Anda di halaman 1dari 28

DINAMIKA MASYARAKAT FEODAL

DINAMIKA MASYARAKAT SUNDA


Dosen Pengampu : Sudrajat, M.Pd.

Kelompok 10

1. Fara Afi Nur Afifah (20416244012)


2. Mauliya Afifah Nikmah (20416244031)
3. M. Jamal Hamdani (20416244006)
4. Rigitha Ayu Iriani (20416244011)
5. Patriot Jiwo Tri Rahman (20416241050)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN IPS


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
Dinamika Masyarakat Sunda

A. Kerajaan Sunda Galuh


Kerajaan Galuh merupakan kerajaan Hindu terakhir yang berkuasa di
Jawa Barat. Lokasi kerajaan ini berada di wilayah Karangkamulyan atau yang
sekarang kabupaten Ciamis. Berdasarkan cerita dari Parahiyangan yang
ditulis dalam Bahasa Sunda sekitar abad ke-16 M, kerajaan Galuh berdiri dari
dua kerajaan yang sebelumnya merupakan satu kesatuan Kerajaan
Tarumanegara. Nama Galuh memiliki arti Batu Permata menurut Bahasa
Sanksekerta. Setelah kerajaan Tarumanegara kehilangan Sri Maharaja
Linggawarman tahta kerajaan selanjutnya diberikan kepada menantunya,
yaitu Tarusbawa yang kemudian kerajaan ini berubah nama menjadi Kerajaan
Sunda. Akan tetapi, kerajaan Sunda tidak bertahan lama dikarenakan
Wretikandayun yang tergabung dalam kerajaan Sunda melakukan
pemberontakan dan menganggap Tarusbawa tidak dapat mengembalikan
kejayaan dari kerajaan Tarumanegara, akibatnya mucul lah kerajaan Galuh
yang dibatasi oleh sungai Citarum. Kekuasan wilayah Galuh meliputi wilayah
Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan sebagain provinsi Jawa Tengah.
Pada saat Wretikandayun memerintah hampir tidak ada konflik yang
terjadi, hal tersebut tercatat dalam cerita Parahiyangan bahwa Wretikandayun
adalah raja dari kerajaan Galuh yang berkuasa pada 612-702 M, beliau
merupakan raja yang sangat adil dan berwibawa sehingga kerajaan Galuh
tidak terjadi konflik atau pemberontakan. Sistem pemerintahan kerajaan
Galuh mempunyai ciri khas tersendiri, karena pemerintahan dijalankan oleh
tiga penguasa, yaitu Prabu, Rama, dan Resi atau dikenal dengan sebutan “Tri
tangtu Buana”. Dari ketiganya memiliki kedudukan yang berbeda, Prabu
memiliki kekuasaan utama, Rama sebagai penasihat, dan Resi sebagai orang
yang menghukum atau pengadil dan letaknya diluar pusat kerajaan.
Wretikandayun memiliki tiga putra dari hasil perkawinnannya dengan
Manawati, anak tersebut bernama Sampakwaja (620 M), Jantaka (622 M), dan
Amara atau dikenal dengan Mandiminyak (624 M). Setelah Wretikandayun
wafat yang berusia 111 tahun, tahta kerajaan diturunkan kepada anak
bungsunya, yaitu Mandiminyak
dikarenakan Wretikandayun lebih mempercayai Mandiminyak sebagai sosok
yang tepat dibandingkan dengan kedua kakaknya dimana keduanya
mengalami kecacatan fisik sejak lahir.
Pada masa pemerintahan Mandiminyak, kerajaan Galuh tidak berjalan
lama karena Mandiminyak sering melakukan hal-hal yang melanggar aturan
dan menyimpang. Sosok Mandiminyak digambarkan sebagai raja yang cakap
dan juga tampan, namun kelakuannya yang sangat sulit diterima dikeluarga
kerajaan dikarenakan Mandiminyak mempunyai anak dari hubungan gelapnya
dengan Rababu yang merupakan istri dari kakaknya sendiri, yaitu
Sempakwaja. Nama anak dari hubungan gelap tersebut bernama Bratasenawa
(senna). Kemudian, Mandiminyak wafat pada tahun 709 M yang selanjutnya
tahta kerajaan diturunkan kepada Bratasenawa. Semenjak saat inilah kerajaan
Galuh mengalami konflik karena Purbasora merasa lebih berhak memerintah
keraj aan Galuh dan menganggap Bratasenawa bukanlah anak yang sah karena
hasil hubungan gelap dari Mandiminyak dengan Rababu. Konflik antara
Purbasora dan Bratasenawa tidak dapat dihindarkan. Kemudian, Purbasora
meminta bantuan kepada Indraprahasta yang berkuasa di Cirebon untuk
membunuh Bratesenawa. Namun, upaya tersebut gagal karena Bratasenawa
telah mengetahui dan langsung melarikan diri ke Kerajaan Sunda dan
meminta perlindungan. Kemudian, kerajaan Galuh dipimpin oleh raja yang
bernama Rakiyang Jabring atau dikenal dengan nama Sanjaya yang
merupakan anak dari Bratasenawa dan Sanaha. Sanjaya adalah raja kelima
dari Kerajaan Galuh. Sanjaya juga berhasil membalaskan dendam, sehingga
Sanjaya membunuh seluruh keluarga dari Purbasora, kecuali cucu dari
Purbasora dan juga menantunya.

B. Pusat Kerajaan Sunda yang Berpindah-pindah


1. Pusat Kerajaan Galuh
Di Jawa Barat, sepanjang naskah-naskah kuno yang ditemukan di
Jawa Barat dan berbahasa Sunda Kuno dapat dipercaya, bahwa didaerah
inipun telah terjadi beberapa kali perpindahan pusat kerajaan. Perpindahan
pusat kerajaan
disebabkan oleh beberapa macam alasan, terkadang karena alasan ekonomi,
keamanan, politik, dan juga bisa diakibatkan dari terjadinya bencana alam.
Adanya perpindahan pusat kerajaan tersebut, menyebabkan kita harus
mempertimbangkan kembali adanya beberapa buah kerajaan yang saling
mengganti. Apakah, sebenarnya di Jawa Barat hanya terdapat satu kerajaan
saja setelah runtuhnya kerajaan Tarumanegara menjelang akhir abad 7 M,
sedangkan nama-nama yang dianggap sebagai nama kerajaan adalah nama
ibukota atau pusat kerajaan tersebut. Jika dugaan ini benar, maka sampai
keruntuhannya tahun 1579 kerajaan sunda telah beberapa kali mengalami
perpindahan pusat kerajaan, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan
Pajajaran. Berita Portugis yang berasal dari Tome Pires (1513), menyebutkan
kerajaan yang berkuasa di Jawa Barat dan mengadakan hubungan dengan
Portugis...regno de cumda... yang berarti kerajaan sunda. Begitu pula dengan
berita Antonio Pigafetta (1522), yang memberitakan Sunda sebagai suatu
daerah yang banyak menghasilkan lada. Berdasarkan kutipan kedua sumber
asing dari abad 16 tersebut menyebutkan suatu kerajaan Sunda di Jawa Barat.
Prasasti tertua yang menyebut nama sunda adalah prasasti Rakyan Juru
Pangambat yang berangka tahun 854 saka (932 M) ditemukan di Desa Kebon
Kopi, Bogor. Prasasti ini berbahasa melayu kuno. Selanjutnya sumber
kesisastraan yaitu cerita Parahiyangan (akhir abad 16), menyebutkan Sunda
sebagai nama kawasan. Demikian pula dengan Naskah Siksa Kanda ng
Karesian tahun 1440 saka (1518 M) dan juga berita-berita China jaman dinasti
Ming (1368-1643) juga menyebutkan kata Sun-la. Dari berbagai bukti-bukti
tersebut dapat disimpulkan, bahwa daerah Jawa Barat sebenarnya dikenal
dengan sebutan Sunda, sedangkan nama-nama lainnya adalah nama pusat
kerajaan atau ibukota, seperti Galuh yang sering disebutkan dalam Cerita
Parahiyangan. Selain itu, nama lain yang lebih dikenal adalah Pajajaran. Nama
dalam prasasti disebut Pakwan Pajajaran dan Pajajaran, kedua nama itu
mengisyaratkan nama suatu tempat. Berbeda dengan Sunda yang lebih
mengesankan nama kerajaan, seperti nama Galuh, Pakwan Pajajaran, atau
Pajajaran yang kemungkinan besar adalah nama pusat kerajaan yang telah
mengalami beberapa kali perpindahan.
Dalam cerita parahiyangan ada suatu hal yang menarik, yaitu uraian
mengenai awal kerajaan Sunda. Raja Sanjaya yang disebut dalam prasasti
Canggal (732 M) yang berasal dari halaman percandian gunung Wukir,
kecamatan Salam, Magelang. Dalam prasasti tersebut Sanjaya menggantikan
raja sebelumnya yang bernama Sanna. Cerita Parahiyangan menghubungkan
Sanjaya dengan pusat kerajaan Galuh. Pada suatu ketika, terjadi perebutan
kekuasaan oleh Purbasora dengan Sanna.Cerita Parahiyangan memberikan
penjelasan bahwa, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora, sehingga berhasil
menjadi raja.
Berdasarkan berita-berita tersebut, terdapat dugaan bahwa agama yang
dianut oleh Sanjaya adalah Hindu dari madzab Siwa. Hal tersebut diperkuat
oleh prasasti Canggal, dikatakan yang memuja dewa Siwa lebih banyak
dibandingkan dengan pemujaan dewa-dewa besar lainnya. Namun, pada masa
itu juga sudah mulai muncul tanda-tanda berkembangnya agama Budha yang
sebagaimana diketahui menjadi agama resmi raja-raja Mataram yang
mendirikan Borobudur. Dalam Cerita Parahiyangan, Sanjaya pergi berperang
kedaerah lain supaya daeah tersebut mau mengakui dan tunduk kepadanya.
Daerah-daerah tersebut antara lain: Mananggul, Kahuripan, Kadul, Balitar,
Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Setelah memerangi daerah-daerah
tersebut, Sanjaya kembali ke Galuh, pusat kerajaan Sunda pada masa
pemerintahannya. Tetapi, pada waktu yang bersamaan, di Saunggalah
memerintahkan Sang Kowakarma yang masih saudara misan Sanjaya, lebih
berhasil menguasai daerah-daerah yang berjauhan, termasuk daerah yang
diberitakan sudah dikalahkan Sanjaya. Dalam Cerita Parahiyangan
menyebutkan daerah tersebut meliputi, Keling, Pontang, Kahuripan, Wiru,
Jawa, Balitar, Tuntang Sunda, Malayu, Kemir, Berawan, Cimaraupatah, dan
Cina. Setelah mendengar berita tersebut, Sanjaya mengirimkan utusan ke
Saunggalah yang bermaksud untuk membagi wilayah-wilayah tersebut
dibawah kekuasaan mereka masing-masing.
2. Pusat Kerajaan Prahajyan Sunda

Nama Sunda kembali muncul pada prasasti yang berasal dari tahun
952 saka atau 1030 Masehi yang ditemukan di Kampung Pangcalikan dan
Bantarmuncang,di tepi Cicatih daerah Cibadak, Sukabumi dengan nama
prassati Sanghyang Tapak yang berbahasa Jawa Kuno dengan huruf
Kawi.Nama tokoh yang disebut dalam prasasti ini adalah Maharaja Sri
Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya dengan daerah
kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda.Prasasti ini juga menarik,karena gelar
yang dipergunakan Jayabhupati ternyata sangat mirip dengan gelar raja
Airlangga di Jawa Timur,yang memerintah pada masa yang bersamaan
pula.Hal tersebut menimbulkan berbagai dugaan yang beranggapan bahwa Sri
Jayabhupati adalah salah seorang raja bawahan Airlangga.Sementara ada pula
yang beranggapan bahwa gelar yang sama itu tidak ada sangkut pautnya
dengan kehidupan politik diantara kedua daerah tersebut.

Dalam prasasti ini diakui bahwa ada hubungan tertentu antar Jawa
Barat dan Jawa Timur.Demikian pula dengan kutukan-kutukan yang termuat
dalam prasasti Sanghyang Tapak ini.Prassati ini menyebutkan bahwa pada
tahun 1030 Jayabhupati membuat tepek (semacam daerah larangan) di sebelah
timur Sanghyang Tapak yang berupa sebagian dari sungai yang kemudian
dinyatakan tertutup untuk segala macam penangkapan ikan dan tidak
diperbolehkan di sungai tersebut mengangkap ikan dan penghuni sungai
lainnya juga ditetapkan batas daerah larangan tempat pemujaan di
hulu.Sedangkan di hilir berbatasan dengan dua buah batu besar.Sanghyang
Tapak yang dimaksud dalam prasasti ini,menurut dugaan adalah tapak kaki
yang ditemukan terpahat pada batu di puncak Gunung Perbakti di daerah
Cicurug,Sukabumi.

Dari gelarnya yang pajang tersebut,dapat diketahui bahwa Sri


Jayabhupati adalah seorang penganut agama Hindu dari aliran Waisnawa.Hal
ini juga sama dengan agam yang dianut oleh Airlangga,sehingga dapat
dikatakan agama Hindu aliran Waisnawa adalah agama resmi di pulau Jawa
pada awal abad XI M.

Kemudian dalam Carita Parahyangan disebutkan bahwa Rakeyan


Darmasiksa (tokoh yang dikaitkan dnegan titisan Batara Wisnu) telah
membuat daerah kabuyutan (daerah larangan).JIka dugaan diterima bahwa Sri
Jayabhupati dalam suatu rangkaian kisah sejarah Sunda sebagai suatu
kesatuan ini berarti bahwa Prahajyan Sunda diperintahkan oleh
Jayabhupati.Selanjutnya jika dugaan bahwa Rakeyan Darmasiksa pada Carita
Parahyangan sama dengan tokoh Jayabhupati pada prassati Sanghyang
Tapak,maka dapat dikatakan pusat kerajaan Sunda pada masa pemerintahan
Jayabhupati terletak di Pakwan Pajajaran.

Kemudian ditemukannya prasasti Horren yang menyebutkan bahwa


penduduk kampong Horren seringkali merasa tidak aman karena ada
kemungkinan musuh dari Sunda.Menurut Stutter Heim,prasasti ini diduga
berasal dari zaman Majapahit sesudah perang Bubat (1357).Tetapi jika
diperhatikan dari bahasanya,maka jelas bahwa gaya dan struktur bahasanya
lebih dekat pada Bahasa Jawa kuno zaman Airlangga,sehingga besra
kemungkinan bahwa prassati tersebut memang berasal dari abad XI.jika
demikian,maka Sunda yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut ialah Sunda
pada masa Sri Jayabhupati yang sezaman dengan masa pemerintahan ditu.
Airlangga.

3. Pusat Kerajaan Kawali


Perpindahan pusat kerajaan dari Pakwan Pajajaran ke Kawali tidak
dapat ditentukan dengan pasti. Menurut bukti prasasti di Astanagede (Kawali)
dapat diketahui, bahwa pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu pusat
kerajaan sudah berada di situ. Dari prasasti-prasasti di Kawali dapat diperoleh
bahwa Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali dengan nama kraton
Surawisesa telah membuat selokan di sekeliling kraton. Ia juga mendirikan
desa-desa dan mengharapkan mereka yang datang ke desa berbuat kebijakan
sehingga dengan demikian dapat hidup lama dan bahagia di dunia. Harapan
seperti itu ditemukan juga di dalam sebuah naskah Sanghyang Siksakandang
Karesian tahun 1518 M.
Prabu Raja Wastu pada prasasti Kawali ini adalah tokoh yang sama
dengan disebut Rahyang NIskala Wastu Kencana pada prasasti Batutulis dan
Kebantenan yaitu Kakek Sri Baduga Maharaja. Hal ini memberi kemungkinan
bahwa Prabu Wastu memerintah Kawali dan digantikan anaknya yang
bernama Rahyang Ningrat Kencana. Didalam cerita Parahyang tokoh Dewa
Niskala atau Ningrat Kencana ini tidak disebutkan namanya tetapi dikatakan
Tohaan di Galuh (yang dipertuankan di Galuh) dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Sunda
masih ada di Galuh tepatnya di sekitar kota kecil Kawali sekarang.
Ketika perang Bubat terjadi, Wastu Kencana masih kecil sehingga
pemerintah sementara diserahkan kepada pengasuhnya bernama Hyang
Bunisora yang kemudai bertindak seolah-olah sebagai raja yang sah di Sunda.
Hyang Bunisora in berkuasa selama 14 tahun. Setalah Wastu Kencana dewasa
ia menerima kembali tampuk pemerintahan Hyang Bunisora. Ia memerintah
cukup lama yaitu 104 tahun dikarenakan ia selama memerintah selalu baik
menjalankan agama, serta memperhatikan kesejahteraan rakyat. Prabu Niskala
Watu Kencana kemudian digantikan anakanya yang bernama Tohaan di Galuh
yang berkuasa selama 7 tahun.

4. Pusat Kerajaan Pakwan Pajajaran


Negara Kencana atau Tohaan di Galuh digantikan oleh anaknya
sendiri yaitu Sang Ratu Jayadewata menurut cerita Prahyangan dan
memerintah selama 39 tahun. Menurut Cerita Parahyangan, Sang Ratu
Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum
yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan aman dan tentram. Pada
masa kekuasaan Sang Ratu Jayadewanta sudah ada penduduk kerajaan Sunda
yang beralih ke agama Islam diantarannya dijelaskan dalam berita Portugis
yang berasal dari Tome Pires (1513).
Oleh berita Portugis dikatakan, bahwa pada tahun 1512 dan 1521
Ratu Samiam dari kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka, ketika
pada tahun 1522 Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugiske Sunda
yang beribukota di Dayo, Ratu Samiam sudah berkuasa disana sebagai raja.
Jika dikaitkan dengan berita portugis Ratu Samiam merupakan Prabu
Surawisesa yang menggantika Sang Ratu Jayadewata dan memerintah selama
14 tahun.
Pada masa Prabu Ratudewanta banyak terjadi penyerangan yang
salah satunya Islam. Sebelum Islam meraih kemenangan pada tahun 1559,
beberapakali sudah melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Maulana
Hasanudin dan anaknya Maulana Yusuf. Jatuhnya Sunda Kelapa pelabuhan
terbesar Kerajaan Sunda ke tangan islam memutus jalur ke pusat kerajaan
dengan daerah luar. Dalam keadaan seperti itu Kerajaan Sunda sudah tidak
lagi memiliki pemimpin yang meyakinkan. Prabu Ratudewanta menjadi raja
pendeta dan menghiraukan rakyatnya. Raja yang menggantikannya Sang Ratu
Saksi adalah seorang yang kejam. Begitu pula penggantinya yaitu Tohaan di
Majaya yangmemindahkann kraton dan suka mabuk dan foya-foya. Akhirnya
pada masa Nasiya Mulya kerajaaan Sunda dikalahkan Islam.
Di dalam cerita Parahyangan banya penduduk kerajaan Sunda yang
memeluk islam yang digambarkan pada masa Ratu Jayadewata. Dikarenakan
penyebaran islam yang begitu cepat dari Demak ke Barat ditambah Cirebon
yang dikuasai Islam membuat ancaman bagi Kerajaan Sunda. Prasasti
Kebantenan menyebutkan usaha Jayadawata untuk membuat daerah
kependetaan bernama Jayagiri dan Sundasembawa sebagai usaha untuk
menggiatkan pengajaran keagamaan. Serta adanya kerjasama Portugis dengan
Kerajaan Sunda untuk menghadapi meluasnya islam didaerahnya yang
dimulai sejak tahun 1512. Namun perjanjian ini tidak terlaksana sehingga
karena Fransisco de Saa yang ditugaskan oleh pihak portugis melaksanakan
perjanjian tersebut baru berangkat ke India pada tahun 1524 dan tiba di Kelapa
1527 tetapi Kelapa sudah lebih dulu dikuasai Islam yang dipimpin oleh
Faletahan. Sampai akhirnya peperangan dilanjutkan hingga raja terakhir yaitu
Nusiya Mulya dan
merupaka akhir dari benteng terakhir budaya Hindu-Budha di Indonesia pada
tahun 1579 Masehi.

C. Struktur Kerajaan dan Birokrasi Kerajaan Sunda


1. Struktur Kerajaan
Pajajaran sebagai nama kerajaan, belum pernah ditemukan di dalam
prasasti - prasasti yang merupakan sumber sejarah. Namun, bukti - bukti
sejarah yang ada menunjukkan bahwa pajajaran merupakan pusat kerajaan
(prasasti kebantenan dan batutulis). Pajajaran sebagai nama sebuah kerajaan
hanya ditemukan di dalam naskah - naskah yang lebih bernilai sastra,
termasuk carita pantun yang berupa tinggalan sastra lisan. Sumber - sumber
asing dari masa yang sezaman, juga tidak pernah menyebutkan adanya
kerajaan bernama pajajaran. Tome Pires dalam catatan perjalanannya
menyebutkan adanya sebuah negara Cumda (Sunda) dengan ibu kotanya yang
bernama Dayo (Dayoh). Sebuah berita portugis juga menyebutkan bahwa
pada tahun 1522, Hendrik de Leme yang memimpin pelayaran potrugis dari
malaka ke sunda, yang beribukotakan Dayo juga. Sedangkan menurut
Barbosa, Qumda (sunda) adalah suatu tempat yang kecil dimana terdapat
banyak lada. Pada masa yang sama, terdapat sajak yang ditulis oleh Luis de
Camoes yang mengatakan bahwa .... Kesana kerajaan sunda menjengkaukan
lengan kuasa .... Hal yang sama juga ditemukan dalam berita - berita cina,
yaitu berita yang berasal dari Cheng-ho mengatakan bahwa ia beberapa kali
diutus oleh kaisar cina dan salah satu negara yang dikunjunginya adalah sun-
la. Sun-la kemungkinan adalah lafal cina dari sunda. Disamping semua itu,
bukti - bukti prasasti juga menyebutkan adanya sebuah negara yang bernama
prahajyan sunda dan rajanya bernama Sri Jayabhupati. Selain itu, nama sunda
juga dapat ditemukan pada prasasti Horren yang berasal dari jawa timur. Dari
semua kutipan di atas jelas, bahwa pakwan pajajaran (Dayo) merupakan
pengertian dari kota, ibu kota, atau pusat kerajaan. Bukan untuk nama
kerajaan itu sendiri. Maka istilah kerajaan pajajaran dengan demikian dapat
diartikan sebagai kerajaan sunda yang beribukotakan di pajajaran (Dayo).
Di dalam catatan perjalanannya, Tome Pires mengatakan mengenai
sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Sunda, kerajaan ini dipimpin
oleh seorang raja. Disamping raja pusat, di daerah - daerrah tertentu, terdapat
raja - raja yang berkuasa di daerah masing - maisng. Mengenai hak waris
takhta diturunkan kepada anaknya tetapi apabila raj a tidak memiliki anak
maka yang menggantikan dipilih diantara raja - raja daerah yang terbesar.
Sementara itu, sebuah naskah yang berasal dari tahun 1518. Sanghyang
Siksakanda ng Karesin memberikan keterangan tentang struktur kerajaan
sunda, yaitu ditingkat pemerintah pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan
raja. Dalam pelaksanaan tugas sehari - hari, raja dibantu oleh mangkubumi
yang membawahi beberapa orang nu nangganan. Disamping itu, terdapat pula
kedudukan sebagi putra mahkota yang nantinya akan menggantikan
kedudukan sang raja. Apabila raja meninggal dunia atau mengundurkan diri,
untuk mengurus daerah kerajaan dibantu oleh beberapa orang raja daerah.
Raja daerah dalam melaksanakan tugasnya dapat bertindak sebagai raja yang
merdeka tetapi tetap mengakui raja sunda yang bertakhta di Pakwan Pajajaran
atau Dayo sebagai junjungan mereka. Sementara itu, untuk mengurusi
permasalahan yang berhubungan dengan perniagaan, raja diwakili oleh para
syahbandar yang bertindak untuk dan atas nama raja sunda di daerah yang
mereka kuasai masing - masing. Struktur kerajaan seperti ini rupanya yang
paling sesuai dengan kerajaan sunda.
2. Kraton Kerajaan Sunda
Berdasarkan cerita dari pantun tentang kebesaran kerajaan sunda dapat
diketahui bahwa kraton yang menjadi tempat raja bersemayam pada umumnya
terdiri atas lebih dari sebuah bangunan. Pada setiap cerita pantun letak
bangunan - bangunan yang terdapat di derah kraton itu tidak sama, yaitu ada
bangunan induk dan bangunan - bangunan lain yang ada di kompleks tersebut.
Bangunan induk merupakan tempat tinggal raja sedangkan bangunan yang
lainnya merupakan tempat tinggal para pejabat kerajaan dan kerabat dekat
kraton yang lain. menurut naskah K. 406 pendiri pusat kerajaan sunda ialah
Prabu Tarusbawa. Beliau juga dianggap sebagai sosok yang telah mendirikan
kraton kerajaan sunda. Kraton kerajaan sunda terdiri dari lima buah bangunan
dengan bangunan Suradipati sebagai bangunan induk. Keempat bangunan
yang lainnya ialah bima, punta, narayana, dan madira. Kelima buah bangunan
itulah dalam carita parahyangan disebut sebagai pakwan sanghyang sri ratu
dewata.

D. KEHIDUPAN MASYARAKAT SUNDA


1. Masyarakat ladang
Naskah sanghyang siksakanda ng karesian memberikan keterangan
yang cukup jelas mengenai adanya kelompok - kelompok masyarakat
kerajaan sunda pada masa itu. Kelompok masyarakat sunda tersebut
berdasarkan fungsi yang dimiliki masing - masing kelompok itu. Oleh karean
itu, terdapat kelompok ekonomi yang terbagi lagi mernjadi beberapa
golongan, kelompok rohani dan cendekiawan, kelompok alat negara, dan
sebagainya. Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi ialah pangalasan
(orang utas), pelukis, pande dang (pandai tembaga, pembuat perabot dari
tembaga), pande mas (pandai mas), guru, tapukan (penari), dan palika
(penangkap ikan, nelayan). Kelompok masyarakat yang bertugas sebagai alat
negara ialah mantri, bayangkara (penjaga keamanan), prajurit, nu nangganan
(nama pejabat dibawah mangkubumi), dan hulu jarit (kepala prajurit).
Kelompok masyarakat rohani dan cendikiawan ialah memen (dalang) yang
mengetahui berbagai macam cerita, paraguna yang mengertahui berbagai
macam lagu dan nyanyian, hempul yang mengetahui berbagai macam
permainan, brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, dan juru
basa darmamurcaya yang mengetahui bderbagai macam bahasa yang
diketahui orang pada masa tersebut. pada masa kerajaan sunda juga terdapat
orang - rang yang memperoleh penghasilan dengan cara yang tidak disukai
masyarakat pada umumnya. Pekerjaan itu antara lain, ngodok (merogo),
nyepet (mencopet), maling (mrencuri), dan ngabegal (membegal). Mata
pencaharian seperti itu disebut cekap carut, sesuatu yang pantang untuk ditiru
dan hal - hal seperti itu disebut sebagai guru nista yaitu hal - hal yang
dianggap sangat nista atau hina.
Kerajaan sunda adalah sebuah kerajaan yang hidup dari pertanian,
terutama dari perladangan. Bukti atau petunjuk tentang masyarakat ladang ini
dapat ditemukan baik dalam sumber - sumber sastra tulisan maupun sastra
lisan. Masyarakat ladang pada umumnya menggunakan alat berupa kujang,
patik, baliung, kored, dan sadap untuk berladang. Ciri yang menonjol dari
masyarakat ini adalah selalu berpindah tempat yang secara langsung
memberikan pengaruh terhadap bentuk bangunan tempat tinggal mereka.
Barang - barang ladang yang dihasilkan oleh masyarakat ladang ini
merupakan sumber penghasilan kerajaan sunda yaitu berupa sumber bahan
makanan dan lada. Bahan - bahan makanan tersebut adalah sayur - mayur,
sapi, kambing, biri- biri, babi, dan buah - buahan.

2. Agama dan Budaya


Pada masa Kerajaan Sunda yang berlangsung sejak awal abad VIII
hingga menjelang akhir abad XVI M, kehidupan keagamaan masyarakat
Kerajaan Sunda bercorak Hindu-Budha yang telah berbaur pula dengan usur
agama leluhur sebelumnya. Hal ini dapat ditemukan dalam naskah Sanghyang
Siksakanda ng Karesian. “ mangkubumi bakti diratu, ratu bakti di dewata,
dewata bakti di hyang” (mangkubumi brerbakti kepada ratu, ratu berbakti
kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang). Dari kutipan naskah tersebut
dapat dilihat bahwa pada awal abad XVI M, kehidupan keagamaaan pada
masa sebelumnya hanya memperlihatkan sifat - sifat Hindu, lalu Hindu-
Budha, pada masa tersebut telah memperlihatkan lebih munculnya sifat - sifat
agama leluhur. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya derajat Dewata berada
dibawah Hyang. Dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian juga
memberikan keterangan mengenai sifat agama Budha pada masa itu. Didalam
naskah tersebut dikatakan bahwa Dasakreta adalah bayang - baying Dasasila
dan merupakan hakekat Dasamarga yang bersumber pada Dasaindrya. Hal ini
menunjukkan bahwa asas ajaran Buddhisme pada masa pemerintahan Sri
Baduga Maharaja telah dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari
- hari yang praktis. Segi negative yang terdapat di dalam ajaran agama Budha
telah diubah menjadi segi positif di dalam bentuk Dasamarga (sepuluh
tindakan) akan tetapi karena keberasilannya akan tergantung kepada manusia
sendiri maka Dasakreta itu harus dilandasi dengan pemahaman akan
Dasaindrya (sepuluh drya) yang terdapat di dalam raga manusia. Bila hal ini
dilaksanakan dengan semestinya menurut petunjuk Sanghyang Siksakanda ng
Karesian maka negara akan makmur dan kehidupan akan aman sentosa.
Pada masa itu, teerdapat orang - orang yang cukup ahli dibindang
keagamaan. Orang - orang yang mengetahui dengan baik tingkat - tingkat
kehidupan keagamaan disebut paratanda. Orang yang mengetahui dengan baik
berbagai macam aji mantra disebut Brahmana. Dari Brahmana kita akan tahu
nama - nama aji mantra, seperti jampa - jampa, gogoing, susuratan,
sasaranaan, tunduk iyem, dan pasakwan. Orang yang dapat diminta keterangan
mengenai berbagai macam pemujaan yang dilakukan di sanggar disebut
janggan. Orang yang dapat dimintai keterangan tentang berbagai macam kitab
pustaka keagamaan disebut pandita.
Dari Sanghyang Siksakanda ng Karesian sedikti banyak memberikan
keterangan kepada kita bagaimana kira - kira kehidupan budaya pada masa itu.
Dalam naskah ini juga dapat mengetahui adanya orang - orang yang dipandang
ahli disalah satu bidang budaya, seperti saja sastra, lukis, ukir, dan gamelan.
Orang yang mengetahui berbagai macam cerita disebut memen. Orang yang
mengetahui berbagai macam kawih disebut paraguna. Orang yang memiliki
keahlian khusus mengetahui dengan baik berbagai macam permainan disebut
pamacoh. Jenis - jenis batik(tulis) dengan ahlinya yang disebut lukis. Orang
yang mengetahui berbagai macam ukiran disebut maragguy. Bahasa - bahasa
asing yang digunakan pada masa itu adalah carek paranusa dan mencangkup
ke dalam bahasa cina, keeling, parasi, mesir, samudra, banggala, dll. Orang
yang ahli dalam bidang ini disebut jurubasa darmamurcaya. Jurubasa
darmamurcaya merupakan orang yang memiliki peranan cukup tinggi pada
masa kerajaan sunda karena dengan bantuan mereka talimarga antara orang
-orang yang berhubungan dapat terlaksana. Dengan adanya Sanghyang
Saksakanda ng Karesian dapat disimpulkan bahwa kehidupan kebudayaan
zaman kerajaan sunda sudah tinggi.

E. Peninggalan Kerajaan Sunda (Pajajaran)

1. Prasasti Batu Tulis

W 0J
■ -Y-Cfrcjy f (e y..-^CCi/k9 y

°^Oo-n3c ■o<sx?t?<-^. <'~r :■


0(}
xtr?
Ofl> •«, li, •?'
^>/0A/J$Q S». rfjj pijj'nr?)
•'7(.• C vwro!?r,vj(^£- 'ojj fii-suSeifyA
O'** ■». V,. ! ....... ■ j/rrjut ..-m

Prasasti peninggalan Kerajaan Pajajaran yang pertama ialah prasasti batu tulis
yang terletak di Kelurahan Batu Tulis,Bogor Selatan.Seorang kapten VOC
bernama Adolf Winkler adalah orang yang pertama kali menemukan benda
peninggalan ini.Prasasti batu tulis pertama kali diteliti oleh Universitas Leiden
di Belanda pada tahun 1806. Aksara yang ada pada prasasti batu tulis berupa
aksara Sunda kuno dan Jawa kuno. Aksara tersebut dituliskan pada batu
sejenis dengan batu yang ada pada sungai cisadane.Penulisan prasasti ini
menggunakan bahasa sansekerta dan bahasa pallawa. Prasasti batu tulis dibuat
pada saat Kerajaan Pajajaran dipimpin oleh Prabu Surawisesa.Tujuan
pembuatan prasasti ini ialah untuk menghormati layanan Prabu Siliwangi
yang merupakan ayahnya.Banyak ahli yang menyatakan bahwa prasasti batu
tulis dibuat setelah Raja Siliwangi wafat.
2. Prasasti Cikapundung

Prasasti Cikapundung ditemukan oleh warga daerah di sekitar Sungai


Cikapundung, Bandung pada tanggal 8 Oktober 2010.Dalam batu Prasasti ini
mempunyai tulisan Sunda kuno yang menurut perkiraan berasal dari abad ke-
14.Tidak hanya ada huruf Sunda kuno,pada prasasti terdapat beberapa gambar
seperti telapak tangan,wajah, telapak kaki dan juga 2 baris huruf Sunda kuno
dengan tulisan ” unggal jagat jalmah hendap” dengan arti semua manusia di
dunia ini dapat mengalami sesuatu apapun. Seorang peneliti utama dari Balai
Arkeologi Bandung yaitu Lufti Yondri berkata jika prasasti itu adalah Prasasti
Cikapundung.

3. Prasasti Huludaeyuh

Prasasti Huludayeuh terletak di bagian tengah sawah di Kampung


Huludayeuh,Desa Cikalahang,Kecamatan Sumber setelah pemekaran
Wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang,Cirebon.Bentuk batu prasasti
huludayeuh berupa lempengan yang menyatu dengan lantai dan terbuat dari
batu andesit.Prasasti ini sudah sejak lama diketahui oleh masyarakat sekitar
akan namun untuk para arkeologi dan juga ahli sejarah baru mengetahui
keberadaan prasasti itu di bulan September 1991.Isi dari prasasti itu terdiri
dari 11 baris tulisan beraksa serta bahasa Sunda kuno.Namun batu prasasti itu
ditemukan dalam keadaan yang sudah tidak utuh serta membuat beberapa
aksara juga ikut hilang.Permukaan batu prasasti itu juga sudah agak rusak
serta beberapa tulisan sudah aus sehingga beberapa isi dari prasasti itu tidak
bisa terbaca. Secara garis besar, prasasti ini menceritakan mengenai Sri
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang berkaitan dengan
beberapa usaha untuk membuat makmur negerinya.

4. Prasasti Pasir Datar


Prasasti ini ditemukan pada sebuah perkebunan kopi yang berada di Pasir
Datar, Cisande,Sukabumi di tahun 1872 dan sekarang telah disimpan pada
Museum Nasional Jakarta.Prasasti tersebut terbuat dari material batu alah
yang masih belum ditranskripsikan sampai saat ini sebab isinya sendiri belum
dapat diartikan.
5. Prasasti Ulubelu

Prasasti Ulubelu ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung


,Lampung tahun 1936. Meski ditemukan di Lampung,Sumatera
Selatan,namun para sejarawan menduga jika aksara yang dipergunakan pada
prasasti ini adalah aksara Sunda kuno yang merupakan peninggalan dari
Kerajaan Pajajaran itu.Anggapan ini pun dipekruat dengan wilayah dari
Kerajaan Sunda yang juga termasuk wilayah Lampung.Setelah kerajaan
Pajajaran runtuh oleh Kesultanan Banten, kekuasaan Sumatera Selatan itu
dilanjutkan Kesultanan Banten. Isi dari prasasti ini ialah mantra mengenai
permohonan pertolongan yang ditujukan pada para Dewa utama yaitu Batara
Guru (Siwa),Wisnu dan Brahma serta Dewa penguasa tanah, air dan pohon
supaya keselamatan dari semua musuh bisa didapatkan.

6. Prasasti Kebon Kopi II

Prasasti Kebon Kopi II adalah peninggalan dari Kerajaan Sunda Galuh yang
ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebon Kopi I yang merupakan peninggalan
dari Kerajaan Tarumanegara.Tapi prasasti ini hilang karena dicuri pada sekitar
tahun 1940-an.Seorang pakar bernama F.D.K Bosch pernah mempelajari
prasasti itu serta menuliskan jika dalam prasasti ada tulisan bahasa Melayu
kuno yang menceritakan mengenai seorang Raja Sunda menduduki tahtanya
kembali dan menafsirkan angka tahun kejadian bertarikh 932 Masehi.Prasasti
tersebut ditemukan di Kampung Pasir Muara,Desa Ciaruteun
Ilir,Cibungbulang,Bogor,Kabupaten Bogor,Jawa Barat abad ke-19 ketika
sedang dilaksanakan penebangan hutan untuk dibuat lahan kebun kopi lalu
prasasti ini ada di sekitar 1 km dari batu prasasti Kebonkopi I yaitu Prasasti
Tapak Gajah.

7. Prasasti Karangkamulyan

Prasasti ini ada di Desa Karangkamulyan,Ciamis,Jawa Barat yang merupakan


peninggalan dari Kerajaan Galuh Hindu Buddha.Situs Karangkamulyan
tersebut menceritakan tentang Ciung Wanara berhubungan dengan Kerajaan
Galuh.Cerita ini kental dengan kisah pahlawan hebat yang memiliki kesaktian
serta keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa serta hanya dimiliki
oleh Ciung Wanara.Ciung Wanara adalah seseorang yang memiliki kehebatan
atau kesaktian yang tidak dimiliki oleh orang biasa.Ciung Wanara merupakan
anak dari dari Dewi Naganingrum.Sedangkan Dewi Naganingrum adalah
permaisuri pertama dari seorang Raja bernama Prabu Adimulya Sanghyang
Cipta Permanadi Kusumah.Ciung Wanara menjadi pengganti raja yang
mempunyai sifat adil dan bijaksana.Dalam area sekitar 25 Ha itu tersimpan
berbagai benda mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang kebanyakan
berupa batu.Batu-batu itu tersebar dengan berbagai bentuk serta beberapa batu
yang ada di dalam bangunan strukturnya itu dari tumpukan batu dengan
bentuk yang hampir mmirip dan bangunan memiliki sebuah pintu yang
membuatnya tampak seperti sebuah kamar.Batu-batu itu memiliki nama dan
kisah yang berbeda-beda.Nama-nama itu diberikan oleh masyarakat sekitar
yang diperoleh dengan cara menghubungkan kisah Kerajaan Galuh seperti
pangcalikan atau tempat duduk,tempat melahirkan, lambang
peribadatan,cikahuripan serta tempat sabung.
8. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis

Sejarah Kerajaan PajajaranPrasasti Perjanjian Sunda Portugis adalah prasasti


dengan bentuk tugu batu yang berhasil ditemukan tahun 1918 di
Jakarta.Prasasti tersebut menjadi tanda dari perjanjian Kerajaan Sunda dengan
Kerajaan Portugis yang dibuat oleh utusan dagang Kerajaan Portugis dari
Malaka yang di pimpin Enrique Leme yang membawa beberapa barang untuk
diberikan pada Raja Samian (Sanghyang) yaitu Sang Hyang Surawisesa
seorang pangeran yang menjadi pimpinan utusan Raja Sunda. Perjanjian yang
ada pada benda peninggalan ini disebut dengan nama padaro sunda
kelapa.Prasasti ini dibangun diatas permukaan tanah yang pula ditunjuk
sebagai tempat benteng serta gudang orang Portugis.Prasasti ini ditemukan
dengan cara melakukan penggalian ketika membangun sebuah gudang di
bagian sudut Prinsenstraat yang sekarang menjadi jalan cengkeh dan puls
Groenestraat yang sekarang menjadi jalan Kali Besar Timur I dan telah
termasuk ke dalam wilayah Jakarta Barat.Sementara untuk replikanya sudah
dipamerkan pada Museum Sejarah Jakarta.

9. Kompleks Makom Keramat

Kompleks Makom Keramat juga termasuk peninggalan dari kerajaan


Pajajaran. Di makam ini adalah makam Ratu Galuh Mangkualam, istri kedua
Sri Baduga Maharaja, juga dikenal sebagai Prabu Siliwangi, salah satu raja
dari Kerajaan Pajajaran. Makam ini terletak di Kebun Raya Bogor, di desa
Paledang di pusat Kabupaten Bogor di Kota Bogor, Jawa Barat.
Makam Ratu Galuh Mangkualam ada sebelum Kebun Raya Bogor dibuat.
Dalam penyelidikan lebih lanjut, kuburan itu berusia sekitar 600 tahun. Jika
Anda melihat lebih dekat pada makam Ratu Galuh, Anda akan melihat replika
emas dan mahkota semen, menunjukkan bahwa sang ratu berada dalam posisi
di masanya.
Bukan hanya makam Ratu Galuh, tetapi Mbah Jepra, salah satu panglima
perang Pajajarian dan pendiri desa Peledang, dan Mbah Baul, gubernur Prabu
Siliwangi, adalah dua makam lain yang kita temukan di kompleks makam ini.

10. Situs Astana Gede Kawali

Astana Gede Kawali adalah salah satu lokasi wisata sejarah yang ada di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Konon tempat ini dahulunya adalah Ibu Kota
Kerajaan Galuh. Sehingga banyak peninggalan benda-benda bersejarah di
dalamnya.
Astana dalam istilah Sunda adalah makam, sedangkan Gede memiliki arti
besar. Jadi Astana Gede adalah makam orang-orang besar. Ada yang
mengartikan bahwa besar di sini adalah benar-benar orang-orang besar dari
segi fisik. Karena makam yang ada di dalamnya memiliki ukuran besar dan
berbeda dengan ukuran makam pada umumnya. Versi lain mengartikan bawah
gede di sana adalah makamnya raja atau orang-orang besar yang terhormat,
atau dalam istilah Sunda disebut dengan gegeden. Selain itu di Situs Astana
Gede juga terdapat peninggalan-peninggalan lainnya antara lain :

a) Tempat Pemandian Keluarga Keraton


Di Astana Gede ini juga terdapat lokasi pemandian keluarga Keraton, yang
disebut dengan Cikawali. Konon tempat pemandian Cikawali ini sering
digunakan oleh Diah Pitaloka Citra Resmi yang merupakan putri dari Raja
Kerajaan Galuh. Ada yang unik di lokasi pemandian ini, yaitu ada pengunjung
yang meyakini siapa yang mandi di kolam ini dan membuang celana dalam
akan terlihat cantik dan segera mendapatkan jodoh. Tak heran jika berkunjung
ke lokasi ini ada celana dalam yang bergelantungan di ranting pohon sekitaran
pemandian.

b) Makam Keluarga Kerajaan

Kawasan Astana Gede Kawali memiliki makam para penyebar agama hingga
keluarga kerajaan. Maka tak heran jika banyak juga para wisata religi untuk
berziarah ke pemakaman yang ada di dalamnya.
c) Prasasti Kawali I
Prasati ini dipahatkan pada batu berbentuk trapesium yang panjangnya 72 x 73
cm, tebal 14,5 cm. Tulisan sebanyak 10 baris dipahatkan pada bagian muka
dan 4 kalimat pada sisi batu.

nihan tapa(k) kawali nu siya mulia tapa ina pabu raja wastu ma*ad*g di kuta
kawa li nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi sa kulili* dayoh nu
najur sakala desa aya ma nu pa(n)dori pakena gawe rahhayu pakon hobol ja
ya dina buana Terjemahan:
inilah jejak (tapak) (di) Kawali
(dari) tapa beliau Yang Mulia
(bernama) Prabu Raja Wastu
(yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali
yang telah memperindah kraton
Surawisesa, yang (menggali) membuat parit pertahanan
di sekeliling wilayah kerajaan, yang menyuburkan seluruh
permukiman, kepada yang akan datang hendaknya menerapkan
keselamatan sebagai landasan (ke)menang(an)
hidup di dunia
Di setiap sisi batu juga ditorehkan kalimat : hayua diponah-ponah hayua
dicawuh-cawuh
ina n*k*r ina a(*)gr
ina ni(n)cak ia*mpag
Terjemahan:
Jangan dimusnahkan
Jangan semena-mena
Ia dihormati ia tetap
Ia diinjak ia roboh

d) Prasasti Kawali II

Dimensi batu pada gambar di atas ini sekitar 60 x 81 x 125 cm. Pada bagian
muka terdapat tujuh baris pahatan yang tidak teratur.

aya ma nu kepada yang mengisi


*osi i-na tempat kawali berani
kawali ba menerapkan kebenaran
nipakena k* agar bertahan dalam
ta b*n*r perjuangan (hidup)
pakon nanjor
na juritan

e) Prasasti Kawali III


Batu ini merupakan temuan baru pada tahun 1995 oleh juru kunci situs.
Terdapat 6 baris tulisan pada bagian muka batu.
bani poro ti berani (menahan) kotoran
gal nu atis tinggallah isi dari rasa, kepada
tina rasa aya ma nu yang mengisi (kehidupan) wilayah
*osi dayoh bawo janganlah berlebihan agar tidak
ulah botoh bisi menderita
kokoro

f) Prasasti Kawali IV

Prasasti ini disebut juga Batu Tapak dengan dimensi atas 100 cm, bawah 80
cm, lebar sisi kiri 60 cm, dan lebar sisi kanan 90 cm. Pada batu ini dipahatkan
45 buah kotak (5 baris dan 9 baris). Pada bagian kiri tertulis kata anana (atau
a*gana?).
Pada bagian muka terdapat juga tapak tangan kiri dan sepasang telapak kaki
dengan lubang-lubang kecil.
g) Pasasti Kawali V

Disebut Batu Panyandungan dengan tinggi 120 cm.


Salah satu sisi tertoreh dua baris tulisan sa*hiya*li*- dan ga hiya*.

h) PRASASTI KAWALI VI

Bentuknya seperti lingga dan disebut Batu Panyandaan dengan tinggi sekitar
120 cm. Di sini terpahat tulisan yang sama dengan Prasasti V, sa*hiya*li*-
dan ga hiya*.
KESIMPULAN

Kerajaan sunda merupakan kerajaan yang lahir setelah runtuhnya


kerajaan Tarumanegara. Sepanjang naskah - naskah kuno yang ditemukan di
Jawa Barat dapat dipercaya bahwa di daerah Kerajaan Sunda terjadi beberapa
kali perpindahaan pusat kerajaan, di mulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan
Pajajaran. Oleh karena itu, daerah Jawa Barat sebenarnya dikenal dengan
sebutan Sunda sedangkan nama - nama lainnya adalah nama pusat kerajaan
atau ibukota, seperti Galuh yang sering disebut dalam cerita Parahiyangan.
Selain itu, nama lain yang lebih dikenal adalah Pajajaran. Kedua nama - nama
itu mengisyaratkan nama suatu tempat yang kemungkinan besar adalah nama
dari pusat kerajaan yang telah mengalami beberapakali perpindahan. Berbeda
dengan nama Sunda yang lebih mengisyaratkan nama kerajaan. Berdasarkan
carita parahiyangan dan prasasti Canggal teerdapat dugaan bahwa agama yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat Kerajaan Sunda adalah Hindu dari
madzab siwa. Namun pada masa itu juga sudah mulai muncul tanda - tanda
berkembangnya agama Buddha.

Struktur Kerajaan Sunda dijelaskan dalam naskah Sanghyang


Siksakanda ng Karesian. Naskah tersebut memberikan keterangan bahwa pada
tingkat pemerintahan pusat kerajaan sunda, kekuasaan tertinggi berada di
tangan raja. Dalam pelaksaan tugas sehari - hari, raja dibantu oleh
mamngkubumi yang membawahi beberapa orang nu nangganan. Disamping
itu, terdapat pula putra mahkota yang nantinya akan menggantikan kedudukan
sang raja. Sementara itu, untuk mengurusi permasalahan yang berhubungan
dengan perniagaan, raja diwakili oleh para syahbandar. Seorang raja di
Kerajaan Sunda dalam menjalankan kehidupan sehari - harinya berada di
kraton. Bagian bangunan kraton yang ditempati oleh seorang raja bernama
bangunan induk.

Dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian terdapat keterangan


mengenai adanya kelompok - kelompok masyarakat Kerajaan Sunda pada
masa itu. Kerajaan Sunda juga diketahui sebagai kerajaan yang hidup dari
pertanian, terutama dari perladangan. Dari kegiatan perladangan tersebut
menghasilkan beberapa komoditas, seperti lada, sayur - mayur, daging, dan
buah - buahan. Selain itu, kerjaan sunda dikenal sebagai kerajaan yang
memiliki banyak kebudayaan seperti sastra, lukisan, dan gamelan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan kebudayaan pada masa Kerajaan
Sunda sudah tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nina Lubis, M.S., dkk. 2000. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat.
Jatinangor : Alqaprint.
Duniapcoid.2021.Prasasti Peninggalan Kerajaan Pajajaran.Dunia
Pendidikan.Diakses dari https://duniapendidikan.co.id/kerajaan-pajajaran/
H. Djadja Sukardja. 2007. Situs Kawali (Astana Gede) .
Rosidi, Ajip . 2006. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda Jilid
Yayasan Kebudayaan Rancage.
Sartono Kartodirjo. 1998. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

Warta News.8 Peninggalan Kerajaan Pajajaran yang Tersebar di Jawa


^arat.Wartanews.Diakses dari https://warta.news/pendidikan/peninggalan-
kerajaan-paj ajaran

Anda mungkin juga menyukai