Oleh:
Kelompok VIII
NAMA NIM
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Saddudz Dzari‟ah, Mazhab Sahabat, dan Syariat Umat sebelum Islam dan
Penerapannya dalam Keuangan Syariah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas ibu Noorwahidah Haisy pada mata kuliah Ushul Fiqh Keuangan Syariah.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang saddudz
dzari‟ah, mazhab sahabat, dan syar‟u man qablana, juga penerapan ketiganya di
dalam keuangan syariah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kelompok 8
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
iii
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................18
B. Saran ........................................................................................................18
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqh atau hukum Islam diramu dan disusun berdasarkan petunjuk Allah dalam
Al-Qur‟an dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam Sunnahnya. Untuk dapatnya
titah Allah dan penjelasan Nabi yang merupakan Syari‟ah itu menjadi pedoman
beramal yang terurai bernama fiqh tersebut, disusun ketentuan dan aturan.
Pengetahuan tentang aturan dan ketentuan yang dapat membimbing Ulama dalam
merumuskan fiqh itulah kemudian disebut “Ushul Fiqh”.
Dalam ijtihad, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip
hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Al-quran
maupun as-Sunnah. Hal tersebut dilakukan berkaitan dengan tuntutan realita sosial
dan persoalan baru yang muncul yang tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Qur‟an.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
adz-dzari‟ah. Metode sadd adz-dzari‟ah merupakan upaya pencegahan agar tidak
terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya
mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum
dilakukan. Hal ini karena salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang
belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka
dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum
inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari‟ah.
B. Rumusan Masalah
1
4. Bagaimana penerapan Mazhab Sahabat dalam keuangan syariah?
5. Apa itu Syariat Umat Sebelum Islam?
6. Bagaimana penerapan Syariat Umat Sebelum Islam pada Keuangan
Syariah?
C. Tujuan
2
BAB II
A. Saddudz Dzari’ah
1. Pengertian Saddudz Dzari’ah
Saddudz Dzari‟ah terdiri atas dua perkara yaitu sadd dan dzari‟ah. Sadd
berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedangkan dzari‟ah berarti jalan
atau perantara. Maksudnya, menghambat atau mengahalangi atau menyumbat
semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.1
Dasar hukum dari saddudz dzari‟ah ialah al-Quran dan Hadits, yaitu:
1
Moh. Bahrudin, Ilmu Ushul Fiqh (Lampung: Penerbit Aura, 2019), hal. 72
2
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari‟ah, jil. 4 (t.k.: Kementerian
Agama Wakaf dan Dakwah – Kerajaan Saudi Arabia, t.t.), hal. 144
3
Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 104
3
ۢ ِ وََل تَسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعو َن ِمن دو ِن ه
اّللَ َع ْد ًوا بِغَ ِْْي ِع ْل ٍم
ّػيَ ُسبُّوا ه
َاّلل ف
ّ ُْ ْ ُْ َ َ ْ ُ َ
Artinya: ”Dan janganlah kamu menghina sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan menghina Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan”.
Menghina berhala tidak dilarang Allah Swt, tetapi ayat ini melarang kaum
muslim mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu
ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan menghina Allah secara
melampaui batas.4
4
Bahrudin, Ilmu Ushul…, hal. 73-74
5
Ibid., hal. 74
4
menjawab: “Seseorang yang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga
akan dicaci maki orang lain dan ibunya akan dicaci maki orang lain.” (HR.
Bukhari6, Muslim7 dan Abu Daud8).
3. Macam-Macam Dzari’ah
5
ajal, yang akan dibahas lebih lengkap pada penerapan saddudz dzari‟ah
dalam keuangan syariah.10
Transaksi jual beli secara kredit (bai al-ajal) yang memungkinkan terjadinya riba.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Imam Syafi‟i dan Abu
Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli
sudah terpenuhi. Sedangkan Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih
memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni
menimbulkan riba. Dengan demikian, dzari‟ah seperti itu tidak dibolehkan. Ada
tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal
dalam mengemukakan pendapatnya:
a. Dalam jual beli kredit (bai al-ajal) perlu diperhatikan tujuan atau akibatnya,
yang membawa kepada perbuatan yang mengandumg unsur riba, meskipun
sifatnya sebatas praduga yang berat (galadah azh-zhann), karena syara‟ sendiri
banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping
itu perlu sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang
diduga akan mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang
suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah fikih:
b. Dalam kasus bai al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya
jual beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari
kemudaratan. Dalam hal ini, Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih
menguatkan pemeliharaan keselamatan dari kemadaratan, karena bentuk jual
beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.
10
Syafe‟i, Ilmu Ushul…, hal. 104
6
c. Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada
dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga
dilarang.11
B. Mazhab Sahabat
1. Pengertian Mazhab Sahabat
Semasa Rasulullah saw. masih hidup, semua masalah yang muncul atau
timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah
saw., dan Rasulullah saw. memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Pasca
meninggalnya Rasulullah muncul kembali persoalan-persoalan yang baru yang
notabenenya tidak pernah terjadi pada masa kerasulan Muhammad saw. Akhirnya
para sahabat mengambil inisiatif tersendiri untuk melakukan ijtihad demi
menyelesaikan persoalan yang ada. Dari sini muncul dan keluarlah fatwa-fatwa
sahabat mengenai peristiwa apa saja yang mencuat kepermukaan pada saat itu.12
11
Muhamad Takhim, "Saddu al-Dzari‟ah dalam Muamalah Islam." AKSES: Jurnal
Ekonomi dan Bisnis 14.1 (2020), hal. 22-23
12
Misbahuddin, Ushul Fiqh I (Makassar: Alauddin University Press, 2013), hal. 147
7
bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma‟ sukuti, bagi mereka yang
berpandapat bahwa ijma„ sukuti bisa dijadikan hujjah.
d. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri.
Mazhab sahabat yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para
ulama mengenai kehujjahannya.13
Permasalahan pertama, kehujjahan qaul salah seorang sahabat bagi sahabat yang
lain yang berstatus mujtahid. Dalam permasalahan ini, semua ulama sepakat
bahwa qaul salah seorang sahabat bukanlah hujjah bagi sahabat yang lain.
Permasalahan kedua, kehujjahan qaul sahabat bagi selain sahabat, seperti tabi‟in.
Dalam permasalahan kedua ini, terdapat beberapa pendapat.
8
sahabat menjadi ijma‟ sukuti. Para pakar fiqh menjadikannya hujjah dari sisi
statusnya sebagai ijma‟ sukuti, bukan dari sisi sebagai qaul sahabat.
5. Pendapat kelima, qaul sahabat adalah hujjah jika menyalahi qiyas.
6. Pendapat keenam bahwa secara khusus, qaul Abu Bakar As-Siddiq dan
Umar Bin Khattab radhiallahu anhuma adalah hujjah, bukan selain
keduanya.
Dan, jika qaul sahabat bukan hujjah, bolehkah sekedar bertaklid padanya?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
9
maka hal tersebut bukan karena beliau bertaklid, akan tetapi karena semata adanya
dalil-dalil yang dijadikan landasan pencetusan hukum. Yakni, bahwa hasil ijtihad
yang dicetuskan oleh Imam Asy-Syafi'i kebetulan sama dengan hasil ijtihad yang
dilakukan oleh Zaid bin Tsabit.14
Bai „inah merupakan praktik jual beli seperti ketika si A menjual barang
kepada si B dengan harga tertentu dan untuk jangka waktu tertentu (secara tempo).
Kemudian si A membeli kembali barang tersebut dengan harga lebih rendah secara
tunai. Artinya, jual beli „inah sama dengan jual beli kredit dengan tambahan harga.
Syariat umat sebelum Islam atau juga disebut Syar‟u Man Qablana adalah
syariat (aturan hukum) yang ada sebelum datangnya agama Islam yang di bawah
oleh Nabi Muhammad Saw.
14
Darul Azka dan Nailul Huda, Lubb al-Ushul: Kajian dan Intisari Dua Ushul (Kediri:
Santri Salaf Press, 2014), hal. 593-594.
15
Muchamad Coirun Nizar, "Qaul Shahabi dan Aplikasinya dalam Fiqh
Kontemporer." Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam 1.1 (2017), hal. 33-34
16
Almanhaj, “Jual Beli „Inah, Jual Beli Dengan Najasy”, https://almanhaj.or.id/4035-jual-
beli-inah-jual-beli-dengan-najasy.html (diakses pada rabu, 14 April 2021, 17.20 Wita)
10
Badran Abu al-Aynain Badran mendefinisikan Syar‟u Man Qablana
sebagai:
2. Macam-Macam Syariat
a. Hukum yang disebutkan dalam al-Qur‟an dan Sunnah dan hukum tersebut sudah
menjadi bagian dan menjadi keharusan dalam hukum Islam sebagaimana
diharuskan dan diwajibkannya kepada umat-umat terdahulu. Contoh kewajiban
puasa Ramadhan. Allah berfirman di dalam QS. Al-Baqarah (2): 183:
b. Hukum yang disebutkan di dalam al-Qur‟an dan dijelaskan dalam Sunnah akan
tetapi ada dalil yang menunjukkan tentang pembatalan atau penghapusan hukum
tersebut dalam syariat Islam bahkan itu termasuk kekhususan tertentu bagi umat
terdahulu. Seperti yang disebutkan dalam QS. al-An‟am (6): 145-146:
17
Misbahuddin, Ushul Fiqh…, hal. 153
11
ػتَ ًة اَْو َد ًما اع ٍم يَّطْ َع ُموٗ آ اََِّلا اَ ْن يَّ ُك ْو َن َمْي
ِ ََّي َُحَّرما ع هلى ا ِ ِ ِ
َ ً َ ََّ قُ ْل ََّلا اَج ُد ِ ْف َما اُْوح َ ا
ِ ِ ِ ِ ِ ٍِ ِ
ػَر َِب ٍغ َّوََل اضطَُّر َغْي ْ اّللِ بِوٗٓ فَ َم ِن ّس اَْو ف ْس ًقا اُى َّل لغَ ِْْي ه ٌ َّم ْس ُف ْو ًحا اَْو ََلْ َم خْنزيْر فَانَّوٗ ر ْج
ِ ِ ِ ِ ِ ٍ
ػ َق ِر َوالْغَنَ ِم َحَّرْمنَا َاد ْوا َحَّرْمنَا ُك َّل ذ ْي ظُُف ٍر َوم َن الْب ُ َو َعلَى الَّذيْ َن َى. ك َغ ُف ْوٌر َّرحْي ٌم َ ََّعاد فَا َّن َرب
ِ ػهن ِ ِ
ػ ْغيِ ِه ْم
َػ ُه ْم بب ْك َجَزي َ ط بِ َعظٍْم هذل َ َػل
َاخت
ْ اَلََو َاَيا اَْو َما ْ ََعلَْي ِه ْم ُش ُح ْوَم ُه َما اََّل َما ََحَل
ْ ت ظُ ُه ْوُرُُهَا اَ ِو
َواِ ََّّن لَ ه
ص ِدق
ػُ ْو َن
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang". Dan kepada
orang-orang Yahudi, kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi
dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus
atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya kami adalah Maha benar.”
c. Hukum yang disebutkan di dalam al-Qur‟an atau Sunnah dan dianggap bahwa
ia merupakan bagian dari syariat sebelum Islam, akan tetapi tidak ada dalil
yang mendukung atau menunjuk hukum tersebut baik secara tersirat maupun
tersurat bahwa hukum tersebut disyariatkan dalam ajaran Islam atau tidak,
sehingga keberadaannya masih simpang siur apakah boleh diterapkan atau
tidak18. Seperti kasus qisas penyiksaan, semisal memotong jari orang lain maka
harus dibalas dengan memotong jari pula, seperti dalam Q.S. Al-Maidah (5):
45:
ِ ِ ِ
الس َّن ِ ِ َ ْْي و ْاَلَن
ّ ف ِبَْلَنْف َو ْاَلُذُ َن ِبَْلُذُٰۤن َو
ِ ِ َ ْ س والْ َع
َ ْ ْي ِبلْ َع َ ِ ػ ْف َّس ِِبلن ػنَا َعلَْي ِه ْم فِْي
َّػ َها اَ َّن الن
َ ػ ْف ػْب
ََوَكت
َّْارةٌ لَّوٗ ٓ َوَم ْن َّّلْ ََْي ُك ْم ِِبَا اَن ََّق بِوٗ ف ِ ْ لس ِن و ِ ِ
ك ُى ُمَ اّللُ فَاُوهلِٕى
ّػَزَل ه َ ػ ُه َو َكف َ صد َ َاص فَ َم ْن ت ٌ ص َ اْلُُرْو َح ق َ ّ ّ ِب
ال هظّلِ ُم ْو َن
18
Ibid., hal. 153-156.
12
Artinya: “Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)
bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisas-
nya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.”
13
3. Pendapat ketiga, menangguhkan permasalahan, karena tidak adanya dalil
nash maupun ijma‟ dan juga argumentasi logis yang memadai. Pendapat
ini adalah pendapat terpilih versi Jam‟ul Jawaami‟.
Selanjutnya, mengikuti pendapat terpilih yang menyatakan bahwa Baginda
Muhammad SAW terikat dengan pembebanan syariat tertentu dari syariat-syariat
terdahulu, maka mengenai syariat siapa yang diikuti, memilih menangguhkannya.
Dan berikut ini ragam pendapat lainnya beserta alasannya:
14
4. Syariat Nabi Musa AS karena beliau lah yang nabi yang diberikan Wahyu
dalam sebuah kitab, yakni Taurat.
5. Syariat Nabi Isa AS Karena Nabi Isa AS adalah nabi yang paling dekat
masanya dengan Nabi Muhammad SAW.
6. Setiap syariat yang tetap, tanpa ditentukan nabi tertentu.
Sedangkan pasca kenabian, apakah Baginda Muhammad SAW, dan juga
umatnya, terbebani dengan melaksanakan syariat kaum terdahulu dan bertanya
dalam hal ini juga terdapat beragam pendapat:
19
Azka, Lubb Al-Ushul…, hal. 587-588.
15
Makna زعيم diatas berarti penjamin. Berarti di dalam akad kafalah,
20
Moh Asra, "Implementasi Aplikasi al-Kafâlah di Lembaga Keuangan Syari‟ah di
Indonesia." Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020), hal. 75-79
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Saddudz dzari‟ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang
sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan yang ia capai berakhir pada
suatu kemafsadahan dan kemudaratan. Penerapannya pada muamalah, contohnya
pada bai al-ajal (jual beli secara kredit).
Syariat umat sebelum Islam atau juga disebut Syar‟u Man Qablana adalah
syariat (aturan hukum) yang ada sebelum datangnya agama Islam yang di bawah
oleh Nabi Muhammad Saw. penerapannya pada muamalah, contohnya pada
kafalah yang ada pada syariat Nabi Yusuf, yang juga diamalkan pada syariat Nabi
Muhammad.
B. Saran
17
Daftar Pustaka
Abu Daud. 2013. Sunan Abi Daud. jil. 7. juz. 14. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Azka, Darul dan Nailul Huda. 2014. Lubb al-Ushul: Kajian dan Intisari Dua
Ushul. Kediri: Santri Salaf Press.
Al-Bukhari, Abi Abdillah. 1995. Sahih Al-Bukhari. jil. 4. Beirut: Dar al-Fikr.
18