Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

BA’I ATAU JUAL BELI

“Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muammalahl”

Dosen Pengampu:

Disusun Oleh:

Greina Y. Angraini 11210530000016


Vladislav Rizky Enrian 11210530000113
Muhammad Irsyad Syafiq 11210530000152

KONSENTRASI MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH


PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhaanahu wa Ta'ala


yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah “Bai atau Jual Beli” ini
dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam yang telah membimbing umat manusia dari
berbagai macam permasalahan menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengetahuan bagi
para pembacanya. Demikian ini kami berusaha menyusun makalah ini selengkap-lengkapnya.
Akan tetapi, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, karena keterbatasan dan
kekurangan pengetahuan serta minimnya pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi pembuatan makalah berikutnya.
Berpegang pada prinsip tidak ada gading yang tak retak dan tidak ada istilah final
dalam ilmu, maka saya menyadari bahwa makalah ini bukan karya yang final. Insyaa Allah
masih ada karya-karya selanjutnya. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, menerima
kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini serta menjadikan
pembelajaran bagi kami pada karya-karya berikutnya.
Dan kami sebagai penyusun makalah ini berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat dalam mencapai suatu tujuan yang diharapkan. Aamiin yaa Robbal’alamin .
Dan dengan ini kami sebagai penyusun makalah ini juga mengucapkan banyak
terimakasih kepada Bapak Khaeron Sirin, MA, MDC, CM Selaku dosen pembimbing kami di
mata kuliah Fiqh Muammalah.

Ciputat, 20 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2

Bab II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Pengertian dan Manfaat Jual Beli.......................................................................3
B. Dasar Hukum Jual Beli.........................................................................................4
C. Rukun Jual Beli ....................................................................................................6
D. Macam-Macam Jual Beli yang dibolehkan dan dilarang...................................13
E. Khiyar dalam Jual Beli........................................................................................21

Bab III PENUTUP.........................................................................................................26


DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mekah sebelum Islam datang adalah sebuah pusat perdagangan. Ketika Nabi
Muhammad SAW. lahir (570 M), kota ini adalah salah satu wilayah jazirah Arab yang
penting dan terkenal baik karena tradisi maupun letak geografisnya. Letaknya antara
Yaman di bagian selatan dan Syiria dibagian utara. Daya tarik lain adalah adanya
sumur zam-zam dan kabah, sehingga tidak hanya menjadi pusat perdagangan tetapi
juga pusat ibadah. Kehidupan perniagaan penduduk Mekah telah diabadikan dalam
sejarah Islam. Kondisi daerah yang tandus dan berbatu menyebabkan aktivitas
ekonomi perdagangan ebih berkembang pesat. Hal ini berbeda dengan Madinah yang
cukup subur dengan tingkat kelembaban dan curah hujan yang memadai, sehingga
aktivitas ekonomi yang berkembang adalah agrikultura, hortikultura, dan beternak
(Djamil, 2013: 233).
Islam lahir dan merubah segala bentuk transaksi jual beli yang tidak sesuai
dengan syariah. Hal tersebut dilakukan pula oleh Nabi Muhammad SAW dalam
menyebarkan ajaran Islam, melalui praktik perdagangan yang jujur sehingga sukses
menarik hati masyarakat setempat. Praktik jual beli dalam Islam memiliki tata aturan
jelas, yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Jual beli dimasyarakat merupakan kegiatan rutinitas yang dilakukan setiap
waktu oleh semua manusia. Tetapi jual beli yang benar menurut hukum Islam belum
tentu semua orang muslim melaksanakannya. Bahkan ada pula yang tidak tahu sama
sekali tentang ketentutan-ketentuan yang di tetapkan oleh hukum Islam dalam hal jual
beli (bisnis).
Di dalam al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber hukum Islam banyak
memberikan contoh atau mengatur bisnis yang benar menurut Islam. Bukan hanya
untuk penjual saja tetapi juga untuk pembeli. Sekarang ini lebih banyak penjual yang
lebih mengutamakan keuntungan individu tanpa berpedoman pada ketentuan-
ketentuan hukum Islam. Mereka cuma mencari keuntungan duniawi saja tanpa
mengharapkan barokah kerja dari apa yang sudah dikerjakan.
Setiap manusia yang lahir di dunia ini pasti saling membutuhkan orang lain,
aka selalu melakukan tolong–menolong dalam menghadapi berbagai kebutuhan yang
beraneka ragam, salah satunya dilakukan dengan cara berbisnis atau jual beli. Jual beli
merupakan interaksi sosial antar manusia yang berdasarkan rukun dan syarat yang
telah di tentukan. Jual beli diartikan “al-bai’, al-Tijarah dan al- Mubadalah”. Pada
intinya jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar barang atau benda yang
mempunyai manfaat untuk penggunanya, kedua belah pihak sudah menyepakati
perjanjian yang telah dibuat. Kita perlu mengetahui bagaimana cara berjual
beli menurut syariat. Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami membahas
mengenai bahas mengenai jual beli, karena sangat kental dengan
kehidupan masyarakat. Disini pula akan kita bahas jual beli mengeniai khiyar.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Bai?
2. Bagaimana pengaplikasian Bai dan problemnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep Bai.
2. Menambah wawasan tentang aplikasi Bai dan problemnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Manfaat Jual Beli


1. Pengertian Jual Beli
Jual beli merupakan akad yang umum digunakan oleh masyarakat, karena
dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk
meninggalkan akad ini. Untuk mendapatkan makanan dan minuman misalnya,
terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan sendirinya, tapi
akan membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain, sehingga kemungkinan besar
akan terbentuk akad jual beli.
Jual beli terdiri dari kata “jual” dan “beli” yang memiliki arti saling bertolak
belakang. Kata jual menunjukan bahwa adanya perbuatan menjual sedangkan kata
beli adalah adanya perbuatan membeli. Secara etimologi fikih jual beli disebut dengan
al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang
lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fikih terkadang dipakai untuk pengertian
lawannya, yaitu lafal al-syira yang berarti membeli. Dengan demikian, al-ba’i
mengandung arti menjual sekaligus beli.
Secara bahasa, jual beli berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Sayyid
Sabiq mengartikan jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara mutlak. Bai'
menurut menukar sesuatu dengan imbalan sesuatu yang lain, seperti menukar barang
dagangan dengan mata uang (menjual). Jenis harta yang dijual dinamakan mabi'
(barang yang dijual), sedangkan alat tukarnya dinamakan tsaman (uang pembayaran).
Bai' dalam pengertian bahasa tidak membedakan antara jual beli barang yang suci dan
yang najis, ataupun barang yang dimanfaatkan atau tidak, seperti khamr.1
Secara istilah menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta
dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta di
sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecenderungan manusia
untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah sighat atau ungkapan
ijab dan qabul.2

1
Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mahzab: Fiqh Ibadah dan Muamalah, Jakarta: Amzah, 2016.
2
Rachmad Syafi’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 91.

3
Imam Hanafi yang dikutip oleh Imam Mustafa berpendapat bahwa jual beli
merupakan tukar menukar harta atau barang dengan cara tertentu atau tukar menukar
sesuatu yang disenangi dengan barang yang setara nilai dan manfaatnya nilainya
setara membawa manfaat bagi masing-masing pihak (Mustofa, 2014:19). Sayyid
Sabiq mendefiniskan jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling
merelakan atau memindahkan barang dengan ganti yang dapat dibenarkan (Az-
Zuhaili, 2011: 25). Jual beli berarti pula saling tukar harta dengan harta melalui cara
tertentu atau tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui
cara tertentu yang bermanfaat (Az – Zuhaili, 2011: 25). Sedangkan menurut Pasal 20
ayat 2 Kompilasi Ekonomi Syariah yang dikutip oleh Mardani bahwa ba’i adalah jual
beli antara benda dengan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang (Mardani,
2012: 101).
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Al Majmu’, al Bai’ adalah pertukaran
harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki. Menurut Ibnu Qudamah, jual beli
adalah tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikannya
dan menerima hak milik.3
B. Dasar Hukum Jual Beli
Al-Ba’i atau jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas
dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur‟an, Al-Hadist maupun Ijma‟ ulama. Di antara
dalil yang memperbolehkan praktik akad jual beli adalah sebagai berikut:
1. Q.S an-Nisaa’ (4): 29

‫َيٰٓـَأُّيهَا ٱَّلِذ يَن َء ا ُنو۟ا اَل َتْأُك ُلٓو ۟ا َأْم َٰو َلُك م َبْيَنُك م ٱْلَبٰـِط ِل ِإٓاَّل َأن َتُك وَن ِتَج ٰـَر ًة َعن َتَر اٍۢض ِّم نُك ْم ۚ َو اَل َتْقُتُلٓو ۟ا‬
‫ِب‬ ‫َم‬
‫َأنُفَس ُك ْم ۚ ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبُك ْم َرِح يًۭم ا‬

Artinya: “Hai orang-oang yang beriman janganlah kalian saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
sukarela di antaramu”
Allah mengharamkan kepada umat Islam memakan harta sesama dengan jalan batil,
misalnya dengan cara mencuri, korupsi, menipu, merampok, memeras, dan dengan jalan
lain yang tidak dibenarkan Allah., kecuali dengan jalan perniagaan atau jual beli dengan
didasari atas dasar suka sama suka dan saling menguntungkan.

3
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, juz 5. Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 26

4
2. QS. Al-Baqarah (2): 275

‫َّلِذ يَن َيۡأ ُك ُلوَن ٱلِّر َبٰو ْا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم ٱَّلِذ ي َيَتَخَّبُطُهٱلَّشۡي َٰط ُن ِم َن ٱۡل َم ِّۚس َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهۡم َقاُلٓو ْا ِإَّنَم ا ٱۡل َبۡي ُع ِم‬
‫ْۚا‬ ‫ْۗا‬
‫ة ِّم ن َّرِّبِهۦ َفٱنَتَهٰى َفَل ۥُهَم ا َس َلَف َو َأۡم ُر ٓۥُه ِإَلى ٱِۖهَّلل َو َم‬ٞ‫ۡث ُل ٱلِّر َبٰو َو َأَح ٱَّلُهَّلل ٱۡل َبۡي َع َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو َفَم ن َج ٓاَء ۥُه َم ۡو ِع َظ‬
‫ۡن َعاَد َفُأْو َلٰٓـِئَك َأۡص َٰح ُب ٱلَّناِۖر ُهۡم ِفيَهاَٰخ ِلُد وَن‬

Artinya: “Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syetan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan Riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu harus berhenti, maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya kepada Allah. Orang-
orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.”4
Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah
menghalalkan jual beli kepada hamba-hamban-Nya dengan baik dan melarang praktek
jual beli yang mengandung riba.
3. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫الَّتاِج ُر الَّصُد ْو ُق اَأْلِم ْيُن َم َع الَّنِبّييَن َو الِّص ِّدْيِقْيَن َو الُّش َهَداِء‬


Artinya: “ Dari Ibnu Umar ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: Pedagang yang
benar (jujur), dapat dipercaya dan muslim, beserta para Syuhada pada hari kiamat.” (HR.
Ibnu Majah)5
Berdasarkan hadist diatas bahwa jual beli hukumnya mubah atau boleh, namun jual
beli menurut Imam Asy Syatibi hukum jual beli bisa menjadi wajib dan bisa haram
seperti ketika terjadi ihtikar yaitu penimbunan barang sehingga persedian dan harga
melonjak naik. Apabila terjadi praktek semacam ini maka pemerintah boleh memaksa
para pedagang menjual baraang sesuai dengan harga dipasaran dan para pedagang wajib
memenuhi ketentuan pemerintah didalam menentukan harga dipasaran serta pedangan
juga dapat dikenakan saksi karena tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan
ekonomi rakyat.

4
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, Syamil Cipta Media, 2005, hlm. 82.
5
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2, Nomor Hadist 2139, CD Room, Maktabah Kutub Al-Mutun,
Silsilah Al-Ilm An-Nafi, Seri 4, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm. 724

5
4. Ulama muslim sepakat atas kebolehan akad jual beli.
Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan
sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan
diberikan dengan begitu saja, namun terdapat konpensasi yang harus diberikan. Dengan
disyari’atkannya, jual beli merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan
kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan
dan bantuan orang lain.6
Adapun dasar Ijma’ tentang kebolehan Ijma’ adalah sebagaimana yang telah
diterangkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam kitabnya Fath al-Bari sebagai berikut:
Telah terjadi ijma’ oleh orang-orang Islam tentang kebolehan jual beli dan hikmah jual
beli adalah kebutuhan manusia tergantung pada sesuatu yang ada ditangan pemiliknya
terkadang tidak begitu saja memberikan kepada orang lain.
Berdasarkan dalil tersebut diatas, maka jelaslah bahwa hukum jual beli adalah
jaiz (boleh). Namun tidak menutup kemungkinan perubahan status jual beli itu sendiri,
semuanya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun jual beli.

C. Rukun-rukun Jual Beli Dalam Islam


Setelah diketahui pengertian dan dasar hukumnya, bahwa jual beli (bisnis)
merupakan pertukaran harta atas dasar saling rela dan atas kesepakatan bersama.
Suapaya bisnis yang kita lakukan itu halal, maka perlu memperhatikan rukun dan syarat
jual beli (bisnis). Rukun secara bahasa adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya
suatu pekerjaan. Sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus
diindahkan dan dilakukan. Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun
(Arab, rukn) jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang
dansandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan syarat
(Arab, syarth jamaknya syara’ith) secara literal berarti pertanda, indikasi dan
memastikan
Islam secara jelas seperti yang telah diuraikan berdasarkan Alquran dan hadis
menganjurkan jual beli sebagai salah satu kegiatan ekonomi. Hal itu pula telah
dilakukan Nabi Muhammad SAW semasa hidup beliau. Akan tetapi dalam masalah
jual beli ini membutuhkan rukun dan syaratnya. Menurut jumhur ulamak rukun jual
beli itu ada empat, yaitu:

6
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015, hlm. 73

6
1 . Akad (ijab qobul),
pengertian akad menurut bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu
barang. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh ijab qabul menurut cara yang
disyariatkan sehingga tampak akibatnya. Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddiqy aqad
secara bahasa:

‫الربط وهو جمع طرف جبلينر ويشد احدهما باالخر حتى يتصكال فيصبحا‬
‫كقطعة واحدة‬

Al Rabt (mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya
dengan yang lain, sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sebagai sepotong
benda (1979: 21).
Sedangkan aqad menurut istilah:

‫ارتباط االجياب بقبول عىل وجه مرشوع يثيت القراىض‬

(Perkataan antara ijab qabul dengan cara yang dibenarkan oleh syara’ yang
menetapkan kedua belah pihak) (Hasby,1979: 21).
Dengan demikian akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum
dikatakan sah sebelum ijab dan qobul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan
kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan atau tulis. Ijab qabul
dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi
(penyerahan barang dan penerimaan uang). Pada dasarnya akad bapat dilakukan
dengan lisan langsung tetapi bila orang bisu maka ijab qobul tersabut dapat
dilakukan dengan surat menyurat yang pada intinya mengandung ijab qobul.

2. Orang yang berakad (subjek)

dua pihak terdiri dari bai’(penjual) dan mustari (pembeli). Disebut juga aqid,
yaitu orang yang melakukan akad dalam jual beli, dalam jual beli tidak mungkin
terjadi tanpa adanya orang yang melakukannya, dan orang yang melakukan harus:

7
1) Beragama Islam, syarat orang yang melakukan jual beli adalah orang Islam,
dan ini disyaratkan bagi pembeli saja dalam benda-benda tertentu. Misalnya,
seseorang dilarang menjual hamba sahaya yang beragama islam sebab besar
kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama islam.
Sedangkan Allah melarang orang0orang mukmin memberi jalan kepada
orang kafir untuk merendahkan mukmin, dalam firmannya:

‫َو َلْن َْيَعَل اَّلُل ِلْلَك ِفِر يَن َع َل اْلُم ْؤ ِمِنيَن َس ِبيًل‬
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang- orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa:141)

2) Berakal, yang dimaksud dengan orang yang berakal disini adalah orang yang
dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik baginya. Maka orang
gila atau bodoh tidak sah jual belinya, sekalipun miliknya sendiri.
Sebagaiman firman Allah dalam surat An-Nisa: 5

‫َو َل ُتْؤ ُتوا الُّس َفَهاَء َأْم َو اَلُُك اَّلِت َجَعَل اَّلُل َلُْك ِقَياًم ا َو اْر ُز ُقوُْه ِفيَها‬
‫َو اْك ُس وُْه َو ُقوُلوا َلُهْم َقْو ًل َم ْعُروًفا‬
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan, berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik” (QS. An-
Nisa:5)
3) Dengan kehendaknya sendiri, yang dimaksud dengan kehendaknya sendiri
yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tidak dipaksa. Hal ini
berdasarkan Hadis nabi Muhammad SAW

‫َع ْن َداُوَد ْبِن َص اِلٍح اْلَم ِد يِِّن َع ْن َأِبيِه َقاَل َِس ْع ُت َأَب َسِع يٍد اْلُخ ْد ِر َّي َيُقوُل‬
‫َقاَل َر ُسوُل اَّلِل َص َّل اَّلُل َع َلْيِه َو َس ََّل ِإنََّم ا اْلَبْيُع َع ْن َتَر اٍض‬
“Dari Daud Ibn Salih al-Madani dari ayahnya ia berkata “saya mendengar
Abi Said al-Khudri berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya
jual beli itu berdasarkan dari adanya saling kerelaan” (HR. Ibnu Majah).
4) Baligh, baligh atau telah dewasa dalam hukum Islam batasan menjadi
seorang dewasa bagi laki-laki adalah apabila sudah bermimpi atau berumur
15 tahun dan bagi perempuan adalah sesudah haid.

8
5) Keduanya tidak mubazir, yang dimaksud dengan keduanya tidak mubazir
yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut
bukanlah manusia yang boros (mubazir). Sebagaimana disebutkan dalam al-
Qur’an surat an-Nisa’ ayat 5 tersebut di atas.

3. Ma’kud ‘alaih (objek) untuk menjadi sahnya

jual beli harus ada ma’qud alaih yaitu barang menjadi objek jual beli atau yang
menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli. Barang yang di- jadikan sebagai objek
jual beli ini harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:

1) Bersih barangnya, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan


bukanlah benda yang dikualifikasikan kedalam benda najis atau termasuk
barang yang digolongkan diharamkan. Hal ini berdasarkan hadis Nabi
Muhammad SAW:

‫َع ْن َج اِبِر ْبِن َع ْبِد اَّلِل َأنَُّه َِسَع َر ُسوَل اَّلِل َص َّل اَّلُل َع َلْيِه َو َس ََّل َيُقوُل َعاَم‬
‫اْلَفْتِح َو ُهَو ِبَم َّك َة ِإَّن اَّلَل َو َر ُسوَُل َح َّر َم َبْيَع اْلَخ ْم ِر َو اْلَم ْيَتِة َو اْلِخ ِْنيِر َو اَْلْص َناِم‬
‫َفِقيَل َي َر ُسوَل اَّلِل َأَر َأْيَت ُُش وَم اْلَم ْيَتِة َفِإنَُّه ُيْطَل َِبا الُّس ُفُن َو ُيْد َهُن َِبا‬
‫اْلُج ُلوُد َو َي سَْتْص ِبُح َِبا الَّناُس َفَقاَل َل ُهَو َحَر اٌم َُّث َقاَل َر ُسوُل اَّلِل َص َّل اَّلُل‬
‫َع َلْيِه َو َس ََّل ِع ْنَد َذ َِل َقاَتَل اَّلُل اْلَُيوَد ِإَّن اَّلَل َع َّز َو َج َّل َلَّم ا َح َّر َم َع َلِْيْم‬
‫ُُش وَم َها َأَْج ُلوُه َُّث َبُعوُه َفَأَُك وا ثََم َنُه‬
Dari Jabir Ibn Abdillah, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada
tahun kemenangan Makkah: “Sesungguhnya Allah telah melarang
(mengharamkan) jual-beli arak, bangkai, babi dan patung” lalu seseorang
bertanya “bagaimana dengan lemak bangkainya, karena dipergunakan untuk
mengecat kayu dan minyaknya untuk lampu penerangan? Kemudian Rasulullah
SAW menjawab “Mudah-mudahan Allah melaknat orang-orang yahudi karena
sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak bangkai pada mereka, tetapi
menjadikannya, menjualnya serta memakannya (hasilnya).

9
Dalam hadis di atas menurut Syafi’iyah diterangkan bahwa arak, bangkai,
babi dan patung adalah haram dijual belikan karena najis, adapun berhala jika
dipecahpecah menjadi batu biasa boleh dijual sebab dapat digunakan untuk
membangun gedung atau yang lainnya.
2) Dapat dimanfaatkan, maksudnya yaitu barang yang diperjual belikan harus ada
manfaatnya sehingga tidak boleh memperjual belikan barang-barang yang tidak
bermanfaat.
3) Milik orang yang melakukan aqad, maksudnya bahwa orang yang melakukan
perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah pilihan sah barang tersebut dan
atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian jual
beli barang yang dilakukan oleh yang bukan pemilik atau berhak berdasarkan
kuasa si pemilik dipandang sebagai perjanjian yang batal (al- Jaziri, 2003:.103).
4) Mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjual belikan dapat diketahui
oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya, sifatnya dan
harganya. Sehingga tidak terjadi kekecewaan diantara kedua belah pihak.
5) Barang yang di aqadkan ada ditangan, maksudnya adalah perjanjian jual beli
atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam kekuasaan penjual)
adalah dilarang, sebab bisa jadi barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan
sebagaimana telah diperjanjikan (Chairuman dan Suhwardi, 1996: 40).
6) Mampu menyerahkan, maksudnya adalah keadaan barang haruslah dapat
diserah terimakan. Jual beli barang tidak dapat diserah terimakan, karena apabila
barang tersebut tidak dapat diserah terimakan, kemungkinan akan terjadi
penipuan atau menimbulkan kekecewaan pada salah satu pihak.
Benda yang diperjual belikan dapat mencakup barang atau uang, sifat
benda harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan
penggunaanya menurut syara’. Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang
terlarang lainnya haram diperjual belikan sehingga jual beli tersebut dipandang
batal jika dijadikan harga tukar menukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.
4. Ada nilai tukar pengganti barang,
nilai tukar pengganti barang, yaitu sesuatu yang memenuhi tiga syarat; bisa
menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of
account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).

10
Empat rukun tersebut, memuat beberapa syarat yang harus di penuhi dalam jual-beli
(bisnis), yaitu
 Syarat sahnya ijab qobul dalam kitab fiqh disebutkan minimal ada tiga;
a) Jangan di selingi dengan kata–kata lain antar ijab qobul,
b) Orang – orang yang berakad (penjual dan pembeli)
c) Jangan ada yang memisahkan maksudnya penjual dan pembeli masih ada interaksi
tentang ijab qobul.

 Syarat sahnya penjual dan pembeli sebagai berikut;


a) Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. “Dan janganlah kamu berikan hartamu
kepada orang-orang yang bodoh”. (an-Nisaa’/4: 5),
b) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli dalam benda benda tertentu.
Misalnya, dilarang menjual hamba yang beragama Islam kepada orang kafir, karena di
takutkan pembeli merandahkan orang yang beragama Islam. Sebagimana firman
Allah: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang- orang kafir
untuk memusnakan orang-orang yang beriman”. (an- Nisaa’/4:141),
c) Ada benda atau barang yang di perjualkan belikan (ma’kud alaih)
d) Tidak mubazir (pemborosan) dan kehendak sendiri tidak ada paksaan dari pihak lain.

 Syarat sahnya barang yang dijual belikan diantaranya;


a) Harus suci dan tidak terkena dengan najis, seperti anjing, babi dan kotoran hewan,
kecuali kondisi dharurah dan ada asas manfaatnya. Misalanya, kotoran hewan untuk
pupuk tanaman, anjing untuk keamanan,
b) Tidak boleh mengkait–kaitkan dengan sesuatu, seperti, apabila ayahku meninggal, aku
akan menjual motor ini,
c) Tidak boleh di batasi waktunya, penjual tidak boleh mensyaratkan atau ketentuan
untuk membayar tetapi hak itu merupakan hak dari pembeli karena itu salah satu
sebab kepemilikan,
d) Barang dapat diserahkan setelah kesepakatan akad,
e) Barang yang diperjual belikan milik sendiri, akad jual beli tidak akan sah apabila
barang tersebut hasil mencuri atau barang titipan yang tidak diperintahkan untuk
menjualkan,
f) Barang yang diperjual belikan dapat diketahui (dilihat),
g) Barang yang diperjual belikan harus diketahui kualitasnya, beratnya, takarannya dan
ukurannya, supaya tidak menimbulkan keraguan.

11
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat
Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu
a) Jual beli benda yang kelihatan,
b) Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
c) Jual beli benda yang tidak ada.
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad jual beli benda atau
barang yang diperjual belikan ada di depan penjual dan pembeli, hal ini lazim dilakukan
masyarakat banyak, seperti membeli beras di pasar dan boleh dilakukan. Jual beli yang
disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut
kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam
pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga
tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya
ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika
akad. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang
oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga
dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya
dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
Di samping itu, ada beberapa syarat lain berkaitan dengan jual beli, yaitu berkaitan
dengan akad salam (pesanan)
a) Sifatnya harus memungkinkan dapat dijangkau pembeli untuk dapat ditimbang atau
diukur,
b) Dalam akad harus disebutkan kualitas dari barang yang akan diperjual belikan,
c) Barang yang di serahkan sebaiknya barang yang di perjual belikan dipasar
d) Harga hendaknya disetujui pada saat ditempat akad berlangsung. Apabila dalam akad
salam (pesanan) penjual dan pembeli tidak melaksanakan salah satu syarat yang telah
ditentukan maka akad jual beli itu belum dikatakan sah dalam syara’ yang berlaku

 Syarat Jual Beli Online


a) Penjual harus melampirkan foto produk.
b) Menyertakan spesifikasi secara lengkap.
c) Menyediakan garansi jika ada kecacatan.
Adanya syarat Jual Beli Online menandakan bahwa adanya perkembangan ekonomi yang
terjadi yang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Islam itu sendiri.

12
D. Jenis-Jenis Jual Beli yang Dibolehkan dan Dilarang
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli, maka dapat dikemukakan
pendapat Imam Taqiyyudin, bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk, sebagai berikut.

‫اْلُبُيوُع َثالَثًة َبْيُع َعْين ُم َنا َهَده َو َبْيُع َش ْيًئ َم ْو ُصوَف ِفي الَّد َّمِة َو َبْيُع َغاِلَبة َلْم ُتَش اِهُد‬

"Jual beli itu ada tiga macam. I) jual beli benda yang kelihatan, 2) jual beli yang
disebutkan sifat- sifatnya dalam janji, dan 3) jual beli benda yang tidak ada."
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad, benda atau
barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan
masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar. Jual beli yang
disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut
kebiasaan para pedagang, salam jual dilakukan untuk jual beli yang tidak tunai (kontan).
Salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu, maksudnya ialah
perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu,
sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.7
Dalam salam, berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat tambahannya
sebagai berikut
I. Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau
oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang, maupun diukur.
II. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa meninggikan dan
merendahkan harga barang itu, umpamanya benda tersebut berupa kapas,
sebutkan jenis kapas saclarndes nomor satu, nomor dua, dan seterusnya, kalau
kain, sebutkan jenis kainnya. Pada intinya, sebutkan semua identitas yang dikenal
oleh orang-orang ahli di bidang yang menyangkut kualitas parang tersebut.
III. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapatkan di
pasar.

7
Drs. Sohari Sahrani, M.M, M.H & Dra. Hj. Ru’fah Abdullah, M.M, Fikih Muamalah, (Cilegon: Ghalia
Indonesia, 2011) hlm

13
IV. Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.

Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat, ialah jual beli yang
dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu atau masih gelap, sehingga
dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya
dapat menimbulkan kecurigaan salah satu pihak. Sementara itu, merugikan dan
menghancurkan harta benda seseorang tidak diperbolehkan
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan. Akad jual beli yang
dilakukan dengan lisan adalah akad yang di lakukan oleh kebanyakan orang Bagi orang
bisu diganti dengan isyarat karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam
menampakkan kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak
dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan. Penyampaian akad jual beli melalui
utusan, perantara, tulisan, atau surat-menyurat sama halnya dengan ijab kabul dengan
ucapan, misalnya via pos dan giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli
tidak berhadapan dalam satu majelis akad, tetapi melalui pos dan giro, jual beli seperti ini
dibolehkan menurut syara. Dalam pemahaman sebagian ulama, bentuk ini hampir sama
dengan bentuk jual beli salam, hanya saja jual beli salam, hanya saja jual beli salam
antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majelis akad, sedangkan dan
jual beli via pos dan giro antara penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majelis
akad.
Selain itu, apabila ditinjau melalui metode penetapan harga, ba’i terbagi menjadi
dua:8
I. Ba'i Musawamah (jual beli dengan cara tawar-menawar), itu jual beli di mana
pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan
harga tertentu dan membuka peluang untuk ditawar. Ini bentuk asal ba'i.
II. Ba'i Amanah, yaitu jual beli di mana pihak penjual menyebut- kan harga pokok
barang lalu menyebutkan harga jual barang tersebut. Ba'i jenis ini terbagi lagi
menjadi tiga bagian:

8
Dr. Mardani, Fiqh: Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Pranada Media, 2012), hlm. 109-110

14
a. Ba'i Murabahah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan
laba. Misalnya: pihak penjual mengatakan, "Barang ini saya beli dengan harga
Rp 10.000,- dan saya jual dengan harga Rp 11.000,- atau saya jual dengan laba
10% dari modal."
b. Ba'i al-Wadh'iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang atau
menjual barang tersebut di bawah harga pokok. Misalnya, penjual berkata:
"Barang ini saya beli dengan harga Rp 10.000,- dan akan saya jual dengan
harga Rp 9.000,- atau saya potong 10% dari harga pokok."
c. Ba'i Tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya
dengan harga tersebut. Misalnya, pen- jual berkata, "Barang ibu saya beli
dengan harga Rp 10.000,- dan saya jual sama dengan harga pokok."

Jual beli yang dilarang terbagi dua: Pertama, jual beli yang dilarang dan
hukumnya tidak sah (batal), yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
Kedua, jual beli yang hukumnya sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah memenuhi
syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi kebolehan proses jual
beli.

I. Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun. Bentuk jual beli yang
termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
a. Jual beli barang yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjualbelikan. 9
Barang yang najis atau haram dimakan haram juga untuk diperjualbelikan,
seperti babi, berhala, bangkai, dan khamar (minuman yang memabukkan).
Rasulullah SAW, bersabda:

‫ِإَّن َهَّللا ِإَذ ا َح َّر َم َع َلى َقْو ٍم َأُك َل َش ْي ٍء َح َّر َم َع َلْيِهْم َثَم َنُه‬
(‫)رواه أبوداود وأحمد‬
"Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan memakan sesuatu maka Dia mengharamkan
juga memperjualbelikannya" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

9
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Taqwa, t.th) Jilid III hlm.
170

15
Termasuk dalam kategori ini, jual beli anggur dengan maksud untuk dijadikan
khamar (arak). Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

‫َلَع َن ُهللا اْلَخ ْمَر َو َش اِر َبَها َو َش اِقيَها َو َباِئَعَها َو ُم ْبَتاَع َها َو َعاِص َر َها َو َح اِم َلَها َو اْلَم ْح ُم وَلَة ِإَلْيِه‬
(‫)رواه البخاري‬.
"Allah melaknat khamar dan peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya,
pemeras anggurnya, yang menyuruh memerasnya, pembawanya, dan orang yang
menyuruh membawanya"(HR. Bukhari).
Adapun bentuk jual beli yang dilarang karena barangnya yang tidak boleh
diperjualbelikan adalah air susu ibu dan air mani (sperma) binatang. Para ulama fiqh
berbeda pendapat dalam masalah jual beli air susu ibu. Imam Syafi'i dan Imam Malik
membolehkan dengan mengambil analogi dan alasan seperti air susu hewan. Adapun
Imam Abu Hanifah melarangnya, alasannya, karena air susu merupakan bagian dari
daging manusia yang haram diperjualbelikan.
Larangan tentang jual beli mani (sperma) binatang berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:

‫ َنَهى َر ُسوُل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم َع ْن َص َر اِب اْلَفْح ِل‬: ‫َع ْن َج اِبٍر َقاَل‬
(‫)رواه مسلم والنسائ‬.
"Dari Jabir, Rasulullah saw. telah melarang menjual air mani (sperma) binatang
jantan" (HR. Muslim dan Nasa'i)."
Bentuk jual beli sebagaimana disebutkan di atas dilarang karena mengandung
kesamaran. Akan tetapi, boleh mengawinkan binatang ternak dengan jalan meminjam
pejantan tanpa ada keharusan pembayaran. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

‫َع ْن َأِبي َكْبَش َة َقاَل الَّنِبُّي صلى هللا عليه وسلم َم ْن َأْطَر َق َفْر ًش ا َفاْعَقَب َك اَن َلُه َك َأْج ِر َس ْبِع يَن َفْر ًش ا‬
)‫(رواه ابن حبان‬
"Dari Abi Kabsyah, Nabi SAW. bersabda: Siapa yang mencampurkan hewan
dengan hewan betina lalu mendapat anak, maka baginya ganjaran sebanyak 70 hewan".
(HR. Ibnu Hibban).

16
b. Jual beli yang belum jelas.
Sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar haram untuk diperjualbelikan, karena dapat
merugikan salah satu pihak, baik penjual, maupun pembeli. Yang dimaksud dengan samar-
samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa pembayarannya, maupun
unsur yang lainnya. Jual beli yang dilarang karena samar-samar antara lain:10
i. Jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya. Misalnya, menjual putik
mangga untuk dipetik kalau telah tua/masak nanti. Termasuk dalam kelompok
ini adalah larangan menjual pohon secara tahunan. Sabda Nabi SAW:

‫َع ْن َأَنِس اْبِن َم اِلٍك رضى ُهللا َع ْنُه َأَّن َر ُسْو َل ِهللا صلى هللا عليه وسلم َنَهى َع ِن َبْيِع الَّثَم اِر َح َّتى ُتْر ِهَي‬
)‫َأْو َقاَل َح َّتى َتْح َم اٌر (متفق عليه‬.

"Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah SAW. melarang menjual buah-
buahan sehingga tampak dan matang" (HR. Bukhari Muslim).

‫َع ْن َج اِبٍر اْبِن َع ْبِد ِهَّللا َأَّن الَّنِبَّي صلى هللا عليه وسلم َنَهى َع ِن اْلُمَع اَو َم ِة َو َقاَل َبْييع السنين‬
(‫)رواه مسلم وأبو داود‬.
"Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya Nabi SAW. melarang jual beli tahunan".
(HR. Muslim dan Abu Dawud).

ii. Jual beli barang yang belum tampak. Misalnya, menjual ikan di kolam/laut,
menjual ubi/singkong yang masih ditanam, menjual anak ternak yang masih
dalam kandungan induknya. Berdasarkan sabda Nabi saw:

)‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َر ِض َي ُهَّللا َع ْنُه َأَّن الَّنِبَّي صلى هللا عليه وسلم َنَهى َع ْن َبْيِع اْلَم َض اِم يَن (رواه البزار‬
"Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW melarang memperjualbelikan anak
hewan yang masih dalam kandungan induknya". (HR. Al-Bazzar).

10
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2005), Jilid V,
Cet.ke-8, hlm. 3304

17
c. Jual beli bersyarat.
Jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat- syarat tertentu yang tidak
ada kaitannya dengan jual beli atau ada unsur-unsur yang merugikan dilarang oleh
agama. Contoh jual beli bersyarat yang dilarang, misalnya ketika terjadi ijab kabul si
pembeli berkata: "Baik, mobilmu akan kubeli sekian dengan syarat anak gadismu harus
menjadi istriku". Atau sebaliknya si penjual berkata: "Ya, saya jual mobil ini kepadamu
sekian asal anak gadismu menjadi istriku. Dalam kaitan ini Nabi saw. bersabda:

)‫ُك ُّل َشْر ٍط َلْيَس ِفي ِكَتاِب ِهللا َع َّز َو َج َّل َفُهَو َباِط ٌل َو ِإْن َك اَن ِم اَئَة َش رط (متفق عليه‬.
"Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kibaullah maka ia batal walaupun
seratus syarat". (Disepakati oleh Bukhari dan Muslim).

d. Jual beli yang menimbulkan kemudaratan.


Segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemudaratan, kemaksiatan, bahkan
kemusyrikan dilarang untuk diperjual-belikan, seperti jual-beli patung, salib, dan buku-
buku bacaan porno. Memperjualbelikan barang-barang ini dapat menimbulkan perbuatan
maksiat. Sebaliknya, dengan dilarangnya jual beli barang ini, maka hikmahnya minimal
dapat mencegah dan menjauhkan manusia dari perbuatan dosa dan maksiat.

e. Jual beli yang dilarang karena dianiaya


Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram,
seperti menjual anak binatang yang masih membutuhkan (bergantung) kepada induknya.
Menjual binatang seperti ini, selain memisahkan anak dari induknya juga melakukan
penganiayaan terhadap anak binatang ini. Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari
bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

)‫َم ْن َفَّر َق َبْيَن اْلَو َلِد َو َو اِلِدِه ِفي اْلَبْيِع َفَّر َق ُهَّللا َع َّز َو َج َّل َبْيَنُه َو َبْيَن َأِح َّبِتِه َيْو َم اْلِقَياَم ِة (رواه أحمد‬
"Barang siapa memisahkan antara induk dan anaknya, nanti Allah akan
memisahkan dari orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat". (HR. Ahmad).

18
f. Jual beli Muhaqalah
Yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di sawah atau di ladang. Hal ini
dilarang agama karena jual beli ini masih samar-samar (tidak jelas) dan mengandung
tipuan.

g. Jual beli Mukhadharah


Yaitu menjual buah-buahan yang masih hijau (belum pantas dipanen). Seperti
menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil. Hal ini dilarang
agama karena barang ini masih samar, dalam artian mungkin saja buah ini jatuh tertiup
angin kencang atau layu sebelum diambil oleh pembelinya.

h. Jual beli Mulamasah


Yaitu jual beli secara sentuh menyentuh. Misalnya, seseorang menyentuh sehelai
kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh
berarti telah membeli kain ini. Hal ini dilarang agama karena mengandung tipuan dan
kemungkinan akan menimbulkan kerugian dari salah satu pihak.

i. Jual beli Munabadzah


Yaitu jual beli secara lempar melempar Seperti seseorang berkata: "Lemparkan
kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada
padaku". Setelah terjadi lempar melempar terjadilah jual beli. Hal ini dilarang agama
karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab kabul.

j. Jual beli Muzabanah


Yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi
kering dengan bayaran padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang (dikilo) sehingga
akan merugikan pemilik padi kering. Jual beli tersebut di atas dilarang, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW.

‫ َنَهى َر ُسوُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم عن بيع الُمَح اَفَلِة َو اْلُم َخ اَص َر ِة‬: ‫َع ْن َأَنٍس رضي هللا عنه َقاَل‬
)‫َو اْلُم اَل َم َسِة َو اْلُم َناَبَذ ِة َو اْلُم َز اِئلِة (رواه البخاري‬.
"Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw, telah melarang jual beli muhaqalah, mukhadharah,
mulamasah, munabadzah, dan muzabanah". (HR. Bukhari).

19
19
II. Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak- pihak terkait.
a. Jual beli dari orang yang masih dalam tawar-menawar
Apabila ada dua orang masih tawar-menawar atas sesuatu barang, maka terlarang
bagi orang lain membeli barang itu, sebelum penawar pertama diputuskan, sebagaimana
sabda Nabi SAW:

)‫ اَل َيْع َبْعُض ُك ْم َع َلى َبْيِع َبض (متفق عليه‬: ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم َقاَل‬
"Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: Janganlah menjual sesuatu yang telah
dibeli orang lain". (Muttafaq 'alaih).

b. Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar.


Maksudnya adalah menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat
membelinya dengan harga murah, sehingga ia kemudian menjual di pasar dengan harga
yang juga lebih murah. Tindakan ini dapat merugikan para pedagang lain, terutama yang
belum mengetahui harga pasar. Jual beli seperti ini dilarang karena dapat mengganggu
kegiatan pasar, meskipun akadnya sah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw.
bersabda:

)‫اَل َتَلَّقُو ا اْلَج َلَب َفَم ْن َتَلَّقاُه َفاْش َتَر ى ِم ْنُه َفِإَذ ا َأَتى َس ِّيُد ُه الُّسْو َق َفُهَو ِباْلِخ َياِر (رواه مسلم‬
"Janganlah kalian menghadang barang yang dibawa dari luar kota. Barangsiapa
menghadang lalu ia membeli barang darinya lalu yang punya barang datang ke pasar, maka
dia mempunyai hak khiyar". (HR. Muslim).

c. Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual


ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
Jual beli seperti ini dilarang karena menyiksa pihak pembeli disebabkan mereka
tidak memperoleh barang keperluannya saat harga masih standar. Dalam kaitan ini
Rasulullah saw. bersabda:

)‫ال َيْح َتِكُر ِإاَّل َخاِطَئ (رواه مسلم‬.


"Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang berbuat salah". (HR. Muslim)

20
‫ اْلَح اِلُب َم ْر ُز وٌق َو اْلُم ْح َتِكُر َم ْلُعْو َن‬:‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم‬, ‫َع ْن ُع َم َر اْبِن اْلَخ َّطاِب َقاَل‬
)‫(رواه ابن ماجه والحاكم‬.
"Dari Umar bin al-Khaththab telah bersabda Rasulullah saw. Saudagar itu diberi rezeki,
sedangkan yang menimbun itu dilaknat". (HR. Ibnu Majah dan Hakim).

d. Jual beli barang rampasan atau curian.


Jika pembeli telah tahu bahwa barang itu barang curian/rampasan, maka
keduanya telah bekerja sama dalam perbuatan dosa. Oleh karena itu, jual beli semacam
ini dilarang. Nabi saw. bersabda:

‫َمِن اْش َتَر ى َس ِرَقًة َو ُهَو َيْع َلُم َأَّنَها َس ِرَقٌة َفَقِد اْش َتَر َك ِفي ِإْثِمَها َو َعاِر َها‬
(‫)رواه البيهقي‬
"Barang siapa yang membeli barang curian sedangkan ia tahu bahwa itu barang curian
maka ia ikut dalam dosa dan kejelekannya". (HR. Baihaqi)

E. Khiyar Dalam Jual-Beli


Kata al-khiyar dalam bahasa Arab berarti pilihan. Pembahasan al-khiyar
dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam
bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah
pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi
dimaksud. Secara terminologi, para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar, antara
lain menurut Sayyid Sabiq':11
‫اْلِخَياُر ُهَو َطَلُب َخ ْيِر اَأْلْم ِر ِم َن اِإْل ْمَض اِء َأِو اِإْل ْلَغاِء‬.
"Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau membatalkan (jual
beli)".
M. Abdul Mujieb mendefinisikan: "Khiyar ialah hak memilih atau menentukan
pilihan antara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan
atau dibatalkan".

11
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), jilid III, cet.ke-4, hlm.164

21
Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi
perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga
kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Dengan
kata lain, diadakannya khiyar oleh syara' agar kedua belah pihak dapat memikirkan lebih
jauh kemaslahatan masing-masing dari akad jual belinya, supaya tidak menyesal di
kemudian hari, dan tidak merasa tertipu.
Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan
kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi memang
khiyar (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi,
namun dari segi kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyar ini yaitu jalan
terbaik.12 Hak khiyar (memilih) dalam jual beli, menurut Islam dibolehkan, apakah akan
meneruskan jual beli atau membatalkannya, tergantung keadaan (kondisi) barang yang
diperjualbelikan.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, status khiyar dalam pandangan ulama fiqh
adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu keperluan yang mendesak dalam
mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Di abad modern yang serba canggih, di mana sistem jual beli semakin mudah dan
praktis, masalah khiyar ini tetap diberlakukan, hanya tidak menggunakan kata-kata
khiyar dalam mempromosikan barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ungkapan
singkat dan menarik, misalnya: "Teliti sebelum membeli". Ini berarti bahwa pembeli
diberi hak khiyar (memilih) dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya
untuk membeli, sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.
Khiyar itu ada yang bersumber dari syara', seperti khiyar majlis, aib, dan ru’yah.
Selain itu, ada juga khiyar yang bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, seperti
khiyar syarat dan ta'yin Berikut ini dikemukakan pengertian masing-masing khiyar
tersebut
I. Khiyar Majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk
membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad (di ruangan
toko) dan belum berpisah badan. Artinya, transaksi baru dianggap sah apabila kedua
belah pihak yang melaksanakan akad telah berpisah badan, atau salah seorang di
antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan/ atau membeli.

12
Amir Syarifudin, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Pranada Media, 2003), cet.ke-1, hlm.213

22
Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua
belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual beli dan sewa-menyewa. Kadang-
kadang terjadi, salah satu yang berakad tergesa-gesa dalam ijab atau kabul. Setelah itu,
tampak adanya kepentingan yang menuntut dibatalkannya pelaksanaan akad. Karena itu,
syariat mencarikan jalan baginya untuk ia dapat memperoleh hak yang mungkin hilang
dengan ketergesa-gesaan tadi. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hakim bin Hazam
bahwa Rasulullah saw bersabda:

‫ َفِإْن َص َّدَقا َو َبْيَنا ُبْو ِر َك َلُهَم ا ِفي َبْيِع ِهَم ا َو ِإْن َكَتَم ا َو َك َّذ َبا ُمِح َقْت‬,‫اْلَبْيَع اِن ِباْلِخ َياِر َم اَلْم َيَتَفَّر َقا‬
)‫َبْر َك ُة َبْيِع هما (رواه البخاري ومسلم‬.
"Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama belum berpisah. Jika
keduanya benar dan jelas maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka
menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah keberkahan jual beli mereka".
(HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya, bagi tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak ini mempunyai hak antara
melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam
kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya. Di rumah yang
kecil, dihitung sejak salah seorang keluar. Di rumah besar, sejak berpindahnya salah
seorang dari tempat duduk kira-kira dua atau tiga langkah. Jika keduanya bangkit dan
pergi bersama sama maka pengertian berpisah belum ada. Pendapat yang dianggap kuat,
bahwa yang dimaksud berpisah disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat."

II. Khiyar Aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua
belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang
diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.
Misalnya seseorang membeli telur ayam satu kg, kemudian satu butir di antaranya
telah busuk, atau ketika telur dipecahkan telah menjadi anak ayam. Hal ini
sebelumnya tidak diketahui baik oleh penjual maupun pembeli. Dalam kasus seperti
ini, menurut para pakar fiqh, ditetapkan hak khiyar bagi pembeli.

23
Jadi, dalam khiyar aib itu apabila terdapat bukti cacat pada 13barang yang
dibelinya, pembeli dapat mengembalikan barang tersebut dengan meminta ganti barang
yang baik, atau kembali barang dan uang. Dasar hukum khiyar aib, di antaranya sabda
Rasulullah SAW.

)‫اْلُم ْس ِلُم َأُخ و اْلُم ْس ِلِم اَل َيِح ُّل ِلُم ْس ِلِم َباَع ِم ْن َأِخ يِه َبْيًعا َو ِفْيِه َعْيٌب إال بينه (رواه ابن ماجه عن عقبة بن عامر‬
"Sesama muslim itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjual
barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang itu terdapat 'aib/cacat". (HR. Ibnu
Majah dan dari 'Uqbah bin 'Amir)
Khiyar aib ini menurut kesepakatan ulama fiqh, berlaku sejak diketahuinya cacat
pada barang yang diperjualbelikan dan dapat diwarisi oleh ahli waris pemilik hak khiyar.
Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut ulama Hanafiyah dan
Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak obyek jual beli itu dan mengurangi
nilainya menurut tradisi para pedagang Tetapi menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah
seluruh cacat yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang
diinginkan daripadanya.

III. Khiyar Ru'yah, yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau
batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad
berlangsung."
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Mali- kiyah, Hanabilah,
dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru'yah disyari'atkan dalam Islam berdasarkan
sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:
)‫َمِن اْش َتَر ى َشْيًئا َلْم َيَر ُه َفُهَو ِباْلِخَياِر ِإَذ ا َر َأُه ( رواه الدار قطنى عن أبى هريرة‬.
"Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat maka ia berhak khiyar apabila
telah melihat barang itu". (HR. Dar al-Quthni dari Abu Hurairah).

Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan objek yang akan
dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat seperti ikan
kaleng (sardencis). Khiyar ru'yah, menurut mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat
barang yang akan ia beli.

13
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet.2, hlm.136

24
Akan tetapi, ulama Syafi'iyah, dalam pendapat baru (al- mazhab al-jadid),
mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan
sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka, khiyar ru yah tidak
berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan yang boleh membawa kepada
perselisihan.

IV. Khiyar syarat, yaitu khiyar (hak pilih) yang dijadikan syarat oleh keduanya (pembeli
dan penjual), atau salah seorang dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk
meneruskan atau membatalkan akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian hari.
Lama syarat yang diminta paling lama tiga hari.14
Contoh khiyar syarat, seseorang berkata: Saya jual mobil ini dengan harga seratus
juta rupiah (Rp. 100.000.000,-) dengan syarat boleh memilih selama tiga hari. Dalam
kaitan ini Rasulullah SAW. bersabda:

)‫أنَت ِباْلِخَياِر ِفي ُك ِّل ِس ْلَعٍة ِإْبَتْعَتَها َثاَل َث َلَياٍل (رواه البيهقى‬
"Kamu boleh khiyar (memilih) pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga
hari tiga malam" (HR. Baihaqi).

Hadis dari Ibnu Umar, Rasulullah saw. bersabda:

‫ُك ُّل َبْيَع ْيِن اَل َيِبْع َبْيَنُهَم ا َح َّتى َيَتَفَّر َقا ِإاَّل َبْيَع اْلِخ َياِر‬.
"Setiap dua orang yang melakukan jual beli, belum sah dinyatakan jual beli itu
sebelum mereka berpisah, kecuali jual beli khiyar".
Artinya, jual beli dapat dilangsungkan dan dinyatakan sah bila mereka berdua
telah berpisah, kecuali bila disyaratkan oleh salah satu kedua belah pihak, atau kedua-
duanya adanya syarat dalam masa tertentu.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fikih jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fikih
terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-syira yang berarti membeli.
Dengan demikian, al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus beli. Al-ba’i atau jual beli
merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat
dalam Al-Qur’an, Al-Hadist maupun Ijma ulama. Di antara dalil yang memperbolehkan
praktik akad jual beli adalah Q.S An-Nisa ayat 29 dan Al-Baqarah ayat 275. Dalam
melaksanakan ba’i, terdapat 4 rukun jual-beli yang harus dipenuhi, yaitu; akad (ijab
qobul), subjek (orang yang melakukan jual-beli), ma’kud alaih (objek yang
diperjualbelikan), serta adanya nilai tukar dalam mengganti barang.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli yang dibolehkan terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan.
Selain itu, apabila ditinjau melalui metode penetapan harga, ba’i yang dibolehkan
terbagi menjadi dua yaitu; ba’i musawamah dan ba’i amanah. Selain itu, di dalam
ba’i terdapat sebuah konsep benama hak khiyar. Hak Khiyar ditetapkan syariat islam
bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam
transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu
transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdurrahman. (t.th). Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-
Taqwa, Jilid III.
Djuwaini, Dimyauddin. 2015. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syamil Cipta Media.
Harun, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, cet.ke-2.
Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah. Juz 2, Nomor Hadist 2139, CD Room, (1426 H) Maktabah
Kutub Al-Mutun. Silsilah Al-Ilm An-Nafi, Seri 4, Al-Ishdar Al-Awwal.
Mardani. 2012. Fiqh: Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Pranada Media.
Muchtar, Asmaji. 2016 Dialog Lintas Mahzab: Fiqh Ibadah dan Muamalah. Jakarta: Amzah.
Sabiq, Sayid. 1983. Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, jilid III. cet.ke-4.
Sahrani, Sohari & Abdullah, Ru’fah. (2011) Fikih Muamalah, Cilegon: Ghalia Indonesia.
Syafi’I, Rachmad. 2006. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.
Syarifudin, Amir. 2003. Fiqh Muamalah, Jakarta: Pranada Media, cet.ke-1.
Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh Islam wa Adillatuhu, juz 5. Jakarta: Gema Insani.

26

Anda mungkin juga menyukai