Disusun oleh:
M. YOELANDO ZAFRAN
(2114090017)
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana ciri sikap keberagamaan?
2. Apa yang dimaksud denagan mistisisme?
C. TUJUAN
1. Mengetahui ciri sikap keberagamaan
2. Mengetahui tentang mistisisme
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
toleransi dalam beragama. Orang yang matang beragama manyadari bahwa
pemeluk agama lain boleh saja sangat yakin sepenuh hatinya dengan agamanya
dan menganggap ajaran agamanyalah yang paling benar. Orang yang matang
beragama menyadari sepenuhnya bahwa anggota kelompok agama yang berbeda
sekaligun ajaran pokok agamanya sama bisa memiliki keyakinan yang khas,
sesuatu yang berbeda dengan apa yang diyakini individu.
Sebagai contoh, dalam Islam ada kelompok agama yang memilih ber-
tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan perantara tertentu) melalui
orang-orang saleh dan ada yang hanya memilih melalui amalan tertentu (seperti
membaca zikir, asmaul husna, fatihah, bacaan qur’an lainnya). Sekalipun tidak
memilih bertawassul melalui orang saleh, orang yang matang beragama tetap
menghargai tawassul yang dilakukan kelompok agama yang menggunakan orang-
orang saleh di masa lalu sekalipun dirinya hanya mau bertawassul dengan
menggunakan amal tertentu.
3. Dinamis dalam beragama
Orang yang matang beragama banyak merenungkan dirinya agar terus
melakukan perubahan atau perbaikan. Dalam Islam, umat beragama diperintahkan
untuk melakukan tafakkur (melakukan renungan yang mendalam). Perenungan
diri dimaksudkan untuk menilai apakah dirinya telah menjalankan agama secara
lebih baik dari waktu ke waktu. Perenungan diri ini sangat berguna untuk
mengukur sejauh mana pencapaian dirinya dalam beragama. Perenungan juga
dilakukan sejauh mana dirinya telah memberi sumbangan kepada pengembangan
masyarakat yang ada di sekitarnya, terutama keterlibatan dirinya dalam
memperbaiki perilaku atau akhlak masyarakat yang ada di lingkungannya.
Kesadaran diri ini mendorong mereka untuk meningkatkan kualitas
keberagamaannya yang ditandai oleh peningkatakan kebermaknaan dirinya di
hadapan Tuhan. Kebermaknaan hidup sendiri dicapai melalui kebermaknaan atas
ritual atau ibadah yang rutin dilakukannya dan perilaku sosial yang telah
ditunjukkannya.
3
4. Konsistensi moral
Orang yang matang beragama berupaya agar perilaku sosialnya didasari
oleh prinsip-prinsip moral yang ada dalam agamanya. Mereka berupaya untuk
dapat menjunjung tinggi kejujuran, penghargaan terhadap sesama, keberpihakan
terhadap fakir miskin dan anak yatim, dan sebagainya dikarenakan ajaran agama
menuntun demikian. Mereka juga berupaya meninggalkan penipuan termasuk
korupsi, perzinaan, minuman keras, dan kemaksiatan lainnya dikarenakan agama
menuntun demikian.
5. Berupaya mengaitkan agama dengan bidang lain kehidupan
Orang yang matang secara menyadari bahwa agama mengatur seluruh sisi
kehidupannya. Agama mengatur kehidupannya terkait ekonomi, kesenian, politik,
lingkungan, seni dan budaya, teknologi, dan sebagainya. Beragama secara matang
beragama berarti mengupayakan agar seluruh kehidupan itu terintegrasi dengan
agama. Dalam berpolitik, individu merujuk ke ajaran agamanya. Ketika
melakukan aktivitas ekonomi, mereka merujuk ke agamanya. Ketika berkesenian,
mereka merujuk ke agamanya. Ketika memandang dan memperlakukan
lingkungan fisik, tumbuhan, dan binatang, mereka juga merujuk ke ajaran
agamanya. Ketika memanfaatkan teknologi apapun, mereka merujuk kepada
ajaran agamanya.
6. Berupaya untuk selalu mengembangkan pemahaman dan
penghayatan agama
Orang yang matang beragama menyadari keterbatasan dirinya dalam
beragama, terutama ilmu agama. Karenanya, mereka berusaha untuk terus
menerus meningkatkan pengetahuan dan penghayatan agamanya. Mereka
membuka diri untuk memperoleh pencerahan secara terus menerus demi
meningkatkan pengetahuan dan penghayatan agamanya. Mereka tidak nyaman
kalau hari berganti namun pengetahuan dan penghayatan agamanya mandek
apalagi setback (mengalami kemunduran).(Fuad, 2021)
4
B. MISTISISME DAN PSIKOLOGI AGAMA
Pendefinisian istilah mistisisme telah menjadi salah satu isu yang
kontroversial dalam kajian modern tentang mistisisme. Secara umum diketaui
bahwa Kata mistisisme berasal dari kata mysterion dalam bahasa Yunani yang
berarti rahasia. Sehingga dalam bahasa Indonesia timbul kata misteri dan
misterius yang berarti rahasia atau sesuatu yang tersembunyi (Wahidi, 2013).
Namun, ada beberapa penulis menggunakan istilah tersebut dengan
merujuk pada subjek yang beralainan, berikut ini akan dijelaskan beberapa
definisi mistisme menurut para ahli. Menurut Harun Nasution (1979) dalam
tulisan orientalis Barat, mistisme yang dalam Islam adalah tasawuf disebut
sufisme. Sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus
untuk sebutan mistisisme Islam. Sebagaimana halnya mistisme, tasawuf atau
sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadriat Tuhan.
Intisarinya adalah kesdaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh
manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Menurut William James ada empat ciri dari mistisisme yaitu sebagai
justifikasi dalam menentukan suatu pengalaman mistis. Dua diantara ciri pertama
adalah „tidak terbahaskan‟ (ineffability) dan „kualitas bermutan intelektual‟
(noetic quality) mencirikan segala situasi yang dapat disebut mistis. Sisanya „sifat
sementara‟ (transciency) dan „kefasifan‟ (passivity) atau peran fasik sang
mistikus yang hanya menerima pengalaman mistis. Menjadi ciri yang tidak
menentukan namun seringkali ditemukan (Zarrabizaadeh, 2011). Ciri khas
mistisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan
bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang
mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai
„kemanunggalan‟ (pengalaman menyatu dengan Tuhan). Kondisi ini digambarkan
oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu
dengan Tuhan. Kondisi kesadaran serupa juga dialami oleh tokoh mistik nonteisik
(kalangan para penganut Budha).
5
Namun baik tokoh mistik teistik maupun nonteisik akan sependapat
mengenai arti penting pengalaman yang mereka anggap sebagai presepsi murni
terhadap salah-satu aspek realitias, meskipun barangkali mereka berbeda jauh
dalam penyataan herbal yang mereka gunakan ketika mengemukakan mengenai
apa yang mereka presepsikan (Thouless, 2001). Kondisi kesadaran mistik seperti
ini diperoleh melalui kontemplasi dan pengasingan diri dari kehidupan sosial.
Mistisme dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan prilaku
agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari
absah tidaknya mistisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing.
Dengan demikian mistisme menurut pandangan psikologi agama, hanya
terbatas pada upaya untuk mempelajari gejalagejala kejiwaan tertentu yang
terdapat pada tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang
mereka anut. Mistisme merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan
tokoh-tokoh mistik, baik yang teistik maupun nonteistik. Arti penting mistisisme
bagi psikologi agama adalah bahwa ia merupakan rangsangan kreatif dalam
pemikiran agama. Tokoh mistik mengakui pengalaman-pengalamannya sebagai
bentuk pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang
cenderung menjadikannya sebagai inovator dalam agama: Santo Paulus, Fox dan
Nabi Muhammad SAW, semuanya melakukan perubahanperubahan drastis dalam
tradisi keagamaan yang mereka warisi (Thouless, 2001).
Kondisi kesadaran akan adanya pengalaman menyatu dengan Tuhan, atau
istilah umumnya disebut dengan kemanunggalan ini tampaknya memang sudah
dialami tokoh-tokoh mistik zaman kuno. Ada beberapa halhal yang termasuk
kategori mistisisme, yaitu:
1. Gaib
Ilmu gaib yang dimaksud disini adalah cara-cara dan maksud
menggunakan ketentuan-ketentuan yang diduga ada di alam gaib, yaitu yang tidak
dapat diamati oleh rasio dan pengalaman fisik manusia. Kekuatan-kekuatan gaib
ini ini di percayai di tempat-tempat tertentu, pada benda-benda (pusaka) ataupun
berada dan menjelma dalam tubuh manusia. Sejalan dengan kepercayaan tersebut
timbullah fetis, tempat keramat dan dukun sebagai wadah dari kekuatan gaib.
Berdasarkan fungsinya kekuatan gaib itu dibagi menjadi:
6
Kekuatan gaib hitam (black-magic) mempunyai pengaruh jahat
Kekutan gaib merah (red-magic), untuk melumpuhkan kekuatan atau
kemauan orang lain (hypnotism).
Kekuatan gaib kuning (yellow-magic), untuk praktek occultism.
Kekuatan gaib putih (white-magic), untuk kebaikan (Subagya, 1976).
2. Magis
Magis ialah suatu tindakan dengan anggapan, bahwa kekuatan gaib bisa
mempengaruhi duniawi secara nonklutus dan nonteknis berdasarkan kenangan
dan pengalaman. Orang mempercayai bahwa karenanya orang dapat mencapai
suatu tujuan yang diinginkannya dengan tidak memperlihatkan hubungan sebab
akibat secara langsung antara perbuatan dengan hasil yang diinginkan. Untuk
menjelaskan hubungan antara unsur-unsur kebatinan ini kita pertentangan magis
ini dengan masalah lain yang erat hubungannya:
Magis dan takhayul.
Orang percaya bahwa untuk membunuh seseorang dapat dipergunakaan
bagian dari tubuh orang yang di maksud. Misalkan untuk membunuh musuh
dengan membakar rambut atau kukunya. Tindakan membunuh dengan membakar
rambut dan kuku agar seseorang mati (magis) dan penggunaan rambut dan kuku
sebagai alat pembunuh (takahyul).
Magis dan ilmu gaib.
Jika kita pergunakan contoh di atas, maka mempercayai kemampuan
membunuh dengan menggunakan kemampuan rambut dan kuku melalui suatu
proses pengolahan tertentu secara irasional tergolong ilmu gaib.
Magis dan kultus.
Jika dihubungkan denga kultus maka magis merupakan perbuatan yang
dianggap mempunyai kekuatan memaksa kehendak kepada supernatural (Tuhan).
Kultus merupakan perbutan yang terbatas pada mengharap dan meempengaruhi
supernatural (Tuhan).
7
3. Kebatinan
Menurut pendapat Djojodiguno berdasarkan hasil penelitiannya di
Indonesia, aliran kebatinan dapat dibedakan menjadi:
Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan
Tuhan selama manusia itu masih hidup agar mansia itu dapat merasakan
dan mengetahui hidup di alam yang baka sebelum manusia itu mengalami
mati.
Golongan yang hendak menggunakan kekuatab gaib untuk melayani
berbagai keperluan manusia (ilmu gaib).
Golongan yang berniat mengenal Tuhan (selama manusia itu masih hidup)
dan menebus dalam rahasia ke-Tuhanan sebagai tempat asal dan
kembalinya manusia.
8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk
memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang
dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang menganut suatu agama karena
menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha
menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah
laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Secara normal
memang seseorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola
kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan kepribadian maupun
kematangan emosi, tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan
kematangan rohani ada kalanya tidak berjalan sejajar, secara fisik (jasmani)
seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ternyata ia belum matang.
B. SARAN
Kesempurnaan adalah keinginan semua orang. Begitu juga dengan
penulis, penulis berharap makalah yang penulis tulis dapat mencapai titik
kesempurnaan. Tetapi pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang sempurna. Begitu
pun dengan makalah ini. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan di dalam
makalah yang penulis buat. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran
yang membangun, agar penulis dapat membuat makalah yang jauh lebih baik
dalam penulisan makalah selanjutnya.
9
DAFTAR PUSTAKA
10