Dosen Pengampu:
T.A 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT,. Karena berkat hidayah
dan taufik-Nya. Kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah kami yang
berjudul “SADD DZARIA`AH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM
EKONOMI DAN KEUANGAN MONETER.”
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna serta masih
banyak kesalahan dan kekurangannya. Oleh karena itu kritik dan saran semua
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dan mudah-mudahan makalah ini dapat mendorong kita untuk lebih giat dalam
proses menimba ilmu sebaik-baiknya. Amin ya robbal alamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
untuk menetapkan suatu hukum. Hal utama yang perlu diperhatikan para ahli
hukum adalah kesejahteraan umat. Kesejahteraan menjadi pertimbangan utama
dalam pengambilan keputusan hukum islam. Karena ada hakikatnya, islam adalah
agama yang harus membawa keselamatan bagi para pemeluknya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi dari sadd dzari`ah?
2. Apa saja dasar hukum dari sadd dzari`ah?
3. Apa saja jenis-jenis sadd dzari`ah?
4. Bagaimana pandangan ulama tentang sadd dzari`ah?
5. Bagaimana metode penentuan sadd dzari`ah?
6. Apa saja aplikasi sadd dzari`ah dalam ekonomi dan keuangan syariah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian sadd dzari`ah
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum dari sadd dzari`ah
3. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis sadd dzari`ah
4. Untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama tentang sadd dzari`ah
5. Untuk mengetahui bagaimana metode penentuan sadd dzari`ah
6. Untuk mengetahui apa saja aplikasi sadd dzari`ah dalam ekonomi dan
keuangan syariah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hifdhotul Munawaroh, Sadd Al-Dzari`ah dan Aplikasinya pada Permasalahan Fiqih
Kontemporer, Jurnal Ijtihad, Vol. 12 (Juni,2018), hlm. 64-65.
2
Wahbah al Zuhaily, Ushul Fiqh al Islamy, Juz 2, (Beirut: Daar al Fikr, 1986), hlm. 873.
3
Muhammad bin Mukarram, Lisan al-Arab, Juz 3,(Beirut:Dar Shadir, tt), hlm. 207.
3
menghindari setiap penyebab atau sarana yang dipergunakan untuk melakukan
suatu perbuatan yang mendatangkan keburukan.
Segala perbuatan ataupun kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia
tentunya memiliki maksud dan tujuan. Pada hakikatnya manusia akan melakukan
segala upaya untuk mencapai tujuannya tanpa memperhatikan baik atau buruk
serta manfaat maupun mudharat. Disini sadd dzari`ah menjadi penengah antara
perbuatan dan jalan untuk melakukan perbuatan tersebut. Peranannya adalah
sebagai metode pengambilan keputusan hukum atas perbuatan yang dilakukan.
2. Dasar Hukum Sadd Dzari`ah
a. Al-Qur`an
Dalam Al-Qur`an, dasar hukum sadd dzari`ah terdapat pada
Q.S Al-An`am: 108, Q.S Al-Baqarah: 1044 dan Q.S An-Nur:
31.
Q.S Al-An`am: 108
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batasnya tanpa
dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap
ummat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (Q.S Al-An`am: 108)
4
Muhammad Takhim, Saddu al-dzari`ah dalam Muamalah Islam, Jurnal Ekonomi dan Bisnis,
Vol. 14 (2019), hlm. 20-21.
4
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (Q.S Al-
Baqarah: 104)
Pada ayat tersebut dapat di ambil pengajaran bahwa
suatu hal yang diberi pelarangan karena adanya
kekhawatiran timbulnya dampak negatif yang mungkin
akan terjadi perlu menggunakan kata ataupun kalimat
yang tepat ketika para sahabat menggunakan kata
Raa`inah terhadap Rasulullah, orang-orang yahudi juga
ikut menggunakannya namun dengan maksud
mengejek. Kemudian Allah menyuruh para sahabat
menggunakan kata Unzhurna yang artinya juga sama
dengan Raa`inah. Dari pemahaman inilah ayat ini
menjadi dasar sad dzari`ah.
Q.S An-Nur: 31
Artinya: “Janganlah perempuan itu menghentakkan
kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang
tersembunyi di dalamnya.” (Q.S An-Nur: 31)
b. Sunnah
Dari Al-Miqdad Bin Al-Aswad berkata:
“wahai Rasulullah, bagaimana menurut mu jika aku bertemu
dengan salah seorang dari kaum kafir lalu dia memerangi aku.
Lalu dia memotong salah satu dari tangan ku hingga benar-
benar berhasil memenggalnya. Setelah itu dia berlindung dari
ku di balik sebatang pohon sembari berkata, “aku telah
mengatakan ke Islaman kepada Allah”. Apakah aku (masih
boleh) membunuhnya wahai Rasulullah?”. Kemudian
Rasulullah SAW. bersabda, “janganlah kamu membunuhnya”.
Al-Miqdad pun berkata, “aku berkata, wahai Rasulullah
sesungguhnya dia telah memotong tangan ku. Baru kemudian
5
dia mengatakan hal tersebut (menyatakan ke Islaman) setelah
berhasil memotongnya. Apakah aku (boleh) membunuhnya?”.
Rasulullah SAW., kembali bersabda, “Janganlah kamu
membunuhnya. Jika kamu tetap saja membunuhnya, maka dia
sama dengan statusmu sebelum kamu membunuhnya,
sedangkan kamu sama dengan statusnya sebelum dia
mengucapkan kalimat yang dilafadzkan tersebut”5.
Dari hadist ini, dapat diambil pegajaran bahwa adanya
larangan membunuh orang-orang kafir yang telah
mengucapkan tauhid atau pernyataan keislaman. Meskipun
orang tersebut telah menyakiti, tidak dibenarkan untuk
membunuhnya. Karena membunuh orang lain sama dengan
menentang hukum dan ajaran islam yang hukumnya adalah
dosa.
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata :
“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua
orang tuanya. “Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya
seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?”, kemudian
beliau pun menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah
orang lain, kemudian orang yang di caci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu lelaki tersebut”6.
Dari hadist ini, dilarang bagi kita mencaci maki orang tua
orang lain karena akan menimbulkan perselisihan, dimana
orang yang dicaci orang tuanya akan balik mencaci maki
dengan maksud pembalasan. Perbuatan ini menjadi sesuatu
yang dilarang karena penghinaan atas caci maki tersebut sama
saja mencaci maki orang tuanya sendiri.
c. Kaidah Fiqh
ْال َح َر ِام فَھُ َو ْال َح َر ِام لَى َأدَا َما
Artinya : “Apa yang membawa kepada yang haram maka hal
tersebut juga haram hukumnya”
ب َعلَى ُمقَ َّد ٌم ْال َمفَا ِس ِد َذرْ ُء
ِ ح َج ْل َ ْال َم
ِ ِصال
Artinya : “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada
menarik kemaslahatan”
Kaidah ini menjadi standar sadd dzari`ah disandarkan.
Dianjurkan bagi kita untuk menolak atau menghindari sesuatu
yang mendatangkan kerusakan serta membawa keharaman,
yang dimana tujuan akhirnya adalah menghindari dosa.
5
Imam Al-Nawawi, S} ah} i> h} Muslim bi Al-Syarh} An-Nawawi,(Jakarta:Mustaqim,2002), hlm.
669.
6
Muhammad Takhim, Op, cit, hlm. 21.
6
B. Jenis-jenis Sadd Dzari`ah
Ibnu Al-Qayyim (2010:496) mengklasifikasikan sadd dzari`ah
berdasarkan aspek akibat yang ditimbulkan menjadi empat kelompok,
antara lain :
1. Segala perbuatan yang pada dasarnya dipastikan akan
menimbulkan kerusakan (mafsadah). Misalnya, membuat
keributan di malam hari akan menimbulkan konflik dengan
tetangga yang merasa terganggu, meminum minuman keras
akan membuat mabuk dan hilang kesadaran, dan perbuatan
zina yang akan mendatang permasalahan seperti kehamilan
yang tidak jelas asal usul keturunannya.
2. Segala perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan
(mustahab), tetapi secara sengaja dijadikan sebagai alat untuk
mencapai suatu keburukan (mafsadah). Misalnya, praktik-
praktik jual beli yang melibatkan kegiatan berunsur riba atau
jual-beli dengan harga jauh lebih tinggi dari harga asal karena
sesuatu yang mendesak atau tidak membeli secara kontan.
3. Segala perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi
tidak sengaja mendatangkan keburukan (mafsadah). Disini
keburukan lebih besar di dapat daripada kebaikan. Misalnya,
mengajak kaum musyrik untuk bertobat tetapi menggunakan
kata-kata yang mencemooh dan menyakiti kaum tersebut.
4. Segala perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi
kadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Disini
kebaikan lebih besar didapat dibandingkan keburukan.
Misalnya, memberikan pujian yang berlebihan terhadap istri
orang lain.
7
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1dan 2, (Jakarta:Kencana,2010), hlm. 166.
7
Sedangkan dari aspek kesepakatan ulama, Al-Qarafi (6:319) dan
Asy-Syatibi (2:390) mengklasifikasikan adz dzari`ah menjadi 3
kelompok yaitu:
1. Perbuatan yang telah disepakati untuk tidak dilarang,
walaupun bisa saja menjadi jalan terjadinya perbuatan yang
diharamkan. Misalnya, menanam tanaman yang bisa menjadi
bahan pembuatan barang-barang yang tidak baik, seperti tanaman
anggur yang banyak di proses menjadi minuman khamar.
2. Perbuatan yang telah disepakati untuk dilarang. Misalnya,
menjalani hubungan sesama jenis.
3. Perbuatan yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau
diperbolehkan. Misalnya, memandangi seorang wanita karena
bisa saja menimbulkan unsur zina.
8
Wahbah Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul Fiqh, ( Damaskus:Dar Fikr,1999), hlm. 108.
8
b. Kelompok yang tidak menerima sepenuhnya sadd dzaria`ah
sebagai metode penetapan hukum islam. Kelompok ini
bermazhab Hanafi dan Syafi`i. Pada kasus-kasus tertentu
kelompok ini menolak sad dzari`ah sebagai metode
pengistibathan. Salah satu alasan Syafi’i menolak sadd dzari`ah
adalah bahwa dasar pemikiran dari sadd dzari`ah merupakan
ijtihad bil ra’yi yang tidak ia terima kecuali qiyas. Alasan
lainnya adalah syari`ah ditetapkan dengan dzawahir9.
c. Kelompok yang menolak sadd dzari`ah. Kelompok ini dibawa
oleh Ulama Dzahiriyyah. Alasan yang menguatkan penolakan
ini adalah prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum harus
berdasarkan makna yang tekstual, sementara sadd dzari`ah
sendiri merupakan hasil penalaran terhadap perbuatan dan
masih bersifat praduga meski akhirnya mencapai sifat dugaan
yang kuat.
Ibnu Hamz (1064 M) sendiri telah menuliskan satu
pembahasan khusus untuk menolak sadd dzari`ah. Ia
menuliskan pendapatnya dalam kitab Al-Ihkam fi Ushul al-
ahkam. Ia membuat sub bab khusus membahas penolakannya
terhadap sadd dzari`ah. Beberapa alasan penolakan tersebut
adalah :
a. Ia berpendapat bahwa hadist yang dikemukakan ulama
untuk pengamalan sadd dzari`ah dilemahkan dari segi
sanad dan maksud dari artinya. Hadist yang dimaksud
disini adalah hadist nu’man bin basyir.
b. Sadd dzari`ah memiliki dasar pikiran ijtihad yang
patokannya adalah pertimbangan kemaslahatan, sementara
Ulama Zahiriyyah secara mutlak sangat menolak ijtihad
dengan ra`yu demikian.
c. Hukum syara’ hanya menyangkut pada sesuatu yang
ditetapkan Allah SWT. dalam Al-Qur`an, sunnah, atau pun
ijma’. Dalam kehati-hatiannya yang ditetapkan hukumnya
dengan nas atau ijma’ hanyalah hukum pokok. Sedangkan
hukum dari sadd dzari`ah tidak pernah ditetapkan oleh
ijma’. Inilah sebabnya sadd dzari`ah ditolak10.
9
bahwa jika suatu permasalahan itu sudah pasti membawa
mafsadah, maka diperbolehkan menggunakan metode dzari`ah.
Ibnu Hamz membuat argumen bahwa ia sendiri tidak
mengingkari metode sadd dzari`ah secara mutlak, namun ia
lebih berhati-hati dalam pengaplikasiannya11.
11
Hifdhotul Munawaroh, Op, cit, hlm. 78.
12
Hasbi Ash Shiddiqie, Fakta Keagungan Syari’at Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1982), hlm. 19.
13
Al Ghozali, Al Mustashfa Min `Ilmi al Ushul-I, (Mesir:Matba’ah Mustafa Muhammad,1356),
hlm. 139.
10
3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak diungkapkan
Al-Qur`an dan sunnah secara langsung dan tidak pula
bertentangan dengan keduanya.
14
Ibid. hlm, 253-259.
15
As Syathibi, Al-Muwafaqat-II, (Mesir:Matba’ah al Maktabah al Tjariyah,tt), hlm. 198.
11
1. Jual-beli kredit perlu diperhatikan tujuan dan akibatnya, yang
dimana perbuatan ini mengandung unsur riba meski sifatnya masih
praduga yang berat. Syara` sendiri banyak sekali menentukan
hukum berdasarkan praduga yang berat disamping sikap kehati-
hatian. Ini berarti, perbuatan yang diduga dapat membawa pada
mafsadat bisa dijadikan dasar pelarangan melakukannya.
2. Di dalam jual-beli kredit terdapat dua dasar yang bertentangan,
yaitu antara sahnya jual-beli karena adanya syarat dan rukun
dengan menjaga seseorang dari kemudharatan. Disini keselamatan
seseorang dari kemudharatan lebih diutamakan karena jual-beli
tersebut sudah jelas membawa pada mafsadat.
3. Dalam nas sangat banyak larangan perbuatan yang dasarnya boleh,
tetapi untuk menjaga dari mafsadat hukumnya berubah menjadi
larangan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan tersebut lebih
banyak membawa pada kemafsadatan.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sadd dzari`ah berasal dari dua kata, yakni sadd yang berarti menutup cela
dan menutup kerusakan, atau mencegah dan melarang. Sedangkan kata dzari`ah
13
berarti jalan yang membawa kepada sesuatu. Menurut ulama ushul fiqh sendiri
arti kata dzari`ah adalah segala sesuatu yang mangantarkan dan menjadi jalan
kepada sesuatu yang dilarang oleh syara’.
Pertumbuhan dan perkembangan budaya hidup sosial masyarakat terus
menerus bergerak, sehingga hukum juga perlu di inovasi sesuai kebutuhan hidup
masyarakat. Metode sadd dzari`ah menjadi alternatif yang cukup fleksibel dalam
mengahadapi arus perubahan ini. Salah satu yang menjadi kelebihan sadd dzari`ah
adalah tujuannya untuk memelihara umat dari segi maslahat dan mafsadat demi
keselamatan dunia akhirat.
Daftar Pustaka
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001.
15