Anda di halaman 1dari 27

Kaidah-kaidah Fikih dalam Ekonomi Islam

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Fikih Ekonomi Islam
yang diampu oleh Dr. Rozalinda, M.Ag.

Oleh:
Zahrah Faradisi 1820030014

PASCASARJANA EKONOMI SYARIAH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL
PADANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai
“Kaidah-kaidah Fikih dalam Ekonomi Islam” sebagai tugas dari mata kuliah Fikih Ekonomi
Islam.

Dalam mempersiapkan, menyusun, dan menyelsaikan makalah ini penulis tidak terlepas
dari berbagai kesulitan dan hambatan yang dihadapi baik dari penyusunan kalimat maupun
sistematikanya. Namun berkat usaha dan kerja keras akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini.

Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya
bagi pembaca.

Padang, 05 Desember 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan......................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Qawa’id Fiqhiyah.................................................................................5


B. Kaidah-kaidah Fikih dalam Ekonomi Islam.........................................................6
C. Peran kaidah-kaidah Fikih dalam Pengembangan Ekonomi Islam..................24

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................25
B. Saran........................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Khazanah fikih Islam selalu membahas topik-topik tentang konsep dan ilmu ekonomi.
Untuk membantu umat Islam dalam membahas suatu tema tentang hukum ekonomi Islam,
maka mempelajari kaidah-kaidah fikih merupakan suatu keharusan untuk memperoleh
kemudahan dalam mengetahui hukum-hukum kontemporer ekonomi yang tidak memiliki
nash sharîh (dalil pasti) dalam Al-quran maupun hadis. Selain itu, kaidah-kaidah fikih juga
mempermudah kita menguasai permasalahan furu’iyah (cabang) yang terus berkembang dan
tidak terhitung jumlahnya hanya dalam waktu singkat dan dengan cara yang mudah, yaitu
melalui sebuah ungkapan yang padat dan ringkas berupa kaidah-kaidah fikih.
Kaidah-kaidah fikih merupakan prinsip-prinsip fikih universal yang dirumuskan
dalam bentuk hukum yang terperinci, melambangkan ketentuan-ketentuan umum terhadap
kasus-kasus yang berada di bawah topik-topik tertentu. Salah satu topik yang dapat
dirumuskan melalui pemahaman terhadap kaidah-kaidah fikih ialah yang berkaitan dengan
ekonomi Islam dan muamalah. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis hanya akan
membahas kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan ekonomi islam dan seputar muamalah
saja.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diambil rumusan masalah seperti berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan qawa’id fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih)?
2. Apa saja kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan ekonomi Islam?
3. Apa peran kaidah-kaidah fikih dalam pengembangan ekonomi Islam?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami, dan mengerti
tentang hal-hal yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fikih terutama yang berkaitan dengan
ekonomi Islam. Mulai dari pengertian setiap kaidah, dasar hukum, contoh aplikasinya dalam
praktek transaksi atau praktek kehidupan sehari-hari, serta peran kaidah-kaidah fikih tersebut
dalam pengembangan ekonomi Islam.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qawa’id Fiqhiyah
Qawa’id Fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) atau kaidah-kaidah hukum Islam
menempati posisi yang sangat penting dalam literatur Hukum Islam. Dalam pengertian ini,
ada dua terminologi yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata
qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal
dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan. Dalam tinjauan terminologi kaidah
mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'i menyatakan bahwa kaidah adalah:
‫القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم جزئيات كثيرة‬
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang
banyak".1
Sedangkan secara terminologi, fiqh menurut al-Jurjani al-Hanafi:
‫العلم باالحكام الشريعة العملية من ادلتها التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي واالجتهاد ويحتاج فيه الى‬
‫النظر والتأمل‬
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya
yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".
Dari uraian pengertian diatas, baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang
dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Tajjudin as-Subki:
‫االمر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها‬
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang banyak yang dari padanya
diketahui hukum-hukum juziyat itu2"
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowa’id Fiqhiyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat
umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang
umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah
tersebut.3
Ada sejumlah unsur yang dijelaskan Zarqa’ dalam mendefinisikan kaidah fiqh yaitu,
kaidahnya bersifat umum, tersusun dalam teks-teks singkat, dan meliputi sejumlah masalah
fiqh yang menjadi objeknya atau berda di bawah lingkupnya.

1
Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami, (Iskandariyah Muassasah Tsaqofah Al-
Jamiiyah.1983), hlm. 4.
2
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 11.
3
Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh,(Amzah: Jakarta), hlm. 13.

5
B. Kaidah-kaidah Fikih dalam Ekonomi Islam
Untuk memudahkan memahami kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan ekonomi
Islam, para ulama pada masa Turki Usmani meluncurkan Majalah al-Ahkam al-Adliyah pada
26 Sya’ban 1293 H, bertepatan dengan tahun 1876 M.4 Kaidah-kaidah tersebut ada 100 buah.
Dan di makalah ini akan dirincikan 50 kaidah dari keseluruhannya sebagai berikut:
1.
‫الفقه علم بالمسائل الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية‬
“Fikih merupakan ilmu yang membahas masalah-masalah syari’ah yang bersifat amaliah
(aplikatif) yang bersumber dari dalil-dalil yang terperinci”.
Secara umum, ajaran Islam meliputi dua ajaran pokok, yaitu akidah dan syari’ah.
Akidah mengatur masalah-masalah apa yang harus diyakini manusia yang dirangkum dalam
rukun iman yang enam. Syari’ah merupakan aturan yang mengatur tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia, meliputi ibadah dan muamalah. Di sinilah
ruang lingkup fikih berada. Dalam kaitannya dengan ekonomi Islam, fikih berada dalam
ruang lingkupnya yang berkaitan dengan muamalah, yaitu hukum-hukum yang mengatur
tentang hubungan manusia dengan sesamanya dalam masalah keduniawian. Misalnya: Jual
beli, hutang-piutang, akad sosial, dan lain-lain.
Sumber dari fikih ialah dalil-dalil yang terperinci dalam suatu masalah. Contohnya
dalam praktek jual beli, dalil yang menjadi landasan yaitu: QS Al-Baqarah [2:275].
ِّ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
ۚ ‫الربَا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”

2.
‫األمور بمقاصدها‬
“Setiap perkara (perbuatan) itu tergantung pada tujuannya”.
Niat yang terbersit dalam hati sewaktu melakukan akad muamalat menjadi penentu
terhadap nilai dan status akad yang dilakukan.

 Dasar hukum kaidah ini: Hadits sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh perawi
enam dari Umar bin Khatab.

‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى‬

“Segala amal perbuatan tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan.”

4
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers,2016), hlm.390

6
 Salah satu contoh dari penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi
Islam ialah:
Jika A mengatakan pada B, “Ambillah uang ini.” Jika A berniat pemberian
murni maka ia akan menjadi akad hibah, jika tidak maka ia akan menjadi utang (akad
qardh) yang wajib dikembalikan. Atau akan menjadi amanah yang wajib dijaga, jika
tidak maka ia harus menggantinya.5
3.
‫العبرة في العقود للمقاصد و المعاني ال لأللفاظ و المباني‬
“Patokan dalam akad diambil dari tujuan dan maknanya bukan dari ungkapan dan
bentuknya”
Berdasarkan kaidah ini, hasil yang diperoleh dari akad tidak tergantung kepada lafal
yang digunakan para pihak yang berakad, tetapi tergantung dari maksud dan makna hakiki
dari lafal yang diucapkan tersebut.6 Kaidah ini merupakan kaidah turunan dari kaidah
sebelumnya.
 Dasar hukum kaidah ini: Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Abu Hurairah ra.7
‫إنما يبعث الناس على نياتهم‬
. “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.”
 Salah satu contoh penerapannya dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika A mengatakan pada B bahwa dia akan menghibahkan suatu barang
padanya dengan harga sejuta rupiah atau dengan syarat B memberikan benda yang
seharga kepada A. Akad ini, berdasarkan kaidah di atas dinamakan akad jual-beli
bukan hibah.8
4.
‫اليقين ال يزال بالشك‬
“Sesuatu yang sudah diyakini tidak dapat dihapus oleh keragu-raguan”.
Kaidah ini menyatakan bahwa aturan hukum yang dilandaskan keyakinan bersifat
kuat dan tidak dapat diruntuhkan oleh sesuatu yang dilandaskan keraguan.
 Dasar hukum kaidah ini: QS: Yunus [10:36]

5
Muhammad Shidqi Bin Ahmad Al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhoh al-Qawaid al-Fiqh al-Kulliyyah, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah, 1983), hlm.48
6
Rozalinda, Op.Cit., hlm.400
7
Abdul Adzim ibn Abdul Qawiy al-Mundziri Dzakiy ad-Din, at-Targhib wa at-Tarhib, Juz 1, (Riyadh: Maktabah
al-Ma’arif, 1424 H), hlm.43
8
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Al-Mumti’ fi Qawaid Fiqhiyyah (Riyadh: Dar-Zidni, 2007), hlm.88

7
َ‫َّللاَ َع ِّلي ٌم ِّب َما َي ْف َعلُون‬
َّ ‫ش ْيئًا ۚ ِّإ َّن‬ ِّ ‫ظ َّن َال يُ ْغنِّي ِّمنَ ْال َح‬
َ ‫ق‬ َّ ‫ظنًّا ۚ ِّإ َّن ال‬
َ ‫َو َما َيتَّ ِّب ُع أ َ ْكث َ ُر ُه ْم ِّإ َّال‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”.
 Salah satu contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika telah tetap adanya hutang pihak B kepada A, lalu keduanya ragu apakah
hutang itu telah dilunasi atau belum. Maka status B masih berhutang terhadap A. Karena
adanya hutang adalah suatu yang telah diyakini, sementara pelunasan hutang tersebut
adalah hal yang masih diragukan. 9

5.
‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬
“Yang menjadi patokan adalah tetapnya sesuatu menurut keadaan semula”
Kaidah ini secara makna hampir senada dengan kaidah sebelumnya. Di mana status
hukum yang dipegang adalah suatu hal atau keadaan semula yang sudah pasti dan yakin
hukumnya. Sementara yang datang setelah itu, dan statusnya masih diragukan tidak dapat
dijadikan patokan hukum.
 Salah satu contoh penerapannya dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Seseorang hilang tanpa ada kabar dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau
telah meninggal, maka statusnya dihukumi tetap hidup. Karena status asalnya sebelum
kepergiannya ia masih hidup, hingga ada bukti yang menyatakan ia telah meninggal. Oleh
karena itu, harta orang tersebut tidak dapat dibagikan kepada ahli warisnya berdasarkan
fakta keadaan awal bahwa dia masih hidup.10
6.
‫القديم يترك على قدمه‬
“Sesuatu yang lama akan ditinggalkan sebagaimana asalnya atau mulanya”
Kaidah inipun secara makna juga senada dengan dua kaidah sebelumnya.
 Jika seseorang memiliki tempat lewat atau jalan setapak yang melewati tanah
tetangganya. Di mana di jalan itu, dari dahulu digunakan oleh orang itu untuk lewat
sampai ke rumahnya. Lalu sang tetangga ingin menutup jalan setapak itu, maka ia
dilarang melakukan hal tersebut karena fungsi jalan setapak itu sejak dahulu kala

9
Muhammad Shidqi Bin Ahmad al-Burnu, Op.Cit., hlm. 93
10
Muhammad Shidqi Bin Ahmad al-Burnu, Op.Cit., hlm.96

8
seperti itu. Dan sesuatu yang sejak dahulu seperti itu hendaklah dibiarkan
sebagaimana asalnya.11
7.
‫الضرر ال يكون قديما‬
“Kemudharatan tidak akan boleh terjadi sejak awal”
 Dasar hukum kaidah ini: Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu
Qilabah.
‫ال تضاروا في الحفر‬
“Janganlah kalian memudharatkan orang lain dalam pembuatan sumur-sumur”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika seseorang memiliki saluran pembuangan di rumahnya yang mengalir himgga
ke jalanan umum dan saluran itu mengganggu setiap orang yang lewat dari sejak awal.
Maka saluran itu harus dihilangkan walaupun fungsinya sejak awal seperti itu. Maka
tidaklah yang jadi patokan fungsi saluran itu sejak awal tetapi yang jadi patokan adalah
keharusan menghilangkan kemudharatan.12
8.
‫األصل براءة الذمة‬
“Pada prinsipnya, sesuatu itu bebas dari tanggungan”
 Dasar hukum dari kaidah ini: Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
‫ و اليمين على المدعى عليه‬,‫البينة على المدعي‬
"Wajib ada bukti bagi yang menuduh (atau yang mengaku dirinya berhak atas sesuatu), dan
sumpah bagi yang dituduh (jika ingin menafikan tuduhan tersebut)”.
 Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi telah mewajibkan adanya bukti untuk
membuat seseorang harus memikul tanggungan, tanpa bukti tersebut tidaklah sah
dakwaan seseorang terhadap orang lain, karena pada aslinya, seseorang itu bebas dari
tanggungan apapun.
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Dalam hal ganti rugi (dhaman), orang yang merusakkan barang orang lain
tanpa ada hak apapun maka dia harus mengganti kerusakan itu. Namun ketika
terjadi perselisihan antara si pemilik barang dan orang yang merusakkannya
tentang harga barang yang rusak itu, di mana pemilik barang mengaku
barangnya lebih mahal dari harga yang disebutkan si perusak, maka sesuai
11
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit.,hlm.232
12
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.237

9
kaidah ini, orang yang merusakkan ini tidak dapat dituntut melebihi harga
yang telah disebutkan dengan syarat dia bersumpah. Demikian ini karena dia
tidak dapat dibebani tanggungan melebihi hukum asalnya, kecuali jika pemilik
barang memiliki bukti atau saksi.13

9.
‫األصل في الصفات العارضة العدم‬
“Hukum asal dalam hal-hal/sifat-sifat yang baru adalah ketiadaan”
 Dasar hukum kaidah ini sama dengan kaidah “al-yaqiin la yuzaalu bi as-syakk”.
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Ahmad membeli mobil pada sebuah dealer mobil, dan akad jual beli telah terjadi
dengan sah. Lalu Ahmad mengatakan bahwa ada cacat pada mobil itu sejak akad jual beli
sehingga dia dapat mengembalikannya. Namun, pihak dealer mobil menolak bahwa ada
cacat sejak akad terjadi dan memang tidak ada bukti atau saksi terkait cacat tersebut.
Maka perkataan dealer lah yang dimenangkan setelah dia bersumpah. Demikian itu
karena hukum asal dalam masalah ini adalah ketiadaan cacat pada barang itu sewaktu
akad.
10.
‫و ما ثبت بزمان محكم ببقائه ما لم يوجد دليل على خالفه‬
“Sesuatu yang tetap pada zamannya akan dinilai kekal kecuali terdapat dalil yang
membuktikan kebalikannya”
 Kaidah ini juga senada dengan dengan kaidah “al-yaqiin la yuzaalu bi as-syakk” dan
“al-ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana”.
 Contoh penerapannya dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Ali menyewa salah satu rumah milik Ahmad. Ali mengaku telah membayar
uang sewa kepada Ahmad sebagai pemberi sewa. Namun Ahmad
menyangkalnya. Hal yang sudah tetap dan pasti sejak awal ialah bahwa telah
terjadinya akad sewa-menyewa antara Ali dan Ahmad, sementara pembayaran
uang sewa itu masih diragukan. Maka menurut kaidah ini, hukum fikih bagi
akad itu sah dan Ali berkewajiban membayar uang sewa itu, kecuali dia bisa
mendatangkan bukti.14
11.
13
Sholih ibn Ghonim as-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra, (Riyadh: Dar al-Balansiyah, 1417 H), hlm.123
14
Musthafa Ahmad az-Zarqa’, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), hlm.82

10
‫األصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته‬
“Hukum asal dari segala peristiwa yang baru, dikira-kirakan pada waktu yang paling dekat”
 Kaidah ini dapat diberlakukan dimana waktu terjadinya suatu kasus dapat
mempengaruhi tentang hukum fikih atau hasil putusan hukum terhadap sebuah
peristiwa. Yang dimaksud dengan waktu yang paling dekat ialah waktu pengambilan
hukum fikih atau waktu hasil putusan hukum suatu peristiwa
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi islam:
Penjual mengatakan:”jual beli terjadi pada 10 Oktober 2016 yang lalu”.
Sementara pembeli mengatakan:”tidak, jual beli terjadi pada 20 Oktober 2016”.
Keduanya berselisih pada tanggal 30 Oktober 2016. Jika tidak ada bukti atau saksi, maka
hukum atau putusan yang diambil pada tanggal 30 itu adalah perkataannya pembeli yaitu
20 Oktober 2016. Itulah waktu yang lebih dekat dengan waktu perselisihan. Demikian itu
karena secara tidak langsung penjual juga mengakui telah terjadinya peristiwa jual beli
antara mereka pada tanggal 20 Oktober, sementara pembeli tidak mengakui jual beli itu
sebelum tanggal 20 Oktober.15
12.
‫األصل في الكالم الحقيقة‬
“Suatu kalimat pada asalnya adalah makna hakiki”
 Contoh penerapannya dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika seseorang bersumpah tidak akan melakukan praktek jual beli sama sekali, lalu
dia melakukan praktek jual beli dengan perantara mengutus wakil, maka dia tidak
terhitung melanggar sumpahnya dan tidak harus bayar kafarat sumpah. Karena lafal
sumpahnya mengandung makna hakiki larangan untuk dirinya sendiri dan dia tidak
melakukan jual beli itu dengan dirinya sendiri.16
13.
‫ال عبرة للداللة في مقابلة التصريح‬
“Suatu dalil atau tanda-tanda tidak dapat dijadikan landasan jika bertentangan dengan
pernyataan yang jelas”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika A menyewakan mobil pada B. Di mana pada kebiasaannya mobil itu
digunakan sebagai pengangkut barang, maka boleh bagi B memakai mobil itu dalam
mengangkut barang. Karena dalil ‘urf (adat kebiasaan) nya mobil itu dipakai untuk hal
15
Sholih ibn Ghonim as-Sadlan, Op.Cit., hlm.148
16
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit.,hlm. 380

11
tersebut. Kecuali jika si A sang penyewa tegas menyatakan terus terang dalam akad kalau
mobil itu tidak boleh digunakan untuk mengangkut barang. Demikian ini karena dalil ‘urf
yang berlaku telah dipatahkan oleh pernyataan tegas penyewa tentang
ketidakbolehannya.17
14.
‫ال مساغ لالجتهاد في مورد النص‬
“Tidak ada tempat untuk berijtihad pada perkara yang ada nash-nya”
 Dasar hukum kaidah ini: QS. Al-Ahzab:36
ۗ ‫سولُهُ أ َ ْم ًرا أ َ ْن يَ ُكونَ لَ ُه ُم ْال ِّخيَ َرة ُ ِّم ْن أ َ ْم ِّر ِّه ْم‬ َّ ‫ضى‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬ َ َ‫َو َما َكانَ ِّل ُمؤْ ِّم ٍن َو َال ُمؤْ ِّمنَ ٍة إِّذَا ق‬
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam muamalat atau ekonomi Islam:
Jika di awal perkara seseorang melarang pendakwa / yang menuntut atas hak
tertentu untuk mendatangkan bukti atas suatu perkara, tetapi meminta bukti pada
terdakwa. Dan sebaliknya, yang diwajibkan bersumpah adalah pendakwa terlebih dahulu,
bukan terdakwa, maka ijtihad seperti ini tertolak karena menyelisihi hadits Nabi: ((Wajib
ada bukti bagi yang menuduh (atau yang mengaku dirinya berhak atas sesuatu), dan
sumpah bagi yang dituduh (jika ingin menafikan tuduhan tersebut))).18
15.
‫ما ثبت على خالف القياس فغيره ال يقاس عليه‬
“Sesuatu yang telah tetap dari asal selain qiyas, maka tidak boleh dijadikan patokan untuk
mengqiyaskan yang lain”
 Suatu hukum yang tetapnya dia dengan menyelisihi qiyas atau hukum secara umum,
karena ada dalil pengkhususannya atau pengecualiannya, maka sesuatu yang khusus
tadi tidak bisa dijadikan ashl (sandaran) dalam menqiyaskan hal lain.19
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Akad istishna’ (jual beli pesanan) diperbolehkan dengan dasar menyelisihi qiyas.
Karena qiyas atau hukum aslinya, jual beli barang yang tidak wujud pada saat akad
termasuk jual beli gharar. Akan tetapi jual beli ini diperbolehkan dengan dasar hukumnya
disamakan dengan salam karena keduanya bersifat khusus/pengecualian. Dalam Fatwa

17
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit.,hlm. 164
18
Muhammad Shidqi Bin Ahmad al-Burnu, Op.Cit., hlm.255
19
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th), jilid 1, hlm.29

12
DSN-MUI 06 Tahun 2000 menyatakan bahwa dasar pembolehan istishna’ adalah
pendapat ulama dan prakteknya telah dilakukan sejak zaman muslim awal tanpa ada
ulama yang mengingkarinya. Tetapi akad jual beli istishna’ ini tidak bisa menjadi patokan
qiyas masalah yang lain karena sifatnya yang khusus.20

16.
‫االجتهاد ال ينقض بمثله‬
“Sebuah ijtihad tidak dapat membatalkan yang semisalnya (ijtihad yang lain)”
 Dasar hukum kaidah ini: Ijma’ sahabat tentang tidak bolehnya membatalkan ijtihad
yang telah lalu, di mana kekuatan ijtihadnya sama.21
17.
‫المشقة تجلب التيسير‬
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
 Dasar hukum kaidah ini: QS.Al-Baqarah:185
‫يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬
“Allah menginginkan kemudahan untuk kalian, dan tidak menghendaki kesusahan”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Diperbolehkannya jual beli salam. Pada asalnya tidak boleh karena jual beli pada
benda yang belum jelas atau belum ada. Tetapi disyariatkan sebagai kemudahan untuk
manusia dimana jika tidak disyariatkan akan susah manusia dalam memenuhi
kebutuhannya akan barang-barang tertentu yang tidak bisa dipenuhi dengan jual beli
biasa.22

18.
‫األمر إذا ضاق اتسع‬
“Jika sesuatu menyempit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)”
 Kaidah ini merupakan kaidah turunan dari kaidah sebelumnya.
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika ada seseorang yang memiliki tanggungan hutang yang sudah jatuh tempo
pembayarannya, namun dia benar-benar belum memiliki uang untuk membayar, maka

20
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017),
hlm.273
21
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm. 342
22
Rozalinda, Op.Cit., hlm.413

13
pembayarannya wajib untuk ditunda. Atau jika ia tidak bisa melunasinya dengan cara
kontan, maka boleh dengan cara diangsur.23
19.
‫ال ضرر و ال ضرار‬
“Tidak boleh memulai kemudharatan dan membalas kemudharatan”
 Al-Bazi, dalam kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’, menjelaskan pendapat al-
Khasyani yang menyatakan bahwa dharar adalah suatu perbuatan yang bermanfaat
bagi pelakunya, tetapi menyulitkan pihak lain. Sedangkan dhirar adalah suatu
perbuataan yang tidak bermanfaat bagi pelakunya, tetapi menyulitkan orang lain. 24
 Dasar hukum kaidah ini: Hadits yang diriwayatkan Hakim dari Sa’id al-Khudry:25
‫ من ضار ضاره هللا و من شاق شاق هللا عليه‬,‫ال ضرر و ال ضرار‬
"Tidak boleh memudharatkan diri sendiri atau orang lain. Barangsiapa yang membuat
mudharat, maka Allah akan memudharatkannya. Barangsiapa yang menyulitkan orang lain,
Allah akan menyulitkannya”.
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Pelarangan praktek atau perbuatan yang mengandung: 1. Riba 2. Gharar 3.
Ghisysy (penipuan) 4. Tadlis 5. Ihtikar (penimbunan) 6. Ghasb 7. Risywah (suap) 8.
Muqamarah (judi).26

20.
‫الضرر يزال‬
“Kemudharatan harus dihilangkan”
 Dasar hukum yang digunakan sama dengan kaidah sebelumnya yang menyatakan
terlarangnya melakukan kemudharatan.
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat dan ekonomi Islam:
Orang yang telah dinyatakan pailit atau bangkrut oleh pengadilan terlarang
baginya untuk menjual hartanya dalam rangka melindungi hak orang yang berpiutang.
21.
‫الضرورات تبيح المحذورات‬
“Kondisi darurat akan memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”

23
Ahmad Sarwat, Muqaddimah: Seri Fiqih Kehidupan, (Jakarta:Rumah Fiqih), hlm.180
24
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Op.Cit.,hlm.264
25
Al-Hakim an-Naisabury, al-Mustadrak, hlm.57
26
Jaih Mubarok dan Hasanuddin, Op.Cit., hlm. 275

14
 Dasar hukum kaidah ini: QS.Al-Baqarah:173
َّ ‫ط َّر َغي َْر بَاغٍ َوالَ َعا ٍد فَالَ إِّثْ َم َعلَ ْي ِّه إِّ َّن‬
ٌ ُ‫َّللاَ َغف‬
‫ور‬ ُ ‫ض‬ َّ ‫ير َو َما أ ُ ِّه َّل بِّ ِّه ِّلغَي ِّْر‬
ْ ‫َّللاِّ فَ َم ِّن ا‬ ِّ ‫نز‬ ِّ ‫" إِّنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ال َم ْيتَةَ َوالد ََّم َولَحْ َم‬
ِّ ‫الخ‬
‫َّر ِّحي ٌم‬
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan apa-apa
yang disembelih bukan karena Allah. Barang siapa dalam kedaan terpaksa sementara dia
tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka tidak ada dosa baginya”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam muamalat atau ekonomi Islam:
Seseorang yang dalam keadaan sangat lapar dan hampir-hampir mati
karenanya, diperbolehkan baginya mengambil makanan milik orang lain tanpa izin.
Namun setelah itu ia tetap harus mengganti hal tersebut.27
22.
‫الضرورات تقدر بقدرها‬
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, itu mesti disesuaikan dengan kadar
kedaruratannya”
 Dasar hukum kaidah ini: QS.Al-Baqarah:173

ٍ‫َغي َْر بَاغ‬


“Tanpa melampaui batas”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika hakim mengetahui seseorang mengulur pembayaran hutangnya sementara
dia mampu dan orang-orang yang dipiutangi telah menuntut agar dia membayar
hutang dan menjual hartanya. Maka hakim berhak menahan hartanya dan memintanya
untuk menjual hartanya. Jika dia menolak, maka hakim bisa menjual hartanya secara
bertahap dimulai dari harta berupa uang. Kalau belum cukup, harta berupa perhiasan
atau sejenisnya, kalau belum cukup juga baru harta seperti rumah. 28 Jadi dalam
pelunasan hutang seperti di atas, harus disesuaikan juga dengan kebutuhan secara
bertahap tanpa kedzaliman.
23.
‫ما جاز لعذر بطل بزواله‬
“Sesuatu yang dibolehkan karena udzur, batal dengan hilangnya udzur tersebut”
 Kaidah ini sangat berkaitan dengan dua kaidah sebelumnya. Dimana, sesuatu yang
hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat, jika telah hilang kondisi tersebut maka
kembali hukumnya seperti semula.
27
Sholih ibn Ghonim as-Sadlan, Op.Cit., hlm.261
28
Muhammad Shidqi Bin Ahmad al-Burnu, Op.Cit., hlm.147

15
 Contoh penerapan kaidah ini dalam muamalat atau ekonomi Islam:
Tidak boleh bagi penyewa membatalkan sewanya jika si pemberi sewa telah
memperbaiki cacat baru dari barang sewa sebelum terjadinya pembatalan. Dimana
cacat itu adalah kondisi khusus yang membolehkan si penyewa untuk membatalkan
akad. 29
24.
‫إذا زال المانع عاد الممنوع‬
“Apabila hilang penyebab yang melarang sesuatu maka yang dilarang itu boleh dilakukan”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam muamalat atau ekonomi Islam:
Jika seseorang dilarang melakukan transaksi karena gila atau pailit, lalu dia
sembuh dari gila atau tidak pailit lagi, maka dia bisa kembali melakukan pengelolaan
terhadap hartanya sendiri.
25.
‫الضرر ال يزال بمثله‬
“Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan yang semisal”
 Contoh penerapannya dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika ada orang faqir yang memiliki kerabat yang dalam tanggungannya yang
juga faqir, maka keduanya tidak berkewajiban memberi nafkah bagi yang lain jika
memang dia bahkan susah menafkahi dirinya sendiri. Karena kondisi faqir adalah
bahaya bagi dirinya, dan kewajiban memberi nafkah adalah bahaya yang lain yang
serupa atau bahkan lebih besar dari bahaya pertama dan juga tidak bisa
menghilangkan bahaya pertama.30
26.
‫يحتمل الضرر الخاص لمنع الضرر العام‬
“Bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum”
 Dasar hukum kaidah ini: QS.Ath-Thalaq:6
‫وال تضاروهن لتضيقوا عليهن‬
“Janganlah kalian memudharatkan mereka (istri-istri yang kalian talak) untuk menyempitkan
mereka”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika ada sebuah rumah yang memiliki pohon dengan dahan dan ranting yang
tumbuh lebat hingga mengganggu para pengguna jalan, maka dahan dan ranting yang
29
Sholih ibn Ghonim as-Sadlan, Op.Cit., hlm.285
30
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.239

16
mengganggu itu wajib untuk dipotong. Sebab, meski dalam pemotongan tersebut
terdapat resiko kerugian bagi si pemilik pohon, hanya saja kerugian itu tersebut
hanyalah kerugian atau bahaya khusus. Dan gangguan pengguna jalan adalah bahaya
umum. Dan bahaya khusus harus ditanggung demi menolak bahaya umum.31
27.
‫الضرر األشد يزال بالضرر األخف‬
“Kemudharatan yang lebih besar dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika ada dua kerabat yang salah satunya faqir dan yang lain berkecukupan,
maka wajib bagi yang berkecukupan untuk memberi nafkah kepada si faqir. Karena
meskipun kewajiban memberikan nafkah oleh yang berkecukupan adalah bentuk
bahaya baginya, tapi ketiadaan nafkah bagi si faqir adalah bahaya yang lebih besar.
Dan bahaya yang lebih besar harus dihilangkan dengan menempuh bahaya yang lebih
ringan.32
28.
‫إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما‬
“Apabila dua kerusakan bertabrakan, maka ambil yang paling ringan”
 Kaidah ini semakna dengan kaidah sebelumnya.
 Contoh penerapannya:
Jika A memiliki tanah hasil warisan atau semisalnya, kemudian tanah itu
sudah dibangun bangunan dan ditanami berbagai pohon. Lalu setelah itu baru
diketahui ada pemilik lain B terhadap separuh tanah itu. Maka dilihat, apabila harga
bangunan dan seisinya lebih mahal dari harga tanahnya, maka bagi A untuk memiliki
bagian tanah itu dengan membayar harganya kepada B. Karena menghancurkan
bangunan dan pepohonan adalah kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan
kerugian membayar harga tanah.33
29.
‫يختار أهون الشرين‬
“Memilih yang lebih kecil dari dua keburukan”
 Kaidah ini juga semakna dengan kaidah sebelumnya.
30.

31
Ahmad Sarwat, Op.Cit., hlm.200
32
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.243
33
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.243

17
‫درء المفاسد أولى من جلب المنافع‬
“Menolak suatu kerusakan lebih utama dari menarik manfaat”
 Dasar hukum kaidah ini: hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
‫ و إذا أمرتكم بشيء فأتوا منه ما استطعتم‬,‫فإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه‬
“Maka apabila saya melarang kalian sesuatu, maka jauhilah sesuatu itu, dan apabila saya
memerintahkan kalian melakukan sesuatu, maka kerjakanlah perintah itu sebatas kemampuan
kalian”
 Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa Nabi mengaitkan keharusan kita mengikuti
perintahnya dengan kemampuan kita, sementara dalam meninggalkan larangan Nabi
memerintahkan kita untuk meninggalkannya tanpa mengaitkannya dengan
kemampuan. Itu berarti, meninggalkan larangan lebih penting daripada melakukan
suatu perintah, dan menolak suatu kerusakan lebih utama daripada menarik manfaat.34
 Contoh penerapannya:
Jual beli minuman keras dan jual beli lotre harus dilarang dengan ketat karena
dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar daripada kemashlahatan yang bisa
diambil dari jual beli itu.35
31.
‫الضرر يدفع بقدر اإلمكان‬
“Kemudharatan itu harus ditolak semampu mungkin”
 Contoh penerapannya:
Untuk menolak mudharat yang terjadi sebelum jual beli, maka disyariatkannya
khiyar majelis dan khiyar syarat. Untuk menolak mudharat yang mungkin terjadi
setelah akad, disyariatkannya khiyar aib, khiyar tadlis. Sebisa mungkin sebuah
mudharat diantisipasi.36
32.
‫الحاجة تنزل منزلة الضرورة‬
“Kebutuhan itu menempati kedudukan dharurat”
 Contoh penerapannya:

34
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.257
35
Rozalinda, Op.Cit., hlm.414
36
Ahmad Sarwat, Op.Cit., hlm.196

18
Pembolehan jual beli salam yang dasarnya terlarang karena benda yang
diakadkan belum ada, tetapi dibolehkan karena manusia banyak membutuhkannya
dalam rangka menghilangkan kesulitan hidup.37
33.
‫إن االضطرار ال يبطل حق الغير‬
“Keadaan darurat tidak membatalkan hak orang lain”
 Contoh penerapannya:
Jika misalnya ada suatu kapal yang hampir tenggelam karena terlalu berat
beban muatan kapal, kemudian untuk menyelamatkan kapal dari tenggelam, ada
penumpang yang melempar beberapa barang penumpang lainnya. Maka si pelempar
tadi wajib mengganti kerugian materi penumpang lain. Sebab, keadaan darurat tidak
bisa membatalkan hak orang lain.38
34.
‫ما حرم أخذه حرم إعطاؤه‬
“Sesuatu yang diharamkan mengambilnya, maka diharamkan pula memberikannya”
 Dasar kaidah ini: QS.Al-Maidah:2
‫وال تعاونوا على اإلثم و العدوان‬
"Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan”
 Contoh penerapannya:
Sebagaimana yang telah disyariatkan bahwa uang yang diperoleh dari suap
haram mengambilnya, maka haram juga memberikannya pada orang lain.39
35.
‫ما حرم فعله حرم طلبه‬
“Sesuatu yang haram mengerjakannya, maka haram pula meminta orang mengerjakannya”
 Contoh penerapannya:
Zina adalah perbuatan yang haram dilakukan, maka dilarang juga meminta
orang lain mengerjakannya.40
36.
‫العادة محكمة‬
“Adat kebiasaan mempunyai kekuatan hukum”

37
Sholih ibn Ghonim as-Sadlan, Op.Cit., hlm.293
38
Ahmad Sarwat, Op.Cit., hlm. 197
39
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.346
40
Muhammad Shidqi Bin Ahmad al-Burnu, Op.Cit., hlm.264

19
 Dasar hukum kaidah ini: QS. Al-A’raf:199
َ‫ض َع ِّن ْال َجا ِّهلِّين‬ ِّ ‫ُخ ِّذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِّ ْالعُ ْر‬
ْ ‫ف َوأَع ِّْر‬
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Seseorang dianggap sah menerima barang baik dalam jual beli (bai’), pesan
memesan (salam), penggadaian (rahn), pemberian cuma-cuma (hibah) dan lain
sebagainya. Dalam penyerahannya disesuaikan dan diarahkan pada tradisi yang berlaku.
Misalnya dalam penjualan rumah, maka penerimaanya (al-qabdhu) dilakukan dengan
melepaskan hak kepemilikannya kepada pembeli.41
37.
‫استعمال الناس حجة يجب العمل بها‬
“Jika manusia sudah sepakat dengan sesuatu (kesepakatan umum), maka wajib dikerjakan”
 Contoh penerapannya:
Dalam bidang ijarah, antara majikan dan buruh harus menetapkan ketentuan
waktu, pekerjaan, upah, dan segala yang terkait dengan akad tersebut. Ketentuan itu
biasanya dikembalikan kepada kebiasaan atau kesepakatan umum di suatu daerah.42

38.
‫الممتنع عادة كالممتنع حقيقة‬
“Sesuatu yang tidak mungkin secara kebiasaan, itu seperti sesuatu yang tidak mungkin
secara hakiki”
 Contoh penerapannya:
Seseorang mengaku-mengaku kalau bayi dalam kandungan seorang wanita itu
telah meminjam uang darinya. Maka tuduhannya itu tidak didengar dan diterima
karena tidak masuk akal secara kebiasaan, begitu juga secara hakiki.43
39.
‫ال ينكر تغير األحكام بتغير الزمان‬
“Tidak dapat dipungkiri hukum berubah dengan berubahnya zaman”
 Contoh penerapannya:

41
Musthafa Khin & Mushtafa Bugha, Fiqh Manhaji, (Dar al-Qalam: Damaskus, 1992) Juz III, hlm. 16
42
Ali Haidar, Op.Cit., hlm.40
43
Ali Haidar, jilid 2, Op.Cit., hlm.46

20
Pada zaman dahulu, wanita sangat tabu melakukan profesi sebagai tukang
angkat, supir, dan sejenisnya. Namun seiring dengan perubahan zaman, tingkat
kebutuhan manusia pun berubah dan wanita dianggap biasa melakukan hal tersebut.44
40.
‫الحقيقة تترك بداللة العادة‬
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat menggunakan makna
majazi”
 Contoh penerapannya dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Seseorang bersumpah tidak akan meletakkan kakinya ke rumah si B. Lalu dia masuk
ke rumah itu, maka dia telah melanggar sumpahnya. Secara hakikat lafal sumpahnya
hanya “kakinya”, tetapi makna majazi yang dipakai secara umum dalam kebiasaan
masyarakat adalah “masuk ke rumahnya”. Yang dipakai adalah makna majazi yang
berlaku di masyarakat.45
41.
‫إنما تعتبر العادة إذا اطردت أو غلبت‬..
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum ketika tradisi tersebut
sudah berjalan berulang-ulang dan mendominasi”
 Contoh penerapannya:
Jika ada dua orang di dua negara yang sedang bertransaksi dalam suatu
bisnis internasional dan mereka sepakat bahwa pembayarannya menggunakan dollar
tanpa menyebutkan dollar negara mana, maka dollar yang dimaksud adalah dollar
Amerika. Karena transaksi dengan mata uang tersebut sudah berulang-ulang dan
mendominasi.46
42.
‫العبرة للغالب الشائع ال للنادر‬
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan yang dominan dan populer, bukan kebiasaan
yang langka”
 Contoh penerapannya:
Sesungguhnya hidup seseorang yang hilang dan jika dihitung usianya telah 90
tahun sejak lahirnya adalah sesuatu yang jarang terjadi. Tetapi meninggalnya setelah
umur ini adalah kebiasaan yang dominan. Oleh karena itu, kalau seseorang hilang dan

44
Rozalinda, Op.Cit., hlm.417
45
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.292
46
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry,Op.Cit., hlm.296

21
tidak ada kabarnya, dan telah sampai usianya 90 tahun maka dia dihukumi telah
meninggal dan harta warisannya dibagikan kepada ahli warisnya.47
43.
‫المعروف عرفا كالمشروط شرطا‬
“Adat kebiasaan yang telah melembaga di masyarakat sama posisinya dengan syarat yang
dibuat dalam akad”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika upah seorang pekerja belum ditentukan kadarnya, maka dia semestinya
diberi upah dengan kadar yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat dalam mengupah
pekerja.
44.
‫المعروف بين التجار كالمشروط بينهم‬
“Kebiasaan yang terjadi di antara pedagang sama posisinya dengan syarat yang dibuat di
antara mereka”
 Contoh penerapan dari kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jual beli yang terjadi di supermarket. Walaupun tanpa ada ijab kabul secara
langsung, namun jual beli tetap sah. Karena hal ini sudah menjadi kebiasaan umum
yang diakui di antara pedagang dan masyarakat.
45.
‫التعيين بالعرف كالتعيين بالنص‬
“Ketentuan yang ditetapkan berdasarkan adat sama posisinya dengan ketentuan yang
ditetapkan berdasarkan nash”.
 Contoh penerapannya:
Seseorang menyewakan mobilnya untuk mengangkut barang. Maka, si
penyewa menggunakan mobil itu harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dimana
tidak menimbulkan kemudharatan di sana. Walaupun yang menyewakan tidak
menyebut secara tegas terkait penggunaan mobilnya harus bagaimana, tetapi
kebiasaan yang berlaku memiliki posisi yang sama dengan pernyataan orang yang
menyewakan.48
46.
‫إذا تعارض المانع و المقتضى يقدم المانع‬

47
Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusry, Op.Cit., hlm.301
48
Sholih ibn Ghonim as-Sadlan, Op.Cit., hlm.180-181

22
“Jika bertabrakan suatu pelarangan dengan suatu yang menghendaki pembolehan, maka
diutamakan pelarangan tersebut”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam muamalat atau ekonomi Islam:
Si A menggadaikan rumahnya kepada B. Maka dilarang bagi A menjual
rumah yang digadaikan tersebut walaupun dia pemilik rumah tersebut. Demikian itu,
karena kepemilikan pada rumah menghendaki kebolehan pada A melakukan apapun
yang dia mau pada rumah itu, hanya saja hak B sebagai penerima rumah gadai
sebagai jaminan untuk hartanya adalah penghalang bagi A untuk menjual rumah itu.
47.
‫التابع تابع‬
“Pengikut itu hukumnya mengikuti”
 Contoh penerapannya dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika seseorang menjual kebunnya kepada orang lain, lalu kebun itu berbuah
sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penjual tidak boleh mengambil buah itu
untuk dirinya karena itu sudah menjadi milik pembeli. Karena transaksi membeli
kebun, itu sudah otomatis membeli buah di kebun itu.
48.
‫التابع ال يفرد بالحكم‬
“Pengikut tidak terpisah dengan hukum tersendiri”
 Contoh penerapannya:
Jual beli ternak yang bunting maka anak dalam perut induknya juga ikut
terjual dengan terjualnya induk (ternak), dan tidak perlu membuat akad jual beli
sendiri.49
49.
‫من ملك شيئا ملك ما هو من ضروراته‬
“Siapa yang memiliki sesuatu, dia memiliki apa yang dikandungnya”
 Contoh penerapan kaidah ini:
Seseorang memiliki sebidang tanah, dia juga menguasai apa yang terkait
dengan tanah tersebut. Bumi, Air, dan segala isinya dia berhak mendayagunakannya
sesuai dengan kepentingannya.50
50.

49
Ali Haidar, Op.Cit., hlm.52
50
Imam Allam Syihabuddin Abu Abas Ahmad ibn Idris Abdurrahman as-Sanhaji al-qarafi, Al-Furuq, (Beirut: Alim
al-Maktab, t.th)Jilid 4, hlm.31.

23
‫إذا سقط األصل سقط الفرع‬
“Apabila terputus sesuatu yang dasar, maka terputus juga cabangnya”
 Contoh penerapan kaidah ini dalam bidang muamalat atau ekonomi Islam:
Jika A membebaskan hutang B, maka itu berarti beban C (sebagai
penjamin/kafil) juga gugur. Karena B adalah ashl (pokok) dan C adalah far’u
(cabang). Jika b sebagai pokok bebas, maka C sebagai cabang juga ikut bebas.51

C. Peran kaidah-kaidah Fikih dalam Pengembangan Ekonomi Islam


Qawa’id fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan perilaku sosial
memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam
hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan
suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para ulama dan fuqaha terdahulu, sejak akhir
abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan qawa’id melalui karya-karya agung
mereka, yang sampai kini masih terlihat manfaatnya untuk diimplementasikan dalam
kehidupan modern, termasuk ekonomi.

Untuk itulah kaidah-kaidah fikih ini sangat berperan penting dalam pengembangan
ekonomi Islam ke depannya untuk dapat dijadikan rujukan sehingga dapat diturunkan ke
dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern, hingga tercapainya tujuan ekonomi dalam
rangka mensejahterakan masyarakat, namun dalam bingkai islami sesuai tuntunan syariat
Islam.52

51
Ali Haidar, Jilid 2, Op.Cit., hlm.54
52
Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Volume 8, Nomor 2, Oktober 2007: 207

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah-kaidah fikih merupakan prinsip-prinsip fikih universal yang dirumuskan


dalam bentuk hukum yang terperinci, melambangkan ketentuan-ketentuan umum terhadap
kasus-kasus yang berada di bawah topik-topik tertentu. Salah satu topik yang dapat
dirumuskan melalui pemahaman terhadap kaidah-kaidah fikih ialah yang berkaitan dengan
ekonomi Islam dan muamalah.

Para ulama pada masa Turki Usmani meluncurkan Majalah al-Ahkam al-Adliyah pada
26 Sya’ban 1293 H, bertepatan dengan tahun 1876 M yang merangkum 100 kaidah-kaidah
fikih yang berkaitan tentang ekonomi dan muamalat.Dari 100 kaidah itu, makalah di sini
merincikan 50 kaidah dengan menjelaskan dasar hukum, dan contoh penerapan kaidah
tersebut dalam kegiatan ekonomi dan muamalat.

Kaidah-kaidah fikih ini sangat berperan penting dan memiliki kedudukan yang
strategis dalam pengembangan ekonomi Islam ke depannya di mana dapat dijadikan rujukan
sehingga dapat diturunkan ke dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern, hingga
tercapainya tujuan ekonomi dalam rangka mensejahterakan masyarakat, namun dalam
bingkai islami sesuai tuntunan syariat Islam.

B. Saran

Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
mengandalkan beberapa buku referensi. Sehingga tentunya dalam penyusunan terdapat
beberapa kekeliruan dan kekurangan. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para
pembaca yang ingin mendalami masalah ini agar agar setelah membaca makalah ini,
membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit dan variatif atau langsung merujuk ke
referensi-referensi aslinya yang berbahasa Arab.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dusry, Muslim bin Muhammad bin Majid. 2007. Al-Mumti’ fi Qawaid Fiqhiyyah.
Riyadh: Dar-Zidni.
As-syafii, Ahmad Muhammad. 1983. Ushul Fiqh Al-Islami. Iskandariyah Muassasah
Tsaqofah Al-Jamiiyah.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta.
Rahman, Asjmuni A. 1976. Qaidah-Qaidah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Rozalinda. 2016. Fikih Ekonomi Syari’ah. Jakarta: Rajawali Pers.
Al-Burnu, Muhammad Shidqi Bin Ahmad. 1983. Al-Wajiz fi Idhoh al-Qawaid al-Fiqh al-
Kulliyyah. Beirut: Muassasah ar-Risalah.
Ad-Dusry, Muslim bin Muhammad bin Majid. 2007. Al-Mumti’ fi Qawaid Fiqhiyyah.
Riyadh: Dar-Zidni.
Ad-Din, Abdul Adzim ibn Abdul Qawiy al-Mundziri Dzakiy. 1424 H. at-Targhib wa at-
Tarhib. Riyadh: Maktabah al-Ma’arif.
As-Sadlan, Sholih ibn Ghonim. 1417 H. al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra. Riyadh:
Dar al-Balansiyah.
Az-Zarqa’, Musthafa Ahmad. 1989. Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Damaskus:
Dar al-Qalam.
Haidar,Ali.Durar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Mubarok, Jaih. 2017. Fikih Mu’amalah Maliyyah. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sarwat, Ahmad. Muqaddimah: Seri Fiqih Kehidupan. Jakarta:Rumah Fiqih.
Khin, Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha.1992. Fiqh Manhaji. Dar al-Qalam: Damaskus.
Al-Qarafi, Imam Allam Syihabuddin Abu Abas Ahmad ibn Idris Abdurrahman as-Sanhaji .
Al-Furuq. Beirut: Alim al-Maktab.

26
27

Anda mungkin juga menyukai