Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

RELIGIUSITAS/KEMATANGAN DALAM BERAGAMA


Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Agama
Dosen pengampu : Bpk. Arif Ismunandar, M.Pd

Di susun oleh:
HASAN BISRI ZAM ZAMI
IMAM SAN ROFIQ

MURIDAN

Semester V

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)


JAYASAKTI KEC.ANAKTUHA KAB.LAMPUNG TENGAH
TAHUN PELAJARAN 2021-2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas berbagai nikmatNya sehingga


makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai, tidak lupa kami mengucapkan
Jazakumullah Khairan Katsir terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jumat, 02 Desember 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………….. ...1


KATA PENGANTAR ………………………………………………….......2
DAFTAR ISI …………………………………………………………….... .3

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………4
A.Latar Belakang Masalah …………………………………………………...4
B.Rumusan Masalah…………………………………………………………..5
C.Tujuan Penulisan…………………………………………………...............5

BAB II PEMBAHASAN ………………….………………………………… 6


 A. Pengertian kematangan beragama?.................................................................6
B. Kriteria kematangan beragama?......................................................................7
C. Manisfestasi kematangan beragama dalam prilaku keberagamaan?................8

BAB III PENUTUP…………………………………………………………12


Kesimpulan …………………………………………………………………..12
Saran………………………………………………………………………….12
Daftar Pustaka………………………………………………………………..13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Berbicara tentang kematangan beragama akan terkait erat dengan


kematangan usia manusia. Perkembangan keagamaan seseorang untuk sampai
pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan proses yang panjang. Proses
tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri seseorang atau
karena berbarengan dengan kematangan kepribadiannya. Sebagai hasil dari
konversi, seringkali seseorang menemukan dirinya mempunyai pemahaman yang
baik akan kemantapan keagamaannya hingga ia dewasa atau matang beragama.
Demikian halnya dengan  perkembangan kepribadian seseorang, apabila telah
sampai pada suatu tingkat kedewasaan, maka akan ditandai dengan kematangan
jasmani dan ruhani. Pada saat inilah seseorang sudah memiliki keyakinan dan
pendirian yang tetap dan kuat terhadap pandangan hidupatau agama yang harus
dipeganginya. Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu
perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur
berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai
manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan rohani diukur
berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu
bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan beragama (maturity).

Kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan kematangan


rohani. Secara normal, memang seseorang yang sudah mencapai tingkat
kedewasaan akan memiliki pula kematangan rohani seperti kematangan berpikir,
kematangan kepribadian maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara

4
kedewasaan  jasmani dan kematangan rohani ini adakalanya tidak berjalan sejajar.
Secara fisik (jasmani) seseornag mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia
ternyata belum matang.1.1

B.Rumusan masalah

1.     Pengertian kematangan beragama?

2.     Kriteria kematangan beragama?

3.     Manisfestasi kematangan beragama dalam prilaku keberagamaan?

C.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan makalah ini selain memenuhi tugas psikologi agama, juga
agar mahasiswa mampu mengetahui tentang pengertian kematangan beragama
serta manifestasinya atau perwujudan dalam prilaku keberagamaan sehari-hari.

https://iainspblog.blogspot.com/2020/04/makalah-psikologi-kematangan-
1.1

beragama.html

5
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kematangan Beragama

Kematangan beragama yang dimiliki oleh setiap manusia, merupakan


perilaku yang baik yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan
dirasakan oleh orang-orang sekitarnya. Apabila dari anggota masyarakat
berperilaku baik, kehidupan pada masyarakat tersebut merupakan mata air yang
bersih dan sejuk. Dan dari setiap jiwa akan memancarkan cahaya yang merupakan
pandangan yang indah bagi siapa saja yang memandangnya.

Kematangan atau kedewasaan seorang dalam beragama biasanya


diperlihatkan dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat dan teguh karena
menganggap benar akan agama yang dianutnya dan dia memerlukan agama dalam
hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama bukan saja memegang teguh
pemahaman keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan dibarengi dengan pengetahuan
keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri
seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa
dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab.1

Jadi, kematangan beragama dapat dipahami sebagai watak keberagamaan


yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman hidup seseorang yang
terkumpulkan kedalam pola sikap dan perilaku sehari-hari.

6
1
 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 90-91.

B.    Kriteria Kematangan Beragama

Adapun karakteristik dari kematangan beragama, yaitu:

1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang


matang, bukan sekedar ikut-ikutan.

2. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak


diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.

3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha


untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.

4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung


jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap
hidup.

5. Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas.

6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan


beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan
atas pertimbangan hati nurani.

7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian


masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam
menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.

8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan


sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial
keagamaan sudah berkembang.2

7
2
 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.
107-108.

Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience, William James


menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu tipe orang yang sakit jiwa dan tipe orang yang sehat jiwa.
Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda3

C.    Manifestasi Kematangan Beragama dalam Perilaku Keberagamaan

Dalam pandangan Islam, manusia dilahirkan dengan diberikan potensi


keberagamaan (fitrah) . seiring dengan pertumbuhan fisik dan psikis (mental)
yang dialami oleh setiap orang fase ke fase, maka perkembangan  tingkat
keberagamaanya pun berbeda-beda. Selain itu, perbedaan keberagamaan dalam
beragama juga berawal dari perbedaan kedudukan dan derajat mempengaruhi pula
kehidupan sosial, ekonomi, dan politik mereka.

Dalam manifestasinya perilaku keberagamaan diukur dari aspek aqidah,


ibadah dan akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan hal yang bersifat abstrak
dan penelusurannya sangat sulit melalui indra, maka pengukuran tingkat
keberagamaan seseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas pelaksanaan ibadahnya
dan penampilannya melalui akhlaknya.

1. Manifestasi kematangan beragama secara individu

a.      Agama sebagai sumber nilai dalam menjaga kesusilaan

Ajaran dalam agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia. Nilainilai


inilah yang dijadikan sebagai acuan dan sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia.
Firman Allah yang artinya “kitab (Al-Qur’an) tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Qs. Al-Baqarah: 2)

8
[3] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal.
127.
Agama menjadi kerangka acuan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku agar
sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. McQuire memposisikan sistem nilai
yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat.
Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan
individu dan masyarakat.

Individu yang tumbuh menjadi dewasa selalu memerlukan suatu sistem


nilai sebagai tuntutan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang
berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya.

b.     Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi

Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari kebutuhan


fisik seperti; makanan, ketenteraman, istrirahat, dan seksual, sampai kebutuhan
psikis seperti; keamanan batin, ketenteraman batin, persahabatan, penghargaan,
dan kasih sayang. Pengamatan psikologis menunjukkan bahwa keadaan frustasi
itu dapat menimbulkan tingkah laku keagamaan. Orang yang mengalami frustasi
tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan untuk mengatasi frustasinya.

c.      Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan

Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama adalah bahwa


agama dianut sebagai sarana untuk mengatasinya, fokusnya pada ketakutan yang
tidak ada objek. Kita sering menemukan ketika seseorang medapatkan musibah
maka ibadahnya semakin meningkat karena meminta kepada Allah SWT supaya
masalah yang dihadapinya tetap selesai. Fungsi agama adalah untuk menemukan
jalan keluar atau ketenangan dalam menghadapi masalah tersebut.

d.     Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan

Agama mampu memberi jawaban atas kesadaran intelektual kognitif, sejauh


kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologi, yaitu oleh

9
keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat
menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah alam semesta ini.
Manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam
kehidupan tanpa agama, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia
hidup di dunia,  dan mengapa manusia ada dan ke mana manusia kembalinya
setelah mati.4

  2. Manifestasi kematangan beragama secara kelompok (bermasyarakat)

a.      Berfungsi edukatif

Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyeluruh dan melarang. Kedua


unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan
bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik
menurut ajaran agama masing-masing.

b.     Berfungsi penyelamat

Keselamatan yang meliputi bidang secara luas adalah keselamatan yang


diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada
penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat.
Agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal terhadap sesuatu bersifat
sakral yang disebut supranatural.

c.      Berfungsi sebagai perdamaian

Seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin


melalui tuntutan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi
hilang dari batinnya apabila seseorang yang bersalah telah menebus dosanya
melalui taubat, pensucian jiwa, atau pun penebusan dosa.

d.     Berfungsi sebagai sosial control

Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma-norma dalam


kehidupan, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas, baik
secara individu maupun secara kelompok, karena:

10
4
Mar’atus Sholihah, “Kedewasaan Beragama Pada Anak Usia Dasar,” Jurnal
Falasifa, Volume 6, No. 1, Maret 2018, hlm. 103-104.
1)     Secara instansi, agama merupakan norma yang harus dipatuhi oleh para
pengikutnya.

2)     Secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis


(kenabian).

e.      Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas

Para penganut agama secara psikologis akan merasa memiliki  kesamaan


dalam satu-kesatuan pada iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan
menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan
kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Rasa persaudaraan
(solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.5

11
5
 Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Radar Jaya, 2007), hlm. 227-233.

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kematangan atau kedewasaan seorang dalam beragama biasanya


diperlihatkan dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat dan teguh karena
menganggap benar akan agama yang dianutnya dan dia memerlukan agama dalam
hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama bukan saja memegang teguh
pemahaman keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan dibarengi dengan pengetahuan
keagamaan yang cukup mendalam. Dan begitu juga kriteria kematangan beragama
diantaranya: Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan
berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan, Tingkat
ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga
sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup, Bersikap lebih terbuaka
dan wawasan yang lebih luas. Dalam manifestasinya perilaku keberagamaan
diukur dari aspek aqidah, ibadah dan akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan
hal yang bersifat abstrak dan penelusurannya sangat sulit melalui indra, maka
pengukuran tingkat keberagamaan sesseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas
pelaksanaaan ibadahnya dan penampilannya melalui akhlaknya.

B.Saran      

Kami menyadari terdapat kekurangan dalam makalah kami ini jadi kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca semua agar kami
kedepannya dapat lebih baik lagi.

12
13
DAFTAR PUSTAKA

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Mar’atus Sholihah, “Kedewasaan Beragama Pada Anak Usia Dasar,” Jurnal


Falasifa, Volume 6, No. 1, Maret 2018.

 Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Radar Jaya, 2007.

14

Anda mungkin juga menyukai