Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

RIBA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Fiqih Ibadah Dan


Mu’amalah
Dosen Pengampu:
Bpk.M.Agus Nurohman, M.Pd

Disusun Oleh:

Pratama Avriyansyah
Imam sanrofiq

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) BUSTANUL ULUM
JAYA SEKTI LAMPUNG TENGAH
TP.2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat Iman dan Islam serta
kesehatan kepada kita semua, sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat waktu.
Sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada M.Agus Nurohman,M.Pd
Selaku dosen yang telah memberikan kami kesempatan untuk menjelaskan Riba.

Suatu kebanggaan bagi kami yang telah diberi kepercayaan oleh bpk pengampu untuk
menjelaskan hal tersebut. Maka dari itu, kami sebagai pihak yang diberkan tugas, mencoba
memaparkan beberapa ilmu yang kami ambil dari beberapa sumber, dalam bentuk makalah
yang akan kami presentasikan ini.

Dalam makalah ini terdapat beberapa pelajaran penting yang wajib diketahui oleh kami
khususnya dan mahasiswa pada umumnya. Sehingga kami berharap agar kiranya makalah ini
mampu menjadi sumber pengetahuan untuk kita semua. Sekian dari kami, mohon maaf bila
terdapat kesalahan baik dalam segi penulisan maupun dalam redaksi. Kritik dan saran sangat
kami harapkan. Billahi fi Sabililhaq Fastabiqul Khairat.

Purwosari,15 Februari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................................... 2

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah......................................................................................... 3

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba..............................................................................................4
B. Dalil pengharaman riba dan tahapannya........................................................4
C. Macam-macam Riba......................................................................................5
D. Pendapat ulama tentang keharaman riba........................................................8

BAB III : PENUTUP                         

A. Kesimpulan....................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk
dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syariat Islam. Allah
telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah
dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam perkembangan
pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba merupakan permasalahan yang
pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan riba sangat erat
kaitannya dengan transaksi-transaksi di bidang perekonomian (dalam Islam disebut
kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada
dasarnya, transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari
sumber tersebut bisa berupa qardh, buyu' dan lain sebagainya.
Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba
mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini mengacu pada
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama. Bahkan dapat dikatakan tentang
pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Beberapa pemikir Islam
berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral melainkan
sesuatu yang menghambat aktifitas perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan
semakin kaya sedangkan orang miskin akan semakin miskin dan tertindas.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari riba?


2. Apakah ada dalil yang mengharamkan riba?
3. Sebutkan macam-macam jenis dan bentuk riba!
4. Bagaimana pendapat ulama tentang keharaman riba?

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang
dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang
atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali yang artinya
adalah “akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui
perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran
kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi
dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau
terlambat salah satunya. Syaik Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki
harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji
pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.1
Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan
(riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi
jumlahnya tidak seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan
jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).

B. Dalil Pengharaman Riba


Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan riba, demikian pula
hadis-hadis yang menerangkan larangan riba dan yang menerangkan siksa bagi pelaku riba.
Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : “bahwasanya jual-beli
itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”.(Q.S Al
Baqarah, ayat 275).

Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan :


Nabi Muhammad SAW. bersabda yang artinya :

1 Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002) h.57

5
Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang suka
makan riba, orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya, orang yang menyaksikan riba.
Rasulullah selanjut bersabda : “mereka semuanya sama”. (dalam berlaku maksiat dan dosa).

C. Macam-macam Riba
Riba itu ada empat macam, yaitu :
1. Riba fuduli
Fuduli artinya lebih, misalnya menjual salah satu dari dua barang yang sejenis yang saling
dipertukarkan lebih banyak daripada yang lainnya, misalnya :
Menjual uang Rp. 100.000,- dengan uang Rp. 110.000,-
Menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras.
Yang dimaksud lebih ialah dalam timbangannya pada barang yang ditimbang ; takaran pada
barang yang ditakar ; ukuran pada barang yang diukur, dan jumlah banyak pada uang yang
dipertukarkan dan sebagainya.

2. Riba qardi
Riba qardi, yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang menghutangi
(qardi=pinjam), seperti orang berhutang Rp. 100.000,-dengan perjanjian akan membayar
kembali kelak Rp. 110.000,-

3. Riba yad
Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima. Misalnya orang yang membeli sepeda
motor, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari si penjual, si penjual tidak boleh menjual
sepeda motor itu kepada siapapun, sebab barang yang dibeli dann belum diterima masih
dalam ikatan jual-beli yang pertama.2

4. Riba nasa’
Riba nasa’, misalnya dipersyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan
ditangguhkan pembayarannya. Umpama, membeli barang kalau tunai Rp. 100.000,- tetapi
kalau tidak tunai harganya Rp.125.000,-. Kelebihan membayar Rp. 25.000,- inilah yang
dinamakan riba nasa’.

Menurut Jumhur Ulama

2 Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia,
2001) h.262-263

6
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
a.  Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta pada akad jual-beli
yang diukur dan sejenis. Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung
unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh
karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan
salah satunya agar terhindar dari unsur riba.3

b. Riba Nasi’ah
Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak, dengan pembayaran
diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu tengah kilogram gandum,
yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak ditimbang, seperti membeli
satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan. Ibn
Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpendapat bahwa riba
yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah.

Menurut Ulama Syafi’iyah


Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tigas jenis :
a. Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari
yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi
pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah
kilogram kentang.

b. Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-cerai antara dua orang
yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum
dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad. Menurut ulama
Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.

c. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.
Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran

3. Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung :


CV Pustaka Setia, 2001) h.264

7
barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang,
sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu
pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan
riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada ribs
fadhl.

Jenis-jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-
piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :

a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).

b. Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya
pada waktu yang ditetapkan.4

c. Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

d. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan
jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

D. Pendapat Ulama Tentang Keharaman Riba

4. Ghufron A. Mas’adi, fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) h.151-
152

8
Secara umum ulama sepakat tentang pengharaman riba Nasi’ah. Sebaliknya mereka
berbeda pendapat sekitar hukum riba Fadhl. Perbedaan terjadi dikalangan ulama, baik
sahabat, tabi’in maupun pemikir hukum Islam (fuqaha) kemudian. Sejalan dengan itu, maka
ada sejumlah ulama yang mengharamkan keduanya., riba nasi’ah dan riba fadhl. Dengan
pengharaman ini, maka semua jenis yang dikelompokan pada kelompok riba, dan salah satu
termasuk didalamnya bunga bank, adalah bunga yang diharamkan.

Sahabat dan tabi’in yang dengan secara mutlak membolehkan riba fadhl, sebagaimana
disebutkan sebelumnya, adalah Ibn Umar (namun ada riwayat yang mengatakan, bahwa
beliau sudah menarik fatwanya), Ibn ‘Abbas (diperselisihkan tentang penarikan
pendapatnya), Usamah ibn Said, Abdulah ibn Zubair, Zaid ibn Arqam, Said ibn Mutsaijab
dan Urwah ibn Zubair. Mereka berpegang pada hadits Nabi; “bahwa riba hanya pada nasiah”.

Sedangkan Ibnu Qayyim berpendapat, bahwa hukum asli riba memang dilarang. Namun


untuk kondisi tertentu bisa ditolerir. Pentoleriran yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Untuk riba nasiah diperbolehkan dalam kondisi darurat, sama dengan kebolehan
memakan binatang yang diharamkan dalam Islam ketika darurat. Sementara untuk
2) Riba fadhl dibolehkan ketika dalam keadaan membutuhkan (hajat).

Namun perlu dicatat, bahwa Ibnu Qayyim mnggunakan istilah yang agak berbeda untuk
tujuan yang sama. Untuk riba nasiah olehnya disebut dengan riba jali. Sedang riba fadhl
disebut dengan riba khafi. Riba jali, menurut dia, hukumnya haram karena mengandung
mudharat yang besar. Sementara riba khafi juga haram karena bisa membawa pada riba jali.
Adapun pengharaman riba jali karena di dalamnya ada maksud menambah harta dengan cara
bathil. Sedang pengharaman riba khafi karena didalamnya ada kemungkinan membawa
kepada riba jali. Denga ungkapan lain, pengharaman riba khafi hanyalah bersifat Saddu al-
Zarai (alasan preventif).5

Muhammad Jamar Mughirah, mempunyai pemikiran yang sejalan dengan Ibnu Qayyim,
bahwa pengharaman riba nasi’ah karena zatnya sendiri. Sementara pengharaman riba fadhl
karena alasan preventif. Akhirnya dia mencatat, hukum mengambil riba fadhl dibolehkan
dalam keadaan darurat. Adapun barometer darurat, bagi dia adalah jika keadaan itu benar-
benar merupakan pokok untuk meneruskan hidup. Untuk sekedar perbandingan, dia
memberikan ukuran hajat dengan kriteria, bahwa dengan hajat ini seseorang masih bisa
menjadi kaya walaupun dengan jalan sabar dan sakit-sakit.
5 Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih Muslim sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, (PT. Tinta Abadi Gemilang : 2013) h.108-109

9
Ahmad Musthafa Al-Maraghi juga menjadikan lipat ganda sebagai syarat pengharaman
riba. Ketia membahas al-Baqarah ayat 275-279, Al-Maraghi membagi riba menjadi dua yaitu
riba nasi’ah dan riba fadhl. Adapun bunga bank tidak termasuk pada kategori riba nasi’ah.
Namun perlu dicatat, walaupun berpendapat demikian, al-Maraghi tetap menginginkan
adanya bank Islam yang sesuai dengan sistem perekonomian Islam. Al-Maraghi juga
menganjurkan agar umat Islam berusaha untuk membentuk sistem ekonomi dan perbankan
yang Isalmi.kemudian al-Maraghi menjelaskan bahwa ada dua macam yang diharamkan
dalam Islam; zatnya sendiri dan karena faktor lain.

Dari penjelasan ini, dia kemudian mengatakan, pengharaman riba nasi’ah adalah haram
dengan zatnya sendiri. Sementara riba fadhl dikarenakan adanya unsur nasi’ahnya. Jadi
pengharaman riba fadhl tidak langsung dari riba fadhl itu sendiri. Tetapi dengan jalan riba
fadhl ini juga sering memunculkan penganiayaan yang menjadi unsur diharamkannya riba
nasi’ah. Sesudah membahas arti kata-kata yang ada disurat al-Baqarah ayat 275-281, al-
Maraghi memberi alasan penyebutan riba, dengan alasan karena orang melakukan riba
mengambil harta orang lain tanpa henti. Kemudian diteruskan dengan pembagian riba,
sebagaimana umumnya ulama: riba nasi’ah dan fadhl. Dia juga mendifinisikannya sama
dengan ulama pada umumnya. Dengan menukil dari at-Thabari, al-Maraghi kemudian
mencatat, bahwa riba nasi’ah inilah yang mengakibatkan lipat ganda, dan karena itu
diharamkan Allah.6

Adapun al-Maraghi membahas tentang rahasia pengharaman riba yang secara ringkas
disebut ada empat. Pertama, karena riba bisa menghambat seseorang dalam mengambil
profesi yang sesungguhnya. Misalnya seseorang yang sebenarnya ahli di bidang industri,
menjadi tidak ditekuni karena dengan riba dia sudah bisa mangembangkan ekonominya,dan
dengan cara ini menjadikannya malas dan mempunyai keinginan untuk mangambil harta
orang lain secara terus menerus.

Kedua, riba bisa melahirkan permusuhan dan saling membenci serta hilangnya sifat
tolong menolong. Ketiga, bahwa dalam Islam memang diperbolehkan mangambil keuntungan
satu pihak dari pihak lain, tetapi dengan riba uang bisa diambil tanpa adanya pengganti. Hal
ini merupakan satu perbuatan aniaya (dhalim). Keempat, perbuatan riba mangakibatkan
kerusakan dan kehancuran. Hal ini terlihat dengan banyaknya rumah yang harus dijual dan
harta yang hilang karena proses riba.

6. Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.777-778

10
Ketika membahas surah al-Baqarah ayat 275-279, al-Thabari mengatakan, sebagaimana
yang dikutip oleh Khoeruddin Nasution ada dua jenis riba; riba jual beli dan riba dengan
penundaan pengembalian hutang disertai dengan sejumlah tambahan. Maka, menurutnya,
salah satu dari kedua jenis riba ini diharamkan, yaitu riba yang mengandung tambahan karena
adanya penundaan waktu (nasi ’ah). Sedang riba yang dibolehkan adalah riba yang ada
tambahan pada jual beli, yang tambahannya tidak bertambah, baik kalau dibayar dengan
segera atau tidak (fadhl).

Konsep Riba dan Dasar Keharamannya


Secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan). Seluruh fuquha sepakat
bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam Al-
Quran dan al-Hadis.
Pernyataan Al-Qur’an tentang larangan riba dan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa
riba yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 276 yang artinya “ jika kamu tidak
meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi
kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada diantara kamu
orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya.
Jika illat riba adalah dzulm (penindasan dan pemerasan) dan hikmah pengharaman riba
adalah untuk menumbuh suburkan shadaqah, maka dengan sendirinya tradisi riba yang
diharamkan oleh Al-Qur’an adalah praktek riba yang bertentangan dengan seruan shadaqah.

Illat Pengharaman
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang pokok yang sangat
dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari kehidupan.Emas dan perak adalah
dua unsur pokok bagi uang yang dengannya transaksi dan pertukaran menjadi teratur.
Keduanya adalah standar harga-harga yang kepadanya penentuan nilai barang-barang
dikembalikan. Sementara keempat benda lainnya adalah unsur-unsur makanan pokok yang
menjadi tulang punggung kehidupan.7
Apabila riba terjadi pada barang-barang ini makan akan membahayakan manusia dan
menimbulkan kerusakan dalam muamalah. Oleh karena itu, syariat melarangnya, sebagai
bentuk kasih sayang terhadap manusia dan perlindungan terhadap maslahat-maslahat. Dari
sini tampak jelas bahwa ilat pengharaman emas dan perak adalah keberadaan keduanya

7  Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002) h.59

11
sebagai alat pembayaran. Sementara ilat pengharaman benda-benda lainnya adalah
keberadaanya sebagai makanan pokok.
Apabila ilat pertama ditemukan pada alat-alat pembayaran lainnya selain emas dan perak
maka hukumnya sama dengan hukum emas dan perak sehingga tidak boleh diperjualbelikan
kecuali dengan berat yang sama dan diserahterimakan secara langsung. Demikian juga,
apabila ilat kedua ditemukan pada makanan pokok selain gandum, jelai, kurma, dan garam
maka tidak boleh dijualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan diserahterimakan secara
langsung. Ma’mar bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang untuk
menjualbelikan makanan kecuali dengan berat yang sama.

Syarat Menghindari Riba


Syarat menjual sesuatu barang supaya tidak menjadi riba, yaitu :
1.    Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, makanan dengan makanan yang sejenis,
misalnya beras dengan beras, hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat, yaitu :
a. Serupa timbangan dan banyaknya
b. Tunai
c. Timbang terima dalam akad (Ijab qabul) sebelum meninggalkan majlis akad

2.    Menjual emas dengan perak dan makanan dengan makanan yang berlainan jenis, misalnya
beras dengan jagung, hanya dibolehkan dengan dua syarat, yaitu :
a. Tunai
b. Timbang terima dalam akad sebelum meninggalkan majlis akad (taqaabul qablat-
tafaaruq)
Keterangan :
Yang dikenai hukum riba hanya pada tiga macam, yaitu emas, perak dan makanan manusia
(termasuk makanan yang bukan obat).

Hikmah diharamkannya Riba


Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat negatif bagi
perseorangan maupun masyarakat, yakni :
1. Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi tulang punggung gotong-royong atas
kebajikan dan takwa.
2. Sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan miskin.
3. Melenyapkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang yang membutuhkan.

12
4. Menjadikan pelakunya malas bekerja keras.
5. Menimbulkan sifat menjajah darikaum hartawan terhadap orang miskin.

Keterangan :
Yang dikenal hukum riba hanya ada empat macam, yaitu emas, perak, makanan manusia dan
uang.

Dampak Negatif Riba


1. Dampak Ekonomi
Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga
sebagai biaya utang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga
adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan
ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam
dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari
ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan.

2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba
menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalika,
misalnya, 25% lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Siapa pun tahu bahwa berusaha
memiliki dua kemungkinan : berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah
memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang menimbulkan penderitaan
bagi masyarakat, baik itu secara ekonomi, moral, maupun sosial. Oleh karena itu, Al-Qur’an
melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun menerima riba. Dalam mengungkap
rahasia makna riba dalam Al-Qur,an, ar-Razi menggali sebab dilarangnya riba dari sudut
pandang ekonomi, dengan beberapa indikasi sebagai berikut :
a) Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apapun.
Padahal, menurut sabda Nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang
lain.

13
b) Riba dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha mencari
rezeki. Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan bergantung pada
cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
c) Dengan riba, biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam semakin miskin,
sekiranya dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin.
d) Riba secara tegas dilarang oleh Al-Qur’an, dan kita tidak perlu tahu alasan
pelarangannya.

Ancaman Bagi Pelaku Riba 


Hadis Muslim yang artinya :
“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, kedua saksinya, mereka
semua sama”. (Matan lain : Ahmad : 13744)
Riba diharamkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Berikut hadis yang melarang dan
mengecam praktik riba dengan kata-kata yang tegas dan jelas.[14]
Hadis Ahmad yang artinya :
Nabi Muhammad bersabda : “riba itu sekalipun dapat menyebabkan bertambah banyak,
tetapi akibatnya akan berkurang”. (Matan lain : Ibnu Majah 2270)
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan praktik riba, bahwa riba memang
dapat mendatangkan keuntungan besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan
mendapatkan berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.

14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Riba dapat timbul dalam pinjaman
(riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua
jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba
fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena
melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).
Hukum riba adalah haram karena bersifat merugikan pihak yang lain. Islam
mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat
278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba, juga mengandung
unsur eksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak bolehmenganiaya dan tidak (pula)
dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipatgandakan (ad'afan mudhaafan) uang yang
telah dihutangkan, karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.
Macam-macam riba yaitu riba fudui, riba qardi, riba yad dan riba nasa’. Jenis-jenis riba
ada riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadhl, dan riba nasi’ah.
Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-barang pokok yang sangat
dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat disingkirkan dari kehidupan. Semua itu tidak boleh
diperjualbelikan kecuali dengan berat yang sama dan telah diserahterimakan secara langsung.
Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang sangat negatif bagi
perseorangan maupun masyarakat, yakni : Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi
tulang punggung gotong-royong atas kebajikan dan takwa, sangat menghalangi kepentingan
orang yang menderita dan miskin, melenyapkan manfaatyang wajib disampaikan kepada
orang yang membutuhkan, menjadikan pelakunya malas bekerja keras, menimbulkan sifat
menjajah darikaum hartawan terhadap orang miskin.

15
DAFTAR PUSTAKA

A.Mas’adi Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,


2002.
Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2012.
Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta :
Darul Haq, 2004.
Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Syafei Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Rifai Moh, Mutiara Fiqih, Semarang : CV Wicaksana, 1998.
Nur Diana Ilfi, Hadis-hadis Ekonomi, Malang : UIN-Maliki Press, 2012.

16

Anda mungkin juga menyukai