Anda di halaman 1dari 5

KERAJAAN SUNDA

I Nyoman Deva Satria Febriano / X-8 (16)

Sejarah & Peristiwa Penting:


Kerajaan Sunda adalah pemecahan dari Kerajaan Tarumanegara. Dalam Carita Parahyangan diceritakan
bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebut sebagai menantu raja
Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda. Pada suatu saat terjadi perebutan
kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung
Merapi oleh keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya.
Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh.
Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Raja Sanjaya berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil bernama Manunggul, Kahuripan, Kadul,
Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan tersebut diperkirakan terletak di
Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat menjadi bagian dari kerajaan Galuh.

Hal yang menarik dari isi Carita Parahyangan ini adalah nama Sena dan Sanjaya. Dua nama ini tercantum
juga dalam prasati Canggal (732 M), yang menceritakan asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di
Kerajaan Mataram Lama. Dalam prasasti Canggal selain tercantum nama Sanjaya disebutkan juga adanya
dua tokoh yaitu, Sanna dan Sanaha. Sanjaya adalah anak Sanaha.

Membandingkan isi Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, kemungkinan Sanjaya adalah orang
yang sama, sedangkan Sanaha dalam prasasti Canggal, kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan.
Dengan demikian, di Jawa Barat pada masa itu ada kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya
Sanjaya.

Prasasti Sahyang Tapak (1030), merupakan sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan di Jawa
Barat. Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dan berbahasa Jawa Kuno,
berhuruf kawi. Dalam prasasti ini disebutkan tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati
Jayamanahen, Wisnumurti amararijaya, Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramatunggadewa.
Raja ini dianggap sebagai rangkaian dari raja-raja Sunda sebelumnya. Sri Jayabhupati adalah raja Sunda
yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Pajajaran. Dia beragama Hindu aliran Waisnawa. Hal ini dapat
terlihat dari gelarnya Wisnumurti. Diperkirakan, pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari Galuh ke Pakuan
Pajajaran di Jawa Barat bagian tengah. Setelah raja Jayabhupati wafat, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi
ke Kawali (Ciamis).

Pusat kerajaan pindah ke Kawali, pada masa Raja Rahyang Niskala Wastu Kencana yang menggantikan
Sri Jayabhupati. Ia mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan
membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya. Rahyang Niskala Wastu Kencana dimakamkan di
Nusalarang, sedangkan penggantinya Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kancana) dimakamkan
di Gunung Tiga.

Menurut Kitab Pararaton dan Carita Parahyangan, Rahyang Dewa Niskala digantikan oleh Sri Baduga
Maharaja. Raja ini meninggal setelah tujuh tahun memerintah karena tewas dalam peristiwa Bubat pada
tahun 1357, setelah Sri Baduga menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Setelah Sri Baduga, kerajaan
Sunda selanjutnya diperintah oleh, Hyang Bunisora (1357-1371), Prabu Niskala Wastu Kencana (1371-
1374), digantikan oleh anaknya Tohaan di Galuh (1475-1482), Ratu Jayadewata (1482-1521).

Pada masa pemerintahan Ratu Jayadewata yang menurut prasasti Batutulis memerintah di ibu kota lama
Pakuan Pajajaran, Kerajaan Sunda mulai terancam oleh orang-orang yang tidak setia pada kerajaan.
Mereka adalah penduduk pajajaran yang mulai menganut Islam, terutama yang tinggal di pesisir utara.

Banten dan Cirebon telah berubah menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang Islam. Merasa khawatir
dengan perkembangan baru di pesisir utara, Ratu Jayadewata mengutus Ratu Samiam ke Malaka untuk
meminta bantuan pasukan Portugis memerangi orang-orang Islam. Hal ini ditegaskan dalam berita
Portugis bahwa pada tahun 1512 dan 1521 datang utusan dari kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Ratu
Samiam. Ratu Samiam dalam berita Portugis ini sama dengan Prabu Surawisesa dalam Carita
Parahyangan. Prabu Surawisesa menjadi raja dan memerintah tahun 1521-1535.

Politik :
perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian takhta raja. Secara berurutan pusat-pusat kerajaan itu
adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran.

1. Kerajaan Galuh

Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu sedikit tersingkap oleh
Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti
Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan kemenangannya. Prasasti Canggal
menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita
Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya. Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah
anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh.

Sena adalah anak Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu, istri Rahyang
Sempakwaja yang merupakan kakak sulung Mandiminyak, sebagai Raja Galuh. Diduga karena raja tidak
mempunyai putra mahkota, setelah Mandiminyak mangkat, Sena diangkat menjadi raja. Raja Sena
berkuasa selama tujuh tahun. Suatu ketika Raja Sena diserang oleh Rahyang Purbasora (saudara seibu)
dan mengalami kekalahan. Akibatnya, Raja Sena diasingkan ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Di
sinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada
saudara tua ayahnya di Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora, kemudian naik takhta
di Kerajaan Galuh.

Menurut naskah Kropak 406, Sanjaya disebut sebagai Harisdarma yang menjadi menantu Raja Tarusbawa
(Tohaan di Sunda). Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja menggantikan Tarusbawa. Di Jawa Barat,
selain Kerajaan Galuh masih ada pusat kerajaan lain, yaitu Kerajaan Kuningan yang diperintah oleh Sang
Sowokarma. Agama yang berkembang pada masa Kerajaan Galuh adalah Hindu Syiwa. Hal itu
dinyatakan dengan jelas pada Prasasti Canggal. Raja Galuh juga menganut Sewabakti ring Batara Upati
(upati = utpata = nama lain dari Dewa Yama yang identik dengan Syiwa).

2. Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda

Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan
Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M), berbahasa
Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen
Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda.

Prasasti Sanghyang Tapak, antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030 Jayabhupati membuat daerah
larangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa sebagian sungai yang siapa pun
dilarang mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Siapa pun yang melanggar larangan akan terkena
kutukan yang mengerikan, misalnya akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, atau terpotong-potong
ususnya.

Berdasarkan gelarnya yang menunjukkan persamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur dan masa
pemerintahannya pun bersamaan, ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan tersebut ada hubungan atau
pengaruh. Akan tetapi, Jayabhupati berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah haji ri Sunda (raja di
Sunda). Jadi, Jayabhupati bukan raja bawahan Airlangga. Sementara itu, perihal kutukan bukanlah
sesuatu yang biasa terdapat pada prasasti yang berbahasa Sunda sehingga kemungkinan Jayabhupati
bukan orang Sunda asli.

Agama yang dianut Sri Jayabhupati adalah Hindu Waisnawa. Ini ditunjukkan oleh gelarnya
(Wisnumurti). Gelar ini ternyata sama pula dengan agama yang dianut Raja Airlangga. Dengan demikian,
ada kemungkinan bahwa agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada awal abad ke-11 adalah Hindu
Waisnawa.
3. Pusat Kerajaan Kawali

Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak diketahui secara
pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui bahwa setidak-tidaknya pada masa
pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat kerajaan sudah berada di situ. Istananya bernama
Surawisesa. Raja telah membuat selokan di sekeliling keraton dan mendirikan perkampungan untuk
rakyatnya.

Menurut kitab Pararaton, pada tahun 1357 Masehi terjadi peristiwa Pasundan–Bubat atau Perang Bubat,
yaitu peperangan antara Sunda dan Majapahit. Pada masa itu Sunda diperintah oleh Prabu Sri Baduga
Maharaja (ayah Wastu Kancana) dan Majapahit diperintah oleh Raja Hayam Wuruk. Pada pertempuran
itu Prabu Maharaja gugur. Ketika Perang Bubat terjadi, Wastu Kancana masih kecil sehingga
pemerintahannya untuk sementara diserahkan kepada pengasuhnya, yaitu Hyang Bunisora. Ia
menjalankan pemerintahan selama 14 tahun (1357–1371).

Wastu Kancana setelah dewasa menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyang Bunisora. Wastu
Kancana memerintah cukup lama (1371–1471) karena masyarakat mendukungnya. Wastu Kancana
didukung masyarakat karena selalu menjalankan agama dengan baik dan sangat memperhatikan
kesejahteraan rakyatnya. Setelah mangkat, Raja Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang.

Penggantinya adalah putranya sendiri, Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Raja Rahyang
Ningrat Kancana memerintah hanya tujuh tahun (1471–1478). Pemerintahan Raja Rahyang Ningrat
Kancana berakhir karena salah tindak, yaitu mencintai wanita terlarang dari luar. Setelah mangkat, raja itu
dimakamkan di Gunung Tiga.

4. Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran

Setelah Raja Rahyang Ningrat Kancana jatuh, takhtanya digantikan oleh putranya, Sang Ratu Jayadewata.
Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai yang kini menjadi Susuhunan di Pakwan
Pajajaran. Pada Prasasti Batutulis Sang Jayadewata disebut dengan nama Prabu Dewataprana Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Sejak pemerintahan Sri Baduga
Maharaja, pusat kerajaan beralih dari Kawali ke Pakwan Pajajaran yang dalam kitab Carita Parahyangan
disebut Sri Bima Unta Rayana Madura Suradipati. Menurut kitab Carita Parahyangan, raja menjalankan
pemerintahan berdasarkan kitab hukum yang berlaku sehingga terciptalah keadaan aman dan tenteram,
tidak terjadi kerusuhan atau perang.

Pada masa itu, penduduk Kerajaan Sunda sudah ada yang memeluk agama Islam. Hal ini diketahui dari
berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513) yang menyebutkan bahwa di Cimanuk telah banyak
dijumpai orang yang menganut agama Islam. Sang Ratu Jayadewata sudah memperhitungkan meluasnya
pengaruh Islam di wilayah Kerajaan Sunda. Untuk membendungnya, baginda menjalin hubungan dengan
Portugis di Malaka. Dalam rangka menjalin hubungan tersebut, diutuslah Ratu Samiam dari Sunda ke
Malaka pada tahun 1512 — 1521. Ketika Hendrik de Heme memimpin perutusannya ke Sunda pada
tahun 1522, Ratu Samiam sudah berkuasa sebagai raja dan disebut Prabu Surawisesa. Rupanya, dialah
yang menggantikan Raja Jayadewata. Ratu Samiam memerintah selama 14 tahun (1521 — 1535). Setelah
itu, Ratu Samiam digantikan oleh Prabu Ratudewata yang memerintah tahun 1535 — 1543. Pada masa
itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda, antara lain, dari kelompok Islam yang dipimpin oleh
Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dari Kerajaan Banten. Keterangan ini tidak bertentangan
dengan naskah Purwaka Caruban Nagari yang bertalian dengan sejarah Cirebon.

Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada tahun 1527
menyebabkan terputusnya hubungan antara Portugis dan Kerajaan Sunda. Keadaan itu ikut melemahkan
pertahanan Sunda sehingga satu demi satu pantainya jatuh ke tangan musuh. Keadaan makin buruk
karena Prabu Ratudewanata lebih berkonsentrasi sebagai pendeta dan kurang memperhatikan
kesejahteraan rakyat. Adapun penggantinya, Sang Ratu Saksi yang memerintah tahun 1443–1551 adalah
raja yang kejam dan gemar “main wanita”. Demikian pula penggantinya, Tohaan di Majaya yang
memerintah tahun 1551–1567, suka memperindah istana, berfoya-foya, dan mabuk-mabukan. Oleh
karena itu, pada masa pemerintahan Raja Nuisya Mulya Kerajaan Sunda sudah tidak mungkin
dipertahankan lagi dan akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Islam. Sejak tahun 1579 tamatlah riwayat
Kerajaan Sunda di Jawa Barat.
Ekonomi :
Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapatkan
perhatian. Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang
dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhanpelabuhan penting,
seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut
diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan.

Di samping kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan
kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda
umumnya bertani, khususnya berladang (berhuma). Misalnya, pahuma (paladang), panggerek (pemburu),
dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri
kehidupan selalu berpindahpindah. Hal ini menjadi salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda
yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan Sunda.

Sosial Budaya :
Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda
dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut.

1. Kelompok Rohani dan Cendekiawan


Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di
bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang
mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui
berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui
berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita pantun.

2. Kelompok Aparat Pemerintah


Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah (negara), misalnya bhayangkara (bertugas menjaga
keamanan), prajurit (tentara), hulu jurit (kepala prajurit).

3. Kelompok Ekonomi
Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya, juru lukis
(pelukis), pande mas (perajin emas), pande dang (pembuat perabot rumah tangga), pesawah (petani),
dan palika (nelayan).

Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena
itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi atau
prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles,
Garut, Jawa Barat.

Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tulis maupun lisan. Bentuk
sastra tulis, misalnya Carita Parahyangan; sedangkan bentuk satra lisan berupa pantun, seperti
Haturwangi dan Siliwangi.

Anda mungkin juga menyukai