Anda di halaman 1dari 22

SADDUDZ DZARI’AH, MAZHAB SAHABAT, DAN SYARIAT UMAT

SEBELUM ISLAM DAN PENERAPANNYA DALAM KEUANGAN


SYARIAH
MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH USHUL FIQH
KEUANGAN SYARIAH
Yang dibina oleh Ibu Dra. Hj. Noorwahidah Haisy, M.Ag.

Oleh:
Kelompok VIII

NAMA NIM

RARA AZIZAH 190105010289


MUHAMMAD RASYAD 190105010452
NUR FAJRI 190105010548

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
April 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Saddudz Dzari‟ah, Mazhab Sahabat, dan Syariat Umat sebelum Islam dan
Penerapannya dalam Keuangan Syariah” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas ibu Noorwahidah Haisy pada mata kuliah Ushul Fiqh Keuangan Syariah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang saddudz
dzari‟ah, mazhab sahabat, dan syar‟u man qablana, juga penerapan ketiganya di
dalam keuangan syariah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Noorwahidah Haisy, selaku


dosen mata kuliah Ushul Fiqh Keuangan Syariah yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang kami tekuni. Juga terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan yang ditemukan


selama pengerjaan, walaupun begitu kiranya masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini baik dalam hal isi, sistematika maupun teknik
penulisannya. Sehingga peran serta semua pihak dalam hal kritik dan saran
membangun sangatlah dibutuhkan agar dapat membuat makalah yang lebih baik
di waktu mendatang. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri maupun bagi pembaca dan dapat membantu semua pihak dalam
menambah pengetahuan dan wawasannya.

Banjarmasin, April 2021

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar Isi................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...........................................................................................1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan ........................................................................................................2

BAB II SADDUDZ DZARI‟AH, MAZHAB SAHABAT, DAN SYARIAT


UMAT SEBELUM ISLAM DAN PENERAPANNYA DALAM KEUANGAN
SYARIAH

A. Saddudz Dzari‟ah .......................................................................................3


1. Pengertian Saddudz Dzari‟ah ...............................................................3
2. Dasar Hukum Saddudz Dzari‟ah .........................................................3
3. Macam-Macam Dzari‟ah .....................................................................5
4. Penerapan Saddudz Dzari‟ah dalam Keuangan Syariah ......................6
B. Mazhab Sahabat .........................................................................................7
1. Pengertian Mazhab Sahabat .................................................................7
2. Macam-Macam Mazhab Sahabat .........................................................7
3. Kehujjahan Mazhab Sahabat................................................................8
4. Penerapan Mazhab Sahabat dalam Keuangan Syariah ......................10
C. Syariat Umat Sebelum Islam ...................................................................10
1. Pengertian Syariat Umat Sebelum Islam ...........................................10
2. Macam-Macam Syariat ......................................................................11
3. Kehujjahan Syariat Umat Sebelum Islam ..........................................13
4. Penerapan Syariat Umat Sebelum Islam ............................................15

iii
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................18
B. Saran ........................................................................................................18

Daftar Pustaka ........................................................................................................19

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqh atau hukum Islam diramu dan disusun berdasarkan petunjuk Allah dalam
Al-Qur‟an dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam Sunnahnya. Untuk dapatnya
titah Allah dan penjelasan Nabi yang merupakan Syari‟ah itu menjadi pedoman
beramal yang terurai bernama fiqh tersebut, disusun ketentuan dan aturan.
Pengetahuan tentang aturan dan ketentuan yang dapat membimbing Ulama dalam
merumuskan fiqh itulah kemudian disebut “Ushul Fiqh”.

Dalam ijtihad, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip
hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al-quran
maupun as-Sunnah. Hal tersebut dilakukan berkaitan dengan tuntutan realita sosial
dan persoalan baru yang muncul yang tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Qur‟an.

Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
adz-dzari‟ah. Metode sadd adz-dzari‟ah merupakan upaya pencegahan agar tidak
terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya
mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum
dilakukan. Hal ini karena salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang
belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka
dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum
inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari‟ah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat


dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:
1. Apa itu Saddudz Dzari‟ah?
2. Bagaimana penerapan Saddudz Dzari‟ah dalam keuangan syariah?
3. Apa itu Mazhab Sahabat?

1
4. Bagaimana penerapan Mazhab Sahabat dalam keuangan syariah?
5. Apa itu Syariat Umat Sebelum Islam?
6. Bagaimana penerapan Syariat Umat Sebelum Islam pada Keuangan
Syariah?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini:


1. Untuk mengetahui apa itu Saddudz Dzari‟ah

2. Untuk mengetahui apa itu Mazhab Sahabat

3. Untuk mengetahui Syariat Umat Sebelum Islam

4. Untuk mengetahui penerapan ketiganya dalam keuangan syariah

2
BAB II

SADDUDZ DZARI’AH, MAZHAB SAHABAT, DAN SYARIAT UMAT


SEBELUM ISLAM DAN PENERAPANNYA DALAM KEUANGAN
SYARIAH

A. Saddudz Dzari’ah
1. Pengertian Saddudz Dzari’ah

Saddudz Dzari‟ah terdiri atas dua perkara yaitu sadd dan dzari‟ah. Sadd
berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedangkan dzari‟ah berarti jalan
atau perantara. Maksudnya, menghambat atau mengahalangi atau menyumbat
semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.1

Menurut Imam al-Syatibi2, saddudz dzari‟ah adalah:

‫صلَ َحةٌ إِ ََل َم ْف َس َد ٍة‬ ِ ‫الت‬


ْ ‫ػ ََّو ُّس ُل ِبَا ُى َو َم‬
Artinya: “Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”

Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa saddudz dzari‟ah adalah


perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung
kemaslahatan, tetapi tujuan yang ia capai berakhir pada suatu kemafsadahan dan
kemudaratan.3

2. Dasar Hukum Saddudz Dzari’ah

Dasar hukum dari saddudz dzari‟ah ialah al-Quran dan Hadits, yaitu:

a) Firman Allah Swt dalam surah Al-An‟am (6), ayat 108:

1
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh (Lampung: Penerbit Aura, 2019), hal. 72
2
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari‟ah, jil. 4 (t.k.: Kementerian
Agama Wakaf dan Dakwah – Kerajaan Saudi Arabia, t.t.), hal. 144
3
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 104

3
ۢ ِ ‫وََل تَسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعو َن ِمن دو ِن ه‬
‫اّللَ َع ْد ًوا بِغَ ِْْي ِع ْل ٍم‬
ّ‫ػيَ ُسبُّوا ه‬
َ‫اّلل ف‬
ّ ُْ ْ ُْ َ َ ْ ُ َ
Artinya: ”Dan janganlah kamu menghina sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan menghina Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan”.

Menghina berhala tidak dilarang Allah Swt, tetapi ayat ini melarang kaum
muslim mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu
ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan menghina Allah secara
melampaui batas.4

b) Firman Allah Swt dalam surah An-Nur (24), ayat 31:

‫ػنَتِ ِه َّن‬ ِ ‫ػعلَم ما ُُيْ ِف‬


ِ ِ
َ ْ َ َ ْ ُ‫ض ِربْ َن ِِبَْر ُجل ِه َّن لي‬
ْ‫ْي م ْن ِزي‬ ْ َ‫َوََل ي‬
Artinya: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan”.

Wanita menghentakkan kaki waktu berjalan sehingga terdengar


gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan
menarik hati laki-laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu
dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju ke arah perbuatan
zina.5

c) Sabda Nabi Muhammad Saw:

َِّ ‫ول‬ ِ ِ ِ ‫إِ َّن ِم ْن أَ ْك ََِب ال َكبَائِِر أَ ْن ي‬


ُ‫الر ُجل‬
َّ ‫ػَْل َع ُن‬
‫ف ي‬
َ ‫ َوَكْي‬،‫اّلل‬ َ ‫ ََي َر ُس‬:‫يل‬ َ ‫الر ُج ُل َوال َديْو »ق‬َّ ‫ػَْل َع َن‬
ُّ ‫ َويَ ُس‬،ُ‫ب أََِبه‬
ُ‫ب أ َُّمو‬ َ‫ ف‬،‫الر ُج ِل‬
ُّ ‫ػيَ ُس‬ َّ ‫الر ُج ُل أََِب‬
َّ ‫ب‬ ُّ ‫يَ ُس‬: «‫ال‬ َ َ‫َوالِ َديِْو؟ ق‬
Artinya: “Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang
melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah Saw. ditanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya. Rasulullah Saw.

4
Bahrudin, Ilmu Ushul…, hal. 73-74
5
Ibid., hal. 74

4
menjawab: “Seseorang yang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga
akan dicaci maki orang lain dan ibunya akan dicaci maki orang lain.” (HR.
Bukhari6, Muslim7 dan Abu Daud8).

Dampak dari perbuatan seseorang mencaci maki orangtua orang lain


seolah-olah melaknat orangtua sendiri, sehingga menjadi dosa besar. Menghindari
perbuatan tersebut adalah bagian dari saddudz dzari‟ah.

Menurut Ibn Taimiyah, Hadits ini menunjukkan bahwa saddudz dzari‟ah


termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syariat, karena sabda Rasul
di atas masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasulullah
melarangnya.9

3. Macam-Macam Dzari’ah

Menurut al-Syatibi, dzari‟ah dari segi kualitas kemafsadatannya terbagi


dalam empat macam, yaitu:

a. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.


Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam,
yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia
dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
b. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
Misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.
Misalnya menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan
untuk membunuh.
d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti bai al-
6
Abi Abdillah Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, jil. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 56, no
hadits. 5973.
7
Muslim, Sahih Muslim, jil. 1 (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), hal. 59, no hadits.
146-(90).
8
Abu Daud, Sunan Abi Daud, jil. 7, juz 14 (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2013), hal.
214, no hadits. 5132.
9
Darmawan, Ushul Fiqh (t.k.: Revka Prima Media, 2020), hal. 135-136

5
ajal, yang akan dibahas lebih lengkap pada penerapan saddudz dzari‟ah
dalam keuangan syariah.10

4. Penerapan Saddudz Dzari’ah dalam Keuangan Syariah

Transaksi jual beli secara kredit (bai al-ajal) yang memungkinkan terjadinya riba.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Imam Syafi‟i dan Abu
Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli
sudah terpenuhi. Sedangkan Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih
memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni
menimbulkan riba. Dengan demikian, dzari‟ah seperti itu tidak dibolehkan. Ada
tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal
dalam mengemukakan pendapatnya:

a. Dalam jual beli kredit (bai al-ajal) perlu diperhatikan tujuan atau akibatnya,
yang membawa kepada perbuatan yang mengandumg unsur riba, meskipun
sifatnya sebatas praduga yang berat (galadah azh-zhann), karena syara‟ sendiri
banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping
itu perlu sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang
diduga akan mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang
suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah fikih:

‫صا لِ ِح‬ ِ ‫َّم َعلَى َج ْل‬


َ َ‫ب اْل‬
ِِ
ٌ ‫َدفْ ُع الْ َم َفاسد ُم َقد‬

Artinya: “Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada


mengambil kemaslahatan.”

b. Dalam kasus bai al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya
jual beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari
kemudaratan. Dalam hal ini, Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih
menguatkan pemeliharaan keselamatan dari kemadaratan, karena bentuk jual
beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.

10
Syafe‟i, Ilmu Ushul…, hal. 104

6
c. Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada
dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga
dilarang.11

B. Mazhab Sahabat
1. Pengertian Mazhab Sahabat

Mazhab Sahabat atau juga disebut Qaul as-Shahaby adalah sekumpulan


hasil ijtihad atau fatwa dari para sahabat atas persoalan-persoalan yang muncul
pasca wafatnya Rasulullah Saw.

Semasa Rasulullah saw. masih hidup, semua masalah yang muncul atau
timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah
saw., dan Rasulullah saw. memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Pasca
meninggalnya Rasulullah muncul kembali persoalan-persoalan yang baru yang
notabenenya tidak pernah terjadi pada masa kerasulan Muhammad saw. Akhirnya
para sahabat mengambil inisiatif tersendiri untuk melakukan ijtihad demi
menyelesaikan persoalan yang ada. Dari sini muncul dan keluarlah fatwa-fatwa
sahabat mengenai peristiwa apa saja yang mencuat kepermukaan pada saat itu.12

2. Macam-Macam Mazhab Sahabat


a. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal
ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan
hujjah. Karena kemungkinan sima‟ dari Nabi Saw. sangat besar. Sehingga
perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori as-Sunnah,
meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf.
b. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini
perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma‟.
c. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun

11
Muhamad Takhim, "Saddu al-Dzari‟ah dalam Muamalah Islam." AKSES: Jurnal
Ekonomi dan Bisnis 14.1 (2020), hal. 22-23
12
Misbahuddin, Ushul Fiqh I (Makassar: Alauddin University Press, 2013), hal. 147

7
bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma‟ sukuti, bagi mereka yang
berpandapat bahwa ijma„ sukuti bisa dijadikan hujjah.
d. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.
Mazhab sahabat yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para
ulama mengenai kehujjahannya.13

3. Kehujjahan Mazhab Sahabat

Permasalahan qaul sahabat sebagai sebuah metode istidlal terbagi dalam


dua permasalahan:

Permasalahan pertama, kehujjahan qaul salah seorang sahabat bagi sahabat yang
lain yang berstatus mujtahid. Dalam permasalahan ini, semua ulama sepakat
bahwa qaul salah seorang sahabat bukanlah hujjah bagi sahabat yang lain.

Permasalahan kedua, kehujjahan qaul sahabat bagi selain sahabat, seperti tabi‟in.
Dalam permasalahan kedua ini, terdapat beberapa pendapat.

1. Pendapat ashah, bahwa qaul sahabat bukanlah hujjah bagi generasi


setelahnya. Hal ini karena perkataan seorang mujtahid secara mandiri
bukanlah hujjah. Sedangkan penggunaan qaul sahabat dalam permasalahan
hukum ta‟abbudi karena memandang statusnya termasuk bagian dari khabar
marfu‟, di mana secara lahiriyah hal ini bersandar pada tauqif atau
pengajaran dari Rasulullah Saw, bukan memandang statusnya sebagai qaul
sahabat.
2. Pendapat kedua, bahwa qaul sahabat adalah hujjah bagi selain sahabat. Dan
qaul sahabat derajatnya di atas qiyas. Sehingga tatkala terjadi ta‟aarudl
(berbenturan), maka qaul sahabat didahulukan.
3. Pendapat ketiga, bahwa qaul sahabat adalah hujjah bagi selain sahabat. Dan
qaul sahabat derajatnya di bawah qiyas. Sehingga tatkala terjadi ta‟aarudl
(berbenturan), maka qiyas didahulukan.
4. Pendapat keempat, qaul sahabat adalah hujjah jika telah tersebar dan tidak
ditentang dengan pendapat yang berbeda. Karena dengan demikian qaul
13
Darmawan, Ushul Fiqh…, hal. 159

8
sahabat menjadi ijma‟ sukuti. Para pakar fiqh menjadikannya hujjah dari sisi
statusnya sebagai ijma‟ sukuti, bukan dari sisi sebagai qaul sahabat.
5. Pendapat kelima, qaul sahabat adalah hujjah jika menyalahi qiyas.
6. Pendapat keenam bahwa secara khusus, qaul Abu Bakar As-Siddiq dan
Umar Bin Khattab radhiallahu anhuma adalah hujjah, bukan selain
keduanya.

Mengikuti pendapat bahwa qaul sahabat merupakan hujjah, apabila ada


dua sahabat berbeda pendapat dalam sebuah masalah, maka kedua qaul sahabat
tersebut diperlakukan layaknya dua dalil, salah satunya harus di-tarjih dengan
dalil tertentu.

Dan, jika qaul sahabat bukan hujjah, bolehkah sekedar bertaklid padanya?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat.

1. Pendapat ashah, dianut para ulama muhaqqiq, menyatakan bahwa tidak


diperkenankan bertaklid pada sahabat, bukan karena mazhab sahabat
kualitasnya sebawah para imam mujtahid pendiri mazhab empat, akan tetapi
semata-mata karena keberadaan mazhab sahabat belum dapat
dipertanggungjawabkan kesahihan riwayat atau keutuhan konsepnya, karena
tidak terbukukan secara rapi. Berbeda halnya dengan empat mazhab yang
pendapat-pendapatnya terbukukan secara rapi dalam kitab-kitab karya para
ulama pengikut masing-masing. Sehingga redaksi kitab yang satu menjadi
penjelas terhadap prediksi kitab yang lain, menjadi peng-qayyid terhadap
yang mutlak, ataupun pen-takhsish terhadap yang umum. Demikian Ibnu as-
Shalah memberikan alasan. Beliau juga menegaskan bahwa ketidakbolehan
bertaklid ini bukan hanya pada madzhab sahabat saja, akan tetapi mencakup
pada semua ulama yang madzhabnya tidak terbukukan.
2. Pendapat kedua, boleh bertaklid kepada sahabat. Berpijak pada pendapat
yang memperbolehkan berpindah antar beberapa mazhab.

Adapun fakta bahwa pendapat Imam Asy-Syafi'i dalam permasalahan


faraidl atau hukum-hukum waris seringkali sama seperti pendapat Zaid bin Tsabit,

9
maka hal tersebut bukan karena beliau bertaklid, akan tetapi karena semata adanya
dalil-dalil yang dijadikan landasan pencetusan hukum. Yakni, bahwa hasil ijtihad
yang dicetuskan oleh Imam Asy-Syafi'i kebetulan sama dengan hasil ijtihad yang
dilakukan oleh Zaid bin Tsabit.14

4. Penerapan Mazhab Sahabat dalam Keuangan Syariah

Bai „inah merupakan praktik jual beli seperti ketika si A menjual barang
kepada si B dengan harga tertentu dan untuk jangka waktu tertentu (secara tempo).
Kemudian si A membeli kembali barang tersebut dengan harga lebih rendah secara
tunai. Artinya, jual beli „inah sama dengan jual beli kredit dengan tambahan harga.

Menurut Ulama Syafi‟iyyah, praktik jual beli dalam bentuk sebagaimana


disebutkan diperbolehkan dengan berdasarkan qiyas. Sedangkan Ulama
Malikiyyah, Hanafiyyah dan Hanabilah memandang bahwa praktik jual beli
tersebut tidak sah dan haram. Mereka menggunakan dasar qaul shahabi yakni qaul
Aisyah yang memberi tanggapan buruk terhadap praktik jual beli yang dilakukan
oleh keluarga Zaid bin Arqam. Praktik jual beli tersebut dengan cara sebagaimana
digambarkan sebelumnya.15 Hadits ini tidak shahih sebagaimana yang dikatakan
oleh Imam Syafi‟i. Namun Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam
Musnadnya, dan dalam kitab at-Tanqiih disebutkan bahwa sanad hadits ini jayyid
(bagus).16

C. Syariat Umat Sebelum Islam


1. Pengertian Syariat Umat Sebelum Islam

Syariat umat sebelum Islam atau juga disebut Syar‟u Man Qablana adalah
syariat (aturan hukum) yang ada sebelum datangnya agama Islam yang di bawah
oleh Nabi Muhammad Saw.

14
Darul Azka dan Nailul Huda, Lubb al-Ushul: Kajian dan Intisari Dua Ushul (Kediri:
Santri Salaf Press, 2014), hal. 593-594.
15
Muchamad Coirun Nizar, "Qaul Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh
Kontemporer." Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam 1.1 (2017), hal. 33-34
16
Almanhaj, “Jual Beli „Inah, Jual Beli Dengan Najasy”, https://almanhaj.or.id/4035-jual-
beli-inah-jual-beli-dengan-najasy.html (diakses pada rabu, 14 April 2021, 17.20 Wita)

10
Badran Abu al-Aynain Badran mendefinisikan Syar‟u Man Qablana
sebagai:

‫ف ِِبَ َام ْن َكان‬ ِ َّ ‫ااّللُ لُِ َُم ِم‬


َّ ُ‫ َو َجاءَِِبَااْألَنْبِيَاء‬، ‫السابَِق ِة‬
‫ػْب َل‬
َ‫ػُ ْواق‬ َ ّ‫السابُِق ْو َن َوُكل‬ ّ‫لت َشَر َع َه ه‬
ِ َّ ْ ‫األ‬
ْ ‫َح َكام ا‬
‫ػَر ِاىْي َم َوُم ْو َسى َو ِعْي َسى‬ ِ ‫ػع ِة الْمح َّم ِدي ِة َك َش ِري‬
ْ‫ػ َعة إِب‬
ْ َ َ ُ َ ْ‫الش ِري‬ َّ

Artinya; “Hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah swt. kepada umat


terdahulu yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu dan syariat tersebut
dibebankan kepada orang-orang yang ada sebelum syariat Muhammad seperti
syariat nabi Ibrahim, nabi Musa, dan nabi Isa.”17

2. Macam-Macam Syariat
a. Hukum yang disebutkan dalam al-Qur‟an dan Sunnah dan hukum tersebut sudah
menjadi bagian dan menjadi keharusan dalam hukum Islam sebagaimana
diharuskan dan diwajibkannya kepada umat-umat terdahulu. Contoh kewajiban
puasa Ramadhan. Allah berfirman di dalam QS. Al-Baqarah (2): 183:

‫ػ ُق ْو َن‬ َ‫ػْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم ت‬


َّ‫ػت‬ َ‫ب َعلَى الَّ ِذيْ َن ِم ْن ق‬ ِ ِ
َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬
ِ ُ‫ػُّها الَّ ِذين اهمن‬
َ َ ْ َ ‫هاَيَي‬
َ ‫ػ ْوا ُكت‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Dari ayat tersebut dipahami bahwa kewajiban berpuasa di bulan Ramadan


merupakan bahagian dari syariat Islam dan kewajiban puasa tersebut sudah
dipraktekan oleh umat-umat terdahulu seperti pada umat Nabi Daud as. meskipun
tata cara pelaksanaannya berbeda antara satu kaum dengan kaum yang lainnya.

b. Hukum yang disebutkan di dalam al-Qur‟an dan dijelaskan dalam Sunnah akan
tetapi ada dalil yang menunjukkan tentang pembatalan atau penghapusan hukum
tersebut dalam syariat Islam bahkan itu termasuk kekhususan tertentu bagi umat
terdahulu. Seperti yang disebutkan dalam QS. al-An‟am (6): 145-146:

17
Misbahuddin, Ushul Fiqh…, hal. 153

11
‫ػتَ ًة اَْو َد ًما‬ ‫اع ٍم يَّطْ َع ُموٗ آ اََِّلا اَ ْن يَّ ُك ْو َن َمْي‬
ِ َ‫َّي َُحَّرما ع هلى ا‬ ِ ِ ِ
َ ً َ ََّ ‫قُ ْل ََّلا اَج ُد ِ ْف َما اُْوح َ ا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ٍِ ِ
‫ػَر َِب ٍغ َّوََل‬ ‫اضطَُّر َغْي‬ ْ ‫اّللِ بِوٗٓ فَ َم ِن‬ ّ‫س اَْو ف ْس ًقا اُى َّل لغَ ِْْي ه‬ ٌ ‫َّم ْس ُف ْو ًحا اَْو ََلْ َم خْنزيْر فَانَّوٗ ر ْج‬
ِ ِ ِ ِ ِ ٍ
‫ػ َق ِر َوالْغَنَ ِم َحَّرْمنَا‬ َ‫اد ْوا َحَّرْمنَا ُك َّل ذ ْي ظُُف ٍر َوم َن الْب‬ ُ ‫ َو َعلَى الَّذيْ َن َى‬. ‫ك َغ ُف ْوٌر َّرحْي ٌم‬ َ َّ‫َعاد فَا َّن َرب‬
ِ ‫ػهن‬ ِ ِ
‫ػ ْغيِ ِه ْم‬
َ‫ػ ُه ْم بب‬ ْ‫ك َجَزي‬ َ ‫ط بِ َعظٍْم هذل‬ َ َ‫ػل‬
َ‫اخت‬
ْ ‫اَلََو َاَيا اَْو َما‬ ْ َ‫َعلَْي ِه ْم ُش ُح ْوَم ُه َما اََّل َما ََحَل‬
ْ ‫ت ظُ ُه ْوُرُُهَا اَ ِو‬
‫َواِ ََّّن لَ ه‬
‫ص ِدق‬
‫ػُ ْو َن‬
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang". Dan kepada
orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi
dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus
atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar.”
c. Hukum yang disebutkan di dalam al-Qur‟an atau Sunnah dan dianggap bahwa
ia merupakan bagian dari syariat sebelum Islam, akan tetapi tidak ada dalil
yang mendukung atau menunjuk hukum tersebut baik secara tersirat maupun
tersurat bahwa hukum tersebut disyariatkan dalam ajaran Islam atau tidak,
sehingga keberadaannya masih simpang siur apakah boleh diterapkan atau
tidak18. Seperti kasus qisas penyiksaan, semisal memotong jari orang lain maka
harus dibalas dengan memotong jari pula, seperti dalam Q.S. Al-Maidah (5):
45:
ِ ِ ِ
‫الس َّن‬ ِ ِ َ ْ‫ْي و ْاَلَن‬
ّ ‫ف ِبَْلَنْف َو ْاَلُذُ َن ِبَْلُذُٰۤن َو‬
ِ ِ َ ْ ‫س والْ َع‬
َ ْ ‫ْي ِبلْ َع‬ َ ِ ‫ػ ْف‬ َّ‫س ِِبلن‬ ‫ػنَا َعلَْي ِه ْم فِْي‬
َّ‫ػ َها اَ َّن الن‬
َ ‫ػ ْف‬ ‫ػْب‬
َ‫َوَكت‬
ْ‫َّارةٌ لَّوٗ ٓ َوَم ْن َّّلْ ََْي ُك ْم ِِبَا اَن‬ َ‫َّق بِوٗ ف‬ ِ ْ ‫لس ِن و‬ ِ ِ
‫ك ُى ُم‬َ ‫اّللُ فَاُوهلِٕى‬
ّ‫ػَزَل ه‬ َ ‫ػ ُه َو َكف‬ َ ‫صد‬ َ َ‫اص فَ َم ْن ت‬ ٌ ‫ص‬ َ ‫اْلُُرْو َح ق‬ َ ّ ّ ‫ِب‬
‫ال هظّلِ ُم ْو َن‬
18
Ibid., hal. 153-156.

12
Artinya: “Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)
bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-
nya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.”

3. Kehujjahan Syariat Umat Sebelum Islam

Sebelum mengarah ke pembahasan berikut kontroversi pendapat


didalamnya, perlu ditegaskan di sini, bahwa yang menjadi pembahasan dalam hal
ini adalah furu‟ atau cabang syariat, bukan ushul atau prinsip-prinsip syariat yang
berupa konsep ketuhanan dan tauhid. Karena prinsip ajaran yang dibawa oleh
semua nabi dan rasul adalah konsep tauhid atau keesaan Tuhan.

Selanjutnya, untuk menguraikan permasalahan Syar‟u man qablanaa ini,


para ulama ushul fiqh membaginya dalam dua fokus permasalahan. Pertama,
sebelum diangkat menjadi rasul, Apakah Baginda Muhammad SAW dituntut
untuk menjalankan syariat terdahulu? Kedua, pasca pengangkatan beliau sebagai
Rasul, apakah beliau beserta umatnya dibebani untuk menjalankan syariat
terdahulu?

Pada masa pra kenabian, Apakah Baginda Muhammad SAW terbebani


menjalankan syariat nabi sebelumnya? Terdapat tiga pendapat mengenai hal ini:

1. Pendapat terpilih, Nabi Muhammad SAW terbebani menjalankan syariat


nabi sebelumnya. Berdasar dalil dalam beberapa hadits, bahwa Nabi SAW
melakukan ibadah, salat, dan tawaf. Aktivitas ini adalah amalan-amalan
syariat, yang dapat diketahui dari orang yang membiasakannya adanya
tujuan mentaati perintah syara‟, dan tidak bisa terealisasi tanpa ada tujuan
ibadah. Karena rasio murni tidak menilai hal tersebut baik.
2. Pendapat kedua, tidak terbebani menjalankan syariat nabi sebelumnya.
Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani dari
mayoritas ulama‟ mutakallimin.

13
3. Pendapat ketiga, menangguhkan permasalahan, karena tidak adanya dalil
nash maupun ijma‟ dan juga argumentasi logis yang memadai. Pendapat
ini adalah pendapat terpilih versi Jam‟ul Jawaami‟.
Selanjutnya, mengikuti pendapat terpilih yang menyatakan bahwa Baginda
Muhammad SAW terikat dengan pembebanan syariat tertentu dari syariat-syariat
terdahulu, maka mengenai syariat siapa yang diikuti, memilih menangguhkannya.
Dan berikut ini ragam pendapat lainnya beserta alasannya:

1. Syariat yang dijalankan adalah syariat Nabi Adam AS karena merupakan


syariat yang pertama kali.
2. Syariat Nabi Nuh AS, karena beliau rasul pertama peletak undang-undang
syariat. Juga berdasarkan firman Allah SWT Q.S. Asy-Syura (42): 13.

‫ػ هرِىْي َم‬ ِ ِ ‫ػوحا َّوالَّ ِذ اي اَوحي‬ ِ ّ‫ع لَ ُكم ِّمن ال ِّديْ ِن ما و ه‬


ْ‫ػنَا بِوٗ آ اب‬
‫صْي‬
َّ ‫ك َوَما َو‬
َ ‫ػنَا الَْي‬
َْ ْ ْ ً ْ ُ‫صى بوٗ ن‬ َ َ َ ْ َ ‫۞ َشَر‬
ِِ ِ ِ ِ ‫ػ َفَّرق‬ َ‫َوُم ْو هسى َو ِعْي هاسى اَ ْن اَقِْي ُموا ال ِّديْ َن َوََل ت‬
َ ْ ‫ػَر َعلَى الْ ُم ْش ِرك‬
ُ‫ْي َما تَ ْدعُ ْوُى ْم الَْيو اَ هّّلل‬ ُ‫ػُ ْوا فْيو َكب‬ َ‫ػت‬
ِ‫ي اِلَي ِو من يُّن‬ ِ ‫ػه‬ ٰۤ ِ ِ ‫ََيتَِ ا‬
‫ب‬ُ ْ ْ َ ْ ْ ْ َ َ ُ ‫ب الَْيو َم ْن يَّ َش‬
‫ي‬ ‫ا‬ ‫د‬ ‫ي‬‫و‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ْ ْ
“diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat
berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu
serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada
agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang
yang kembali (kepada-Nya).”
3. Syariat Nabi Ibrahim AS karena beliau pemilik agama besar juga
berdasarkan pada firman Allah Q.S. Al Imran (3): 68.
ِ ِ ُّ ِ‫ػوا و هاّلل و‬ ِ َّ ِ‫ػعوه و هى َذا الن‬ ‫ػ هرِىْي َم لَلَّ ِذيْ َن ات‬ ِ ِ ‫اِ َّن اَوََل الن‬
‫ْي‬
َ ْ ‫َّي الْ ُم ْؤمن‬ َ ُّ َ ْ ُ‫َّب َوالذيْ َن اه َمن‬
ُّ َ ُ ْ ُ َ‫ػَّب‬ ْ‫َّاس ِِبب‬ ْ
“Orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang yang
mengikutinya, dan Nabi ini (Muhammad), dan orang yang beriman. Allah
adalah pelindung orang-orang yang beriman.”

14
4. Syariat Nabi Musa AS karena beliau lah yang nabi yang diberikan Wahyu
dalam sebuah kitab, yakni Taurat.
5. Syariat Nabi Isa AS Karena Nabi Isa AS adalah nabi yang paling dekat
masanya dengan Nabi Muhammad SAW.
6. Setiap syariat yang tetap, tanpa ditentukan nabi tertentu.
Sedangkan pasca kenabian, apakah Baginda Muhammad SAW, dan juga
umatnya, terbebani dengan melaksanakan syariat kaum terdahulu dan bertanya
dalam hal ini juga terdapat beragam pendapat:

1. Pendapat terpilih, Nabi Muhammad SAW tidak dibebani menjalankan


syariat kaum terdahulu. Karena bagi Nabi Muhammad SAW sudah ada
syariat khusus yang statusnya me-naskh syariat terdahulu.
2. Pendapat kedua, Rasulullah SAW terkena pembebanan syariat kaum
terdahulu yang belum ter-naskh dan tidak ada wahyu baru, sebagai bentuk
istishbab terhadap pembebanan sebelum kenabian.19

4. Penerapan Syariat Umat sebelum Islam dalam Keuangan Syariah


Kafalah ditemukan pada syariat nabi Yusuf dan pada syariat nabi
Muhammad masih digunakan. Al-kafâlah merupakan jaminan yang diberikan
oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang memenuhi kewajiban pihak
kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalahjuga berarti
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
Al-Qur‟an menyebutkan kafalah dalam cerita Nabi Yusuf, Allah berfirman
dalam Q.S. Yusuf (12): 72:
‫ا‬ ٰۤ
‫ك َولِ َم ْن َجاءَ بِوٗ َِحْ ُل بَعِ ٍْْي َّواَ ََّن بِوٗ َز ِعْي ٌم‬
ِ ِ‫اع الْمل‬
َ َ ‫ص َو‬
ِ ‫قَالُوا ن‬
ُ ‫ػَ ْفق ُد‬ ْ
“Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta,
dan aku jamin itu.””

19
Azka, Lubb Al-Ushul…, hal. 587-588.

15
Makna ‫زعيم‬ diatas berarti penjamin. Berarti di dalam akad kafalah,

seseorang yang menjadi penjamin berhak bertanggung jawab terhadap orang


yang dijaminnya.
Syaikh Musthofa Al-Khin dan Syaikh Mustofa Al-Bugha menyebutkan
dalam kitabnya, Al-Fiqh Al-Manhaji, bahwa ulama dan seluruh kaum muslimin di
seluruh tempat dan zaman telah bersepakat (berijma‟) atas bolehnya akad al-
kafalah. Hal ini dibuktikan oleh kutipan dan pembahasan tentang al-kafalah dalam
semua kitab-kitab fikih baik yang tradisional maupun kontemporer. Aplikasi al-
kafalah juga telah lama diterapkan oleh kaum muslimin di berbagai lembaga
keuangan, maupun dalam transaksi sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Masih dalam kitab yang sama, Syaikh Mustofa Al-Khin dan Syaikh
Mustofa Al-Bugha mengutip hikmah al-kafalah melalui ranah maqashid syariah.
Beliau berdua memaparkan bahwa prosedur alkafalah mempermudah seseorang
dalam memenuhi kebutuhannya melalui asas tolong-menolong. Al-kafalah
menjaga kendala yang mungkin terjadi selama transaksi berlangsung atau selama
hutang belum dibayarkan. Kafil dalam akad alkafalah bukan hanya menjamin
benarnya keberlangsungan akad, tapi juga menumbuhkan kepercayaan orang yang
meminjamkan uang dalam akad hutang, ataupun penjual dalam akad jual beli.20

20
Moh Asra, "Implementasi Aplikasi al-Kafâlah di Lembaga Keuangan Syari‟ah di
Indonesia." Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020), hal. 75-79

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Saddudz dzari‟ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang
sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan yang ia capai berakhir pada
suatu kemafsadahan dan kemudaratan. Penerapannya pada muamalah, contohnya
pada bai al-ajal (jual beli secara kredit).

Mazhab Sahabat atau juga disebut Qaul as-Shahaby adalah sekumpulan


hasil ijtihad atau fatwa dari para sahabat atas persoalan-persoalan yang muncul
pasca wafatnya Rasulullah Saw. penerapannya pada muamalah, contohnya pada
bai al-„inah.

Syariat umat sebelum Islam atau juga disebut Syar‟u Man Qablana adalah
syariat (aturan hukum) yang ada sebelum datangnya agama Islam yang di bawah
oleh Nabi Muhammad Saw. penerapannya pada muamalah, contohnya pada
kafalah yang ada pada syariat Nabi Yusuf, yang juga diamalkan pada syariat Nabi
Muhammad.

B. Saran

Telah dijelaskan sedikit banyaknya mengenai saddudz dzari‟ah, mazhab


sahabat, dan syariat umat sebelum Islam, dan bagaimana penerapannya dalam
keuangan syariah atau muamalah. Maka dari itu diharapkan para pembaca agar
mengkaji lebih dalam mengenai tiga dasar hukum tersebut di referensi-referensi
lain.

17
Daftar Pustaka

Abu Daud. 2013. Sunan Abi Daud. jil. 7. juz. 14. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.

Asra, Moh. "Implementasi Aplikasi al-Kafâlah di Lembaga Keuangan Syari‟ah di


Indonesia." Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020): 74-
84.

Azka, Darul dan Nailul Huda. 2014. Lubb al-Ushul: Kajian dan Intisari Dua
Ushul. Kediri: Santri Salaf Press.

Bahrudin, Moh. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Lampung: Penerbit Aura.

Al-Bukhari, Abi Abdillah. 1995. Sahih Al-Bukhari. jil. 4. Beirut: Dar al-Fikr.

Darmawan. 2020. Ushul Fiqh. t.k.: Revka Prima Media.

Misbahuddin. 2013. Ushul Fiqh I. Makassar: Alauddin University Press.

Muslim. 2013. Sahih Muslim, jil. 1. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.

Nizar, Muchamad Choirun. "Qaul Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh


Kontemporer." Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam 1.1
(2017): 20-38.

Syafe‟i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Al-Syatibi, Abu Ishaq. t.t. al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari‟ah. jil. 4. t.k.:


Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah – Kerajaan Saudi Arabia.

Takhim, Muhamad. "Saddu al-Dzari‟ah dalam Muamalah Islam." AKSES: Jurnal


Ekonomi dan Bisnis 14.1 (2020).

Almanhaj, “Jual Beli „Inah, Jual Beli Dengan Najasy”, https://almanhaj.or.id/4035-jual-


beli-inah-jual-beli-dengan-najasy.html (diakses pada rabu, 14 April 2021, 17.20
Wita)

18

Anda mungkin juga menyukai