PEMBAHASAN
4
5
1. Raja Pendiri
Dinasti Zhou berdiri tidak terlepas dari jasa Ji Fa, atau yang lebih
dikenal sebagai Raja Chou Wu Wang dalam usahanya menggulingkan
Raja Dinasti Shang, yaitu Raja Di Xin. Ia meneruskan perjuangan ayahnya
Ji Chang atau lebih dikenal Raja Wen Wang dalam menyerang Dinasti
Shang. Pada saat itu, Dinasti Shang diperintah oleh seorang Raja yang
lalim dan menimbulkan banyak kekecewan. Pada tahun ke 9 Zhou Wu
Wang mengumpulkan para kepala Negara Adipati yang kecewa terhadap
Dinasti Shang untuk membentuk persekutuan dalam perlawanan terhadap
Dinasti Shang. (Rizem Aizid, 2018: 214). Seperti yang kita ketahui bahwa
Raja Di Xin saat memerintah Dinasti Shang merupakan Raja yang lalim, ia
terhanyut oleh kehidupan duniawi dan mengabaikan negaranya. Hal ini
membuat beberapa Negara Adipati kecewa atas sikap Raja Di Xin
tersebut. Oleh karena itu, Raja Wu mengumpulkan raja-raja Negara
Adipati yang kecewa tersebut untuk membuat persekutuan dan
menggulingkan Raja yang lalim tersebut.
Saat Pasukan Raja Wu melangsukan perlawanan, perlawanan
tersebut berada di daerah Muye ( sekarang berada di wilayah propinsi
Henan) lalu pasukan Raja Wu bergerak ke arah ibukota Dinasti Shang..
Raja Di Xin akhirnya wafat karena membakar dirinya sendiri di dalam
istananya. Dengan demikian berakhirlah Dinasti Shang.
8
dari dua kuil pusat ibadah dinasti, yang lainnya adalah kuil yang jauh lebih
tua, “jinggong”.
Raja Zhao meninggal dalam perjalanannya ke Selatan. Ji Man atau
Raja Mu naik takhta menggantikan ayahandanya. Raja Mu mungkin
adalah raja yang sangat penting di dalam Sejarah Dinasti Zhou,
memerintah selama hampir 66 tahun, dari sekitar tahun 976 SM smpai
dengan sekitar tahun 922 SM. Ia konon hidup sampai usia 105 tahun. Raja
Mu lebih bersifat ambisius daripada bijak, namun ia dapat mengubah sifat
pemerintahan Dinasti Zhou, mengubah dari sifat turun temurun ke
pemerintahan yang berdasarkan prestasi dan pengetahuan keterampilan
administrasi.
Pada masa pemerintahan raja Mu, Dinasti Zhou berada pada
puncak kejayaannya, dan Raja Mu mencoba menginjak para penyerang
dibagian barat Tiongkok dan akhirnya mengembangkan pengaruhnya ke
bagian timur. Di dalam penaklukkannya, ia memimpin sejumlah pasukan
besar melawan Quanrong, yang tinggal dibagian barat Tiongkok.
Perjalanannya membuat ia berhubungan dengan banyak suku dan
menggoyahkan mereka baik untuk bergabung dibawah Dinasti Zhou atau
ditaklukkan di dalam perang oleh pasukan besarnya. Ekspedisi ini lebih
banyak gagal daripada berhasil. Dengan sengaja atau tidak, ia menaburkan
benih-benih kebencian yang memuncak di dalam serangan oleh suku-suku
yang sama pada tahun 771 SM. Di dalam tahun ketiga belas Xu Rong,
mungkin negara Xu dibagian tenggara, menjarah di dekat ibu kota timur
Fenghao. Perang sepertinya telah berakhir di dalam perdamaian dimana
negara Xu mendapatkan wilayah dan kekuasaan sebagai ganti atas
penyerahan nominal.
3. Raja Masa Kehancuran
Setelah dibahas pada pembahasan sebelumnya tentang raja-raja
Dinasti Zhou yang membuat Dinasti Zhou mencapai puncak kejayaannya,
pada pembahasan ini akan dibahas raja-raja yang memerintah Dinasti
Zhou setelah puncak kejayaan hingga Dinasti Zhou mengalami
10
Pusat pemerintahan Zhou Timur yang berada di Louyang terjadi pada tahun
770 SM – 221 SM. Pada abad ke-8 SM ini terjadi desentralisasi kekuasaan pada
periode yang disebut Periode Musim Semi dan Gugur, yang diberi nama
berdasarkan sebuah karya sastra Chun Qiu (musim semi dan gugur). Setelah
terjadi perpecahan pusat kekuasaan, pemerintahan Zhou semakin melemah
(Sutopo, 2014: 38). Periode musim semi dan gugur ini dinamai berdasarkan
sebuah karya sastra Chun Qiu yang ditulis oleh Konfusius. Dinamakan periode
musim semi dan gugur ini karena pada karya sastra tersebut menjelaskan kondisi
Dinasti Zhou yang sudah terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan kecil dan
ditarik ke dalam 5 kerajaan yang kuat.
5 raja dari kerajaan yang kuat itu adalah Adipati Huan dari Qi, Adipati Wen
dari Jin, Raja Zhuang dari Chu, Adipati Mu dari Qin, dan Adipati Xian dari Song.
Pada umumnya mereka masih ada yang mengakui edaulatan Dinasti Zhou, namun
kebanyakan dari mereka sudah tidak mengirim upeti (Sutopo, 2014: 39). Zaman
berikutnya setelah zaman Musim semi dan Gugur ini adalah Zaman Negara-
negara berperang.
2. Sosial
Berbicara tentang Shi atau pegawai pemerintahan, terdapat pula profesi-
profesi lain yang dikenal dalam masyarakat era Dinasti Zhou ini diantaranya
yaitu shi, nong, gong, shang yang merupakan struktur hierarki kelas sosial yang
diterapkan pada masa akhir Dinasti Zhou. Shi (pegawai pemerintah; sarjana),
nong (petani), gong (pengrajin kesenian), dan shang (pedagang) (Waworuntu,
2012: 141). Kelas sosial ini lebih menempatkan para cendekiawan atau para
sarjana ke dalam tingkatan tertinggi dari kelas sosial lainnya. Pasalnya para
cendekiawan lebih dibutuhkan karena mereka biasanya bekerja di pemerintahan
dan bergaji besar. Orang-orang pada waktu itu sangat ingin bekerja di
pemerintahan.
14
Bekerja di pemerintahan selain mendapat gaji yang besar mereka juga akan
mendapatkan beberapa keuntungan lainnya seperti bebas dari pajak,
mendapatkan tunggangan kuda, lahan pertanian dan lain sebagainya. Kemudian
menurut Waworuntu (2012: 145), Dinasti Zhou menempatkan para petani
sebagai kelompok sosial yang paling terhormat nomor dua pasalnya petani selain
memiliki lahan garapan sendiri, mereka juga mampu memproduksi bahan
pangan dan barang jadi yang sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Kemudian, diikuti oleh para pengrajin di urutan ketiga yang mampu
menghasilkan barang jadi yang berguna bagi masyarakat. Di urutan keempat ada
kelompok saudagar yang dipandang hanya memiliki talenta dalam berdagang
dan jual beli, mereka kadang dianggap rakus dan parasit bagi masyarakat
lainnya. Terakhir diluar dari keempat kelas sosial tersebut ada golongan yang
dipandang rendah seperti pengemis, pelacur, penjaga rumah, dan budak.
3. Ajaran Konfusius
Dalam buku Sejarah China karangan F.X. Sutopo (2014: 37), pada masa
Dinasti Zhou hiduplah filsuf-filsuf terkenal seperti Lao Tze, Kung Fu Tze, dan
Meng Tze. Ajaran Kung Fu Tze atau sering kita kenal dengan sebutan
Konfusionisme ini memuat tentang ajaran kesusilaan sebagai dasar
perkembangan kebudayaan. Ajaran Konfusionisme lahir sebagai reaksi atas
keadaan negara yang pada waktu itu mengalami krisis moral seperti korupsi,
penjarahan, pencurian, penipuan, pemerkosaan yang dilakukan oleh rakyat
maupun pemimpinnya. Maka Konfusius (Kung Fu Tze) hadir untuk
memperbaiki keadaan masyarakat yang tengah mengalami krisis moral.
Konfusius (551 SM – 479 SM) adalah seorang filsuf yang hidup pada masa
Dinasti Zhou. Konfusius mengajarkan tentang kebajikan dan etika. Ia menggajar
para muridnya melalui metode yang sekarang dikenal sebagai Andargogi
(belajar aktif). Metode ini melibatkan pengalaman yang dijadikan dasar aktivitas
pembelajaran. Metode mengajar ini amat sangat berbeda dengan guru
kebanyakan pada waktu itu, dimana para guru hanya menggunakan metode
ceramah satu arah dan metode menjawab soal-soal tes (Susanto & Ilham, 2017:
15
10). Seperti yang kita ketahui sebelumnya pada masa Dinasti Zhou sebagian
besar masyarakat menginginkan bekerja di pemerintahan sebagai Shi. Sebab,
menjadi pegawai pemerintah dapat menaikkan status sosial mereka. Agar
mereka dapat bekerja di pemerintahan, mereka harus menjalani serangkaian tes
dengan menjawab soal-soal tentang pemerintahan dan kemasyarakatan. Namun,
sayang pada saat itu sangat banyak orang yang tidak mampu bersekolah,
sehingga sangat sulit untuk menggapai cita-citanya tersebut. Hanya kaum
bangsawan yang bisa bersekolah.
Konfusius tidak ingin hanya kaum bangsawan yang dapat bersekolah. Ia
kemudian membuka sekolah sendiri dan tidak pernah melarang siapapun untuk
berguru padanya, semua itu gratis tidak dipungut biaya apapun. Tujuan
sekolahnya tersebut sama dengan sekolah yang lainnya yaitu membuat murid-
muridnya lulus tes pegawai. Tetapi, di sisi lain Konfusius juga ingin melahirkan
manusia yang mampu berpikir kritis, menjawab tantangan di masyarakat,
memberikan solusi-solusi yang berguna bagi masyarakat, manusia yang
bermoral, dan memperbaiki sistem pemerintahan (Susanto & Ilham, 2017: 11).
Ada nilai kebajikan yang tergambar pada diri Konfusius. Ia tidak
mempermasalahkan kelas sosial dan tidak mempermasalahkan kondisi
keuangan, demi tujuan mulia agar terciptanya suatu peradaban yang unggul
melalui sekolah yang Ia dirikan.
Di sekolah yang Ia dirikan, Konfusius menerapkan metode diskusi panel
dengan murid-muridnya. Konfusius lebih menekankan kepada murid-muridnya
untuk mengatasi persoalan di masyarakat dengan menemukan jawaban-jawaban
yang dapat mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Tidak jarang Konfusius
menjadikan dirinya sebagai contoh dalam berperilaku sehari-hari. Contohnya
saja ketika Ia bekerja sebagai petugas pajak, namun karena sistem penarikan
pajaknya yang tidak memihak kepada rakyat. Kemudian Ia mengganti sistemnya
dengan yang lebih manusiawi seperti tidak memaksa dan memperkecil pajak
(Susanto & Ilham, 2017: 11-12).
16
4. Budaya
Hasil atau peninggalan pada masa Dinasti Zhou jarang ditemukan, seperti
peninggalan benda-benda. Karena pada zaman Dinasti Zhou mengalami
penurunan dalam bidang seni, tidak seperi zaman dinasti sebelumnya yaitu
dinasti Shang seni mengalami kemajuan seperti seni dari perunggu. Meskipun
dari dinasti Zhou juga ditemukan hasil dari seni perunggu tetapi tidak banyak
yang ditemukan. Karena pada zaman dinasti Zhou ini justru kemajuan ada dalam
bidang filsafat dan munculnya pemikir-pemikir terkenal atau para filsuf terkenal
seperti Konfusius, Ming Ze, dan Lao Tzu. Sehingga pada zaman dinasti Zhou ini
filsafat ada dalam puncak kejayaan.
Adapun hasil peninggalan kebudayaan zaman dinasti Zhou sebagai berikut:
a. Teko Perunggu
Teko perunggu ini adalah salah satu peninggalan dari dinasti Zhou yang
tersisa. Karena pada zaman Dinasti Zhou kerajinan atau seni tidak begitu maju.
Jadi hanya sedikit sekali barang peninggalannya. Menurut Community Writer
dalam situsnya
http://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/science/discovery/amp/koma
ng-triyani/pelelangan-teko-perunggu-zaman-dinasti-zhou-c1c2, “Teko perunggu
ini dketahui berasal dari Dinasti Zhou Barat sekitar tahun 1027 hingga 771 SM.
Teko ini dinamai Tiger Ying karena teko dan penutupnya masing-masing
tertutup model binatang”.
Meskipun pada saat itu instrumen tiup masih menjadi alat musik yang
banyak dimainkan, tapi dapat dipastikan bahwa alat musik petik telah
digunakan secara luas pada masa dinasti Zhou barat. Bukti-buktinya dapat
ditemukan di karya sastra paling awal dalam Sejarah Cina yaitu kitab
Shijing. Dalam kitab Shijing, instrumen petik bersenar dua puluh sembilan
termasuk instrumen petik, qin dan se (instrumen petik kuno bersenar dua
puluh lima) (Chen, 1991: 16-17).
Alat petik ini menjadi awal mula dari dibuatnya alat musik yang bernama
Guzheng. Yang mana Guzheng adalah alat musik yang ada pada masa Dinasti
Ming. Berikut ini beberapa alat musik peninggalan Dinasti Zhou.
1) Qin
Qin adalah sebuah alat musik yang berasal dari Dinasti Zhou. Qin
bentuknya hampir mirip dengan kecapi dan memiliki 7 buah senar. Alat
musik qin biasa disebut dengan “guqin” atau “yaoqin”. Qin bentukmya
18
cantik dan iramanya lantamg. Sebelum memainkan alat musik qin ini
seseorang yang akan memainkan harus melakukan ritual-ritual terlebih
dahulu.
Seperti yang di ungkapkan oleh Welly “Pada zaman dahulu,sebelum
memainkan alat musik itu (Qin), orang harus mandi dan ganti pakaian,
kemudian membakar dupa dan duduk di kursi, menempatkan gucin di
meja untuk dimainkan. Pemain musik itu memetik qin dengan tangan kiri
dan tangan kanan memilih tanda suara”
(http://chindonews.blogspot.com/2014/04/alat-musik-guqin.html?m=1).
Alat musik Qin ini biasanya digunakan untuk mengiringi acara upacara
keagamaan maupun acara yang ada dalam istana.
2) Se
Se adalah alat musik yang sejenis dengan Qin. Hanya saja Se memiliki
senar yang berjumlah 25. Cara memainkannya pun sama yaitu dipetik.
d. Kitab Shijing
Kitab Shijing adalah kitab yang ada pada zaman Dinasti Zhou. Shijing adalah
salah satu sumber sastra Tiongkok yang paling penting. Shijing adalah kumpulan
syair yang paling tua yang mulai ada sejak zaman Dinasti Zhou barat. Pada zaman
dinasti Zhou, pejabat bertugas mengumpulkan puisi-puisi dan pergi ketengah
masyrakat untuk mencari puisi-puisi tersebut. Selain itu juga pada zaman Dinasti
Zhou terdapat peraturan bahwa mewajibkan para pejabat untuk
mempersembahkan puisi kepada raja. Puisi-puisi yang dikumpulkan kemudian
disusun dengan rapih oleh pejabat yang bertanggungjawab dengan penyusunan
ini, dan menjadi kumpulan puisi kitab Shijing.
Kitab Shijing pada awalnya dikenal dengan nama puisi atau 300 buah puisi.
Namun, filsuf terkenal China yaitu Kong Zi atau yang lebih dikenal dengan
Konfusius menggunakan kitab tersebut untuk diajarkan kepada murid-muridnya.
Ketika zaman berganti pada zaman dinasti Han kitab ini kemudian diganti
namanya menjadi kitab Shijing yang lebih di kenal sekarang.
19
DAFTAR PUSTAKA