Anda di halaman 1dari 21

HUKUM JUAL BELI DALAM ISLAM

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar PAI yang diampu oleh
Dodi Misbah I., S.Ag., M. Pd.

oleh

INGGIT ANGGELA NIM 16213005


DIMAS BAGAS GUNARTO NIM 16214004
LIA NURAENI NIM 16211009
RISMA SITI PAUZIAH NIM 16213018
RESTI FAUZIAH NIM 16213010
RAMA RAMADON ANWARI NIM 16213021
SITI JAMILAH NIM 16213020
NOVA SUKANDAR NIM 16213015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL BAHASA DAN SASTRA
INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA (IPI)
GARUT
2019

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
berkat dan rahmat-Nya yang memberikan kesehatan dan nikmat kepada penulis sehingga
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Makalah berjudul Hukam Jual Beli dalam Islam disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Seminar PAI. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
Bapak Dodi Misbah I., S.Ag., M. Pd. sebagai dosen mata kuliah Seminar PAI yang telah
banyak memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian makalah ini,
namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata bahasanya.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
demi sempurnanya makalah ini. Kiranya isi makalah ini bermanfaat dalam memperkaya
khasanah ilmu pendidikan. Terima kasih.

Garut, 14 Juli 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2

A. Pengertian Jual Beli Dan Dasar Hukum Jual Beli.........................................................2

B. Syarat dan Rukun Jual Beli.............................................................................................5

C. Macam-Macam Jual Beli................................................................................................7

D. Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli..........................................................10

E. Khiyar dalam Bisnis Islam............................................................................................12

BAB III PENUTUP..................................................................................................................16

A. Simpulan.......................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan
mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah
mawannas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu
dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu
yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat
yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutangdan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual
barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan
sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.jika zaman dahulu
transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka
pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan
kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat
bertransaksi dengan lancar.
Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah? Apa
saja syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktikkan pada zaman sekarang sah
menurut fiqih muamalah? tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk
dibahas.

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli Dan Dasar Hukum Jual Beli
1. Pengertian Jual Beli
Sebelum mengkaji secara luas dalam kehidupan sehari-hari, salah satu cara
untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan usaha perdagangan atau jual beli, untuk
terjadinya usaha tersebut diperlukan adanya hubungan timbal balik antara penjual
dan pembeli.Jual beli adalah saling tukar menukar antara benda dengan harta benda
atau harta benda dengan uang ataupun saling memberikan sesuatu kepada pihak lain,
dengan menerima imbalan terhadap benda tersebut dengan menggunakan transaksi
yang didasari saling ridha yang dilakukan secara umum.
Berdasarkan penjabaran di atas terdapat beberapa masalah tentang jual beli,
maka terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pengertian jual beli baik secara
etimologi maupun secara terminologi. Jual beli menurut istilah atau etimologi

Tukar menukarsesuatu dengan sesuatu yang lain.


Sedangkan jual beli menurut bahasa adalah sebagaimana di jelaskan berikut
ini.

Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar menukar secara mutlak.
Berdasarkan pengertian tersebut maka jual beli adalah tukar menukar apa
saja, baik antara barang dengan barang, barang dengan uang atau uang dengan uang.
2. Dasar Hukum Jual Beli
Berdasarkan permasalahan yang dikaji menyangkut masalah hidup dan
kehidupan ini, tentunya tidak terlepas dari dasar hukum yang akan kita jadikan
sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasahan yang akan dihadapi. Jual beli
sudah dikenal masyarakat sejak dahulu yaitu sejak zaman para Nabi.Sejak zaman itu
jual beli dijadikan kebiasaan atau tradisi oleh masyarakat hingga saat ini.
Adapun dasar hukum yang disyari’atkannya jual beli dalam Islam yaitu:

2
a. Al-Qur’an
Manusia hidup di dunia secara individu mempunyai kebutuhankebutuhan yang
harus dipenuhi, baik itu berupa sandang, pangan papan dan lain sebagainya.kebutuhan
seperti itu tidak pernah terputus dan tidak pernah terhenti selama manusia itu hidup.
oleh karena itu, tidak ada satu hal pun yang lebih sempurna dalam memenuhi
kebutuhan itu selain dengan cara pertukaran, yaitu dimana seorang memberikan apa
yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain
sesuai kebutuhan.
Jual beli ini adalah suatu perkara yang telah dikenal masyarakat sejak zaman
dahulu yaitu sejak zaman para Nabi hingga saat ini. dan Allah mensyariatkan jual beli
ini sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan dari-Nya untuk hambahamba-Nya
itu dalam surat tentang diperbolehkan jual beli ini didasarkan pada firman Allah Q.S.
al-Baqarah ayat: 275.
b. Hadits
Hadis yang menerangkan tentang jual beli yaitu.

Artinya: dari Jabir bin Abdullah r.a bahwasanya ia mendengar Rasululloh


bersabda pada tahun kemenangan di Mekah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
mengharamkan menjual minuman yang memabukkan (Khamr), bangkai, babi dan
berhala. Lalu ada orang bertanya, “ya, Rasululloh bagai manakah tentang lemak
bangkai, karena dipergunakan mengecat perahu-perahu supaya tahan Air, dan
meminyaki kulit-kulit, dan orang-orang mempergunakannya, untuk penerangan
lampu ? beliau menjawab, “ tidak boleh, itu haram” kemudian diwaktu itu Rasulullah
saw., bersabda: Allah melaknat orang-orang yahudi, sesungguhnya Allah tatkala
mengharamkan lemaknya bagi mereka, mereka cairkan lemak itu kemudian
dijualnya kemudian mereka makan harganya (HR Bukhari).

3
Berdasarkan uraian hadits di atas dapat di simpulkan bahwa manusia yang
baik memakan suatu makanan adalah memakan hasil usaha tangannya sendiri.
Maksudnya, apabila kita akan menjual atau membeli suatu barang, yang diperjual
belikan harus jelas dan halal, dan bukan milik orang lain, melainkan milik kita sendiri.
Allah melarang menjual barang yang haram dan najis, maka Allah melaknat orang-
orang yang melakukan jual beli barang yang diharamkan, seperti menjual minuman
yang memabukkan (Khamr), bangkai, babi lemak bangkai dan berhala.
c. Dasar Hukum Ijma’.
Para ulama fiqih dari dahulu sampai dengan sekarang telah sepakat bahwa :

Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.
Kaidah yang telah diuraikan di atas dapat dijdikan dasar atau hujjah dalam
menetapkan hukum berbagai masalah berkenaan dengan keuangan syariah. Dari dasar
hukum sebagaimana tersebut di atas bahwa jual beli itu adalah hukumnya
mubah.Artinya jual beli itu diperbolehkan asal saja di dalam jual beli tersebut
memenuhi ketentuan yang telah ditentukan di dalam jual beli dengan syarat-syarat
yang sesuaikan dengan hukum Islam.
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen,
dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang
diinginkan tanpa melanggar batasan syari’at. Oleh karena itu, praktek jual beli yang
dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah saw, hingga saat ini menunjukan bahwa
umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli.
Agama Islam melindungi hak manusia dalam pemilikan harta yang
dimilikinya dan memeberi jalan keluar untuk masing-masing manusia untuk memiliki
harta orang lain dengan jalan yang telah ditentukan, sehingga dalam Islam perinsip
perdagangan yang diatur adalah kesepakatan keduabelah pihak yaitu penjual dan
pembeli. sebagaimana yang telah digariskan oleh prinsip muamalah adalah sebagai
berikut.
1. Prinsip Kerelaan.
2. Prinsip bermanfaat.
3. Prinsip tolong menolong.

4
4. prinsip tidak terlarang

B. Syarat dan Rukun Jual Beli


1. Syarat Jual Beli
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli, yakni:
1). Syarat Penjual dan Pembeli atau pihak yang bertransaksi (Aqid) adalah :
a) Berakal, agar dia tidak terkecoh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual
belinya.
b) Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keterangannya yaitu ayat diatas
tentang suka sama suka.
c) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang mubazir itu di tangan walinya,
sedangkan dalam jual beli itu harus barang milik sendiri.
d) Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa), anak kecil tidak sah jual belinya,
adapun anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai pada umur dewasa,
menurut pendapat sebagian para ulama mereka diperbolehkan berjual-beli
barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan sudah tentu menjadi
kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan
menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.

2). Syarat Barang yang diperjual-belikan atau objek jual beli (Ma’qud Alaih)
a) Suci, barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh dijadikan uang untuk
dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak (dikuliti).
b) Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti
menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang.
c) Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat
diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan
yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang
dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
d) Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang
diwakilinya, atau yang mengusahakan.

5
e) Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kada
(ukuran) dan sifat-sifatnya jelas, sehingga antara keduanya tidak akan terjadi
kecoh-mengecoh.

3). Syarat ucapan serah terima (Ijab dan Kabul)


Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau
dapat juga berbentuk tulisan seperti faktur, kuitansi, atau nota dan lain sebagainya.
Ijab adalah perkataan penjual, umpanya, “saya jual barang ini sekian”.
Kabul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima (saya beli) dengan harga sekian.”
Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka.
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan
perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini
pendapat kebanyakan para ulama. Tetapi Imam Nawawi, Mutawali, Bagawi dan
beberapa ulama yang berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya
menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut telah berlaku bahwa hal yang
seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, maka itu saja sudah cukup karena
tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz.
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa
syarat :
a) Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas
menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b) Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walau lafaz keduanya berlainan.
c) Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya “Kalau
saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.”
d) Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun, tidak
sah.

2. Rukun Jual Beli


Rukun adalah hal-hal yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual
beli. Menurut Imam Nawawi dalam syarah al-Muhadzab rukun jual beli meliputi tiga
hal, yaitu: harus adanya akid (orang yang melakukan akad), ma’qud alaihi (barang
yang diakadkan) dan shighat, yang terdiri atas ijab (penawaran) qabul (penerimaan).

6
1. Akid adalah: pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang terdiri dari
penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli, maupun orang lain yang
menjadi wali / wakil dari sang pemilik asli. Sehingga ia memiliki hak dan otoritas
untuk mentransaksikanya.
2. Ma’qud ‘Alaihi (obyek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-sifatnya dan
diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi, jual beli barang yang
samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya,
maka dianggap tidak sah. Imam Syafi’i telah mengatakan, tidak sah jual beli
tersebut karena ada unsur penipuan. Para Imam tiga dan golongan ulama madzhab
kita juga mengatakan hal yang serupa.
3. (ijab dan qabul)
Ijaab adalah perkataan dari penjual, seperti “aku jual barang ini kepadamu dengan
harga sekian”. Dan qabul adalah ucapan dari pembeli, seperti “aku beli barang ini
darimu dengan harga sekian”. Dimana, keduanya terdapat persesuaian maksud
meskipun berbeda lafaz seperti penjual berkata “aku milikkan barang ini”, lalu
pembeli berkata “aku beli” dan sebaliknya. Selain itu tidak terpisah lama antara
ijab dan qabulnya, sebab terpisah lama tersebut membuat boleh keluarnya
(batalnya) qabul tersebut.

C. Macam-Macam Jual Beli


Secara garis besar dalam Islam, dikenal beberapa bentuk dan jenis jual beli,
adapun secara gelobalnya jual beli itu dibagi kedalam dua bagian besar yaitu:

1. Jual beli shahih.

Jual beli sahih yaitu apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun dan syarat
yang telah ditentukan, bukan milik orang lain, dan tidak tergantung pada hak khiyar
lagi.Jual beli yang telah memenuhi rukun dan syarat adalah boleh atau sah dalam
Agama Islam, selagi tidak terdapat padanya unsur-unsur yang dapat membatalkan
kebolehan kesahannya.Adapun hal-hal yang menggugurkan kebolehan atau kesahan
jual beli pada umumnya adalah sebagai berikut.

a. Menyakiti si penjual
b. Menyempitkan gerakan pasar
c. Merusak ketentuan umum.

7
2. Jual beli yang batal atau fasid.

Batal adalah tidak terwujudnya pengaruh amal pada perbuatan di dunia karena
melakukan perintah syara’ dengan meninggalkan syarat dan rukun yang
mewujudkannya, Jual beli yang batal adalah apabila salah satu rukunnya dan
syaratnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyaratkan,
seperti jual beli yang dilakukan anak kecil, yang gila atau barang yang diperjual
belikan adalah barang-barang yang diharamkan syara’ seperti bangkai, darah, babi
dan khamr. Jual beli yang batal ini banyak macam dan jenisnya, diantaranya adalah.

a. Jual beli buah yang belum muncul di pohonnya.


Memperjual belikan yang putiknya belum muncul di pohonnya, atau anak sapi
yang belum ada, sekalipun di perut induknya telah ada.
Maksudnya adalah melarang memperjual belikan yang putiknya belum
muncul di pohonnya, atau anak sapi yang belum ada, sekalipun diperut induknya
telah ada karena jual beli yang demikian adalah jual beli yang tidak ada, atau
belum pasti baik jumlah maupun ukurannya.

b. Menjual barang yang tidak bisa diserahkan pada pembeli.


Seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan
terbang di udara atau juga seperti menjual ikan yang masih ada di dalam air yang
kuantitasnya tidak diketahui, hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw berikut
ini.

Dari Abu Sa’id, ia berkata,

ْ ُ‫ه‬Pَ‫ل ثَوْ ب‬P


‫بِالبَي ِْع ِإلَى‬ َ ‫ َو ْه َى‬، ‫ َذ ِة‬Pَ‫لم – نَهَى َع ِن ْال ُمنَاب‬PP‫َأ َّن َرسُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وس‬
ِ P‫رْ ُح ال َّر ُج‬PP‫ط‬
ِ ْ‫ َو ْال ُمالَ َم َسةُ لَ ْمسُ الثَّو‬، ‫ َونَهَى ع َِن ْال ُمالَ َم َس ِة‬، ‫ َأوْ يَ ْنظُ َر ِإلَ ْي ِه‬، ُ‫ قَ ْب َل َأ ْن يُقَلِّبَه‬، ‫ال َّر ُج ِل‬
‫ب الَ يَ ْنظُ ُر ِإلَ ْي ِه‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari munabadzah, yaitu


seseorang melempar pakaiannya kepada yang lain dan itulah yang dibeli tanpa
dibolak-balik terlebih dahulu atau tanpa dilihat keadaan pakaiannya. Begitu pula
beliau melarang dari mulamasah, yaitu pakaian yang disentuh itulah yang dibeli
tanpa melihat keadaaannya” (HR. Bukhari no. 2144).

8
Maksud dari hadis di atas adalah Jual beli ini terdapat jahalah (ketidakjelasan)
dari barang yang dijual dan terdapat unsur qimar (spekulasi tinggi) dan keadaan
barang tidak jelas manakah yang dibeli menjual barang yang tidan jelas baik itu
ukuran, bentuk, dan jenis barang yang akan dijadikan objek jual beli, dengan
adanya larangan hadis tersebut, maka haram bagi orang yang melakukan jual beli
yang bendanya tidak dapat diserahkan.
c. Jual beli yang mengandung unsur penipuan
Jual beli yang mengandung unsur penipuan yang pada lahirnya baik, tapi dibalik
itu terdapat unsur penipuan, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah Saw
tersebut di atas. Contohnya yang lain juga dikategorikan jual beli yang
mengandung unsur penipuan adalah jual beli al-Mazabanah (barter yang diduga
keras tidak sebanding), contohnya menukar buah yang basah dengan buah yang
kering, karena yang dikhawatirkan antara yang dijual dan yang dibeli tidak
seimbang.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulallah Saw berikut ini.

‫ا بِا ْن َكي ِْم‬PPَ‫رالَيُ ْعهَ ُم َك ْيهُه‬P


ِ P‫ ِمنَ انّتَ ْم‬44 ‫ ْب َر ِة‬P‫ص‬ َ ‫ع َْن َجا بِ ِرقا َ َل ٰنهَى َر ُس ْى ُل اهل ِل‬
ُ ّ‫صهَى اهل ُل َعهَ ْي ِه َو َسهَ َم ع َْن بَي ِْع ان‬
‫ا ْن ُم َس َمى ِمنَ انّتَ ْم ِر‬

Artinya: Dari Jabir r.a., Rasulallah saw, melarang menjual setumpuk tamar yang
tidak diketahui takarannya dengan tamar yang diketahui takarannya (HR BUkhari-
Muslim)

Maksud hadis di atas adalah melarang jual beli dengan cara menukar antara
barang yang sejenis dan barang yang sudah di takar dengan barang yang belum di
takar karena jual beli yang demikian adalah Mu’ammal Hamidy, mengandung
unsur penipuan, atau menjual barang yang takarannya tidak sesuai dengan
aqadnya atau mengurangi takarannya.
d. Jual Beli Takaran
Dalam Islam Hendaklah apabila seseorang jika melakukan jual beli dengan cara
menggunakan takaran atau timbangan harus sesuai dengan apa yang telah
diakadkan kepada pihak pembeli atau menggunakan takaran yang sah, jual beli ini
dapat dilihat dalam firman Allah Q.S Almutaffifin ayat 1-3 sebagai berikut

9
ِ ‫) ٱلَّ ِذينَ ِإ َذا ۡٱكتَالُو ْا َعلَى ٱلنَّا‬1( َ‫ َو ۡي ُُل لِّ ۡل ُمطَفِّفِين‬ 
ِ ‫) َوِإ َذا َكالُوهُمۡ َأو َّو َزنُوهُمۡ يُ ۡخ‬ 2( َ‫س َي ۡست َۡوفُون‬
)3( َ‫سرُون‬

Artinya: kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(yaitu) orang-orang


yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,dan
apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

Maksud ayat diatas adalah Allah melarang keras kepada orangorang yang
melakukan transaksi jual beli menggunakan takaran dan timbangan yang tidak
sesuai dengan apa yang diakadkan atau tidak sesuai dengan kenyataannya,
maksudnya orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam
menakar dan menimbang.

D. Hak dan Kewajiban antara Penjual dan Pembeli


Untuk menghindari dari kerugian salah satu pihak maka jual beli haruslah
dilakukan dengan kejujuran, tidak ada penipuan, paksaan, kekeliruan dan hal lain
yang dapat mengakibatkan persengketaan dan kekecewaan atau alasan penyesalan
bagi kedua belah pihak maka kedua belah pihak haruslah melaksanakan apa yang
menjadi hak dan kewajiban masing-masing, diantaranya: pihak penjual menyerahkan
barangnya sedangkan pihak pembeli menyerahkan uangnya sebagai pembayaran. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah hendaklah dilakukan penulisan dari transaksi
tersebut. Selain penulisan untuk menghindari dari kemungkinan perselisihan,
pengingkaran dan pemalsuan, maka diperlukan adanya saksi.

a. Kewajiban penjual:
1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan. Kewajiban
menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum
diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari
penjual kepada pembeli.
2. kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacad-cacad
yang tersembunyi. Kewajiban untuk menangung kenikmatan tenteram merupakan
konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli
bahwa barang yang dijual dan dilever itu adalah sungguh-sungguh miliknya
sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak.

10
Kewajiban utama pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan
ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat
perjanjian tidak ditetapkan tempat dan waktu pembayaran, maka pembeli harus
membayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan barangnya harus

dilakukan.

b. Hak penjual :

Hak penjual dalam pelaksanaan perjanjian jual beli melalu jasa perantara ini adala
h menerima pembayaran dari harga yang telah disepakati oleh pembeli dari barang 
yang ia jual. Menurut Pasal 1513 KUHPerdata menjelaskan bahwa kewajiban uta
ma pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang dit
etapkan dalam persetujuan, hal tersebut merupakan hak yang harus diterima oleh p
enjual seperti pada umumnya. Kemudian pada Pasal 1517 KUHPerdata diatur juga 
jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka penjual dapat menuntut pem
batalan jual beli itu menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267. Pembatala
n jual beli dapat dilakukan oleh penjual jika pembeli tidak ada itikad baik untuk m
elakukan pembayaran
c. Kewajiban pembeli:

Membayar harga pembelian barang sesuai yang telah ditentukan.

d. Hak pembeli:

Hak pembeli dalam pelaksanaan perjanjian jual beli terdapat dalam Pasal 1
481 KUHPerdata:

1. Hak menerima barang

Pembeli memiliki hak untuk menerima barang pada waktu penjualan, seba
gaimana termuat dalam pasal 1481 KUHPerdata yang berbunyi: “Barang yang ber
sangkutan harus diserahkan dalam keadaan seperti pada waktu penjualan. Sejak sa
at penyerahan, segala hasil menjadi kepunyaan pembeli”

11
Penyerahan barang dalam jual beli, merupakan tindakan pemindahan baran
g yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Kalau pada penyerahan 
barang tadi diperlukan penyerahan yuridis disamping penyerahan nyatanya, agar p
emilikan pembeli menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan penyerahan ter
sebut sesuai pada Pasal 1475 KUHPerdata.

2. Hak Menunda Pembayaran

Hak menangguhkah/menunda pembayaran terjadi sebagai akibat ganggua
n yang di alami oleh pembeli atas barang yang dibelinya. Gangguan itu berupa gu
gatan/tuntutan berupa hak hipotik pihak ketiga yang masih melekat pada barang. 
Hak menunda pembayaran ini terjadi pada benda tidak bergerak misalnya pada p
elaksanaan jual beli tanah. Seperti pada Pasal 1516 KUHPerdata menyebutkan “J
ika dala menguasai barang itu pembeli diganggu oleh suatu tuntutan hukum yang 
didasarkan hipotek atas suatu tuntutan untuk memperoleh kembali barang tersebu
t, atau jika pembeli mempunyai suatu alasan yang patut untuk khawatir akan diga
nggu dalam penguasaanya, maka ia dapat menangguhkan pembayaran harga pem
belian sampai penjual menghentikan gangguan tersebut, kecuali jika penjual me
milih memberikan jaminan atau jika telah diperjanjikan bahwa pembeli wajib me
mbayar tanpa mendapat jaminan atas segala gangguan.”

E. Khiyar dalam Bisnis Islam


Khiyar dalam Bisnis Islam Bisnis dalam Islam di berikan keleluasan untuk
memilih untuk membatalkan akad jual beli (bisnis) atau meneruskan akad jual beli
(bisnis) dalam hukum Islam dinamakan khiyar. Khiar adalah mencari kebaikan dari
kedua perkara yaitu melangsungkan atau membatalkan (Sabiq,1988:100). Sedangkan
khiyar dalam jual beli menurut hukum Islam adalah diperbolehkannya memilih
apakah jual itu diteruskan apa dibatalkan karena suatu hal (suhendi, 2007:83). Adapun
dasar hukum khiyar di jelaskan pada hadits sebagai berikut :

‫ لك بيعني ال‬: ‫ قا ل رسو ل هلال صىل هلال عليه و سمل‬: ‫عن ابن معر يقو ل‬

‫يبع بيهنا حىت يتفر قا اال بيع اخليا ر‬Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rosulullah SAW bersabda :
masingmasing penjual dan pembeli, tidak akan terjadi jual beli dianatara mereka
sampai mereka berpisah, kecuali dengan jual beli khiyar (Muslim,t.th:22).Khiyar
secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu:

12
Pertama, Khiyar Majelis , artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih
akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya saat teransaksi masih berlangsung
ditempat teransaksi, apabila akad dalam jual beli telah dilaksanakan oleh pihak penjual
dan pembeli maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan selama
keduanya masih berada di tempat akad (Sabiq, 1988:101). Rasulullah SAW bersabda :

ّ ‫ لك وا حد مهنام اب‬، ‫ املت ّ با يعا ن‬: ‫ان ر سول هلال صىل هلال عليه و سمل قا ل‬

‫خليا ر عىل صا حبه ما مل يتفرا قا اال بيع احليا ر‬

" Sesungguhnya Rosulullah SAW pernah bersabda : penjual dan pembeli, masing-
masing mempunyai hak atau kesempatan berfikir sebelum berpisah mengenai jadi atau
tidaknya jual beli.Khiyar majelis dinyatakan gugur apabila dibatalkan penjual dan
pembeli setelah akad, apabila salah satu dari keduanya membatalkan maka khiyar yang
lain masih berlaku dan khiyar terputus apabilah salah satu dari keduanya telah
meninggal dunia (Sabiq, 1988: 209).

Kedua, Khiyar Syarat, yaitu penjual dan pembeli di dalamnya disyaratkan


sesuatu boleh penjjual maupun pembeli, misalnya pakaian jika cocok atau pas dipakai
di beli kalau tidak pas atau tidak cocok boleh di kembalikan. Dalam penjualan yang di
dalamnya disyaratkan sesuatu yang baik oleh penjual maupun pembeli
(Suhendi,2007:84). Sebab-sebab berakhirnya khiyar syarat adalah sebagai berikut : (a)
adanya pembatalan akad, (b) melewati batas waktu khiyar yang telah
disepakati/ditetapkan. Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu khiyar, menurut
Imam Syafi’I dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jangka waktu khiyar adalah tiga
hari, sedangkan menurut Imam Malik jangka waktu khiyar adalah sesuai dengan
kebutuhan (Sabiq,1988:102 ), (c) terjadi penambahan atau pengembangan dalam
penguasaan pihak pembeli baik dari segi jumlah seperti beranak atau mengembang,
(d) terjadi kerusakan pada objek akad. Jika kerusakaan tersebut terjadi dalam
penguasaan pihak penjual maka akadnya batal dan berkhirlah khiyar. Namun apabila
kerusakaan terjadi dalam penguasaan pihak pembeli maka berakhirlah khiyar namun
tidak membatalkan akad dan (e) wafatnya Shohibul khiyar, ini menurut pendapat
madzhab Hanafiyah dan Hambaliah. Sedangkan madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris ketika shohibul
khiyar telah wafat (Mas’adi,2002:111).

13
Ketiga, Khiar Aib, dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda –
benda yang dijual belikan, misalnya jika kita beli krudung satu kodi ternyata samapai
rumah ada yang cacat boleh dikembalikan. Khiyar Aib (cacat) yaitu apabila barang
yang telah dibeli ternyata ada kerusakan atau cacat sehingga pembeli berhak
mengembalikan barang tersebut kepada penjual (Rasjid,1976:277). Hak yang dimiliki
oleh salah seorang dari aqidain untuk membatalkan akad atau tetap
melangsungkannya ketika menemukan cacat pada objek akad dimana pihak lain tidak
memberitahukannya pada saat akad (Mas’adi,2002:112). Khiyar aib ini didasarkan
pada hadits Uqbah Ibn Amir, r.a

‫ مسعت رسول هلال صىل هلال عليه وسمل يقول‬: ‫ عن عقبة بن عامر قال‬:

‫ و فيه عيب اال بينه هل‬،‫ الحيل ملسمل ابع من اخيه بيعا‬،‫املسمل أخو املسمل‬

‫رواه ابن ماجه‬

Dari Uqbah Ibn Amr berkata : saya mendengar Rosulullah SAW bersabda : seorang
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka tidak halal seorang muslim
menjual kepada saudaranya sesuatu yang mengandung kecacatan kecuali ia harus
menjelaskan kepadanya.Khiyar aib harus memenuhi persyaratan sebagai berikut;

(a) Aib ( cacat) tersebut sebelum akad atau setelah akad namun belum terjadi
penyerahan. Jika cacat tersebut terjadi setelah penyerahan atau terjadi dalam
penguasaan pembeli maka tidak berlaku hak khiyar,

(b) Pihak pembeli tidak mengetahui akad tersebut ketika berlangsung akad atau
ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli sebelumnya telah mengetahuinya
maka tidak ada hak khiyar baginya

(c) Tidak ada kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jawab
terhadap segala cacat yang ada. Jika ada kesepakatan bersyarat seperti itu, maka hak
khiyar bagi pembeli menjadi gugur.Khiyar aib ini berlaku semenjak pembeli
mengetahui cacat setelah berlangsungnya akad. Adapun batas waktu menuntut
pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqoha. Menurut fuqaha
Hanafiyah dan Hanabilah, batas waktunya berlaku secara tarakhi (pihak yang
dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika ia mengetahui cacat
tersebut). Sedang menurut fuqaha Malikiyah dan Syafi‟iyah, batas waktunya berlaku

14
secara faura (seketika, artinya pihak yang dirugikan harus menggunakan hak khiyar
secepat mungkin, jika ia mengulur- ulur waktu tanpa alasan yang dapat dibenarkan
maka hak khiyar gugur dan akad dianggap telah lazim / pasti).

Hak khiyar aib ini gugur apabila:

(a) Pihak yang dirugikan merelakan setelah ia mengetahui cacat tersebut,

(b) Pihak yang dirugikan sengaja tidak menuntut pembatalan akad,

(c) Terjadi kerusakan atau terjadi cacat baru dalam penguasaan pihak pembeli dan

(d) Terjadi pengembangan atau penambahan dalam penguasaan pihak pembeli, baik
dari sejumlah seperti beranak atau bertelur, maupun dari segi ukuran seperti
mengembang.

F. Hikmah Jual Beli

Alllah SWT mensyari’atkan suatu jual beli sebagai kebebasan dan

kekuasaan bagi para hambanya. Hal ini terutama disebabkan bahwa manusia

mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, papan dan lainya. Kebutuhan

ini tidak akan pernah berakhir, selama yang bersangkutan masih

berkelangsungan hidup. Tidak seorangpun yang dapat memenuhi kebutuhan

ekonomi hidupnya secara sendiri, melainkan dia harus berhungan dengan

pelaku ekonomi yang lainnya. Dalam hal ini, perputaran harta dengan syari’at

Islam merupakan suatu aspek penting dari ekonomi Islam untuk memenuhi

kebutuhan mansia.

15
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Jual beli merupakan transaksi antara penjual dan pembeli untuk melakukan tukar-
menukar barang atas dasar suka sama suka yang disertai dengan akad. Dalam jual beli
penjual dan pembeli diberi kesempatan untuk berkhiyar sebelum berakad. Allah SWT
memperbolehkan jual beli namun mengharamkan riba.

Untuk melakukan jual beli terdapat beberapa syarat dan rukun jual beli yang harus
dipenuhi penjual dan pembeli, jika tidak dipenuhi maka tidak sah jual beli di antara kedua
pihak tersebut.

Pada dasarnya hukum jual beli adalah mubah, namun bisa berubah wajib jika memang
sangat terpaksa untuk melakukan jual beli tersebud. Dan bisa juga berubah haram jika tidak
memenuhi syarat dan rukun jual beli. Selain itu, juga dikarenakan kecurangan atau penipuan
dari salah satu penjual dan pembeli

16
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.radenintan.ac.id/1609/3/BAB_II_revisi.pdf

http://digilib.uinsby.ac.id/12695/5/Bab%202.pdf

file:///C:/Users/AcerAspire/Downloads/1494-4935-1-SM.pdf

Syafe'i, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah. Bandung : Cv. Pustaka setia.

Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.

Sabiq, Sayyid, 1997. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr

https://agenpropertisite.wordpress.com/2015/08/21/hak-dan-kewajiban-penjual-dan-pembeli/

Anda mungkin juga menyukai