Anda di halaman 1dari 20

Darurat dan

batasannya
dalam Islam

Latar Belakang
Islam datang untuk mengatur kehidupan
manusia.
Islam memberikan aturan-aturan yang bisa
disebut dengan syariah Islam.
Aturan ini dibuat untuk manusia sedemikian
mudahnya namun tidak bisa dimudahmudahkan.
Tidak semua kondisi/keadaan manusia dapat
menjalankan peraturan tersebut, karena potensi
dan kemampuan manusia berbeda-beda. Dalam
kondisi seperti ini atau kondisi darurat, Allah
memberikan keringanan terhadap manusia
dalam kondisi tertentu juga.

Makna Hukum Darurat


Menurut Abu Bakar : kekhawatiran
adanya kesulitan atau kerusakan jiwa
atau sebagian anggota badan bila
tidak memakan yang diharamkan.
Ulama Malikyah : kekhawatiran akan
adanya kerusakan jiwa, baik secara
meyakinkan maupun dugaan.[1]

Hukum darurat menempati posisi yang


amat penting dalam syariah karena
mengandung berbagai keuntungan
seperti memberikan kemudahan bagi
orang yang ditimpa kesulitan.
Misalnya, dimana keadaan darurat
menyebabkan sesuatu yang dilarang
menjadi boleh adalah makan bangkai
karena lapar dan minum arak karena
haus.[3]

Batasan-Batasan
Hukum darurat dalam hal ini bukan berkenan bebas
dilakukan tetapi tunduk pada batasan-batasan tertentu
yang dijelaskan dalam ayat al-Quran:

Para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip


penting, yaitu: "Keadaan terpaksa
membolehkan yang terlarang.
Tetapi ayat-ayat itupun tetap
memberikan suatu pembatas terhadap
si pelakunya (orang yang disebut dalam
keadaan terpaksa) itu; yaitu dengan
kata-kata ghaira baghin wala 'aadin
(tidak sengaja/tidak menginginkan
dan tidak melewati batas).

Kata tidak menginginkan atau


tidak melampaui batas tidak
memiliki nafsu yang
berkobar/mencari kenikmatan untuk
makan apa yang dilarang dan tidak
bermaksud untuk melampaui batas
yang membenarkan seseorang
memakan apa yang dilarang ketika ia
mampu untuk menahan dirinya dari
memakan nya.

Hubungan Darurat dengan


Beberapa Konsep
1. Maslahah mursalah.
Ex:
meminum khamar/minuman keras
(haram)darurat kehausan yang pada saat
itu tidak terdapat air selain arak diperbolehkan
meminum arak tersebut namun dengan batasbatas yang telah disebutkan diatas. dalam hal
ini jika tidak ada jalan lain.[6]
sholat Jumat (wajib) menjadi sunnah apabila
tidak memungkinkan keluar dari rumah hujan
deras beserta angin kencang yang bila kita
keluar rumah dikhawatirkan mengancam jiwa
kita.

2. Istihsan
adalah meninggalkan hukum qiyas dan menerapkan
hukum darurat atau maslahat..
darurat dalam hal ini kebutuhan kepada yang lebih
mudah, kepada yang lebih dekat untuk menolak
kesempitan meskipun tidak terdapat pemeliharaan
terhadap jiwa dari kebinasaan dan harta benda dari
kesia-siaan.[7]
EX: menjual kotoran binatang. Yang hukum awalnya
adalah haram karena penetapan qiyas yang haram
dimakan dan dilarang menjual barang najis namun
ketetapan istihsan membolehkan karena
pertimbangan darurat yaitu dapat memenuhi
kebutuhan manusia yang mendesak dan dapat pula
dimanfaatkan oleh petani sebagai pupuk tanaman.
[8]

3. Rukhsahh
adalah sesuatu yang disyariatkan Allah dari berbagai
hukum untuk memberikan kemudahan kepada
mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi yang
menghendaki kemudahan tersebut.
Diantara rukhsah adalah pembolehan hal-hal yang
dilarang dalam keadaan darurat. Pembolehan
meninggalkan yang wajib apabila ada udzur yang
membuat pelaksanaannya memberatkan mukallaf.
Ulama Hanafiyyah membagi rukhsah kepada dua
macam yaitu :
a. rukhsah tarfih
b. rukhsah isqat.

a. Rukhsah tarfih : peringanan pada mukallaf.


Contoh orang yang dipaksa untuk berbuka
puasa pada bulan Ramadhan. Rukhsah tarfih
ini tidak menggugurkan keharaman namun
hanya keringanan bagi yang melakukannya.
b. Rukhsah isqat : pengguguran dimana
membolehkan sesuatu yang telah dilarang
dengan keadaan darurat. Contoh orang yang
terpaksa memakan bangkai karena
keterpaksaan. Hal ini menuntut hilangnya
keharaman. karena kalau sekiranya ia tidak
melakukannya maka dikhawatirkan akan
menghilangkan jiwa nya.[9]

Dalam hal ini sebab-sebab rukhsah adalah


melakukan perjalanan misalnya boleh
mengqashar shalat, mengqadha puasa,
kemudian sakit misalnya kebolehan
bertayamum, dan duduk ketika shalat,
selanjutnya dalam keadaan terpaksa misalnya
memakan bangkai, kemudian dalam keadaan
lupa misalnya makan minum waktu puasa maka
dia tidak berdosa, dilanjutkan dengan
ketidaktahuan misalnya memakan bangkai
namun tidak mengegerti bahwa bangkai
tersebut haram untuk dimakan dan dalam
keadaan kesulitan misalnya jual beli dengan
akad salam.[10]

Bentuk-bentuk dari rukhsah


a.Menghilangkan kewajiban seperti meninggalkan shalat
jumat, haji, umrah dan jihad ketika ada udzur.
b.Mengurangi beban umpamanya shalat qashar.
c.Penggantian seperti mengganti wudhu dan mandi
dengan tayamum.
d.Mendahulukan umpamanya mendahulukan zakat
harta sebelum genap setahun dan mendahulukan
pembayaran zakat fitrah di bulan ramadhan.
e.Menangguhkan hingga waktu tertentu, seperti
kebolehan mengganti puasa ramadhan pada hari lain
bagi yang sakit atau dalam perjalanan.
f.Perubahan misalnya mengubah susunan shalat dalam
keadaan perang.[11]

Daruratnya berobat
yaitu ketergantungan sembuhnya suatu
penyakit pada memakan sesuatu dari
barang-barang yang diharamkan.
para ulama fiqih berbeda pendapat.
1. Tidak dianggap sebagai darurat yang
sangat memaksa seperti makan.
"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia
haramkan atas kamu." (Riwayat Bukhari)

2. Sebagai keadaan daruratseperti


makan, dengan alasan bahwa keduaduanya itu sebagai suatu keharusan
kelangsungan hidup.
hadis Nabi : Perkenan beliau untuk
memakai sutera kepada Abdur-Rahman
bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang
justru karena penyakit yang diderita
oleh kedua orang tersebut, padahal
memakai sutera pada dasarnya adalah
terlarang dan diancam.

Syarat perkenan (rukhsah) tsb:


1. Terdapat bahaya yang mengancam
kehidupan manusia jika tidak
berobat.
2. Tidak ada obat lain yang halal
sebagai ganti Obat yang haram itu.
3. Adanya suatu pernyataan dari
seorang dokter muslim yang dapat
dipercaya, baik pemeriksaannya
maupun agamanya (i'tikad baiknya).

PENUTUP

Hukum dalam suatu aturan dapat berubah dari yang haram


menjadi halal jika dalam keadaan darurat.
Namun darurat dalam hal menggugurkan hukum haram
menjadi boleh itu berdasarkan kriteria bahwa tidak ada
jalan lain lagi misalnya dalam keadaan lapar dihutan
sedangkan yang ada hanyalah makanan yang haram, maka
dalam kondisi seperti ini diperbolehkan memakan makanan
yang haram dengan batasan-batasan tertentu agar tidak
berdosa.
Namun jika kata darurat ini dihubungkan dengan konsep
lain maka darurat nya tidak sama seperti darurat diatas
yang bisa merubah hukum namun hanya keringanan yang
didapat jika darurat nya dalam tingkatan yang ringan.
Jadi keadaan darurat yang dapat merubah hukum dengan
darurat yang mendapat keringanan itu berbeda kondisi dan
situasinya.

Daftar pustaka
1. Ahmad Al-Zarqa, Mustafa. Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
Jakarta: PT. Radar Jaya, 2000
2. Mubarok, Jaih. Kaidah fiqih, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002
3. Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran
Orientalis, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
4. Uman, Chaerul. Ushul Fiqih 1, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
5. Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Istimbath Hukum Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
6. Wahhab Kallaf, Abdul. Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: PT. Dina
Utama, 1994.
7.

soal
1. Bagaimana menurut kalian seorang dokter laki-laki
membantu proses persalinan dalam keadaan tidak
darurat dan padahal terdapat dokter kandungan
perempuan di daerah tersebut?
2. Bagaimana menurut kalian seorang dokter
menggugurkan kandungan pasiennya (usia
kehamilan 5 bulan) dikarenakan kondisi medis yang
dapat menyebabkan ibu tersebut meninggal jika
kandungannya diteruskan?
3. Apa yang akan kalian lakukan jika menjadi seorang
dokter yang meninggalkan sholat dzuhur dan ashar
karena proses operasi yang lama (jam 11.00-18.00)?

Anda mungkin juga menyukai