Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SADD DZARI’AH DAN IMPLEMENTASINYA

DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN MONETER

Disusun Oleh Kelompok 9, ES-1:

1. Herlina Rizkyana (1940200022)


2. Karnida Harahap (1940200037)
3. Rabiatul Adawiyah Matondang (1940200019)

Dosen Pengampu:

DR. ARBANUR RASYID, M.A.

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN

T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT,. Karena berkat hidayah
dan taufik-Nya. Kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah kami yang
berjudul “SADD DZARIA`AH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
EKONOMI DAN KEUANGAN MONETER.”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah “USHUL FIQH”


Yang dibimbing oleh Bapak DR. ARBANUR RASYID, M.A. makalah ini
diharapkan bisa menambah wawasan dan dapat memberikan manfaat dalam dunia
pendidikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna serta masih
banyak kesalahan dan kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran semua
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dan mudah-mudahan makalah ini dapat mendorong kita untuk lebih giat dalam
proses menimba ilmu sebaik-baiknya. Amin ya robbal alamin.

Wa`alaikumussalam Warohmatullahi Wabarakatuh

Padangsidimpuan, 30 Agustus 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................................1


B. Rumusan Masalah..............................................................................2
C. Tujuan Masalah..................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Defenisi dan Dasar Hukum Sadd Dzari`ah........................................3


B. Jenis-jenis Sadd Dzari`ah...................................................................7
C. Pandangan Ulama Tentang Sadd Dzari`ah........................................8
D. Metode Penentuan Sadd Dzari`ah......................................................10
E. Aplikasi Sadd Dzari`ah Dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah.....12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam perjalanan pengembangan pengetahuan islam, telah banyak
ditemukan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum baru. Para ulama maupun
ahli hukum islam banyak memberikan inovasi baru tehadap pengetahun baru yang
mereka temukan. Al- Qur’an dan Sunnah menjadi sumber hukum utama dan
menjadi konsensus bagi para ulama. Konsekwensi yang diambil adalah segala
bentuk aktifitas yang dilakukan manusia dimana yang menjadi rujukannya adalah
nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Rasulullah SAW,. Menjadi contoh nyata bagi para ulama dalam
menetapkan hukum islam berdasarkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam
bimbingan malaikat Jibril, Rasulullah berhasil memahami maksud dan tujuan
kandungan ayat Al-Qur’an sehingga dapat memberikan pengajaran maupun
pengaplikasian pesan tersebut, hingga menciptakan suatu hukum islam berupa
Sunnah.
Seiring perkembangannya, ketika Rasulullah wafat permasalahan mulai
bermunculan. Para sahabat mulai berselisih paham dalam menetapkan hukum-
hukum islam. Para sahabat atau para ahli hukum mulai bersoal ketika hukum tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah secara tekstual. Diantaranya juga
mempermasalahakan penginovasian hukum yang dikembangkan. Salah satu
penyebabnya adalah cara pandang berbeda dari para ulama dalam mengartikan
suatu hukum. Maka dari itu, para ahli hukum dituntut membuat inovasi melalui
berbagai metode-metode penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Kegiatan
berkreasi inovatif dalam memperoleh hukum islam ini dikenal dengan istinbath
ahkam.
Sadd dzari`ah merupakan salah satu metode penerapan hukum islam yang
didapat dengan metode penafsiran maupun penggalian sumber hukum islam. Dari
sekian banyak metode hukum yang dikembangkan para ulama, sadd dzari`ah
menjadi satu didalamnya. Metode sadd dzari`ah sendiri merupakan kegiatan
preventif yang tujuannya agar umat tidak melakukan suatu perbuatan yang bisa
mendatangkan keburukan. Hukum islam bukan hanya mengatur perbuatan yang
telah dilakukan, tetapi juga mengatur setiap perbuatan yang belum dilakukan.
Maka dari itu, sadd dzari’ah menjadi metode hukum yang membuktikan kekayaan
intelektual islam yang beriringan dengan perkembangan masa (ruang dan waktu),
dan perkembangan budaya perilaku manusia.
Tujuan akhir dari setiap hukum islam adalah untuk memelihara
kemaslahatan sekaligus menghindari mafsadat, baik di dunia ataupun di akhirat
nanti. Tujuan ini menjadi prinsip utama bagi para ulama dan ahli hukum islam

1
untuk menetapkan suatu hukum. Hal utama yang perlu diperhatikan para ahli
hukum adalah kesejahteraan umat. Kesejahteraan menjadi pertimbangan utama
dalam pengambilan keputusan hukum islam. Karena ada hakikatnya, islam adalah
agama yang harus membawa keselamatan bagi para pemeluknya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi dari sadd dzari`ah?
2. Apa saja dasar hukum dari sadd dzari`ah?
3. Apa saja jenis-jenis sadd dzari`ah?
4. Bagaimana pandangan ulama tentang sadd dzari`ah?
5. Bagaimana metode penentuan sadd dzari`ah?
6. Apa saja aplikasi sadd dzari`ah dalam ekonomi dan keuangan syariah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian sadd dzari`ah
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum dari sadd dzari`ah
3. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis sadd dzari`ah
4. Untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama tentang sadd dzari`ah
5. Untuk mengetahui bagaimana metode penentuan sadd dzari`ah
6. Untuk mengetahui apa saja aplikasi sadd dzari`ah dalam ekonomi dan
keuangan syariah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dan Dasar Hukum Sadd Dzari`ah


1. Definisi Sadd Dzari`ah
Sadd dzari`ah berasal dari dua kata, yakni sadd yang berarti menutup cela
dan menutup kerusakan, atau mencegah dan melarang. Sedangkan kata dzari`ah
berarti jalan yang membawa kepada sesuatu1.
Menurut ulama ushul fiqh sendiri arti kata dzari`ah adalah segala sesuatu
yang mangantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’ 2.
Jika dikaitkan dengan kata sadd, ini berarti pencegahan atau menghindari sesuatu
hal yang mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’.
Secara etimologis, kata sadd dzari`ah merupakan idhafa yang terdiri dari
kata sadd dan dzari`ah. Sadd merupakan kata dari benda abstrak yang berarti
menutup sesuatu yang cacat atau rusak, menimbun dengan lobang3. Kata dzari`ah
sendiri merupakan kata benda tunggal dengan arti jalan, sebab, dan sarana.
Berarti, sadd dzari`ah bermakna mencegah atau menutup suatu penyebab yang
rusak maupun salah.
Sedangkan secara terminologi, Asy-Syaukani (1994:295) mendefenisikan
sadd dzari`ah sebagai masalah atau perkara yang lahirnya diperbolehkan, akan
tetapi mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang. Sementara menurut Al-
Muwafat asy-Syatibi sadd dzari`ah adalah menolak sesuatu yang boleh, dengan
tujuan terhindar dari sesuatu yang dilarang.
Dari beberapa pendefinisian tersebut, sadd dzari`ah adalah pelarangan atau
pencegahan terhadap sesuatu yang menyebabkan datangnya keharaman, dengan
tujuan menghindari atau mencegah kerusakan dan bahaya yang akan ditimbulkan.
Sadd dzaria`ah menjadi salah satu metode penetapan hukum yang
dikembangkan para ulama, dimana sadd dzari`ah menjadi salah satu upayah
preventif untuk menghindari timbulnya sesuatu yang berdampak negatif. Metode
hukum ini menjadi salah satu bentuk perkembangan pengetahuan dari intelektual
Islam, yang dimana dalam agama lain sistem hukum tidak di dokumentasikan
sedemikian baik dan banyaknya seperti pada pengetahuan Islam. Sadd dzari`ah
merupakan salah satu metode dalam pengambilan keputusan hukum (istinbath)
dengan tujuan mencegah atau menjaga manusia dari segala hal yang merusak dan
membawa bahaya. Upaya yang dilakukan adalah dengan cara menutup atau

1
Hifdhotul Munawaroh, Sadd Al-Dzari`ah dan Aplikasinya pada Permasalahan Fiqih
Kontemporer, Jurnal Ijtihad, Vol. 12 (Juni,2018), hlm. 64-65.
2
Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh al Islamy, Juz 2, (Beirut: Daar al Fikr, 1986), hlm. 873.
3
Muhammad bin Mukarram, Lisan al-Arab, Juz 3,(Beirut:Dar Shadir, tt), hlm. 207.

3
menghindari setiap penyebab atau sarana yang dipergunakan untuk melakukan
suatu perbuatan yang mendatangkan keburukan.
Segala perbuatan ataupun kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia
tentunya memiliki maksud dan tujuan. Pada hakikatnya manusia akan melakukan
segala upaya untuk mencapai tujuannya tanpa memperhatikan baik atau buruk
serta manfaat maupun mudharat. Disini sadd dzari`ah menjadi penengah antara
perbuatan dan jalan untuk melakukan perbuatan tersebut. Peranannya adalah
sebagai metode pengambilan keputusan hukum atas perbuatan yang dilakukan.
2. Dasar Hukum Sadd Dzari`ah
a. Al-Qur`an
Dalam Al-Qur`an, dasar hukum sadd dzari`ah terdapat pada
Q.S Al-An`am: 108, Q.S Al-Baqarah: 1044 dan Q.S An-Nur:
31.
 Q.S Al-An`am: 108
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batasnya tanpa
dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap
ummat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (Q.S Al-An`am: 108)

Pada ayat tersebut, terdapat adzari`ah yang dapat


menimbulkan perbuatan yang dilarang, yaitu mencaci
maki Tuhan atau sesuatu yang disembah orang lain
ataupun agama lain. Ketika seseorang mencaci Tuhan
orang lain, bukan tidak mungkin orang tersebut akan
balik mencaci maki Tuhan yang disembah oleh pencaci
maki tersebut. Untuk itu, sebelum perselisihan
pencacian maki tersebut terjadi, maka dalam Islam
mencaci maki Tuhan atau sembahan agama lain
merupakan perbuatan yang dilarang menjadi tindakan
preventif atau yang disebut sadd dzari`ah.
 Q.S Al-Baqarah: 104
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi
katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi

4
Muhammad Takhim, Saddu al-dzari`ah dalam Muamalah Islam, Jurnal Ekonomi dan Bisnis,
Vol. 14 (2019), hlm. 20-21.

4
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (Q.S Al-
Baqarah: 104)
Pada ayat tersebut dapat di ambil pengajaran bahwa
suatu hal yang diberi pelarangan karena adanya
kekhawatiran timbulnya dampak negatif yang mungkin
akan terjadi perlu menggunakan kata ataupun kalimat
yang tepat ketika para sahabat menggunakan kata
Raa`inah terhadap Rasulullah, orang-orang yahudi juga
ikut menggunakannya namun dengan maksud
mengejek. Kemudian Allah menyuruh para sahabat
menggunakan kata Unzhurna yang artinya juga sama
dengan Raa`inah. Dari pemahaman inilah ayat ini
menjadi dasar sad dzari`ah.
 Q.S An-Nur: 31
Artinya: “Janganlah perempuan itu menghentakkan
kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang
tersembunyi di dalamnya.” (Q.S An-Nur: 31)

Hentakan kaki pada perempuan sebenarnya boleh-


boleh saja, namun jika hentakan tersebut menimbulkan
bunyi dan menjadi rangsangan orang lain maka
hentakan tersebut menjadi haram dan dilarang.
Dari penjelasan dari ayat-ayat tersebut pada
dasarnya semua perbuatan hukumnya adalah boleh,
akan tetapi ketika perbuatan tersebut menyebabkan atau
mendatangkan sesuatu yang terlarang maka perbuatan
tersebut dilarang untuk dikerjakan.

b. Sunnah
Dari Al-Miqdad Bin Al-Aswad berkata:
“wahai Rasulullah, bagaimana menurut mu jika aku bertemu
dengan salah seorang dari kaum kafir lalu dia memerangi aku.
Lalu dia memotong salah satu dari tangan ku hingga benar-
benar berhasil memenggalnya. Setelah itu dia berlindung dari
ku di balik sebatang pohon sembari berkata, “aku telah
mengatakan ke Islaman kepada Allah”. Apakah aku (masih
boleh) membunuhnya wahai Rasulullah?”. Kemudian
Rasulullah SAW. bersabda, “janganlah kamu membunuhnya”.
Al-Miqdad pun berkata, “aku berkata, wahai Rasulullah
sesungguhnya dia telah memotong tangan ku. Baru kemudian

5
dia mengatakan hal tersebut (menyatakan ke Islaman) setelah
berhasil memotongnya. Apakah aku (boleh) membunuhnya?”.
Rasulullah SAW., kembali bersabda, “Janganlah kamu
membunuhnya. Jika kamu tetap saja membunuhnya, maka dia
sama dengan statusmu sebelum kamu membunuhnya,
sedangkan kamu sama dengan statusnya sebelum dia
mengucapkan kalimat yang dilafadzkan tersebut”5.
Dari hadist ini, dapat diambil pegajaran bahwa adanya
larangan membunuh orang-orang kafir yang telah
mengucapkan tauhid atau pernyataan keislaman. Meskipun
orang tersebut telah menyakiti, tidak dibenarkan untuk
membunuhnya. Karena membunuh orang lain sama dengan
menentang hukum dan ajaran islam yang hukumnya adalah
dosa.
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata :
“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua
orang tuanya. “Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya
seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?”, kemudian
beliau pun menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah
orang lain, kemudian orang yang di caci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu lelaki tersebut”6.
Dari hadist ini, dilarang bagi kita mencaci maki orang tua
orang lain karena akan menimbulkan perselisihan, dimana
orang yang dicaci orang tuanya akan balik mencaci maki
dengan maksud pembalasan. Perbuatan ini menjadi sesuatu
yang dilarang karena penghinaan atas caci maki tersebut sama
saja mencaci maki orang tuanya sendiri.
c. Kaidah Fiqh
‫ْال َح َر ِام فَھُ َو ْال َح َر ِام لَى َأدَا َما‬
Artinya : “Apa yang membawa kepada yang haram maka hal
tersebut juga haram hukumnya”
‫ب َعلَى ُمقَ َّد ٌم ْال َمفَا ِس ِد َذرْ ُء‬
ِ ‫ح َج ْل‬ َ ‫ْال َم‬
ِ ِ‫صال‬
Artinya : “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada
menarik kemaslahatan”
Kaidah ini menjadi standar sadd dzari`ah disandarkan.
Dianjurkan bagi kita untuk menolak atau menghindari sesuatu
yang mendatangkan kerusakan serta membawa keharaman,
yang dimana tujuan akhirnya adalah menghindari dosa.
5
Imam Al-Nawawi, S} ah} i> h} Muslim bi Al-Syarh} An-Nawawi,(Jakarta:Mustaqim,2002), hlm.
669.
6
Muhammad Takhim, Op, cit, hlm. 21.

6
B. Jenis-jenis Sadd Dzari`ah
Ibnu Al-Qayyim (2010:496) mengklasifikasikan sadd dzari`ah
berdasarkan aspek akibat yang ditimbulkan menjadi empat kelompok,
antara lain :
1. Segala perbuatan yang pada dasarnya dipastikan akan
menimbulkan kerusakan (mafsadah). Misalnya, membuat
keributan di malam hari akan menimbulkan konflik dengan
tetangga yang merasa terganggu, meminum minuman keras
akan membuat mabuk dan hilang kesadaran, dan perbuatan
zina yang akan mendatang permasalahan seperti kehamilan
yang tidak jelas asal usul keturunannya.
2. Segala perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan
(mustahab), tetapi secara sengaja dijadikan sebagai alat untuk
mencapai suatu keburukan (mafsadah). Misalnya, praktik-
praktik jual beli yang melibatkan kegiatan berunsur riba atau
jual-beli dengan harga jauh lebih tinggi dari harga asal karena
sesuatu yang mendesak atau tidak membeli secara kontan.
3. Segala perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi
tidak sengaja mendatangkan keburukan (mafsadah). Disini
keburukan lebih besar di dapat daripada kebaikan. Misalnya,
mengajak kaum musyrik untuk bertobat tetapi menggunakan
kata-kata yang mencemooh dan menyakiti kaum tersebut.
4. Segala perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi
kadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Disini
kebaikan lebih besar didapat dibandingkan keburukan.
Misalnya, memberikan pujian yang berlebihan terhadap istri
orang lain.

Sedangkan berdasarkan bentuknya sadd dzari`ah dibagi


menjadi 3 yaitu:
1. Perbuatan yang jika dilakukan akan membawa pada
sesuatu yang terlarang.
2. Perbuatan yang jika dilakukan tidak membawa kepada
yang dilarang.
3. Perbuatan yang jika dilakukan akan membawa pada yang
terlarang dan yang tidak terlarang.7

7
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1dan 2, (Jakarta:Kencana,2010), hlm. 166.

7
Sedangkan dari aspek kesepakatan ulama, Al-Qarafi (6:319) dan
Asy-Syatibi (2:390) mengklasifikasikan adz dzari`ah menjadi 3
kelompok yaitu:
1. Perbuatan yang telah disepakati untuk tidak dilarang,
walaupun bisa saja menjadi jalan terjadinya perbuatan yang
diharamkan. Misalnya, menanam tanaman yang bisa menjadi
bahan pembuatan barang-barang yang tidak baik, seperti tanaman
anggur yang banyak di proses menjadi minuman khamar.
2. Perbuatan yang telah disepakati untuk dilarang. Misalnya,
menjalani hubungan sesama jenis.
3. Perbuatan yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau
diperbolehkan. Misalnya, memandangi seorang wanita karena
bisa saja menimbulkan unsur zina.

C. Pandangan Ulama Tentang Sadd Dzari`ah


Pada praktiknya, tidak semua ulama sepakat dengan sadd dzari`ah
sebagai metode penetapan hukum dalam islam. Hal ini dikarenakan
adanya perbedaan pandangan dari para ulama mengenai sadd dzari`ah.
Seperti Ibnu Qayyim yang mendefinisikan sadd dzari`ah sebagai jalan
atau perantara kepada sesuatu. Menurut Qayyim, sadd dzari`ah lebih
baik dikemukakan secara umum, sehingga membentuk dua pengertian
yaitu yang dilarang (sadd dzari`ah) dan yang harus dikerjakan (fath
dzari`ah).
Sedangkan Badran menyatakan sadd dzari`ah adalah hal yang
disampaikan kepada sesuatu yang terlarang dan mengandung
kerusakan.
Sementara Wahbah Zuhaili memberikan definisi netral, yakni sadd
dzari`ah adalah melarang dan menolak sesuatu yang dapat membawa
keharaman, untuk mencegah kerusakan dan bahaya8.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan ini, pada akhirnya terbentuk
3 kelompok ulama dalam mengklasifikasikan sadd dzari`ah, yaitu :
a. Kelompok yang menerima sadd dzari`ah sebagai metode
penetapan hukum islam. Kelompok ini bermazhab Maliki dan
Hambali. Yang menjadi dasarnya adalah Q.S Al-An’am : 108,
yang berarti :
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan”

8
Wahbah Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul Fiqh, ( Damaskus:Dar Fikr,1999), hlm. 108.

8
b. Kelompok yang tidak menerima sepenuhnya sadd dzaria`ah
sebagai metode penetapan hukum islam. Kelompok ini
bermazhab Hanafi dan Syafi`i. Pada kasus-kasus tertentu
kelompok ini menolak sad dzari`ah sebagai metode
pengistibathan. Salah satu alasan Syafi’i menolak sadd dzari`ah
adalah bahwa dasar pemikiran dari sadd dzari`ah merupakan
ijtihad bil ra’yi yang tidak ia terima kecuali qiyas. Alasan
lainnya adalah syari`ah ditetapkan dengan dzawahir9.
c. Kelompok yang menolak sadd dzari`ah. Kelompok ini dibawa
oleh Ulama Dzahiriyyah. Alasan yang menguatkan penolakan
ini adalah prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum harus
berdasarkan makna yang tekstual, sementara sadd dzari`ah
sendiri merupakan hasil penalaran terhadap perbuatan dan
masih bersifat praduga meski akhirnya mencapai sifat dugaan
yang kuat.
Ibnu Hamz (1064 M) sendiri telah menuliskan satu
pembahasan khusus untuk menolak sadd dzari`ah. Ia
menuliskan pendapatnya dalam kitab Al-Ihkam fi Ushul al-
ahkam. Ia membuat sub bab khusus membahas penolakannya
terhadap sadd dzari`ah. Beberapa alasan penolakan tersebut
adalah :
a. Ia berpendapat bahwa hadist yang dikemukakan ulama
untuk pengamalan sadd dzari`ah dilemahkan dari segi
sanad dan maksud dari artinya. Hadist yang dimaksud
disini adalah hadist nu’man bin basyir.
b. Sadd dzari`ah memiliki dasar pikiran ijtihad yang
patokannya adalah pertimbangan kemaslahatan, sementara
Ulama Zahiriyyah secara mutlak sangat menolak ijtihad
dengan ra`yu demikian.
c. Hukum syara’ hanya menyangkut pada sesuatu yang
ditetapkan Allah SWT. dalam Al-Qur`an, sunnah, atau pun
ijma’. Dalam kehati-hatiannya yang ditetapkan hukumnya
dengan nas atau ijma’ hanyalah hukum pokok. Sedangkan
hukum dari sadd dzari`ah tidak pernah ditetapkan oleh
ijma’. Inilah sebabnya sadd dzari`ah ditolak10.

Akan tetapi, dalam perkembangannya Ibnu Hazm sendiri


memakai sadd dzari`ah yang kemudian ia menuliskan bab yang
membahas pembatalan ihtiyath. Ia kemudian menyimpulkan
9
Hifdhotul Munawaroh, Op, cit, hlm. 76.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001), hlm. 406.

9
bahwa jika suatu permasalahan itu sudah pasti membawa
mafsadah, maka diperbolehkan menggunakan metode dzari`ah.
Ibnu Hamz membuat argumen bahwa ia sendiri tidak
mengingkari metode sadd dzari`ah secara mutlak, namun ia
lebih berhati-hati dalam pengaplikasiannya11.

Dengan melihat pendapat para ulama diatas, dapat


dinyatakan bahwa umumnya para ulama tidak menolak sadd
dzari`ah. Hal yang menjadi perbandingannya adalah bentuk
penerapan ukuran dan kualifikasinya yang berbeda. Dalam hal
ini, tidak ada nas yang melarang sadd dzari`ah, namun jika
perbuatan mengarah pada hukum yang dilarang maka sadd
dzari`ah dapat diterapkan sesuai dalilnya.

D. Metode Penentuan Sadd Dzari`ah


Dalam menetapkan hukum, ayat-ayat Al-Qur`an selalu
mengaitkan dengan masyarakat yang dijadikan sebagai bahan dasar
pertimbangan. Oleh karena itu penulis hukum harus selalu berinovatif
seiring dengan perubahan masa (ruang dan waktu) agar tidak
ditinggalkan oleh masyarakatnya.
Terdapat tiga sendi pokok yang menjadi dasar penepatan
hukum12, yaitu:
1. Hukum ditetapkan ketika masyarakat sudah membutuhkan hukum
tersebut.
2. Hukum ditetapkan oleh pihak yang berkuasa dan berhak
menetapkan hukum tanpa ada nilai paksa.
3. Hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.

Metode sadd dzari`ah secara langsung bersentuhan dengan nilai


maslahat dan juga sekaligus menghindari mafsadat. Maslahat perlu
dipelihara untuk mencapai tujuan yang di syariatkan hukum Islam.
Dalam ushul fiqh terdapat 3 maslahat13antara lain:
1. Maslahat mu`tabarah, yaitu maslahat yang diungkapkan
dalam Al-Qur`an dan sunnah secara langsung.
2. Maslahat mulghat, yaitu maslahat yang bertentangan dengan
Al-Qur`an dan sunnah.

11
Hifdhotul Munawaroh, Op, cit, hlm. 78.
12
Hasbi Ash Shiddiqie, Fakta Keagungan Syari’at Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1982), hlm. 19.
13
Al Ghozali, Al Mustashfa Min `Ilmi al Ushul-I, (Mesir:Matba’ah Mustafa Muhammad,1356),
hlm. 139.

10
3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak diungkapkan
Al-Qur`an dan sunnah secara langsung dan tidak pula
bertentangan dengan keduanya.

Imam Al-Ghazali memberikan tiga kriteria maslahat, yaitu:

1. Kemaslahatan masuk dalam kategori peringkat daruriyyat yang berarti,


maslahat tersebut tidak bertentangan dengan lima unsur pokok maslahat
(agama, jiwa, akal, pikiran, dan harta).
2. Maslahat harus bersifat qat`i, yang artinya harus benar-benar telah
dipercaya.
3. Maslahat bersifat kulli yang artinya harus bersifat kolektif dan tidak
individual14.

Imam Al-Syathibi mengungkapkan tiga syarat suatu perbuatan dilarang, yaitu:

1. Perbuatan tersebut membawa kepada mafsadat secara mutlak.


2. Perbuatan tersebut lebih kuat (kualitas) mafsadat nya dibandingkan
maslahat nya.
3. Perbuatan tersebut lebih banyak (kuantitas) mafsadat nya dibandingkan
maslahat nya15.

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kemaslahatan menjadi


suatu hal pertimbangan yang paling utama dalam penerapan hukum Islam.
Pendekatan yang digunakan untuk penerapan hukum harus dilihat secara utuh
komprehensif berbagai hal yang melingkupi pihak yang berkenaan langsung
dengan hukum tersebut. Kemaslahatan pihak-pihak yang berkenaan dengan
hukum harus di dahulukan, dengan tujuan mendapatkan keadilan, manfaat hukum
yang dirasakan oleh masyarakat dan terwujudnya kemaslahatan umat.

E. Aplikasi Sadd Dzari`ah Dalam Ekonomi Dan Keuangan Syariah


Dalam ekonomi sadd dzari`ah diimplementasikan pada transaksi jual-
beli kredit, yang dimana transaksi ini memungkinkan terjadinya riba. Imam
Syafi`i dan Hanafi membolehkan jual-beli jika syarat dan rukun terpenuhi,
sedangkan imam Maliki dan Hambali memperhatikan akibat yang ditimbulkan
jual-beli, yaitu riba. Maka, dzari`ah seperti demikian tidak dibolehkan. Alasan
Imam Maliki dan Hambali mengemukakan pendapatnya adalah:

14
Ibid. hlm, 253-259.
15
As Syathibi, Al-Muwafaqat-II, (Mesir:Matba’ah al Maktabah al Tjariyah,tt), hlm. 198.

11
1. Jual-beli kredit perlu diperhatikan tujuan dan akibatnya, yang
dimana perbuatan ini mengandung unsur riba meski sifatnya masih
praduga yang berat. Syara` sendiri banyak sekali menentukan
hukum berdasarkan praduga yang berat disamping sikap kehati-
hatian. Ini berarti, perbuatan yang diduga dapat membawa pada
mafsadat bisa dijadikan dasar pelarangan melakukannya.
2. Di dalam jual-beli kredit terdapat dua dasar yang bertentangan,
yaitu antara sahnya jual-beli karena adanya syarat dan rukun
dengan menjaga seseorang dari kemudharatan. Disini keselamatan
seseorang dari kemudharatan lebih diutamakan karena jual-beli
tersebut sudah jelas membawa pada mafsadat.
3. Dalam nas sangat banyak larangan perbuatan yang dasarnya boleh,
tetapi untuk menjaga dari mafsadat hukumnya berubah menjadi
larangan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan tersebut lebih
banyak membawa pada kemafsadatan.

Sedangkan dalam keuangan syariah bentuk pengaplikasian dzari`ah diatur


dalam Fatwa DSN NO: 75/DSN-MUI / IV / 2009 tentang PLBS (Penjualan
Langsung Berjenjang Syariah) yang didalamnya mencakup 12 point persyaratan
MLM (Multi Level Marketing) Syariah. Beberapa pengimplementasiannya adalah:

1. Beberapa perusahaan mengklaim diri sebagai industri MLM, namun tidak


menjual produk atau jasa apapun. Mereka beralasan bahwa yang mereka
jual adalah hak usaha, bahkan ada yang menyatakan yang mereka
bayarkan itu adalah sedekah.
2. Perusahaan memberikan komisi yang baik dan pembagian bonus kepada
karyawan serta memperhatikan pembinaan member baru dimana MLM
harus memperhatikan komisi perusahaan, prestasi kerja nyata dan
pendapatan mitra usaha.
3. Tidak ada eksploitasi dalam pembagian bonus antara anggota lama dan
baru. Disini dengan melihat marketing plannya akan terdapat peluang pada
setiap member yang mendaftar lebih dulu pasti mendapatkan bonus yang
besar. Jika hal ini dapat ditemukan dalam MLM, berarti MLM tersebut
dapat dikategorikan sebagai industry MLM Syariah.
4. Dalam praktiknya banyak money game yang berkedok MLM, dimana
mereka mengutamakan perekrutan anggota baru namun kemudian mereka
dibiarkan begitu saja. Hal ini disebabkan perusahaan tersebut hanya
membutuhkan uang iuran pendaftaran dari para pendaftar tersebut, dimana
kemungkinan perusahaan tidak menjual poduk riil sehingga tidak perlu
pembinaan.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sadd dzari`ah berasal dari dua kata, yakni sadd yang berarti menutup cela
dan menutup kerusakan, atau mencegah dan melarang. Sedangkan kata dzari`ah

13
berarti jalan yang membawa kepada sesuatu. Menurut ulama ushul fiqh sendiri
arti kata dzari`ah adalah segala sesuatu yang mangantarkan dan menjadi jalan
kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’.
Pertumbuhan dan perkembangan budaya hidup sosial masyarakat terus
menerus bergerak, sehingga hukum juga perlu di inovasi sesuai kebutuhan hidup
masyarakat. Metode sadd dzari`ah menjadi alternatif yang cukup fleksibel dalam
mengahadapi arus perubahan ini. Salah satu yang menjadi kelebihan sadd dzari`ah
adalah tujuannya untuk memelihara umat dari segi maslahat dan mafsadat demi
keselamatan dunia akhirat.

Daftar Pustaka

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1dan 2, Jakarta: Kencana, 2010.

Al Ghozali, Al Mustashfa Min `Ilmi al Ushul-I, Mesir: Matba’ah


Mustafa Muhammad, 1356.

14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001.

Asy Syathibi, Al-Muwafaqat-II, Mesir: Matba’ah al Maktabah al


Tjariyah.

Asy-Syaukani, al Haqq min `Ilm al-Ushul, Beirut: Dar Al-Kutub al


Ilmiyyah, 1994.

Hasbi Ash Shiddiqie, Fakta Keagungan Syari’at Islam, Jakarta:Bulan


Bintang, 1982.

Hifdhotul Munawaroh, Sadd Al-Dzari`ah dan Aplikasinya pada


Permasalahan Fiqih Kontemporer, Jurnal Ijtihad Vol. 12 No.1, 2018.

Imam Al-Nawawi, S} ah} i> h} Muslim bi Al-Syarh} An-Nawawi,


Jakarta: Mustaqim, 2002.

Muhammad bin Mukarram, Lisan al-Arab, Juz 3, Beirut:Dar Shadir,


tt, hlm. 207.

Muhammad Takhim, Saddu al-dzari`ah dalam Muamalah Islam,


Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 14 No. 1, 2019.

Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh al Islamy, Juz 2, Beirut: Daar al Fikr,


1986.

Wahbah Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul Fiqh, Damaskus:Dar Fikr,1999.

15

Anda mungkin juga menyukai