KELOMPOK 8
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih kami
makalah ini dapat hadir dihadapan pembaca. Adalah hanya dari pertolongan dan
izin Allah, Disamping itu Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad
S.A.W. beserta keluarganya dan para shahabatnya yang dengan penuh kesetiaan
telah mengobarkan syi’ar Islam yang manfaatnya masih terasa hingga saat ini.
,Maslahat Mursalah, Istishab, Saddu Zari’ah, Uruf dan Syariat agama terdahulu”.
Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat menambah pengatahuan bagi para
pembacanya dan bernilai ibadah bagi penulisnya. Namun terlepas dari itu, kami
memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi. Akhirnya, dengan segala
kerendahan segala bentuk saran maupun kritik dari pihak manapun. Juga tak lupa
Paling terakhir, hanya kepada Allah penulis panjatkan rasa syukur dan
dapat memenuhi keperluan pembaca dan semoga berguna sesuai tujuan untuk
kepentingan Agama, Bangsa, dan Umat Islam pada umumnya. Dan sekali lagi
kami berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan amal
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG..........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN.......................................................................2
D. MANFAAT PENULISAN...................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Istihsan..................................................................................................3
1. Pengertian Istihsan...........................................................................3
2. Dasar-Dasar Istihsan........................................................................3
B. Maslahat al Mursalah............................................................................7
C. Istishab................................................................................................12
1. Pengertian Istishab.........................................................................12
D. Saddu Dzari’ah....................................................................................15
E. Urf`......................................................................................................18
1. Pengertian Urf................................................................................18
2. Pembagian Urf...............................................................................19
3. Syarat-Syarat Urf...........................................................................19
4. Kehujjahan Urf...............................................................................19
Islam...............................................................................................23
di Zaman Sekarang.........................................................................27
A. Kesimpulan..........................................................................................28
Daftar Pustaka......................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai umat Islam tentu harus berpegang kepada hukum agama Islam,
bukan hanya hubungan (ibadah) kepada Allah tetapi mencakup juga
bermuamalah kepada sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hukum
Islam memiliki kemampuan berevolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-
soal dunia Islam masa kini. Semangat dan prinsip umum agama Islam tetap
berlaku baik dimasa lampau, masa kini dan masa yang akan datang, dalam
banyak hal, pola hukum Islam menyerahkan soal-soal rincian kepada akal
manusia. Tentu saja akal bertaut dan berpedoman kepada wahyu dan bidang
yang luas yang telah ditetapkan sesuai fungsinya, Tidak adanya rincian inilah
yang memberikan elastisitas luas kepada Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah nya yaitu:
1
3. Apa itu Istishab dan ruang lingkupnya?
lingkupnya?
C. Tujuan Penulisan
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Syariat agama terdahulu dan
ruang lingkupnya.
7. Manfaat Penulisan
pembaca mengenai defenisi dan ruang lingkup dari Istihsan, Maslahat Mursalah,
II ISI
A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan
satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Misal yang paling sering dikemukakan
adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman
khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong
tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan
kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum
berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang
lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian
yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun
dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum
itu.
2. Dasar-dasar Istihsan
Dasar Istihsan terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis rusulullah SAW antara lain :
a). Dasarnya dalam Al Qur’an:
ْل َبابLَوا ا ْْلLُ ْولLُ ْول ْم أLُسَنهُ أ ك ال هدَا َ وأ و َنLُّ ِبعLَو َن ا َيتLُسَت ِمع الَّ ِذي َن
ِئك ُم ْولَ ِئ ِذي َن ْحLَأ ْل َق ْو َل
ل
ُا
Artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.Az-Zumar: 18)
Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan ajaran-
ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Quran Karena ia
adalah yang paling baik.
ي ال ْ ح َر „ج
علَ ْي
َبا َ جLوا ي لَِّ حق ج َ جتLُوجا ِهد
ي ِن نL’ُك ْم ِد
ال َها ِد ِه و ُك ْم م َع
ا َل ا
م و
Artinya: “Dan berjihadlah engkau di jalan Allah (dalam agama)dengan jihad
yang sebenar-banarnya.dia telah memilih engkau dan Dia sama sekali tidak
menjadikankesempitan bagimudalam agama”. (QS:Al-Hajj: 78)
Dan hadits nabi yang berbunyi:
Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang
lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-
syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)
Tujuan Istihsan:
1. Menguatkan qiyas khafy atau qiyas jaly dengan menggunakan dalil
2. Membuat pengecualian sebagian hokum kully dengan dalil yang
menguatkan.
ص
kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:
ْرس L– ِا ْر سال ْ س َا ْر س َل
لم - ر ُل –
ُي
menjadi س
ْ yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan
ل
ر
م
dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan
(kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti
suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah
ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak
ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan
syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan
kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-
Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum
yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam
datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-
dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan
memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,
bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu
masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh
nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum
dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat
umum pula.
2. Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih
mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi
diantaranya:
1. Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’
meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut.
2. Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’,
3. Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang
rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a. Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
b. Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh
serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
C. ISTISHAB
1. Pengertian Istishab
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak
melepaskan sesuatu Jika seseorang mengatakan:
سفري في الكتاب استصحبت
maka itu artinya: aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-
istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini ada beberapa definisi yang
disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah
penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa
selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena
tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum
tersebut).
2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) seorang ulama Malikiyah-
mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di
masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis)
sekarang atau di masa datang.”
Definisi ini menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan
hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun
mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini –
entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak
menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap
berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut
hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan
pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti
2. Kedudukan Istishhab Diantara Dalil-dalil yang Lain
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishab
termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak
menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany
misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti
ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-
Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak
menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya
dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-
hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah
bahwa hukum itu tetap berlaku…”
3. Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah
fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah
bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah
bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia
harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu
apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus
berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu
belum batal.
4. Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini
adalah:
Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya
faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan
hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam,
sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan
demikian istishhab adalah hujjah pula.
Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya
atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas
keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaq’in la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara
mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah :
1. Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa
landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil
adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang
batil.
2. Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil,
dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini
adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas
dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum
yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang yang
memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu –atau yang dikenal
dengan bara’ah al-dzimmah- dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan
suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah
belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini
adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan
itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa
selanjutnya.
D. SADDUDZ DZARÎ’AH
1. Pengertian Saddudz Dzari’ah
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu
berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî’ah berarti jalan.
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk
memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya
kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini
sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai
kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini
syari’at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi
perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan seca ra
langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada
hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
Artinya:
“Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain
hanyalah wajib pula”.
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum
muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu
kearah tidakan-tindakan orag-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara
melampaui batas.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang
mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua
inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî’ah, karena perbuatan tersebut sering
mengarah kepada perbuatan dosa.
Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu
rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan
terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan
terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan
terlarang.
E.URUF
1. Pengertian Uruf
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang
sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah
saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
2. Pembagian Uruf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata
lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan.
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti
perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-
beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak
bertentangan dengan nash hukum syara’
a. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena
bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
b. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka
dahulu hingga sekarang.
c. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu
tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
3. Syarat-Syarat Uruf
Adapun syarat-syarat Urf dapat diterima dalam hukum islam ialah :
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau
as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at
termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang
saja.
4. Kehujjahan Uruf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan
dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau
keputusan. Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-
perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam
masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan
dengan syara’. Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya,
karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang
berlainan.
Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karean
bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umam nas.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasarkan dalil syara. Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan
satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata,
yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab
صَلح
صل ُ ح َ يmenjadi ْ atau مص yang berarti sesuatu yang mendatangkan
– حا ل ًحة ل
ص
kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan
sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: س
ْ ا َل – س ْ ساmenjadi ْ سلyang
ل
ر-ًْر يُ ْر ُل – ر ل ر
س
م ا م
berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi
“maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan
yang mengandung nilai baik (manfaat).
Istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu
berupa hukum ataupun benda- di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa
yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu
berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî’ah berarti jalan.
Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang
menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti
sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang
sehat. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah
saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
Maksud tentang syariat umat terdahulu adalah umat sebelum
Muhammad SAW atau lebih jelasnya Islam disebut sebagai agama
penyempurna semua ajaran yang diturunkan Allah melalui Nabi-nabi-Nya
terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
https://media.neliti.com/media/publications/240326-istihsan-telaah-sosio-kultural-
pemikiran-325f555c.pdf
http://makalah-for-you.blogspot.com/2014/07/makalah-syariat-umat-
terdahulu.html
https://id.scribd.com/doc/266504883/materi-syariat-umat-terdahulu-1-docx
file:///D:/Users/Win%2010/Downloads/2641-5216-1-SM.pdf
https://kumparan.com/berita-hari-ini/penjelasan-dan-contoh-maslahah-mursalah-
dalam-kehidupan-1uBCEVbI12i
https://titikba.wordpress.com/
https://jurnal.stie-aas.ac.id
https://media.neliti.com
https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/AKSES/article/download/3264/3
075
http://digilib.uinsby.ac.id/11232/5/bab%202.pdf
https://osf.io/ts6w3/
https://jurnal.iainpalu.ac.id/index.php/rsy/article/download/413/285
https://rikiyuniagara.wordpress.com/hukum-islam/syaru-man-qablana-syariat-
sebelum-islam/