Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KELOMPOK DOSEN PENGAMPU

USHUL FIQH II Adam Malik Indra, Lc, MA

TAQLID TALFIQ DAN ITTIBA’

DISUSUN OLEH
MUHAMAD FADLI (11711102320)
TEGUH WAHYUDI (11711100525)

LOKAL FIQIH VI A
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Ilmu ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum,
ilmu ini sangat berguna untuk membimbing mujtahid dalam mengistimbatkan hukum
syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh
dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan dengan dalil lainnya. Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah taqlid dan
talfiq. Keduanya memiliki arti yang berbeda dan maksudnyapun berbeda. Tetapi
keduanya sangat jelas diatur dalam islam.
II. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Taqlid, Talfiq, dan Ittiba’?
2. Apa itu wilayah dan ragam Taqlid?
3. Apa saja batasan dan contoh Talfiq?
4. Apa perbedaan Taqlid, Talfiq, dan Ittiba’?
5. Bagaimana sejarah Taqlid, Talfiq, dan Ittiba’?
6. Bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, bertalfiq, dan berittiba’?
III. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Taqlid, Talfiq, dan Ittiba’.
2. Untuk mengetahui apa perbedaan Taqlid, Talfiq, dan Ittiba’.
3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Taqlid, Talfiq, dan Ittiba’.
4. Untuk mengetahui bagaimanakah hukum-hukum dalam bertaqlid, bertalfiq, dan
berittiba’.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. TAQLID (ُ‫) الطَّ ْقلِ ْيد‬


1. Pengertian Taqlid

Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada, yaqallidu,
taglidan”, artinya menurut seseorang dan sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud
dalam istilah ilmu ushul fiqh adalah:

ُ‫قَبُوْ ُل قَوْ ِل القاَىل وا ْنتَ الَتَ ْعلَ ُم ِم ْن اَ ْينَ قاَلَه‬

“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan
perkataannya itu”.1 Secara bahasa ‫القالدة‬M‫ه ك‬M‫ق محيطاًب‬M‫ العن‬M‫يءفي‬M‫ع الش‬M‫“ وض‬Meletakkan
sesuatu di leher dengan melibatkan padanya seperti tali kekang”.

Secara istilah ‫ه حجة‬MM‫و ل‬MM‫اع من ليس ق‬MM‫“ اتب‬Mengikuti perkataan orang yang
perkataannya bukan hujjah”.
Keluar dari perkataan kami: ( ‫ه حجة‬MM‫و ل‬MM‫“ )من ليس ق‬orang yang perkataannya
bukan hujah” : ittiba’ (mengikuti) Nabi sholallohu alaihi wa sallam, mengikuti ahlul
ijma’, dan mengikuti sahabat jika kita katakan bahwa perkataan sahabat tersebut
adalah hujjah, maka mengikuti salah satu dari hal tersebut tidakklah dinamakan
taqlid, karena hal ini dinamakan ittiba’(mengambil atau menerima perkataan seorang
faqih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu
madzhab dalam mengambil suatu hukum). Akan tetapi terkadang disebut sebagai
taqlid dari sisi majaz dan perluasan bahasa.2

Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti definisi al-Ghazali, yakni:

‫قَبُوْ ُل قَوْ ِل القاَى ِل ال َغي ِْر ُدوْ نَ ُح َّجتِ ِه‬


”Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alsannya”

1
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. (Jakarta: Kencana, 2010). Hlm 195
2
Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin. Prinsip Ilmu Ushul Fiqh. (Jumadi
atsTsaniyah wordpress, 2007). Hlm 133

3
Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para
ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu
dapat disimpulkan bahwa, Taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang
lain yang tidak beralasan dari Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

Taklid secara etimologi adalah mengikuti orang lain tanpa penghayatan. Secara
syar’I al-Ghazali menyebutnya sebagai tindakan mengikuti pandangan orang lain
tanpa disertai hujjah (argumentasi). Senada dengan definisi al-Ghazali, al-Amidi
menyebutnya dengan melaksanakan pandangan orang lain tanpa hujjah yang
mengikat, sebagaimana orang awam mengambil pendapat mujtahid, atau mujtahid
mengambil pendapat orang lain yang selevel dengannya.

Karena itu, mengikuti pernyataan, perbuatan atau pengakuan (taqrir) Rasul,


juga ijma sahabat, tidak bisa disebut taklid. Sebab, pernyataan, perbuatan atau
pengakuan Rasul, dan ijma sahabat itu merupakan hujjah. Karena mengikuti hujjah
bukanlah taklid.3

2. Wilayah dan Ragam Taqlid


Karena taklid ini tidak menghasilkan keyakinan bahkan ghlabatu adz-dzann
juga tidak, maka taklid tidak boleh dilakukan terhadap masalah akidah. Sebab akidah
wajib dibangun berdasarkan keyakinan (‘ilm). Berbeda dengan hukum syara’,
sehingga dalam hal ini diperbolehkan taklid kepada orang lain. Maka, bertanya
kepada mujtahid tentang hukum syara dalam kasus tertentu adalah taklid, dan
orangnya disebut Muqallid, baik bertanya untuk sekedar diketahui, atau untuk
diketahui dan dilaksanakan. Taklid juga bisa berarti bertanya kepada selain mujtahid,
tetapi orang yang ditanya tersebut menguasai hukum syara’ dan memungkinkannya
untuk menyampaikan hukum tersebut kepada orang lain, baik pihak yang ditanya
tersebut ulama atau bukan, bahkan sekalipun orang yang bertanya tersebut tidak
mengerti hukum syara yang diambilnya dari orang tersebut pendapat siapa, tetapi dia
percaya bahwa itu merupakan hukum syara’. Tetapi jika dia tidak percaya, baik
karena tidak yakin terhadap dalilnya, karena faktor ketidakyakinannya terhadap
3
Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqih; Membangun Paradigma Berpikir Tasyri’, (Bogor: Al-Azhar
Pres, 2012), hlm. 326

4
agama pihak yang menyampaikannya, maka dalam kondisi seperti ini, dia tidak
diperbolehkan untuk mengajarkannya kepada orang lain agar dilaksanakan.4

Ragam taklid bisa dikembalikan kepada kualifikasi Muqallid-nya. Dalam hal


ini, status Muqallid bisa dibedakan menjadi dua, yaitu Muttabi’ dan ‘Ammi.

1. Muqallid Muttabi’

Muqallid Muttabi’ adalah orang yang memiliki sebagian ilmu yang diperlukan
dalam berijtihad, dan ia bertaklid kepada seorang mujtahid setelah ia mengetahui
dalilnya. Pada saat itu hukum Allah atas muttabi’ tersebut pendapat mujtahid yang
diikutinya.

2. Muqallid ‘Ammi

Muqallid ‘Ammi adalah orang yang tidak memiliki sebagian ilmu yang
diperlukan dalam berijtihad, sehingga ia bertaklid kepada seorang mujtahid tanpa
mengetahui dalilnya.

Untuk taklid sendiri terbagi menjadi dua yaitu

1. Taqlid Muttabi’

Taklid yang dilakukan oleh seorang muttabi’ adalah taklid kepada hukum
syara’ yang digali oleh mujtahid lain, disertai dengan pengetahuan tentang dalil-dalil
mujtahid yang diakuinya. Hanya saja, pengetahuannya tentang dalil dan sejumlah
ilmu yang diakui dalam persyariatan hukum tersebut belum cukup untuk
mengantarkannya berijtihad.

2. Taqlid ‘Ammi

Taklid yang dilakukan oleh seorang ‘ammi adalah taklid kepada hukum syara’
yang digali oleh mujtahid lain, tanpa disertai pengetahuan tentang dalil mujtahid yang

4
Ibid. hlm. 327

5
diikutinya, juga tidak mempunyai sejumlah ilmu yang diakui dalam pensyariatan
hukum.5

3. Hukum Taqlid
Para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:

1. Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Quran
dan As-Sunnah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya,
dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat
orang itu salah. Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: (2): 170 berikut:
َ‫َوإِ َذا ِقي َل لَ ُه ُم اتَّبِ ُعوا َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ قَالُوا بَ ْل نَتَّبِ ُع َما أَ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه آبَا َءنَا أَ َولَ ْو َكان‬
َ‫ش ْيئًا َوال يَ ْهتَدُون‬ َ َ‫آبَا ُؤ ُه ْم ال يَ ْعقِلُون‬
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah," mereka menjawab: ", tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami". ",
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun,
dan tidak mendapat petunjuk”. (Q.S. Al-Baqarah: (2): 170)
2. Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan
selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata
lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara. Dalam hal ini, ulama
mutaakhirin membagi kelompok masyarakat menjadi dua golongan.yaitu:
a. Golongan awam atau yang berpendidikan wajib ber-taqlid kepada salah
satu dari empat madzab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat ijtihad, sehinga tidak di benarkan
ber-taqlid kepada ulama-ulama yang berpendapat demikian, antara
lain :Al- Adhud, Ibnu Hajib, Ibnu Subki, dan Al Mahalli.
4. Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan, dan ketetapannya
dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah SAW.6

5. Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid

5
Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, (Jakarta: HTI Press, 2012), hlm. 130
6
M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2006). Hlm 109-
110

6
Muhammad Rasyid Ridho merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti
pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam
hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat
mudharatnya pendapat tersebut. Para ulama Ushul Fiqh sepakat melarangtaqlid dalam
tiga bentuk berikut ini:
1. Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-
Quran dan Hadits. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh
malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua
keingininnya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah,
antara lain dalam surah Al-Ahzab ayat 64-67:
ِ َ‫) خالِ ِدين فِيه ا أَب ًدا ال جَيِ ُدو َن ولِيًّا وال ن‬٦٤( ‫إِ َّن اللَّه لَعن الْ َك افِ ِرين وأَع َّد هَل م س عِريا‬
( ‫ص ًريا‬ َ َ َ َ َ َ ً َ ُْ َ َ َ ََ َ
َّ ‫وه ُه ْم يِف النَّا ِر َي ُقولُ و َن يَ ا لَْيَتنَ ا أَطَ ْعنَ ا اللَّهَ َوأَطَ ْعنَ ا‬
‫) َوقَ الُوا‬٦٦( ‫الر ُس وال‬ ُ ‫ب ُو ُج‬ ُ َّ‫) َي ْو َم ُت َقل‬٦٥
)٦٧( ‫السبِيال‬ َّ ‫َضلُّونَا‬ َ ‫َربَّنَا إِنَّا أَطَ ْعنَا َس َادَتنَا َو ُكَبَراءَنَا فَأ‬
64. Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi
mereka api yang menyala-nyala (neraka), 65. Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak
(pula) seorang penolong. 66. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan
dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata Kami taat
kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". 67. dan mereka berkata;:"Ya
Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang
benar).
2. Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan
keahliannya dan menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada
diri sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surah al-Baqarah ayat 165-
166:

‫َش ُّد ُحبًّا لِلَّ ِه َولَ ْو‬ ِ َّ ِ ِّ ‫ون اللَّ ِه أَنْ َدادا حُيِبُّو َنهم َكح‬
َ ‫ب اللَّه َوالذ‬
َ ‫ين َآمنُوا أ‬ ُ ُْ ً
ِ ‫َّخ ُذ ِمن د‬
ُ ْ
ِ ‫َّاس من يت‬ ِ
َ ْ َ ِ ‫َوم َن الن‬
‫ (إِ ْذ‬١٦٥ )‫اب‬ ِ ‫يد الْع َذ‬ ِ َّ ‫َن الْ ُق َّو َة لِلَّ ِه مَجِ ًيع ا َوأ‬ ِ َّ
َ ُ ‫َن اللَّهَ َش د‬ َ ‫ين ظَلَ ُم وا إِ ْذ َي َر ْو َن الْ َع َذ‬
َّ ‫اب أ‬ َ ‫َي َرى الذ‬
(١٦٦ )‫اب‬ ِ‫َتبَّرأَ الَّ ِذين اتُّبِعوا ِمن الَّ ِذين اتَّبعوا ورأَوا الْع َذاب وَت َقطَّع هِب‬
ُ َ‫األسب‬
ْ ‫ت ُم‬ ْ َ َ َ َ ُ ََ َُ َ َ ُ َ َ

7
165. dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai
Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada
Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu 7 mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya
(niscaya mereka menyesal).
166. (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-
orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala
hubungan antara mereka terputus sama sekali.
3. Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut
salah. Firman Allah dalam surah Al-Taubah ayat 31:

‫يح ابْ َن َم ْرمَيَ َو َم ا أ ُِم ُروا إِاَّل لَِي ْعبُ ُدوا إِهَٰل ًا‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫اخَّتَ ُذوا أ‬
َ ‫َحبَ َار ُه ْم َو ُر ْهبَ ا َن ُه ْم أ َْربَابًا م ْن ُدون اللَّه َوالْ َمس‬
(٣١ )‫اح ًدا ۖ اَل إِٰلَهَ إِاَّل ُه َو ۚ ُسْب َحانَهُ َع َّما يُ ْش ِر ُكو َن‬ ِ‫و‬
َ
31. mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
Tuhan selain Allah8 dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera
Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.

Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid


dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah
dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun seseorang yang bertaqlid
tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu
saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlid tersebut
harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang
yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini
bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidinya
tadi. Pesan para ulama mengenai Taqlid:

7
Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain
Allah.
8
mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta,
biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang
halal.

8
1. Imam Abu Hanifah berkata: “Jika perkataan saya menyalahi kitab Allah dan
Hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh
mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.”
2. Imam Malik berkata: “saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang salah dan
kadang-kadang benar. Selidiki pendapat saya. Kalau sesuai dengan Quran dan
Hadis. Maka ambillah. Yang menyalahi hendaknya tinggalkan.”
3. Imam Syafi’i berkata: “perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah
(alasan) seperti orang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-
kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu.”
4. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “jangan mengikuti (taqlid) saya atau malik
atau Tsauri atau Auza’i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil”.
5. Ibnu Mas’ud berkata: “kamu jangan menaqlidi orang. Kalau ia iman, maka
kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir. Tidak tauladan dalam hal-hal
buruk”.9

B. TALFIQ (     ( ‫اَلتَّ ْلفِ ْيق‬


1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain
sebagainya. Adapun “Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh
adalah:
‫ف بَ ْينَ َم ْذهَبَي ِْن أَوْ أَ ْكثَر‬
ٍ َّ‫اَ ْل َع َم ُل بِ ُح ْك ِم ُم َؤل‬
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi’iy dalam
masalah iddah wanita yang ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain
umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia
mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat. Yang demikian
dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan. Di samping itu, juga termasuk
dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah
wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi

9
A.Hanafie, Ushul Fiqh. (Jakarta:1963). Hlm 159

9
dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena
mengikuti mazhab Maliki misalnya.
Secara bahasa, kata talfiq (‫ )تلفيق‬itu bermakna adh-dhammu (‫ )الض ُّم‬dan al-jam’u (
‫ ُع‬M‫)الج ْم‬.
َ dalam bahasa Indonesia keduanya dengan mudah kita maknai sebagai
menggabungkan. Dalam penggunakan bahasa Arab, ketika kita menyebut lafqu at-
tsaubi (‫)لفق الثوب‬, bermakna menggabungkan dua ujung kain dengan ujung kain yang
lain dengan jahitan. Kata at tilfaq (‫ )التِلفاق‬bermakna dua pakaian yang digabungkan
menjadi satu. Dan ungkapan talafuq al-qaum (‫ )تالفق القوم‬bermakna bertemunya suatu
kaum. Sehingga istilah talfiq antar mazhab bisa kita pahami secara etimologis sebagai
penggabungan mazhab.

Namun secara terminologis, ternyata kita tidak menemukan definisi talfiq ini
dari para ulama fiqih klasik. Kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih klasik ternyata tidak
mencantumkan pembahasan tentang talfiq ini. Barangkali kalau kita analisa, di
masa para ulama dan kitab-kitab itu ditulis, fenomena talfiq ini belum terjadi. Kita
hanya menemukan terminologi talfiq dari ulama dan kitab-kitab yang sudah agak
jauh dari masa awal pertumbuhan ilmu fiqih. Dan itupun ternyata para ulama agak
berbeda pendapat ketika membuat definisi dari at-talfiq baina al-mazahib ini. Maka
kita perlu sedikit lebih menelurusi tentang apa pandangan masing-masing ulama yang
mewakili masing-masing pendapat tentang hal ini, agar jangan sampai pembicaraan
kita menjadi tidak objektif alias tidak nyambung. Syeikh Muhammad Said Albani
(bukan Nashiruddin Al-Albani) di dalam kitab Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid wa
At-Talfiq mendefinisikan bahwa talfiq adalah:

M‫اإلتيان بكيفية ال يقول بها مجتهد‬

“Mendatangkan suatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid
Sebagian ulama yang lain seringkali mendefinisikan talfiq dengan tatabu’ ar-
rukhash”:

‫تتبع الرخص عن الهوى‬

“Mencari keringanan karena hawa nafsu”

10
Yang dimaksud dengan mencari keringanan maksudnya adalah keringan hukum
atau fatwa, di antara sekian banyak pendapat para ulama. Pendefinisian ini memang
tidak terlalu salah, namun sebenarnya mencari keringanan dengan motivasi dorongan
hawa nafsu hanyalah salah satu bentuk atau sebagian dari talfiq. Karena boleh jadi
seorang mujtahid mencari keringanan dalam hukum dengan menggunakan dalil yang
sekiranya meringankan kesimpulan hukum, namun motivasinya tidak selalu harus
karena hawa nafsu. Ada motivasi-motivasi yang lain yang bisa diterima secara
syariah dalam hal talfiq ini.

Definisi yang mungkin bisa dijadikan pegangan untuk sementara ini adalah:

‫ فأكثر في مسألة عملية واحدة‬M‫التقليد المركب من مذهبين‬

“Taqlid yang dibentuk dari dua mazhab atau lebih menjadi satu bentuk ibadah
atau muamalah.” Definisi ini sudah jauh lebih lengkap, karena mencakup semua
unsur dalam talfiq.

Pada hakikatnya melakukan talfiq adalah melakukan taqlid. Namun kalau


biasanya seseorang bertaqlid kepada satu mazhab saja, dalam hal ini orang yang
melakukan talfiq itu bertaqlid kepada dua atau lebih dari mazhab fiqih. Orang yang
melakukan talfiq pada hakikatnya tidak melakukan ijtihad, karena ijtihad adalah
sebuah pekerjaan yang besar, membutuhkan keahlian yang tidak sedikit,
membutuhkan waktu, tenaga dan riset yang panjang, serta hanya mungkin dilakukan
oleh mereka yang ahli di bidang ijtihad. Seorang yang melakukan talfiq hanya
melakukan taqlid, tidak lebih dari itu. Dia tidak menciptakan fatwa mazhab sendiri,
melainkan menggabung-gabungkan fatwa-fatwa dari berbagai mazhab. Hal ini
disebut talfiq bagian dari taqlid.

2. Batasan Talfiq
Dengan melihat definisi di atas, maka sebuah talfiq itu adalah tindakan yang
dilakukan oleh seseorang selama masih berada di dalam batas-batas tertentu. Bila
berada di luar batas itu, meski pun ada kemiripan namun tindakan itu tidak dianggap
sebagai talfiq. Dan batas-batas itu adalah:

11
a. Wilayah Ijtihad
Apa yang ditalfiq itu adalah masalah-masalah yang bersifat
ijtihadiyah dalam urusan masalah fiqhiyah. Suatu masalah yang
dimungkinkan para ulama memang berbeda-beda dalam hasil ijtihad
mereka, karena tidak ada dalil atau nash yang qathi secara dilalah. Maka
kita tidak mengenal istilah talfiq dalam masalah i’tiqadiyah atau wilayah
yang masuk ke dalam urusan fundamental aqidah. Talfiq juga tidak
dilakukan dalam masalah yang sudah qath’i baik secara tsubut atau pun
secara dilalah. Misalnya masalah yang sudah menjadi ijma’ paraulama
seperti bahwa shalat lima waktu itu hukumnya fardhu ‘ain, tidak ada
istilah talfiq di dalamnya.
b. Bukan Pindah Mazhab
Talfiq itu mencampur, mengaduk dan mengoplos beberapa
pendapat fiqih dari beberapa mazhab. Maka seorang yang pindah mazhab
atau berganti mazhab, baik untuk sementara atau untuk seterusnya, tidak
dikatakan melakukan talfiq. Sebagai contoh sederhana, seseorang yang
bermazhab asy-Syafi’iyah ketika pergi haji ke Baitullah untuk sementara
mengganti mazhabnya menjadi mazhab Al-Hanafiyah, khususnya dalam
hal sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
tanpa pelapis. Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, sentuhan itu
membatalkan wudhu, sementara di dalam mazhab Al-Hanafiyah sentuhan
itu tidak membatalkan wudhu’. Maka orang ini tidak dikatakan melakukan
talfiq, karena tidak tidak melakukan pencampuran mazhab, tetapi dia
berpindah mazhab, meski hanya bersifat sementara dan hanya pada satu
masalah saja. Ketika Al-Imam Asy-Syafi’ie rahimahullah menciptakan
mazhab baru, setelah sebelumnya beliau telah menciptakan mazhab yang
lama, maka bila ada seorang pemeluk mazhab Asy-Syafi’yah berpindah ke
mazhab Asy-Syafi’iyah yang baru, dia tidak dikatakan melakukan talfiq.
Karena dia tidak mencampur mazhab lama dengan mazhab baru untuk
digabungkan menjadi satu.
c. Dalam Satu Masalah

12
Talfiq itu berarti mencampur dari dua sumber atau lebih, namun
pencampuran itu dilakukan di dalam satu masalah ibadah atau muamalah.
Maka orang yang shalatnya ikut mazhab Asy-syafi’iyah tapi puasanya
menganut mazhab Al-Malikiyah, tidak dikatakan mencampur mazhab.
Sebab pencampuran itu terjadi pada dua masalah yang berbeda dan
terpisah serta tidak saling berpengaruh. Talfiq hanya terjadi manakala
pencampuan itu dilakukan di dalam satu masalah yang sama, atau dua
masalah tetapi saling terkait.

Untuk lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan talqif antara mazhab
sebagaimana batasan dan syarat di atas, tidak ada salahnya Penulis memberikan
beberapa contoh yang lebih implementatif dari keseharian kita dalam beribadah atau
bermuamalah. contoh talfiq sebagai berikut:

a. Masalah Wudhu’
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, asalkan sebagian kepala atau beberapa helai
rambut telah basah, maka hal itu sudah dianggap sah dalam mengusap
kepala sebagai rukun wudhu. Sedangkan di dalam mazhab Al-Hanafiyah,
yang disebut mengusap kepala itu haruslah seluruh kepala. Sementara, di
dalam mazhab Asy-Syafi’iyah seorang laki-laki yang menyentuh kulit
perempuan ajnabiyah (bukan mahram) tanpa alas atau pelapis, dianggap
telah batal wudhu’nya. Sedangkan mazhab Al-Hanabilah tidak demikian,
karena batalnya wudhu hanya bila terjadi hubungan suami istri.
Bentuk talfiq dalam hal ini adalah ketika seseorang dalam wudhu
mengambil sebagian mazhab Asy-Syafi’iyah dan sebagian lagi dari mazhab
Al-Hanabilah. Misalnya, dia mengatakan bahwa cukuplah mengusap
beberapa helai rambut sebagai bentuk mengusap kepala (mazhab Asy-
Syafi’iyah), namun berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan
perempuan ajnabiyah tidak membatalkan wudhu’ (mazhab Al-Hanafiyah).
Seandainya bentuk wudhu yang baru diciptakan ini disodorkan kepada
masing-masing mazhab, yaitu kepada mazhab Asy-Syafi’iyah dan mazhab
Al-Hanafiyah, pastilah kedua mengatakan bahwa wudhu hasil talfiq itu

13
tidak bisa diterima. Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan tidak diterima,
karena orang itu telah batal menyentuh kulit wanita tanpa alas, sedang
mazhab Al-Hanafiyah mengatakan wudhu itu tidak sah, karena tidak
seluruh kepala kena air.
b. Masalah Rukun Nikah
Dalam mazhab Al-Hanabilah, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus
ada wali khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya.
Dalam mazhab Al-Malilkiyah, sebuah pernikahan sudah dianggap sah
meskipun tidak ada saksi-saksi. Dan dalam pandangan mazhab Asy-
Syafi’iyah, seandainya seorang istri ridha tidak diberi mahar, maka
pernikahan tetap sah hukumnya. Ketiga pendapat yang berbeda itu kalau
ditalfiq, akan menjadi sebuah model pernikahan baru tapi pernikahan ‘jadi-
jadian’. Dan sudah bisa dipastikan bahwa semua mazhab pasti akan
menolak model pernikahan seperti ini, karena dalam sudut pandang masing-
masing mazhab, pernikahan itu tidak sah. Pernikahan model begini para
prinsipnya sama saja dengan sebuah perzinaan, namun dengan mengatas-
namakan pernikahan. Dan ini adalah salah satu contoh talfiq yang unik.
c. Masalah Talak
Istri yang ditalak untuk yang ketiga kalinya tentu tidak bisa langsung
dinikahi kembali, karena harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain.
Namun dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, bila wanita menikah
dengan seorang anak laki-laki yang baru berumur 9 tahun dan sempat
melakukan hubungan suami istri, maka hubungan suami istri itu sah sebagai
hal yang menghalalkan.
Dan bila digabung dengan pendapat mazhab Al-Hanabilah, bila anak
kecil itu mentalaknya, maka wanita itu tidak membutuhkan masa iddah.
Sehingga suaminya yang pertama sudah bisa menikahinya kembali.
Penggabungan dua hal ini disebut dengan talfiq.
d. Masalah Mabit di Muzdalifah
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, jamaah haji wajib bermalam di
Musdalifah dalam arti turun dari unta atau kendaraan, hingga terbit fajar,

14
tidak ubahnya seperti wuquf di padang Arafah. Ibadah ini posisinya adalah
kewajiban dalam haji namun bukan rukun. Sehingga kalau seseorang
meninggalkan bermalam di Muzdalifah itu, dia diharuskan membayar denda
(dam), yaitu menyembelih seekor kambing. Sedangkan di dalam mazhab
Al-Hanafiyah, mabit di Muzdalifah itu hukumnya sunnah, bukan wajib
apalagi rukun. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kongkrit tentang
talfiq antar mazhab yang kita saksikan di tengah masyarakat.

3. Hukum Talfiq
Para  ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau
seseorang bertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti
fatwa-fatwa mereka.dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal memfatwakanfatwa
merekabila tidak diketahui alasan-alasannya. Nereka juga memfatwakan supaya
melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.
Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua itu menghendaki
agar semua orang muslim supaya menjauhi diri dari “taqlid”, dan dengan sendirinya
menghendaki supaya melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ber-ittba’, hal yang
demiikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq.
Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq
adalah dalam perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha
muta’akhirin, adapun mereka yang fanatik pada mazhab, berfatwa bahwa
para qadhi berhak menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang berpindah
mazhab. Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat
muta’akhirin yang terkuat adalah pendapat yang membolehkan talfiq atau ber-talfiq.
Sedang perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut:   
1.  Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara
keseluruhan masalah, yakni dalam masalah berlainan, maupun dalam satu bidang
masalah saja.
2.    Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di
talfiqkan itu bukan dalam satu bidang masalah atau qadiah. Sebagai contoh
misalnya, berwudhu menurut mazhab syafi’i, sedang pembatalannya menurut

15
mazhab Hanafy. Atau menyapu muka daloam berwudhu menurut mazhab
Syafi’iy, sedang mengusap rambut dalam hal berwudhu juga menurut mazhab
Maliki.10

4. Sejarah Talfiq
Masalah talfiq ini baru menjadi pembahasan para ulama` setelah melihat
kecenderungan sulitnya menerapkan faham madzab secara murni. Sebagaimana
diketahui bahwa tarikh tasyri` islami mengalami perkembangan dari abad ke adad.
Dalam catatan tarikh tasyri` abad ke empat hijriyah merupakan abad puncak dari
faham taqlid dan faham fanatisme sesuatu madzab.
Kalau pada abad sebelumnya seseorang Muqaliq itu seperti seorang muttabi,
yakni mereka mencari dan menerima fatwa Mujtahid selaku ahli dzikri dengan kritis
sesuaikah dengan dalil syar`i atau tidak, maka pada periode taqlid ini semangat
mempelajari Al-Qur`an dan As-sunah sangat lemah sekali, sebab madrasah-madrasah
fiqiyah tidak lagi bersemangan mengembangkan dan meninjau kembali faham
seorang guru dengan mencocokan dengan dalil sayar`i (al-qur`an dan as-sunah )
sebagai mana diajarkan oleh semangat sang imam selaku guru akan tetapi apa yang
mereka dapatkan dari sang guru itu diangap sudah final herus diterima apa adanya.
Pada periode ini paham taqlid menjadi suatu penerimaan hukum yamg telah
dikodifikasikan oleh esorang mujtahid dan memandang pendapat imam mujtahit itu
sabagai nas syara`. Pada periode ini fanatisme madzab sangat tingi sekali, pesan para
imam madzab tersebut banyak ditingalkan, kebanyakan karna sangat teguhnya
berpegang pada madzabnya, maka tidaklah boleh mengambil pandangan madzab
lain,walaupun pendapat madzab lain lebih dekat pada ajaran al-qur`an dan as-sunah.11

10
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 209.
11
Amiruddin, Zen, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), hal. 210.

16
C. ITTIBA’ (ُ‫)اَ ِالتِّبَاع‬
1. Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il
“Ittaba’a – Yattbiu - Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
. ُ‫قَبُوْ ُل قَوْ ِل ْالقَائِ ِل َوأَ ْنتَ تَ ْعلَ ُم ِم ْن أَ ْينَ قَالَه‬
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu
mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :

ٍ ‫قَبُوْ ُل قَوْ ِل ْالقَائِ ِل بِ َدلِي ٍْل َرا ِج‬


‫ح‬
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’
adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
2. Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’
bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”12. Hukum ittiba’
adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah,
sebagaimana firmannya:

(۳ : ‫ (األعرف‬. ‫اِتَّبِعُ ْوا َما أُنْ ِز َل إِلَْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َوالَ َتتَّبِعُ ْوا ِم ْن ُد ْونِِه أ َْولِيَاءَ قَلِْيالً َما تَ َذ َّكُر ْو َن‬
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti
selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran” (QS. Al-
A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita
telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang
merubahnya. Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
(‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِى َو ُسنَّةُ ْال ُخلَفَا ِء ال َّر ِش ِد ْينَ ِم ْن بَ ْع ِدى ـ (رواه ابو داود‬

12
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 196.

17
“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur
Rasyidin sesudahku”. (HR.Abu Daud)
3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau
menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah.
Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui
argumentasi pendapat yang diikuti. Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b. Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3

(۳ : ‫ (األعرف‬. ‫اِتَّبِعُ ْوا َما أُنْ ِز َل إِلَْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َوالَ َتتَّبِعُ ْوا ِم ْن ُد ْونِِه أ َْولِيَاءَ قَلِْيالً َما تَ َذ َّكُر ْو َن‬
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti
selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.

Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya)
terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’
kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada
ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah
Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang
punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-
dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis
serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti
yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –
penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang
terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak
dibenarkan berittiba’ kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-
syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan
keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau

18
kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian,
diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan
ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah
yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan
kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama
diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya
kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan
keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada
beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama
A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.13
D. Sejarah Perkembangan Taqlid
Menurut ahli tarikh tasyri’, zaman taqlid telah mencurigai tiga atau empat
periode dalam sejarah islam:
1. Dari abad keempat Hijrah sampai jatuhnya baghdad ketangan bangsa tartar
(pertangahan abad ketujuh Hijriah).
2. Dari abad keempat Hijriah sampai abad kesepuluh Hijriah.
3. Dari abad kesepuluh Hijriah sampai pada zaman Muhammad Abduh.
4. Masa yang kita tempuh ini.

a. Periode Taqlid yang Pertama


Sebagaimana yang telah kami terangkan bahwa dipemulaan abad IV Hijriah,
taqlid mulai mempengaru ulama islam. Masing-masing ulama mulai menerangkan
fatwa imamnya dan menyeru pada umatnya supaya bertaqlid kepada madzhab yang
dianutnya. Ulama irak memropagandakan supaya orang ertaqlid supaya orang
bertaqlid kepada  mazhab iamam abu hanifah, seddangkan ulama madinah
mengharapkan orang lain bertaqlid kepada madzhab imam mallik. Karena itu, pada
kota yang menjadi pusat ilmu fiqihdan juga kota-kota dan negri-negri lainnya,
lahirlah ulama-ulama yang mengluarkan madzhab imam syafi’i dan imam ahmad
ibn hambal. Dalam periode sedikit sekali ulama yang mempunyai ijtihad merdeka,

13
Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 129-131

19
yanng berrani menyelidiki hukum-hukum agama ddengan kecakaapan dan ilmunya
sendiri. Ijtiad merekaa hanylah dalam masalah yang belum diijtihadkan oleh imam-
imam mereka; setinggi-tingginya ijtihad mereka adalah menguatkan ( menarjikan)
antata dua perkataan imam yang berlawanan.

Hanya dalam saty-satu masalah saja nereja menentangg fatwa imamnya; dan ini
pun jarang pula, laksana api pelita yang kelap-kelap antara hidup dengan mati.
Mulailah hukum-hukum karangan imam masing-masing menjadi mata pelajaran,
dikaji dan dia ajarakan. Diberbagai temapt dan kota serinf didakan munazzaaharah,
atau perdebatanpedebatan untuk menegakkan madzahab imam masing-masing dan
karena ramainya perdebatan itu sering terjadi prtengkaran mulut dan perkelahian.

Pada periode ini menderu-deru bunyi semoyan, “Kami madzhab Hanafiah, yang
disambut oleh semboyan golongan lain: “Kami madzhab Malikiyah” yang disambut
pula oleh seboyan  golongan lain: “Kami madzhb syafi’iyah” dan dissudut lain
bunyi pula “kami madzhab hambaliah” dan begitu seterusnya.

Ulama-ulama pada abad IV, V, dan VI sangat famatik pada madzhab masing-
masing dan hal itu terjadi hingga menyebabkan erpecahan sesama umat islam
karena berlainan madzhab.

b. Periode Taqlid yang Kedua


Di dalam periode taqllid yang pertama, keberradaan taqlid belum merata.
Banyak juga ulama ulama yang berijtihad, walau pun tidak dengan cara berijtihad,
walaupun tidak sebgai ulama mujtahidin di masa bani umaiyah dan dan pemula
masa bani abbas. Dalam periode ini,  kelemahan roh ijtihaad lebih nyata lagi,
sdangkan ulama-ualama yang berani merobek tirai taqlid saynagt kurang. Hanya
sedikit sekali orang yang berani dan menghilangkan tirai taqlid yang menggelapkan
cahaya ijtihad itu.

Di antara mereka yang masih menggunakan daya  ijtihad pada periode ini,
ialah: Al’Iz ibn Abdis Salim (578H-660H), Ibnu Daqiqil Ied (615H-702H), Al
Bulqini (724H-805H), Ibnu Rif’ah (645H-710H), Ibnu Hajar A-asqalani (773H-

20
858h), Ibnul Human (790H-911H), Ibnu Taimiyah (661H-728H). Ibnu Qayyim
(691H-751H), Al-Asnawi (714H-784H) Al-Jalalul Mahalli (791H-864H). Al-Jalalus
Sayuti (846H-911H).

c. Periode Taqlid yang Ketiga


Pada periode kedua sebagaimana telah diterangkan, masih terdapat ulama yang
maju kemuka drajad ijtihad, bekerja otaknya memikirkan soal-soal peli yang belum
dipikirkan oleh para ulama-ulama pada abad-abad sebelumnya. Mereka mulai
berani  mngatakan bahwa imamnya, dalam masalah itu berdalim daif. Ada pula
yang membantahtaqlid buta, seperti ibnu taimiyah dan ibnu qayyim, sehingga
mereka dibenci, difitnah oeleh ulama-ulama sessamanya.

Adapun dalam periode ini, roh ijtihad telah padam sama sssekali, sunyi senyap
bagaikan keadaan tengah malam. Fatwa “haram berijtihad” pun semakin semarak.
Bahakn Taqlid dimasa ini tidak langsung lagi kepada seseorang alim yanh telebih
dahulu dari mereka saja. Mereka  menghentikn taqlid kepada ibnu hajar al-haitami,
ahmad ar.ramli dan zakariah al-asyari saja. Peling jauh merek meng hentikan taqlid
disisi ibnu an-nawawi dan ar-rafi’i dari kalangan syafi’iyah, disisi ibnu human di
kalangan hanafiah, disisi al-mazari digolongkan malikiyah, dan ibnu qudamah
dikalangan hanabiylah(hambaliyah).

Meskipun pada periode ini, ijtihad telah padam, tetapi karen allah tidak


menghendaki kemusnahannya maka ditengah-tengah negri yaman pada pertengahan
abad XII hijriah berdirilah dua orang Mujtahid yang diakui keluasan ijtihadnya oleh
lim ulama yag insyaf, yaitu muhammad ibnu Ismail Al-Amir ash-Shan’ani
pengaarang Shubulullussalam dan al-imam asy-syakani, pengarang Naila Authar.

Pada awalnya abad XX dengan inayah allah, lahirlah pujangga sunah, ahli
politik islam yang terkenal, al-imam muhammad abduh, dari tepi sungai nil yang
menerompetkan ijtihad. Usaha al-imam muhammad abduh, menyebabkan roh untuk
menyelidiki agama bangkit secara berangsur-ngsur. Semakin cepat pemeluk-
pemeluknya memperoleeh keinsyafan. Masa kembali kepada madzab-madzhab itu
dapat dipersatukan. Masa kepada kitabullah dan sunah rasul dengan berpedoman

21
kepada aturan-aturan yang telah dipergunakan oleh ujtahidin yang teleh
menyirnakan cahaya nya.

d. Periode Taqlid yang Keempat


Ketika muhammad abduh muncuk dalam masyarakat mesir, muncullah ulama-
ulama muwalilid memberikan tentangan yang mendasyatkan. Muhammad abduh
menyerukan kepada ulama untuk berujtihad dan menyingkapkan tirei taqlid.

Berkat usaha al-Manar yang dikendalikan oleh As-Sayid, berkumandanglah


usaha-usaha untuk merobek-robek tirai taqlid buta perogesif kian hari bertambah.
Sunggh telah banyak dasar-dasar taqlid yang telah berubah.

E. Sejarah Perkembangan Talfiq


Persoalan talfiq ini, tidak ditemukan didalam kitab-kitab ulama salaf bahkan
tidak pernah dibicarakan secara serius dikalangan mereka. Oleh kerena itu, dapat kita
katakan bahwa talfiq sebnarnya adalah masalah yang kita kenal didalam permasalah
fiqih dewasa, yang sengaja dibuat oleh ulama khalaf, khususnya pada abad kelima
hijriah. Ulama muta’ahirin (Khalaf) yang memprokalamilkan bahwa pintu ijtihad
telah presentasi mengakibatkan terjangkitnya penyakit taqlid yang mulai dirasan oleh
dunia islam, khususnyaulama-ulama islam.
Dari sinilah muncul ppendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu
madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian.  Pindah dari satu madzhab
ke madzhab lain secara sebagian ini lah yang dikenal sebagai istilah talfiq.
Pendapat semacam ini cukup menarik perhatian di dunia islam. Bukan saja di
ikuti oleh orang-orang awam, tetapi juga oelh para ulamanya. Berabad-abad
lamannya pendapat ini melanda dunia islam termasuk indonesia ini. Dengan adanya
pendapat ini menurut penulis, wawasan umat islam khususnya menjadi sempit. Hal
ini menyebabkan hukum islam yang semestinya lues (fleksibel) mejadi loyo, kaku,
tidak sehat, dan tidak dinamis serta tidak berdiri tegak untuk menjawab tantangan
zaman. Ketidak berasan ini tidak muncul dari hukum islam melainkan mucul dari
sikap ulama islam yang tidak tepat dalam mendudukkan hukum islam sebagai akibat
dari adanya pendapat yang sempit sebagaimana yang kita sebutkan diatas. Penulis

22
melihat hal ini, sangat perlu dilluruskan dengan cara mendudukkan masalah talfiq
secara propolsional. Untuk itu perlu diadakan penelitian seara terpadu dengan
mengkaji pendapat fuqoha dan para ahli usul nerdasarkan kitab-kitab turatz (lama)
kitab-kitab hadis (moderen) sehingga kita nantinya dapat membandingkan antara
engkajian lama dengan pengkajian baru.14

14
Drs. Khairul Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin, 2001. Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung.
Cetakan ke21

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang
berkata, sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau
dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh
suatu mazhab dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah
wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafi. Tapi
dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena
mengikuti mazhab Maliki misalnya.

B. Saran
Penulis sangat menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh karena itu kami mohon maaf. Dan penulis sangat berharap atas kritikan dan
saran yang bersifat membangun.Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kita
semua dan khususnya bagi penulis.

24
DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafie, 1963. Ushul Fiqh. Jakarta

Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin. 2007. Prinsip Ilmu


Ushul Fiqh. Jumadi ats-Tsaniyah Wordpress,

Abdurrahman Hafidz. 2012. Ushul Fiqih; Membangun Paradigma Berpikir Tasyri’,


Bogor. Al-Azhar Press.

An-Nabhani Taqiyuddin. 2012. Peraturan Hidup Dalam Islam, Jakarta. HTI Press.

Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua. Jakarta: Kencana

Khairul Uman dan H. A. Achyar Aminudin, 2001. Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka
Setia

Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo

M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, 2006. Fiqih. Semarang: PT. Karya Toha Putra

Umam, Kairul dan Aminudin, 2001 Ushul fiqh II. Bandung: Pustaka Setia

25

Anda mungkin juga menyukai