Anda di halaman 1dari 16

AGAMA SEBAGAI SUMBER MORAL

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari


Bapak Dr. Wawan A.R M.Ag Selaku Dosen Mata Kuliah Agama

Disusun Oleh:
Kelompok 4
1. Dyah Fuji Lestari
2. Dzanisya Widia Nusatira
3. Sherina Elfa
4. Sri Wahyuni

Kelas 1B D3 Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN CIREBON
Alamat : Jalan Pemuda Nomor 38 Telp 245739
Cirebon
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt., atas rahmat dan karunia yang
diberikan-Nya, sehingga penulis pada kesempatan ini dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Agama Sebagai Sumber Moral”.

Makalah ini berisi uraian materi mengenai Agama Sebagai Sumber Moral. Penulis
membuat makalah ini dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari dosen mata kuliah
Agama.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami hambatan. Akan tetapi, karena
berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat diselesaikan. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Hj. Betty Suprapti, SKp, M.Kes., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya,
2. Bapak Dudi Hartono, SKep, Ns, MKep., selaku ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Tasikmalaya,
3. Bapak Komarudin, SKp, Mkep., selaku ketua Program Studi Keperawatan Cirebon,
4. Bapak Dr. Wawan A. R M.Ag, Selaku Dosen Mata Kuliah Agama,
5. kedua orang tua penulis, yang telah memberikan doa dan dukungannya sehingga kliping
membaca ini dapat diselesaikan dengan baik, dan
6. teman-teman penulis, khususnya teman-teman kelas 1B Prodi D3 Keperawatan Cirebon yang
telah memberikan dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena masih
banyak kekurangan dan kekeliruan, baik dalam hal pembuatan maupun penyajiannya. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, guna perbaikan pada masa yang
akan datang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca.

Cirebon, Agustus 2017

Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………..
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………..…

A. Latar Belakang …………………………………………………………...


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………..
C. Tujuan ………….. ………………………………………………………..
BAB II AGAMA SEBAGAI SUMBER MORAL…………………………............

A. Pengertian Agama dan Moral.......................................................................


B. Hubungan Agama dengan Moral................................................................
C. Pendidikan Agama Pada Era Globalisasi.....................................................
D. Akhlak, Moral dan Etika..............................................................................
E. Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus........................................

BAB III PENUTUP …………………………………………………………..……..

A. Simpulan ………………………………………………………………….
B. Saran …………………………………………………………………….…
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………...…
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Agama merupakan sistem kepercayaan yang meliputi tata cara peribadatan hubungan
manusia dengan sang Mutlak, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
alam lainnya sesuai dengan kepercayaan tersebut. Berdasarkan klasifikasi manapun diyakini
bahwa agama memliki peranan signifikan bagi kehidupan manusia, disebabkan agama terdapat
seperangkat nilai yang menjadi pedoman dan pegangan manusia. Salah satunya adalah dalam hal
moral. Moral adalah sesuatu yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Tidak jauh berbeda dengan moral hanya lebih spesifik adalah budi pekerti. Akhlak
merupakan perilaku yang dilakukan tanpa banyak pertimbangan tentang baik dan buruk. Adapun
etika atau ilmu akhlak kajian sistematis tentang baik dan buruk, bias juga dikatakan bahwa etika
merupakan ilmu tentang moral. Hanya saja perbedaan etika dan ilmu akhlak (etika islam) bahwa
pertama hanya berdasar pada akal, sedangkan disebut terakhir berdasarkan pada wahyu, akal hanya
membantu terutama pada perumusan.

B. Rumusn Masalah
1. Apa definisi Agama ?
2. Apa definisi Moral ?
3. Bagaimana Hubungan Agama dengan Moral ?
4. Bagaimana nilai dan ajaran moral manusia ?
5. Bagaimana penerapan moral dalam kehidupan sehari-hari ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Agama
2. Untuk mengetahui definisi moral
3. Untuk mengetahui hubungan agama dengan moral
4. Untuk mengetahui nilai dan ajaran moral manusia
5. Untuk mengetahui penerapan moral dalam kehidupan sehari-hari
BAB II

AGAMA SEBAGAI SUMBER MORAL

A. Pengertian
1. Agama

Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan


(etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut kebahasaan
akan terasa lebih mudah dari pada mengartikan agama dari sudut istilah karena pengertian
agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subjektivitas dari orang orang
yang mengartikannya.

Pengertian Agama menurut para ahli:

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan kepribadian kepada Tuhan yang mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
2. Menurut Nasution 1986) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang
harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu
kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia ia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat
ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali
terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
3. Menurut Michel Meyer ( dalam rousydiy, 1986 ) berpendapat bahwa agama adalah
sekumpulan kepercayaan dan pengajaran-pengajaran yang mengarahkan kita dalam
tingkah laku terhadap Allah Swt., terhadap sesame manusia dan terhadap diri kita
sendiri
2. Moral
Menurut kamus besar bahasa Indonesia moral merupakan kondisi mental yang
membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah berdisplin
B. Hubungan Agama dengan Moral
Dalam pemikiran popular, moralitas dan agama tak dipisahkan. Pada umumnya
orang percaya bahwa moralitas dapat dipahami hanya dalam konteks agama. Agama
mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganut-Nya.
Motivasi yang terpenting dan terkuat bagi perilaku moral seseorang adalah motivasi yang
didasarkan pada agama.

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, seseorang selalu dibenturkan dengan


berbagai perintah dan larangan yang direferensikan terhadap keputusan agama atau
kehendak Tuhan. Contoh konkrit adalah masalah moral yang actual seperti hubungan seks
sebelum menikah, pencurian, perampokan, minum-minuma keras, dan narkoba serta
masalah moral lain yang berkenaan dengan kerugian manusia secara pribadi maupun secara
kolektif. Menghadapi masalah-masalah tersebut, banyak oran mengambil sikap dengan
berdasarkan kepada ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Menurut semua agama,
hubungan seksual sebelum menikah, pencurian, perampokan, minuman keras dan narkoba
adalah perbuatan yang tidak benar, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut akan
diklaim sebagai orang yang tidak bermoral karena telah melanggar ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan suatu agama. Dengan demikian, agama merupakan salah satu sistem
nilai yang mengarahkan setiap pemeluknya untuk hidup secara baik agar ia menjadi
manusia yang baik sesuai dengan kemanusiaannya.

Moralitas dalam perspektif Islam, dalam perspektif islam kata moral sama juga
dengan akhlak. Kata akhlak berasal dari kata “Kholako” dengan akar “Khulukun” yang
memiliki makna perangai, tabiat dan adat. Jadi secara etimologi akhlak berarti perangai,
adat, tabiat, sistem perilaku yang dibuat. Dengan demikian secara kebahasaan akhlak dapat
baik dan buruk tergantung kepada nilai yang dapat dijadikan landasan atau tolak ukurnya.
Sedang secara istilah akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran-ajaran Islam dengan al-
quran dan sunnah rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berpikir Islam.
C. Pendidikan Agama Pada Era Globalisasi

Muchtar Buchori(1992) dalam Muhaimin (2005:23) menilai pendidikan agama masih


gagal. Kegagalan ini terjadi karena dalam praktiknya pendidikan agama hanya memperhatikan
aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan
aspek afektif dan konatif-volatif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai agama.
Dengan kata lain, pendidikan agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama dan kurang
berorientasi pada belajar bagaimana cara beragama yang benar.akibatnya terjadi kesenjangan
antara pengetahuan dan pengalaman antara grosis dan praxis dalam kehidupan kehidupan nilai
agama. Dalam praktik, pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama sehingga tidak
mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral padahal inti dari pendidikan agama adalah
pendidikan moral. selain itu Rasdijanah (1995:4-7) mengemukakan beberapa kelemahan dari
pendidikan agama islam di sekolah, baik dalam pelaksanaanya yaitu : 1.dalam bidang teologi, ada
kecenderungan mengarah pada paham fatalistik; 2.bidang akhlak yang berorientasi pada urusan
sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; 3.bidang ibadah
diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan
kepribadian; 4.dalam bidang hukum(fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak
akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hukum islam; 5.agama
islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan
kepada kemajuan ilmu pengetahuan; 6.orientasi mempelajari Al-Qur’an masih cenderung pada
kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.

Pertumbuhan kesadaran moral pada diri seseorang menyebabkan agama mendapat


lapangan baru(moral) dengan bertambahnya perhatian terhadap nasihat-nasihat agama, dan kitab
suci baginya tidak lagi merupakan kumpulan undang-undang yang adil, yang dengan itu Allah
menghukum dan mengatur dunia guna menunjukan kita pada kebaikan.

Menurut Zakiyah Daradjat(1987:87), pendidikan agama islam adalah suatu usaha unruk
membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami kandungan ajaran islam
secara menyeluruh, menghayati makna dan tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta
menjadika islam sebagai pandangan hidup.
Tayar Yusuf(1986:35) mengartikan pendidikan agama islam sebagai usaha sadar generasi
tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan,kecakapan,dan keterampilan kepada generasi
muda agar kelak menjadi manusia muslim, bertaqwa kepada Allah Swt, berbudi pekerti luhur, dan
berkepribadian yang memahami, menghayati,dan mengamalkan ajaran agama islam dalam
kehidupannya.

Pendidikan agama memiliki fungsi dalam penanaman moral:

1. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt yang telah
ditanamkan dalam lingkungan keluarga.

2. Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat.

3. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkunganya baik lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam.

4. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan


kelemahan-kelemahan manusia dalam keyakinan,pemahaman, dan pengalaman ajaran dalam
kehidupan sehari-hari.

5. Pencegahan,yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain
yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembanganya menuju manusia seutuhnya.

Kegagalan pembentukan individu atau karena yang lain, nilai-nilai yang mempunyai
implikasi sosial dalam istilah Qodry Azizy disebut dengan moralitas sosial atau etika
sosial.padalah penekanan terpenting dari ajaran islam pada dasarnya adalah hubungan antarsesama
manusia(muamalah bayina al-nas) yang sarat dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan moralitas
sosial itu. Ungkapan menurut Theodore Roosevelt menarik unruk direnungkan “to educate a
person in mind and not in monds is to educate a menace to society” (mendidik seseorang
menekankan pada otak/pikiran tidak pada moral adalah sama artinya dengan mendidik atau
menebarkan ancaman kepada masyarakat). Sejalan dengan hal itu, arah pelajaran etika di dalam
Al Qur’an dan secara tegas di dalam hadis nabi mengenai diutusnya Nabi adalah untuk
memperbaiki moralitas bangsa Arab pada waktu itu.

Oleh karena itu, pendidikan agama islam baik makna maupun tujuanya haruslah mengacu
pada penanaman nilai-nilai islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas
sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup(hasanah) di dunia
dan mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.

Seseorang baru bisa dikatakan memiliki kesempurnaan iman apabila dia memiliki budi
pekerti/akhlak yang mulia. Oleh karena itu akhlak dan budi pekerti merupakan salah satu pokok
ajaran islam yang harus diutamakan dalam pendidikan agama islam untuk diutamakan/diajarkan
kepada anak didik. Dengan melihat arti pendidikan islam di ruang lingkupnya itu, jelaslah bahwa
dengan pendidikan islam kita berusaha untuk membentuk manusia yang berkepribadian kuat dan
baik(berakhlak alkarimah) berdasar pada ajaran agama islam.

Peran serta masyarakat dalam pendidikan agama islam sebagai dasar moral

1. Revitalisasi dan reorientasi pendidikan agama di dalam keluarga

Anggota keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki peranan yang
strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan agama.

2. Penguatan learning society dalam pendidikan agama

Salah satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah


masjid,musala,langgar, dan sejenisny. Di setiap rw memiliki masjid atau mushola yang secara
umum mempunyai jamaah masing-masing. Dalam konteks ini, masjid telah berfungsi sebagai
tempat belajar masyarakat untuk meningkatkan wawasan keagamaan/keislaman.

3.Mendorong dan mendukung semua program pendidikan agama di sekolah/madrasah

Meningkatkan pendidikan agama dapat dilakukan dengan mendorong dan mendukung


semua kebijakan sekolah/madrasah yang terkait peningkatan mutu pendidikan agama, baik melalui
program kulikuler, misalnya dengan adanya tambahan khusus jam pelajaran agama membaca Al
Qur’an setiap hari pada awal pembelajaran, kemudian membiasakan berbusana muslim di sekolah
umum.

4. Mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu

Lembaga pendidikan agama islam secara umum masih dianggap lembaga pendidikan
nomor dua jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainya.hal ini menjadi keprihatinan
para pengamat pendidikan islam. Salah satu peran serta aktif masyarakat untuk meningkatkan
mutu pendidikan agama adalahdengan mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan
agama yang berbasis mutu. Untuk menjadikan lembaga pendidikan agama dan keagamaan yang
bermutu aspek yang dipersyaratkan mempunyai standar mutu pula, antara lain aspek
administrasi/manajemen, aspek ketenagaan, aspek kesiswaan,aspek sarana dan prasarana.

5.Penguatan manajemen pendidikan agama

Salah satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama keagamaan yang mayoritas dikelola
swasta. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kurang berfungsinya unsur-unsur managemen
secara baik, dan mengakibatkan terhambatnya akselerasi pencapaian program-program sekolah
yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama.

D. Akhlak, Moral dan Etika

Dalam sistem moralitas baik dan buruk di jabarkan secara kronologis mulai dari yang paling abstrak
hingga yang lebih operasional. Nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu
perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak
khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan dan perilaku. Contoh nilai adalah ketuhanan,
kemanusiaan dan keadilan. Moral merupakan penjabaran dari nilai tapi tidak seoprasional etika. Adapun
etika penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan atau ketentuan pelaksanaan.

Dilihat dari sumber baik nilai ataupun moral diambil dari wahyu ilahi ataupun budaya. Sementara
etika lebih ke kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, moral dan etika dapat saja sama dengan akhlak
manakala sumber ataupun produk budaya sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan tetapi moral dan etika
bisa juga bertentangan dengan akhlak manakala produk budaya itu menyimpang dari fitrah agama islam.
Kriteria moral

Sesungguhnya nilai-nilai moral telah berakar dalam sifat manusia itu sendiri. Meskipun ada
kecenderungan hewaniahnya manusia karena sifatnya ingin memiliki kualitas-kualitas tertentu untuk
memelihara martabat kemanusiaannya. Seluruh eksponen prinsip-prinsip moral seperti yang sudah
dirancang oleh para rosul dan ahli-ahli filsafat, semuanya hanya untuk menyelamatkan seluruh manusia
dan bukan untuk keuntungan kelompok tertentu dan rusaknya kelompok lainnya.

Meskipun prinsip-prinsip moral sifatnya universal dan stabil, tetapi selalu ada fleksibilitas dalam
aplikasinya. Contohnya keterusterangan dalam prinsip moral islam yang tidak bisa dipertengkarkan lagi
tetapi jika pada kasus tertentu keterusterangan itu bisa membahayakan kehidupan, hak milik dan posisi
seseorang maka prinsip itu bisa di abaikan. Meskipun ada kasus-kasus kekecualian dimana sesorang
menghadapi dilema moral, tidak akan menghilangkan nilai prinsip tersebut. Secara menyeluruh, berterus
terang adalah kualitas moral dan spiritual yang mulia. Umumnya seseorang tidak harus menyimpang dari
aturan untuk berterus terang jika tidak ada prinsip moral lain yang berlaku dalam suatu kelompok.

Dari suatu pandang ajaran tertentu, banyak tindakan yang dianggap bermoral dan sesuai dengan
apa yang diinginkan. Tetapi menurut ajaran lain justru tidak bermoral dan dibenci. Sebagai conth ada ajaran
moral yang menganjurkan orang untuk tunduk pada kekuatan orang lain, dan menggapnya sebagai tugas
moral. Tetapi ada ajaran lain yang mengatakan sebaliknya.

Martabat Manusia

Rasulullah SAW telah mengatakan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan martabat dan derajat
manusia. Orang yang menceritakan tradisi tersebut bertanya kepada sayyidina Ali tentang sifat-sifat
tersebut. Sayyidina Ali menjawab “Alim, bersuka hati, toleran, tahu berterima kasih, sabar, murah hati
berani, mempunyai rasa harga diri, bermoral, berterus terang dan jujur. Sifat-sifat mulia tersebut yang
membentuk landasan karakter yang mulia, adalah bagian dari nilai-nilai moral islam yang tinggi. Kita
mempunyai contoh-contoh yang tak terhitung mengenai sifat-sifat seperti itu, dan semua masalah etika
mungkin diperhitungkan berkaitan dengan martabat manusia. Karena itu nabi besar umat Islam dalam
menyimpulkan pesan etikanya, menggambarkan sifat-sifat itu sebagai karakter manusia yang sempurna dan
mulia.
Mendekatkan Manusia dengan Allah Swt.

Hanya sifat-sifat mulia yang telah disebutkan diatas yang akan mendekatkan manusia dengan Allah
Swt. Dengan demikian manusia harus memiliki dan mengembangkan sifat-sifat tersebut apabila kita akan
membahas sifat-sifat Allah dan sebaliknya. Dia Maha mengetahui, Maha kuasa dan Maha kompeten. Semua
tindakan-Nya telah diperhitungkan bak baik.Dia Maha adil, Maha Pengasih dan Penyayang. Semua
merasakan karunia-Nya. Dia menyukai kebenara dan membenci keburukan dan seterusnya. Manusia dekat
dengan Allah sesuai dengan kualitas-kualitas yang dia miliki. Jika sifat-sifa tersebut mendarah daging
dalam dirinya dan menjadi pelengkapnya, bisa dikatakan bahwa dia telah mendapatkan nilai-nilai moral
islam. Rasulullah SAW bersabda “ Binaah iri sendiri sesuai dengan sifat-sifat Allah”.

E Moral Akademik di Dalam dan di Luar Kampus

Tidak seorangpun dari Rasul yang tidak dibebani misi untuk menegakkan moralitas. Dalam
beberapa pernyataan para Nabi tampak bahwa tugas utamanya adalah menegakkan moral (akhlak
al-karimah) di muka bumi. Para Nabi tidak pernah melakukan penyimpangan moral dalam setiap
tindakan yang mereka lakukan. Mereka mampu memegang prinsip moral tesebut walaupun dalam
situasi terdesak dan bahkan ketika berada di tengah-tengah masyarakat yang brutal dan tidak
bermoral.

Moral dalam arti yang luas telah mencakup bagaimana hubungan dengan Tuhan, hubungan
sesama manusia, dan hubungan dengan alam semesta. Orang yang memiliki moral yang baik
adalah yang mampu menyeimbangkan ketiga hubungan di atas pada setiap tempat dan setiap
waktu.

Ulama sebagai pewaris para Nabi tentu bukan hanya berperan sebagai penyampai pesan
agama, tetapi juga harus tampil sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap penegakkan moral
di tengah-tengah umat. Mereka harus mampu menginternalisasikan moral yang terpuji dalam
setiap aktivitasnya. Mereka bukan hanya akan menjadi panutan dalam segi ketinggian ilmu, tetapi
juga menjadi uswatun hasanah dalam bertindak dan berperilaku.
Imam al-Syafi’i dengan mengutip perkataan gurunya menyatakan bahwa: “Ilmu itu adalah
cahaya (nur), dan cahaya tersebut tidak akan diberikan kepada mereka yang durhaka atau
bermaksiat.”

Durhaka yang dimaksud dalam pernyataan ini bukan hanya terbatas pada kedurhakaan
terhadap orang tua, tetapi setiap penyimpangan dari ketaqwaan terhadap Allah, baik yang
menyangkut perbuatan, perkataan, dan pikiran, maupun dalam aktivitas hati (niat).

Dengan demikian, terhalangnya seseorang untuk memperoleh ilmu bukan hanya karena ia durhaka
kepada kedua orang tuanya, tetapi juga karena membiarkan dirinya tenggelam dalam
penyimpangan dari kebenaran.

Kata takwa kerap kali dipahami dan dilaksanakan secara teritorial sehingga seseorang akan
bertakwa dalam suatu keadaan dan suatu tempat dan melepaskannya pada keadaan dan tempat
yang lain. Orang akan bertakwa ketika berada di masjid dan tidak bertakwa lagi manakala berada
di luar masjid. Demikian juga halnya, mahasiswa atau dosen hanya akan bertakwa ketika berada
di dalam kampus dan setelah ke luar kampus menyimpang dari ketakwaan tersebut. Padahal,
ketakwaan tidak dibatasi pada aktivitas tertentu atau tempat tertentu, tetapi pada setiap aktivitas ,
setiap tempat, dan setiap waktu.

Badiuzzaman Said Nursi, pemikir terkenal Turki, menyebutkan bahwa ilmu dan akhlak
bagaikan dua sayap yang satu sama lain harus tetap sejalan, menanggalkan salah satunya berarti
terbang dengan satu sayap. Jika seekor burung harus terbang dengan satu sayap, maka ia akan
terbang dengan terombang-ambing kalau bukannya jatuh dan mati.

Diceritakan oleh pembantunya bahwa Emile Durkheim (Sosiolog Prancis), telah merawat
tokoh ini selama 30 tahun tidak pernah menemukannya berbuat kesalahan atau dosa.

Dengan demikian, moral harus dipandang sebagai suatu yang memiliki nilai otonom dan
universal sehingga ia dapat berlaku pada lintas waktu, lintas aktivitas, dan lintas tempat. Bahkan,
moral harus dianggap sebagai roh dari setiap pekerjaan yang dilakukan, yang hanya dengannya
maka tujuan yang diinginkan akan tercapai.
Penempatan Moral di Atas Ilmu

Kalau diperhatikan kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia, ternyata
“keberilmuan” tidak selalu menjamin penegakkan moral. Contoh yang paling klasik adalah
“keberilmuan” Adam selaku ilmuan pertama umat manusia, saat Allah Swt bertindak langsung
sebagai guru pertama baginya (S Al-Baarah [2]:31).

Adam adalah makhluk yang terpelajar saat itu, di tengah makhluk lain seperti malaikat dan
iblis. Akan tetapi, kenyataan berikutnya bercerita bahwa Adam, setelah didahului oleh Hawa
melakukan pelanggaran moral sebagaimana kespakatan sebelumnya dengan Tuhan (S Al-Baarah
[2]:36).

Menarik sekali komentar Abdullah Yusuf Ali mengenai drama ilmuan ini: “Sebelum
kejatuhan itu mestinya kita menduga bahwa manusia berada dalam alam lain sama sekali: dalam
kebahagiaan, tak berdosa, jujur, dalam kehidupan rohani, tidak mengenal permusuhan, beriman,
serta jauh dari segala kejahatan. Barangkali ruang dan waktu pun tidak ada, dan taman itu
dilambangkan sebagai pohon. Pohon terlarang bukanlan pohon ilmu sebab manusia dalam suasana
yang sempurna telah diberi ilmu yang lebih lengkap dari pada keadaannya yang sekarang, ia bukan
saja dilarang makan dari pohon itu, bahkan mendekatinya pun dilarang.

Sejarah anak manusia kemudian menunjukkan bahwa banyak orang yang berilmu
melakukan pelanggaran moral. Mulai dari yang mengamalkan ilmunya, melacurkan keilmuannya,
menodai kejernihan ilmu yang dimilikinya dengan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan nilai
dan pesan ilmunya, hingga perilaku yang sangat merugikan masyarakat, seperti KKN, menjual
teori untuk kepentingan penjajahan dan yang membiarkan penemuan ilmu pengetahuan menjadi
alat penindasan bagi manusia lain, atau eksploitasi tanpa batas terhadap alam dan lingkungan hidup
hingga merusak ekosistem.

Dalam transisi masyarakat Indonesia, hal yang sam juga sering dirasakan, terutama ketika
sebagian orang yang berilmu tidak berperilaku sejajar dengan ilmu yang dimilikinya.

Keadaan yang disebut terakhir sering mengakibatkan kekecewaan, yang kemudian


memunculkan generalisasi yang kurang akurat seperti terlihat dalam statement “Saat ini kita
membutuhkan orang baik, yang bermoral, berakhlak, bukan orang pintar.”
Statement tersebut di atas tentu tidak benar, sebab kebutuhan kita terhadap keberilmuan
merupakan keniscayaan, apalagi hal itu merupakan salah satu perintah agama. Akan tetapi, yang
menjadi lebih krusial adalah bagaimana agar ilmu yang dimiliki seseorang di-backing oleh moral
atau akhlaknya.

Aluran al-Karim menempatkan para ilmuan pada posisi yang sangat tinggi (S Al-
Mujadalah [58]:11). Akan tetapi, posisi strategis tersebut dibarengi dengan keharusan penegakan
keimanan, ketakwaan, dan penegakan moral., sebab, kitab suci ini memandang orang yang berilmu
sebagai komunitas paling bertakwa kepada Tuhan (S Fathir [35]:28).

Berdasarkan kemestian logika semacam ini, maka islam, menempatkan penegakkan moral
diatas ilmu pengetahuan sebagai statement yang sangat terkenal di kalangan umat ini “Moralitas
berada di atas ilmu”.

Penempatan moral di atas ilmu juga memiliki relevansi yang tinggi dengan filsafat ilmu itu
sendiri sebab filsafat ilmu memandang bahwa suatu ilmu harus memiliki kriteria ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Kriteria yang tersebut terakhir jelas memandang keniscayaan ilmu
bagi kesejahteraan umat manusia.

Dalam konteks ini misi seseorang ilmuan menjadi ganda: pada satu sisi ia menjadi
komunitas “pecerah” masyarakat dan pada saat yang sama ia menjadi “penshaleh” bagi
masyarakat. Apalagi keadaan ini tidak seimbang, maka ketinggian nilai ilmu pengetahuan menjadi
hilang maknanya. Ilmu yang dapat mencerahkan tetapi tidak dapat menshalehkan akan melahirkan
manusia yang cerdas, tetapi jahat. Sebaliknya, manusia yang hanya bermoral tetapi tidak berilmu
sering kali akan menjadi objek dan komoditas yang selalu diperalat dan diombang-ambingkan
pihak lain.
BAB III

Kesimpulan

Agama merupakan sistem kepercayaan yang meliputi tata cara peribadatan hubungan
manusia dengan sang mutlak, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
alam lainnya sesuai dengan kepercayaan tersebut.

Moral yang bersumber agama bersifat mutlak, permanen, eksternal dan universal. Nilai-
nilai moral dalam islam berlaku untuk semua orang dan semua tempat tanpa memandang latar
belakang etnis kesukuan, kebangsaan dan sosial kultural.

Jika dilihat dari maknanya maka persamaan dari moral, akhlak dan etika adalah pada
fungsi, sisi sumber dan pada sifatnya.

Anda mungkin juga menyukai