Anda di halaman 1dari 39

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 8

1. RONIA RIAWANTI (1906200292)

2. FEBY SORAYA LUBIS (1906200323)

3. TARISHA APRILLIA (1906200296)

MATA KULIAH FILSAFAT HUKUM ISLAM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA TA. 2021/2022
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih kami

panjatkan kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,

makalah ini dapat hadir dihadapan pembaca. Adalah hanya dari pertolongan dan

izin Allah, Disamping itu Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi

Muhammad

S.A.W. beserta keluarganya dan para shahabatnya yang dengan penuh kesetiaan

telah mengobarkan syi’ar Islam yang manfaatnya masih terasa hingga saat ini.

Makalah yang berada dihadapan pembaca ini membahas tentang “Istihsan

,Maslahat Mursalah, Istishab, Saddu Zari’ah, Uruf dan Syariat agama terdahulu”.

Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat menambah pengatahuan bagi para

pembacanya dan bernilai ibadah bagi penulisnya. Namun terlepas dari itu, kami

memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami

sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi

terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi. Akhirnya, dengan segala

kerendahan segala bentuk saran maupun kritik dari pihak manapun. Juga tak lupa

penulis sampaikan beribu-ribu terima kasih kepada pihak-pihak yang turut

membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Paling terakhir, hanya kepada Allah penulis panjatkan rasa syukur dan

hanya kepada-Nya pula urusan penulis kembalikan. Mudah-mudahan makalah ini

dapat memenuhi keperluan pembaca dan semoga berguna sesuai tujuan untuk

kepentingan Agama, Bangsa, dan Umat Islam pada umumnya. Dan sekali lagi

kami berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan amal

ibadah bagi penulisnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamiin.


ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG..........................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH......................................................................1

C. TUJUAN PENULISAN.......................................................................2

D. MANFAAT PENULISAN...................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Istihsan..................................................................................................3

1. Pengertian Istihsan...........................................................................3

2. Dasar-Dasar Istihsan........................................................................3

3. Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam..........................4

B. Maslahat al Mursalah............................................................................7

1. Pengertian Maslahat al Mursalah.....................................................7

2. Macam-Macam Maslahat al Mursalah.............................................8

3. Tingkatan Maslahat al Mursalah......................................................9

C. Istishab................................................................................................12

1. Pengertian Istishab.........................................................................12

2. Kedudukan Istishab Diantara Dalil Yang Lain..............................13

3. Perbedaan Pendapat Ulama Dalam Kehujjahan Istishab...............13


iii

D. Saddu Dzari’ah....................................................................................15

1. Pengertian Saddu Dzari’ah.............................................................15

2. Dasar Hukum Saddu Dzari’ah.......................................................17

3. Objek Saddu Ddzari’ah..................................................................18

E. Urf`......................................................................................................18

1. Pengertian Urf................................................................................18

2. Pembagian Urf...............................................................................19

3. Syarat-Syarat Urf...........................................................................19

4. Kehujjahan Urf...............................................................................19

F. Syariat Agama Terdahulu/ Syar’u Man Qablana................................20

1. Pengertian Syar’u Man Qablana....................................................20

2. Hakikat Syar’u Man Qablana.........................................................22

3. Kontribusi Syar’u Man Qablana di Masa Identifikasi Hukum

Islam...............................................................................................23

4. Memposisikan kembali Syar’u Man Qablana dalam hukum islam

di Zaman Sekarang.........................................................................27

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................28

Daftar Pustaka......................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang ajarannya diyakini mempunyai kesempurnaan


nilai bagi kehidupan manusia, Islam telah berada dalam struktur kehidupan
semenjak 14 Abad yang silam dengan ditandai oleh kenabian dan kerasulan
Muhammad saw. Awal babak baru bagi dunia kemanusiaan telah dimulai,
Muhammad saw sebagai seorang yang revolusioner telah memberikan tatanan
kehidupan yang baru dalam struktur kehidupan manusia. Seluruh aspek
kehidupan terarah pada satu fokus yaitu tatanan kehidupan yang disesuaikan
dengan nilainilai serta hukum dalam ajaran Islam. Di antaranya dalam bidang
muamalah yang dalam hal ini dikhusukan pada bidang asuransi Islam.

Sebagai umat Islam tentu harus berpegang kepada hukum agama Islam,
bukan hanya hubungan (ibadah) kepada Allah tetapi mencakup juga
bermuamalah kepada sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hukum
Islam memiliki kemampuan berevolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-
soal dunia Islam masa kini. Semangat dan prinsip umum agama Islam tetap
berlaku baik dimasa lampau, masa kini dan masa yang akan datang, dalam
banyak hal, pola hukum Islam menyerahkan soal-soal rincian kepada akal
manusia. Tentu saja akal bertaut dan berpedoman kepada wahyu dan bidang
yang luas yang telah ditetapkan sesuai fungsinya, Tidak adanya rincian inilah
yang memberikan elastisitas luas kepada Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah nya yaitu:

1. Apa itu Istihsan dan ruang lingkupnya?

2. Apa itu Maslahat Mmursalah dan ruang lingkupnya?

1
3. Apa itu Istishab dan ruang lingkupnya?

4. Apa itu Saddu Zari’ah dan ruang lingkupnya?

5. Apa itu Urf dan ruang lingkupnya?

6. Bagaimana yang dimaksud dengan Syariat agama terdahulu dan ruang

lingkupnya?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini ialah :

1. Untuk mengetahui apa itu Istihsan dan ruang lingkupnya.

2. Untuk mengetahui apa itu Maslahat Mmursalah dan ruang lingkupnya.

3. Untuk mengetahui apa itu Istishab dan ruang lingkupnya.

4. Untuk mengetahui apa itu Saddu Zari’ah dan ruang lingkupnya.

5. Untuk mengetahui apa itu Urf dan ruang lingkupnya.

6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Syariat agama terdahulu dan

ruang lingkupnya.

7. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada

pembaca mengenai defenisi dan ruang lingkup dari Istihsan, Maslahat Mursalah,

Istishab, Saddu Dzari’ah, Urf dan Syariat Agama Terdahulu.


BAB

II ISI

A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan
satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Misal yang paling sering dikemukakan
adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman
khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong
tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan
kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum
berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang
lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun
dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum
itu.
2. Dasar-dasar Istihsan
Dasar Istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis rusulullah SAW antara lain :
a). Dasarnya dalam Al Qur’an:
‫ ْل َباب‬Lَ‫وا ا ْْل‬Lُ‫ ْول‬Lُ‫ ْول ْم أ‬Lُ‫سَنهُ أ ك ال هدَا َ وأ‬ ‫و َن‬Lُ‫ّ ِبع‬Lَ‫و َن ا َيت‬Lُ‫سَت ِمع‬ ‫الَّ ِذي َن‬
‫ِئك‬ ‫ُم‬ ‫ْولَ ِئ ِذي َن‬ ‫ ْح‬Lَ‫أ‬ ‫ْل َق ْو َل‬
‫ل‬
‫ُا‬
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Az-Zumar: 18)
Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-
ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran Karena ia
adalah yang paling baik.
‫ي ال ْ ح َر „ج‬
‫علَ ْي‬
‫َبا َ ج‬L‫وا ي لَِّ حق ج َ جت‬Lُ‫وجا ِهد‬
‫ي ِن ن‬L’‫ُك ْم ِد‬
‫ال َها ِد ِه و ُك ْم م َع‬
‫ا َل‬ ‫ا‬
‫م‬ ‫و‬
Artinya: “Dan berjihadlah engkau di jalan Allah (dalam agama)dengan jihad
yang sebenar-banarnya.dia telah memilih engkau dan Dia sama sekali tidak
menjadikankesempitan bagimudalam agama”. (QS:Al-Hajj: 78)
Dan hadits nabi yang berbunyi:
Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang
lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-
syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)
Tujuan Istihsan:
1. Menguatkan qiyas khafy atau qiyas jaly dengan menggunakan dalil
2. Membuat pengecualian sebagian hokum kully dengan dalil yang
menguatkan.

3. Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam


Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai
sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam
sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud
Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan
sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah,
khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang
kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’I.
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang
beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik
sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah
Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah
sampai 9/10 ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain:
 Firman Allah swt dalam surat Azzumar ayat 18 yang artinya ”Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”.
 Sabda Rasul saw: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula
disisi Allah.”
 Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian
umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang
menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya
”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk
mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz.
Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat
syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi
atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber
dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau
qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada
dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan.
Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara
lain:
 Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan
RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang
berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya
berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq
dan Talazzuz)
 Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas
apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti
Firmannya dalam Annisa ayat 59: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”.
 Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan
menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang
laki- laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung
ibuku”.
Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi
menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya dan contoh
lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan
tanpa adanya topangan nash.
 Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau
bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang
membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah,
karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang
terhunus.
 Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias
dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya
qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias.
Namun demikian, sesungguhnya antara dua kubu tersebut di atas tidak ada
perbedaan yang mendasar. Karena Abu Hanifah yang menjadikan istihsan sebagai
sumber hukum dalam artian mendahulukan nash atas qiyas. Bahkan beliau juga
menolak penggunaan istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan
akal dan mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas
Zufar (salah seorang muridnya). Karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu
telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harom. Dengan kata lain
tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum
berpendapat hanya berdasarkan akal semata, semua memiliki sandaran.
Begitu juga Imam Syafii, beliau menolak istihsan semata-mata berdasarkan
akal. Namun apabila tidak semata-mata karena akal, beliau dapat menerimanya
bahkan beliau menggunakannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Imam Syafii sangat
menolak Istihsan namun pada beberapa kasus beliau menggunakan Istihsan.
Diantaranya beliau mengganggap baik, bahwa mut’ah bagi orang kaya adalah
seorang pembantu, orang miskin muqniah, sedangkan bagi orang yang sedang
(tidak kaya juga tidak miskin) 30 dirham”. Begitu pula dengan Imam Ahmad yang
kadang menolak istihsan, juga menggunakan Istihsan. Beliau berkata: “Aku
menganggap baik untuk bertayamum setiap kali sholat. Padahal secara qiyas
tayamum sama dengan berwudhu.
B. MASLAHAH AL MURSALAH ATAU ISTIHLAH
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata,
yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab
‫صلَح‬
‫ح‬Lُ‫َيصل‬ menjadi ْ atau ‫مص‬ yang berarti sesuatu yang mendatangkan
– ‫حا‬ ‫ل‬ ً‫حة‬ ‫ل‬

‫ص‬
kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:
‫ْرس‬ L‫– ِا ْر سال‬ ‫ْ س‬ ‫َا ْر س َل‬
‫لم‬ - ‫ر ُل‬ –
‫ُي‬
menjadi ‫س‬
ْ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan
‫ل‬
‫ر‬

‫م‬
dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan
(kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti
suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah
ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak
ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan
syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan
kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-
Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum
yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam
datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-
dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan
memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,
bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu
masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh
nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum
dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat
umum pula.
2. Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih
mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi
diantaranya:
1. Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’
meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut.
2. Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’,
3. Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang
rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a. Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
b. Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh
serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)

2. Dari segi Kandungan Maslahah


1. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk
semua kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas
ummat/kelompok.
2. Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang
berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (magfud).

Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan mana


yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan
kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam
mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan pribadi.
1. Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
1. Maslahah al-Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat,
dan haji.
2. Maslahah al-Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa al-Syalabi, dimaksudkan untuk
memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
Sesungguhnya masih ada pembagian maslahah yang dikemukakan para ahli
ushul fiqih yakni dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, tapi ini
akan diuraikan pada tingkatan maslahah, karena pembagian maslahah ini
mewakili macam-macam kemaslahatan yang telah dijelaskan tadi.

3. Tingkatan-tingkatan Maslahah Mursalah


Para ahli Ushul sepakat bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara 5 hal
yakni:
(1) Memelihara agama,
(2) Memelihara jiwa,
(3) Memelihara akal,
(4) Memeliharar keturunanan, dan
(5)Memelihara harta.

Sementara Hamka Haq dalam bukunya “Falsafat Ushul Fiqih” mengemukakan


bahwa terdapat 6 aspek kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat diantaranya,
(1) memelihara agama,
(2) memelihara jamaah,
(3) memelihara jiwa,
(4) memelihara akal,
(5) memelihara keturunan dan
(6) memelihara harta benda.
Aspek ini diurut berdasarkan prioritas urgensinya. Adapun mengenai
kemaslahatan setiap aspek tersebut dibedakan dalam tiga tingkatan yakni:
1. Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi
kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya
kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun duniawi.

2. Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah


Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok)
manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta
terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan
manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.

3. Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah


Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai
pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika
kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang
nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan
hidup. Seperti telah dikemukakan, masing-masing dari enam perkara yang telah
disebutkan sebagai tujuan pokok syariat pada asasnya dapat dilihat dari tiga sisi
tersebut. Misalnya dalam aspek pemeliharaan agama, maka yang
menjadi dharuriyah adalah aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa aqidah
yang benar maka agama tidak mungkin tumbuh dan berkembang, sebab tidak ada
sarana sekali unsur agama yang dapat dikabulkan oleh Allah SWT tanpa aqidah
tauhid. Sementara itu, guna memudahkan manusia menyalurkan naluri tauhidnya,
maka diadakanlah oleh syariat sejumlah praktek ibadah ritual. Dalam ibadah
itulah setiap manusia diharapkan akan semakin menghayati amal tauhidnya
kepada Tuhan. Karena itu, jika tauhid diwajibkan maka dengan sendirinya ibadah
yang mengatur kepada memperkokoh tauhid itupun turut serta situasi lainnya,
ibadah seringkali dibolehkan bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan. Lihat saja,
mengapa seorang wanita haid dilarang bershalat dan berpuasa? Mengapa shalat
dhuhur dapat
digabung atau dikurangi rakaatnya dalam jama’ qashar. Semua itu disebabkan
karena ibadah itu sangat relatif, artinya sangat terkait dengan tempat, waktu dan
situasi. Dan sebagai pelengkap atau tahsisninya menyangkut agama ialah segala
hal yang menjadi penunjang terlaksananya ibadah dan lebih menambah
nikamatnya ibadah itu, misalnya thaharah.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang
bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting
terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang
dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang
hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut
tidak berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang sifat dharuriy-nya
lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan.
Sementara itu, memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai
pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan
lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah
adalah wajib secara dharuriyah, karena hal ini pada posisi terpenting kedua
sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang
mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya
dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-
lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang
mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya
bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan terselenggaranya suatu
jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat
terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah, maka
syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan
seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas
adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori maslahah
mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan
sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu
kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahuukan dari pada
kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dri
kemaslahatan tahsiniyah.

C. ISTISHAB
1. Pengertian Istishab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak
melepaskan sesuatu Jika seseorang mengatakan:
‫سفري في الكتاب استصحبت‬
maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-
istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang
disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa
selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena
tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum
tersebut).
2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) seorang ulama Malikiyah-
mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di
masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis)
sekarang atau di masa datang.”
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan
hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun
mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –
entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak
menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap
berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut
hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan
pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti
2. Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishab
termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak
menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany
misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti
ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-
Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak
menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya
dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-
hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah
bahwa hukum itu tetap berlaku…”

3. Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ulama dalam Kehujjiyahan Istishhab


Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam
proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:

Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan


ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari
kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian
Hanafiyah.
1. Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika
adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…” (al-An’am:145)
Ayat ini menurut mereka- menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu
hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya.
Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad):
‘Aku tidak menemukan…” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada
ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya)
lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika
demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara
atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap
memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu
dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa
wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan
shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu
mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.

3. Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah
fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah
bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah
bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia
harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu
apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus
berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu
belum batal.

4. Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini
adalah:
 Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya
faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan
hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam,
sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan
demikian istishhab adalah hujjah pula.
 Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya
atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas
keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaq’in la yazulu/yuzalu bi al-syakk.

Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara
mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah :
1. Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa
landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil
adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang
batil.
2. Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil,
dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini
adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas
dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum
yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.

Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang
memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal
dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan
suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah
belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini
adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan
itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa
selanjutnya.

D. SADDUDZ DZARÎ’AH
1. Pengertian Saddudz Dzari’ah
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu
berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî’ah berarti jalan.
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk
memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya
kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini
sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai
kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini
syari’at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi
perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan seca ra
langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada
hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
Artinya:
“Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain
hanyalah wajib pula”.

Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu.


Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih
dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak
bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah
kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya.
Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya
hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang
secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang
secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang
dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum
khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan
mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu
membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang.
Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada
perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama
dengan perbuatan yang
sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-
perbuatan maksiat.

2. Dasar Hukum Saddudz Dzari’ah


Dasar hukum dari saddudz dzari’ah ialah Al-Quran dan Hadist, Yaitu :
a. Firman Allah SWT:
Artinya :
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.” (al-An’âm:108).

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum
muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu
kearah tidakan-tindakan orag-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara
melampaui batas.

Firman Allah SWT:


Artinya:
“…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan…” (an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya
tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain
untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha
untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

Nabi Muhammad SAW bersabda:


Artinya:
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan)
keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia
akan terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah
kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan
kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.
Tindakan yang palig selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada
perbuatan maksiat itu.

3. Objek Saddudz Dzari’ah


Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang
mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua
inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî’ah, karena perbuatan tersebut sering
mengarah kepada perbuatan dosa.
Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu
rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan
terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan
terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan
terlarang.

E.URUF
1. Pengertian Uruf
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang
sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah
saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
2. Pembagian Uruf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata
lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan.
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti
perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-
beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak
bertentangan dengan nash hukum syara’
a. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena
bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
b. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka
dahulu hingga sekarang.
c. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu
tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.

3. Syarat-Syarat Uruf
Adapun syarat-syarat Urf dapat diterima dalam hukum islam ialah :
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau
as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at
termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang
saja.

4. Kehujjahan Uruf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan
dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau
keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-
perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam
masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan
dengan syara’. Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya,
karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang
berlainan.
Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karean
bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umam nas.

F. SYARIAT AGAMA TERDAHULU/ SYAR’U MAN QABLANA


1. Pengertian Syar’u Man Qablana
Merupakan syari’at para nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Maksud tentang syariat umat terdahulu
adalah umat sebelum Muhammad SAW atau lebih jelasnya Islam disebut
sebagai agama penyempurna semua ajaran yang diturunkan Allah melalui Nabi-
nabi-Nya terdahulu.

Kita tahu dan banyak dijelaskan didalam Al-Qur’an banyak nabi-


nabi sebelum Muhammad SAW yang diutus oleh Allah untuk membimbing
umatnya masing-masing. Bedanya kalau Nabi Muhammad adalah nabi untuk
semua umat di banding Nabi-nabi sebelumnya beliau. Sabda Nabi
Muhammad SAW :
‫ﻠﻨﺐﻲ ﺐﻌﺚ ﻠﻘﻮﻤﻪ ﺧﺎ ﺻﺎ ﻮﺑﻌﺛﺖ ﺍﻠﯽ ﺍﻠﻨﺎ ﺲ ﻋﺎ ﻤﺔ‬۱ ‫ﻛﺎﻥ‬
Yang artinya : “ setiap Nabi di utus khusus untuk kaumnya, sedangkan aku
di utus untuk seluruh umat umat manusia “
Nabi-nabi terdahulu dan umatnya sudah melaksnakan syariat’-
syariat ( agama ) yang diperintah oleh Allah. Syariat-syariat tersebut biasa
kita kenal dengan syariat-syariat ( agama ) samawi. Agama samawi pada
prinsipnya melaksanakan syariat yang hanya satu sumber yaitu dari Allah
SWT. Apabila memutuskan syariat-syariat samawi adalah satu yakni Allah.
Maka berarti esensinya juga satu yang perlu dimengerti memang ada sebagian
perkara yang di karamkan antara kaum dahulu dengan dengan kaum
Muhammad SAW.
Lantas bagaimana syariat umat islam terdahulu bisa di pakai untuk
umat setelahnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Hukum-hukum dari syariat umat terdahulu tidak bisa diketahui tanpa
melalui sumber-sumber hukum Islam ( al-Qur’an dan Hadist ). Maka
perwalkilan syariat tidak dipandang syah jika tidak didasarkan pada
sumber-sumber tersebut.
2. Sesuatu yang telah dinasakh berdasarkan dalil hukum Islam, tidak bisa
diambil apalagi tertentu berlaku untuk suatu kaum (khusus untuk
kaum tertentu).
3. Sesuatu hukum yang diakui dalam islam sebagaimana halnya diakui
dalam agama-agama samawi terdahulu, sebatas hukumnya adalah
berdasarkan dengan nash Islam, bukan dengan hikayat umat terdahulu.

Jika memang syariat-syariat samawi pada asalnya adalah satu, maka


secara keseluruhan mesti deterima, kecuali apa bila ada dalil yang
menerangkan bahwa hal itu merupakan syariat temporal yang berlaku untuk
umat tertentu, atau telah di nasakh dalam syariat Islam. Disamping itu
terdapat pula nask-naskh yang menerangkan agar kita mengikuti nabi-nabi
terdahulu. Friman Allah SWT :
‫ﻮﻟﺋﻚ‬۱ ‫ﻟﺫ‬۱ ‫ ﯾﻦﻫﺪ‬L‫ ﯼ‬L‫ﻗ۔ﺗﺪ ﷲ‬۱‫ﻫﻢ‬۱‫ ﻓﺑﻬﺪ‬L‫ﮦ‬
Artinya : “mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk dari Allah,
mak ikutilah petunjuk mereka “
Firman ini menyuruh untuk mengikuti ajaran para nabi dan kesatuan
syariat samawi yang berkaitan dengan dasar-dasar agama ( ushuluddin ).
Tauhid, iman kepada malaikat, hari akhir kiamat, dan hari kebangkitan, jadi
syariat umat terdahulu,jika ada dalil yang menerangkan berlaku Khusus,
tidak bisa dijadikan hujjah dengan kesepakatan ulama, sedangkan apabila ada
dalilnya yang menerangkan berlaku umum, maka bisa dijadikan hujjah.
2. Hakikat Syar’u man Qablana
Berdasarkan beberapa referensi yang berkaitan, ditemukan bahwa
istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-
syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Hal ini dapat dilihat
dalam al-Ghazali (2000: 165), al-Amidi (1996, IV: 294; 2003: 239), asy-Syaukani
(tt.: 345), Qannuraji (2003: 346), yang semuanya mengatakan bahwa hakikat
syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-
syari’at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam). Khallaf (1978: 93)
menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah berhubungan dengan
“mâ syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah
diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum
para Nabi terdahulu). Sedangkan Zahrah (t.t.: 241) membatasi bahwa syari’at-
syari’at yang diturunkan tersebut adalah syari’at samawiyyah. Hasballah (1997:
63) juga mengungkapkan bahwa Syar’u man Qablana adalah “al-syara’i’
al- sabiqah” (syari’at-syari’at sebelum Islam). Definisi syar’u man qablana
tampak jelas dalam ungkapan Zaidan (1998: 263) yang mengatakan bahwa ia
adalah “al- ahkam allati syara’aha Allah Ta’ala liman sabaqana min al-umam,
wa anzalaha ‘ala anbiyaihi wa rusulihi litablighiha litilka al-umam” (hukum-
hukum yang telah disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita yang
diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh
masyarakat pada waktu itu).
Berkaitan dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili (2001, II: 867)
menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611
Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup
segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga
mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan
di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi
Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi
Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai
sekarang.
3. Kontribusi Syar’u man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya
dijadikan sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis)
sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man
qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang sebelah mata.
Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam terutama pada masa
pengidentifikasian hukum Islam masa itu bahkan masyarakat muslim sekarang
memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at
yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Alqur’an yang
secara tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami
kembali oleh para ahli usul al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar’u man
qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya Q.S. al-An’am ayat
146 yang artinya sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang
berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak
dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau
yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah
Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami
adalah Maha Benar”.
Pesan normatif di atas menceritakan apa yang diharamkan kepada umat
Yahudi, namun hal tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena ada ayat lain
dalam Alqur’an yang membatalkan ketentuan tersebut. Ayat yang dimaksud
adalah
Q.S. al-An’am ayat 145 yang terjemahnya sebagai berikut :
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena
sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam Yahya (1993: 114) yang
menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas
kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang,
syari’at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya ayat
pada
Q.S. 11: 3 yang artinya sebagai berikut :
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-
Nya”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin
menebus dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki
konsekuensi dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan
dibuktikan secara nyata adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa
perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang
dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu
pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis.
Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi
Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. 74: 4 (yang
artinnya: Dan pakaianmu bersihkanlah).
Berdasarkan ayat-ayat Alqur’an di atas, para ahli usul al-fiqh dapat
menentukan dengan mudah bahwa syar’u man qablana semacam itu sudah tidak
berlaku lagi karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat Alqur’an
sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi Muhammad.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain
yang tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam
membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi
Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan
oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. 2: 183
yang terjemahnya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah
berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan
itu tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan
Nabi Muhammad sendiri melalui sabdanya:
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu
Ibrahim”. Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan
metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut
dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya
penjelasan kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-
ayat Alqur’an. Kendati demikian, pernyataan ini bukan berarti bahwa syar’u man
qablana telah kehilangan peran dalam metodologi usul al-fiqh, tetapi justru
pentingnya syar’u man qablana adalah untuk menentukan dan menyelesaikan
kemulut persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh, terutama yang
berkaitan dengan adanya dalil normatif yang diterima Nabi Muhammad seraya
menceritakan sebuah peraturan tentang kewajiban umat terdahulu, namun tidak
ditemukan ketentuan yang menghendaki peraturan tersebut tetap diberlakukan
atau dibatalkan, baik dari dalil itu sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S.5:32
yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-
akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-
rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. 5: 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa
yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan
adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun
tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau
tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di
kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat
Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota
bene merupakan kitab suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi (t.t.: 232) mengatakan bahwa
syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat
Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang
mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang
anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia
dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at
Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm (1404, V: 149) yang
mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks
semata yang tidak perlu diamalkan.
Sedangkan Syairazi (1985: 34) mengatakan bahwa perbedaan tersebut
tampak semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah
memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai
syari’at Islam, kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at
terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh
syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi (1400: 441) menjelaskan bahwa
dalam persoalan tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli usul al-fiqh,
termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi,
dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu
yang tidak ada kepastian untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai
syari’at Islam. Hal yang senada juga terdapat dalam Khallaf (1978: 94) yang
mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh syari’at terdahulu, kecuali adanya
penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang
serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili (2001, II: 868) dengan
menambahkan bahwa sebagian
ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan
penolakannya terhadap syari’at tersebut.

4. Memposisikan Kembali Syar’u Man Qablana dalam Hukum Islam di


Zaman Sekarang
Syar’u man qablana dalam pandangan para ulama salaf adalah syari’at-
syari’at para nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam yang dibawa Nabi
Muhammad. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar’u man qablana.
Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai
metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari’at umat terdahulu,
apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam
Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga
ketentuan syar’u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak
ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap
permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut
sebagai syari’at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
Kini syar’u man qablana akan lebih tepat jika dikontekstualisasikan dengan
perkembangan zaman sekarang, tentunya semuanya itu berdiri di atas
kemaslahatan umat muslim secara keseluruhan dan ditopang oleh pemahaman
terhadap maqashid al-syari’ah guna memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Aplikasi dari kontekstualisasi syar’u man qablana adalah dengan cara
memposisikan kembali syar’u man qablana sebagai sebuah metode dengan teknik
bahwa syari’at- syari’at Nabi Muhammad dipandang sebagai syar’u man qablana
bagi umat Muslim yang hidup di zaman sekarang. Di antara syari’at-syari’at
tersebut ada yang masih berlaku, ada pula yang tidak berlaku. Upaya ini dilakukan
tidak dengan cara mengganti teks-teks normatif, melainkan hukum yang
terkandung dalam teks normatif tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman
sekarang.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan
satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata,
yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab
‫صَلح‬
‫صل ُ ح‬ َ‫ ي‬menjadi ْ atau ‫مص‬ yang berarti sesuatu yang mendatangkan
– ‫حا‬ ‫ل‬ ً‫حة‬ ‫ل‬

‫ص‬
kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: ‫س‬
ْ ‫ ا َل – س ْ سا‬menjadi ‫ ْ سل‬yang
‫ل‬
‫ ر‬-ً‫ْر يُ ْر ُل – ر ل‬ ‫ر‬
‫س‬
‫م‬ ‫ا‬ ‫م‬
berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi
“maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan
yang mengandung nilai baik (manfaat).
Istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu
berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa
yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu
berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî’ah berarti jalan.
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang
sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah
saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Maksud tentang syariat umat terdahulu adalah umat sebelum
Muhammad SAW atau lebih jelasnya Islam disebut sebagai agama
penyempurna semua ajaran yang diturunkan Allah melalui Nabi-nabi-Nya
terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/240326-istihsan-telaah-sosio-kultural-

pemikiran-325f555c.pdf

http://makalah-for-you.blogspot.com/2014/07/makalah-syariat-umat-

terdahulu.html

https://id.scribd.com/doc/266504883/materi-syariat-umat-terdahulu-1-docx

file:///D:/Users/Win%2010/Downloads/2641-5216-1-SM.pdf

https://kumparan.com/berita-hari-ini/penjelasan-dan-contoh-maslahah-mursalah-

dalam-kehidupan-1uBCEVbI12i

https://titikba.wordpress.com/

https://jurnal.stie-aas.ac.id

https://media.neliti.com

https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/AKSES/article/download/3264/3

075

http://digilib.uinsby.ac.id/11232/5/bab%202.pdf

https://osf.io/ts6w3/

https://jurnal.iainpalu.ac.id/index.php/rsy/article/download/413/285

https://rikiyuniagara.wordpress.com/hukum-islam/syaru-man-qablana-syariat-

sebelum-islam/

Anda mungkin juga menyukai