Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

MU’AMALAH

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ahkam 2


Pembelajaran Semester 4 B PAI

Dosen Pengampu :
Sunardi,M.Pd.

Disusun Oleh :

1. M Ilfa Nur Azis


2. Alamul Huda
3. Jalal mahali

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-URWATUL WUTSQO
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,yang telah
memberikan rahma,taufik, dan hidayah-Nya. Sholawat dan Salam mudah-
mudahan tetap terus teralirkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW,
semua keluarga, para sahabat, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka
dengan kebaikan hingga hari kiamat menjelang.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
studi program Strata 1 Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al
Urwatul Wusqo-Jombang (STIT UW). Penulisan makalah ini berjudul ”Fiqih
Mu’amalah”.
Dengan selesainya penulisan makalah ini, penulisnya dapat menyampaikan
terimakasih kepada Bapak Sunardi, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah
Tafsir Ahkam 2.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan
umum nya bagi para mahasiswa dan generasi muda yang peduli dengan
pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Aamiin

Jombang, 25 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTA ................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

A.Latar belakang .......................................................................................................................... 1

B.Rumus masalah ......................................................................................................................... 1

C.Tujuan pembahasan ................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 2

A. Pengertian mua’amalah ............................................................................................................ 2

B. macam-macam muamalah ........................................................................................................ 2

Bagian I ........................................................................................................................................ 2

A. Jual beli ................................................................................................................................. 2

B. KHIYAR .............................................................................................................................. 6

BAGIAN II ............................................................................................................................... 7

A. Musaqah .............................................................................................................................. 7
B. Muzara’ah dan mukhabaroh ............................................................................................... 8

BAGIAN III ............................................................................................................................... 9

A.syirkah ................................................................................................................................... 9

BAGIAN IV .............................................................................................................................. 12

A.ji’alah [sayumbara] .............................................................................................................. 12

BAGIAN V ............................................................................................................................... 13

A.wakkaf ................................................................................................................................. 13

BAGIAN VI ............................................................................................................................. 15

A. Hibah ................................................................................................................................. 15
B. Shadakoh dan hadiah ........................................................................................................ 18

BAGIAN VII................................................................................................................................ 20

A. hukum riba bank dan asuransi ............................................................................................ 20

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 22

.Kesimpulan .................................................................................................................................. 22

.Saran ............................................................................................................................................ 22

DAFTAR PUSAKA .................................................................................................................... 23

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Mu’amalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban Islam yang
maju di masa lalu. Ia merupakan satu bagian dari syari’at Islam, yaitu yang mengatur
kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia, masyarakat dan alam. Karena
mu’amalah merupakan aspek dari ajaran Islam, maka ia juga mengandung aspek teologis dan
spiritual. Aspek inilah yang merupakan dasar dari mu’amalah tersebut.

Sehubungan dengan itu bimbingan mualamah menjadi penting, karena masalahnya


komplek, ia berkaitan dengan masalah rohani dan jasmani, manusia dan alam, dunia akhirat.
Disamping itu bimbingan mu’amalah akan mengarahkan kehidupan duniawi, dan
mendapatkan ganjaran diakhirat.

Dalam makalah ini membahas mu’amalah tentang jual beli, dimana manusia dijadikan
Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang
ada di muka bumi sebagai sumber ekonomi.

B. Rumusan Masalah

Apa itu fiqih mu’amalah?

1 Apa saja manfaat mempelajari fiqih mu’amalah?

2 Apa saja pembagian-pembagian mu’amalah?

C. Tujuan

(1) Mengetahui apa itu fiqih mu’amalah;

(2) Mengetahui manfaat mempelajari fiqih mu’amalah;

(3) Mengetahui pembagian-pembagian mu’amalah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mu’amalah

Di dalam Islam transaksi lebih dikenal dengan istilah muamalah. Adapun pengertian dari
muamalah itu sendiri adalah suatu kegiatan tukar menukar barang yang memberikan manfaat
tertentu. Pada dasarnya ada banyak sekali kegiatan yang termasuk ke dalam muamalah,
sehingga bagi umat Islam bisa memilih macam muamalah yang sesuai dan saling
memberikan manfaat satu sama lain.
Dengan demikian, muamalah dapat dikatakan sebagai salah satu syariat Islam dalam
bidang ekonomi. Adapun beberapa contoh transaksi yang termasuk dalam muamalah, seperti
upah mengupah, sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya. Transaksi muamalah bisa juga
dilakukan pada kegiatan permodalan dan usaha karena kedua kegiatan transaksi tersebut
masih masuk ke dalam kegiatan transaksi muamalah.
Apabila, umat Islam melakukan transaksi yang sesuai dengan muamalah atau syariat
Islam, maka kehidupan kitab akan menjadi lebih terjamin. Terlebih lagi, kita akan terhindar
dari perbuatan yang tercela, seperti merugikan, curang, dan sebagainya. Dengan terhindar
dari perbuatan tercela, maka kita terhindar juga dari dosa. Selain itu, kegiatan transaksi
muamalah juga bisa mengurangi terjadinya konflik karena salah satu pihak merasa dirugikan.
Maka dari itu, alangkah baiknya mulai sekarang ketika melakukan transaksi jual beli
menggunakan sistem ekonomi syariah Islam, yaitu muamalah. Dengan menggunakan
muamalah, kita akan mendapatkan keberkahan dari transaksi yang dilakukan sekaligus sama-
sama mendapatkan manfaat dan yang terpenting tidak saling merugikan satu sama lain
(Gramedia blog,2021).
B. Macam-macam Mu’amalah

Bagian I
JUAL BELI dan KHIYAR

A. JUAL BELI
1. Pengertian dan Dasar hukum Jual Beli

2
3

Menurut bahasa jual beli berasal dari kata ( ‫ع‬


َ ‫ ) َب ْي ًعا – َي ِب ِي ُع – َبا‬artinya tukar menukar sesuatu
dengan sesuatu, menurut istilah jual beli adalah suatu transaksi tukar menukar barang atau
harta yang mengakibatkan pemindahan hak milik sesuai dengan Syarat dan Rukun tertentu.
Dasar hukum jual beli bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits :
Firman Allah SWT :

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah : 275).
Sabda Rasulullah SAW :

“Pendapatan yang paling utama dari seorang adalah hasil usaha sendiri dan hasil jual beli
yang mabrur” (HR. Thabrani).

2. Syarat dan Rukun Jual Beli


a. Syarat Barang yang Diperjual Belikan
1). Barang itu suci, artinya bukan barang najis.
2). Barang itu bermanfaat.
3).Barang itu milik sendiri atau milik orang lain yang telah mewakilkan untuk menjualnya.
4). Barang itu dapat diserah terimakan kepemilikannya.
5). Barang itu dapat diketahui jenis, ukuran, sifat dan kadarnya.

b. Syarat Penjual dan Pembeli


1). Berakal sehat, orang yang tidak sehat pikirannya atau idiot (bodoh), maka akad jual
belinya tidak sah.
2). Atas kemauan sendiri, artinya jual beli yang tidak ada unsur paksaan.
3). Sudah dewasa (Baligh), artinya akad jual beli yang dilakukan oleh anak-anak jual belinya
tidak sah, kecuali pada hal-hal yang sifatnya sederhana atau sudah menjadi adat kebiasaan.
Seperti jual beli es, permen dan lain-lain.
4). Keadaan penjual dan pembeli itu bukan orang pemboros terhadap harta, karena keadaan
mereka yang demikian itu hartanya pada dasarnya berada pada tanggung jawab walinya.

c. Rukun Jual Beli


4

1). Ada penjual.


2). Ada pembeli.
3). Ada barang atau harta yang diperjual belikan.
4). Ada uang atau alat bayar yang digunakan sebagai penukar barang.
5). Ada lafadz ijab qabul, yaitu sebagai bukti akan adanya kerelaan dari kedua belah pihak.

3. Jual Beli yang Terlarang


a. Jual beli yang sah tapi terlarang, antara lain:
1). Jual beli yang harganya diatas/dibawah harga pasar dengan cara menghadang penjual
sebelum tiba dipasar. Sabda Nabi SAW dari Ibnu Abbas ra.:

“Janganlah kamu menghadang orang yang berangkat kepasar”(Muttafaq Alaih).


2). Membeli barang yang sudah dibeli atau dalam proses tawaran orang lain. Sabda Nabi
SAW :

“Janganlah seseorang menjual sesuatu yang telah dibeli orang lain” (Muttafaq Alaih).
3). Jual beli barang untuk ditimbun supaya dapat dijual dengan harga mahal dikemudian
hari, padahal masyarakat membutuhkannya saat itu. Sabda Rasulullah SAW :

“Tidak ada yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah)” (HR. Muslim).
4). Jual beli untuk alat maksiat:
Firman Allah SWT :

“Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS. Al Maidah: 2).
5). Jual beli dengan cara menipu, sabda Nabi SAW :

“Nabi melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipuan”(HR. Muslim).


6). Jual beli yang mengandung riba, Firman Allah SWT. :
5

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”(QS.
Ali Imran: 130).

b. Jual beli terlarang dan tidak sah, yaitu :


1). Jual beli sperma binatang, Sabda Nabi SAW. dari Jabir ra.:

“Nabi SAW. telah melarang menjual air mani binatang jantan” (HR. Muslim dan Nasa’i).
2). Menjual anak ternak yang masih dalam kandungan induknya.
sabda Nabi SAW.dari Abu Hurairah ra.:

“Bahwa Nabi SAW. melarang menjual belikan anak ternak yang masih dalam kandungan
induknya” (HR Al Bazzar).
3). Menjual belikan barang yang baru dibeli sebelum diserah terimakan kepada pembelinya,
sabda Nabi SAW. :

“Janganlah kamu menjual sesuatu yang kamu beli sebelum kamu terima”(HR. Ahmad dan
Al Baihaqy).
4). Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya, Sabda Nabi SAW. dari Ibnu Umar ra. :

“Nabi SAW. Telah melarang menjual buah-buah yang belum tampak manfaatnya”
(Muttafaq Alaih).

4. Hikmah Jual Beli


1. Membentuk kepribadian Muslim yang terhindar dari kepemilikan harta secara batil. (QS.
An Nisa : 29).
2. Membentuk kepribadian Muslim yang terhindar dari kepemilikan harta secara riba (QS.
Al Baqarah : 275).
3. Mendorong untuk saling menolong sesama manusia sehingga mempunyai nilai sosial
kemasyarakatan (QS. Al Maidah : 2).
4. Melaksanakan hukum yang dihalalkan Allah SWT. Dan menjauhi yang diharamkan. (QS.
Al Baqarah : 275).
6

5. Mendidik pihak penjual dan pembeli agar memiliki sifat-sifat tenggang rasa, saling
hormat menghormati, lapang dada dan tidak tergesa-gesa.
Sabda Nabi SAW. Dari Jabir ra.:

“Allah memberi rahmat kepada orang yang berlapang dada pada saat menjual, pada saat
membeli dan pada saat menagih hutang (HR. Bukhari dan Tirmidzi).

B. KHIYAR
Khiyar menurut bahasa artinya memilih yang terbaik, sedangkan menurut istilah khiyar
ialah : memilih antara melangsungkan akad jual beli atau membatalkan atas dasar
pertimbangan yang matang dari pihak penjual dan pembeli.

1. Jenis-jenis Khiyar
Khiyar ada 3 macam, yaitu :
a. Khiyar Majlis, artinya memilih untuk melangsungkan atau mmembatalkan akad jual beli
sebelum keduannya berpisah dari tempat akad. Sabda Rasulullah SAW. :

“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (meneruskan atau mengurungkan) jual belinya
selama keduanya belum berpisah” (HR. Bukhari dan Muslim).

b. Khiyar Syarat, yaitu khiyar yang dijadikan syarat waktu akad jual beli, artinya si pembeli
atau si penjual boleh memilih antara meneruskan atau mengurungkan jual belinya selama
persyaratan itu belum dibatalkan setelah mempertimbangkan dalam dua atau tiga hari.
Khiyar syarat paling lama tiga hari. Sabda Nabi SAW. :

“Engkau boleh melakukan khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari
tiga malam” (Al Baihaqi dari Ibnu Majah).
c. Khiyar Aibi, yaitu memilih melangsungkan akad jual beli atau mengurungkannya
bilamana terdapat bukti cacat pada barang.

2. Hikmah dan Manfaat Khiyar


7

Adapun hikmah khiyar antara lain adalah :


1. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan jual beli.
2. Menghindarkan kemungkinan terjadinya unsur penipuan dalam jual beli.
3. Mendidik penjual agar bersikap jujur dalam menjelaskan kualitas barang dagangannya.
4. Menghindarkan terjadinya penyesalan dikemudian hari bagi penjual dan pembeli.

“Dari Abu Hurairah RA Nabi SAW. bersabda : Barang siapa mencabut (jual beli) terhadap
orang yang menyesal, maka Allah mencabut kerugiannya” (HR. Al Bazzar

Bagian II
MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

A. MUSAQAH
1. Pengertian dan dasar hukum Musaqah
Menurut bahasa, Musaqah berasal dari kata “As-Saqyu” yang artinya penyiraman.
Sedangkan menurut istilah musaqah adalah kerjasama antara pemilik kebun (tanah) dengan
petani penggarap, yang hasilnya dibagi berdasarkan perjanjian.

Musaqah hukumnya jaiz (boleh), hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW :

Dari ibnu Umar ra. “bahwasanya Nabi SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar
dengan syarat akan diberi upah separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang keluar
dari lahan tersebut” (HR. Muttafaq Alaih).

2. Rukun dan Syarat Musaqah


Rukun Musaqah (Musaqi) adalah sebagai berikut:
a. Pemilik kebun dan petani penggarap (Saqi).
b. Pohon atau tanaman dan kebun yang dirawat.
c. Pekerjaan yang dilaksanakan baik waktu, jenis dan sifat pekerjaannya.
d. Pembagian hasil tanaman atau pohon.
e. Akad, baik secara lisan atau tertulis maupun dengan isyarat.
8

Sementara itu syarat-syarat musaqah adalah sebagai berikut :


a. Pohon atau tanaman yang dipelihara harus jelas dan dapat dilihat.
b. Waktu pelaksanaan musaqah harus jelas, misalnya: setahun, dua tahun atau sekali panen
atau
lainnya agar terhindar dari keributan di kemudian hari.
c. Akad Musaqah yang dibuat hendaknya sebelum nampak buah atau hasil dari tanaman itu.
d. Pembagian hasil disebutkan secara jelas.

3. Masa berakhirnya Musaqah


Akad musaqah akan berakhir apabila :
a. Telah habis batas waktu yang telah disepakati bersama.
b. Petani penggarap tidak sanggup lagi bekerja.
c. Meninggalnya salah satu dari yang melakukan akad.

4. Hikmah Musaqah
1. Dapat terpenuhinya kemakmuran yang merata.
2. Terciptanya saling memberi manfaat antara kedua belah pihak (si pemilik tanah dan
petani penggarap).
3. Bagi pemilik tanah merasa terbantu karena kebunnya dapat terawat dan menghasilkan.
4. Disamping itu kesuburan tanahnya juga dapat dipertahankan.

B. MUZARA’AH DAN MUKHABARAH


1. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut bahasa muzara’ah artinya penanaman lahan. Menurut istilah muzara’ah adalah
suatu usaha kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan petani penggarap yang
hasilnya dibagi menurut kesepakatan, dimana benih tanaman dari si Pemilik tanah. Adapun
zakat dari hasil kerja sama ditanggung oleh pemilik sawah atau ladang.

Sedangkan mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik sawah atau ladang dengan petani
penggarap yang hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan kedua belah pihak, dimana benih
tanaman dari petani penggarap.
9

Adapun zakat dari hasil usaha tersebut ditanggung oleh penggarap.

2. Rukun dan Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah


a. Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah
1). Pemilik dan penggarap sawah.
2). Sawah atau lading.
3). Jenis pekerjaan yang harus dilakukan.
4). Kesepakatan dalam pembagian hasil (upah).
5). Akad (sighat).

b. Syarat Muzara’ah dan Mukhabarah


1). Pada muzara’ah benih dari pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah benih dari
penggarap.
2). Waktu pelaksanaan muzara’ah dan mukhabarah jelas.
3). Akad muzara’ah dan mukhabarah hendaknya dilakukan sebelum pelaksanaan pekerjaan.
4). Pembagian hasil disebutkan secara jelas.

3. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah


a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani
penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani
tetapi tidak memiliki tanah garapan.

Bagian III
SYIRKAH

A. SYIRKAH
1. Pengertian dan Macam Syirkah
10

Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan, kerjasama atau bersama-sama. Menurut


istilah syirkah adalah suatu akad dalam bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
bidang modal atau jasa, untuk mendapatkan keuntungan.

Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak manfaatnya,
terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar
pribadi, antar group bahkan antar Negara.

Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi kerjasama, didorong oleh keinginan


untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan keuntungan bersama.
Firman Allah SWT

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah : 2).

2. Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Syirkah amlak (Syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau
kondisi lain yang menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
2. Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena
kesepakatan dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan
dan kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan menjadi empat macam :
a. Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang permodalan sehingga terkumpul
sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :

Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Maka apabila
berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatannya itu” (HR. Abu
Daud dan Hakim menshohihkannya).
11

Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut juga
dengan qiradl.

b. Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ‘abdan)


Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang bergerak dalam
bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.

c. Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan syarat kesamaan
modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.

d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)


Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik serta
ahli dalam bisnis.

2. Rukun dan Syarat Syirkah


Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan
baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan mengetahui pokok-pokok perjanjian.
Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at
Islam.
Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan perjanjian.

3. Hukum dan Hikmah Syirkah


Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah mubah/boleh dan sah-sah saja. Namun
apabila terjadi penyimpangan oleh anggota syarikat, maka hal ini sudah tidak benar. Adapun
12

mengenai syirkah kerja menurut madzhab Syafi’i tidak sah dan tidak boleh.

Mengenai hikmah syirkah dapat dikemukakan disini sebagai berikut :


a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi pengangguran.

Bagian IV
JI’ALAH (SAYEMBARA)

1. Pengertian Ji’alah
Menurut bahasa Ji’alah artinya upah atau pemberian. Menurut istilah artinya upah yang
diberikan kepada seseorang atas keberhasilannya dalam memenuhi keinginan pemberi upah.
Contohnya : seorang yang kehilangan kuda, dia berkata : barang siapa yang mendapatkan
kudaku dan dia kembalikan kuda itu, maka aku berikan upah sekian.

2. Hukum Ji’alah
Ji’alah hukumnya mubah (Boleh), dasar hukumnya bermula dari Firman Allah SWT. :

“Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan Piala Raja dan barang siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan akan
menjanjikan terhadapnya“ (QS. Yusuf : 72).

3. Rukun dan Syarat Ji’alah


a. Lafazd (akad) Ji’alah, dengan syarat :
1). Lafazd dapat dimengerti isi dan maksudnya.
2). Mengandung izin untuk melakukan apa yang diharapkan oleh pembuat lafazd.
3). Ada batas tertentu dalam melakukan sayembara.
13

b. Orang yang menjanjikan upah, syaratnya :


1). Orang yang punya hak memberikan sayembara.
2). Orang yang dibenarkan secara hukum menyelenggarakan sayembara.
c. Pekerjaan (sesuatun yang harus dilakukan), syaratnya :
1). Pekerjaan itu memungkinkan untuk dilakukan oleh manusia.
2). Pekerjaan itu adalah pekerjaan yang tidak mengandung unsur maksiat.
d. Upah, syaratnya diketahui terlebih dahulu sebelum pekerjaan itu dilaksanakan.

4. Hikmah Ji’alah
1). Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan) ;
2). Menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar sesama manusia ;
3). Adanya penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan

Bagian V
WAKAF

1. Pengertian Wakaf
Wakaf menurut bahasa berarti “menahan” sedangkan menurut istilah wakaf yaitu
memberikan
suatu benda atau harta yang dapat diambil manfaatnya untuk digunakan bagi kepentingan
masyarakat menuju keridhaan Allah SWT.

2. Hukum Wakaf
Hukum wakaf adalah sunat, hal ini didasarkan pada Al-Qur’an.
Firman Allah SWT. :

“Dan berbuatlah kebajikan agar kamu beruntung”(QS. Al Hajj: 77).


Firman Allah SWT.:

“Tidak akan tercapai olehmu suatu kebaikan sebelum kamu sanggup membelanjakan
sebagian
14

harta yang kamu sayangi”

3. Rukun Wakaf
A. Orang yang memberikan wakaf (Wakif).
B. Orang yang menerima wakaf (Maukuf lahu).
C. Barang yang yang diwakafkan (Maukuf).
D. Ikrar penyerahan (akad).

4. Syarat-syarat Wakaf
A. Orang yang memberikan wakaf berhak atas perbuatan itu dan atas dasar kehendaknya
sendiri.
B. Orang yang menerima wakaf jelas, baik berupa organisasi atau perorangan.
C. Barang yang diwakafkan berwujud nyata pada saat diserahkan.
D. Jelas ikrarnya dan penyerahannya, lebih baik tertulis dalam akte notaris sehingga jelas
dan tidak akan menimbulkan masalah dari pihak keluarga yang memberikan wakaf.

5. Macam-macam Wakaf
Wakaf dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Wakaf Ahly (wakaf khusus), yaitu wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang
tertentu, seorang atau lebih, baik ada ikatan keluarga atau tidak. Misalnya wakaf yang
diberikan kepada seorang tokoh masyarakat atau orang yang dihormati.

2. Wakaf Khairy (wakaf untuk umum), yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan
umum. Misalnya wakaf untuk Masjid, Pondok Pesantren dan Madrasah.

6. Perubahan Benda Wakaf


Menurut Imam Syafi’i menjual dan mengganti barang wakaf dalam kondisi apapun
hukumnya tidak boleh, bahkan terhadap wakaf khusus (waqaf Ahly) sekalipun, seperti
wakaf bagi keturunannya sendiri, sekalipun terdapat seribu satu macam alasan untuk
itu.Sementara Imam Maliki dan Imam Hanafi membolehkan mengganti semua bentuk
15

barang wakaf, kecuali masjid. Penggantian semua bentuk barang wakaf ini berlaku, baik
wakaf khusus atau umum (waqaf Khairy), dengan ketentuan :

1. Apabila pewakaf mensyaratkan (dapat dijual atau digantikan dengan yang lain), ketika
berlangsungnya pewakafan.
2. Barang wakaf sudah berubah menjadi barang yang tidak berguna.
3. Apabila penggantinya merupakan barang yang lebih bermanfaat dan lebih
menguntungkan.
4. Agar lebih berdaya guna harta yang diwakafkan.

7. Hikmah Wakaf
Hikmah disyari’atkannya wakaf, antara lain sebagai berikut :
1. Menanamkan sifat zuhud dan melatih menolong kepentingan orang lain.
2. Menghidupkan lembaga-lembaga sosial maupun keagamaan demi syi’ar Islam dan
keunggulan kaum muslimin.
3. Memotivasi umat Islam untuk berlomba-lomba dalam beramal karena pahala wakaf akan
terus mengalir sekalipun pemberi wakaf telah meninggal dunia.
4. Menyadarkan umat bahwa harta yang dimiliki itu ada fungsi sosial yang harus
dikeluarkan.

Bagian VI
HIBAH, SHADAQAH DAN HADIAH

A. HIBAH
1. Pengertian dan Hukum Hibah
Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup
tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.
Firman Allah SWT. :

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
16

miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan
(memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177).

Memberikan Sesutu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan
terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.
Sabda Nabi SAW. :

“Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang
siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia
minta, hendaklah diterima (jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian
yangdiberikan Allah kepadanya” (HR. Ahmad).

2. Rukun dan Syarat Hibah


a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan
sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak
ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam
kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya,
barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat
dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d. Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan
tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.

3. Macam-macam Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
17

1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup
materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi
(harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.

2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau
barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi
hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak
guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan
hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah)
karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus
dikembalikan.

4. Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecualii hibah
orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
‫ب ِهبَةً فَيَ ْر ِج ُع فِ ْي َها إِالَّ ْال َوا ِل ِدفِ ْي َمايُ ْع ِطى ِل َولَ ِد ِه‬
َ ‫الَيَ ِح ُّل ِل َر ُج ٍل ُم ْس ِل ٍم أ َ ْن يُ ْع ِطىعَ ِطيَّةًأَ ْويَ َه‬

“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali
seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. :

“Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya
kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).

Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :


1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu
demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari
pihak lain.
18

5. Beberapa Masalah Mengenai Hibah


A. Pemberian Orang Sakit yang Hampir Meninggal
Hukumnya adalah seperti wasiat, yaitu penerima harus bukan ahli warisnya dan
jumlahnya tidak lebih dari sepertiga harta. Jika penerima itu ahli waris maka hibah itu tidak
sah. Jika hibah itu jumlahnya lebih dari sepertiga harta maka yang dapat diberikan kepada
penerima hibah (harus bukan ahli waris) hanya sepertiga harta.
1. Penguasaan Orang Tua atas Hibah Anaknya
Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang bapak boleh menguasai barang yang
dihibahkan kepada anaknya yang masih kecil dan dalam perwaliannya atau kepada anak
yang sudah dewasa, tetapi lemah akalnya. Pendapat ini didasarkan pada kebolehan meminta
kembali hibah seseorang kepada anaknya.

6. Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
3. Dapat mempererat tali silaturahmi
4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.

B. SHADAQAH DAN HADIAH


1. Pengertian dan Dasar Hukum Shadaqah dan Hadiah
Shadaqah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya
imbalan dengan harapan mendapat ridla Allah SWT. Sementara hadiah adalah akad
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai
penghormatan atas suatu prestasi. Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga
dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk shadaqah. Hal ini sesuai
dengan Sabda Rasulullah SAW. :
ٌ‫صدَقَة‬
َ َ‫ىوجْ ِه أَ ِخيْكَ لَك‬ ُّ َ‫)رواهالبخارى(تَب‬
َ ‫س ُمكَ ِف‬

“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian dari shadaqah” (HR. Bukhari).
19

Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam kepada orang diluar Islam atau sebaliknya
adalah boleh karena persoalan ini termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesama
manusia (hablum minan naas).

2. Hukum Shadaqah dan Hadiah


A. Hukum shadaqah adalah sunah
B. Hukum hadiah adalah mubah artinya boleh saja dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Sabda Rasulullah SAW. :

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW.telah bersabda sekiranya saya diundang untuk makan
sepotong kaki binatang, undangan itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki
binatang dihadiahkan kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).

3. Perbedaan antara Shadaqah dan Hadiah


A. Shadaqah ditujukan kepada orang terlantar, sedangkan hadiah ditujukan kepada orang
yang berprestasi.
B. Shadaqah untuk membantu orang-orang terlantar memenuhi kebutuhan pokoknya,
sedangkan hadiah adalah sebagai kenang-kenangan dan penghargaan kepada orang yang
dihormati.
C. Shadaqah adalah wajib dikeluarkan jika keadaan menghendaki sedangkan hadiah
hukumnya mubah (boleh).

4. Syarat-syarat Shadaqah dan Hadiah


A. Orang yang memberikan shadaqah atau hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah
perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya
(seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
B. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang
terlantar.
C. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau
hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
D. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
20

5. Rukun Shadaqah dan Hadiah


A. Pemberi shadaqah atau hadiah.
B. Penerima shadaqah atau hadiah.
C. Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan memberikan, penerima menyatakan suka.
D. Barang atau Benda (yang dishadaqahkan/dihadiahkan).

6. Hikmah Shadaqah dan Hadiah


A. Hikmah Shadaqah
1). Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah
2). Dapat menghindarkan dari berbagai bencana
3). Akan dicintai Allah SWT.

B. Hikmah Hadiah
1). Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
2). Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :

“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan


kedengkian” (HR. Abu Ya’la).

“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan
menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).

Bagian VII
RIBA, BANK DAN ASURANSI

HUKUM RIBA BANK DAN ASURANSI


1. Pengertian dan Hukum Riba
Kata riba berasal dari bahasa arab, "roba -yurbi- ribaan" yang artinya "al-Ziyadah" yaitu
tambahan. Adapun menurut istilah .riba ialah suatu bentuk tambahan.pembayaran tanpa
21

ganti/imbalan sebagai syarat terjadinya transaksi utang piutang.Misalnya, Andi memberi


pinjaman kepada Anda dengan syarat Anda bersedia mengembalikan uang pokok dan
tambahan yang telah di tentukan Andi.Dengan demikian terjadinya utang piutang itu karena
ada syarat tambahan pembayaran tersebut. Tambahan dari utang pokok yang di syaratkan
oleh pihak peminjam itulah di sebut riba.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat di pahami bahwa riba sesungguhnya sama dengan
ekploitasi atau pemerasan dari seorang yang kaya kepada orang miskin. Praktek ekploitasi
ini sangat berbahaya dan merugikan bagi kalangan hidup manusia. Oleh karena itu, Islam
melarang dan mengharamkan riba dengan segala bentuknya.

Perhatikan firman Alloh SWT. (Qs.al-Baqoroh:276-277).


dan sabda rosululloh yang artinya
"Dari Jabir Ia berkata: Rosululloh SAW. melaknat orang orang yang memakan riba, yang
mewakilinya,,penulis dan dua orang saksinya. Kata Rosululloh: mereka itu sama saja,
(HR.Muslim)

2.Pengertian dan Hukum Bank


Bang adalaah lembaga keuangan yang bergerak mienghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan tabungan , kemudian menyalurkan melalui pinjaman, baik kepada
perorangan maupun kepada kelembagaan dengan sistem bunga.
dengan demikian , hakikat dan tujuan bang ialah untuk membantu masyarakat, baik dalam
menyimpan maupun meminjam berupa uang maupun barang berharga lainnya. Selain itu
juga ,untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi serta setabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Mengenai hukum bank dalam pandangan islam, para ulama salaf maupun kholaf masih
berselisih pendapat.ada yang mengatakan haram,boleh dan ,subhat.
Ulama yang mengatakan haram dengan alasan bahwa dalam perbankan pasti terdapat bunga,
bank tanpa bunga mustahir dapat berkembang. sementara itu dalam agama Islam, bunga itu
22

adalah riba, dan riba itu di haraman oleh Alloh SWT. kelompok ini di dukung oleh
asyafi'i,Abu Zahrah,Ahmad Zarqo dan Muhammad al-Arobi
Ulama yang membolehkan bank mempunyai alasan bahwa bank dalam suatu negara
merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa di elakkan, jadi bersipat darurat. kelompok ini
di dukung oleh Imam Ahmad , As-Suyuti, Muhammad saltut, dan Az-Zarqani.
Ulama yang mengatakan bank subhat. dengan alasan dalam satu sisi kebutuhan akan
perbankan bersifat darurat, tapi di sisi lain bank juga menerapkan dengan sistem bungsa/
rente yang jelas di haramkan oleh Agama. oleh sebab itu hukum bank masih belum jelas,
apakah halal atau haram.
Di negara kita Indonesia, pada pertengahan Desember 2003 lalu MUI mengeluarkan
maklumat fatwanya bahwa bunga bank itu haram. Hal ini berarti bahwa bank konvensional
yang menerapkan sistem bunga pun haram(KEMENAG RI,2014).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa Mu’amalah adalah satu aspek dari
ajaran yang telah melahirkan peradaban Islam yang maju di masa lalu. Ia merupakan satu bagian dari
syari’at Islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia, masyarakat dan
alam. Karena mu’amalah merupakan aspek dari ajaran Islam, maka ia juga mengandung aspek teologis
dan spiritual. Aspek inilah yang merupakan dasar dari mu’amalah tersebut. Dan juga memahami bagian-
bagian yang telah terpapar diiatas.
Diharapkan dengan pemahahaman dan pembahasan yang kami paparkan diatas bisa Member
motivasi agar bisa memahami konsep umum tentang hakikat fikih mu’amalah

B. Saran

Setelah membahas mu’amalah ini. Maka kami berharap agar ini dipelajari lebih mendalam,
khususnya dalam memahami dan menjelaskan fikih muamalah
23

DAFTAR PUSAKA

M. Suparta, MA, Fiqih, Madrasah Aliyah, Kelas satu, PT Karya Toha Putra,2004
Kementerian Agama RI,Fiqih, Madrasah Aliyah kelas X, 2014

Anda mungkin juga menyukai