Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MAQASHID AL-SYARIAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM


EKONOMI DAN KEUANGAN KONTEMPORER

Disusun Oleh Kelompok 10, ES-1:

1. Ali Imron Hasibuan (1940200036)


2. Layla Abdi Hutagalung (1940200043)
3. Novidah Hiriyanti Harahap (1940200021)

Dosen Pengampu:
DR. ARBANUR RASYID, M.A.

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT., karena hidayah dan
taufiknya-Nya kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah kami yang
berjudul “ MAQASHID AL-SYARIAH DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN KONTEMPORER”.
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “USHUL FIKIH”
yang dibimbing oleh bapak Dr. Arbanur Rasyid, M.A. . Makalah ini diharapkan
bisa menambah wawasan dan dapat memberikan manfaat dalam dunia
Pendidikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. serta masih
banyak kesalahan dan kekurangannya. Oleh karen itu kritik dan saran dari semua
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Dan mudah-mudahan makalah ini dapat mendorong kita untuk lebih giat dalam
proses menimbah ilmu sebaik-baiknya. Aamiin Yaa Robbal ‘alamiin.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Padangsidimpuan, 30 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan Masalah...............................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Dan Dasar Hukum Maqashid..................................................3
B. Gradasi Mashlaha Dalam Maqashid Syari’ah.......................................5
C. Metode Penemuan Maqashid Syari’ah Dalam Penetapan Hukum.......6
D. Urgensi Maqashid Al-Syari’ah Dalam Ijtihad Masalah Ekonomi........10
E. Pengaplikasian Konsep Maqashid Syaria’ah Dalam Ekonomi Islam...11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran.....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH


Ekonomi Islam yang saat ini semakin tenar di dunia internasional sedang
banyak disoroti oleh para pakar ekonom, ini karena perkembangan ekonomi Islam
tidak terlepas dari peranan perbankan Syariah, dan sektor perbankan ini adalah
sebuah instrument yang berperan penting terhadap kemajuan ekonomi Islam itu
sendiri. Oleh sebab itu, penelitian terkait Lembaga keuangan Syariah menjadi
semakin popular dan merupakan lahan penelitian yang penting untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Islam di Zaman modern.
Bidang ekonomi islam pada dasarnya merupakan bagian cabang dari salah
satu aspek inti ajaran islam yang terdiri dari aqidah, Syariah, dan akhlak. Dalam
hal ini , ekonomi Islam merupakan turunan aspek Syariah. Sedangkan dalam
bahasa Syariah (hukum islam), tidak bisa dilepaskan dari tujuan hukum Islam
(maqashid al-syari’ah). Teori maqashid al-syari’ah ini telah berkembang sejak
awal turunnya wahyu, dalam arti tujuan dan maksud dari adanya Syariah (agama
islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam wahyu tersebut,
baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-quran maupun Hadis Nabi Muhammad
SAW. Maqashid al-syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
menetapkan hukum-hukum Islam.1
Dengan demikian , prinsip utama yang harus diperhatikan dalam perusahaan
ekonomi Islam dalam perumusan ekonomi Isalam dan produk-produk keuangan
syari’ah lainnya adalah maqashid al-syari’ah. Sebab maqashid al-syariah sebagai
tujuan syari’at merupakan saru jenis pendekatan keilmuan yang lahir dari kajian
ushul fikih. Pengetahuan mengenai maqashid al-syari’ah menjadi sangat penting
tidak hanya bagi para ahli fikih, akan tetapi juga bagi seluruh kalangan baik
pelajar, hakim, maupun orang awan. Mengetahui maqashid al-syari’ah bagi
masing-masing kalangan menjadikan mereka lebih baik dalam melaksanakan
syari’at Allah SWT. Bagi seorang hakim , akan memudahkannya memutuskan
perkara dengan lebih adil. Bagi seorang pelajar, dapat memperkaya
pengetahuannya mengenai hukum Islam.
Bagi pengusaha dan praktisi keuangan, akan menjadikannya terbimbing
dalam menjalankan usaha dan mendapatkan ketenangan dalam bekerja. Semakin
meluasnya permasalahan ekonomi dan bisnis syari’ah pada saat ini, maka semakin
perlu untuk dilakukan ijtihad sehingga setiap perkembangan dan inovasi transaksi
tetap sejalan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Karena itu keterlibatan ulama
ekonomi syari’ah menjadi penting, seperti berijtihad memberikan solusi bagi

1
Busyro, Bom Bunuh Diri Dalam Fatwa Kontemporer Yusuf Al-Qaradhawi Dan Relevansinya
Dengan Al-Maqashid Al-Syari’ah, Jurnal Wacana Hukum Islam Dan Kemanusiaan, Vol. 16, No.1
(2016), hlm. 89.

1
permasalahan ekonomi keuangan yang muncul , baik skala mikro maupun makro
mendisain akad-akad syaria’ah untuk kebutuhan produk-produk bisnis di berbagai
Lembaga keuangan Syariah. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka isi
makalah yang kami bahas disini berjudul “MAQASHID AL-SYARIAH DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN
KONTEMPORER”.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi dan Dasar Hukum Maqashid?
2. Bagaimana pengaplikasian konsep maqashid al-syari’ah dalam ekonomi
Islam?
3. Bagaimana metode penemuan maqashid Syariah?
4. Bagaimana urgensi maqashid al-syari’ah dalam bidang ekonomi Islam?

3. TUJUAN
1. Mengetahui ketentuan maqashid al-syari’ah dalam bidang ekonomi Islam.
2. Mengetahui pengaplikasian konsep maqashid al-syari’ah dalam ekonomi
Islam.
3. Mengetahui pengertian dan Dasar Hukum Maqashid
4. Mengetahui bagaimana metode penemuan maqahid al-syari’ah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI DAN DASAR HUKUM MUAQASHID


Secara bahasa , maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid
dan shari’ah. Maqashid adalah bentuk plural dari kata maqashid yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Sedangkan kata syari’ah, berasal dari kata al-shari’ah
dan sinonim dengan kata al-shir’ah yang berarti jalan menuju mata air. Ungkapan
menuju arah air mata ini mengandung konotasi keselamatan. Dalam Al-qur’an
kedua kata tersebut dipakai untuk arti agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan
Allah SWT untuk diikuti oleh manusia agar mendapatkan keselamatan.2
Dalam perkembangan terakhir, kata syari’ah digunakan untuk merujuk
makna pokok-pokok agama dan kadang-kdang merujuk pada aspek pokok agama
dan hukum sekaligus. Al-ash’ari, seorang teolog terkenal secara tegas memakai
kata-kata syari’ah untuk menunjukkan aspek hukum dari agama Islam. Sedangkan
al-shatibi mengartikan syari’ah sebagai keseluruhan aturan agama yang mengatur
tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia.
Pengertian syari’ah menurut M. Syalut, yaitu seperangkat hukum-hukum
Tuhan yang diberikan kepada umat manusia untuk mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Sedangkan definisi yang diberikan oleh Wahbah al-zuhayli ia
memaksudkan maqashid al-syari’ah dengan nilai-nilai dan sasaran-sasaran syariat
yang tersirat dalam segenap dan sebagian besar hukum -hukum-Nya. Nilai-nilai
dan sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari’ah yang ditetapkan
oleh Shari’ (pembuat Syariah/Tuhan) dalam setiap ketentuan hukum. Dengan
demikian , bahasan maqashid al-syariah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan
yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam mensyariatkan hukum.
Tujuan pensyariatan hukum, sebagaimana hukum yang diungkapkan oleh
Abu Zahrah adalah tercapainya kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Karena
tidak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam al-qur’an maupun sunnah
melainkan didalamnya terdapat kemaslahatan. Islam misalnya, mensyariatkan
hukum zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan; hukum pencurian
untuk memelihara harta seseorang; qisas untuk memelihara jiwa seseorang dan
sebagainya. Al-syathibi dalam bukunya al-muwafaqad mengatakan kandungan
maqashid al-syari’ah adalah kemaslahatan manusia, karena pada hakikatnya
semua kewajiban (taklif) dibuat dalam rangka merealisasikan kemaslahatan
hamba dan menolak kemudratan.
Menurutnya tak satupun hukum Allah SWT ysng tidak memiliki tujuan
sama seperti taklif ma la yuthaq (membebankan sesuatu yang tak dapat
2
Riyadh Manshur al-khalifi [selanjutnya disebut Manshur al-Khalifi], al-Maqashid al-syari’ah al-
Milkiyyah, (Kuweit: Makta bah al Istisyarat al Syariyyah,2004), hlm. 8.

3
dilaksanakan). Sejalan dengan ini, Fathi al-Daraini mengatakan bahwa hukum-
hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan untuk tujuan lain
yaitu kemaslahatan.
Penekanan maqashid al-syari’ah yang dilakukan oleh para ulama secara
umum bertitik tolak belakang pada kandungan ayat-ayat al-qur’an yang
menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan. Di antara
ayat-ayat itu meliputi; Pertama, ayat-ayat tentang pengutusan rasul (Q.S An-
nisa:165) dan (Q.S Al-anbiya;107), Kedua, ayat-ayat tentang asal penciptaan (Q.S
Hud:7 ), (Q.S Al-dzariyat:65), dan (Q.S Al-mulk:2). Ketiga, ayat-ayat tentang
hukum, seperti wudlu (Q.S Al-ma’idah:6), puasa (Q.S Al-baqarah:6), shalat (Q.S
Al-ankabut:45), jihad (Q.S Al-hajj:39), qisas (Q.S Al-baqarah;179).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, dapat dipahami bahwa maqashid al-
syari’ah dalam arti kemaslahatan terdapat aspek-aspek hukum secara keseluruhan.
Artinya , apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak terdapat
secara jelas dimensi kemaslahatannya, kemudian untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia, menurut para ulama ushul fikih, ada lima unsur pokok
yang harus dipelihara dan diwujudkan , yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.3
. Pemakaian kata al-syari’ah dengan pengertian diatas diantaranya
berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-jaatsi yah [45]: 18, yang berbunyi
“Kemudian kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan jaanganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. “(QS.Jaatsiyah [45] ; 18).
Dan juga berdasarkan QS.al-maaidah [5]:48.

 ‫لِ ُكلٍّ َج َع ْلنَا ِم ْن ُك ْم ِشرْ َعةً َّو ِم ْنهَاجًا‬


“ Bagi setiap kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang .(QS. Al-maaidah
[5] : 48)”.
Berdasarkan dari defines-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
maqashid al-sayri’ah itu adalah rahasia-rahasia dan tujuan akhir yang hendak
diwujudkan oleh Syari’ dalam setiap hukum yang ditetapkan-Nya. Menyimak
keterangan di atas, terdapat hubungan antara makna bahasa dengan istilah.
Apabila dihubungkan dengan pengertian secara bahasa, maqashid al-thariq dan
Al-I’timad (berpegang teguh pada satu jalan) dan al-syariah (Allah SWT) pun
menghendaki untuk merealisasikannya.
B. GRADASI MASLAHA DALAM MAQASHID SYARI’AH
3
Muhammad Rasyid Ridha , Tafsir Al-Manar, (Kairo: Mathabaah al-Sa’diah, Juz VI,t.th.), hlm.
413.

4
Prinsip utama dalam formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-
fatwa serta produk keuangan adalah maslahah. Penetapan maslahah sebagai
prinsip utama, karena maslahah merupakan konsep yang paling penting dalam
syari’ah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam maslahah ditempatkan pada posisi
kedua, yaitu sebagai prinsip tawhid. Maslahah adalah tujuan Syariah Islam dan
menjadi inti utama Syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid
syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan.4
Secara umum maslahah dalam ekonomi islam (muamalah) memiliki
ruang lingkup yang lebih luas disbanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah
umumnya bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak dengan ibadah
murni (ibadah mahdhah). Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain
halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan
kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam.
Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi
acuan dan patokan penting. Berdasarkan asumsi bahwa rumusan ekonomi dan
bisnis syari’ah adalah maslahat. Dalam buku hasil penelitian yang ditulis oleh
Asafri Jaya Bakri, beliau mengemukakan al-mursalah dan az-zari’ah sebagai
metode ijtihad dengan corak penalaran istilah yang harus dikembangkan dengan
menunjukkan urgensi pertimbangan maqashid syari’ah di dalam metode tersebut.
Dalam pemikiran ushul fikih terdapat tiga cara menentukan legalitas
maslahat yang sekaligus membagi maslahat kepada tiga macam, yaitu:
1. Maslahat yang legalitasnya berdasarkan tunjukan dari suatu nash, baik
al-qur’an maupun hadis (maslahah mu’tabarah). Misalnya dalam ayat
al-qur’an dalam surah Al-Baqarah ayat 275 Artinya.
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka
berkata: sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah
SWT telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba , Barang
siapa mendapat peringatan dari tuhan-Nya, lalu dia berhenti (dari
mengambil riba), maka apa yang ia peroleh dahulu (sebelum dating
larangan) menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Barang siapa mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamny”.
2. Maslahat yang ditolak legalitasnya oleh al-syari’ (maslahah mulgah).
Artinya sesuatu yang dilihat manusia sebagai suatu kemaslahatan,
akan tetapi bertentangan dengan al-syari’ seperti yang ditunjukkan
oleh nash di atas. Maka alasan penerapan kemaslahatan demikian
4
Amir Syafruddin, Ushul Fiqh, Jilid II,cet. Ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008),
hlm. 208.

5
tidak bisa dibenarkan. Misalnya, pengembangan suatu usaha secara
ribawi dalam ayat al-qur’an.

3. Maslahah yang tidak terdapat legalitas nash baik terhadap keberlakuan


maupun ketidakberlakunya (masalah al-mursalah). Artinya maslahah
yang tidak diperintahkan di dalam al-qur’an dan hadits, akan tetapi
tidak bertentangan terhadap keduanya. Misalnya pendirian Bank
syari’ah sebagai Lembaga yang menghubungkan antara pemilik modal
dan pekerja.
Dari ketiga maslahat di atas, dapat dikatakan bahwa tidak semua maslahat
itu dibenarkan oleh syarak, akan tetapi ada juga maslahat yang bertentangan
dengan syarak. Sehingga maslahah al-mursalah bisa dijadikan sebagai pisau
analisis atau sumber hukum dengan selalu mengacu kepada pengembangan
maqashid syari’ah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga
kemaslahatan benar-benar terwujud dalam kehidupan umat manusia.

C. METODE PENEMUAN MAQASHID SYARI’AH DALAM


PENETAPAN HUKUM
Pengetahuan tentang Maqashid syari’ah seperti yang dijelaskan oleh Abd
al-wahab Kallaf, merupakan alat bantu yang sangat penting dalam memahami al-
qur’an maupun sunnah, dapat memberikan pemahaman pada solusi penyelesaian
terhadap dalil-dalil yang bertentangan, dan suatu hal yang sangat penting juga
dalam penetapan suatu hukum yang masih belum dijelaskan secara eksplisit
didalam al-qur’an maupun sunnah. Dalam maqashid syari’ah yang bertujuan
untuk mencari solusi dalam permasalahan-permasalahan seperti yang dijelaskan
diatas, terdapat bebarapa macam metode, yaitu; metode Istinbath seperti Qiyas,
Istihsan, hingga Maslahah Mursalah. Qiyas dalam penerapan maqashid
syari’ahnya, dapat diterapkan jika ditemukannya suatu alasan logis (‘Illat) dari
suatu hukum. Contohnya adalah pada kasus diharamkannya meminum khamar
seperti yang dijelaskan dalam al-qur’an surah al-maaidah ayat 90.
1. Qiyas
Secara Istilah ialah menetapkan padanan hukum yang telah jelas pada
hukum yang belum jelas dengan memadukan antara keduanya.5 Sedangkan
menurut Abdul Wahab Khalaf, qiyas adalah “ menyamakan suatu kasus yang
hukumnya tidak terdapat dalam nash, karena ada persamaan illat dalam kedua
kasus hukum itu.6 Qiyas ini dipakai hampir semua madzhab hukum islam,
walaupun ia diterapkan dengan intensitas yang berbeda-beda. Karena qiyas
termasuk dalam kategori dalil hukum yang muttafiq ‘alaihi (disepakati) setelah al-
qur’an, hadits, dan ijma’.
5
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta:TERAS, 2009) , hlm. 93.
6
Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al Tasyri’ al Islam fii maa laa Nashsha fih, ( Kuwait: Dar al-
Qalam, 1972), hlm. 19.

6
Mengenai qiyas Imam Syafi’I mengatakan “setiap peristiwa pasti ada
kepastian hukum dan ummat Islam wajib melaksanakannya”. Akan tetapi jika
tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekataan yang
sah yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas. Upaya pemecahan berbagai
masalah hukum dengan metode qiyas harus bertolak dari kajian mendasar
terhadap illat yang terdapat dalam nash, yang merupakan bagian penting dari
maqashid al-syari’ah.

2. Istihsan

Adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan


istinbath hukum oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu
Hanifah. Bahkan Imam Malik menilai, pemakaian istihsan merambah 90% dari
seluruh ilmu (fiqih).7 Secara khusus istihsan diartikan dengan berpalingnya
mujtahid dari qiyas jail kepda qiyas Khafi. Dalam hal ini, qiyas jail itu illatnya
dapat diketahui jelas, namun pengaruhnya kurang efektif. Sebaliknya pengaruh itu
akan lebih kuat pada qiyas khafi, meskipun tidak begitu tampak . Jadi istihsan
adalah upaya untuk mencari jiwa hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum (al-
qawa’id al-kulliyyah).
Dalam kaitannya dengan maqashid al-syari’ah, menurut Musthafa
Syalabi ada beberapa istihsan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengannya, diantaranya:
a. Istihsan bi al- Nash yaitu istihsan yang berdasarkan pada nash lain,
baik al-qur’an maupun hadits. Maksudnya, mujtahid berpaling dari
hukum yang dikehendaki oleh nash, karena memang ada masalah-
masalah yang termasuk dalam salah satu kaidah-kaidah umum (al-
qawai’id al-kulliyyah). Namun terdapat juga masalah yang
ditemukan dalil khusus yang mengkehendaki pengecualian,
sehingga hukum yang ditetapkan bagi masalah tersebut berbeda-
beda dengan ketentuan umum.

b. Istihsan bi al-Maslahah yaitu istihsan yang didasarkan pada


kemaslahatan. Misalnya melihat aurat wanita dalam berobat.
Menurut ketentuan umum, sesorang dilarang melihat aurat orang
lain, menurut kaidah istihsan, seorang dokter boleh melihat aurat
wanita yang berobat kepadanya untuk mendiagnosa dan
mengobati penyakitnya.

c. Al- maslahat al- mursalahah merupakan metode penetapan hukum


yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam al-qur’an dan
hadits. Menurut Abdul Wahhab Khalaf, masalah al-mursalah
adalah suatu maslahat yang tidak ditetapkan oleh syari’ sebagai
7
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 52.

7
dasar penetapan hukum, tidak ada dalil syar’I yang menyatakan
keberadannya atau keharusan meninggalkannya.

Untuk menggunakan metode maslahat al-mursalahah dalam menetapkan


hukum, para ulama memberikan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Imam
Malik, imam madzhab yang menggunakan al-mursalahah, menetapkan tiga syarat
sebagai berikut:
1. Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber
dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at. Persyaratan ini
maslahat tidak boleh menghasilkan sumber dalil yang qath’I, tetapi
harus sesuai dengan kemaslahatan yang memang ingin diwujudkan
oleh syar’i.
2. Maslahat harus akal, mempunyai sifat yang sesuai dengan pemikiran
yang rasional, dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis
akan dapat diterima.
3. Penggunaan dalil maslahat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan
yang mungkin terjadi. Dalam pengertian, seandainya maslahat yang
dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami
kesulitan.

Sementara itu , menurut Al-Ghazali, 8 maslahat dapat dijadikan sebagai


dasar penetapan hukum, apabila memenuhi tiga syarat berikut:

a. Maslahat itu masuk kategori peringkat dharuriyat: Artinya, untuk


menetapkan suatu maslahat, harus memperhatikan tingkat
keperluannya, apakah akan sampai mengancam eksistensi kelima
unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.
b. Maslahat itu bersifat qath’I, Artinya, yang dimaksud dengan
maslahat tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat,
tidak didasarkan pada dugaan (zhann) semata-mata.
c. Maslahat itu bersifat kulli, Artinya, kemaslahatan itu berlaku secara
umum dan kolektif, tidk bersifat individual. Dan apabila maslahat
itu bersifat individual, kata Al-Ghazali, syarat lain yang dipenuhi
adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-syari’ah.

3 . Sadd al-Dzari’ah
Dzari’ah merupakan salah satu sumber pokok (ash’) yang secara eksplisit
dituturkan dalam kitab-kitab dari madzhab Maliki dan Hambali. Dari segi
etimologi, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sebagian ulama mengkhususkan

8
Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, (Kairo: Sayyid Husein, t.th), hlm. 253-259

8
pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang
dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para
ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qayyim Aj-jauziyah yang menyatakan
bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga
yang dianjurkan .
Dengan demikian , lebih tepat kalai dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu
sadd adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath adz-dzari’ah (yang dianjurkan). Sadd
al-dzari’ah diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap
satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk
menghindari perbuatan atau larangan. Misalnya dalam masalah zakat, sehingga
wajib mengeluarkan zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat,
sehingga wajib mengeluarkan zakat) datang.
Orang yang memiliki banyak harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan
sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga nisab harta itu berkurang dan ia
terhindar dari kewajiban zakat. Perbuatan seperti ini dilarang karena tujuan hibah
itu adalah untuk menghindari kewajiban zakat. Pelarangan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunat mengugurkan zakat yang
hukumnya wajib.
Para ulama ushul fikih membagi adzari’ah menjadi empat kategori ,
pembagian ini akan menjadi penting artinya Ketika dikaitkan dengan
kemungkinan melahirkan dampak negative dan membantu Tindakan yang
diharamkan. Adapun pembagiannya yaitu:
a .Perbuatan yang dilakukan itu secara pasti (qathi’) membawa mudharat, seperti
menggali sumur dibelakang rumah yang gelap, dimana disekitranya ada orang
yang masuk kerumah itu dan pasti akan jatuh kesumur tersebut. Menurut para
ulama perbuatan ini dilarang.
b. Perbuatan yang dilakukan itu jarang membawa mudarat, seperti menjual
makanan yang biasanya tidak membahayakan orang yang memakannya.
Perbuatan seperti ini tetap pada hukum yaitu boleh (mubah). Karena yang
dilarang itu adalah diduga keras akan membawa mudarat. Sedang dalam kasus
ini jarang terjadi.
c. perbuatan yang dilakukan itu besar kemungkinan membawa mudarat, dan
diduga kuat akan mendatangkan mudarat, tapi tidak sampai pada kategori
keyakinan yang pasti, atau tidak pula terhitung jarang, karena dengan dugaan
kears bahwa perbuatan itu akan membawa mudarat.
d . Perbuatan yang sering membawa mudarat, namun kekhawatirannya terjadinya
tidak sampai pada dugaan yang kuat, melainkan atas dasar asumsi. Misalnya
transaksi jual-beli salam. Orang melakukan transaksi untuk memperoleh riba
dengan berkedok jual beli. Pada saat transasksi jual-beli , harga barang

9
ditetapkan di bawah harga barang yang sesungguhnnya dengan tujuan untuk
memperoleh riba.
Metode sadd al-dzari’ah secara langsung berhubungan dengan memelihara
kemaslahatan dan sekaligus menghindari mudarat. Memelihara mudarat
maslahat dalam berbagai peringkatnya, termasuk tujuan hukum dalam islam.
Dengan demikian bahwa metode sadd al-dzari’ah berhubungan erat dengan teori
maqashid al-syari’ah. Dari penjelasan metode diatas dapat disimpulkan bahwa
setiap aturan-aturan hukum yang mengatur secara lengkap dan sempuran,
metode penemuan hukum muqashid islam ditemukan dalam Mujtahid,
penemuan hukum yang dilakukanoleh para hakim untuk memutuskan perkara
yaitu sama-sam menggali hukum sumber hukum yang ada.
Maqashid al-syari’ah merupakan tujuan pokok yang ditetapkan tujuan
hukum agar produk yang dihasilkan hakim dapat diterima dan dilaksanakan
dalam kehidupan masyarakat.

D. URGENSI MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM IJTIHAD


MASALAH EKONOMI

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ijtihad dalah pengarahan segenap


kemampuan oleh mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tetang hukum-
hukum syara’. Ruang lingkup berlakunya ijtihad terbatas untuk mengeluarkan
hukum (fiqh), tidak termasuk aspek teologi dan akhlak. Ijtihad dilihat dari segi
proses kerja dapat dibagi menjadi ijtihad istinbati, dan tatbiqi.
Istinbati adalah upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nash.
Tatbiqi adalah upaya untuk meneliti suatu masalah agar hukum dapat didentifikasi
dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung oleh nas. Ijtihad tatbiqi disebut
juga tahqiq al-manat yang fokusnya adalah upaya mengkaitkan kasus-kasus yang
muncul dengan kandungan makna yang ada dalam nas dan upaya untuk meneliti
suatu masalah agar hukum dapat didentifikasi dan diterapkan.

Hal ini berarti bahwa kedua ijtihad tersebut mempunyai keterkaitan


dengan maqashid al-syari’ah . Menurut al-Syatibi inti ijtihad adalah upaya
penggalian syara’ secara optimal, dan penggalian hukum syara’ itu akan berhasil
bila seseorang mujtahid dapat memahami maqashid al-syari’ah.9
Urgensi maqashid al-syari’ah dalam melaksanakan ijtihad, dan
keberadaannya sebagai suatu pendekatan filsafat dalam hukum Islam, terlihat
secara nyata. Persoalan yang muncul saat ini adalah bagaimana mekanisme dan

9
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, Juzz II,,tt.), hlm. 6.

10
bentuk ijtihad yang dapat dipertajam oleh analisis maqashid al-syari’ah. Ijtihad
memang bukan suatu pekerjaan yang ringan, namun tetap diperlukan .
Hal ini disebabkan bahwa persoalan-persoalan hukum senantiasa mengemuka
sejalan dengan kebutuhan, tuntutan, tempat dan waktu. Seperti telah
dikemukakan, bahwa objek ijtihad adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara
tegas dalam nas, dan masalah-masalah yang tidak memiliki landasan nas, terdapat
tiga pola ijtihad, yaitu pola bayani, ta’lili, dan istislahi. Yang termasuk kedalam
pola bayani adalah yang berkaitan dengn lafaz seperti, khas,musytarak dan lain
sebagainya. Pola ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang terfokus pada
penentuan ‘illah hukum yang terdapat dalam satu nas. 10

Dalam ushul fikih , pola penalaran ta’lili ini berkembang menjadi metode
qiyas dan istihsan. Dari urain diatas, dapat dikatakan bahwa qiyas sebagaiistinbath
ta’lili merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash.
Qiyas sebagai penalaran ta’lili harus senatiasa dipertajam dengan dengan
pertimbangan maqashid asy-syari’ah baik yang berdekaitan dengan
kemasyarakatan, ekonomi, politik dan moral. Pertimbangan maqashid al-syari’ah
menjadikan metod qiyas lebih dinamis sebagai solusi permasalahan-permasalahan
hukum.
Metode istislahi yaitu upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-
prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari al-qur’an dan hadits. Artinya
kemaslahatan yang dimaksudkan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber
hukum tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushul, fikih corak penalaran
istihlahi ini tampak dalam beberapa metode ijtihad, antara lain metode al-
mashlahah al-murshalah dan sadd az-zari’ah. Untuk melihat bagaimana corak
penalaran istislahi dengan kedua metode tersebut.

E. PENGAPLIKASIAN KONSEP AL-MAQASHID SYAR’AH DALAM


EKONOMI ISLAM

Dalam hal ini Dr. Ahcene Lahsasna menjelaskan tentang substansi dan
penerapan maqashid al-syari’ah yaitu setiap transaksi harus terdapat akad
didalamya. 11 Akad yang dilakukan memiliki duniawi dan akhirat karena akad
yang digunakan berdasarkan Hukum Islam. Dalam islam , perjanjian tersebut
memiliki pertanggung jawaban hingga yaumil qiyamah. Salah satu tujuan umum
maqashid al-syari’ah adalah untuk membagun prinsip etika dalam setiap aspek
kehidupan termasuk dalam ekonomi dan kegiatan usaha. Dalam keuangan islam

10
Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Perdana Media Group, 2007),
hlm. 25.
11
Ahcene Lahsasna, Maqashid Al Shari’ah In Islamic Finance, hlm. 22-24.

11
terdapat beberapa kode etik yaitu: kebenaran dan kejujuran, integritas, kelulusan,
tanggung jawab dan akuntabilitas.
Implikasi maqasid al-syari’ah terhadap permasalahan ekonomi dapat dilihat
dari beberapa aspek, pertama, aspek kesejahteraan sebagai tujuan hidup manusia.
Pada dasarnya setiap tujuan hidup, yaitu mendapatkan kesejahteraan meskipun
masing-masing kelompok berbeda-beda dalam memaknai kesejahteraan tersebut.
Penerapan konsep maqashid al-syari’ah dalam perilaku konsumen ,
manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan
kemaslahatan yang maksimal. Dalam perilaku konsumsi, konsumen muslim akan
mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari suatu kegiatan
konsumsi dimana konsumen muslim merasakan adanya manfaat suatu kegiatan
konsumsi Ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis serta
material atau barang dan jasa.
Konsep maslahat membatasi individu selalu selaras dan sesuai dengan
kegiatan ekonomi,baik yang berhubungan dengan konsumsi maupun produksi
atau distribusi.
Konsep maslahat yang terbuka kemungkinan untuk sekurang-kurangnya
bisa membandingkan tingkat perbedaan maslahatnya. Orang yang melindungi
hidupnya dengan mengkonsumsi buah-buahan tentunya berbeda dengan orang
yang semata-mata menjaga kesehatannya12
Mengenai aktivitas ekonomi dan bisnis, islam telah memberikan prinsip-
prinsip umum yang harus dipegangi, yaitu:
1. Prinsip tidak boleh memakan harta orang lain secara batil.
2. Prinsip saling rela, yakni menghindari pemaksaan yang menghilangkan hak
pilih seorang dalam muamalah.
3. Prinsip tidak mengandung praktek eksplotasi dan saling merugikan yang
membuat orang lain teraniaya.
Konsep-konsep maqashid syari’ah itulah yang akan diterapkan pada ekonomi,
keuangan, dan perbankan syari’ah. Misalnya maqashid syari’ah dari anuitas,
hedging, pembiayaan indent, trade financw dan akad-akad hybrid, pembiayaan
murabahah, kartu kredit syari’ah, gharar, bagi hasil, dsb. Tanpa maqashid
syari’ah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi syari’ah, keuangan dan
perbankan syari’ah akan sempit dan kaku.
Pandangan ekonomi islam tentang kesejahteraan didasarkan pada pandangan
komprehensif tentang kehidupan ini. Kesejahteraan mencakup dua pengertian
yaitu :
1. Kesejahteraan Holistik dan Seimbang, yaitu mencakup dimensi material
dan spritiual serta mencakup individu sosial.
12
Dede Nurrohman, Konsep Self-Interest Dan Masalah Dalam Rasionalitas Ekonomi Islam,
ISLAMICA, Vol. 5, No. 1, (2010).

12
2. Kesejahteraan di dunia maupun akhirat, karena manusia tidak hanya hidup
di dunia saja akan tetapi juga di akhirat
Dari kesenjangan inilah yang mendorong munculnya ilmu ekonomi, ilmu
ekonomi mempelajari upaya manusia untuk mencapai kesejahteraan dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inti sari dari penjelasan tentang hubungan maqashid Syariah dan
ekonomi islam di atas adalah bahwa maqashid syari’ah sebagai tujuan dibalik

13
adanya serangkaian aturan-aturan telah digariskan oleh Allah SWT. Tujuan
tersebut adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan
bagi manusia. Semua aspek dalam kehidupan individu muslim harus mengarah
pada tercapainya kemaslahatan seperti yang dikehendaki dalam maqashid
syari’ah.
Ekonomi islam juga menempatkan maqashid syari’ah sebagai acuan,
sehingga sistem dan ilmu yang kini telah diformulasikan dapat memberi
kemaslahatan dan mampu menjadi solusi terhadap kompleknya problema
ekonomi kekinian yang kian akut. konsep maslahah sangat relevan dengan
pengembangan ekonomi syari’ah sehingga implementasi nilai-nilai maslahah
penting dilakukan untuk membangun sistem ekonomi yang holistis.
Implementasi meslahah bisa dilakukan misalnya dalam hal: konsep pemenuhan
kebutuhan manusia, paradigma aktifitas ekonomi, dan standar utility dalam
memenuhi kebutuhan barang dan jasa.

B. SARAN
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa maklah ini masih ada
kesalahan dan kekurangannya dan sangat jauh dari kata kesempuranaan. Tentunya
penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang
dapat dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh karen itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas dan perlu
ditinjau dikaji ulang untuk mecapai kesempuranaan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pemakalah dan para pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al Tasyri’ al Islam fii maa laa Nashsha
fih, Kuwait: Dar al-Qalam, 1972.

14
Ahcene Lahsasna, Maqashid Al Shari’ah In Islamic Finance.

Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Kairo: Sayyid Husein, t.th.


Amir Syafruddin, Ushul Fiqh, Jilid II,cet. Ke-4, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo: Mustafa


Muhammad, Juzz II,,t.th.

Busyro, Bom Bunuh diri dalam fatwa kontemporer Yusuf al-Qaradhawi


dan Relevansinya dengan al-Maqashid al-Syari’ah, Ijtihad Jurnal Wacana Hukum
Islam dan kemanusiaan, Vol. 16 No.1, Salatiga: Fakultas Syari’ah, 2016.

Dede Nurrohman, Konsep Self-Interest Dan Masalah Dalam Rasionalitas


Ekonomi Islam, ISLAMICA, Vol. 5, No. 1, 2010.

Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Muhammad Rasyid Ridha , Tafsir Al-Manar, Kairo: Mathabaah al-


Sa’diah, Juz VI,t.th.

Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Perdana


Media Group, 2007), hlm. 25.

Riyadh Manshur al-khalifi, al-Maqashid al-syari’ah al-Milkiyyah, Kuweit:


Makta bah al-Istisyarat al-Syar’iyyah, 2004.

Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta:TERAS, 2009.

15

Anda mungkin juga menyukai