Anda di halaman 1dari 25

KERAJAAN SUNDA 

(PAJAJARAN)

Posted by okthaphia under sejarah | Tag: kidung sundayana, prasasti astanagede, prasasti
canggal, prasasti sang hyang tapak |
Tinggalkan sebuah Komentar 

Atas request dari sahabat2 yang sedang mencari info tentang kerajaan Sunda di blog ini maka
saya tuliskan artikel tentang kerajaan Sunda ini. Tapi mohon maaf kalau informasinya agak
sedikit karena yang saya tuliskan ini berdasarkan apa yang saya baca dari buku sejarah… :p

Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara maka tidak pernah diberitakan tentang berdirinya
kerajaan di Jawa Barat.

Sumber Sejarah Kerajaan Sunda:

1. Prasasti Canggal
Berita tentang Jawa Barat sedikit tersingkap dengan adanya temuan prasasti Canggal di Gunung
Wukir, Jawa Tengah yang berangka tahun 734M. Prasati itu dibuat atas perintah Sanjaya sebagai
peringatan atas kemenangannya. Prasati ini menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak dari
Sanaha saudara perempuan dari raja Sanna.

prasasti canggal

Kitab Parahyangan juga menyebutkan nama Sanjaya. Namun disebutkan bahwa Sanjaya adalah
anak Raja Sena yang berkuasa di kerajaan Galuh. Nama Sena ini mengingatkan pada raja Sanna
yang disebutkan dalam prasasti Canggal. Pada saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang
Purbasora, saudara seibu dari raja Sena, Sena beserta keluarganya dibuang ke gunung Merapi.
Disinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan
kepada saudara tua ayahnya di Denuh dan akhirnya dia berhasil mengalahkan Rahyang
Purbasora. Sanjaya kemudian mengangkat dirinya menjadi raja di Galuh.
Berdasarkan kedua sumber diatas, belum dapat dipastikan bahwa Sanjaya yang disebut dalam
prasasti Canggal dengan Sanjaya dalam cerita Parahyangan adalah orang yang sama. Namun,
setidaknya dapat diketahui keberadaan kerajaan Galuh yang diperkirakan terletak di perbatasan
Jawa Barat dengan Jawa Tengah.

2. Prasasti SangHyang Tapak


Nama Sunda muncul kembali pada prasasti Sang Hyang Tapak yang berangka tahun 952 saka
(1030 M). Prasasti itu ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang, di tepi sungai Citatih
(Cibadak, Sukabumi). Yang memakai tulisan huruf Kawi dan bahasa Jawa Kuno.

prasasti sang hyang tapak

Isi dari prasasti Sanghyang tapak antara lain:


a. Kerajaan diperintah oleh Maharaja Sri Jayabupati JayamanahenWisnumurti Samarawijaya
SkalabuwanaMandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikaramatunggadewa (wah…., namanya
bisa masuk muri nih!! panjang banget..) yang berkuasa di Prahajyan Sunda.

b. Berdasarkan gelar Wisnumurti, raja Jayabhupati diduga memeluk agama Hindu aliran Wisnu.

c. Raja Jayabhupati membuat daerah larangan disebelah timur sanghyang tapak, yaitu sebagian
sungai tempat orang dilarang mandi dan menagkap ikannya. Bagi yang melanggarnya akan
terkena kutukan-kutukan yang mengerikan seperti terbelah kepalanya, terminum darahnya dan
terpotong-potong ususnya.

d. Pusat kerajaan di Pakuwan Pajajaran dipindahkan ke Kawali (dekat Cirebon).

3. Prasasti Astanagede
Berita lain tentang kerajaan Sunda ditemukan dalam prasasti di Astanagede (Kawali). Raja yang
memerintah di Kawali adalah Rahyang Niskala Wastu Kancana dan keratonnya disebut
Surawisesa. Ketika diangkat sebagai raja, Watu Kencana masih kecil sehingga pemerintahan
untuk sementara dipegang oleh pengasuhnya yaitu Hyang Bunisora.
prasasti Astanagede

setelah dewasa, Wastu Kencana memegang tampuk pemerintahan secara langsung. Ia sangat
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan senantiasa menjalankan agamanya. Setelah Prabu
Wastu Kencana wafat dan dimakamkan di Nusalarang, ia digantikan oleh anaknya yang bernama
rahyang Dewa Niskala atau Rahyang Ningrat Kencana.

4. Kidung Sundayana
Berita lain tentang kerajaan Sunda juga ditemukan dalam kidung Sundayana yang menyebut raja
bernama Sri Baduga Maharaja. Raja inilah yang kemudian terlibat dalam perang bubat dengan
kerajaan Majapahit pada tahun 1357M yang berakhir dengan kematian Sri Baduga dan putrinya,
Dyah Ayu Pitaloka beserta para pengiringnya.

5. Catatan Bangsa Portugis


Berita lain tentang kerajaan Sunda adalah dari catatan bangsa Portugis yang banyak berhubungan
dengan Pajajaran, khususnya hubungan dengan kegiatan perdagangan. hal in dibuktikan dengan
adanya nama-nama pelabuhan internasional yang disebut oleh bangsa Portugis misalnya Chiano
(Cimanuk), Sunda Calapa (sunda kelapa), Tangaram (tanggerang), Chequide (Cikande), dan
Pontang (Batam).

Menurut cerita Portugis, pada tahun 1512 dan 1521 raja Samiam dari kerajaan Sunnda
(Pajajaran) telah memimpin perutusan ke Malaka untuk minta bantuan Portugis. Pada tahun 1522
seorang utusan Portugis bernama Hendrik de Leme telah berkunjung ke Sunda. Pada masa
pemerintahan raja Samiam, atau prabu Surawisesa (1521-1535), sunda kelapa, pelabuhan
terbesar kerajaan sunda jatuh ketangan kerajaan Islam pada 1527. Peristiwa ini menyebabkan
terputusnya hubungan antara kerajaan Sunda dengan Portugissehingga melemahkan pertahanan
kerajaan Sunda. Akibatnya, satu demi satu pelabuhan-pelabuhan Sunda jatuh ketangan pasukan
Islam.
Raja Sunda berikutnya adalah Prabu Ratu Dewata (1535-1543). Pada masa pemerintahannya
terjadi serangan dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana
Yusuf dari kerajaan Banten. Keterangan ini sesuai dengan naskah Purwaka Caruban Nagari yang
berkaitan dengan sejarah Cirebon.

Sejak tahun 1543-1551 yang menjadi raja Sunda adalah Sang Ratu Saksi. Raja ini dikenal
sebagai raja yang kejam dan suka hidup berfoya-foya. Ia kemudian digantikan oleh Tohaan di
Majaya yang juga gemar berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Pada masa pemerintahan raja Nusya
Mulya (raja Sunda yang terakhir), keadaan kerajaan makin melemah sampai akhirnya pada
sekitar tahun 1579, kerajaan Sunda jatuh kedalam kekuasaan Islam. Dan kerajaan Sunda
akhirnya runtuh dan berakhir.
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia
Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang
disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan
Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.

Awal Pakuan Pajajaran

Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan,
saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu
Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke
ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.

Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima
dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah
seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah
satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.

Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda.
Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak
“Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan
keturunan dari Majapahit.

Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena
Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.

Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua
raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera
mahkota yang ditunjuk.

Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal
pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan
itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan
Pajajaran pada tahun 1482.

Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya”
Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.

Sumber Sejarah

Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa
asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota
Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan
Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan,
dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan
dari masa lalu, seperti:

Prasasti Batu Tulis, Bogor


Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
Prasasti Kawali, Ciamis
Prasasti Rakyan Juru Pangambat
Prasasti Horren
Prasasti Astanagede
Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)

Segi Geografis Kerajaan Pajajaran

Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513
M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo
(dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).

Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu


Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)

Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang
pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :

Daftar raja Pajajaran

Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)


Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya,
Maulana Yusuf
Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
Rahyang Niskala Wastu Kencana
Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
Sri Baduga MahaRaja
Hyang Wuni Sora
Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
dan Prabu Ratu Dewata.

Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran


Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan.
Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri
Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan
pikiran masyarakat.

Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang
pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena
Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh
(pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk
menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat
Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi
tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan

Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun
tak kurang yang musnah termakan jaman.

Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri
Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena
Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan,
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang-undang kerajaan

Puncak Kehancuran

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kondisi Kehidupan Ekonomi

Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)

Kondisi Kehidupan Sosial

Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain


gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap
jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)

Kehidupan Budaya

Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-
prasasti, dan jenis-jenis batik.

Kesimpulan

Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan
berita asing.
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/
kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda
lainnya, yaitu Kesultanan Banten
3.    KERAJAAN DI BALI ( SINGHAMANDAWA DAN RAJAKULA WARMADEWA )
Kehidupan ekonomi dan sosial budaya
1.   Mata pencaharian
Dari beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuna dapat diketahui mengenai
kehidupan dan mata pencaharian masyarakat Bali kuna. Umumnya penduduk pulau Bali sejak
zaman dahulu hidup terutama dari bercocok tanam. Dalam prasasti Songan Tambahan salah
sebuah prasasti dari raja Marakata ada disebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan cara
mengolah sawah dan menanam padi yaitu : amabaki, atanem, amantum, ahani, anutu. Proses
penanaman padi pada waktu itu disebut sebagai berikut, yaitu dimulai dengan mbakaki
(pembukaan tanah), kemudian mluku (membajak tanah), tanem (menanam padi), mantum
(menyiangi padi), ahani (menuai padi) dan nutu (menumbuk Padi).
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada masa pemerintahan Raja Marakata, bahkan mungkin
pula pada masa sebelumnya, pertanian khususnya pengolahan tanah di Bali telah maju. Hidup
berkebun juga telah umum pada masa itu. Macam-macam tanaman yang merupakan hasil
perkebunan antara lain adalah nyu (kepala), kelapa kering (kopra), hano (enau), kamiri (kemiri),
kapulaga, kasumbha (kesumba), tals (ales, keladi), bawang bang (bawang merah), pipakan
(jahe), mula phala (wartel dan umbi-umbian lainnya), pucang (pinang), durryan (durian), jeruk,
hartak (kacang hijau), lunak atau camalagi (asam), cabya (nurica), pisang atau byu, sarwaphala
(buah-buahan), sarwa wija atau sarwabija (padi-padian), kapas, kapir (kapuk randu), damar
(damar).

2.   Pendidikan
Karena terbatasnya sumber mengenai keadaan pendidikan pada zaman Bali kuno maka untuk
mengetahuinya akan dicoba menelusuri dari segi kehidupan masyarakat pada masa itu.
Mengingat bahwa pada masa itu telah dikenal keahlian-keahlian khusus seperti : pande, undagi,
pemahat, pemotong dan lain sebagainya, maka tentunya keahlian tersebut didapat dengan cara
belajar.
Proses belajar dan mengajar antara seorang guru dengan muridnya dilakukan pula di asrama-
asrama pendeta yang telah banyak ada pada zaman Bali kuno. Dalam prasasti-prasasti ada
disebutkan nama-nama antara lain, prasasti Tengkulak A menyebutkan : Sang Hyang mandala
ring Amarawati. Prasasti Tengkulak E menyebutkan : Amarawati-Acarama, prasasti Tengkulak
C menyebutkan : Katyagan i hani Songan Tambahan. Salah satu asrama yang paling terkenal
pada zaman Bali kuna ialah Asrama Amarawati, yang menurut pendapat R. Goris yang
dimaksud adalah kompleks Candi Gunung Kawi sekarang. Hasil-hasil kesusastraan yang
diciptakan di Bali baru mulai bermunculan pada waktu pemerintahan Dalem Waturenggong
(1460 - 1550). Lebih-lebih setelah perpustakaan Majapahit dibawa ke Bali. Pada zaman itulah
datang ke Bali Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wau Rauh) yang menciptakan banyak
kitab-kitab kesusastraan. Ketika itulah kesusastraan Bali mengalami zaman keemasannya. Pada
zaman pemerintahan Dalem Waturenggong inilah disusun bermacam-macam lontar tentang ke
Tuhanan, sesana (kesusilaan), wariga (ilmu perbintangan), usada (pengobatan), babad (sejarah),
itihasa (parwa, geguritan) dan lain sebagainya.

3.   Kesusastraan
Untuk mengetahui mengenai keadaan dan perkembangan kesusastraan pada zaman Bali kuno,
maka perlu mengetahui hubungan sejarah dan kekeluargaan antara Bali dan Jawa Timur pada
masa itu. Hasil-hasil kesusastraan yang diciptakan di Bali baru mulai bermunculan pada waktu
pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Lebih-lebih setelah pustakaan Majapahit
banyak dibawa ke Bali. Pada zaman itulah datang ke Bali Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti
Wau Rauh) yang mengarang banyak kitab-kitab kesusastraan.

4.   Kesenian
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, pengertian kesenian (seni) sering disamakan
begitu saja dan malah sering dikacaukan dengan keindahan. Kita sering pula berpendapat bahwa
semua yang indah itu bernilai seni. Jadi pengertian kesenian dan keindahan berbauran saja tanpa
ada pembatasannya. Sebenarnya tidak semua yang indah itu bernilai seni, sebab ada keindahan
yang merupakan atau yang tidak termasuk karya seni, atau sebaliknya tidak semua kesenian
(karya seni) itu indah. Secara garis besarnya hasil kegiatan estetika manusia itu meliputi tiga
kegiatan seni antara lain:
a.    Kenyataan lahiriah (kesenian/karya seni).
b.    Aktivitas (tindakan yang memungkinkan lahirnya karya seni).
c.    Perasaan yang bersangkutan dengan karya seni.

Macam-macam Karya Seni (Kesenian)


Kesenian atau keindahan seni dalam arti luas meliputi seni sastra, seni bangunan, seni arca, seni
tari, seni suara/vokal, seni tabuh dan berbagai jenis kesenian yang dipentaskan. Dari pembacaan
teks prasasti-prasasti yang telah ditemukan sampai saat ini dapat diketahui bahwa pada zaman
Bali kuno telah hidup beberapa cabang kesenian seperti seni tari, seni tabuh, seni suara/vokal,
lawak, dan beberapa jenis seni tontonan lainnya. Tetapi nama-nama kesenian atau tontonan yang
disebutkan didalam prasasti-prasasti tidaklah seluruhnya dapat kita identifikasikan dengan
cabang-cabang kesenian atau tontonan yang masih hidup sampai dewasa ini. Nama-nama cabang
kesenian yang paling banyak diketahui ialah dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja
Anak Wungsu.

Seni Pahat dan Seni Lukis


Selanjutnya kesenian lainnya yang dikenal ialah semacam kesenian yang disebut Culpika dan
Citakara. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia istilah-istilah tersebut berarti :
pemahat patung untuk istilah Culpika dan pelukis untuk istilah Citrakara. Istilah-istilah tersebut
memberikan suatu gambaran bahwa pada masyarakat Bali kuno sudah ada orang mempunyai
keahlian di bidang seni pahat dan seni lukis. Hanya saja data-data mengenai hal ini tidak banyak
kita temukan dalam sumber-sumber tertulis seperti prasasti pada umumnya. Hanya beberapa
prasasti yang memuat tentang seni tersebut.

Seni bangunan
Prasasti-prasasti cukup banyak menyebutkan nama-nama bangunan khususnya bangunan suci
keagamaan, disamping itu juga bangunan suci sebagai pedharman seorang raja atau pejabat
tinggi kerajaan atau juga seorang permaisuri kerajaan. Tetapi sayang banyak tempat yang
disebutkan dalam prasasti sebagai tempat lumah (wafat) seorang raja atau permaisuri raja belum
diketahui lokasinya hingga sekarang. Selain jenis bangunan tersebut, juga ditemukan jenis
bangunan yang disebut wihara atau pertapaan. Semua jenis bangunan yang merupakan
peninggalan dari zaman kuno itu beberapa diantaranya masih dapat ditemukan sampai saat ini
antara lain : Prasada di Pura Magening (Tampaksiring), kompleks percandian Gunung Kawi,
Goa Gajah, Wihara-wihara/pertapaan-pertapaan di sepanjang sungai Pakerisan dan Kerobokan
dan lain sebagainya. Dari bangunan-bangunan tersebut dapat diketahui bahwa ada unsur
keindahan yang mewarnai gaya bangunan atau arsitektur. Seni bangunan atau arsitektur yang
terlihat pada bangunan-bangunan meliputi : bentuk bangunan, tata letak dan penentuan atau
pemilihan lokasi. Aspek-aspek arsitektur ini kemudian sangat menentukan rasa puas atau
tidaknya si pemilik bangunan baik lahir maupun bathin.

4.    KERAJAAN SUNDA


Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri,
Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja
Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun,
666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau
memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan
Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri
Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal,
kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa
Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta
mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan
Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai
Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan
berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau
dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka
(kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai
Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Sumber-sumber Prasasti
1.   Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi). Prasasti itu ditulis dalam aksara
Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya
sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan
pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat bahwa
tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin
Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
2.   Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat
batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis
dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta,
dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte): Perdamaian dan
kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang,
hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda
pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada
seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan
Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan
sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan
cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah
dua.

Sumber Berita Asing


1.   Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber-sumber berita Cina tertentu mengenai
Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara
asing, Chan Ju-kua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar
mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Chu-fan-chi, yang
ditulis dalam tahun 1178-1225 Masehi, menyebutkan pelabuhan air di Sin-t'o (Sunda). Chu-fan-
chi melaporkan bahwa: Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja
dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan
dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan
kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan
sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang
tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan
(Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman.
Buku berbahasa Cina "shun-feng hsiang-sung" dari sekitar 1430 AD mengatakan: Dalam
perjalanan ke arah timur dari Sunda, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2
derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati
Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai
Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa,
melewati Indramayu, melewati Cirebon.
2.   Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh
kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tome Pires dari Portugal. Dalam
laporannya "Summa Oriental (1513 - 1515)" ia menulis bahwa: Beberapa orang menegaskan
bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan
bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya.

Kehidupan ekonomi dan sosial budaya


Berdasarkan berita yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan ekonomi masyarakat di
Kerajaan Sunda dapat digambarkan. Menurut berita tersebut,
ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara.
Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan
pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur,
Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang
dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan
perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang
diperdagangkan antara lain: lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung
dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik.
Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu
berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindahpindah terlihat dari kegiatan
berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu
juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah. Berdasarkan
naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai
kelompok ekonomi yaitu: pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri,
bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet.
Masa Kejayaan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan.
Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri
Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan
pikiran masyarakat.

Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang
pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena
Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh
(pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk
menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat
Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi
tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan

Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun
tak kurang yang musnah termakan jaman.

Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri
Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena
Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan,
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang-undang kerajaan

Puncak Kehancuran

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kondisi Kehidupan Ekonomi

Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)

Kondisi Kehidupan Sosial

Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain


gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap
jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)

Kehidupan Budaya

Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-
prasasti, dan jenis-jenis batik.

Kesimpulan

 Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan
(Sunda).
 Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita,
dan berita asing.
 Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan
kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.

Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia
Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang
disebutkan dalam Prasasti Sang Hyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan
Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.

Sumber Sejarah

 Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini. Antara lain mengenai wilayah
kerajaan dan ibukota KerajaanPajajaran. Mengenai raja-raja KerajaanSunda yang
memerintah dari ibukota PakuanPajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-
naskah BabadPajajaran, CaritaParahiangan, dan CaritaWaruga Guru.
 Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak
peninggalan dari masa lalu, seperti:
 PrasastiBatuTulis, Bogor
 PrasastiSanghyangTapak, Sukabumi
 PrasastiKawali, Ciamis
 Prasasti Horren
 Prasasti Rakyan Juru Pangambat
 Prasasti Astanagede
 TuguPerjanjianPortugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
 Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
 Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
 Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)

Raja – Raja Yang Memerintah

 Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)


 Surawisesa (1521 – 1535)
 Ratu Dewata (1535 – 1543)
 Ratu Sakti (1543 – 1551)
 Ratu Nilakendra (1551-1567)
 Raga Mulya (1567 – 1579)
 Rahyang Niskala Wastu Kencana
 Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
 Sri Baduga MahaRaja
 Hyang Wuni Sora
 Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
 Prabu Ratu Dewata.

Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya

●̲K
̅ ondisi Kehidupan Sosial

Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain


gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di
anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)

●̲̅ Kondisi Kehidupan Ekonomi

Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)

●̲̅ Kehidupan Budaya


Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-
prasasti, dan jenis-jenis batik.

Keruntuhan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu menetap
di wilayah yang mereka namakan Cibeo Lebak Banten. Mereka menerapkan tata cara kehidupan
lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Kerajaan Sunda/Pajajaran
26 Agustus 2010 Hery Purwanto

KERAJAAN SUNDA/PAJAJARAN

a. Letak

Kerajaan Pajajaran lokasinya terletak di daerah Jawa Barat berdiri abad 9.

b. Sumber

Sumber-sumber sejarah:

Prasasti

Prasasti Rakryan Juru Penghambat (923 M)

Ditemukan di Bogor, memakai bahasa Jawa Kuno campuran dengan bahasa Melayu. Isi:
pengembalian kekuasaan Kerajaan Pajajaran

Prasasti Horen (dari Kerajaan Majapahit)

Isi: tentang Kampung Horen diganggu musuh dari sebelah Barat, yaitu Kerajaan Pajajaran.
Prasasti Citasih (1030 M)

Dibuat oleh Maharaja Jayabhupati. Sebagai rasa terima kasih Kerajaan Pajajaran atas
kemenangan melawan pasukan dari Swarnabhumi.

Prasasti Astanagede (di Kawali, Siamis)

Isi: pemindahan pusat pemerintahan dari Pakuan Pajajaran ke Kawali.

Kitab-Kitab

Kitab Carita Kidung Sundayana

Kitab ini menceritakan kekalahan pasukan Pajajaran dalam Perang Bubat (Majapahit) dan
terbunuhnya Raja Sri Baduga dengan putrinya.

Kitab Carita Parahyangan

Isinya tentang pengganti Raja Sri Baduga setelah gugur dalam Perang Bubat adalah Hyang Wuni
Sora.

c. Kehidupan Politik

Raja-raja Pajajaran:

1. Maharaja Sri Jayabhupati


2. Rahyang Niskala Wastu Kencana
3. Rahyang Dewa Niskala
4. Sri Baduga Maharaja
5. Hyang Wuni Sora/Hyang Bunisora (1357-1371)
6. Prabu Niskala Wastu kencana (1372-1475)
7. Tohaan (1475-1482)
8. Sang Ratu Jayadewata (1482-1521)
9. Raja Samian atau Prabu Surawisesa (1521-1535 M)
10. Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M)
11. Sangan Ratu Saksi (1543-1551)
12. Tohaan Di Majaya (1551-1567)
13. Nusiya Mulya

d. Sosial

Di dalam kehidupan sosial Kerajaan Pajajaran, masyarakatnya digolongkan berdasarkan fungsi


menjadi:

 Kelompok berdasarkan ekonomi (juru lukis, pande mas)


 Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat negara (mantri, prajurit)
 Kelompok rohani dan cendekiawan (memen, paraguna)

e. Ekonomi

Perekonomian Kerajaan Pajajaran, yaitu perdagangan laut dan perdagangan darat, pertanian dan
perladangan.

f. Budaya

Budaya Pajajaran banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu, hal ini dapat diketahui dari:

 Arca Wisnu dan Arca Rajarsi


 Kitab Parahyangan dan Kitab Sanghyang Siksakanda
 Cerita sastra SUndah kuno yang banyak bercorak Hindu
 Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan
(Sunda). Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa
lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri
Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di
kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi. 

Awal Pakuan Pajajaran 

Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah.
Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada
masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari
kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa
Barat. 

Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain
diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu
Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga
menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden
Barinbin. 

Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan
Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan
itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang
menikah dengan keturunan dari Majapahit. 

Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan
karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal. 
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan
keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta
kepada putera mahkota yang ditunjuk. 

Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu


Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata
menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja
mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. 

Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal
“berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun
1482. 

Sumber Sejarah 
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan
bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah
kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang
memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-
naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru. 

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah


jejak peninggalan dari masa lalu, seperti: 
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522) 

Segi Geografis Kerajaan Pajajaran 


Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres
(1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda
disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa
(Jakarta). 

Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik


(Politik-Pemerintahan) 

Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja
yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain : 
Daftar raja Pajajaran 
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
• Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
• Rahyang Niskala Wastu Kencana
• Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
• Sri Baduga MahaRaja
• Hyang Wuni Sora
• Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
• dan Prabu Ratu Dewata.

Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran 


Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat,
seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa
hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat. 

Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan.


Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan. 

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama
Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia
memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta
dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun
kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama
prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat
pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja
bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan 

Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan
dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa
terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman. 

Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa
Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga
Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran,
pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja
bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan 
Puncak Kehancuran 
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka
Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di
Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. 

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana
Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan
di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu
Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. 

Kondisi Kehidupan Ekonomi 


Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama
perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan
perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan
Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan) 

Kondisi Kehidupan Sosial 


Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain
gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di
anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll) 

Kehidupan Budaya 
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu.
Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang
Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik. 

Kesimpulan 
• Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan
(Sunda).
• Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab
cerita, dan berita asing.
• Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan
kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
 Keruntuhan

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka
Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri
Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi II). Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa
ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya
Watu Gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu
menetap di wilayah yang mereka namakan Cibeo Lebak Banten. Mereka menerapkan tata
cara kehidupan lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Peninggalan

I. Prasasti

Prasasti Batutulis Lawang Gintung sebagai sebagai prasasti yang


sangat mendukung akan eksistensi kerajaan Pajajaran.Kompleks Prasasti Batutulis yang luasnya
17 x 15 meter terletak di desa batutulis, lebih kurang 2 km dari pusat Kota Bogor.Batu Prasasti
dan benda-benda lain peninggalan kerajaan Pajajaran terdapAt dalam komplek ini. Pada batu ini
berukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kawi. Diukir oleh Prabu Surawisesa pada tahun
1533 Masehi (1455-Saka) dengan maksud memperingati jasa aahandanya
Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu
Siliwangi yang sakti.

Sri Baduga Maharaja adalah raja Pajajajran terbesar yang memerintah


tahun 1482-1521 masehi (1404+1443 Saka). Prasasti Batutulis ini adalah tempat untuk
melakukan upacara penobatan raja-raja pajajaran dibawah kekuasaan Prabu Siliwangi (1482-
1521).

Dalam transkripsi prasasti batu tulis disebutkan bahwa raja Pajajaran membuat :

1. Tugu peringatan (sasakala) berupa bukit ==> telah ditemukan

2. ngabalay (membuat jalan) ==> telah ditemukan

3. Hutan Samida (hutan larangan) ==> telah ditemukan

4. Telaga Sanghyang Rena Mahawijaya ==> masih dalam pencarian

Disamping prasasti tersebut telah ditemukan pula bukti peninggalan


sejarah lainnya seperti :

=> Di daerah Serpong yaitu perbatasan antara kecamatan Gunung Sindur


di daerah Kab. Bogor ini dengan Kab. Tanggerang telah diketemukan
beberapa benda dan tulisan-tulisan kuno di atas daun lontar.
=> Di daerah dalam Kebun Raya Bogor, pernah diketemukan lima buah
arca, diduga dari daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, empat buah
pahat, arca Parwati dari batu, Raksasa, Garuda, Kepala Budha dan Relief.

=> Di sekitar Batutulis, telah diketemukan bekas-bekas tembok Istana


pajajaran, antara lain di Bantar Peuteuy.

=> Di Lawang Gintung, yaitu ditepi Sungai Pakancilan diketemukan


beberapa batu yg kasar dan satu fragmen dari mahadewa.

=> Di Pamoyanan, diketemukan batu dalam bentuk Lingga.

=> Di Kota Batu(daerah Ciapus) diketemukan tempat pemandian, di mana


terdapat batu pipih dan batu seperti tiang dengan tinggi 1 m.

=> Di Gunung Salak diatas Ciapus, diketemukan teras-teras dari batu


alam baik di Puncak Kramat maupun di Gunung Gajah.

=> Di Ciawi-Seuseupan, ada arca dari batu yang berasal dari Madiun
dan tiga buah kampak.

=> Di dekat perkebunan besar Cikopo Selatan, ada beberapa arca


Polynesia yang kasar dan dinamakan arca Domas.

=> Di Gunung Galuga (perbatasan Cibatok menuju Leuwiliang) terdapat


tumpukan batu-batu besar yang kasar seperti “hunnebed” atau makam-
makam batu tumpang. “Batu Tumpang” menurut pendapat orang adalah
pimpinannya, dinamakan Ranggagadin.

=> Di Gunung Cibodas, Pasir Simalang dekat Ciampea, ada beberapa arca
besar dan kasar diantaranya raksasa yg dinamakan Pak Dato, semua arca bercorak Pajajaran.
Selain itu diketemukan pula arca singa dari perunggu.

=> Prasasti cicatih (terletak di atas batu dekat sungai cicatih,


cibadak – sukabumi 1030 M) Di sungai cicatih terdapat pula sebuah tempat suci bernama
“Sanghyang Tapak” Di sebelah timur “Sanghyang Tapak” terdapat “Tepek”. “Tepek” adalah
daerah larangan (hutan terlarang) dan dijaga oleh “pohaci”, “pohaci” adalah perempuan yang
titisannya menjadi istri-istri ratu di pakwan pajajaran.

Prasasti koleksi Museum Adam Malik Jakarta, ikut memperkuat dugaan adanya kesinambungan
Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan
dengan temuan-temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an, prasasti ini ikut
member titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan.

Prasasti Huludayueh yang ditemukan di Cirebon tahun 1990 mengisahkan


bahwa antara abad 10 sampai 12 hidup seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan
prasasti di Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti berangka tahun 1.030 ini
mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang Raja Jaya Bupati.

II. Naskah-naskah

(diambil dari salah satu harian beberapa tahun lalu – kondisi saat
ini mungkin sudah berubah). Dari sejumlah naskah yang ada, 95 naskah ditulis dalam huruf
Sunda Kuno, 438 ditulis dalam huruf Sunda-Jawa, 1.060 ditulis dengan huruf
Arab (Pegon) dan 311 naskah lainnya ditulis dengan huruf Latin. Selain itu masih ada 144
naskah yang menggunakan dua macam aksara atau lebih, yakni Sunda-Jawa, Arab dan Latin.

Sebagian naskah-naskah ini tersimpan di musium-musium baik dalam negeri maupun luar negeri
serta rumah-rumah penduduk atau tempat- tempat tertentu yang dikeramatkan karena naskah
dianggap sebagai barang sakral, pemegangnya juga orang tertentu saja.

Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dan naskah
Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 dan ditulis di atas
daun lontar dan daun palem. Naskah ini disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran
masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah, kedua naskah tersebut bisa
jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-
Pajajaran runtuh termasuk sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.

Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini mengisahkan tentang raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat
(bagian dari Pajajaran). Salah satu lontar dari Carita Parahiyangan yang belum diketahui angka
tahunnya itu di antaranya menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang
dikenal dengan Dewa Raja. Babad tanah Sunda dan tanah jawi.
Baik babad tanah Sunda maupun babad tanah jawi sangat mendukung akan eksistensi kerajaan
Pajajaran. Pada babad tanah Sunda diceritakan tentang negara Pajajaran dan pangeran
Walangsungsang yang mendirikan kerajaan Cirebon. Sementara pada babad tanah jawi
dituliskan pula silsilah raja-raja Pajajaran.
Sejarah Sunda sangat boleh jadi berbeda dibanding sejarah etnis lain di Indonesia karena daerah
ini tidak banyak mewariskan peninggalan berupa prasasti atau candi, tetapi lebih banyak berupa
naskah yang kini tersimpan di museum atau tempat-tempat lainnya. Di
Perpustakaan Nasional saja misalnya, terdapat 89 naskah Sunda Kuno sedangkan yang sudah
dikerjakan barulah tujuh naskah (tahun 94).

Anda mungkin juga menyukai