Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Geografis Dinasti Zhou


Dinasti Zhou adalah dinasti terakhir sebelum Tiongkok dipersatukan di bawah
Dinasti Qin. Dinasti Zhou ini juga dinasti yang bertahan paling lama memerintah
daripada dinasti yang lain. Dinasti Zhou dibagi menjadi dua periode yaitu Zhou Barat
dan Zhou Timur. Pada masa periode Zhou Timur dibagi lagi menjadi 2 zaman, yaitu
zaman Chun Qiu (zaman musim semi dan gugur) dan Zhanguo (masa perang antar
negeri).
Dinasti Zhou awal yaitu berada di sebelah barat lembah Sungai Kuning. Disebut
Sungai Kuning karena aliran sungainya membawa lumpur kuning di sepanjang
alirannnya (Aizid, 2014: 191). Lumpur yang terbawa pada aliran sungai ini
menjadikan subur di daerah sekitarnya. Namun, Sungai ini juga terkadang membuat
sulit masyarakat yang tinggal disekitarnya karena sering terjadi banjir dan air bah
ketika es mencair. Tetapi dibalik kejadian alam itu semua justru di lembah Sungai
Kuning terkenal dengan peradabannya. Karena adanya dinasti-dinasti yang pernah
ada yang letaknya di lembah Sungai Kuning.
Di sekitar lembah Sungai Kuning juga sebelumnya berdiri Dinasti Xia dan Dinasti
Shang. Sungai Kuning ini merupakan sungai yang terpanjang kedua di Tiongkok
setelah sungai Yangtze. Namun banyak juga terdapat anak-anak sungai dari sungai
kuning ini.
Dari beberapa anak Sungai Kuning yang ada salah satunya adalah Sungai Wei
Lebih tepatnya di lembah Sungai Wei ini Dinasti Zhou terletak. Sungai Wei terletak
di daerah antara Sanshi dan Kanshu. Di lembah Sungai Wei ini asal-usul dari orang-
orang Zhou berasal (Agung, 2007: 9).
Karena letaknya yang dekat dengan sungai maka rata-rata kehidupannya
bertumpu pada sektor agraris, karena wilayahnya yang subur dan aliran sungainya
yang dimanfaatkan untuk irigasi dan mengaliri lahan pertanian. Seperti yang
diungkapkan oleh Anisa Septianingrum (2017: 129) dalam bukunya Sejarah Asia
Timur Dari Peradaban Kuno Hingga Modern “Masyarakat Zhou bertumpu pada

4
5

kehidupan agraris yang mengembangkan sistem pertanian. Tanaman yang


dibudidayakan adalah gandum. Budidaya gandum tergolong sukses karena didukung
oleh sistem irigasi skala besar yang baik untuk lahan pertanian”. Pemanfaatan aliran
Sungai Kuning ini menjadikan kalau sungai ini bermanfaat bagi lahan pertanian
masyarakat zaman Dinasti Zhou.
Dinasti Zhou dibagi menjadi beberapa era, yang mana ibukota Zhou awal berada
di Houjing. Houjing adalah ibukota dinasti Zhou barat sebelum dipindahkan. Tetapi
saat raja Yi Jiu atau raja Zhou Ping Wang memerintahkan ibukota Zhou dipindahkan
ke Timur yaitu ke kota Luoyang dan berakhirlah Dinasti Zhou Barat.

B. Raja-raja Dinasti Zhou


1. Berdirinya Dinasti Zhou
Dinasti Zhou (Chou) merupakan salah satu Dinasti Tiongkok yang berkuasa
dari 1066 SM sampai dengan 256 SM. Sebelum Dinasti Zhou muncul, telah ada
Dinasti lain pada zaman Tiongkok kuno, yakni Dinasti Xia dan Dinasti Shang.
Dinasti Zhou juga merupakan dinasti yang bertahan paling lama memerintah
daripada dinasti Tiongkok yang lain.
Sebelum menjadi sebuah Dinasti yang besar, Zhou merupakan sebuah negeri
yang kecil dibandingkan dengan Dinasti Shang yang saat itu berkuasa. Setelah
beberapa tahun, akhirnya negeri Zhou menjadi negeri yang kuat di wilayah Barat
dibawah pimpinan Wen Wang.
Leluhur Dinasti Zhou berasal dari suku Huang Di, yang pada zaman
pemerintahan Dinasti Xia bertugas sebagai pejabat yang mengurusi sektor
pertanian. Oleh karena itu, Suku Zhou ahli dalam bertani dan bercocok tanam.
Oleh karena itu, perekonomian negara Adipati Zhou bertumbuh dengan cepat
dan kuat. Sampai pada pemerintahan Raja Zhou Wen Wang, negara Zhou
mempunyai kekuatan yang seimbang dengan Dinasti Shang. (Rizem Aizid,
2018:214).
Raja Wen memimpin pasukan Zhou untuk ke selatan Shanxi dan menyerbu
negara Li (atau dikenal juga sebagai Qi) yang terletak dikawasan modern
Changzi, Huguguan Pass, ujung selatan pegunungan Taihang, yang merupakan
6

pertahanan alami bagi ibukota Dinasti Shang. Pasukan Zhou kemudian


mengalahkan Yu yang terletak di Qianyang, Sungai Qin yang merupakan sungai
pendukung utama sungai Huang He. Ini membawa ancaman bagi ibukota
Anyang, hanya 100 km dari Timur. (Huang Dada, 2011, Perang Muye dan
Berdirinya Dinasti Zhou, http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1008-
perang-muye-dam-berdirinya-dinasti-zhou).
Perjuangan Wen Wang dalam menyerang Dinasti Shang harus terhenti. Wen
wang akhirnya wafat karena sakit. Raja Wen meninggalkan 8 anak dari istri
utamanya. Tatkala Wen wafat, maka puteranya Ji Fa menggantikannya
memerintah negeri tersebut dengan gelar Raja Wu. Ji Fa yang lebih dikenal
sebagai Raja Wu Wang meneruskan perjuangan ayahnya menggulingkan
kekuasaan Dinasti Shang.
Raja Wu membawa pasukan mundur ke Mengjin. Atas nasehat Jiang Ziya
yang merupakan ahli strategi Tiongkok kuno, Raja Wu menunda serangan dan
memperkuat jaringan sekutu dan mengamankan tempat-tempat strategis. Dua
tahun kemudian, Raja Wu kembali memimpin pasukan Zhou dan sekutunya.
Pasukan Zhou akhirnya sampai pada tempat yang disebut Muye. Dalam
perang Muye (1046 SM) pada pagi hari pasukan Shang berhadapan dengan
pasukan Zhou. Pasukan mencapai kemenangan militer secara desisif. (Huang
Dada, 2011, Perang Muye dan Berdirinya Dinasti Zhou, http://web.budaya-
tionghoa.net/index.php/item/1008-perang-muye-dam-berdirinya-dinasti-zhou).
Diketahui bahwa beberapa tentara Shang yang kecewa dengan Raja Di Xin
akhirnya memberontak dan berbalik mendukung Raja Wu.
Raja Dixin akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan cara membakar
dirinya. Sekitar 100 kaum elit Shang ditangkap dan dieksekusi, dan yang lainnya
direlokasi untuk membantu berdirinya Dinasti Zhou. Dinasti Shang akhirnya
berakhir dan berganti dengan Dinasti Zhou yang dipimpin oleh Raja Zhou Wu
Wang. Sesuai tradisi feodal Tiongkok, para penguasa Zhou menggantikan
Dinasti Shang (Yin) mengesahkan aturan yang menetapkan mereka sebagai
mandat langit. Para penguasa memerintah atas mandat dari langit. ( Rizem
Aizid, 2018: 214).
7

C. Raja-raja yang memerintah Dinasti Zhou


Setelah berakhirnya Dinasti Shang , dimulailah babak baru yaitu
pemerintahan Dinasti Zhou. Dinasti Zhou dibagi atas dua era, yaitu era Dinasti
Zhou Barat yang berlangsung pada tahun 1066-771 SM dan era Dinasti Zhou
Timur pada tahun 770-256 SM. Pemerintahan Dinasti Zhou tidak terlepas dari
peran Rajanya yang berkuasa. Pada sub bab ini akan dibahas tentang raja-raja
pada zaman Dinasti Zhou. Terutama raja pendiri, raja pada masa kejayaan, dan
raja pada masa kehancuran.

1. Raja Pendiri
Dinasti Zhou berdiri tidak terlepas dari jasa Ji Fa, atau yang lebih
dikenal sebagai Raja Chou Wu Wang dalam usahanya menggulingkan
Raja Dinasti Shang, yaitu Raja Di Xin. Ia meneruskan perjuangan ayahnya
Ji Chang atau lebih dikenal Raja Wen Wang dalam menyerang Dinasti
Shang. Pada saat itu, Dinasti Shang diperintah oleh seorang Raja yang
lalim dan menimbulkan banyak kekecewan. Pada tahun ke 9 Zhou Wu
Wang mengumpulkan para kepala Negara Adipati yang kecewa terhadap
Dinasti Shang untuk membentuk persekutuan dalam perlawanan terhadap
Dinasti Shang. (Rizem Aizid, 2018: 214). Seperti yang kita ketahui bahwa
Raja Di Xin saat memerintah Dinasti Shang merupakan Raja yang lalim, ia
terhanyut oleh kehidupan duniawi dan mengabaikan negaranya. Hal ini
membuat beberapa Negara Adipati kecewa atas sikap Raja Di Xin
tersebut. Oleh karena itu, Raja Wu mengumpulkan raja-raja Negara
Adipati yang kecewa tersebut untuk membuat persekutuan dan
menggulingkan Raja yang lalim tersebut.
Saat Pasukan Raja Wu melangsukan perlawanan, perlawanan
tersebut berada di daerah Muye ( sekarang berada di wilayah propinsi
Henan) lalu pasukan Raja Wu bergerak ke arah ibukota Dinasti Shang..
Raja Di Xin akhirnya wafat karena membakar dirinya sendiri di dalam
istananya. Dengan demikian berakhirlah Dinasti Shang.
8

Menurut admin Belajar Tionghoa dalam tulisannya di


(www.belajartionghoa.com/raja-wu-menyerang-raja-zhou/) “Raja Wu
mendapatkan dukungan tiap-tiap klan negara bagian. Maka di tahun 1045
SM, ia mendirikan Dinasti Zhou, menetapkan HaoJing (sekarang di
sebelah barat daya Xi’an) sebagai ibukota negaranya. Sejarah menyebut
dinasti ini disebut Zhou Barat.”
Setelah Raja Zhou Wu Wang wafat, ia digantikan oleh putranya
yang bernama Ji Song dengan gelar Raja Zhou Cheng Wang. Karena
umurnya masih sangat muda, Zhou Gong (adik dari Raja Zhou Wu Wang)
membantunya memerintah Dinasti Zhou.

2. Raja Masa kejayaan


Seperti dinasti-dinasti lainnya, Dinasti Zhou mempunyai masa
kejayaannya sendiri. Masa kejayaan ini merupakan hasil kerja keras raja
yang memerintah masa itu. Raja tersebut berhasil meningkatkan
perekonomian, perluasan wilayah atau yang lainnya sehingga Dinasti
Zhou mencapai Puncak Kejayaanya. Setelah Raja Zhou Cheng Wang,
Dinasti Zhou diperintah oleh anaknya yang bernama Raja Zhou Kang
Wang, Ia mengikuti kebijakan ayahnya dan memperluas wilayah Zhou ke
Utara dan Barat. Ia juga menekan pemberontakan yang terjadi di bagian
timur.
Setelah Raja Zhou Kang Wang, Dinasti Zhou diperintah oleh Raja
Zhou Zhao Wang. Pada saat Raja Zhao naik takhta, ayahandanya Raja
Kang dan kakeknya Raja Cheng telah menaklukkan Zhongyuan dan
memaksa sebagian besar suku-suku utara dan timur ke bawah
kekuasaannya. Hanya Dongyi timur Shandong melanjutkan perlawanan
mereka, tetapi mereka tidak lagi menjadi ancaman terhadap kekuasaan
Zhou. (Shaughnessy, 1999: 311-312). Akibatnya Raja Zhao mewarisi
kerajaan makmur, dan mampu membangun kuil leluhur baru untuk
ayahandanya, kuil ini dikenal dengan nama “Kang gong” yang dibangun
sejalan dengan reformasi ritual waktu dan akan tumbuh menjadi salah satu
9

dari dua kuil pusat ibadah dinasti, yang lainnya adalah kuil yang jauh lebih
tua, “jinggong”.
Raja Zhao meninggal dalam perjalanannya ke Selatan. Ji Man atau
Raja Mu naik takhta menggantikan ayahandanya. Raja Mu mungkin
adalah raja yang sangat penting di dalam Sejarah Dinasti Zhou,
memerintah selama hampir 66 tahun, dari sekitar tahun 976 SM smpai
dengan sekitar tahun 922 SM. Ia konon hidup sampai usia 105 tahun. Raja
Mu lebih bersifat ambisius daripada bijak, namun ia dapat mengubah sifat
pemerintahan Dinasti Zhou, mengubah dari sifat turun temurun ke
pemerintahan yang berdasarkan prestasi dan pengetahuan keterampilan
administrasi.
Pada masa pemerintahan raja Mu, Dinasti Zhou berada pada
puncak kejayaannya, dan Raja Mu mencoba menginjak para penyerang
dibagian barat Tiongkok dan akhirnya mengembangkan pengaruhnya ke
bagian timur. Di dalam penaklukkannya, ia memimpin sejumlah pasukan
besar melawan Quanrong, yang tinggal dibagian barat Tiongkok.
Perjalanannya membuat ia berhubungan dengan banyak suku dan
menggoyahkan mereka baik untuk bergabung dibawah Dinasti Zhou atau
ditaklukkan di dalam perang oleh pasukan besarnya. Ekspedisi ini lebih
banyak gagal daripada berhasil. Dengan sengaja atau tidak, ia menaburkan
benih-benih kebencian yang memuncak di dalam serangan oleh suku-suku
yang sama pada tahun 771 SM. Di dalam tahun ketiga belas Xu Rong,
mungkin negara Xu dibagian tenggara, menjarah di dekat ibu kota timur
Fenghao. Perang sepertinya telah berakhir di dalam perdamaian dimana
negara Xu mendapatkan wilayah dan kekuasaan sebagai ganti atas
penyerahan nominal.
3. Raja Masa Kehancuran
Setelah dibahas pada pembahasan sebelumnya tentang raja-raja
Dinasti Zhou yang membuat Dinasti Zhou mencapai puncak kejayaannya,
pada pembahasan ini akan dibahas raja-raja yang memerintah Dinasti
Zhou setelah puncak kejayaan hingga Dinasti Zhou mengalami
10

kehancuran. Raja generasi ke sepuluh Dinasti Zhou yaitu Raja Zhou Li


Wang. Ia termasuk raja yang kejam dalam sejarah Tiongkok. Raja Zhou Li
Wang ini sering melakukan penindasan terhadap rakyatnya. Ia juga
melarang rakyatnya untuk berdikusi masalah politik dan pemerintahan.
Hingga rakyatnya memaksa masuk ke dalam istana dan mengusir Raja
Zhou Li Wang. Akibat peristiwa tersebut Dinasti Zhou mengalami
kemunduran.
Setelah Zhou Li Wang pergi, Kepala Negara Adipati memilih dan
mendukung Gong Bo He mewakili Raja yang memerintah Dinasti Zhou
(masa peralihan). Setelah Zhou Li Wang wafat, Gong Bo He
mengembalikan kekuasaannya kepada Pangeran yang kemudian menjadi
Raja Zhou Xuan Wang. Dibawah kepemimpinan Raja Zhou Xuan Wang,
Dinasti Zhou pulih dari masa kemundurannya.
Setelah wafatnya Raja Zhou Xuan Wang, pemerintahan diteruskan
oleh Raja Zhou You Wang. Raja Zhou You Wang adalah Raja yang
dungu. Raja Zhou You Wang akhirnya meninggal akibat kalah perang dari
pemberontak Quan Rong. Setelah wafatnya Raja Zhou You Wang,
akhirnya Kepala Negara Adipati mendukung Ji Yijiu ( Raja Zhou Ping
Wang) memerintah Dinasti Zhou, serta memindahkan Ibu kotanya ke
bagian timur. Maka berakhirlah era Dinasti Zhou Barat dan dimulainya era
Dinasti Zhou Timur dengan Raja Zhou Ping Wang sebagai pemimpinnya.
Perpecahan di pusat kekuasaan, membuat pemerintahan Zhou semakin
lemah dalam menjalankan pemerintahannya dan membuat kehancuran
Dinasti Zhou semakin dekat. Mendekati penghujung Dinasti Zhou, para
bangsawan tidak meletakan lagi eksistensi keluarga Ji sebagai simbol
pemersatu kerajaan. Masing-masing mengangkat diri mereka sebagai raja
sehingga Dinasti Zhou terpecah menjadi beberapa negara kecil dan saling
bertempur. Pertempuran berakhir setelah Dinasti Qin menyatukan kembali
daratan Tiongkok.
11

Kemerosotan Dinasti Zhou awalnya disebabkan karena terlalu luasnya


wilayah kekuasaan sehingga pemerintah tidak mampu mengawal dan
mengendalikannya. Sehingga Wilayah-wilayah Vassal semakin kuat dan
melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri. Seperti orang-orang Lu, Rong,
dan Qin sehingga menyebabkan pusat kekuasaan Dinasti Zhou berpindah ke
Louyang di Timur (J.AG. Roberts, 2011: 10). Sebab awal Dinasti Zhou ini runtuh
ialah karena wilayah-wilayah bawahan melakukan pemberontakan sehingga pusat
pemerintahan yang semula di Houjing di barat, di pindah ke Louyang di Timur.

Pusat pemerintahan Zhou Timur yang berada di Louyang terjadi pada tahun
770 SM – 221 SM. Pada abad ke-8 SM ini terjadi desentralisasi kekuasaan pada
periode yang disebut Periode Musim Semi dan Gugur, yang diberi nama
berdasarkan sebuah karya sastra Chun Qiu (musim semi dan gugur). Setelah
terjadi perpecahan pusat kekuasaan, pemerintahan Zhou semakin melemah
(Sutopo, 2014: 38). Periode musim semi dan gugur ini dinamai berdasarkan
sebuah karya sastra Chun Qiu yang ditulis oleh Konfusius. Dinamakan periode
musim semi dan gugur ini karena pada karya sastra tersebut menjelaskan kondisi
Dinasti Zhou yang sudah terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan kecil dan
ditarik ke dalam 5 kerajaan yang kuat.

5 raja dari kerajaan yang kuat itu adalah Adipati Huan dari Qi, Adipati Wen
dari Jin, Raja Zhuang dari Chu, Adipati Mu dari Qin, dan Adipati Xian dari Song.
Pada umumnya mereka masih ada yang mengakui edaulatan Dinasti Zhou, namun
kebanyakan dari mereka sudah tidak mengirim upeti (Sutopo, 2014: 39). Zaman
berikutnya setelah zaman Musim semi dan Gugur ini adalah Zaman Negara-
negara berperang.

Pada Zaman negara-negara berperang ini atau setelah raja Ping


memerintah, raja-raja Zhou lainnya tidak memiliki kekuasaan yang nyata
karena para bangsawan saling mengangkat dirinya sebagai raja daan para
raja-raja bawahan memisahkan diri. Selanjutnya, ratusan negara
bermunculan bahkan beberapa diantaranya hanya seluas desa saja. Masa-
12

masa ini kemudian diakhiri dengan penyatuan seluruh kerajaan di dataran


China dibawah Dinasti Qin (Sutopo, 2014: 39). Raja-raja Zhou tidak
memiliki kekuasaan dan dianggap sebagai lenyapnya Dinasti Zhou karena
para bangsawannya mendirikan kerajaan masing-masing, para bangsawan
yang sudah tidak memiliki kesetiaan kepada pemerintah yang berdaulat,
ditambah serbuan-serbuan, dan gerakan pemisahan diri dari negeri-negeri
bawahan membuat Dinasti Zhou tidak berdaya. Seperti itulah proses
runtuhnya Dinasti Zhou dan lahirnya Dinasti Qin pada 221 SM.

D. Hasil Kebudayaan Dinasti Zhou


1. Sistem Pemerintahan
Pada masa Dinasti Zhou dikenal konsep “Mandat Langit” sebagai legitimasi
pergantian kekuasaan dan konsep ini seterusnya berpengaruh hampir setiap
pergantian Dinasti di Cina. Pengertian Mandat Langit itu sendiri bila mandat
tersebut dicabut, maka rakyat berhak menggulingkan penguasa yang sedang
memerintah. Perintah langit ini diterapkan leh asumsi nenek moyang Zhou.
Doktrin ini juga menjelaskan kekalahan Xia dan Shang, serta mendukung
kekuasaan Zhou atau pemerintah yang sedang berdaulat.
Sistem pemerintahan Dinasti Zhou ini menerapkan pola Feodalisme dan
disertai dengan pola khas kebudayaan China. Wilayah kerajaan dibagi ke dalam
beberapa wilayah perdikan setingkat Kabupaten dengan dipimpin oleh raja
Vassal yang tunduk kepada Kaisar. Kesetiaan raja Vassal ini ditunjukan dengan
membayar upeti secara rutin dan mengirimkan prajurit-prajurit untuk berperang
(Sutopo, 2014: 37). Mengapa dikatakan pola Feodal, karena sistem
pemerintahan seperti ini hampir sesuai dengan sistem pemerintahan kerajaan-
kerajaan Eropa abad pertengahan yang bersifat sentralisasi.
Walaupun terdapat persamaan-persamaan sistem pemerintahan seperti yang
dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, masih terdapat pula perbedaan yang amat
penting. Perbedaannya yaitu para pemimpin Dinasti Zhou memerintah dari kota-
kota yang bertembok, bukan dari dalam istana (Waworuntu, 2012: 140).
Penafsirannya mungkin para pemimpin Dinasti Zhou memerintah di dalam
13

sebuah kota yang tertutup dikelilingi oleh tembok-tembok, berbeda dengan


kerajaan-kerajaan Eropa yang mana sebuah wilayah kekuasaan tidak ditutup
oleh tembok, dan raja hanya memerintah di dalam istana.
Sistem tembok Dinasti Zhou ini disebut dengan Fengjian. Diluar wilayah
Fengjian yang masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kaisar biasanya
dibagi-bagikan kepada para Adipati untuk dikelola (Waworuntu, 2012: 140).
Wilayah-wilayah perdikan ini nantinya akan menjadi besar dan kuat hingga
terjadinya saling serang-menyerang memperebutkan wilayah, bahkan yang
paling fatal adalah seorang Adipati memimpin penyerangan kepada Kaisar dan
berhasil mengkudeta Kaisarnya.
Di wilayah-wilayah perdikan ini biasanya dikelola oleh pegawai
pemerintahan yang disebut Shi. Seorang Shi ini dipilih dengan sebuah tes masuk
yang cukup ketat. Mereka dipilih berdasarkan tingkat pendidikan dan kecerdasan
yang dibuktikan pada tes tersebut. Tes ini biasanya mereka menghafal kitab-
kitab dan pokok ajaran Konfusius (Waworuntu. 2012: 140). Shi ini hampir
serupa dengan tes CPNS di Indonesia dimana semuanya dijaring dengan sebuah
tes ketat yang dipilih berdasarkan mampu tidaknya seseorang tersebut
mengerjakan soal-soal dan tentunya dipilih berdasarkan tingkat pendidikan.

2. Sosial
Berbicara tentang Shi atau pegawai pemerintahan, terdapat pula profesi-
profesi lain yang dikenal dalam masyarakat era Dinasti Zhou ini diantaranya
yaitu shi, nong, gong, shang yang merupakan struktur hierarki kelas sosial yang
diterapkan pada masa akhir Dinasti Zhou. Shi (pegawai pemerintah; sarjana),
nong (petani), gong (pengrajin kesenian), dan shang (pedagang) (Waworuntu,
2012: 141). Kelas sosial ini lebih menempatkan para cendekiawan atau para
sarjana ke dalam tingkatan tertinggi dari kelas sosial lainnya. Pasalnya para
cendekiawan lebih dibutuhkan karena mereka biasanya bekerja di pemerintahan
dan bergaji besar. Orang-orang pada waktu itu sangat ingin bekerja di
pemerintahan.
14

Bekerja di pemerintahan selain mendapat gaji yang besar mereka juga akan
mendapatkan beberapa keuntungan lainnya seperti bebas dari pajak,
mendapatkan tunggangan kuda, lahan pertanian dan lain sebagainya. Kemudian
menurut Waworuntu (2012: 145), Dinasti Zhou menempatkan para petani
sebagai kelompok sosial yang paling terhormat nomor dua pasalnya petani selain
memiliki lahan garapan sendiri, mereka juga mampu memproduksi bahan
pangan dan barang jadi yang sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Kemudian, diikuti oleh para pengrajin di urutan ketiga yang mampu
menghasilkan barang jadi yang berguna bagi masyarakat. Di urutan keempat ada
kelompok saudagar yang dipandang hanya memiliki talenta dalam berdagang
dan jual beli, mereka kadang dianggap rakus dan parasit bagi masyarakat
lainnya. Terakhir diluar dari keempat kelas sosial tersebut ada golongan yang
dipandang rendah seperti pengemis, pelacur, penjaga rumah, dan budak.

3. Ajaran Konfusius
Dalam buku Sejarah China karangan F.X. Sutopo (2014: 37), pada masa
Dinasti Zhou hiduplah filsuf-filsuf terkenal seperti Lao Tze, Kung Fu Tze, dan
Meng Tze. Ajaran Kung Fu Tze atau sering kita kenal dengan sebutan
Konfusionisme ini memuat tentang ajaran kesusilaan sebagai dasar
perkembangan kebudayaan. Ajaran Konfusionisme lahir sebagai reaksi atas
keadaan negara yang pada waktu itu mengalami krisis moral seperti korupsi,
penjarahan, pencurian, penipuan, pemerkosaan yang dilakukan oleh rakyat
maupun pemimpinnya. Maka Konfusius (Kung Fu Tze) hadir untuk
memperbaiki keadaan masyarakat yang tengah mengalami krisis moral.
Konfusius (551 SM – 479 SM) adalah seorang filsuf yang hidup pada masa
Dinasti Zhou. Konfusius mengajarkan tentang kebajikan dan etika. Ia menggajar
para muridnya melalui metode yang sekarang dikenal sebagai Andargogi
(belajar aktif). Metode ini melibatkan pengalaman yang dijadikan dasar aktivitas
pembelajaran. Metode mengajar ini amat sangat berbeda dengan guru
kebanyakan pada waktu itu, dimana para guru hanya menggunakan metode
ceramah satu arah dan metode menjawab soal-soal tes (Susanto & Ilham, 2017:
15

10). Seperti yang kita ketahui sebelumnya pada masa Dinasti Zhou sebagian
besar masyarakat menginginkan bekerja di pemerintahan sebagai Shi. Sebab,
menjadi pegawai pemerintah dapat menaikkan status sosial mereka. Agar
mereka dapat bekerja di pemerintahan, mereka harus menjalani serangkaian tes
dengan menjawab soal-soal tentang pemerintahan dan kemasyarakatan. Namun,
sayang pada saat itu sangat banyak orang yang tidak mampu bersekolah,
sehingga sangat sulit untuk menggapai cita-citanya tersebut. Hanya kaum
bangsawan yang bisa bersekolah.
Konfusius tidak ingin hanya kaum bangsawan yang dapat bersekolah. Ia
kemudian membuka sekolah sendiri dan tidak pernah melarang siapapun untuk
berguru padanya, semua itu gratis tidak dipungut biaya apapun. Tujuan
sekolahnya tersebut sama dengan sekolah yang lainnya yaitu membuat murid-
muridnya lulus tes pegawai. Tetapi, di sisi lain Konfusius juga ingin melahirkan
manusia yang mampu berpikir kritis, menjawab tantangan di masyarakat,
memberikan solusi-solusi yang berguna bagi masyarakat, manusia yang
bermoral, dan memperbaiki sistem pemerintahan (Susanto & Ilham, 2017: 11).
Ada nilai kebajikan yang tergambar pada diri Konfusius. Ia tidak
mempermasalahkan kelas sosial dan tidak mempermasalahkan kondisi
keuangan, demi tujuan mulia agar terciptanya suatu peradaban yang unggul
melalui sekolah yang Ia dirikan.
Di sekolah yang Ia dirikan, Konfusius menerapkan metode diskusi panel
dengan murid-muridnya. Konfusius lebih menekankan kepada murid-muridnya
untuk mengatasi persoalan di masyarakat dengan menemukan jawaban-jawaban
yang dapat mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Tidak jarang Konfusius
menjadikan dirinya sebagai contoh dalam berperilaku sehari-hari. Contohnya
saja ketika Ia bekerja sebagai petugas pajak, namun karena sistem penarikan
pajaknya yang tidak memihak kepada rakyat. Kemudian Ia mengganti sistemnya
dengan yang lebih manusiawi seperti tidak memaksa dan memperkecil pajak
(Susanto & Ilham, 2017: 11-12).
16

4. Budaya
Hasil atau peninggalan pada masa Dinasti Zhou jarang ditemukan, seperti
peninggalan benda-benda. Karena pada zaman Dinasti Zhou mengalami
penurunan dalam bidang seni, tidak seperi zaman dinasti sebelumnya yaitu
dinasti Shang seni mengalami kemajuan seperti seni dari perunggu. Meskipun
dari dinasti Zhou juga ditemukan hasil dari seni perunggu tetapi tidak banyak
yang ditemukan. Karena pada zaman dinasti Zhou ini justru kemajuan ada dalam
bidang filsafat dan munculnya pemikir-pemikir terkenal atau para filsuf terkenal
seperti Konfusius, Ming Ze, dan Lao Tzu. Sehingga pada zaman dinasti Zhou ini
filsafat ada dalam puncak kejayaan.
Adapun hasil peninggalan kebudayaan zaman dinasti Zhou sebagai berikut:
a. Teko Perunggu
Teko perunggu ini adalah salah satu peninggalan dari dinasti Zhou yang
tersisa. Karena pada zaman Dinasti Zhou kerajinan atau seni tidak begitu maju.
Jadi hanya sedikit sekali barang peninggalannya. Menurut Community Writer
dalam situsnya
http://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/science/discovery/amp/koma
ng-triyani/pelelangan-teko-perunggu-zaman-dinasti-zhou-c1c2, “Teko perunggu
ini dketahui berasal dari Dinasti Zhou Barat sekitar tahun 1027 hingga 771 SM.
Teko ini dinamai Tiger Ying karena teko dan penutupnya masing-masing
tertutup model binatang”.

b. Konfusianisme atau Konghuchu


Konfusianisme atau yang lebih dikenal dengan nama Konghuchu di
indonesia ini adalah hasil dari kebudayaan Dinasti Zhou yang pernah ada.
Konghuchu bukanlah sebuah agama , seperti yang dijelaskan oleh Herman
Andreij Adriansyah dalam http://mkn-
unsri.blogspot.com/2009/11/konfusiannisme.html?=1 “konghuchu memang
bukanlah pencipta agama ini ,melainkan beliau hanya menyempurnakan agama
yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya”.
17

Meskipun orang kadang mengira bahwa konghuchu adalah suatu


pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia.
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Kong Zi yang dilahirkan pada tahun 551
SM. Seorang yang bijak sejak kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu
baru ketika berumur 32 tahun.

c. esenian atau Musik


Musik pada zaman Dinasti Zhou juga sudah berkembang, seperti alat
musik tiup dan petik. Musik tidak hanya sebatas sebagai pengiring upacara
ritual kegiatan sembahyang kepada dewa saja tetapi pada zaman Dinasti Zhou
ini musik juga digunakan di istana dalam situasi dan kegiatan tertentu. Pada
Dinasti Zhou barat terdapat bukti sejarah tentang keberadaan instrumen musik
petik, seperti pada penjelasan Henggar Prasetyowati (2015,:6) yang tampak
pada kutipan dibawah ini :
Althougt at the time wind instruments were still the majority, it is certain
that stringed instrument were widely used in the Western Zhou Dynasty.
The evidence can be found in the earsliest literaly work in the Chinese
History, Shijing. In Shijing, twenty nine-string plucked instrument
including the stringed instruments, the qin and se (an ancient twenty five
string plucked instruments) (Chen,1991:16-17).

Meskipun pada saat itu instrumen tiup masih menjadi alat musik yang
banyak dimainkan, tapi dapat dipastikan bahwa alat musik petik telah
digunakan secara luas pada masa dinasti Zhou barat. Bukti-buktinya dapat
ditemukan di karya sastra paling awal dalam Sejarah Cina yaitu kitab
Shijing. Dalam kitab Shijing, instrumen petik bersenar dua puluh sembilan
termasuk instrumen petik, qin dan se (instrumen petik kuno bersenar dua
puluh lima) (Chen, 1991: 16-17).

Alat petik ini menjadi awal mula dari dibuatnya alat musik yang bernama
Guzheng. Yang mana Guzheng adalah alat musik yang ada pada masa Dinasti
Ming. Berikut ini beberapa alat musik peninggalan Dinasti Zhou.
1) Qin
Qin adalah sebuah alat musik yang berasal dari Dinasti Zhou. Qin
bentuknya hampir mirip dengan kecapi dan memiliki 7 buah senar. Alat
musik qin biasa disebut dengan “guqin” atau “yaoqin”. Qin bentukmya
18

cantik dan iramanya lantamg. Sebelum memainkan alat musik qin ini
seseorang yang akan memainkan harus melakukan ritual-ritual terlebih
dahulu.
Seperti yang di ungkapkan oleh Welly “Pada zaman dahulu,sebelum
memainkan alat musik itu (Qin), orang harus mandi dan ganti pakaian,
kemudian membakar dupa dan duduk di kursi, menempatkan gucin di
meja untuk dimainkan. Pemain musik itu memetik qin dengan tangan kiri
dan tangan kanan memilih tanda suara”
(http://chindonews.blogspot.com/2014/04/alat-musik-guqin.html?m=1).
Alat musik Qin ini biasanya digunakan untuk mengiringi acara upacara
keagamaan maupun acara yang ada dalam istana.

2) Se
Se adalah alat musik yang sejenis dengan Qin. Hanya saja Se memiliki
senar yang berjumlah 25. Cara memainkannya pun sama yaitu dipetik.

d. Kitab Shijing
Kitab Shijing adalah kitab yang ada pada zaman Dinasti Zhou. Shijing adalah
salah satu sumber sastra Tiongkok yang paling penting. Shijing adalah kumpulan
syair yang paling tua yang mulai ada sejak zaman Dinasti Zhou barat. Pada zaman
dinasti Zhou, pejabat bertugas mengumpulkan puisi-puisi dan pergi ketengah
masyrakat untuk mencari puisi-puisi tersebut. Selain itu juga pada zaman Dinasti
Zhou terdapat peraturan bahwa mewajibkan para pejabat untuk
mempersembahkan puisi kepada raja. Puisi-puisi yang dikumpulkan kemudian
disusun dengan rapih oleh pejabat yang bertanggungjawab dengan penyusunan
ini, dan menjadi kumpulan puisi kitab Shijing.
Kitab Shijing pada awalnya dikenal dengan nama puisi atau 300 buah puisi.
Namun, filsuf terkenal China yaitu Kong Zi atau yang lebih dikenal dengan
Konfusius menggunakan kitab tersebut untuk diajarkan kepada murid-muridnya.
Ketika zaman berganti pada zaman dinasti Han kitab ini kemudian diganti
namanya menjadi kitab Shijing yang lebih di kenal sekarang.
19

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai