MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar PAI yang diampu oleh
Dodi Misbah I., S.Ag., M. Pd.
oleh
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
berkat dan rahmat-Nya yang memberikan kesehatan dan nikmat kepada penulis sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Makalah berjudul Hukam Jual Beli dalam Islam disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Seminar PAI. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
Bapak Dodi Misbah I., S.Ag., M. Pd. sebagai dosen mata kuliah Seminar PAI yang telah
banyak memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian makalah ini,
namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata bahasanya.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
demi sempurnanya makalah ini. Kiranya isi makalah ini bermanfaat dalam memperkaya
khasanah ilmu pendidikan. Terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Simpulan.......................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan
mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah
mawannas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu
dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu
yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat
yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutangdan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual
barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan
sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.jika zaman dahulu
transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka
pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan
kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat
bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah? Apa
saja syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktikkan pada zaman sekarang sah
menurut fiqih muamalah? tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk
dibahas.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli Dan Dasar Hukum Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Sebelum mengkaji secara luas dalam kehidupan sehari-hari, salah satu cara
untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan usaha perdagangan atau jual beli, untuk
terjadinya usaha tersebut diperlukan adanya hubungan timbal balik antara penjual
dan pembeli.Jual beli adalah saling tukar menukar antara benda dengan harta benda
atau harta benda dengan uang ataupun saling memberikan sesuatu kepada pihak lain,
dengan menerima imbalan terhadap benda tersebut dengan menggunakan transaksi
yang didasari saling ridha yang dilakukan secara umum.
Berdasarkan penjabaran di atas terdapat beberapa masalah tentang jual beli,
maka terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian jual beli baik secara
etimologi maupun secara terminologi. Jual beli menurut istilah atau etimologi
Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara mutlak.
Berdasarkan pengertian tersebut maka jual beli adalah tukar menukar apa
saja, baik antara barang dengan barang, barang dengan uang atau uang dengan uang.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Berdasarkan permasalahan yang dikaji menyangkut masalah hidup dan
kehidupan ini, tentunya tidak terlepas dari dasar hukum yang akan kita jadikan
sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasahan yang akan dihadapi. Jual beli
sudah dikenal masyarakat sejak dahulu yaitu sejak zaman para Nabi.Sejak zaman itu
jual beli dijadikan kebiasaan atau tradisi oleh masyarakat hingga saat ini.
Adapun dasar hukum yang disyari’atkannya jual beli dalam Islam yaitu:
2
a. Al-Qur’an
Manusia hidup di dunia secara individu mempunyai kebutuhankebutuhan yang
harus dipenuhi, baik itu berupa sandang, pangan papan dan lain sebagainya.kebutuhan
seperti itu tidak pernah terputus dan tidak pernah terhenti selama manusia itu hidup.
oleh karena itu, tidak ada satu hal pun yang lebih sempurna dalam memenuhi
kebutuhan itu selain dengan cara pertukaran, yaitu dimana seorang memberikan apa
yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain
sesuai kebutuhan.
Jual beli ini adalah suatu perkara yang telah dikenal masyarakat sejak zaman
dahulu yaitu sejak zaman para Nabi hingga saat ini. dan Allah mensyariatkan jual beli
ini sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan dari-Nya untuk hambahamba-Nya
itu dalam surat tentang diperbolehkan jual beli ini didasarkan pada firman Allah Q.S.
al-Baqarah ayat: 275.
b. Hadits
Hadis yang menerangkan tentang jual beli yaitu.
3
Berdasarkan uraian hadits di atas dapat di simpulkan bahwa manusia yang
baik memakan suatu makanan adalah memakan hasil usaha tangannya sendiri.
Maksudnya, apabila kita akan menjual atau membeli suatu barang, yang diperjual
belikan harus jelas dan halal, dan bukan milik orang lain, melainkan milik kita sendiri.
Allah melarang menjual barang yang haram dan najis, maka Allah melaknat orang-
orang yang melakukan jual beli barang yang diharamkan, seperti menjual minuman
yang memabukkan (Khamr), bangkai, babi lemak bangkai dan berhala.
c. Dasar Hukum Ijma’.
Para ulama fiqih dari dahulu sampai dengan sekarang telah sepakat bahwa :
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
Kaidah yang telah diuraikan di atas dapat dijdikan dasar atau hujjah dalam
menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan keuangan syariah. Dari dasar
hukum sebagaimana tersebut di atas bahwa jual beli itu adalah hukumnya
mubah.Artinya jual beli itu diperbolehkan asal saja di dalam jual beli tersebut
memenuhi ketentuan yang telah ditentukan di dalam jual beli dengan syarat-syarat
yang sesuaikan dengan hukum Islam.
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen,
dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang
diinginkan tanpa melanggar batasan syari’at. Oleh karena itu, praktek jual beli yang
dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah saw, hingga saat ini menunjukan bahwa
umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli.
Agama Islam melindungi hak manusia dalam pemilikan harta yang
dimilikinya dan memeberi jalan keluar untuk masing-masing manusia untuk memiliki
harta orang lain dengan jalan yang telah ditentukan, sehingga dalam Islam perinsip
perdagangan yang diatur adalah kesepakatan keduabelah pihak yaitu penjual dan
pembeli. sebagaimana yang telah digariskan oleh prinsip muamalah adalah sebagai
berikut.
1. Prinsip Kerelaan.
2. Prinsip bermanfaat.
3. Prinsip tolong menolong.
4
4. prinsip tidak terlarang
2). Syarat Barang yang diperjual-belikan atau objek jual beli (Ma’qud Alaih)
a) Suci, barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh dijadikan uang untuk
dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak (dikuliti).
b) Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti
menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang.
c) Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat
diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan
yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang
dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
d) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang
diwakilinya, atau yang mengusahakan.
5
e) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kada
(ukuran) dan sifat-sifatnya jelas, sehingga antara keduanya tidak akan terjadi
kecoh-mengecoh.
6
1. Akid adalah: pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang terdiri dari
penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun orang lain yang
menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki hak dan otoritas
untuk mentransaksikanya.
2. Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-sifatnya dan
diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual beli barang yang
samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya,
maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’i telah mengatakan, tidak sah jual beli
tersebut karena ada unsur penipuan. Para Imam tiga dan golongan ulama madzhab
kita juga mengatakan hal yang serupa.
3. (ijab dan qabul)
Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti “aku jual barang ini kepadamu dengan
harga sekian”. Dan qabul adalah ucapan dari pembeli, seperti “aku beli barang ini
darimu dengan harga sekian”. Dimana, keduanya terdapat persesuaian maksud
meskipun berbeda lafaz seperti penjual berkata “aku milikkan barang ini”, lalu
pembeli berkata “aku beli” dan sebaliknya. Selain itu tidak terpisah lama antara
ijab dan qabulnya, sebab terpisah lama tersebut membuat boleh keluarnya
(batalnya) qabul tersebut.
Jual beli sahih yaitu apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun dan syarat
yang telah ditentukan, bukan milik orang lain, dan tidak tergantung pada hak khiyar
lagi.Jual beli yang telah memenuhi rukun dan syarat adalah boleh atau sah dalam
Agama Islam, selagi tidak terdapat padanya unsur-unsur yang dapat membatalkan
kebolehan kesahannya.Adapun hal-hal yang menggugurkan kebolehan atau kesahan
jual beli pada umumnya adalah sebagai berikut.
a. Menyakiti si penjual
b. Menyempitkan gerakan pasar
c. Merusak ketentuan umum.
7
2. Jual beli yang batal atau fasid.
Batal adalah tidak terwujudnya pengaruh amal pada perbuatan di dunia karena
melakukan perintah syara’ dengan meninggalkan syarat dan rukun yang
mewujudkannya, Jual beli yang batal adalah apabila salah satu rukunnya dan
syaratnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyaratkan,
seperti jual beli yang dilakukan anak kecil, yang gila atau barang yang diperjual
belikan adalah barang-barang yang diharamkan syara’ seperti bangkai, darah, babi
dan khamr. Jual beli yang batal ini banyak macam dan jenisnya, diantaranya adalah.
8
Maksud dari hadis di atas adalah Jual beli ini terdapat jahalah (ketidakjelasan)
dari barang yang dijual dan terdapat unsur qimar (spekulasi tinggi) dan keadaan
barang tidak jelas manakah yang dibeli menjual barang yang tidan jelas baik itu
ukuran, bentuk, dan jenis barang yang akan dijadikan objek jual beli, dengan
adanya larangan hadis tersebut, maka haram bagi orang yang melakukan jual beli
yang bendanya tidak dapat diserahkan.
c. Jual beli yang mengandung unsur penipuan
Jual beli yang mengandung unsur penipuan yang pada lahirnya baik, tapi dibalik
itu terdapat unsur penipuan, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah Saw
tersebut di atas. Contohnya yang lain juga dikategorikan jual beli yang
mengandung unsur penipuan adalah jual beli al-Mazabanah (barter yang diduga
keras tidak sebanding), contohnya menukar buah yang basah dengan buah yang
kering, karena yang dikhawatirkan antara yang dijual dan yang dibeli tidak
seimbang.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulallah Saw berikut ini.
Artinya: Dari Jabir r.a., Rasulallah saw, melarang menjual setumpuk tamar yang
tidak diketahui takarannya dengan tamar yang diketahui takarannya (HR BUkhari-
Muslim)
Maksud hadis di atas adalah melarang jual beli dengan cara menukar antara
barang yang sejenis dan barang yang sudah di takar dengan barang yang belum di
takar karena jual beli yang demikian adalah Mu’ammal Hamidy, mengandung
unsur penipuan, atau menjual barang yang takarannya tidak sesuai dengan
aqadnya atau mengurangi takarannya.
d. Jual Beli Takaran
Dalam Islam Hendaklah apabila seseorang jika melakukan jual beli dengan cara
menggunakan takaran atau timbangan harus sesuai dengan apa yang telah
diakadkan kepada pihak pembeli atau menggunakan takaran yang sah, jual beli ini
dapat dilihat dalam firman Allah Q.S Almutaffifin ayat 1-3 sebagai berikut
9
ِ ) ٱلَّ ِذينَ ِإ َذا ۡٱكتَالُو ْا َعلَى ٱلنَّا1( َ َو ۡي ُُل لِّ ۡل ُمطَفِّفِين
ِ ) َوِإ َذا َكالُوهُمۡ َأو َّو َزنُوهُمۡ يُ ۡخ 2( َس َي ۡست َۡوفُون
)3( َسرُون
Maksud ayat diatas adalah Allah melarang keras kepada orangorang yang
melakukan transaksi jual beli menggunakan takaran dan timbangan yang tidak
sesuai dengan apa yang diakadkan atau tidak sesuai dengan kenyataannya,
maksudnya orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam
menakar dan menimbang.
a. Kewajiban penjual:
1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan. Kewajiban
menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum
diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari
penjual kepada pembeli.
2. kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacad-cacad
yang tersembunyi. Kewajiban untuk menangung kenikmatan tenteram merupakan
konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli
bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya
sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak.
10
Kewajiban utama pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan
ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat
perjanjian tidak ditetapkan tempat dan waktu pembayaran, maka pembeli harus
membayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus
dilakukan.
b. Hak penjual :
Hak penjual dalam pelaksanaan perjanjian jual beli melalu jasa perantara ini adala
h menerima pembayaran dari harga yang telah disepakati oleh pembeli dari barang
yang ia jual. Menurut Pasal 1513 KUHPerdata menjelaskan bahwa kewajiban uta
ma pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang dit
etapkan dalam persetujuan, hal tersebut merupakan hak yang harus diterima oleh p
enjual seperti pada umumnya. Kemudian pada Pasal 1517 KUHPerdata diatur juga
jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka penjual dapat menuntut pem
batalan jual beli itu menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267. Pembatala
n jual beli dapat dilakukan oleh penjual jika pembeli tidak ada itikad baik untuk m
elakukan pembayaran
c. Kewajiban pembeli:
d. Hak pembeli:
Hak pembeli dalam pelaksanaan perjanjian jual beli terdapat dalam Pasal 1
481 KUHPerdata:
1. Hak menerima barang
Pembeli memiliki hak untuk menerima barang pada waktu penjualan, seba
gaimana termuat dalam pasal 1481 KUHPerdata yang berbunyi: “Barang yang ber
sangkutan harus diserahkan dalam keadaan seperti pada waktu penjualan. Sejak sa
at penyerahan, segala hasil menjadi kepunyaan pembeli”
11
Penyerahan barang dalam jual beli, merupakan tindakan pemindahan baran
g yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan
barang tadi diperlukan penyerahan yuridis disamping penyerahan nyatanya, agar p
emilikan pembeli menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan ter
sebut sesuai pada Pasal 1475 KUHPerdata.
2. Hak Menunda Pembayaran
Hak menangguhkah/menunda pembayaran terjadi sebagai akibat ganggua
n yang di alami oleh pembeli atas barang yang dibelinya. Gangguan itu berupa gu
gatan/tuntutan berupa hak hipotik pihak ketiga yang masih melekat pada barang.
Hak menunda pembayaran ini terjadi pada benda tidak bergerak misalnya pada p
elaksanaan jual beli tanah. Seperti pada Pasal 1516 KUHPerdata menyebutkan “J
ika dala menguasai barang itu pembeli diganggu oleh suatu tuntutan hukum yang
didasarkan hipotek atas suatu tuntutan untuk memperoleh kembali barang tersebu
t, atau jika pembeli mempunyai suatu alasan yang patut untuk khawatir akan diga
nggu dalam penguasaanya, maka ia dapat menangguhkan pembayaran harga pem
belian sampai penjual menghentikan gangguan tersebut, kecuali jika penjual me
milih memberikan jaminan atau jika telah diperjanjikan bahwa pembeli wajib me
mbayar tanpa mendapat jaminan atas segala gangguan.”
لك بيعني ال: قا ل رسو ل هلال صىل هلال عليه و سمل: عن ابن معر يقو ل
يبع بيهنا حىت يتفر قا اال بيع اخليا رDari Ibnu Umar, ia berkata : Rosulullah SAW bersabda :
masingmasing penjual dan pembeli, tidak akan terjadi jual beli dianatara mereka
sampai mereka berpisah, kecuali dengan jual beli khiyar (Muslim,t.th:22).Khiyar
secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu:
12
Pertama, Khiyar Majelis , artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih
akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya saat teransaksi masih berlangsung
ditempat teransaksi, apabila akad dalam jual beli telah dilaksanakan oleh pihak penjual
dan pembeli maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan selama
keduanya masih berada di tempat akad (Sabiq, 1988:101). Rasulullah SAW bersabda :
ّ لك وا حد مهنام اب، املت ّ با يعا ن: ان ر سول هلال صىل هلال عليه و سمل قا ل
" Sesungguhnya Rosulullah SAW pernah bersabda : penjual dan pembeli, masing-
masing mempunyai hak atau kesempatan berfikir sebelum berpisah mengenai jadi atau
tidaknya jual beli.Khiyar majelis dinyatakan gugur apabila dibatalkan penjual dan
pembeli setelah akad, apabila salah satu dari keduanya membatalkan maka khiyar yang
lain masih berlaku dan khiyar terputus apabilah salah satu dari keduanya telah
meninggal dunia (Sabiq, 1988: 209).
13
Ketiga, Khiar Aib, dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda –
benda yang dijual belikan, misalnya jika kita beli krudung satu kodi ternyata samapai
rumah ada yang cacat boleh dikembalikan. Khiyar Aib (cacat) yaitu apabila barang
yang telah dibeli ternyata ada kerusakan atau cacat sehingga pembeli berhak
mengembalikan barang tersebut kepada penjual (Rasjid,1976:277). Hak yang dimiliki
oleh salah seorang dari aqidain untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika menemukan cacat pada objek akad dimana pihak lain tidak
memberitahukannya pada saat akad (Mas’adi,2002:112). Khiyar aib ini didasarkan
pada hadits Uqbah Ibn Amir, r.a
مسعت رسول هلال صىل هلال عليه وسمل يقول: عن عقبة بن عامر قال:
و فيه عيب اال بينه هل، الحيل ملسمل ابع من اخيه بيعا،املسمل أخو املسمل
Dari Uqbah Ibn Amr berkata : saya mendengar Rosulullah SAW bersabda : seorang
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal seorang muslim
menjual kepada saudaranya sesuatu yang mengandung kecacatan kecuali ia harus
menjelaskan kepadanya.Khiyar aib harus memenuhi persyaratan sebagai berikut;
(a) Aib ( cacat) tersebut sebelum akad atau setelah akad namun belum terjadi
penyerahan. Jika cacat tersebut terjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam
penguasaan pembeli maka tidak berlaku hak khiyar,
(b) Pihak pembeli tidak mengetahui akad tersebut ketika berlangsung akad atau
ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli sebelumnya telah mengetahuinya
maka tidak ada hak khiyar baginya
(c) Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jawab
terhadap segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti itu, maka hak
khiyar bagi pembeli menjadi gugur.Khiyar aib ini berlaku semenjak pembeli
mengetahui cacat setelah berlangsungnya akad. Adapun batas waktu menuntut
pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqoha. Menurut fuqaha
Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktunya berlaku secara tarakhi (pihak yang
dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika ia mengetahui cacat
tersebut). Sedang menurut fuqaha Malikiyah dan Syafi‟iyah, batas waktunya berlaku
14
secara faura (seketika, artinya pihak yang dirugikan harus menggunakan hak khiyar
secepat mungkin, jika ia mengulur- ulur waktu tanpa alasan yang dapat dibenarkan
maka hak khiyar gugur dan akad dianggap telah lazim / pasti).
(c) Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam penguasaan pihak pembeli dan
(d) Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak pembeli, baik
dari sejumlah seperti beranak atau bertelur, maupun dari segi ukuran seperti
mengembang.
kekuasaan bagi para hambanya. Hal ini terutama disebabkan bahwa manusia
pelaku ekonomi yang lainnya. Dalam hal ini, perputaran harta dengan syari’at
Islam merupakan suatu aspek penting dari ekonomi Islam untuk memenuhi
kebutuhan mansia.
15
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Jual beli merupakan transaksi antara penjual dan pembeli untuk melakukan tukar-
menukar barang atas dasar suka sama suka yang disertai dengan akad. Dalam jual beli
penjual dan pembeli diberi kesempatan untuk berkhiyar sebelum berakad. Allah SWT
memperbolehkan jual beli namun mengharamkan riba.
Untuk melakukan jual beli terdapat beberapa syarat dan rukun jual beli yang harus
dipenuhi penjual dan pembeli, jika tidak dipenuhi maka tidak sah jual beli di antara kedua
pihak tersebut.
Pada dasarnya hukum jual beli adalah mubah, namun bisa berubah wajib jika memang
sangat terpaksa untuk melakukan jual beli tersebud. Dan bisa juga berubah haram jika tidak
memenuhi syarat dan rukun jual beli. Selain itu, juga dikarenakan kecurangan atau penipuan
dari salah satu penjual dan pembeli
16
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.radenintan.ac.id/1609/3/BAB_II_revisi.pdf
http://digilib.uinsby.ac.id/12695/5/Bab%202.pdf
file:///C:/Users/AcerAspire/Downloads/1494-4935-1-SM.pdf
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.
https://agenpropertisite.wordpress.com/2015/08/21/hak-dan-kewajiban-penjual-dan-pembeli/