(PAJAJARAN)
Posted by okthaphia under sejarah | Tag: kidung sundayana, prasasti astanagede, prasasti
canggal, prasasti sang hyang tapak |
Tinggalkan sebuah Komentar
Atas request dari sahabat2 yang sedang mencari info tentang kerajaan Sunda di blog ini maka
saya tuliskan artikel tentang kerajaan Sunda ini. Tapi mohon maaf kalau informasinya agak
sedikit karena yang saya tuliskan ini berdasarkan apa yang saya baca dari buku sejarah… :p
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara maka tidak pernah diberitakan tentang berdirinya
kerajaan di Jawa Barat.
1. Prasasti Canggal
Berita tentang Jawa Barat sedikit tersingkap dengan adanya temuan prasasti Canggal di Gunung
Wukir, Jawa Tengah yang berangka tahun 734M. Prasati itu dibuat atas perintah Sanjaya sebagai
peringatan atas kemenangannya. Prasati ini menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak dari
Sanaha saudara perempuan dari raja Sanna.
prasasti canggal
Kitab Parahyangan juga menyebutkan nama Sanjaya. Namun disebutkan bahwa Sanjaya adalah
anak Raja Sena yang berkuasa di kerajaan Galuh. Nama Sena ini mengingatkan pada raja Sanna
yang disebutkan dalam prasasti Canggal. Pada saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang
Purbasora, saudara seibu dari raja Sena, Sena beserta keluarganya dibuang ke gunung Merapi.
Disinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan
kepada saudara tua ayahnya di Denuh dan akhirnya dia berhasil mengalahkan Rahyang
Purbasora. Sanjaya kemudian mengangkat dirinya menjadi raja di Galuh.
Berdasarkan kedua sumber diatas, belum dapat dipastikan bahwa Sanjaya yang disebut dalam
prasasti Canggal dengan Sanjaya dalam cerita Parahyangan adalah orang yang sama. Namun,
setidaknya dapat diketahui keberadaan kerajaan Galuh yang diperkirakan terletak di perbatasan
Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
b. Berdasarkan gelar Wisnumurti, raja Jayabhupati diduga memeluk agama Hindu aliran Wisnu.
c. Raja Jayabhupati membuat daerah larangan disebelah timur sanghyang tapak, yaitu sebagian
sungai tempat orang dilarang mandi dan menagkap ikannya. Bagi yang melanggarnya akan
terkena kutukan-kutukan yang mengerikan seperti terbelah kepalanya, terminum darahnya dan
terpotong-potong ususnya.
3. Prasasti Astanagede
Berita lain tentang kerajaan Sunda ditemukan dalam prasasti di Astanagede (Kawali). Raja yang
memerintah di Kawali adalah Rahyang Niskala Wastu Kancana dan keratonnya disebut
Surawisesa. Ketika diangkat sebagai raja, Watu Kencana masih kecil sehingga pemerintahan
untuk sementara dipegang oleh pengasuhnya yaitu Hyang Bunisora.
prasasti Astanagede
setelah dewasa, Wastu Kencana memegang tampuk pemerintahan secara langsung. Ia sangat
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan senantiasa menjalankan agamanya. Setelah Prabu
Wastu Kencana wafat dan dimakamkan di Nusalarang, ia digantikan oleh anaknya yang bernama
rahyang Dewa Niskala atau Rahyang Ningrat Kencana.
4. Kidung Sundayana
Berita lain tentang kerajaan Sunda juga ditemukan dalam kidung Sundayana yang menyebut raja
bernama Sri Baduga Maharaja. Raja inilah yang kemudian terlibat dalam perang bubat dengan
kerajaan Majapahit pada tahun 1357M yang berakhir dengan kematian Sri Baduga dan putrinya,
Dyah Ayu Pitaloka beserta para pengiringnya.
Menurut cerita Portugis, pada tahun 1512 dan 1521 raja Samiam dari kerajaan Sunnda
(Pajajaran) telah memimpin perutusan ke Malaka untuk minta bantuan Portugis. Pada tahun 1522
seorang utusan Portugis bernama Hendrik de Leme telah berkunjung ke Sunda. Pada masa
pemerintahan raja Samiam, atau prabu Surawisesa (1521-1535), sunda kelapa, pelabuhan
terbesar kerajaan sunda jatuh ketangan kerajaan Islam pada 1527. Peristiwa ini menyebabkan
terputusnya hubungan antara kerajaan Sunda dengan Portugissehingga melemahkan pertahanan
kerajaan Sunda. Akibatnya, satu demi satu pelabuhan-pelabuhan Sunda jatuh ketangan pasukan
Islam.
Raja Sunda berikutnya adalah Prabu Ratu Dewata (1535-1543). Pada masa pemerintahannya
terjadi serangan dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana
Yusuf dari kerajaan Banten. Keterangan ini sesuai dengan naskah Purwaka Caruban Nagari yang
berkaitan dengan sejarah Cirebon.
Sejak tahun 1543-1551 yang menjadi raja Sunda adalah Sang Ratu Saksi. Raja ini dikenal
sebagai raja yang kejam dan suka hidup berfoya-foya. Ia kemudian digantikan oleh Tohaan di
Majaya yang juga gemar berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Pada masa pemerintahan raja Nusya
Mulya (raja Sunda yang terakhir), keadaan kerajaan makin melemah sampai akhirnya pada
sekitar tahun 1579, kerajaan Sunda jatuh kedalam kekuasaan Islam. Dan kerajaan Sunda
akhirnya runtuh dan berakhir.
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia
Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang
disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan
Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan,
saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu
Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke
ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima
dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah
seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah
satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda.
Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak
“Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan
keturunan dari Majapahit.
Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena
Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua
raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera
mahkota yang ditunjuk.
Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal
pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan
itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan
Pajajaran pada tahun 1482.
Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya”
Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.
Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa
asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota
Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan
Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan,
dan Carita Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan
dari masa lalu, seperti:
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513
M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo
(dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang
pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang
pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena
Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh
(pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk
menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat
Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi
tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun
tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri
Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena
Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan,
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang-undang kerajaan
Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-
prasasti, dan jenis-jenis batik.
Kesimpulan
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan
berita asing.
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/
kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda
lainnya, yaitu Kesultanan Banten
3. KERAJAAN DI BALI ( SINGHAMANDAWA DAN RAJAKULA WARMADEWA )
Kehidupan ekonomi dan sosial budaya
1. Mata pencaharian
Dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuna dapat diketahui mengenai
kehidupan dan mata pencaharian masyarakat Bali kuna. Umumnya penduduk pulau Bali sejak
zaman dahulu hidup terutama dari bercocok tanam. Dalam prasasti Songan Tambahan salah
sebuah prasasti dari raja Marakata ada disebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan cara
mengolah sawah dan menanam padi yaitu : amabaki, atanem, amantum, ahani, anutu. Proses
penanaman padi pada waktu itu disebut sebagai berikut, yaitu dimulai dengan mbakaki
(pembukaan tanah), kemudian mluku (membajak tanah), tanem (menanam padi), mantum
(menyiangi padi), ahani (menuai padi) dan nutu (menumbuk Padi).
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada masa pemerintahan Raja Marakata, bahkan mungkin
pula pada masa sebelumnya, pertanian khususnya pengolahan tanah di Bali telah maju. Hidup
berkebun juga telah umum pada masa itu. Macam-macam tanaman yang merupakan hasil
perkebunan antara lain adalah nyu (kepala), kelapa kering (kopra), hano (enau), kamiri (kemiri),
kapulaga, kasumbha (kesumba), tals (ales, keladi), bawang bang (bawang merah), pipakan
(jahe), mula phala (wartel dan umbi-umbian lainnya), pucang (pinang), durryan (durian), jeruk,
hartak (kacang hijau), lunak atau camalagi (asam), cabya (nurica), pisang atau byu, sarwaphala
(buah-buahan), sarwa wija atau sarwabija (padi-padian), kapas, kapir (kapuk randu), damar
(damar).
2. Pendidikan
Karena terbatasnya sumber mengenai keadaan pendidikan pada zaman Bali kuno maka untuk
mengetahuinya akan dicoba menelusuri dari segi kehidupan masyarakat pada masa itu.
Mengingat bahwa pada masa itu telah dikenal keahlian-keahlian khusus seperti : pande, undagi,
pemahat, pemotong dan lain sebagainya, maka tentunya keahlian tersebut didapat dengan cara
belajar.
Proses belajar dan mengajar antara seorang guru dengan muridnya dilakukan pula di asrama-
asrama pendeta yang telah banyak ada pada zaman Bali kuno. Dalam prasasti-prasasti ada
disebutkan nama-nama antara lain, prasasti Tengkulak A menyebutkan : Sang Hyang mandala
ring Amarawati. Prasasti Tengkulak E menyebutkan : Amarawati-Acarama, prasasti Tengkulak
C menyebutkan : Katyagan i hani Songan Tambahan. Salah satu asrama yang paling terkenal
pada zaman Bali kuna ialah Asrama Amarawati, yang menurut pendapat R. Goris yang
dimaksud adalah kompleks Candi Gunung Kawi sekarang. Hasil-hasil kesusastraan yang
diciptakan di Bali baru mulai bermunculan pada waktu pemerintahan Dalem Waturenggong
(1460 - 1550). Lebih-lebih setelah perpustakaan Majapahit dibawa ke Bali. Pada zaman itulah
datang ke Bali Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wau Rauh) yang menciptakan banyak
kitab-kitab kesusastraan. Ketika itulah kesusastraan Bali mengalami zaman keemasannya. Pada
zaman pemerintahan Dalem Waturenggong inilah disusun bermacam-macam lontar tentang ke
Tuhanan, sesana (kesusilaan), wariga (ilmu perbintangan), usada (pengobatan), babad (sejarah),
itihasa (parwa, geguritan) dan lain sebagainya.
3. Kesusastraan
Untuk mengetahui mengenai keadaan dan perkembangan kesusastraan pada zaman Bali kuno,
maka perlu mengetahui hubungan sejarah dan kekeluargaan antara Bali dan Jawa Timur pada
masa itu. Hasil-hasil kesusastraan yang diciptakan di Bali baru mulai bermunculan pada waktu
pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Lebih-lebih setelah pustakaan Majapahit
banyak dibawa ke Bali. Pada zaman itulah datang ke Bali Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti
Wau Rauh) yang mengarang banyak kitab-kitab kesusastraan.
4. Kesenian
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, pengertian kesenian (seni) sering disamakan
begitu saja dan malah sering dikacaukan dengan keindahan. Kita sering pula berpendapat bahwa
semua yang indah itu bernilai seni. Jadi pengertian kesenian dan keindahan berbauran saja tanpa
ada pembatasannya. Sebenarnya tidak semua yang indah itu bernilai seni, sebab ada keindahan
yang merupakan atau yang tidak termasuk karya seni, atau sebaliknya tidak semua kesenian
(karya seni) itu indah. Secara garis besarnya hasil kegiatan estetika manusia itu meliputi tiga
kegiatan seni antara lain:
a. Kenyataan lahiriah (kesenian/karya seni).
b. Aktivitas (tindakan yang memungkinkan lahirnya karya seni).
c. Perasaan yang bersangkutan dengan karya seni.
Seni bangunan
Prasasti-prasasti cukup banyak menyebutkan nama-nama bangunan khususnya bangunan suci
keagamaan, disamping itu juga bangunan suci sebagai pedharman seorang raja atau pejabat
tinggi kerajaan atau juga seorang permaisuri kerajaan. Tetapi sayang banyak tempat yang
disebutkan dalam prasasti sebagai tempat lumah (wafat) seorang raja atau permaisuri raja belum
diketahui lokasinya hingga sekarang. Selain jenis bangunan tersebut, juga ditemukan jenis
bangunan yang disebut wihara atau pertapaan. Semua jenis bangunan yang merupakan
peninggalan dari zaman kuno itu beberapa diantaranya masih dapat ditemukan sampai saat ini
antara lain : Prasada di Pura Magening (Tampaksiring), kompleks percandian Gunung Kawi,
Goa Gajah, Wihara-wihara/pertapaan-pertapaan di sepanjang sungai Pakerisan dan Kerobokan
dan lain sebagainya. Dari bangunan-bangunan tersebut dapat diketahui bahwa ada unsur
keindahan yang mewarnai gaya bangunan atau arsitektur. Seni bangunan atau arsitektur yang
terlihat pada bangunan-bangunan meliputi : bentuk bangunan, tata letak dan penentuan atau
pemilihan lokasi. Aspek-aspek arsitektur ini kemudian sangat menentukan rasa puas atau
tidaknya si pemilik bangunan baik lahir maupun bathin.
Sumber-sumber Prasasti
1. Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam aksara
Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya
sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan
pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat bahwa
tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin
Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
2. Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat
batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis
dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta,
dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte): Perdamaian dan
kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang,
hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda
pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada
seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan
Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan
sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan
cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah
dua.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang
pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena
Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh
(pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk
menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat
Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi
tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun
tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri
Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena
Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan,
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang-undang kerajaan
Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-
prasasti, dan jenis-jenis batik.
Kesimpulan
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan
(Sunda).
Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita,
dan berita asing.
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan
kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia
Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang
disebutkan dalam Prasasti Sang Hyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan
Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.
Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini. Antara lain mengenai wilayah
kerajaan dan ibukota KerajaanPajajaran. Mengenai raja-raja KerajaanSunda yang
memerintah dari ibukota PakuanPajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-
naskah BabadPajajaran, CaritaParahiangan, dan CaritaWaruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak
peninggalan dari masa lalu, seperti:
PrasastiBatuTulis, Bogor
PrasastiSanghyangTapak, Sukabumi
PrasastiKawali, Ciamis
Prasasti Horren
Prasasti Rakyan Juru Pangambat
Prasasti Astanagede
TuguPerjanjianPortugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
●̲K
̅ ondisi Kehidupan Sosial
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Keruntuhan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu menetap
di wilayah yang mereka namakan Cibeo Lebak Banten. Mereka menerapkan tata cara kehidupan
lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
Kerajaan Sunda/Pajajaran
26 Agustus 2010 Hery Purwanto
KERAJAAN SUNDA/PAJAJARAN
a. Letak
b. Sumber
Sumber-sumber sejarah:
Prasasti
Ditemukan di Bogor, memakai bahasa Jawa Kuno campuran dengan bahasa Melayu. Isi:
pengembalian kekuasaan Kerajaan Pajajaran
Isi: tentang Kampung Horen diganggu musuh dari sebelah Barat, yaitu Kerajaan Pajajaran.
Prasasti Citasih (1030 M)
Dibuat oleh Maharaja Jayabhupati. Sebagai rasa terima kasih Kerajaan Pajajaran atas
kemenangan melawan pasukan dari Swarnabhumi.
Kitab-Kitab
Kitab ini menceritakan kekalahan pasukan Pajajaran dalam Perang Bubat (Majapahit) dan
terbunuhnya Raja Sri Baduga dengan putrinya.
Isinya tentang pengganti Raja Sri Baduga setelah gugur dalam Perang Bubat adalah Hyang Wuni
Sora.
c. Kehidupan Politik
Raja-raja Pajajaran:
d. Sosial
e. Ekonomi
Perekonomian Kerajaan Pajajaran, yaitu perdagangan laut dan perdagangan darat, pertanian dan
perladangan.
f. Budaya
Budaya Pajajaran banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu, hal ini dapat diketahui dari:
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah.
Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada
masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari
kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa
Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain
diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu
Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga
menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden
Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan
Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan
itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang
menikah dengan keturunan dari Majapahit.
Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan
karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan
keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta
kepada putera mahkota yang ditunjuk.
Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal
“berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun
1482.
Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah
kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang
memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-
naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja
yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar raja Pajajaran
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
• Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
• Rahyang Niskala Wastu Kencana
• Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
• Sri Baduga MahaRaja
• Hyang Wuni Sora
• Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
• dan Prabu Ratu Dewata.
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama
Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia
memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta
dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun
kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama
prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat
pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja
bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan
dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa
terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa
Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga
Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran,
pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja
bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka
Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di
Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana
Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan
di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu
Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu.
Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang
Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
Kesimpulan
• Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan
(Sunda).
• Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab
cerita, dan berita asing.
• Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan
kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Keruntuhan
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka
Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri
Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi II). Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa
ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya
Watu Gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu
menetap di wilayah yang mereka namakan Cibeo Lebak Banten. Mereka menerapkan tata
cara kehidupan lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.
Peninggalan
I. Prasasti
Dalam transkripsi prasasti batu tulis disebutkan bahwa raja Pajajaran membuat :
=> Di Ciawi-Seuseupan, ada arca dari batu yang berasal dari Madiun
dan tiga buah kampak.
=> Di Gunung Cibodas, Pasir Simalang dekat Ciampea, ada beberapa arca
besar dan kasar diantaranya raksasa yg dinamakan Pak Dato, semua arca bercorak Pajajaran.
Selain itu diketemukan pula arca singa dari perunggu.
Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat dugaan adanya kesinambungan
Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan
dengan temuan-temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an, prasasti ini ikut
member titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan.
II. Naskah-naskah
(diambil dari salah satu harian beberapa tahun lalu – kondisi saat
ini mungkin sudah berubah). Dari sejumlah naskah yang ada, 95 naskah ditulis dalam huruf
Sunda Kuno, 438 ditulis dalam huruf Sunda-Jawa, 1.060 ditulis dengan huruf
Arab (Pegon) dan 311 naskah lainnya ditulis dengan huruf Latin. Selain itu masih ada 144
naskah yang menggunakan dua macam aksara atau lebih, yakni Sunda-Jawa, Arab dan Latin.
Sebagian naskah-naskah ini tersimpan di musium-musium baik dalam negeri maupun luar negeri
serta rumah-rumah penduduk atau tempat- tempat tertentu yang dikeramatkan karena naskah
dianggap sebagai barang sakral, pemegangnya juga orang tertentu saja.
Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dan naskah
Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 dan ditulis di atas
daun lontar dan daun palem. Naskah ini disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran
masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah, kedua naskah tersebut bisa
jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-
Pajajaran runtuh termasuk sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.
Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat
(bagian dari Pajajaran). Salah satu lontar dari Carita Parahiyangan yang belum diketahui angka
tahunnya itu di antaranya menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang
dikenal dengan Dewa Raja. Babad tanah Sunda dan tanah jawi.
Baik babad tanah Sunda maupun babad tanah jawi sangat mendukung akan eksistensi kerajaan
Pajajaran. Pada babad tanah Sunda diceritakan tentang negara Pajajaran dan pangeran
Walangsungsang yang mendirikan kerajaan Cirebon. Sementara pada babad tanah jawi
dituliskan pula silsilah raja-raja Pajajaran.
Sejarah Sunda sangat boleh jadi berbeda dibanding sejarah etnis lain di Indonesia karena daerah
ini tidak banyak mewariskan peninggalan berupa prasasti atau candi, tetapi lebih banyak berupa
naskah yang kini tersimpan di museum atau tempat-tempat lainnya. Di
Perpustakaan Nasional saja misalnya, terdapat 89 naskah Sunda Kuno sedangkan yang sudah
dikerjakan barulah tujuh naskah (tahun 94).