakan

ilegal.

Dengan dicapainya kesepakatan ini, telah lahir sebuah masyarakat baru di

Madinah. Suku-suku yang semula saling berperang dilebur menjadi satu komunitas

Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling

membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya, saling

menasehati dan menghormati kebebasan beragama. Semua warganya menjadi

sederajat di dalam Negara Madinah. Untuk mewujudkan kesejahteraan,

ketentraman, keadilan, dan kedamaian, maka dalam pemerintahan atau kekuasaan

politik terdapat tugas-tugas pelayanan dan pengaturan publik, seperti

penyelenggaraan pemerintahan, sekretariat negara, adanya pembagian propinsi

yang dikepalai seorang wali (gubernur), adanya departement-departement,

Perjanjian ini juga menjadikan mereka warga negara yang sederajat dengan warga

negara lainnya. Perjanjian ini menjadi luar biasa karena mengesahkan otoritas legal

dan politis Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara Madinah yang disepakati

bersama.

Dibuatnya Konstitusi Madinah oleh nabi tak lain hanya untuk mengatur

urusan dan jaminan hak-hak kaum Muhajir dan Anshar, serta orang-orang Yahudi.

Hal ini tidak hanya mengakui nabi sebagai Kepala Negara, melainkan juga

menyatakan bahwa Madinah merupakan Kota Suci dengan semua kesucian yang

dimiliki Kota Mekkah. Setiap orang mempunyai kesamaan derajat, kebebasan

beragama tanpa diskriminasi apapun.

19
2.4.1 Sifat dan Kekuasaan Badan-Badan Negara
Untuk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman, keadilan, dan kedamaian,

maka dalam pemerintahan atau kekuasaan politik terdapat tugas-tugas pelayanan

dan pengaturan publik, seperti penyelenggaraan pemerintahan, sekretariat negara,

adanya pembagian propinsi yang dikepalai seorang wali (gubernur), adanya

departement-departement. penyeleggaraan peradilan dan penegakan hukum,

penegakan HAM, penetapan perundang- undangan, serta penghimpunan dana.

Masing-masing tugas ditangani oleh lembaga tersendiri.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di masa Nabi Muhammad,

pemerintahannya sangat sederhana. Tidak ada pemilahan atau pembagian

kekuasaan sebagaimana yang tergambar dalam Lembaga Yudikatif, Eksekutif,

Legislatif, Dewan Pertimbangan, dan Lembaga Pemeriksa Keuangan seperti yang

dijumpai di zaman modern. Nabi adalah punguasa tunggal, memegang kekuasaan

legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus. Tidak pernah ada pembicaraan tentang

batasan waktu (periodisasi) memerintah. Bahkan, ia juga tidak mengangkat menteri

untuk kabinet kekuasaannya.

Meski demikian, dalam praktiknya Nabi Muhammad menjalankan

pemerintahan tidak terpusat di tangannya. Unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif

secara eksplisit telah ada.

1. Badan Legislatif kewenangannya tidak seperti pemerintahan modern. Pada

masa Nabi Badan Legislatif tidak dapat membuat produk hukum yang

bertolak belakang dengan al-Qur’an dan sunnah. Lembaga ini tidak punya

otoritas untuk merumuskan konstitusi, produk hukum, atau

20
mengamandemen perundangan yang bertolak belakang dengan al-Qur’an

dan sunnah. Lembaga ini hanya dapat mengkodifikasi pelbagai jenis

peraturan yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah. Untuk mengambil suatu

keputusan politik misalnya, dalam beberapa kasus yang dipandang penting

dan dalam keadaan darurat Nabi melakukan konsultasi (Syura) dengan

pemuka-pemuka masyarakat. Dewan Syura pulalah yang memberinya

nasehat mengenai semua urusan administratif, militer, serta urusan sosial

dan politik. Sedangkan pengambilan keputusan aktual dan pelaksanan

keputusan itu merupakan kewajiban pribadinya yang harus ia laksanakan

tanpa bantuan siapapun. Ada 4 (empat) cara yang ditempuh Nabi dalam

mengambil keputusan politik, yaitu:

a. Mengadakan musyawarah dengan sahabat senior. Dalam konteks ini

misalnya bagaimana Nabi dengan sahabat senior bermusyawarah

mengenai tawanan perang Badar. Abu Bakar meminta agar tawanan

tersebut dibebaskan dengan syarat meminta tebusan dari mereka,

sedangkan Umar menyarankan supaya mereka dibunuh saja.

b. Meminta pertimbangan kalangan profesional. Dalam hal ini

misalnya, Nabi menerima usulan Salman al-Farisi untuk membuat

benteng pertahanan dalam perang Ahzab menghadapi tentara

Quraisy dan sekutu-sekutunya dengan menggali parit-parit di sekitar

Madinah.

c. Melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak

luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar. Untuk hal

21
ini dapat dilihat pada musyawarah Nabi dengan sahabat tentang

strategi perang dalam rangka menghadapi kaum Quraisy Mekkah di

Perang Uhud.

d. Mengambil keputusan sendiri. Ada beberapa masalah politik yang

langsung diputuskan Nabi dan mengesampingkan keberatan-

keberatan para sahabat, seperti yang terjadi dalam menghadapi

delegasi Quraisy ketika ratifikasi Perjanjian Hudaibiyah.

2. Eksekutif. Eksekutif hanya bisa menjalankan Hukum Syariah sebagaimana

termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah serta mengukuhkan kehidupan

sosial yang berdasarkan prinsip kebaikan, kesalehan, dan keadilan sesuai

dengan perintah Allah. Ketaatan masyarakat kepada eksekutif harus dalam

kerangka ketaatan kepada Allah. Rasulullah menerangkan batas-batas

ketaatan pada eksekutif dalam sabda-sabda berikut:

“Jika seorang budak hitam yang cacat diangkat menjadi pemimipin

kalian dan dia memimpin kalian sesuai dengan ketetapan kitab suci,

dengarkanlah dan taati dia. Dengarkan dan patuhilah meski

gubernur kalian adalah seorang budak Abiyssinia dengan kepala

yang hitam legam seperti kismis, tidak ada ketaatan kepada mahluk

dalam rangka memaksiati sang Khalik. Ketaatan itu hanya diberikan

dalam hal-hal yang benar (dan saleh). Jika seseorang menyaksikan

sesuatu yang tidak disukai dari pemimpinnya, dia harus bersabar

karena tiadalah seseorang memisahkan diri dari jamaah lalu mati,

kecuali matinya itu seperti mati pada zaman jahiliyah, Tidak boleh

22
taat dalam perbuatan dosa. Taat diwajibkan demi melakukan

kebaikan dan kesalehan.”

3. Yudikaif. Batas-batas kekuasaan dalam Yudikatif (dalam terminologi Islam

sering disebut qadhā) juga didefinisikan secara tegas oleh Hukum syari’ah.

Yudikatif ini terlihat dengan adanya pembentukan Departemen

Kehakiaman di mana Nabi sebagai ketua pengadilannya. Wewenang

kekuasaan dan operasi lembaga diselenggarakan dalam koridor al-Qur’an

dan sunnah, sebagaimana dikemukakan al-Qur’an ketika memerintahkan

rasulullah sebagai hakim pertama. Rasulullah secara eksplisit menjelaskan

sifat dan wewenang kerja hakim ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal

ke Yaman sebagai Hakim. Rasulullah bertanya kepada Mu’adz bagaimana

caranya mengambil keputusan. Mu’adz menjawab bahwa dia akan

memutuskan berbagai keputusan berdasarkan al-Qur’an, lalu nabi kembali

bertanya, apa yang harus dilakukan jika tidak ditemukan keterangan dan

petunjuk dari al-Qur’an? Mu’adz menjawab akan memutuskan dengan

sunnah rasulullah. Rasulullah kembali bertanya, bagaimana kalau tidak

ditemukan keterangan dan petunjuk dari sunnah rasulullah? Mu’adz

menjawab bahwa ia akan berijtihad dengan segenap kekuatan intelektual-

ruhaniyahnya untuk membuat keputusan, lalu rasulullah menepuk dada

Mu’adz bin Jabal sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang telah

memberi petunjuk kepada utusan Rasulul-Nya terhadap hal-hal yang

diridhainya.

2.4.2 Sistem Administrasi Negara

23
Barkaitan dengan masalah Administrasi Negara, pada masa pemerintahan

Nabi Tidak ada staf admnistratif khusus yang membantu pekerjaannya serta tidak

ada kantor yang monumental untuknya. Nabi menangani pelbagai urusan negara

dari masjid atau rumahnya. Tidak ada pula departemen-departemen yang

memisahkan antara kelompok eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Seluruh tata administrasi diselenggarakan secara efisien dan efektif serta

tidak ditunda-tunda. Instruksi diberikan kepada para gubernur, petugas pengumpul

zakat, administrator, pemimpin angkatan meliter, para pemimpin agama (imam),

para duta atau wakil utusan, dan para pekerja lainnya dilingkungan

pemerintahannya.13

Nabi mengangkat dan berkorespondensi dengan para gubernur propinsi

serta pengumpul zakat, memeriksa laporan penerimaan zakat dan jizyah mengawasi

serta mendistribusikan dana zakat dan jizyah secara tepat kepada yang berhak

menerimanya, mendistribusikan dana keberbagai suku Muslim, dan

mengorganisasikan serta mengutus pasukan ke berbagai penjuru negeri. Nabi juga

mempersiapkan berbagai ekspedisi militer, mengadili kasus-kasus kriminal dan

pelanggaran sipil, mengambil langkah-langkah untuk menghentikan

pemberontakan dan tindakan subversif yang dilakukan oleh berbagai suku di

wilayah Arab. Di samping, itu Nabi Muhammad juga menyusun rencana strategis

untuk menerima utusan suku-suku dan duta asing.

13
M. Fethullah Gulen, Versi Terdalam Kehidupan Rasul Muhammad Saw, cet. ke-
1(Jakart: RajaGrafindo persada, , 2002), p. 275.

24
2.4.3 Pendapatan Negara
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad, terdapat lima sumber

pendapatan Negara, yaitu:

1. Ghanimah, adalah harta rampasan yang diperoleh setelah pasukan bertempur.

Ghanimah, empat perlimanya dibagikan kepada para bala tentara. Negara

hanya dapat jatah seperlimanya (khums) yang kemudian oleh Nabi

didistribusikan kepada orang-orang yang berhak menerimanaya.

2. Fai, adalah harta rampasan yang diperoleh tanpa melalui perang. Harta fai

menjadi sumber pendapatan negara yang kadang-kadang saja. Harta fai oleh

Nabi dibagikan untuk Allah, rasulullah, kaum kerabat, anak-anak yatim,

orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.

3. Zakat, untuk zakat didistribusikan untuk orang-orang fakir, orang-orang

miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk

(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan

untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan.

4. Jizyah, adalah pajak keamanan dari wilayah-wilayah non-Muslim dewasa

yang mengikat perlindungan dengan pemerintahan nabi. Akan tetapi mereka

yang menggabungkan diri untuk menjadi tentara dibebaskan dari bebab pajak

ini.

5. Kharaj. Pajak tanah yang ditarik dari petani non-Muslim sebagai kompensasi

bagi pemberian hak kepemilikan tanah kepada mereka (semacam pajak

bumi). Besaran pajak yang diberikan kepada negara sebesar lima puluh

persen, biasanya diperoleh dalam bentuk barang. Penghasilan kharaj dan

25
jizyah dibelanjakan untuk menggaji tentara dan digunakan untuk berbagai

keperluan perang.

Nabi mengatur urusan perekonomian masyarakat Madinah demikian adilnya.

Berbeda dengan sebelum Nabi tiba di Madinah, pasar Madinah ketika itu

dimonopoli oleh sistem kapitalisnya Yahudi, di mana arus keluar masuk pasar

dikandalikan secara strategis oleh mereka. Nabi Muhammad kemudian

membangun pasar Muslim melalui tangan Abdurrahman bin ‘Auf, seorang sahabat

saudagar kaya yang menjadi salah satu pilar ekonomi kaum Muslim. Nabi juga

melakukan pengawasan (hisbah) pada pasar dengan menunjuk penanggung jawab

urusan tersebut kepada sahabat Said bin Said Ibnul ‘Ash

2.5.4 Politik Luar Negeri


Hubungan luar negeri dijalin untuk menegakkan hukum dan ketertiban di

dunia sehingga semua orang dari berbagai budaya dan keyakinan dapat hidup damai

berdampingan tanpa takut terjadi penindasan atau peperangan. Karena Negara

Islam didirikan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi, negara itu

mengerahkan segala upaya untuk menciptakan dan memelihara perdamaian dan

ketertiban dengan semua negeri yang bersedia bekerjasama untuk meraih tujuan ini.

Menghormati kesepakatan dan pakta perjanjian merupakan prinsip

fundamental dalam Islam. Kaum Muslim sama sekali tidak diizinkan melanggar

kesepakatan perjanjian. Namun, jika pihak lain melanggar, kaum Muslim berhak

membebaskan diri dari ikatan syarat-syarat kesepakatan perjanjian itu.

26
BAB II

KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Piagam Madinah (charter of Medina) merupakan sebuah perjuangan Nabi

Muhammad dalam membangun komunitas (ummah) Madinah yang terangkum

dalam Piagam Madinah. Isi dari pasal-pasal tersebut mencakup pembentukan

Ummah, Hak Asasi Manusia (HAM), persatuan seagama, persatuan segenap warga

negara, melindungi negara, pimpinan negara, dan politik perdamaian. Penjelasan

mengenai ummah dijelaskan di dalam Pasal 2 dan Pasal 25 Piagam Madinah.

Piagam Madinah merupakan langkah kongkrit Nabi Muhammad SAW dalam

membentuk masyarakat, ummah (society) menjadi sebuah Konstitusi Madinah

dalam menghadapi realitas sosio-politik dari masyarakat yang heterogen.

Jika dikaitkan dengan konteks di Indonesia, sangat penting diterapkan nilai-

nilai dalam piagama Nabi tersebut, karena dari segi masyarkat, Indonesia sangat

beraneka ragam dari berbagai bahasa, budaya, agama, ras, suku, sehingga apabila

nilai-nilai piagam Madinah tersebut dapat diimplementasikan, maka masyarakat

Indonesia lebih menghargai satu sama lain, tidak adanya diskriminasi terhadap

suku, ras, golongan tertentu. Nilai-nilai (values) yang tertuang dalam Piagam

Madinah (charter of Medina) mempunyai makna yang sangat dalam, terutama

pesan-pesan moral di dalamnya seperti prinsip-prinsip bermasyarakat, toleransi

dalam beragama, dan prinsip dalam bernegara, sangat relevan untuk

diimplementasikan di Indonesia yang heterogen agar lebih madani dan bermartabat.

27
Nabi Muhammad telah memberikan teladan begitu sempurna. Semua aspek

telah ia tegakkan sendi-sendi, prinsip dan aturan-aturan yang disertai batasan-

batasannya. Dalam perspektif politik Nabi Muhammad adalah seorang penguasa

dan Kepala Negara yang berdaulat. Dan bentuk negara tersebut merupakan

prototype dari bentuk ketatanegaraan yang bersifat demokratis.

Dalam kajian politik Islam sendiri, belum ditemukan sistem

ketatanegaraan/pemerintahan masa siapa yang akan dijadikan sebagai representasi

ketatanegaraan Islam. Tidak ada sistem yang baku yang harus dipegangi dalam

bernegara dan/atau memilih kepala negara. Sistem yang diterapkan Abu Bakar,

berbeda dengan masa Umar, dan seterusnya. Apalagi sistem pemilihan masa bani

Umayah dan Bani Abbasiyah. Dengan kata lain, sistem pemilihan kepala negara

dalam Islam mengalami perubahan mengikuti perkembangan situasi sosiohistoris

yang mengitarinya.

Sistem/bentuk pemerintahan demokratis konstitusional yang berlandaskan

nilai-nilai syari’at dan berlandaskan keinginan rakyat serta memberikan rakyat

ruang untuk berpartisipasi dalam politik juga bisa merealisasikan nilai-nilai

keadilan justru lebih relevan dan sejalan dengan asas demokrasi yang sedang

populer saat ini. Bahkan bisa menjadi acuan para negarawan untuk membangun

sebuah tatanan pemerintahan. Dengan adanya konsepsi di atas inilah, dapat

dirumuskan bahwa praktik kenegaraan bukan atas dasar nas formal (tekstual), akan

tetapi berdasarkan kemaslahatan yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Dengan

demikian, dasar maslahat mempunyai peranan di dalam masalah kenegaraan

tersebut

28
3.2 Saran
Bagi masyarakat Indonesia yang mengakomodir nilai-nilai agama dalam

praktik ketatanegaraan agar lebih memperkuat lagi nilai-nilai Pancasila agar tidak

terpecah belah.

29
DAFTAR PUSTAKA
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali

Press, Cet. Ke-5, 2002.

Ahmad, Zaenal Abidin, Piagam Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Bulan Bintang,

1973. …., Membentuk Negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1956.

Rasyid, M. Nashir, Seputar Sejarah & Muamalah, Bandung: Al-Bayan, 1997.

D. B. Macdonald, Developement of Muslim Theology, Jurisprudence, and

Constitution Theory, New York: New York Press, 1993.

Arief, Nasr Muhammad, al-Hadharah ats-Tsaqafah al-Madaniyyah: Dirasat li Sirat

al-Mushtolah Wa Dalalat al-Mafhum, Herndon USA: The International

Institute of Islamic Thought, 1994.

Al-khotob, Imam Taufik, Kepemimpinan Muhammad, makalah dipresantasikan

dalam diskusi Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB)

Pamekasan wilayah Yogyakarta, 13 Februari 2011.

Ubaidillah, et. all., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan

Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI

Press,1984.

Gulen, M. Fethullah, Versi Terdalam Kehidupan Rasulullah Muhammad Saw., cet.

Ke-1, Jakarta: RajaGrafindo persada, 2002.

30

Anda mungkin juga menyukai