Pada prasasti ini ditemukan angka tahun pembuatan yang telah memungkinkan para arkeolog untuk
dapat memperkirakan periodisasi berdirinya kerajaan tersebut di Pulau Jawa. Angka tahun pendirian pada
prasasti tersebut termuat dalam sebuah Candrasengkala yang berbunyi Sruti Indriya Rasa (Sruti = 4, Indriya
= 5, Rasa = 6) yang menyatakan tahun 654 Saka atau 732 Masehi. Prasasti ini dianggap sebagai prasasti
berangka tahun yang tertua di Pulau Jawa.
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya.
Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya
anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:
Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu
Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di
pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk
Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam
tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung,
sedih kehilangan pelindung
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan
matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak
perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak
usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang.
Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai tempat
pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan. Dalam epik Ramayana,
diceritakan bahwa Rama, Sinta, dan Laksmana mengunjungi pertapaan Agastya di gunung Kunjara.
yang dipuji oleh para dewa dengan kelembutan telapak tangan mereka
yang dilipat membentuk bejana,
memberkatimu secara sempurna.
KLAUSA III
Semoga dua teratai tak berdosa, yang berada di kaki Dia yang bermata tiga (*Siva),
yang berulang kali diagungkan oleh para penguasa yang bijak,
menunduk memberi penghormatan demi keselamatan mereka di surga,
yang diberikan kecupan oleh para dewa seperti Indra dan lainnya,
dengan mahkota berlekuk mereka yang menyerupai lebah,
dengan segera berganti warna karena cahaya
yang berasal dari kuku-kuku yang berkilau
menyerupai bunga teratai dan daun berwarna tembaga,
memberkatimu selama-lamanya.
KLAUSA IV
Semoga Dia yang bermata tiga, penguasa para makhluk,
yang rambutnya berhiaskan bulan sabit,
sumber segala keluhuran dan keindahan,
berkenan memberikan kebesarannya terhadap pengunduran diri mereka,
yang senantiasa menciptakan keajaiban,
para Yogi, yang memelihara dunia melalui delapan lekuk tubuhnya,
karena belas kasihan dan atas dasar kepedulian, melindungi kita
KLAUSA V
Semoga Siva, Dewa yang tak diputerakan dan guru keduniawian,
yang memiliki tubuh berwarna keemasan dan ikatan rambut,
yang menyerupai api yang membakar dirinya sendiri hingga cacat,
yang telah menciptakan dan menyatukan hukum keduniawian dalam kitab Weda,
yang merupakan sumber agama, kemakmuran duniawi dan permohonan,
yang memiliki kaki serupa teratai, yang selalu dipuja oleh para dewa,
yang merupakan penguasa para Yogi dan yang dihormati oleh orang-orang bijak,
memberikan dirimu kemuliaan.
KLAUSA VI
Semoga Dewa Sri (Vishnu) yang dari kejauhan tampak seperti Dewi Kekayaan
dengan tatapan kemarahan dan kerutan kening, yang terbaring di tempat tidur berair
dengan mata menyerupai kelopak teratai merah yang sedang bermeditasi,
dan yang selalu dipuja oleh para dewa demi melindungi mereka,
memberikanmu kemakmuran.
KLAUSA VII
Tersebutlah sebuah pulau yang indah bernama Yava (Java)
yang tak tertandingi oleh yang lain,
yang memiliki biji-bijian berlimpah seperti padi dan lainnya,
yang terdapat tambang emas yang dimiliki oleh para dewa,
adalah merupakan tempat yang paling indah dan menawan,
Kuil Siva yang mensejahterakan dunia,
yang didirikan oleh sebuah keluarga,
yang berasal dari tanah termahsyur Kunjarakunja.
KLAUSA VIII
Di pulau mahsyur bernama Yava tersebut,
yang kemudian menjadi **(rumah) bagi seorang lelaki dengan karakter kuat,
PRASASTI KALASAN
Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya dariKerajaan Mataram Kuno yang
berangka tahun 700 Saka atau 778 M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini
ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta.
Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujukMaharaja Tejahpura
Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka)
atas permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagiDewi Tara dan sebuah biara bagi
para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha). Bangunan suci yang
dimaksud adalah Candi Kalasan.
PRASASTI BALITUNG
Prasasti Mantyasih, juga disebut Prasasti Balitung atau Prasasti Tembaga Kedu,
[1]
adalah prasasti berangka tahun 907M[2] yang berasal dari Wangsa Sanjaya, kerajaan Mataram Kuno. Prasasti
ini ditemukan di kampung Mateseh, Magelang Utara, Jawa Tengah dan memuat daftar silsilah raja-raja
Mataram sebelum Raja Balitung. Prasasti ini dibuat sebagai upaya melegitimasi Balitung sebagai pewaris
tahta yang sah, sehingga menyebutkan raja-raja sebelumnya yang berdaulat penuh atas wilayah kerajaan
Mataram Kuno
Daftar silsilah raja-raja Wangsa Sanjaya berdasarkan prasasti Mantyasih menurut Bosch, adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs pemukiman, namun fungsi tepatnya
belum diketahui dengan jelas.[2] Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada
masaWangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Dilihat dari pola
peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja). Pendapat ini
berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan
sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur
pertahanan.[3] Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.
Nama "Ratu Baka" berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Baka (bahasa Jawa, arti harafiah:
"raja bangau") adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada kompleks Candi
Prambanan. Kompleks bangunan ini dikaitkan dengan legenda rakyat setempat Loro Jonggrang.[1]
Secara administratif, situs ini berada di wilayah dua Dukuh, yakni Dukuh Dawung, Desa Bokoharjo
dan Dukuh Sumberwatu, Desa Sambireja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Indonesia.
Situs ini dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.
Candi Sari juga disebut Candi Bendah adalah candi Buddha yang berada tidak jauh dari Candi Sambi
Sari, Candi Kalasan dan Candi Prambanan, yaitu di bagian sebelah timur laut dari kota Yogyakarta, dan tidak
begitu jauh dariBandara Adisucipto. Candi ini dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada saat
zaman Kerajaan Mataram Kuno dengan bentuk yang sangat indah. Pada bagian atas candi ini terdapat 9 buah
stupa seperti yang nampak pada stupa diCandi Borobudur, dan tersusun dalam 3 deretan sejajar.
Bentuk bangunan candi serta ukiran relief yang ada pada dinding candi sangat mirip dengan relief
di Candi Plaosan. Beberapa ruangan bertingkat dua berada persis di bawah masing-masing stupa, dan
diperkirakan dipakai untuk tempat meditasi bagi para pendeta Buddha (bhiksu) pada zaman dahulunya. Candi
Sari pada masa lampau merupakan suatu Vihara Buddha, dan dipakai sebagai tempat belajar dan berguru bagi
para bhiksu.
Menurut perkiraan candi ini dibangun pada abad ke 8 M bersama dengan masa pembangunan Candi
Kalasan, yaitu pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Keterkaitan kedua candi ini diterangkan
dalam Prasasti Kalasan (700 tahun Saka / 778 M). Dalam Prasasti Kalasan diterangkan bahwa para penasehat
keagamaan Wangsa Syailendra telah menyarankan agar Maharaja Tejapurnama Panangkarana, yang
diperkirakan adalah Rakai Panangkaran, mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan sebuah biara
untuk pendeta Buddha. Untuk pemujaan Dewi Tara dibangunlah Candi Kalasan, sedangkan untuk biara
pendeta Buddha dibangunlah Candi Sari. Melihat dari bentuk keseluruhan dan bagian-bagian dalam candi
Sari, diperkirakan candi ini berfungsi sebagai asrama atau tempat tinggal para pendeta Buddha.