Anda di halaman 1dari 64

BAB III.

KEJAYAN PERADABAN MARITIM DAN HAKEKAT


PERADABAN MELAYU
A. KEJAYAN PERADABAN MARITIM
1.Jejak Peradaban Maritim Nusantara
Sejarah mencatat bangsa Indonesia sudah dikenal dunia sebagai bangsa maritim yang
memiliki peradaban maju. Bahkan, bangsa ini pernah mengalami masa keemasan sejak awal
abad masehi. Menggunakan kapal bercadik, mereka berlayar mengelilingi dunia dan menjadi
bangsa yang disegani.
Berbakal alat navigasi seadanya, bangsa Indonesia mampu berlayar ke utara, memotong
lautan Hindia-Madagaskar, dan berlanjut ke timur hingga Pulau Paskah. Seiring perjalanan
waktu, ramainya alur pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong
munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang memiliki armada laut besar.
Memasuki masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Nusantara adalah negara
kuat yang disegani di kawasan Asia. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara,
Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur
pelayaran dan jalur perdagangan, serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan
sebagai pangkalan kekuatan laut.
Tidak hanya itu, ketangguhan maritim ditunjukkan Singasari di bawah pemerintahan
Kertanegara pada abad ke-13. Melihat kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya,
pada 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa, untuk
menjalin persahabatan dalam menghambat gerak Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Pada
1284, mereka menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.
Puncak kejayaan maritim Nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478).
Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil
menguasai dan mempersatukan Nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara
asing, seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China.
Kilasan sejarah itu memberi gambaran, betapa besarnya kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Mereka mampu menyatukan wilayah Nusantara dan disegani bangsa lain. Paradigma
masyarakatnya mampu menciptakan visi maritim sebagai bagian utama dari kemajuan
budaya, ekonomi, politik dan sosial.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
1
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi
kiblat di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia. Fakta sejarah lain
yang menandakan bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa maritim, dibuktikan dengan
adanya temuan-temuan situs prasejarah di beberapa belahan pulau. Penemuan situs prasejarah
di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi lukisan perahu-perahu layar,
menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut. Selain
itu, ditemukan kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di
Jawa. Ini menandakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki hubungan
dengan bangsa lain.
Ironisnya, dalam perjalanan bangsa Indonesia, visi maritim seperti ditenggelamkan. Sejak
masa kolonial Belanda abad ke -18, masyarakat di tanah air mulai dibatasi berhubungan
dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda. Padahal, sebelumnya
telah muncul beberapa kerajaan maritim nusantara, seperti Bugis-Makassar, Sriwijaya,
Tarumanegara, dan peletak dasar kemaritiman Ammana Gappa di Sulawesi Selatan.  Belum
lagi, pengikisan semangat maritim bangsa ini dengan menggiring bangsa ini hanya berkutat
sektor agraris demi kepentingan kaum kolonialis.
Akibatnya, budaya maritim bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini
kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun
kembali Indonesia sebagai bangsa maritim. Akibatnya, dalam era kebangkitan Asia
Pasifik, pelayaran nasional kita kalah bersaing dengan pelayaran asing akibat kurangnya
investasi.
2. Perahu Bukti Sejarah
Dalam perjalanan peradaban bangsa Indonesia, para pakar sejarah kemaritiman menduga
perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah Nusantara, jauh sebelum bukti
tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno). Dugaan ini didasarkan atas
sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat di
Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pada masa
akhir prasejarah telah dikenal adanya jaringan perdagangan antara Nusantara dan Asia
daratan.
Pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan perdagangan antara
Nusantara dan India. Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar dari India
(Arikamedu, Karaikadu dan Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa Barat (Patenggeng) dan

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
2
Bali (Sembiran). Keberadaan barang-barang tembikar tersebut diangkut menggunakan perahu
atau kapal yang mampu mengarungi samudra.
Bukti tertulis paling tua mengenai pemakaian perahu sebagai sarana transportasi laut
tercatat dalam Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682 Masehi). Pada prasasti tersebut
diberitakan; ”Dapunta Hiyaŋ bertolak dari Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua
laksa dengan perbekalan sebanyak 200 peti naik perahu...”.
Pada masa yang sama, dalam relief Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi) dipahatkan
beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi dugaan bentuk-
bentuk perahu atau kapal yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat Nusantara,
misalnya di Sumatera.
1. Bukti Arkeologis
Bukti-bukti  arkeologis transportasi laut banyak ditemukan di berbagai wilayah
Nusantara, berupa papan-papan kayu yang merupakan bagian dari sebuah perahu dan daun
kemudi, yang ukurannya cukup besar.
Pertama, Situs Samirejo secara administratif terletak di Desa Samirejo, Kecamatan
Mariana, Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatra Selatan). Situs ini berada di suatu tempat
lahan gambut. Sebagian besar arealnya merupakan rawa-rawa. Beberapa batang sungai yang
berasal dari daerah rawa bermuara di Sungai Musi.
Dari lahan rawa basah ini pada Agustus 1987 ditemukan sisa-sisa perahu kayu. Sisa
perahu yang ditemukan terdiri dari sembilan bilah papan dan sebuah kemudi. Dari sembilan
bilah papan tersebut, dua bilah di antaranya berasal dari sebuah perahu, dan tujuh bilah
lainnya berasal dari perahu lain.
Sisa perahu yang ditemukan tersebut dibangun secara tradisional di daerah Asia Tenggara
dengan teknik yang disebut “papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-lug
technique), dan diperkuat dengan pasak kayu atau bambu. Papan kayu yang terpanjang
berukuran panjang 9,95 meter dan terpendek 4,02 meter; lebar 0,23 meter; dan tebal sekitar
3,5 cm.
Pada jarak-jarak tertentu (sekitar 0,5 meter), di bilah-bilah papan kayu terdapat bagian
yang menonjol berdenah empat persegi panjang, disebut tambuko. Di bagian itu terdapat
lubang yang bergaris tengah sekitar 1 cm. Lubang-lubang itu tembus ke bagian sisi papan.
Tambuko disediakan untuk memasukkan tali pengikat ke gading-gading. Papan kayu setebal
3,5 cm kemudian dihubungkan bagian lunas perahu dengan cara mengikatnya satu sama lain.
Tali ijuk (Arenga pinnata) mengikat bilah-bilah papan yang dilubangi hingga  tersusun 

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
3
seperti  bentuk  perahu. Selanjutnya, dihubungkan dengan bagian lunas perahu hingga
menjadi dinding lambung. Sebagai penguat ikatan, pada jarak tertentu (sekitar 18 cm) dari
tepian papan dibuat pasak-pasak dari kayu atau bambu.
Dari hasil rekonstruksi dapat diketahui bahwa perahu yang ditemukan di desa Sambirejo
berukuran panjang 20-22 meter. Berdasarkan analisis laboratorium terhadap Karbon (C-14)
dari sisa perahu Samirejo adalah 1350 ± 50 BP, atau sekitar tahun 610-775 Masehi.
Adapun, kemudi perahu yang ditemukan mempunyai ukuran panjang 6 meter. Bagian
bilah kemudinya berukuran lebar 50 cm. Kemudi ini dibuat dari sepotong  kayu, kecuali
bagian bilahnya ditambah kayu lain untuk memperlebar. Di bagian atas dari sumbu tangkai
kemudi terdapat lubang segi empat untuk memasukkan palang.
Di bagian tengah kemudi terdapat dua buah lubang yang ukurannya lebih kecil untuk
memasukkan tali pengikat kemudi pada kedudukannya. Bentuk kemudi semacam ini banyak
ditemukan pada perahu-perahu besar yang berlayar di perairan Nusantara, misalnya perahu
Pinisi.
Kedua, situs Kolam Pinisi. Situs ini terletak di kaki sebelah barat Bukit Siguntang, sekitar
5 km ke arah barat dari kota Palembang. Ekskavasi yang dilakukan pada 1989 ditemukan
lebih dari 60 bilah papan sisa sebuah perahu kuno. Meskipun ditemukan dalam jumlah
banyak, namun keadaannya sudah rusak akibat aktivitas penduduk di masa lampau untuk
mencari harta karun. Papan-papan kayu tersebut pada ujungnya dilancipkan kemudian
ditancapkan ke dalam tanah untuk memperkuat lubang galian.
Papan-papan kayu yang ditemukan berukuran tebal sekitar 5 cm dan lebar antara 20-30
cm. Seluruh papan ini mempunyai kesamaan dengan papan yang ditemukan di Situs Samirejo,
yaitu tembuko yang terdapat di salah satu permukaannya, dan lubang-lubang yang ditatah
pada tembuko-tembuko tersebut seperti halnya pada tepian papan untuk memasukkan tali ijuk
yang menyatukan papan perahu dengan gading-gading, serta menyatukan papan satu dengan
lainnya. Pada bagian tepi papan terdapat lubang-lubang yang digunakan untuk menempatkan
pasak kayu atau bambu untuk memperkuat badan perahu. Pertanggalan karbon C-14
menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi.
2. Teknik Rancang Perahu
Belum ada data yang menyebutkan nenek moyang bangsa Indonesia mengenal
pembuatan perahu. Hanya sedikit data arkeologi dan sejarah yang berhasil mengungkapkan
tentang hal itu. Satu-satunya data arkeologi yang sedikit mengungkapkan teknologi

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
4
pembangunan perahu adalah dari lukisan gua. Di situ terlihat bagaimana bentuk perahu pada
masa prasejarah.
Bentuk perahu pada masa itu dapat dikatakan masih sangat sederhana. Sebatang pohon
yang mempunyai garis tengah batang cukup besar mereka tebang. Kemudian bagian
tengahnya dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, seperti beliung dari batu.
Nampaknya mudah, tetapi dalam kenyataannya cukup sulit. Dinding perahu harus dapat
diperkirakan tebalnya. Tidak boleh terlampau tebal atau terlampau tipis.
 Jangan sampai badan perahu mudah pecah atau bocor apabila terantuk karang atau
kandas di pantai yang keras. Apabila bentuk dasar sudah selesai, kemudian diberi cadik di sisi
kiri dan kanan badan perahu. Perahu jenis ini dinamakan perahu lesung  atau sampan. Ukuran
panjangnya kira-kira 3-5 meter dan lebar sekitar 1 meter. Contoh membangun perahu dengan
teknologi yang masih sederhana ini dapat dilihat pada suku-suku bangsa yang masih
sederhana yang bermatapencaharian dari menangkap ikan di laut dangkal.
Pada zaman prasejarah, perahu bercadik memainkan peranan yang besar dalam hubungan
perdagangan antar pulau di Indonesia dengan daratan Asia Tenggara. Karena adanya
hubungan dengan daratan Asia Tenggara, maka terjadilah tukar menukar informasi teknologi
dalam segala bidang, misalnya dalam pembangunan candi, pembangunan kota, dan tentu saja
pembangunan perahu.
Akibat ada hubungan dengan daratan Asia Tenggara, dalam pembangunan perahu pun
ada suatu kemajuan. Di seluruh perairan Nusantara, banyak ditemukan runtuhan perahu yang
tenggelam atau kandas. Dari runtuhan itu para pakar perahu dapat mengidentifikasikan
teknologi pembangunan perahu.
Para pakar telah merumuskan teknologi tradisi pembangunan perahu berdasarkan wilayah
budayanya, yaitu Wilayah Budaya Asia Tenggara dan Wilayah Budaya China (Manguin
1987: 47-48).
Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas,
antara lain badan (lambung) perahu berbentuk seperti huruf V, sehingga bagian lunasnya
berlinggi. Sementara untuk haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris. Tidak ada sekat-
sekat kedap air di bagian lambungnya.
Dalam proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, serta kemudi
berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk masa
kini, adalah cara mereka menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, cara

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
5
menyambung satu papan dengan papan lainnya adalah dengan mengikatnya memakai tali
ijuk.
Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini diberi
lubang yang jumlahnya empat buah menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang ini
tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan lain. Di bagian sisi yang
tebal, diperkuat dengan pasak-pasak kayu atau bambu. Teknik penyambungan papan seperti
ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank and lashed-
lug technique).
Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo dan Kolam Pinisi, juga sisa perahu yang
ditemukan di tempat lain di Nusantara dan negara jiran, ada kesamaan umum yang dapat
dicermati, yaitu teknologi pembuatannya.
Teknologi pembuatan perahu  yang ditemukan, antara lain teknik ikat; teknik pasak kayu
atau  bambu; teknik gabungan ikat dan pasak kayu atau bambu; serta perpaduan teknik pasak
kayu dan paku besi. Melihat teknologi rancang-bangun perahu tersebut, dapat diketahui
pertanggalannya.
Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak kayu dalam pembuatan
perahu atau kapal di Nusantara berasal dari sumber Portugis awal abad ke-16 Masehi.
Dalam sumber tersebut disebutkan perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa disebut Jung
(berkapasitas lebih dari 500 ton), dibuat tanpa sepotong besipun di dalamnya. Untuk
menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak kayu. Cara pembuatan
perahu dengan teknik tersebut masih tetap ditemukan di Nusantara, seperti yang terlihat pada
perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton.
Adapun, kapal-kapal yang dibangun menurut tradisi China mempunyai ciri-ciri khas,
antara lain tidak mempunyai bagian lunas (bentuk bagian dasarnya membulat), badan perahu
atau kapal dibuat berpetak-petak dengan dipasangnya sekat-sekat yang strukturil, antara satu
papan dengan papan lain disambung dengan paku besi, dan mempunyai kemudi sentral
tunggal.
Dari sekian banyak perahu kuno yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar
dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara. Keturunan dari kapal-kapal yang dibangun
dengan teknik tradisi Asia Tenggara adalah kapal Pinisi dan beberapa perahu tradisional di
berbagai daerah di Nusantara. Pada perahu Pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat
dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai lagi. Para pelaut Bugis sudah
menggunakan teknik yang lebih modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
6
Dalam buku Antonio Galvao, seorang Portugis, pada 1544 telah menguak tabir
pembangunan perahu di Nusantara sebelah timur (daerah Maluku dan sekitarnya)
(Poesponegoro dkk. 1984 (3): 112-113). Dia menguraikan, antara lain teknik pembangunan
kapal orang Maluku. Menurutnya, bentuk kapal orang Maluku yang menyerupai telur dengan
kedua ujung dibuat melengkung ke atas dimaksudkan supaya kapal dapat berlayar maju dan
mundur.
Suku bangsa Bugis adalah suku bangsa perantau. Banyak di antara mereka pergi
meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau ke tempat-tempat di wilayah
Nusantara. Di tempat yang dituju mereka tinggal di tepi-tepi dan muara sungai besar,
misalnya di Batanghari (Jambi).
Di situ mereka membangun pemukiman dan membangun perahu pinisi.
Bahan baku kayu untuk membuat kapal mereka ambil dari hutan sekitarnya. Setelah perahu
selesai mereka pergi meninggalkan kampung tersebut. Kapal itu tidak dipaku atau didempul,
tetapi diikat dengan tali ijuk melalui lubang yang dibuat di bagian lunas, rusuk, linggi depan,
dan linggi belakang.
Di bagian dalam terdapat bagian yang menonjol dan berbentuk cincin untuk tempat
memasukkan tali ijuk pengikat. Papan-papan disambung dengan pena (pasak) kayu atau
bambu yang dimasukkan pada lubang kecil di ujung depan. Sebelumnya, pada bagian
sambungan papan diolesi ‘baru’ (semacam damar) agar air tidak dapat masuk. Kemudian
papan disambung berapit-apit dengan kemahiran tinggi, sehingga orang yang melihat akan
mengira bahwa bentuk itu terbuat dari satu bilah papan. Pada bagian haluan kapal dibuat
hiasan ular naga bertanduk.
3. Kesadaran Bangsa
Harus disadari, kejayaan para pendahulu negeri ini dikarenakan kemampuan mereka
membaca potensi wilayahnya. Ketajaman visi dan kesadaran mereka terhadap posisi strategis
Nusantara telah membawa bangsa ini disegani negara-negara lain.
Sudah saatnya negeri ini kembali menyadari dan membaca ulang narasi besar maritim
Indonesia yang pernah diikrarkan dalam Unclos 1982. Di dalamnya banyak termaktub
peluang besar Indonesia sebagai negara kepulauan. Namun, lemahnya perhatian dan
keberpihakan pemerintah terhadap kemaritiman yang mencakup luat, pesisir, dan perikanan,
menjadi kerugian besar. Seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada 2002 dengan alasan
“ineffective occupation” atau wilayah yang ditelantarkan.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
7
Minimnya keberpihakan pemerintah pada sektor maritim (maritime policy) menyebabkan
masih semrawutnya penataan Selat Malaka yang sejatinya menjadi sumber devisa. Hal
lainnya adalah pelabuhan negeri ini belum menjadi international hub port, Zona Ekonomi
Ekslusif  (ZEE) yang telantar, penamaan dan pengembangan pulau-pulau kecil, terutama di
wilayah perbatasan negara tidak kunjung tuntas. Ditambah, semakin maraknya praktik illegal
fishing, illegal drug traficking, illegal people, dan penyelundupan di perairan Indonesia.
Padahal, sejatinya posisi strategis Indonesia banyak memberikan manfaat, setidaknya
dalam tiga aspek, yaitu alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage,
transit passage, dan archipelagic sea lane passage) berdasarkan ketentuan IMO; luas laut
territorial yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai dengan Unclos 1982 yang
mempunyai sumberdaya kelautan demikian melimpah; dan sumber devisa yang luar biasa jika
dikelola dengan baik.
Terkait dengan visi pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan merata, dibutuhkan kemampuan
pertahanan dan keamanan yang harus senantiasa ditingkatkan agar dapat melindungi dan
mengamankan hasil pembangunan yang telah dicapai.
Pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan penyediaan kebutuhan sumber daya yang
semakin besar mengakibatkan sektor laut dan pesisir menjadi sangat penting bagi
pembangunan nasional. Karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke
arah pendekatan maritim merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Wilayah
laut harus dikelola secara profesional dan proporsional serta diarahkan bagi kepentingan
bangsa bangsa ini.
Beberapa fungsi laut yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam
menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis maritim adalah laut sebagai media pemersatu
bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai
negara kepulauan, serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia.
Karena itu, sebagai langkah konkret, dibutuhkan semangat yang konsisten dan kerja nyata
demi mengembalikan kejayaan maritim bangsa Indonesia. Tentunya, juga diperlukan gerakan
moral untuk terus mengumandangkan semangat maritim kepada semua lapisan masyarakat
Indonesia untuk kembali menyadari keberadaan bangsa ini sebagai negara kepulauan terbesar
di dunia. (*)

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
8
B. HAKEKAT PERADABAN MELAYU
Peradaban berasal dari kata adab yang dapat diartikan sopan, berbudi pekerti, luhur,
mulia, berakhlak, yang semuanya menunjuk pada sifat yang tinggi dan mulia. Huntington
(2001) mendefinisikan peradaban sebagai the highest sosial grouping of people and the
broadest level of cultural identity people have short of that which distinguish humans from
other species. Peradaban tidak lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah mendapat
tingkat tertentu yang diperoleh oleh manusia. Manusia beradab adalah manusia yang mampu
melaksanakan hakikatnya sebagai manusia (monopluralis secara optimal).
Kami melihat pernyataan Huntington sebagai teori yang seharusnya ada dan tetap
melekat pada diri manusia di era modernisasi ini. Tetapi kenapa di zaman sekarang ini,
manusia beradab seperti sulit untuk ditemui. Ada yang kelihatannya baik, tapi palsu. Dan
terlebih lagi palsu lebih mudah untuk kelihatan.
Muhammad A.S. Hikam (1999) dalam bukunya Demokrasi dan civil society memberikan
definisi civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan
antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self-
supporting), kemandirian yang tinggi berhadapan dengan Negara, dan keterikatan dengan
norma atau nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Istilah tersebut, peradaban dalam bahasa Inggris disebut Civilization. Istilah peradaban
sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan
kebudayaan. Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya berwujud unsur-
unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur dan sebagainya, maka
masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah memiliki peradaban yang tinggi.
Dengan batasan-batasan pengertian di atas maka istilah peradaban sering dipakai untuk hasil-
hasil kebudayaan seperti: kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, adat sopan santun serta
pergaulan. Selain itu juga kepandaian menulis, organisasi bernegara serta masyarakat kota
yang maju dan kompleks.
Manusia merupakan makhluk Tuhan, individu dan sosial budaya. Antara manusia dan
peradaban mempunyai hubungan yang sangat erat karena diantara keduanya saling
mendukung untuk menciptakan suatu kehidupan yang sesuai kodratnya. Suatu peradaban
timbul karena ada yang menciptakannya yaitu diantaranya ada faktor manusianya yang
melaksanakan peradaban tersebut.
Suatu peradaban mempunyai wujud, tahapan  dan dapat berevolusi / berubah sesuai
dengan perkembangan zaman. Dari peradaban pula dapat mengakibatkan suatu perubahan
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
9
pada kehidupan sosial. Perubahan ini dapat diakibatkan karena pengaruh modernisasi yang
terjadi di masyarakat.Masyarakat yang beradab dapat diartikan sebagai masyarakat yang
mempunyai sopan santun dan kebaikan budi pekerti. Ketenangan, kenyamanan, ketentraman,
dan kedamaian sebagai makna hakiki manusia beradab dan dalam pengertian lain adalah suatu
kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Hakikat Peradaban. Peradaban memiliki kaitan yang erat dengan kebudayaan.
Kebudayaan pada hakikatnya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Kemampuan cipta (akal) manusia menghasilkan ilmu pengetahuan.
Kemampuan rasa manusia melalui alatalat indranya menghasilkan beragam barang seni dan
bentuk-bentuk kesenian. Sedangkan karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup,
kemuliaan, dan kebahagiaan sehingga menghasilkan berbagai aktivitas hidup manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Koentjaraningrat (1990) berusaha memberikan penjelasan sebagai
berikut. Istilah kebudayaan ada pula istilah peradaban. Hal ini adalah sama dengan istilah
dalam bahasa Inggris civilization yang biasanya dipakai untuk menyebutkan bagian atau
unsure dari kebudayaan yang harus maju dan indah.
Kebudayaan berasal dari kata culture, istilah peradaban sering dipakai untuk
menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap perkembangan kebudayaan. Peradaban
berasal dari kata adab, yang dapat diartikan sopan, berbudi pekerti, luhur, mulia, berakhalak,
yang semuanya menunjuk pada sifat yang tinggi dan mulia. Huntington (2001)
mendefinisikan perdaban (civilization) sebagai the highest sosial grouping of people and the
broadest level of cultural identity people have short of that which distinguish humans from
other species.
Peradaban merupakan tahap tertentu dari kebudayaan masyarakat tertentu pula, yang
telah mecapai kemajuan tertentu yang dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni yang telah maju. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi peradaban
sebuah bangsa dan menjadi bangsa itu dianggap lebih muju dari bangsa-bangsa lain pada
zamannya. Kehidupan di lembah sungai Nil masa itu kita sebut dengan nama Peradaban
Lembah Sungai Nil bukan Kebudayaan Lembah Sungai Nil sebab mereka telah memiliki
organisasi sosial, kebudayaan, dan cara berkehidupan yang sudah maju bila disbanding
dengan bangsa lain.
Keajaiban dunia yang dikenal saat ini antara lain :
 Piramida di Mesir merupakan makam raja-raja Mesir kuno.
 Taman gantung di Babylonia.
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
10
 Tembok raksasa dengan panjang 6.500 km di RRC.
 Menara Pisa di Italia.
 Menara Eiffel di Paris.
 Candi Borobudur di Indonesia.
 Taj Mahal di India.
 Patung Zeus yang tingginya 14 m da seluruhnya terbuat dari emas.
 Kuil Artemis merupakan kuil yang terbesar di Yunani.
 Mausoleum Halicarnacus, kuburan yang dibangun oleh Ratu Artemisia untu
mengenang suaminya Raja Maulosus dari Carla.
 Colossus, yaitu patung perungu dewa matahari dari rhodes.
 Pharos, yaitu patung yang tingginya hingga 130 m dari alexsandria.
 Gedung parlemen di inggris di london.
 Kabah di saudi arabia.
 Colossum di Roma italia.
Selah satu ciri yang penting dalam devenisi peradaban adalab berbudaya. Yang dalam
bahasa inggris disebut Cultured. Orang yang cultured adalah yang juga lettered dalam hal ini
tidak sekedar hanya bisa membaca dan menulis hal yang sederhana.
Peradaban tidak hanya menunjuk pada hasil-hasil kebudayaan manusia yang sifatnya
fisik, seperti barang, bangunan, dan benda-benda. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari
budi daya manusia, baik cipta, karsa, dan rasa. Adab artinya sopan. Manusia sebagai makhluk
beraberdab artinya pribadi manusia itu memiliki potensi untuk berlaku sopan, berahlak dan
berbudi pekerti yang luhur menuju pada prilaku pada manui. Manusia beradab adalah manusia
yang bisa menyelaraskan antara, cipata, rasa, dan karsa. Kaelan (2002) menyatakan manusi
yang beradab adalah manusi yang mampu melaksanakan hakikatnya sebagai manusia
(monopluraris secara optimal). Manusia adalah makhluk yang beradab sebab dianugrahi
karkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang tinggi. Konsep masyarakat adab berasal dari
konsep civil society, dari asal kata cociety civilis.istilah masyarakat adab dikenal dengan kata
lain masyarakat sipil, masyarakat warga, atau masyarakat madani.
Pada mulanya, civil society berasal dari dunia barat. Adalah datao answer
ibrahim(mantan wakil perdana mentri malaysia)yang pertama kali memperkenalkan istilah
masyarakat madani sebagaia istilah lain dari civil society. Nurcholish madjid
mengindonesiakan civil society (inggris) dengan masyarakat madani. Oleh banyak kalangan,

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
11
istilah civil society dapat diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan berbagai istilh antara
lain :
 Civil society diterjemah dengan istilah masyrakat sipil, civil artinya sipil sedangkan
society artinya masyarakat.
 Civil society diterjemahkan dengan masyarkat beradap atau keberadaban, ini
merupakan terjemahan dari civilizet(beradab) dan society (masyarakat) sebagai lawan
dari masyarakat yang tidak beradab(uncivilzet society)
 Civil society diterjemahkan sebagai masyarakat madani. Kata madani merujuk pada
kata madinah, kota tempat kelahiran nabi muhamad saw. Madinah berasal dari kata
madaniyah yang berati peradaban
Berkaitan dengan nomor 3, Civil society diartikatikan masyarakat kota. Dal ini
dikarenakan madinah adalah sebuah negara kota (city-state) yang mengigakan kita kepada
polis dizaman yunani kuno . masyarakat kota sebagai model masyarakat beradab. Civil
society diterjemahkan sebagai masyarakat warga atau kewarganegaraan. Masyarakat disini
adalah pengelompokan masyarakat yang bersifat otonom dari negaa. Nurcholis majid
menyebut masyarakat madani sebagai masyarakat yang berkadaban memiliki ciri-ciri, antara
lain egalitarianisme, menghargai prestasi, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan.
Toleransi dan pluralisme, serta keterbukaan dan penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan
pluralisme, serta musyawarah. Muhamad A.S. Hikam (1990) didalam bukunya demokrasi dan
civil society memberikan defenisi civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan antaralain bersukarelaan (Voluntari), keswasembedaan (self
generating), keswadayaan (self sporting), kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara,
dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

C. PERADABAN DAN ADAT ISTIADAST MELAYU (lia)

Sebagai provinsi yang berbatasan dengan negara tetangga, Malaysia, Singapura, dan
Vietnam, di KepRi sejak zaman dahulu telah berlangsung arus migrasi, asimilasi, dan
perpaduan budaya. Tak heran, provinsi ini kini dihuni setidaknya 17 suku bangsa, antara lain
Melayu Riau, Melayu Sumatera (di luar Riau), Melayu Kalimantan, Minang, Jawa, Bugis,
Batak, Sunda, Aceh, Bali, Madura, Nias, Flores, Dayak, Papua, Betawi, Ambon, dan Cina.
Keanekaragaman suku ini membawa kekayaan khazanah budaya Melayu, terutama
bahasanya. Namun, bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Provinsi KepRi adalah
bahasa Melayu, yang pada hakikatnya merupakan akar bahasa Indonesia.
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
12
Berbagai dialek bahasa Melayu yang digunakan mengikuti perbedaan lokalitas dari
kelompok masyarakat Melayu di masing-masing daerah di Provinsi KepRi. Mereka umumnya
menyadari adanya variasi bahasa Melayu ini, bahkan mereka dapat mengetahui asal si
pembicara dengan mendengarkan ucapan atau logat bahasa Melayunya. Selain itu, juga
terdapat variasi dalam hal tradisi atau adat-istiadat yang berlaku dalam kebudayaan Melayu di
KepRi. Hal ini menandakan bahwa sebuah kelompok masyarakat Melayu mempunyai suatu
tradisi dan bahasa Melayu yang relatif berbeda dengan kelompok masyarakat Melayu lainnya.
Variasi kebudayaan Melayu di KepRi juga menghasilkan variasi identitas khusus orang
Melayu yang penuh dengan keterbukaan, yang dilandasi oleh prinsip hidup bersama dalam
perbedaan. Prinsip ini memiliki kemiripan dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang diterapkan masyarakat Melayu KepRi ini
menyebabkan terbentuknya tradisi yang majemuk. Dengan keterbukaannya, kebudayaan
Melayu KepRi dapat mengakomodasi perbedaan yang terdapat dalam unsur-unsurnya dan
secara bersama-sama hidup dalam kehidupan yang penuh dengan keterbukaan. Ciri-ciri
kebudayaan Melayu Provinsi KepRi yang bersifat terbuka dan mempunyai kemampuan
mengakomodasi perbedaan tersebut muncul sebagai hasil dari pengalaman sejarah
kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah berhubungan dengan kebudayaan asing
(non-Melayu).
Oleh karena itu, kebudayaan Melayu di KepRi mempunyai kemampuan mengambil alih
unsur-unsur kebudayaan non-Melayu dan menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaan
Melayu KepRi. Tidak mengherankan bila ada unsur-unsur atau simbol-simbol yang dianggap
sebagai simbol Melayu, namun setelah ditelusuri secara mendalam ternyata adalah simbol-
simbol yang berasal dari kebudayaan non-Melayu. Contohnya musik Melayu ghazal yang
berasal dari Semenanjung Arab.
Selain bersifat terbuka, masyarakat Melayu juga tetap memegang teguh identitas
kemelayuannya. Dalam tradisi Melayu sendiri, ada semacam ungkapan "Adat Bersendikan
Syarak, dan Syarak Bersendikan Kitabullah". Hal ini menyiratkan bahwa, secara langsung
atau tidak, tradisi kebudayaan Melayu di KepRi tetap berpegang teguh pada ajaran Islam. Di
sisi lain, Raja Ali Haji pernah berujar dalam Gurindam Dua Belas (1847), bahwa "Tak kan
Melayu Hilang di Bumi". Kalimat itu digunakan untuk menunjukkan keyakinan masyarakat
Melayu akan adat-istiadat dan budayanya. Begitu pentingnya adat-istiadat bagi orang Melayu,
sehingga timbul ungkapan lain, yaitu "Biar Mati Anak, Jangan Mati Adat" atau "Biar Mati

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
13
Istri, Jangan Mati Adat". Semua ungkapan itu diucapkan secara turun-temurun dan telah
mendarah-daging bagi orang Melayu, baik yang menetap di KepRi maupun di perantauan.
Adat Secara Umum (lia)

Banyak orang keliru dan salah pengertian, apalagi generasi muda, bahwa adat itu adalah
kebiasaan lama dan kuno. Kalau mendengar perkataan “adat”, yang terbayang dalam
khayalnya adalah orang tua-tua yang berpakaian daerah atau upacara perkawinan dan
upacara-upacara lainnya. Oleh karena itu janganlah heran jika media massapun selalu keliru,
sehingga pakaian daerah selalu disebut/ditulis “pakaian adat” atau rumah yang bentuknya
khas daerah disebut “rumah adat” dan sebagainya. Tegasnya apa yang berbentuk tradisional
dianggap sudah merupakan adat.
Banyak pula yang menganggap bahwa adat itu sama dengan tradisi atau perkataan
“tradisi” dialihbahasakan menjadi “adat” atau sebaliknya. Maka untuk meghilangkan
penafsiran dan interprestasi yang berbeda, perlulah didudukkan dahulu. Menurut pendapat
saya, pengertian adat itu adalah :
“ Ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat dalam segala
aspek kehidupan manusia.”
Oleh sebab itu adat merupakan hukum tak tertulis atau sekurang-kurangnya merupakan
sumber hukum. Sebelum bangsa kita mengenal hukum Barat, adat inilah merupakan hukum
rakyat yang kemudian disempurnakan dengan hukum Islam, sehingga disebut : “Adat
bersendikan syarak.”
Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak, diperkirakan terjadinya pada waktu
masuknya Islam ke Malaka pada akhir abad ke-14.
Alm T. Tonel1 telah menulis : “Maka adalah adat Melayu itu pada mulanya berpangkal
kepada adat istiadat Melayu yang dipergunakan dalam negeri Tumasik, Bintan dan Malaka.
Maka adalah di zaman Malaka adat itu menjadi Islam, karena rajanya pun telah Islam pula
adanya”
Karena adat itu mengatur seluruh aspek kehidupan anggota masyarakat, maka ketentuan-
ketentuan adat itu dengan sendirinya juga mengatur masalah : politik/pemerintahan, ekonomi,
sosial/kemasyarakatan, etika, budaya dan sebagainya.
Ketentuan-ketentuan hukum Islam yang menyangkut masalah duniawi sudah dianggap
dan dirasakan sebagai ketentuan adat dan terkadang memang susah hendak

1 Tengku Tonel, Adat Istiadat Melayu, naskah tulisan tangan huruf Arab Melayu, Pelalawan 1920. Halaman 29
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
14
Kengklasifikasikan yang mana ketentuan hukum Islam dan yang mana hukum adat
murni. Demikian bersebatinya sudah adat dengan Islam.
Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau
Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber dari Malaka dan johor,
karena dahulunya Malaka, johor dan Riau merupakan satu kerajaan Melayu dan adatnya
berpunca dari istana raja.
Sebagaimana saya sitir di muka tadi, saya lengkapi lagi sebagai berikut : “ Maka adalah
adat Melayu itu pada mulanya berpangkal kepada adat istiadat Melayu yang dipergunakan
dalam negeri Tumasik, Bintan dan Malaka. Maka adalah di zaman Malaka adat itu menjadi
Islam, karena rajanyapun telah Islam pula adanya. Maka segala adat istiadat melayu itupun
syahlah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Maka adat istiadat itulah yang turun berturun
berkembang sampai negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan
dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Maka bersalahanlah segala adat yang tidak
bersendikan syareat Islam dan tiadalah boleh dipakai lagi. Maka adalah sejak itu, adat istiadat
Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi.2
“Adapu negeri Indragiri, setelah raja Narasinga masuk Islam sebab dimenantukan oleh
Sultan Mahmudsyah, Sultan Malaka, maka raja itu pun dirajakan di Indragiri. Maka datanglah
orang Talang di sana, mengangkatnya sebagai raja. Maka mufakatlah mereka membuat
perjanjian. Adapun perjanjian itu menyatakan bahwa orang Talang mengaku sbagai rakyat
Indragiri, maka rajapun memberitahu mereka akan adat melayu, maka mufakatlah mereka
untuk memakai adat itu apakala mereka turun ke dalam negeri Indragiri. Maka di dalam
kampungnya, tetaplah mereka memakai adat mereka.” 3.
Dalam bahagian lain dikatakan pula :
“Maka adalah asal mula adat di negeri Siak dan negeri Pelalawan itu turunnya dari Johor
jua. Maka apabila Raja Kecik menjadikan dirinya raja di negeri Siak yang disebut Buantan,
maka adat itulah yang dipakainya, yang kemudian turun berturun ke segala anak cucunya dan
daerah takluknya.” 4.
Walaupun kutipan di atas adalah kutipan dari naskah tulisan tangan yang belum
diterbitkan, tetapi keterangan tersebut dapat dipercaya karena memang demikianlah kenyataan
yang dijumpai.
Adapun adat Melayu di Riau ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu :

2 Tengku Tonel, “Adat Istiadat Melayu” hal 29


3 Ibid, halaman 40
4 Ibid, halaman 42
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
15
 Adat sebenar adat
 Adat yang diadatkan
 Adat yang teradat
Adat Sebenar Adat
Yang dimaksud dengan Adat Sebenar Adat adalah prinsip-prinsip Adat Melayu yang
tak dapat dirobah-obah. Prinsip tersebut tersimpul dalam adat bersendi syarak. Ketentuan-
ketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tak boleh dipakai lagi dan hukum
syaraklah yang dominan. Di dalam berbagai-bagai ungkapan dinyatakan sebagai berikut :
Adat berwaris kepada Nabi
Adat berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke Ulama
Adat tersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam Sunnah
Adat dikungkung Kitabullah
Itulah adat yang tahan Banting
Itulah adat yang tahan asak

Adat terconteng dilawang


Adat tak lekang oleh panas
Adat tak lapuk oleh hujan
Adat dianjak layu diumbut mati
Adat ditanam tumbuh, dikubur hidup
Kalau tinggi dipanjatnya
Bila rendah dijalarnya
Riaknya sampai ke tebing
Unutnya sampai ke bakal
Resamnya sampai ke laut luas
Sampai ke pulau karam-karaman
Sampai ke tebing lembak-lembakan
Sampai ke arus yang berdengung
Kalau tali boleh di serat
Kalau rupa boleh dilihat
Kalau rasa boleh dimakan
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
16
Itulah adat sebenar adat

Adat turun dari syarak


Diikat dengan hukum syareat
Itulah pusaka turun temurun
Warisan yang tak putus oleh cencang
Yang menjadi galang lembaga
Yang menjadi ico dengan pakaian
Yang digenggam dipeselimut

Adat yang keras tidak tertakik


Adat lunak tidak tersudu
Dibuntal singkat, direntang panjang
Kalau kundur berdenting-denting
Kalau berjela-jela
Itulah adat sebenar adat
Yang dipakai orang Melayu5
Dari kutipan di atas jelaslah betapa bersebatinya adat Melayu dengan ajaran Islam. Dasar
adat Melayu menghendaki sandarannya kepada sunnah Nabi dan Kitab Suci Al-Qur’an.
Prinsip itulah yang tak dapat diobah alih, tak dapat dibuang, apalagi dihilangkan. Itulah yang
disebut Adat sebenar adat.
Adat Yang Diadatkan
Adat ini adalah adat yang dibuat oleh para penguasa pada suatu kurun waktu dan masa
berlakunya sepanjang belum dirubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat berobah-obah
sesuai dengan perkembangan zaman dan situasi yang mendesak dan dapatlah disamakan
dengan “peraturan pelaksanaan” dari sesuatu ketentuan adat.
Perobahan itu terjadi karena penyesuaian diri dengan perkembangan zaman dan
perkembangan pandangan dari pihak penguasa sesuai dengan pepatah : “ sekali air bah, sekali
tepian beralih”. Dalam ungkapan-ungkapan kita jumpai kata-kata demikian :
Adat yang diadatkan
Adat yang turun dari raja
Adat yang dating dari datuk

5 Ungkapan ini dikumpulkan dari berbagai pihak, termasuk nyanyi panjang, Bilang Undang yang masih terdapat
di dalam masyarakat
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
17
Adat yang cucur dari penghulu
Adat yang dibuat kemudian

Putus mufakat adat berobah


Bulat kata adat berganti
Senjang kain ia lekang
Beralih musim ia layu
Bertukar angina ia melayang
Beralih baju ia tercampak
Adat yang dapat dibuat-buat6
Dalam hal ini termasuk syarat-syarat dan sifat manusia yang baik dan ideal berdasarkan
pandangan adat melayu seperti terdapat dalam ungkapan di bawah ini :
“Sebermula adapun syarat menjadi raja itu, sekurang-kurangnya mau atas empat perkara ;
pertama-tama tua hati betul dan kedua bermuka manis dan ketiga berlidah fasih dan keempat
bertangan murah adanya. Demikianlah syarat sekurang-kurangnya bagi segala raja-raja itu.
Demikian lagi, hukumnya pun atas empat perkara jua adanya ; pertama-tama hukum yang
adil, dan yang kedua hukum mengasihani, dan ketiga hukum kekerasan dan keempat berani”.
7

Selanjutnya dikatakan pula tentang sifat-sifat yang baik adalah : “ syahdan maka lagi
adalah yang dikehendaki oleh istiadat orang Melayu itu dan yang dibilangkan orang yang
majlis, yaitu apabila ada ia mengada ia atas sesuatu kelakuan melainkan dengan pertengahan
jua adanya. Yakni daripada segala kelakuan dan perbuatan dan pakaian dan perkataan dan
makanan dan perjalanannya, sekalian itu tiada dengan berlebih-lebihan dan dengan
kekurangan, melainkan sekaliannya itu diadakan dengan keadaan yang sederhana jua adanya.
Maka orang itulah yang dibilang anak yang majelis. Tambahan pula dengan adab pandai ia
menyimpan dirinya. Maka bertembah-tambahlah landib atau sindib adanya, seperti kata
hukama; “hendaklah kamu huukumkan kerongkongan kamu tatkala dalam majelis makan, dan
hukukmkan matamu tatkala melihat perempuan, dan tengahkan lidahmu daripada banyak
perkataan yang sia-sia dan tulikan telingamu daripada perkataan yang keji-keji. Maka apabila
sampailah seseorang kepada syarat ini, ia itulah orang yang majelis namanya”. 8

6 Nyanyi Panjang dan Bilang Undang


7 Dr. Panuti H. M. Sujiman, Adat Raja-raja Melayu
8U. I. Press Jakarta 1983
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
18
Selanjutnya patuah-patuah yang di ajarkan oelh raja Ali Haji dalam “Gurindam Dua
Belas”-nya yang terkenal itu, memberikan pula bagi anggota masyarakat Melayu bagaimana
seharusnya orang Melayu bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan oleh
adat Melayu. Gurindam Dua Belas itu mengandung dua belas pasal dan semua pasal berisi
tuntunan bagaimana sikap yang diinginkan oleh adat Melayu. Sebagai ilustrai saya kutip
beberapa pasal, yaitu :
Pasal Kelima
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
Sangat memeliharakan yang sia-sia
Jika hendak mengenal orang yang mulia
Lihatlah kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang yang berilmu
Bertanya dan belajar tiadalah jemu

Jika hendak mengenal orang yang berakal


Didalam dunia mengambil bekal
Jika hendak melihat orang yang baik perangai
Lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai

Pasal Keduabelas
Raja bermufakat dengan menteri
Seperti kebun berpagarkan duri
Betul hati kepada raja
Tanda jadi sebarang kerja
Hukum adil atas rakyat
Tanda raja beroleh inayat
Kasihkan orang yang berilmu
Tanda rahmat atas dirimu
Hormat akan orang yang pandai
Tanda mengenal kasa dan cindai

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
19
Selanjutnya oleh para penguasa (raja) diatur pula hak-hak dan kewajiban para kaula
menurut tingkat-tingkat sosial mereka. Diatur hak-hsk istimewa raja dan para pembesar,
seperti dalam bentuk rumah, bentuk dan warna pakaian, kedudukan dalam upacara-upacara
dan larangan bagi rakyat biasa untuk memakai dan mempergunakan jenis yang sama. Dengan
demikian terciptalah ketentuan-ketentuan yang berisi suruhan dan tegahan atau perpantangan.
Disamping itu tercipta pula kelas-kelas dalam masyarakat, yang pada umumnya terdiri dari :
 Raja dan anak raja-raja
 Orang baik-baik, dan
 Orang kebanyakan
Stratifikasi sosial dalam masyarakat Melayu terdiri dari tiga tingkatan itu telah
menciptakan pula hak dan kewajiban yang berbeda bagi tiap-tiap tingkatan terseut. Sebagai
contoh saya kutip sebagai berikut:
“ pasal yang menyatakan yang tertengah kepada adat raja-raja Melayu, tiada boleh
dipakai orang keluaran, yaitu, Pertama rumah yang bersayap layang atau jamban dan pagar
kampung yang tertutup diatasnya. Dan rumah beranak keluang dan rumah yang berpintu sama
tengahnya. Dan geta yang lima sulur bayungnya, dan tilam berulas kuning dan berbanta yang
bersibar kuning. Dan tikar yang berhuma kuning, dan baju pandakpun - yaitulah baju lepas-
kuning. Dan tilam pandak dan tudung hidangan kuning, dan sapu tangan tuala kuning. Dan
memakai kain nipis berbayang-bayang.
Tiada boleh berpayung dihadapan istana raja dan tiada boleh berkasut pada majelis balai
raja. Dan tiada boleh duduk bertelekan dihadapan raja, dan tiada boleh bersenda-seenda
dihadapan raja. Dan tiada boleh melintangkan keris pada seketika menghadap raja. Dan tiada
bolh memakai hulu keris panjang yang berkunam tutupnya. Dan tiada boleh membawa senjata
yang tiada bersarung ke hadapan raja besar. Dan jangan banyak tertawa-tawa di hadapan raja,
dan jangan berkipas-kipas karena panas dihadapan raja. Dan jangan menyangkutkan kain atau
baju atau satupun sapu tangan ke atas bahu di hadapan raja. Dan tatkala duduk pada majelis
jangan menentang pada raja. Dan adakala raja itu menyorongkan sesuatu daripada jenis
makanan atau piala minuman maka hendaklah segera disambut piala itu atau lainnya. Maka
kita ambil satu cawan, letakkan ke bawah, maka piala itu disembahkan ke bawah duli seraya
kita undur duduk pada tempat kita, serta memberi hormat. Maka barulah kita makan atau
minum. Bersalahan yang diangkat oleh penjawatnya, tidaklah seperti itu adabnya, melainkan
sekedar makanlah dengan laku dan sederhana. Dan lagi jika raja mengurniai persalin akan kita
dari tangan baginda sendiri atau dibawa oleh penjawatnya kepada kita, maka hendaklah kita

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
20
ambil, kenakan pada tubuh kita ; yakni kita pakailah pakaian itu di hadapan majelis baginda
itu juga, serta memberi hormat kepada raja. Di dalam itu, jika kita tiada pakaipun boleh, tiada
menjadi keji. Akan tetapi adalah kata Melayu kurang adab namanya”. 9
Contoh lain saya kutip dari kitab Babul Qawaa’id dari Kerajaan Siak Sri Indrapura : 10
Pasal Empat
“ Kuasa melarang orang yang hendak menghadap Sri Paduka Sultan jikalau orang itu
naik sahaja tidak memberitahu kepada Penghul Balai waktu Sri Paduka Sultan bersemayam.”
Pasal Lima
“ Kuasa melarang dengan keras kepada sekalian orang besar-besar, datuk-datuk,
pegawai-pegawai, jurutulis-jurutulis yang bekerja dating ke balai jikalau tiada memakai baju
kot seluar pentelon sepatu dan kopiah.”
Pasal Tujuh
“ jikalau hamba rakyat atau siapa-siapa juga tiada dikecualikan orangnya hendak
menghadap atau dating ke balai tiada boleh berkain gumbang seperti yang tersebut dalam
Ingat Jabatan bahagian yang kesebelas pada pasal lima, maka jika berkain gumbang kuasa
Penghulu Balai menghalaunya dikecualikan jikalau orang terkejut ditengah jalan karena
hendak meminta pertolongan kepada polisi apa-apa kesusahannya.”
Dari contoh-contoh yang dikemukakan itu dan yang merupakan adat yang diadatkan, kita
melihat terdapat beberapa perkembangan sesuai dengan kemajuan zaman.
Tokoh ideal di zaman Malaka dianggap cukup baik jika telah memenuhi empat sifat dan
empat syarat, tetapi dizaman Kerajaan Riau telah dikembangkan oleh Raja Ali Haji dalam
Gurindam Dua Belasnya yang terdiri dari 12 pasal dan tiap-tiap pasal beberapa jenis sifat
yang baik dan yang tidak baik.
Ukuran sopan santun dizaman Kerajaan Malaka telah berkembang dizaman Kerajaan
Siak Sri Indrapura, dimana para pejabat kerajaan diharuskan berpakaian sesuai perkembangan
zaman, yaitu pakai baju kot dan seluar pentelon.
Dalam proses perjalanan sejarah Adat Istiadat Melayu, maka adat yang diadatkan
mengalami berbagai perobahan dan variasi. Hamper dapat dipastikan, bahwa adat ini
merupakan adat yang paling banyak ragamnya, sesuai dengan wilayah dimana ia tumbuh dan
berkembang. Keadaan tersebut lebih dimungkinkan lagi di daerah Riau ini, karena di daerah
Riau ini terdapat banyak kerajaan yang tersebar dari kepulauan sampai ke hulu-hulu

9 Dr. Panuti, Ibid


10 Babul Qawaa’id, Siak Sri Indrapura
.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
21
sungainya. Tiap-tiap kerajaan tentulah mempunyai corak dan varisinya sendiri-sendiri, yang
disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang sejarahnya serta pengaruh yang masuk kesana.
Jika kita lebih menukikkan perhatian kita kepada adat yang diadatkan ini di seluruh
wilayah provinsi Riau, akan kita jumpai banyak perbedaan den persamaan diantara kerajaan-
kerajaan tersebut. Tetapi perbedaannya hanya terbatas dalam masalah tingkat adat ini dan adat
yang teradat saja, sedang adat yang sebenar adat (fundamental) tetap sama.
Demikian pula halnya dengan ketentuan-ketentuan dalam upacara-upacara, seperti dalam
upacara nikah kawin dan upacar-upacar yang menyangkut daur hidup dan sebagainya.
Adat Yang Teradat
Adat ini merupakan consensus bersama, dimana sesuatu sikap, tindakan atau keputusan
musyawarah bersama yang dirasakan cukup baik, sehingga untuk peristiwa atau tindakan
yang sama sifatnya seperti yang terdahulu, maka tolak ukurnya dipakai sikap, tindakan atau
keputusan yang telah pernah diambil. Dengan demikian kebiasaan demikian dijadikan
pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan turun temurun. Oleh sebab itu maka adat
yang teradat inipun dapat berobah-obah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang
kemudian. Tingkat adat inilah yang dapat disebut sebagai “tradisi”.
Di dalam ungkapa adat disebutkan sebagai berikut :
Adat yang teradat
Dating tidak berberita
Pergi tidak berkabar

Adat disarung tidak berjahit


Adat berkelindan tidak bersimpul
Adat berjarum tidak berbenang

Yang terbawa burung lalu


Yang tumbuh tidak ditanam
Yang kembang tidak berkuntum
Yang bertunas tidak berpucuk

Adat yang dating kemudian


Yang diseret jalan panjang
Yang bertenggek disampan lalu

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
22
Yang berlabuh tidak bersauh
Yang berakar tidak berurat tunggang
Itulah adat sementara
Adat yang dapat di alih-alih
Adat yang dapat ditukar salin
Pelanggaran terhadap adat ini, sanksinya tidaklah seberat seperti pada kedua tingkat adat
yang di atasnya. Kepada pelanggar hanya diberikan teguran atau nasihat oleh pemangku adat
atau oleh orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun demikian sipelanggar tetap
dianggap sebagai seorang yang kurang adab atau yang lebih berat sebagai seorang yang tidak
tahu adat.
Karena ketentuan-ketentuan adat ini biasanya tidak tertulis, maka pengukuhannya
dilestarikan dalam ungkapan yang disebut Pepatah Adat atu Undang Adat. Apabila terjadi
sesuatu kasus, diadakanlah musyawarah dan dalam musyawarah itu dipergunakanlah
Ungkapan Adat yang disebut Bilang Undang. Hal ini dijelaskan dalam ungkapan sebagai
berikut :
Rumah ada adatnya
Tepian ada bahasanya
Tebing ditingkat dengan undang
Negeri dihuni dengan lembaga
Kampung dikungkung dengan adat

Kayu besar berkayu kecil


Kayu kecil beranak laras
Laut seperintah raja
Rantau seperintah datuk
Luhak seperintah penghulu
Ulayat seperintah batin

Anak rumah tangga rumah


Berselasar tangga turun
Bertelaga tangga naik
Pusaka banyak pusaka
Pusaka di atas tumbuh

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
23
Hilang adat karena dibuat
Hilang lembaga karena diikat
Selanjutnya Undang itu mempunyai sifat-sifat, petunjuk-petunjuk sebagaimana yang
tersirat dalam ungkapan sebagai berikut :
Hukum sipalu-palu ular
Ular dipalu tidak mati
Kayu pemalu tidak patah
Rumput dipalu tidak layu
Tanah dipalu tidak lembang

Hukum jatuh benar terletak


Gelak bederai timbal balik

Undang menarik rambut dalam tepung


Rambut ditarik tidak putus
Tepung tertarik tidak berserak

Minta wasiat kepada yang tua


Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang cerdik
Minta berani kepada hulubalang
Minta daulat kepada raja
Minta suara kepada enggang
Minta kuat kepada raja

Yang kesat diampelas


Yang berbongkol ditarah
Yang keruh dijernihkan
Yang kusut diuraikan
Sangat banyak ungkapan-ungkapan dan tak mungkin dikemukakan di sini semua. Hanya
di sini dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih dikenal sebagai hukum
tidak tertulis, telah meninggalkan warisan kepada kita dalam bentuk Undang atau Ungkapan
dan Pepatah Petitih.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
24
Upacara-Upacara Adat
Dalam kesempatan ini saya tidak dapat hendak mengemukakan pengaturan Adat dalam
masalah politik/pemerintahan, ekonomi yang berlandaskan kekeluargaan dan masalah sosial
lainnya, karena keterbatasan kesempatan. Oleh sebab itu saya hanya akan mengemukakan hal-
hal yang menyangkut upacara-upacara adat di daerah Riau.
Sungguhpun demikian, tentunya tidaklah mungkin dalam kesempatan yang singkat ini
akan dapat diuraikan semua upacara-upacara yang ada. Sebagai sampel hanya akan saya
kemukakan Upacara Perkawinan dan Upacara Menujuh Bulan atau disebut juga Upacara
Menyirih.
Disamping kedua macam upacara tersebut, masih terdapat berbagai upacara, diantaranya
berbagai upacara yang menyangkut daur hidup, membuka hutan, membuka tanah, mendirikan
rumah, meramu bahan-bahan rumah, menyemah laut (menyemah ikan terubuk dsb),
penabalan raja dan orang-orang besar.
Upacara-upacara yang bercorak non-Islam, seperti menyemah laut, membuka hutan atau
tanah, meramu bahan bangunan dan sejenis itu, biarpun tidak tegas-tegas dilarang, tetapi
lambat laun sudah ditinggalkan dan punah dengan sendirinya.
Dalam upacara-upacara ini memang terdapat bermacam-macam pengaruh, mulai dari
pengaruh animisme, Hindu Budha dan terakhir disesuaikan dengan moral Islam. Pengaruh-
pengaruh terdahulu yang menyalahi ketakwaan kepada ALLAH SWT dihilangkan dan yang
tidak menyalahi kaedah Islam tetap dipertahankan.
Upacara Perkawinan
Sebelum sampai kepada upacara puncak, yaitu akad nikah dan bersanding, terlebih
dahulu dilalui proses yang panjang. Mulai dari “meresek”, kemudian meminang, antar tanda
sampai antar uang hantaran, tidaklah ada seremoni yang khusus, kecuali adanya kata berjawab
dan gayung bersambut antara wakil pihak laki-laki dengan pihak wanita, terutama sewaktu
menghantar tanda dan menghantar uang belanja/hantaran. Dalam tiap-tiap kesempatanitu,
“tepak sirih” memegang peranan penting. Tepak sirihlah merupakan ucapan selamat dating
dan tepak sirih pula menjadi pembuka kata dalam tiap perundingan. Tepak sirih merupakan
lambang perdamaian. Jika masing-masing pihak telah memakan sirih yang telah disodorkan
kepadanya, berarti segala sesuatu telah dapat dirundingkan secara damai dan penuh toleransi.
Setelah proses tersebut dilalui, sampailah kepada puncak upacara yang memakan waktu
beberapa hari, dipihak pengantin wanita diadakan upacara-upacara : mandi berlangir, upacara
berandam, upacar berinai yang kesemuanya itu dilakukan sebelum upacara Akad Nikah. Bagi

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
25
pihak laki-laki keadaannya hamper sama, tetapi upacara mandi berlangir itu dapat
ditinggalkan. Semua upacara ini merupakan perlambang :
Mandi berlangir,selain membersihkan tubuh, juga merupakan perlambang dimana
“kotoran” masa lalu harus dibuang dan ditinggalkan dalam memasuki penghidupan yang baru.
Upacara berandam, dimana anak rambut di kening dicukur dan dirapikan, selain
maksudnya memperindah diri, juga merupakan perlambang dari masa remaja masuk ke masa
dewasa, karena waktu dahulu para remaja puteri memelihara anak rambut dan apabila
memasuki masa dewasa/ berumah tangga, anak rambut sebagai pertanda remaja harus
dibuang.
Upacara berinai, dimana telapak tangan dan telapak kaki di balut dengan daun inai yang
telah ditumbuk dan setelah kering dan dibersihkan akan meninggalkan warna merah pada
telapak tangan dan telapak kaki. Daun inai adalah sejenis tumbuhan yang dianggap
mengandung banyak kekuatan sehingga diharapkan akan dapat memberikan kekuatan lahir
batin, serta memberikan kesegaran.
Tiap-tiap kegiatan ini selalu disertai dengan upacara Tepuk Tawar. Yang menepung
tawari ini terdiri dari orang tua-tua atau yang dituakan dan selalu berjumlah ganjil, yaitu lima,
tujuh, Sembilan dan sebelas. Jumlah penepung tawar ini juga menunjukkan status sosial orang
yang ditepung tawari. Orang kebanyakan lima orang penepung tawar, orang baik-baik tujuh
orang, anak raja-raja Sembilan orang dan raja-raja sebelas orang.
Adapun maksud tepung tawar tersebut adalah untuk meminta berkat dari orang tua=tua
atau yang dituakan, sehingga terhindar dari mara bahaya. Selain itu, setiap kegiatan ini ditutup
dengan pembacaan doa menurut agama Islam.
Setelah semua upacara tersebut selesai, menginjak pula kepada upacara akad nikah.
Sebelum akad nikah ini dilaksanakan, kadhilah yang bertanggungjawab atas terpenuhinya
syarat-syarat yang ditentukan oleh syareat Agama Islam. Hal ini patut dikemukakan, bahwa
syarat perkawinan tidak boleh menyimpang dari hukum Islam dan dalam upacara inilah
norma ke Islaman sangat menonjol dan suasana ke Islaman sangat dirasakan. Disini pulalah
dapat terlihat bersebatinya upacara adat dengan agama Islam, karena setelah upacara akad
nikah terlaksana, dilanjutkanpula dengan upacara Tepung Tawar dan pembacaan doa menurut
ajaran Islam.
Setelah selesai upacara akad nikah dengan segala peradatannya, pengantin laki-laki di
antar pulang kerumahnya kembali dan belum dibolehkan bercampur dengan isterinya, karena
masih ada satu lagi upacara yang harus dilalui. Biasanya upacara akad nikah ini dilaksanaka

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
26
pada malam hari dan baru besok siangnya pengantin laki-laki diantar kembali ke rumah
pengantin wanita dengan suatu upacara yang amat meriah, upacar ini disebut “pengantin
lansung” atau “bersanding”. Kalau pada akad nikah pengantin laki-laki dan pengantin wanita
belum dipertemukan, maka pada waktu bersanding inilah baru kedua sejoli tersebut
dipertemukan dan didudukkan bersanding. Pada upacara “pengantin lansung” ini, sudah pula
menjadi adat resam, bahwa pengantin laki-laki yang di arak menuju ke rumah pengantin
wanita itu, diiringi dengan bunyi-bunyian serta lagu-lagu yang memuji ALLAH dan Rasul-
Nya Muhammad SAW.
Setelah sampai dipinty gerbang rumah pengantin wanita, iring-iringan pengantin laki-laki
tersebut tidak dibenarkan masuk oleh ahli-ahli silat yang telah menunggu di sana dan pintu
gerbang telah ditutup oleh semacam “kubu”. Untuk dapat memasuki pintu gerbang, maka
iring-iringan tersebut menampilkan pula ahli silatnya dan terjadilah “perang tanding”.
Sementara “perang tanding” berlangsung, dari kedua belah pihak terjadi pula “perang” beras
kunyit, dimana kedua belah pihak saling melemparkan beras kunyit.
Setelah pesilat-pesilat yang menunggu dapat dikalahkan dan “kubu” dapat dirobohkan,
maka pengantin laki-laki melanjutkan perjalanannya sampai ke muka pintu rumah. Di sana
masih ada pula lagi hambatan, karena pintu masih tertutup dan belum diizinkan untuk masuk,
sekiranya syarat-syarat yang diajukan oleh penjaga pintu tidak dipenuhi. Di sini terjadilah soal
jawab yang biasanya disampaikan dengan cara berpantun antara penunggu pintu dan yang
ingin masuk. Setelah bersoal jawab dan segala syarat-syarat dipenuhi, yaitu membayar
“cukai” pada yang menjaga pintu, barulah pengantin laki-laki dibenarkan masuk dan diantar
terus ke atas pelaminan, dimana pengantin wanita telah duduk menunggu.
Semua upacara di atas melambangkan, bahwa pihak laki-laki harus berjuang dulu dengan
mengerahkan segenap daya dan tenaganya, jika ia hendak mencapai apa yang diinginkannya.
Hajat dan cita-cita tidak akan tercapai jika tidak dengan perjuangan.
Setelah kedua pengantin disandingkan dipelaminan keduanya saling menyuapkan sirih
yang satu kepada yang lainnya. Pertemuan pertama didahului dengan saling memberikan
sirih, sehingga terdapat saling pengertian dan perdamaian diantara keduanya.
Setelah selesai bersanding, keduanya didudukkan menghadapi hidangan yang dihadiri
oleh orang tua-tua dan terkemuka yang pada umumnya wanita untuk melangsungkan upacara
“makan nasi hadap-hadap”. Dalam upacara ini terdapat beberapa variasi antara daerah yang
satu dengan daerah lainnya. Di Indragiri, pengantin ini dihidangkan panggang ayam yang
disembunyikan di dalam timbunan nasi dan keduanya harus merogoh panggang ayam itu dan

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
27
saling berebutan. Di daerah lainnya cukup hanya dengan bersuap-suapan nasi dan apabila
telah selesai, pengantin wanita membersihkan tangan pengantin laki-laki. Dengan selesainya
upacara makan nasi hadap-hadap ini, upacara itu selesailah sudah dan pengantin laki-laki
tetaplah tinggal bersama isterinya.
Selanjutnya sebagai penutup dari upacara perkawinan ini, yaitu biasanya tiga hari setelah
upacara bersanding, diadakan upacara “Mandi Taman” dan makan “Nasi Damai”. Untuk
memberikan gambaran saya kutip dari buku Adat Raja-Raja Melayu.11
Maka lalulah Raja Ampuan dengan Encik Puan menganturkanlah segala perhiasan itu di
tempat permandian dengan patutnya. Maka lalu Encik Puan persembahkan kepada bunda
Baginda. Maka titah bunda Baginda, “Bawalah mandi”. Encik Puan dengan Raja Ampuan lalu
masuk ke dalam peraduan Baginda itu, mengenakkan pakaian dan perhiasan, bagaimana
pakaian kahwinnya, demikianlah.
Setelah sudah, lalu dipimpinnya tangan Baginda dua laki isteri dibawa turun kepada
tempat permandian. Maka lalulah berjalan naik, lalu duduk di atas peterana yang keemasan, di
atas balai gading itu diadap oleh bunda Baginda dengan segala anak raja-raja, dengan segala
pertuanan. Dan seketika duduk Baginda laki isteri di atas balai gading itu, maka lalu disalin
oranglah segala pakaian Baginda itu yang terkena kepada Baginda itu. Maka tinggallah baju
basahan yang di dalam. Maka dikeluarkannyalah tangan kedua, maka tinggallah baju itu di
lehernya, menutup dadanya- artinya baju itu dikalung-kalungkannya.
Maka disuntingkannya bunga seroja dikarang dengan emas ditatah dengan permata
berbagai-bagai, maka disuntingkanlah kepada Baginda laki isteri. Maka lalu dibawa turun,
semayam di atas kuda-kuda di dalam panca persada. Maka dibentangkanlah kain di atas
Baginda itu, empat punca kain itu empat orang memegangnya. Maka dituangkan oranglah air
mandi di atas kain itu.
Maka Raja Ampuan dan Encik Puan pun berdiri menarik kawat emas dan perak setinggi
berdiri Baginda kedua itu. Kemudian maka diambilnya lepas-lepasan oleh Encik Puan, maka
diunjukkannya kepada tangan Raja Ampuan. Maka lalu disambutnya, dibawa kehadapan
Baginda. Maka Baginda laki isteri pun menyemburkan air kepada lepas-lepasan itu, maka
ditarik lepas-lepasan itu sebelah seorang ; demikianlah diperbuat segala lepas-lepasan itu.
Setelah itu dimandikan air setaman, maka dimandikan air tolak bala. Maka tiadalah
tersebut lagi Baginda bersiram itu.

11 Dr. Panuti, Ibid


.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
28
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa dilingkungan masyarakat Melayu
memang jalannya upacara mandi itu diadakan yang kadarnya tentu di sesuaikan dengan status
sosial seseorang.
Setelah upacara mandi selesai, dimana biasanya mereka yang menghadiri juga ikut basah,
dilanjutkan dengan makan “nasi damai”. Setelah kedua pengantin ini mengganti kembali
pakaiannya dengan pakaian upacara, mereka dibawa ke tempat hidangan, dimana telah hadir
anggota keluarga dari kedua belah pihak. Yang dimaksud dengan “perdamaian” itu adalah
bahwa dua keluarga besar akibat perkawinan tersebut telah bergabung dan berserikat.
Upacara Menujuh Bulan
Upacara menujuh bulan ini bermacam-macam juga variasi dan namanya. Ada yang
menamakan “upacara lenggang perut”, ada yang menybutnya “upacara menyrih” dan adapula
yang menyebutnya “upacara menempah bidan”.
Upacara ini dilakukan terhadap wanita hamil sulung, yaitu yang telah genap hamilnya
tujuh bulan. Dalam adat raja-raja Melayu diuraikan sebagai berikut :
“Alkisah peri menyatakan adat segala raja-raja Melayu yang purbakala, raja yang besar-
besar, tatkala isteri Baginda itu hamil. Sampai tjuh bulan lamanya maka dipanggillah bidan
oleh Baginda. Maka disuruh rasa perut istri itu. Maka dirasalah oleh bidan. Maka berdatang
sembah bidan : “ mohn ampun Tuanku, akan hal paduka adinda ini tujuh bulanlah sudah
lamanya hamil”. Maka berjaga-jaga dua malam, lalu diinai di atas pelaminan serta dengan
perhiasannya : berdian dan berpuan dan berketur dan berbedak pudi. Dibubuh satu ceper, di
dalam ceper itu beras kunyit dan bunga rampai. Maka datanglah Imam dan Khatib dengan
orang tua-tua empat lima orang. Maka dijemput sedikit beras kunyit dengan bunga rampai itu,
ditaburkan ke atas ribaan paduka ananda itu. Kemudian maka ditelentangkan tapak tangannya,
lalu diambil inai itu, diasapkan kepada tempat perbaraan, maka dibubuhkan keatas tapak
tangan yang kanan, kemudian yang kiri. Setelah itu selesailah yang demikian itu, maka
menyembah ia kepada orang yang membubuhkan inai itu kepada tiap-tiap seorang. Maka
dibacakan oleh Imam doa selamat. Maka lalu diangkat oranglah terenang air dengan nasi
kunyit. Setelah sudah makan nasi itu, maka dikeluarkanlah peminangan dengan perasapan.
Maka dibacakan Imam doa selamat.
Syahdan kepada esok harinya, disediakan kain tujuh helai, masing-masing dengan rupa
raginya, dan sikat dengan minyak dibubuh di dalam ceper, dan pucuk nipah sebatang. Maka
perempuan itupun dibaringkan oleh bidannya di atas tilam. Dan kain yang tujuh helai itu
diambil bidannya sehelai disusupkan ke bawah pinggangnya tentang perut. Maka dipegang

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
29
oleh bidan punca kain itu kiri kanan, lalau dilenggang-lenggangkannya hingga ketujuh
kalinya. Dan kain yang kemudian itu diberikan kepada bidannya. Dan minyak itu disapukan
kepada perutnya. Maka disikatkan kepada perutnya turun ke bawah pinggangnya. Dan pucuk
itu diserapnya serta katanya : “hai perut, licinlah engkau seperti pucuk dilancarkan”. Maka
pucuk itupun dilakukan dari atas perutnya ke kaki.12
Upacara seperti ini sampai sekarang masih dilakukan orang dalam masyarakat Melayu
dan di sana sini telah diadakan perobahan, seperti pucuk nipah itu telah ditiadakan karena
kebiasaan mengambil kekuatan dari pucuk nipah ini merupakan kebiasaan animism.

D. SELAYANG PANDANG KEEMASAN MELAYU DI NUSANTARA


Keprisatu.com - Malayu atau Melayu hingga kini terkadang diidentikkan dengan Riau
dan sekitarnya. Mengapa demikian? Di masa lalu, Riau –sekarang menjadi Provinsi Riau dan
Provinsi Kepulauan Riau– telah ditandai beberapa gelombang migrasi nenek moyang bangsa
Indonesia. Gelombang migrasi pertama konon menunjukkan ciri ras Weddoid yang datang
sesudah zaman es terakhir. Ras ini disebut-sebut sebagai ras pertama yang menghuni
Nusantara.
Sisa-sisa nenek moyang ras gelombang pertama ini masih ada sampai sekarang, yang
merupakan golongan tersendiri di Riau dan disebut sebagai Orang Sakai, Orang Hutan, dan
Orang Kubu. Orang-orang asli ini memiliki populasi yang tidak banyak. Orang Sakai
mendiami Kecamatan Kuno-Darussalam, Kabupaten Kampar, dan Kecamatan Mandau,
Kabupaten Bengkalis. Jumlahnya terbatas, kira-kira 2160 jiwa. Orang Hutan mendiami Pulau
Penyalai di Kecamatan Kuala Kampar di Kabupaten Kampar, dengan jumlah sekitar 1494
jiwa.
Gelombang migrasi pertama terjadi pada periode 2500-1500 SM dengan berciri ras Proto
Melayu yang merupakan pendukung kebudayaan zaman batu baru. Mereka menyebar ke
Pulau Sumatra melalui Semenanjung Melayu. Sisa mereka terdapat di Riau, yang dikenal
sebagai Orang Talang Mamak dan Orang Laut. Orang Talang Mamak menetap di Kecamatan
Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, dengan populasi sebanyak
3276 jiwa (1980). Orang Laut menghuni Kecamatan Reteh dan Kecamatan Mandah,
Kabupaten Indragiri Hilir, serta di Kecamatan Tambelan, Kepulauan Riau, sebanyak 2849
jiwa. Selain itu, ada golongan orang-orang asli lainnya yaitu Orang Akit yang mendiami
Kecamatan Rupat, Bengkalis, Mandau, Tebing Tinggi di Kabupaten Bengkalis, sebanyak
11625 jiwa.

12 Dr. Panuti, Ibid


.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
30
Gelombang migrasi ras Melayu kedua datang sesudah tahun 1500 SM yang disebut
Deutro Melayu. Golongan ini menyebabkan Proto Melayu menyingkir ke pedalaman, sisanya
bercampur dengan pendatang baru. Proses selanjutnya, orang-orang Deutro Melayu
bercampur lagi dengan pendatang-pendatang dan berbagai golongan berasal dari berbagai
penjuru Nusantara. Percampuran itu menghadirkan suku-suku bangsa Melayu. Mereka inilah
penduduk mayoritas yang mendiami kawasan Riau. Suku-suku bangsa Melayu Riau
menghadirkan sub-sub suku bangsa Melayu Siak, Melayu Bintan, Melayu Rokan, Melayu
Kampar, Melayu Kuantan, dan Melayu Indragiri, dengan alat komunikasi utama (lingua
franca) bahasa Melayu tersebar ke seluruh pelosok Nusantara.
Bahasa Melayu Riau dibedakan sebagai dialek bahasa Melayu Riau kepulauan dan pesisir
serta dialek Melayu Riau daratan. Dialek pertama adalah sub-dialek Tambelan, Tarempa,
Bunguran, Singkep, Penyengat, dan lain-lain. Sementara dialek kedua adalah sub-dialek
Kampar, Rokan, Kuantan, Batu Rijai, Peranap, dan lain-lain. Di samping itu masih terdapat
bahasa-bahasa orang asli seperti bahasa Sakai, bahasa Orang Laut, bahasa Akit, dan bahasa
Talang Mamak.
Jejak-jejak budaya di kepulauan riau : selayang pandang tentang keemasan malayu di
nusantara:
Malayu atau Mèlayu hingga lebih diidentikan dengan Kepulauan Riau dan sekitarnya.
Mengapa demikian? Di masa lalu, Riau– kini Provinsi Riau – telah ditandai beberapa
gelombang migrasi nenek moyang bangsa Indonesia. Gelombang migrasi pertama konon
menunjukkan ciri ras Weddoid yang datang sesudah zaman es terakhir, disebut ras pertama
yang menghuni Nusantara. Sisa-sisa nenek moyang ras gelombang pertama ini masih ada
sampai sekarang yang merupakan golongan tersendiri di Riau mereka disebut Orang Sakai,
Orang Hutan dan Orang Kubu adalah orang-orang asli” dengan populasi yang tidak banyak.
Orang Sakai mendiami Kecamatan Kuno-Darussalam, Kabupaten Kampar dan di Kecamatan
Mandau Kabupaten Bengkalis jumlahnya terbatas (2160 jiwa); Orang Hutan mendiami Pulau
Penyalai di Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Kampar (1494 jiwa).
Gelombang migrasi pertama terjadi pada periode 2500-1500 SM berciri ras Proto Mèlayu
merupakan pendukung kebudayaan zaman batu baru menyebar ke Pulau Sumatra melalui
Semenanjung Mèlayu. Sisa mereka terdapat di Riau: Orang Talang Mamak dan Orang Laut.
Orang Talang Mamak di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat di Kabupaten
Indragiri Hulu (3276 jiwa) (1980); Orang Laut di Kecamatan Reteh dan di Kecamatan
Mandah Kabupaten Indragiri Hilir serta di Kecamatan Tambelan Kabupaten Kepulauan Riau

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
31
(2849 jiwa). Selain ada golongan orang-orang asli lainnya yaitu Orang Akit mendiami
Kecamatan Rupat, Bengkalis, Mandau, Tebing Tinggi di Kabupaten Bengkalis (11625 jiwa).
Gelombang migrasi ras Mèlayu kedua datang sesudah tahun 1500 SM yang disebut
Deutro Mèlayu yang menyebabkan Proto Mèlayu menyingkir ke pedalaman, sisanya
bercampur dengan pendatang baru. Di dalam proses selanjutnya orang-orang Deutro Mèlayu
bercampur lagi dengan pendatang-pendatang dan berbagai golongan berasal dari berbagai
penjuru Nusantara. Percampuran itu menghadirkan suku-suku bangsa Melayu.
Riau, mereka inilah penduduk mayoritas mendiami kawasan Propinsi Riau meliputi luas
94.568 km². Suku-suku bangsa Mèlayu Riau menghadirkan sub-sub suku bangsa Mèlayu
Siak, Mèlayu Bintan, Mèlayu Rokan, Mèlayu Kampar, Mèlayu Kuantan dan Mèlayu Indragiri
dengan alat komunikasi utama (lingua franca) bahasa Mèlayu tersebar ke seluruh pelosok
Nusantara. Meski bahasa Mèlayu Riau dibedakan sebagai dialek bahasa Mèlayu Riau ke-
pulauan dan pesisir (pertama); dialek Mèlayu-Riau-daratan (kedua)
Dialek pertama adalah sub-dialek Tambelan Tarempa Bunguran, Singkep, Penyengat dan
lain-lain; dialek kedua adalah sub-dialek Kampar, Rokan, Kuantan, Batu Rijai, Peranap dan
lain-lain; disamping itu masih terdapat bahasa-bahasa orang asli seperti bahasa Sakai, bahasa
Orang Laut, bahasa Akit dan bahasa Talang Mamak.
Mèlayu mencakup dasar pengertian Mèlayu sebagai ras; Mèlayu sebagai etnis (suku
bangsa) dengan adat istiadatnya dan perubahan politik menyebabkannya terberai menjadi
negara-negara dengan bentuk pemerintahan dan kebudayaan Indonesia, Malaysia, Singapura,
Brunei dan Filipina; Mèlayu sebagai suku atau bagian dari suku itu sendiri. Dalam kekinian
Melayu berkehidupan dengan adat istiadat dan bahasa Mèlayu terutama di sepanjang pantai
timur Pulau Sumatra hingga Kalimantan Barat berpusat di Riau (kepulauan dan daratan)
hingga ke Semenanjung Malaka. Mèlayu dapat dipilah berdasarkan kategori:
1) Mèlayu yang tidak totok (tidak murni) merupakan kelompok orang–orang laut/ orang
Sampan yang semula hidup di laut kemudian menetap di daratan di pulau-pulau kecil sekitar
Riau sebagai komunitas-komunitas kecil dengan adat- istiadat Mèlayu dan berbicara dengan
dialek khas seperti orang Galang di Pulau Karas dan Pulau Galang, orang Barok di Pulau
Penuba, orang Kuala di Pulau Kundur dan Pulau Rempang; orang Tambus, Mantang dan
Posek adalah komunitas tetap di laut terdiri dari 7-8 sampan yang berukuran 3-4 meter hidup
berkeluarga dan beranak cucu sambil ber-kelana dari satu tempat ke tempat lain sesuai
keadaan musim.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
32
2) Mèlayu murni atau Mèlayu totok merupakan orang-orang Mèlayu yang lahir berasal
dari Mèlayu itu sendiri berbahasa dan adat-istiadat Mèlayu, artinya semula Mèlayu tidak totok
tetapi memiliki jabatan dan kedudukan, tinggal di lingkungan Riau yang dahulu menjadi pusat
pemerintahan Kerajaan Mèlayu Riau-Lingga di Daik, dan Pulau Penyengat.
2. Eksistensi Malayu di Riau (Masa Kerajaan)
Tahun 400 M merupakan batas antara periode protosejarah dan periode klasik, periode
yang ditandai oleh hadirnya pertukaran budaya (akulturasi) terjadi pada dan di hampir seluruh
Asia Tenggara (Daratan dan Kepulauan). Akulturasi kebudayaan itu adalah dari Cina dan
India, tetapi terutama dari India yang kala itu menduduki “pamor internasional di kawasan
Asia”. Peristiwa pertukaran antar budaya menyebabkan perpaduan dengan menghasilkan
corak-corak khas kebudayaan, ditengarai bentuk-bentuk kekuatan politik kerajaan lama
(busana lama) dengan berbusana baru yakni Hindu-Budha.

Penelitian Obdeyn yang didukung dan dibuktikan penelitian paleogeografi oleh Prof. Dr.
S. Sartono berhasil merekonstruksi bahwa dahulu pantai timur Sumatra pernah ada teluk yang
sangat besar dan menjorok sangat jauh ke daerah pedalaman yakni Teluk Wen. Teluk ini
memanjang dari DAS Batanghari hingga ke pantai timur Sumatra, membelah bagian Sumatra
tengah dan Sumatra Utara. Tentang adanya Teluk Wen ini juga disebutkan oleh Nan-chou-i-
wu-chih dalam kitab (Berita) Cina T’ai-P’ing-Yu-lan bahwa Teluk Wen ini terbentang di
sebelah selatan KoYing dimana terletak Chou-Po dengan nama P’uLei.
Menurut palaeogeografi-Sartono, pada sekitar abad ke-3 M di Teluk Wen berkembang
kerajaan TchuPo, KoYing dan Sanfoshih tetapi karena peristiwa alam dahsyat yakni
terjadinya pengendapan lumpur sehingga Teluk Wen bertambah maju ke timur dan sekaligus
menyebabkan kemunduran dan kejatuhan kerajaan-kerajaan purba tersebut. Setelah kerajaan
KoYing lenyap, muncul kerajaan baru yakni Kant’oli pada abad ke-5 dan ke-6 M dan Moloyu
(Mèlayu) pada abad ke-7 M.
Meskipun letak pastinya belum dapat diketahui namun anjuan Wolters dan Sartono sama-
sama berpendapat bahwa kerajaan TchuPo terletak di Muara Tebo dan Sanfoshih di Muara
Tembesi yang kemudian digantikan oleh kerajaan KoYing dan Moloyu. Kerajaan-kerajaan
yang tergolong Malayu Purba itu berada di sekitar peisir timur pantai Sumatra, tidak jauh dari
ujung bagian utara lajur gunung api Sorik Marapi (kala itu masih sangat aktif), di utara
khatulistiwa meluas ke selatan hingga ke Gunung Dempo (kurang lebih 4° selatan
khatulistiwa).

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
33
Berita Cina K’ang T’ai dalam Wu-shih-kuo-chuan menceritakan bahwa raja ChiaYing
(KoYing) sangat gemar kuda yang diimpor melalui lautan oleh para pedagang dari Yuechih.
Disebutkan Nan-chon-i-wa-chih bahwa tempat pelabuhan pengekspor kuda adalah Ku-nu
(Kanadvipa-baratlaut India) berjarak sekitar 8000 li dari KoYing. TchuPo dan KoYing yang
merupakan kerajaan makmur dan sangat kaya, berlimpah perak, emas, kapur barus dan lada.
Selain itu Berita Cina menyebut pusat-pusat kekuatan politik di Mèlayu Kuno purba itu
mengalami pasang surut hingga muncul kekuatan politik paling berpengaruh yakni kerajaan
Mèlayu dan kerajaan Sri Vijaya, kedua-duanya silih-berganti mengisi sejarah peradaban
Sumatra masa lalu. Kejayaannya melegenda di kawasan Asia. Seiring perjalanan zaman,
Mèlayu dan Sri Vijaya adalah pokok cikal-bakal peradaban Mèlayu Nusantara (Indonesia).
Sejak pujangga Prapanca di dalam Kakawin Nagarakretagama menggunakan istilah
Bhumi Malayu maka istilah inilah seterusnya hidup dipakai untuk menyebut kerajaan-
kerajaan di Sumatra dan pulau-pulau (kepulauan) sekitarnya. Mèlayu identik dengan julukan
Sumatra-Andalas-Bhumimalayu-Suwarnadwipa merupakan ciri yang sulit dilerai dengan ras,
etnis dan peradaban wilayah Nusantara khusus-nya bagi belahan barat Indonesia.
Hakekatnya mempelajari kebudayaan Mèlayu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi Sri
Vijaya. Ironisnya, di kalangan masyarakat luas Mèlayu jauh lebih dikenal dibanding dengan
Sri Vijaya. Apabila Sri Vijaya kemudian “tenggelam” maka Mèlayu tetap dikenang sepanjang
masa sejak zaman purba hingga sekarang. Dalam kaitan ini Pieter J.M. Nas (l986) mengutara
kan bahwa Sri Vijaya merupakan salah satu City-State paling awal dan paling penting yang
eksistensinya didasarkan kepada fungsinya sebagai emporium dan mercantilis yang selalu
berusaha keras memonopoli perdagangan dengan menguasai pusat-pusat komoditi (Jambi,
Lampung Semenanjung Malaka dan Semenanjung Kra).
Dengan ancang-ancang ekspansi politik Sri Vijaya senarai berita prasasti Kota Kapur
(Bangka) 686 M menyiratkan bahwa “mangsa” Sri Vijaya selanjutnya adalah kerajaan
Mèlayu; prasasti Karang Brahi 686 M (N.J.Krom1931) adalah bukti penaklukan Sri Vijaya
atas Mèlayu. Kedudukan ibu kota kerajaan Sri Vijaya adalah City-State yang berlandaskan
maritim dan menguasai perdagangan internasional sehingga pendapatan negri (pajak-pajak
dan upeti-upeti) ditarik dari hasil perdagangan internasional dan masyarakat setempat yang
mayoritas menggiati mata pencaharian kelautan.
Lokasi kerajaan legendaris Sri Vijaya dan Mèlayu menimbulkan polemik ketat di
kalangan sarjana. Namun telah sejak awal N.J. Krom (l926) mengajukan pertanyaan “Waar
heeft dit Oude Malayu nu eigenlijk gebleven?” tetapi Krom pun menjawabnya:

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
34
“Dat de plaats van Malayu op het oogenblik zoo vast staat als in dergelijke gevallen
mogelijk is, hebben in hoofdzaak te danken aan de studie van Rouffaer, die oude
argementen ophalend en nieweu zeer krachtige aan toevoegend, met groote
waarschijnlijkheid heeft aangetoond, dat Malayu het oude Djambi is”
Asumsi Krom itulah yang dianut kebanyakan sarjana seperti G.P.Rouffaer (l921); J.L.
Moens (1924) ; O.W.Wolters (l970;1979) menyebut “dat Malayu het oude Djambi is”
menegaskan Sri Vijaya dan Mèlayu adalah Jambi Kuno. Berbagai pendapat diajukan bahwa
kerajaan Sri Vijaya pernah menaklukan Mèlayu antara tahun 671, dan tahun 685 M saat
Mèlayu kehilangan kemerdekaanya. Kemudian Sri Vijaya berhenti mengirim utusan ke Cina
tahun 742 M; tahun 853 dan 871 M, tetapi kemudian Cina memberitakan bahwa ia menerima
utusan lagi dari Chan-Pei (Jambi).
Tidak dipungkiri bahwa keberadaan kerajaan Sri Vijaya dan Mèlayu banyak diberitakan
dari Berita Cina. Antara lain pendeta I-T’sing di dalam Nan-Chai-ch’i-Kuei-Nai-Fa-Chuan
(catatan ajaran Buddha dari laut selatan); Ta-Tang-Hsi-Yu-Ku-Fa-Kao-Seng-Chuan (catatan
pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India) ia menyebutkan kerajaan-kerajaan di
Nusantara dari barat ke timur: P’olushin, Moloyu (menjadi bagian Shihlifoshih), Mohosin,
Holing, Tantan, Penpen, Chuehlun, Foshihpolo, Oshan dan Mochiaman. Diantara nama-nama
kerajaan itu ada disebut Moloyu (Mèlayu) yang waktu itu ber- pusat di Jambi sedangkan
Shihlifoshih atau Sri Vijaya berpusat di Palembang.
Menurut de Casparis, di kawasan ini sebenarnya ada tiga kerajaan maritim yang
pengaruhnya paling menonjol dan disegani di Asia Tenggara yaitu Mèlayu, Sri Vijaya, dan
Malaka. Hubungan diantara mereka bukanlah saling memusuhi atau saling mendesak
kekuasan dan kekuatan politik (seperti diasumsi para sarjana sebelumnya), melainkan terjalin
berdampingan saling menunjang secara damai-sinambung dan lancar. Sri Vijaya dan Mèlayu
adalah 2(dua) kerajaan yang sama “were two different names of the same kingdom.” namun di
dalam tingkat perjalanan sejarah yang berbeda “or rather different stages of its history”.
De Casparis mengkategorikan kerajaan Mèlayu sebagai kerajaan Mèlayu I dan kerajaan
Mèlayu II yang dipisahkan oleh masa beberapa abad lamanya. Kondisi keberlangsungan dua
kerajaan ini di dalam khasanah sejarah dapat dibandingkan dengan keberadaan dan peristiwa
continuity pada kerajaan Mataram Islam yang juga merupakan lanjutan Bhumi Mataram
(Jawa Kuno) yaitu Mataram I (Hindu) dan Mataram II (Islam). De Casparis mengemukakan:
“if another pilgrims like I-T’sing had visited Jambi in the 12th century he might have
described the political situation there as “Srivijaya which was now Malayu”. The very

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
35
impressive ruins at Muara Jambi, fully explored during the SPAFA Consultative
Workshop on Srivijaya of the 1982, are clear testimony to the greatness of the Sumatra-
nese empire after the end of the 11th century. For this reason we can no longer accept the
current view of the re-emergence of Malayu as a consequence of the decline of Srivijaya.
The material of our disposal clearly suggest that the view of the history of Southern
Sumatra as primarily a struggle between Jambi/Malayu and Palembang/ Srivijaya is
unsatifactory. It now seems likely that Srivijaya and Malayu were two different names of
the same kingdom or rather different stages of its history. Malayu before c.680, Srivijaya
from that time to the middle or the end of the 11th century and again Malayu from the end
of the 11th century till c. 1400, when its role as the predominant maritime power of
Western Indonesia and Malaysia is assumed by Malacca. In my view there was far more
continuity than rivalry between Malayu I – Srivijaya –Malayu II and Malacca. As to the
second Malayu, separated from the first by many centuries from the Bhumi Mataram of
Ancient Java, it was cours by no means identical with the first Malayu, but there was a
certain degree of continuity”
Pandangan de Casparis disetujui oleh Uka Tjandrasasmita yang menambah kan bahwa
istilah “penaklukan” tidak harus diartikan dengan penguasaan penuh, melainkan sebagai
overload di dalam upaya untuk saling mengisi hubungan antar kemaharajaan dan antar si
pemberi upeti (tributary kingdom). Maka keberadaan kerajaan-kerajaan di tanah Mèlayu (Sri
Vijaya dan Mèlayu) bukan penguasaan melainkan kesinambungan dengan derajat dan
kapasitas tertentu. Dalam artikel-nya yang lain De Casparis lebih menegaskan pendapatnya:
“The present paper confirm this view, but also assigns an important place to Malayu as
a link between Srivijaya and Malacca. We would consider Malayu as the first and final
stage in the history of Srivijaya, but, as the name of Malayu has been alive from the 7th
century to the present time, I prefer a different formulation: Srivijaya, an important stage
in the history of Malayu”
Kerajaan Mèlayu I dan Mèlayu II berlangsung terus bahkan ketika inovasi Islam
berkembang di Sumatra dan istilah kerajaan berbusana (berganti kulit) sebagai Kesultanan
Mèlayu III.
Kerajaan Melayu I (Dharmasraya). Sejarah dinasti Liang mencatat: tahun 430-475 M
beberapa kali utusan Holotan, Kant’oli dan Tolang-P’ohwang datang ke Cina. Kant’oli
terletak pada salah satu pulau di laut selatan, adat kebiasaannya sangat serupa dengan

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
36
Kamboja dan Campa. Hasil negrinya yang terutama adalah pinang, kapas dan kain-kain
berwarna. Sejarah dinasti Ming juga mencatat bahwa Sanfosai dahulu disebut Kant’oli.
Menurut G.Ferrand Kant’oli (Berita Cina) adalah Kandari (Berita Arab: Ibn Majid 1462
Masehi) yang diidentifikasi Sri Vijaya terletak di Sumatra berpusat di Palembang. Tetapi
J.L.Moens mengidentifikasi Singkil-Kandari (berita Ibn Majid) sebagai Kant’oli (Berita Cina:
dinasti Liang dan Ming) sedangkan Sanfotsi adalah Mèlayu. Berbeda dengan J.J. Boeles yang
menyebutkan bahwa Kan-t’o-li terletak di Muangthai selatan, dibuktikan dengan masih
adanya desa kuno Khantuli di pantai timur Muangthai selatan. Namun dengan tegas
OW.Wolters menolaknya karena tidak ada satu pun bukti yang mengarah kepada asumsi itu,
menurutnya Kant’oli adalah Sanfotsi (Palembang) yang selalu dihubungkan dengan Sri
Vijaya. Asumsi inilah yang kemudian diikuti oleh Obdeyn yang juga menyatakan bahwa
Kant’oli = Sanfotsi di Palembang (Sumatra selatan).
Polemik tata letak Kant’oli itu kemudian terjawab tuntas oleh rekonstruksi
palaeogeographie Prof. Dr. S. Sartono selanjutnya menjadi landasan pemikiran arkeolog
senior Prof.Dr.R. Soekmono yang menegaskan bahwa Kant’oli adalah salah satu kerajaan
purba yang dahulu pernah berada di Teluk Wen itu (di Kuala Tungkal dan Muara Tembesi)
sebagai embrio kerajaan Mèlayu. Ketegasan ini sesuai dengan keterangan Berita Cina lebih
tua (dinasti T’ang) bahwa datangnya Moloyeu ke Cina tahun 644 dan 645 M.
I-T’sing yang cukup lama menetap di Sri Vijaya menceritakan ketika tahun 671/672
berlayar dari Kanton (Cina) ke Nagapattnam (India), ia singgah belajar bahasa Sanskerta di
Shelifoshih selama 6 bulan, setelah itu menuju Moloyeu selama 2 bulan lalu ke Chiehca
(Kedah) sebelum melanjutkan berlayar ke India. Tahun 685 (14 tahun kemudian) di dalam
perjalanan menuju pulang ia singgah lagi selama 6 bulan di Moloyeu tetapi dikala itu
Moloyeu telah menjadi Shelifoshih. I-T’sing juga menyebutkan berlayar dari Sri Vijaya ke
Mèlayu dan dari Mèlayu ke Kedah memakan waktu 15 hari, dari Mèlayu ke Kedah harus
berganti arah.
Kerajaan Mèlayu II - berkembang pada akhir abad XI M sampai tahun 1400 M. Pada
waktu itu kerajaan ini telah melakukan kontak dengan Jawa, dibuktikan peritiwa sejarah
ekspedisi Pamalayu (1275 M) yakni pengiriman arca Amoghapasa-Lokeswara ke Bhumi
Malayu Sri Krtanagara (Singhasari) ke Mèlayu. Arca ini ditemukan kembali oleh kontrolir
Belanda bernama van den Bosch di Rambahan (hulu Batanghari). Pada bagian lapik arca
tertera prasasti:

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
37
“Bahagia! Tahun Saka 1208 bulan Badrapada, hari pertama tatkala bulan naik, Wuluku
Wage, Kamis, wuku Madangkungan, posisi bintang di baratdaya...saat arca Amoghapasa
Lokeswara dengan empatbelas pengikutnya dan tujuh ratna permata dibawa dari Bhumi Jawa
ke Suwarnnabhumi untuk ditegakkan di (Malayu)-Dharmmasraya sebagai hadiah dari Sri
Wiswarupa-kumara. Maka sang raja Sri Krtanagara Wikramottungga dewa memerintah
Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugata Brahma, Dang
Payangan Hyang Dipangkarasa, Rakryan Dmung Wira menghantarkan Amoghapasa (dengan
harapan) Semoga hadiah ini membuat gembira segenap penduduk negri Malayu termasuk
Brahmana, Ksatrya, Waisya, Sudra dan terutama pusat dengan segenap para Aryya Sri
Maharaja Srimat Tribuwanaraja Mauliwarmmadewa...”
Dengan pengiriman arca tersebut (1347 M) seluruh rakyat Mèlayu merasa gembira
terutama sang raja Srimat Tribhuwana Mauliwarmmadewa; disebutkannya (Malayu)
Dharmmasraya pada prasasti ini memberi kemungkinan besar bahwa pusat kerajaan Mèlayu
berada di Muara Jambi atau di daerah pedalaman Muara Jambi (hulu DAS Batanghari) dekat
Sijunjung (Sei Langsat) dibuktikan oleh adanya temuan Arca Prajnaparamita tanpa kepala di
Candi Gumpung. Selain prasasti pada bagian lapik arca Amoghapasa juga dituliskan pada
bagian punggung arcanya dari masa yang lebih kemudian yakni pemerintahan raja
Adityawarmman (sesudah periode Srimat Tribhuwana).
Prasasti pada punggung arca itu berangka tahun 1347 M menerangkan bahwa ia adalah
raja yang telah berusaha sekuat tenaga memperbaiki bangunan Jinalaya yang hampir runtuh.
Bangunan tersebut sampai kini masih terdapat situs Padangroco-Sei Langsat (Sawahlunto
Sijunjung) berupa pagar keliling dari bata berbentuk U ujung alirannya bermuara ke sungai
Batanghari, di dalam pagar keliling terdapat bangunan induk dan dua candi perwara.
Dalam Pertemuan Tamadun-Melayu Kedua (1989) Kuala Lumpur- Malaysia, De
Casparis mengemukakan bahwa masa pemerintahan Adityawarman mewakili puncak
kejayaan Mèlayu sekaligus masa yang sangat sulit dan penuh tantangan kompleks. Karena
masa pemerintahannya seiring dengan gencarnya inovasi Islam menyebarkan pengaruh di
bagian barat Sumatra serta mendapat dukungan dari raja-raja daerah yang berada di bawah
kekuasaan Mèlayu II.
Kerajaan Mèlayu yang berpedoman agama Budha yang selalu bersifat damai dan sabar
itu, berubah menjadi agresif. Berbagai temuan arkeologi dari masanya (perwujudan arca-
arcanya) tampil bersikap berang seakan hendak memusnahkan lawan. Prasasti-prasasti dari
masanya juga menerangkan bahwa pendahulu Adityawarman adalah Akarendrawarman,

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
38
Adityawarman putra Adwayawarman. Sesuai adat Mèlayu yang berprinsip kepada konsep
matrilineal, hak atas waris (Yang dipertuan Basa) turun kepada keponakan, yakni
Adityawarman. Maka Adityawarman bertahta di Kerajaan Mèlayu adalah menggantikan
ninikmamaknya raja Akarendrawarman (1316 M), peristiwa serupa terjadi tatkala
pendahulunya raja Akarendrawarman memperoleh tahta bibinya, Srimat Tribhuwana
(kerajaan Mèlayu I 1286 M).
Dari keterangan prasasti Surawasa, Akarendrawarman inilah sebenarnya yang
memindahkan ibukota kerajaan Mèlayu ke pedalaman di Surawasa (Suroaso-Batusangkar).
Alasan pemindahan pusat kerajaan didasari beberapa hal.
Pertama, meskipun ia masih berkerabat dekat dengan keluarga kerajaan Jawa
(Singhasari-Majapahit) ia tetap waspada mencurigai siasat “sumpah palapa” cita-cita dari
Patih “pongah dan congkak” Gajah Mada yang ber kehendak menyatukan negeri-negeri di
Nusantara ke dalam satu panji kedaulatan adhikuasa Kerajaan Majapahit; alasan kedua adalah
menjaga hubungan dengan negeri Cina; ketiga, menyadari inovasi Islam yang mencapai
puncaknya dan pusatnya tidak jauh dari Mèlayu. Karena inovasi Islam bersifat keagamaan
maka penguasa Mèlayu pun menyadarinya dan menjawabnya dengan cara beragama juga
sesuai landasan keyakinannya. Itulah sebabnya, dari sejumlah besar prasasti yang dikeluarkan
pada masanya berubah total, sikap yang semula penuh damai, namun karena kondisi dan
situasi politik waktu itu telah menuntut sikap pemimpin lebih tegas dan lebih preventif.
Salah satu sikap tegas tersebut antara lain ditunjukan melalui perwujudan Bhairawa-
demonis arca terbesar di Indonesia setinggi 4.41 m, arca itu berdiri diatas setumpuk mayat-
mayat. Pada bagian dasar arcanya dihiasi oleh tengkorak-tengkorak, sedangkan pada tangan
kanannya memegang pisau dengan posisi yang siap menikam para pengganggu.
Menurut De Casparis, arca Bhairawa maha besar dan megah dahulu tegak didirikan pada
pintu gerbang pusat kerajaan Mèlayu di Malayupuram semata-mata tonggak pertahanan
secara frontal guna mengatasi dan mencegah segala ancaman yang datang dari pantai timur
Sumatra menuju ke pusat kerajaan Mèlayu yang telah berpindah ke pedalaman. Kekhawatiran
penguasa Mèlayu sangat beralasan karena pada masa akhir pemerintahan Adityawarman abad
ke 17 M, kekuasaan kerajaan Mèlayu mulai surut.
Bagi suatu kerajaan seperti Mèlayu dengan berlandaskan Agraris Maritim yang
mengandalkan perairan (sungai dan pantai) adalah hal mutlak untuk tetap menjalin hubungan
dan kerjasama serasi dengan wilayah yang berorientasi ke laut. Kepindahan ibu kota ke
pedalaman tidaklah berdampak lebih baik karena kontrol terhadap wilayah pesisir menjadi

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
39
kian longgar, seiring gencarnya arus inovasi Islam atas kerajaan-kerajaan atau negeri-negeri
bawahan Kerajaan Malayu. Sejak saat itu kerajaan-kerajaan kecil dikelilingnya yang semula
berada dibawah penuasaan kerajaan Mèlayu berganti busana Kesultanan yang bercorak Islam
dan memerdekakan diri dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam.
Kebudayaan orang Mèlayu adalah kebudayaan pantai bercorak perkotaan, pusat
kegiatannya pada perdagangan kelautan. Kebudayaan Mèlayu terdapat pada hampir seluruh
wilayah kepulauan (Nusantara) sebenarnya lebih merupakan hasil dari perpaduan kebudayaan
setempat (Mèlayu), Islam, Hindu, Makasar, Bugis, Jawa dan unsur-unsur lokal yang secara
keseluruhan diselimuti dan dipedomani oleh Agama Islam. Karena dalam tradisi terwujudnya
kebudayaan Mèlayu telah sangat terbiasa dengan kontak-kontak hubungan luar, dengan proses
pembauran dan akulturasi kebudayaan, maka corak kebudayaan Mèlayu memiliki struktur-
struktur bersifat longgar dan terbuka (open mind).
Keterbukaan struktur-struktur kebudayaan Mèlayu ini yang memungkinkan mampu
mengakomodasi perubahan-perubahan dan penyerapan unsur-unsur kebudayaan berbeda-
beda, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip adat dan sopan-santun Mèlayu.
Runtuhnya kerajaan Mèlayu Kuno sebagai pusat kekuasaan dan sekaligus pusat kebudayaan,
nampaknya orang-orang Mèlayu yang terbiasa hidup di dalam kelompok-kelompok setempat
dipersatukan peranan-peranan kerajaan kemudian seolah-olah kehilangan keterkaitan satu
sama lain sebagai pendukung kebudayaan Mèlayu yang pernah jaya di masa lampau.
3. Peradaban Melayu dalam Kekinian Perannya di Nusantara
Kroeber dan Kluckhohn (1963) di dalam bukunya yang berjudul Culture telah
mengumpulkan 164 definisi tentang kebudayaan yang berbeda menurut cara merumuskannya.
Namun jelas dari keseluruhan aspek-aspek kebudayaan berada di dalam lingkaran konsentris
mecakupi tiga komponen utama yang antara satu dan yang lainnya memiliki hubungan timbal
balik di alam lingkungan pengalamannya. Lingkungan pengalaman tersebut meliputi individu,
masyarakat dan alam atau alam pemikiran dan perasaan hubungan antar manusia dan
hubungan manusia degan biofisika.
Lingkaran konsentris merupakan model yang memperlihatkan bahwa dalam lingkungan
kebudayaan terdapat aspek bahasa yang menghubungkan erat dengan proses pemikiran,
perasan dan yang terpenting adalah fungsinya sebagai wahana komunikasi antar manusia.
Di antara semua cercah eksistensinya, jasa terbesar peradaban Malayu di nusantara
adalah sangat nyata di dalam aspek alat komunikasi yakni bahasa Mèlayu termasuk kerabat
besar dari berbagai bahasa di dunia, terutama dalam hubunganannya dengan bahasa-bahasa di

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
40
Madagaskar. Dibuktikan pertama kali oleh F. de Houtman (1603) tatkala ia menerbitkan buku
yang isinya menampilkan bahasa Malayu Nusantara dan bahasa Madagaskar dan
hubungannya dengan bahasa-bahasa Polinesia. Terry Crowley (l987) telah mencontohkan
adanya hubungan erat kosakata bahasa Malayu dengan tiga kerabat bahasa Polinesia.
Bernd Nothofer (1966) menguraikan bahwa bagian barat Kalimantan merupakan asal
bahasa Malayu yang bergerak dengan sangat cepat menjangkau jarak luas dan menetapkan
pusat-pusat penutur bahasa Melayu di Nusantara di masa lampau. Persebaran teknologis
sebanding dengan sepupunya “pengarung samudra Polinesia” yang awalnya menguasai
perairan maha luas samudra Pasifik.
Bahasa Malayu Purba yang kini telah berkembang dengan berbagai varian tersebut telah
berkembang pada sekitar dua juta tahun yang lalu oleh para pemangku budaya, khususnya
menghuni dan memilih lahan tanah basah seperti rawa-rawa, delta dan pantai dengan sistem
sungai (contoh Kalimantan barat). Jenis lahan yang memberi peluang mempertahankan hidup
berlandaskan sistem budaya dengan pola persebaran perairan alam yang sekaligus memiliki
potensi melangsungkan hidup, maka hunian pun dilandasi sistem hunian perairan.
Pertanyaan yang kerap menggelitik sehubungan dengan berbagai asumsi atas asal usul
atau puak-puak Malayu di Nusantara (kepulauan) adalah bukan tidak mungkin mereka inilah
asal mula orang laut (KALBAR) yang menyebar ke seluruh Nusantara “Orang Laut Asli” dan
Pasifik. Mungkinkah Sri Vijaya dengan sejumlah prasasti-prasastinya yang hampir selalu
mengumandangkan “mangalap siddhayatra subhiksa” Sri Vijaya (mencari kesejahteraan dan
kejayaan kehidupan), semula adalah hasil persebaran “Orang Laut” ini? Termasuk sisa-sisa
suku yang menyebut dirinya Bajau (Bajo) tersebar di perairan Kalimantan utara, Sangir
Talaud dan ada juga tinggal menetap di pedalaman Sulawesi (sebagian kecil), Tetapi jelas
bukan dari Sulawesi seperti diasumsikan BH. Bhurhanuddin.
Lebih menarik lagi abad pertama Masehi seiring puncak dan maraknya perdagangan di
Asia Tenggara, masyarakat Nusantara mengenal "Lingua-Franca” yang disebut dengan istilah
bahasa K’wun-Lun atau Kun-Lun. Menurut Boechari (SNI II: Jaman Kuna l984), bahasa
tersebut merupakan jenis bahasa “Malayu pasar” yakni bahasa malayu yang telah bercampur
(interferensi) bahasa Cina dan bahasa Sanskerta? mungkin ada istilah yang lebih baik lagi
“Malayu Pergaulan atau Bahasa Pergaulan”, tentu saja berkembang sebagai alat komunikasi
antar bangsa di dunia perdagangan laut internasional yang memang paling berperan di
kepulauan. K’wun-Lun atau Kun-Lun itu sendiri jelas istilah bahasa salah satu suku di daratan
Cina yang bermigrasi ke Nusantara mencari kehidupan ke negeri bawah angin.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
41
Masuk akal jikalau kosakata bahasa Cina (di samping India) banyak ditemui dalam
perbendaharaan kosakata Malayu sebagai proses “interferensiasi” dan berkembang menjadi
difusi budaya setempat. Secara literasi, ciri-ciri masyarakat penutur Malayu “kuno”
berlangsung hingga batas abad ke-15 Masehi, secara luas abad ke-16 Masehi seiring kian
memuncaknya pelabuhan-pelabuhan dan dunia perdagangan di sepanjang pantai di Nusantara
dan Asia daratan, meliputi pulau-pulau di samudra Pasifik seperti Ternate, pulau Bacan
sampai perairan samudra Hindia dan Sumatra utara.
Bahasa Mèlayu merupakan kerabat terpenting dari bahasa Austronesia dan memiliki
tataran sangat luas itu sebenarnya diluncurkan oleh peradaban Asia Timur sejak 10.000 yang
lalu. Bahasa “paling purba” yang diperkirakan terbentuk di pulau asalnya, Taiwan.
Disebarkan oleh pengarung samudra ketika bermigrasi ke selatan (negara-negara bawah
angin) menuju dan melalui Filipina, beberapa diantaranya ke timur dan membangun
kebudayaan di pulau-pulau di kepulauan Pasifik. Sebagian ke arah selatan dan ke arah barat
bertemu dengan manusia purba lainnya yang mendiami sepuluhribu pulau di Asia Tenggara.
Di Asia Tenggara kondisi geografis kepulauan dan letak huniannya yang sebagian besar
di perairan telah memberi peluang pendukung budaya dan penutur Malayu mayoritas hidup
dari perdagangan, banyak diantaranya yang membentuk masyarakat minoritas tersendiri
(Thailand, Burma dan Vietnam), sebagian lagi berlayar ke utara (Manila, Taiwan dan
Ryukyu) menuju ke timur dari Tidore hingga ke Papua Nugini.
Barangkali inilah dampak mencolok keluwesan dan keleluasaan peradaban Mèlayu
Nusantara khususnya dalam khasanah struktur bahasa. Bahasa yang pada dasarnya tumbuh-
berkembang dari kegunaanya dalam pasar komuniti itu telah menyebabkan bahasa Mèlayu
digolongkan sebagai lingua franca. Tidak ketatnya struktur bahasa Mèlayu menyebabkan
bahasa ini secara luas telah digunakan hampir di seluruh wilayah Musantara sebagai bahasa
perantara di dalam segala kegiatan, terutama dalam upaya mengakomodasi hambatan-
hambatan komunikasi karena perbedaan sistem makna dan bahasa sejak masa lampau. Nyata
bahwa kehadiran berbagai macam dialek Mèlayu berkembang dan tumbuh sebagaimana
adanya di wilayah Nusantara adalah semata perpaduan dari unsur-unsur bahasa lokal dan
fungsionalisasi kegunaannya dalam kegiatan-kegiatan lokal. Implikasi nya dikenal agam
bahasa Mèlayu: bahasa Mèlayu Riau, bahasa Mèlayu Banjar, bahasa Mèlayu Menado, dll.
Perkembangan lokal bahasa Mèlayu tidak sekedar terwujud sebagai bentuk kegunaannya
dalam pergaulan setempat, lebih dari itu bahasa Mèlayu merupakan bahasa yang berlaku di
dalam kehidupan resmi kerajaan-kerajaan setempat pada masa lalu. Bahasa resmi kerajaan

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
42
merupakan bahasa budaya berstruktur, penuh retorik dan ungkapan-ungkapan bermakna
sangat dalam dan majemuk. Jenis bahasa yang biasa digunakan oleh para satrawan istana dan
ditemukan untuk menuliskan hikayat-hikayat atau babad-babad kerajaan.
Juga tersebar di dalam naskah-naskah kuno di seluruh Nusantara dimana bahasa Mèlayu
tampil dengan aksara Arab ataupun Arab- Mèlayu.
Perkembangan bahasa Mèlayu dengan aksara Arab-Mèlayu sebenarnya terjadi setelah
runtuhnya Kerajaan Mèlayu Riau-Lingga seiring hadirnya tokoh-tokoh pemikir, budayawan
dan pioneer sastrawan Mèlayu pada zaman itu terutama tokoh Raja Ali Haji secara nyata
menghasilkan berbagai karya tulis terutama pembakuan tata bahasa Mèlayu dan standardisasi
bahasa dan aksara Mèlayu yang kemudian berkembang dan dipergunakan oleh berbagai
kepentingan di dunia pendidikan sebagai bahasa pengajaran dan bahasa utama sekolah-
sekolah resmi negara di Nusantara (Indonesia) dan Semenanjung Mèlayu. Bahasa baku
(standar) digolongkan sebagai bahasa Mèlayu Tinggi tersebut tentu dibedakan dari bahasa
Mèlayu setempat di dalam pergaulan sosial sehari-hari.
Persebaran bahasa Mèlayu standard sebagai bahasa ilmu pengetahuan telah
memungkinkan adanya percetakan karya-karya tulis di Kerajaan Mèlayu Riau di Penyengat.
Penggunaan aksara Latin bagi bahasa Mèlayu baku diteruskan hingga awal abad ke-20 di
Jakarta oleh para penulis dan pengarang pribumi serta penulis-penulis keturunan (Cina-Indo).
Terbitnya tulisan dengan bahasa Mèlayu baku dalam karya sastra dan esai di surat-surat kabar
waktu itu telah mempopulerkan penggunaan bahasa Mèlayu baku. Semula sebagai bahasa
ilmu pengetahuan Riau kemudian tersebar luas diantara para cerdik-cendekiawan Nusantara
pada masa lampau telah memperkuat terpilihnya fungsi-peran dan kedudukan bahasa Mèlayu
menjadi bahasa landasan pengembangan bahasa nasional Indonesia.
Apa yang tertinggal adalah warisan kebudayaan Mèlayu yang terwujud sebagai tradisi-
tradisi dan sistem-sistem makna yang ada dalam berbagai istiadat dan upacara yang sekarang
masih hidup dalam kehidupan bermasyarakat orang Mèlayu dalam berbagai naskah kuno yang
berisi berbagai ajaran pedoman hidup sebagai orang Mèlayu dalam menghadapi lingkungan
hidup yang beragam dalam usaha menghadapi perubahan zaman.

E. BUNDA TANAH MELAYU KEPULAUAN RIAU


Sejarah

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
43
Pada Zaman dahulu asal usul sebuah kerajaan Melayu di Lingga yang berpusat di Kota
Daik sebagai Negara Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Sultan Mahmud Syah II (1685 –
1699) adalah Sultan Johor-Riau-Lingga-Pahang atau kemaharajaan melayu yang ke-10. Ia
adalah keturunan sultan-sultan Malaka, sultan ini tidak mempunyai keturunan, untuk
penggantinya dicarilah dari keturunan Datuk Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil yang
diberi gelar Sultan Mahmud Syah III. Pada masa ini sultan Mahmud Syah III masih sangat
muda jadi yang menjalankan pemerintahan ialah yang dipertuan muda Daeng Kamboja yang
dipertuan Muda III, jadi ialah yang paling berkuasa di kemaharajaan di Melayu Lingga.  Yang
menjadi Datok Bendahara pada saat itu adalah Tun Hasan, semasa ini pula hubungan
pemerintahan dengan Belanda masih  lancar. Sedangkan di Riau berdatangan pedagang-
pedagang dari  India. Sedangkan pedagang cina pada saat itu masih menetap di Kepulauan
Nusantara dan pada saaat ini juga yang mendampingi yang dipertuan muda melaksanakan
tugasnya untuk diwilayah Riau Engku Kelana Raja Haji.
Setelah yang dipertuan muda III Daeng Kamboja wafat tahun 1777 yang menggantikannya
adalah Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji. Raja Haji ini memerintah dari tahun  1777 –
1784. Sewaktu berada di bawah pemerintahannya  pecah perang antara kemaharajaan melayu
dengan kompeni Belanda di Melaka.  Setelah Raja Haji wafat lahirlah sebuah perjanjian
antara kemaharajaan  melayu dengan pihak kompeni Belanda. Perjanjian ini dikenal
TRACTAAT AL TOOSE DURENDE GETROO WE VRIENDE  BOND GENO OT SCHAP
yang ditandatangani tanggal 10 Nopember 1784.
Setelah di tinggalkan Raja Haji yang menjadi Di Pertuan Muda Riau, berikutnya adalah Raja
Ali (Anak dari Daeng Kamboja). Masa jabatan dari tahun 1785-1806 ia sebagai yang
dipertuan muda ke-V   ia lebih banyak berada di luar wilayah kerajaan sebab kekuasaan pada
saat itu lebih banyak berada di Belanda. Lama kelamaan ia mengadakan perlawanan dan
akhirnya sejak tahun 1785 menetaplah ia di Suka Dana (Kalimantan). Tahun ini juga kompeni
Belanda mengangkat Recident Belanda pertama di Tanjungpinang dengan nama DAVID
RUNDE pada tanggal 17 Juni 1785.
Pada tahun 1787 Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaannya ke Daik Lingga,
ini diakibtakan  adanya tekanan dari Kompeni Belanda. Walaupun pusat kerajaan berada di
Pulau Lingga, wilayah masih meliputi Johor-Pahang dimana daerah tersebut Sultan masih
diwakili oleh Datuk Temenggung  untuk bagian Johor dan Singapura sedangkan Datuk
Bendahara untuk daerah Pahang. Untuk tahun 1795 terjadi perkembangan politik baru di

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
44
negeri Belanda, dimana kompeni Belanda harus menyerahkan beberapa daerah yang
didudukinya ke Inggris.  Masa ini disebut juga sebagai masa INTEREGNUM Inggris di Riau.
Tahun 1802 yang dipertuan muda V berada dipengungsian kembali di Lingga pada masa
intregnum Inggris ini berlangsung Raja Ali wafat 1795-1816 di pulau Bayan. Tahun 1806
diangkat pula Raja Jakfar menjabat kedudukan sebagai yang dipertuan Muda Riau pada tahun
1806-1813. Raja Jakfar membuat tempat pemerintahannya di kota Rentang di Pulau
Penyengat. Pada tahun 1811 Sultan Mahmud III memerintahkan anaknya Tengku Husein
(Tengku Long pergi ke Pahang dan menikah disana dengan puteri Tun Khoris atau adik
bendahara yang bernama Tun Ali.  Semasa Tun Husin (Tengku long ) berada dipahang
ayahandanya Sultan Mahmut Syah wafat di Daik Lingga tanggal 12 Januari 1812.
Setelah Sultan Mahmut syah III meninggal dicarilah calon pengantinya.  Akhirnya yang
dilantik sebagai sultan pengganti yaitu Tengku Abdul Rahman yang disetujui oleh pembesar
kerajaan dan dari pihak Belanda. Ini dikuatkan oleh peraturan kerajaan Lingga Riau yang
berbunyi Sultan baru harus dilantik sebelum jenazah Sultan yang wafat di kebumikan.
Setelah Tengku Abdul Rahman dilantik tahun 1812 Sultan Abdul Rahman Syah menetap di
Lingga. Mulailah Lingga masa itu bertambah ramai karena telah ada tambang timah
disingkep. Sedangkan Raja Ja’far menetap di Penyengat ia telah menempatkan orang-orang
kepercayaannya di Daik Lingga untuk mendampingi Sultan yaitu Engku Syaid Muhammad
Zain Al Qudsi. Suliwatang Ibrahim, sahbandar Muhammad Encik Abdul Manan dan bagian
pertahanan dan keamanan adalah Encik Kalok. Tengku Husin tinggal di Lingga, beliau
menetap di penyengat.
Pada tangal 19 Agustus 1818 Wiliam Farquhan Residen Inggris dari Malaka datang ke Daik
untuk bertemu dengan Sultan Abdul Rahman Muazam Syah dan memberitahukan bahwa
wilayah kerajaan Lingga Riau mungkin akan diambil Belanda. Sultan Abdul Rahman
Muazam Syah menjawab berita yang disampaikan Fanquhan itu, bahwa beliau tidak
mempunyai wewenang untuk mengurus urusan kerajaan, hanya ia menganjurkan Fanquhan
dapat menghubungi Raja Ja’far.
Sultan Mahmud Riayat Syah III pada zaman beliau memegang tampuk pemerintahan, beliau
membangun istana Robat/istana kota baru dan beliau juga membangun penjara/Gail.
Sedangkan Almarhum Raja Muhammad Yusuf sangat alim beliau ini adalah penganut Nak
Sabandiah. Beliau adalah yang dipertuan muda ke X yang dilantik tahun 1859 oleh Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah III. Pada zaman ini di Daik sangat berkembang dibidang agama
maupun bidang ekonomi, sehingga Daik Lingga pada waktu itu menjadi pusat perdagangan

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
45
dan pengetahuan. Banyak pedagang yang datang seperti cina, bugis, keling, siak, Pahang dll.
Belanda sudah semakin khawatir kalau Lingga menyusun kekuatan untuk menentangnya, oleh
karena itu, Belanda menempatkan asisten Residen di Tajung Buton Daik. Pada tanggal 17
September 1833 beliau mangkat dan dimakamkan di bukit Cengkeh. Sedangkan yang
dipertuan muda Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi beristrikan Tengku Embung Fatimah
Binti Sultan Mahmud Muzafarsyah yang merupakan Sultanah di Lingga. Beliau menggalakan
kerajinan rakyat Lingga untuk dipasarkan keluar kerajaan Lingga. Pada zaman mereka
membuka jalan Jagoh ke Dabo membuat kapal-kapal, diantara nama kapal-kapal tersebut
Kapal Sri Lanjut, Gempita, Betara Bayu, Lelarum dan Sri Daik, guna untuk memperlancar
perekonomian rakyat serta pada zaman beliau juga istana Damnah di bangun. Sekolah sd 001
Lingga tahun 1875 dengan guru pertama kami Sulaiman tamatan sekolah Raja di Padang.
Guru ini tidak mau bekerja sama dengan Belanda, walaupun beliau diangkat oleh Belanda.
Pada zaman ini Lingga mencapai zaman keemasan, sedangkan Almarhum Sultan Sulaiman
Badrul Alamsyah II adalah anak dari Sultan Abdul Rahman Syah. Beliau diangkat menjadi
Sultan tidak disetujui oleh Indra Giri Reteh selama 25 hari dan terkenalah dengan nama
pemberontakan Mauhasan. Namun Reteh tunduk kembali dengan Lingga. Sultan ini sangat
memperhatikan kehidupan rakyatnya antara lain :
 Mengajukan dan menukarkan sawah padi dengan sagu (Rumbia) yang di datangkan
dari Borneo Serawak dan membuka industri sagu tahun 1890.
 Membuka penambangan timah di Singkep dan Kolong-kolong Sultan dengan Mandor
yang terkenal npada zaman itu La Abok dan kulinya orang-orang Cina Kek yang
menurut ceritanya nama inilah nama Dabo Singkep.
Baginda mangkat pada tanggal 28 Fenruari 1814 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh dengan
gelar Marhum Keraton yang didalam kubah. Setelah itu Sultan Muhammad Muazam Syah
(1832-1841) Sultan ini sangat gemar dengan seni ukir/Arsitektur, beliau mengambil tukang
dari Semarang untuk membangun istana yang disebut Keraton atau Kedaton.
Pada zaman ini seni ukir, tenun, kerajinan, Mas dan perak sudah ada. Pusat kerajinan tenun di
Kampung Mentuk, kerajinan Tembaga di kampong Tembaga. Pada zaman beliau juga Bilik
44 dibangun, namun belum sempat di bangun, namun belum sempat siap bertepatan beliau
mankat dan pengantinya tidak melanjutkan pembangunan gedung tersebut.
Sultan Abdul Rahman Syah 1812-1832 adalah putra Sultan Mahmud Riayat Syah III beliau
terkenal sangat alim dan giat menyebarkan agama Islam serta mengemari pakaian Arab. Pada
masa pemerintahan beliau, saudaranya Tengku Husin dengan bantuan Inggris dilantik menjadi

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
46
raja dengan gelar Sultan Husin Syah. Maka pecahlah kerajaan besar Melayu atau emporium
Melayu Johor-Riau-Lingga menjadi 2 bagian. Istana Sultan Abdul Rahman Syah terletak di
Kampung Pangkalan Kenanga sebelah kanan  mudik sungai Daik.
Beliau mangkat malam senin 12 Rabiul awal 1243 Hijriahn (19 Agustus 1832) di Daik,
dimakamkan di Bukit Cengkeh bergelar Marhum Bukit Cengkeh. Pada zaman beliau, Mesjid
Jamik didirikan atau Mesjid Sultan Lingga, benteng-benteng pertahanan di Mepar, Bukit
Cening, Kota Parit (Dibelakang Kantor Bupati Lama) serta Benteng Kuala Daik, Meriam
pecah Piring dan Padam Pelita terdapat di mes Pemkab Lingga. Pada zaman beliau
memerintah, beliau sering berperang melawan penjajahan Belanda bersama dengan Yang
Dipertuan Muda Riau diantarnya Raja Haji Fisabilillah atau bergelar Marhum Ketapang.
Beliau mangkat 18 Zulhijah 1226 Hijriah (12 Januari 1912) di Daik di belakang Mesjid
dengan Bergelar Marhum Masjid.
Sultan Mahmud Riayat Syah adalah Sultan yang pertama kali di Daik Lingga. Beliau adalah
Sultan Johor-Pahang-Riau-Lingga XVI yang memindahkan pusat kerajaan Melayu ke Bintan
Hulu Riau ke Daik tahun 1787, dengan istrinya Raja Hamidah (Engku Putri) yang merupakan
pemegang Regelia kerajaan Melayu-Riau-Lingga. Pulau penyengat Indra Sakti adalah mas
kawinnya dan pulau penyegat tersebut menjadi tempat kedudukan Raja Muda bergelar Yang
Dipertuan Muda Lingga yaitu dari darah keturunan Raja Melayu dan Bugis. Pada hari senin
pukul 07.20 Wib tahun 1899 beliau mangkat dan dimakamkan di Makam Merah dengan
Bergelar Marhum Damnah.
2. Adat Istiadat
Adat istiadat di Lingga masih sangat kental dan masih sering dilaksanakan, diantaranya :
 Adat perkawinan
 Adat mendirikan rumah
  3. Kesenian Daerah
Kesenian di Lingga banyak sekali, dan juga telah dikembangkan dalam beberapa garapan
sebuah tarian dan nyanyian serta dalam bentuk sandiwara, diantaranya :
  Zapin
 Tari Inai
 Silat Pengantin
 Joget
 Bangsawan/tonel
 Hadrah

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
47
 Gazal
 Berhikayat
 dll
4. Tradisi Daerah
Di Lingga mempunyai beragam tradisi daerah diantaranya :
 Basuh lantai
 Ratif saman
 Mandi safar
 Haul Jama’
 Dll.
Melewati ke Lingga, Negeri Bunda Tanah Melayu
Sang fajar baru saja menggeliat ketika kapal cepat yang kami tumpangi belum lama
meninggalkan Pelabuhan Sri Bintang Pura di Tanjung Pinang ibukota Propinsi Kepulauan
Riau. Bahtera berkapasitas 100-an orang itu membelah Selat Riau melaju ke Pulau Benan.
Pulau kecildi Kabupaten Lingga yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan.
Deburan ombak yang bergulung menghantam pinggiran kapal seolah berteriak
kepadasaya inilah Kabupaten Lingga. Sebuah  wilayah di Propinsi Kepulauan Riau dengan
kondisi geografis dimana 95% wilayahnya adalah laut dengan pulau-pulau kecil bertaburan.
Sebuah wilayah yang memang menjanjikan dahaga petualangan bahari. Semula rasa was-was
sempat menyelimuti. Apalagi mendengar cerita pedagang  minuman di dermaga. Bahwa
gangguan cuaca kerap menghampiri wisatawan yang menuju kepulauan ini. Namun perlahan
rasa cemas itu terusir dengan sendirinya. Guncangan ombakpun kemudian terasa sebagai sapa
kepada tetamu yang menuju Lingga. Apalagi perjalanan ditemani birunya langit dan laut di
perairan ini.
Menyebut nama Lingga mungkin terdengar asing. Apalagi jika mengukurnya sebagai
sebuah destinasi wisata. Perlu memanfaatkan ikon kaca pembesar dalam beberapa kali klik
untuk menemukannya di peta Propinsi Kepulauan Riau yang secara geografis berbatasan
langsung dengan empat negara tetangga. Letak Lingga berada diantara Pulau Bintan dan
Propinsi Bangka Belitung. Pilihan transportasi ada dua melalui laut dan udara. Pesawat tidak
setiap hari ada dan hanya dilayani melalui Batam yang mendarat di bandara Dabo di Pulau
Singkep salah satu dari dua pulau terbesar di Kabupaten ini. Sebagai gugusan kepulauan
dengan luas daratan hanya2.117.72 km sementara luas keseluruhan mencapai 45.456.7162.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
48
Tak dapat disangkal moda transportasi laut adalah andalan untuk menjangkau pulau-pulau
dikawasan ini yang jumlahnya mencapai 531 buah. Lingga memang kabupaten maritim.
Bertandang ke Beranda Lingga
Tujuan kami adalah Pulau Benan. Pulau kecil yang bertengger disudut Kabupaten ini.
Kerap disebut sebagai “beranda nya Lingga” karena terletak di sisi terluar. Jarak tempuh dari
embarkasi kami hanya 60-90 menit. Bahkan bisa ditempuh lebih cepat dengan speed boat.
Kalaupun sedikit molor itu dikarenakan cuaca yang terkadang tidak menentu. Pulau ini
berbentuk unik menyerupai ikan paus. Luasnya sekitar 190.625 hektar.
Layaknya beranda. Pulau yang dihuni hanya 1000- an jiwa ini seolah menjadi anjungan
yang sempurna untuk menjamu ramah setiap tetamu sebelum memasukihalaman
sesungguhnya. Keindahan alam dan keramahan warganya menyatu sempurna. Mayoritas
penduduk beretnis Melayu. Mereka yang menyandarkan hidupnya pada hasil laut ini
menyambut kami dengan hangat saat kami menjelajah pemukiman menuju pantai. Senyum
bersahabat terlontar dari orang-orang yang asik bercengkrama di atas beranda kayu hingga
ibu-ibu yang sibuk menjemur sotong (sejenis cumi-cumi) di halaman rumah.
Panorama menawan yang tersajipun seolah ikut menyapa kami. Deretan pohon nyiur
melambai di sepanjang pantai landai berpasir putih disisi lain pulau. Airnya bening.
Menggoda untuk membenamkan tubuh. Selain berenang di sini anda juga dapat melakukan
snorkeling atau memancing. Kabarnya banyak pelancong asal negara tetangga yang dating
berkunjung dan sengaja menginap beberapa malam di rumah kelong (rumah ditengah laut
untuk menangkap ikan) di sini. Mereka ingin merasakan sensasi yang tidak di dapat di negeri
asalnya.
Saat berinteraksi dengan penduduk lokal, suasana unikpun terasa. Bentuk rumah dan
perkampungan, cara bertutur (bahasa) hingga budaya yang terlihat seolah berada di negeri
jiran. Dialek Melayu begitu kental. Jika tidak melihat sang merah putih berkibar bangga
diantara rumah-rumah panggung di tepi laut, barangkali saya tidak merasa masih di bumi
NKRI. Sebuah kalimat dengan logat melayu kental menyapa saya. “Nak cube rase tamban
salai tak? Tak usah bayar bang,ambik aje ni “ (Mau coba Tamban Salai? Silahkan ambil. Tak
usah bayar kok bang.) Tawar seorang bapak kepada saya ketika  memperhatikannya
mengasapi ikan-ikan. Ia lalu menyodorkan seekor tamban berwarna kuning keemasan ditusuk
lidi bambu. Sesudahnya saya juga disuguhi air kelapa muda segar dicampur gula merah.
Terasa nikmat.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
49
Warga pulau ini memang begitu ramah dan terbuka. Tidak afdol rasanya mengunjungi
kawasan Pulau Benan bila tidak menyambangi Pulau Katang Lingga. Sebuah pulau mungil
dimana kita bisa menikmati keindahan terumbu karang. Airnya begitu jernih. Bahkan dapat
dinikmati hanya dari atas kapal tanpa perlu harus menyelam. Spot ini adalah salah satu
andalan wisata di Lingga.
Keindahan tak hanya berhenti disini. Pulau lain yang kami kunjungi berikutnya yaitu
Pulau Pena’ah juga menawarkan pesona yang nyaris sama. Masih di wilayah yang sama yaitu
Kecamatan Senayang. Pantai terbentang panjang berkontur landai di pulau seluas 24 hektar
ini. Airnya jernih berwarna hijau ke biru- biruan dan berombak tenang. Disekitar pulau ini
pun kita dapat menikmati keindahan taman bawah laut. Pulau ini juga dikenal sebagai
surganya para pemancing karena banyak terumbu karang sebagai tempat berlabuh untuk
memancing.
Lautnya kaya akan beragam spesies ikan seperti jenis kaci, kerapu, gelam, sampai ikan
kawan seperti jenis selar, selikur, dan ikan ikur kuning. Tak heran saat musim memancing
banyak orang berdatangan ke Pena’ah. Oleh pemerintah setempat setiap tahun digelar
“Lingga Fishing Festival”. Sebuah festival memancing modern internasional yang diikuti
peserta dari Indonesia, Singapore, dan Malaysia. Bisa dibilang ini adalah even utama di
Lingga. Sekaligus menjadi etalase memperkenalkan Lingga ke dunia luar.
Keseriusan pemkab Lingga dalam mendatangkan turis disini terlihat nyata. Pulau ini
didesain menjadi desa wisata. Sejumlah bungalow dibangun. Sebagian jalan setapakpun telah
dicor semen. Banyak aktifitas yang dapat dilakukan di Pulau Penaah dan sekitarnya
diantaranya diving atau Snorkeling di Pulau Pena’ah Kecil (Kecil), mengamati kehidupan
suku laut yang eksotik, menjelajah hutan mangrove di Pulau Kongki Besar atau menyaksikan
penyu bertelur di Pulau Kongki Kecil. Benan dan Pena’ah sebenarnya hanya sebagian kecil
dari tawaran keindahan Lingga. Masih banyak pulau-pulau lain yang belum terekspose.
Budaya dan Sejarah Bunda Tanah Melayu
Linggapun tak hanya menawarkan pesona ciptaan Tuhan. Tapi juga kekayaan budaya
ciptaan manusia. Sejarah mencatat Lingga adalah pusat Kerajaan Melayu yang berpengaruh di
Selat Malaka pada masa lalu. Yaitu pada masa kepemimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah
III yang menjadikannya pusat kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Lingga juga mempunyai
peranan penting dalam perjalanan sejarah budaya melayu, ditandai dengan warisan seni
budaya, situs bersejarah, pola hidup hingga bahasa yang kini menjadi cikal bakal bahasa
Indonesia.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
50
Lingga adalah pusat kelahiran sekaligus berkembangnya budaya Melayu. Sehingga
Lingga dikalungi julukan “Motherland of Malay” atau Bunda Tanah Melayu demikian bahasa
tempatan menyebutkan. Bukti-bukti kebesaran kerajaan ini dapat kita liat di kota Daik.
Kamipun berencana menyambanginya. Saat sore beranjak kami tiba di ibukota kabupaten
yang berada di pulau terbesar itu. Kami memutuskan bermalam meski tak banyak opsi
penginapan. Maklum Daik adalah kota kecil. Meski bergelar ibukota kabupaten kota ini
terbilang hening. Penduduknya tak sampai 20.000 jiwa sehingga terasa begitu lenggang.
Meski sunyi, kota ini cukup fotogenik karena berlatar panorama alamnya yang cantik
yaitu Gunung Daik yang puncaknya bercabang tiga. Gunung yang bertengger di ketinggian
1.165 meter diatas permukaaan laut ini (mdpl) mempertontonkan keindahan sekaligus misteri.
Konon diyakini warga sekitar puncaknya dihuni masyarakat halus yang disebut bunian. Dari
bincang-bincang dengan petugas hotel memang gunung ini menyimpan sejuta kisah berbau
misteri itu. Banyak pendaki yang hilang saat mendaki puncak gunung yang menyerupai gigi
naga itu.
Namun tak menyurutkan semangat pencinta alam yang datang dari berbagai daerah
hingga  mancanegara. Keinginan merengkuh paras gunung ini seolah menggeser kisah seram
yang membalutnya. Gunung yang menjadi ikon Lingga ini juga yang turut menyumbang
sejarah nama Lingga. Dalam bahasa Tiochiu sebuah rumpun bahasa Sino-Tibet yang mirip
bahasa Hokkien, Lingga itu berarti gigi naga. “Ling” artinya naga. “Ga” artinya gigi. Istilah
itu konon muncul saat para saudagar Cina berlayar ke Indonesia melintasi daerah ini. Di hulu
sungai yang berada di kaki gunung ini jugalah berdiri pusat kesultanan Riau-Lingga di masa
lalu. Sebelum dipindahkan ke Pulau Penyengat di seberang Tanjung Pinang pada tahun 1900
oleh Sultan Abdulrahman Muasyamsyah. Kerajaan yang cukup termashyur di wilayah Selat
Malaka kala itu. Tapak-tapak sejarah kebesaran Kerajaan Lingga itu masih bisa ditelusur
lewat berbagai peninggalan yang tersisa. Kami berencana menyambanginya di hari berikut.
Keesokannya harinya cuaca cerah menyambut. Saya lebih dahulu berangkat memotret
sekaligus menikmati sunrise di Pelabuhan Tanjung Buton. Sebuah Pelabuhan yang baru
direnovasi. Dermaganya Berdiri kokoh dibalut beton menggantikan dermaga lama yang masih
sederhana berbahan kayu. Siap menyambut kapal-kapal besar yang datang dan pergi dari
berbagai daerah. Pagi itu, matahari terbit tidak hanya mengelir langit kuning kemerahan tetapi
juga menerpa halus sisi Gunung Daik di kejauhan sehingga tampak seperti dipoles penata rias
alam. Cantik sekali.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
51
Sejumlah warga terlihat mulai beraktifitas. Mulai dari yang berangkat kerja di pulau-
pulau sekitar ataupun berangkat sekolah. Pompong (perahu kayu) hilir mudik mengalirkan
denyut nadi pagi yang mulai bergerak. Usai sarapan mulailah kami menjelajah pulau seluas
889 kilometer ini. Dengan prioritas menyambangi aneka situs sejarah. Agenda utama kami
adalah mengunjungi Museum Mini Linggam Cahaya. Sebuah museum yang menyimpan
sumber sejarah Melayu hingga beragam koleksi peninggalan kerajaan Riau-Lingga. Beberapa
barang yang dipamerkan di Museum yang berdiri sejak 2003 ini antara lain : naskah kuno,
senjata, alat kesenian, uang logam, peralatan kerja, paha (tempat meletak makanan/lauk
pauk), keto (tempat membuang sampah/ludah),dll. Koleksi itu terus bertambah seiring dengan
terus ditemukannya benda-benda kuno yang sebagian besar diserahkan masyarakat.
Tak jauh dari sini terdapat situs penting lain yaitu Istana Damnah, yang merupakan eks
bangunan istana yang dibangun 1860, pada masa pemerintahan Sultan Badrul Alamsyah II.
Sayangnya kondisi istana ini memang tidak lagi utuh alias tinggal reruntuhan.  Sehingga di
bangunlah replika istana ini di sebelahnya. Kami juga sempat mampir di Masjid Jamik Sultan
Lingga yang berada di Kampung Darat. Sebuah masjid tua yang berdiri tahun 1800.
Arsitekturnya didominasi warna kuning dan hijau khas etnis Melayu. Di pekarangan masjid
terdapat makam Sultan Mahmud Riayatsyah III beserta istri dan keturunannya. Semula kami
berencana melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Resun di desa Resun, Kecamatan Lingga
Utara.
Namun , akses jalan ditutup karena sedang mengalami perbaikan. Kamipun
mengurungkan rencana menyambangi air terjun yang menurut forum diskusi dari beberapa
situs backpacker termasuk 10 buah air terjun terindah di Indonesia. Kami hanya
menyempatkan mampir di pemandian Lubuk Papan yang berlokasi pada aliran sungai Tanda.
Pemandian ini kabarnya memiliki kaitan erat dengan sejarah Lingga saat Daik menjadi
ibukota kerajaan. Karena merupakan lokasi aktifitas keseharian warga kerajaan. Lokasinya
tak jauh dari Istana Damnah.
Usai berkeliling Daik yang banyak dipenuhi bangunan rumah-rumah asli Melayu, kami
menyeberang ke Pulau Mepar. Pulau kecil yang juga terkait sejarah Lingga. Untuk
menjangkaunya dapat menggunakan Pompong (kapal motor ukuran kecil). Hanya memakan
waktu 15 menit menyeberang ke pulau seluas sekitar 5000m2 dengan penduduk berkisar
400jiwa. Pulau ini selain menyimpan keindahan alam juga terdapat situs bersejarah berupa
benteng pertahanan yang berdiri diatas Bukit Cening . “Dulunya benteng ni berguna
menghalau serdadu Belanda dengan meriam”. Ujar seorang pemuda lokal yang menemani

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
52
kami mendaki bukit. Dari atas memang terlihat hamparan laut luas di hadapan deretan meriam
tua yang masih berdiri kokoh. Suasananya seolah melontarkan benak saya ke masa perang
Riau (1782-1784).
Saat daerah ini tidak henti dikoyak desing peluru dan asap mesiu. Saat kaum imperialis
mencoba mencengkramkan kuku di perairan yang merupakan jalur perdagangan penting.
Terbayang kepulan asap membumbung tinggi dari kapal-kapal Belanda yang beradu kekuatan
dengan meriam dari benteng ini. Bayangan suara dentuman keras akibat muntahan bola-bola
besi serasa terdengar kembali di telinga sebelum sebuah tepukan hangat dari sang pemuda
sambil berkata. “Yuk kita ke sebelah sana” mengajak saya berjalan menurun ke arah belakang
benteng berbatasan dengan salah satu rumah warga dimana terdapat komplek pemakaman
Keluarga Tumenggung Jamaluddin dan Datuk Kaya Montel. Menurut literatur adalah tokoh
yang diberi tugas Kesultanan Lingga sebagai Panglima. Tokoh Melayu yang terkenal hingga
semenanjung Malaysia. “Banyak peziarah dari Malaysia, Singapura dan Brunei yang
berkunjung kesini” Tambahnya.
Lepas dari Pulau Mepar kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Singkep. Pulau besar yang
berada di selatan pulau Lingga. Destinasi ini memiliki obyek wisata terkenal Pantai Batu
Bedaun. Dinamakan demikian karena di salah satu sudut pantai terdapat sebuah bongkahan
batu besar yang tumbuh sebuah pohon. Pantainya cantik membentang ke arah tenggara dan
ciri khas butiran pasir halus berwarna putih. Berjarak hanya 4 km dari kota Dabo, kota
teramai di Lingga. Kota ini bila diperhatikan secara fisik relatif lebih maju dari ibukota
kabupatennya sendiri, Daik di pulau tetangga. Terlihat dari infrastruktur yang lebih lengkap.
Mulai dari jalan raya, prasarana listrik/ air, rumah sakit, bangunan dll. Maklum pulau ini dulu
adalah penghasil timah terbesar setelah Pangkal Pinang (Bangka) dan Tanjung Pandan
(Belitung).
Dabo-pun memiliki bandara yang dapat didarati pesawat jenis Fokker-27 yang umumnya
berangkat dari Batam. Namun sejak penutupan tambang oleh UPTS (Unit Penambangan
Timah Singkep) tahun 1992 kota ini seolah bergerak mundur. Karena lambat laun ditinggal
penghuninya yang bermigrasi mencari peruntungan di pulau-pulau lain disekitar seperti
Batam, Tanjung pinang, Jambi, dan sebagainya. Maklum masyarakat Dabo kala itu sebagian
besar menyandarkan hidup pada Timah. Dabo kini dihuni oleh 70.000 jiwa penduduk.
Banyak bangunan megah tua eks PT Timah yang kini beralih menjadi aset Pemkab. Salah
satunya Gedung Pagoda di tengah danau buatan yang kini dijadikan Tourism Information
Center oleh Pemkab Lingga. Wisatawan yang ingin mendapat informasi lengkap wisata

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
53
Lingga dapat mengunjungi gedung ini. Kejayaan penambangan timah juga meninggalkan
jejak historis arus kedatangan tenaga kerja dari daratan Cina. Terbukti dengan banyak
kelenteng berusia tua di kota ini. Diantaranya adalah Kelenteng Cetiya Dharma Ratna yang
diperkirakan berusia 100 tahun lebih.
Usai mengunjungi Kepulauan Lingga. Tanpa terasa rasa cinta saya dengan Indonesia
yang begitu luas ini semakin menebal. Lingga tidak hanya menawarkan keindahan gugusan
kepulauan tapi juga kekayaan sejarah. Betapa di muara salah satu selat pelayaran penting di
dunia ini terbukti pernah menjadi pusat budaya sekaligus yang melahirkan budaya paling
berpengaruh di kawasan asia tenggara yaitu budaya Melayu. Tanpa perlu harus saling klaim
dengan negeri tetangga.
Perjalanan pulang kembali ke Batam saya terus terbayang kisah kebesaran yang terjadi di
perairan ini sambil sesekali membayangkan kenikmatan kuliner khas Melayu yang membuat
saya rindu untuk kembali. Rindu melihat pantainya yang berombak tenang, rindu keramahan
warganya.
Melewati ke Lingga, Negeri Bunda Tanah Melayu
Sang fajar baru saja menggeliat ketika kapal cepat yang kami tumpangi belum lama
meninggalkan Pelabuhan Sri Bintang Pura di Tanjung Pinang ibukota Propinsi Kepulauan
Riau. Bahtera berkapasitas 100-an orang itu membelah Selat Riau melaju ke Pulau Benan.
Pulau kecildi Kabupaten Lingga yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan.
Deburan ombak yang bergulung menghantam pinggiran kapal seolah berteriak
kepadasaya inilah Kabupaten Lingga. Sebuah  wilayah di Propinsi Kepulauan Riau dengan
kondisi geografis dimana 95% wilayahnya adalah laut dengan pulau-pulau kecil bertaburan.
Sebuah wilayah yang memang menjanjikan dahaga petualangan bahari. Semula rasa was-was
sempat menyelimuti. Apalagi mendengar cerita pedagang  minuman di dermaga. Bahwa
gangguan cuaca kerap menghampiri wisatawan yang menuju kepulauan ini. Namun perlahan
rasa cemas itu terusir dengan sendirinya. Guncangan ombakpun kemudian terasa sebagai sapa
kepada tetamu yang menuju Lingga. Apalagi perjalanan ditemani birunya langit dan laut di
perairan ini.
Menyebut nama Lingga mungkin terdengar asing. Apalagi jika mengukurnya sebagai
sebuah destinasi wisata. Perlu memanfaatkan ikon kaca pembesar dalam beberapa kali klik
untuk menemukannya di peta Propinsi Kepulauan Riau yang secara geografis berbatasan
langsung dengan empat negara tetangga. Letak Lingga berada diantara Pulau Bintan dan
Propinsi Bangka Belitung. Pilihan transportasi ada dua melalui laut dan udara. Pesawat tidak

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
54
setiap hari ada dan hanya dilayani melalui Batam yang mendarat di bandara Dabo di Pulau
Singkep salah satu dari dua pulau terbesar di Kabupaten ini. Sebagai gugusan kepulauan
dengan luas daratan hanya2.117.72 km sementara luas keseluruhan mencapai 45.456.7162.
Tak dapat disangkal moda transportasi laut adalah andalan untuk menjangkau pulau-pulau
dikawasan ini yang jumlahnya mencapai 531 buah. Lingga memang kabupaten maritim.
Bertandang ke Beranda Lingga
Tujuan kami adalah Pulau Benan. Pulau kecil yang bertengger disudut Kabupaten ini.
Kerap disebut sebagai “beranda nya Lingga” karena terletak di sisi terluar. Jarak tempuh dari
embarkasi kami hanya 60-90 menit. Bahkan bisa ditempuh lebih cepat dengan speed boat.
Kalaupun sedikit molor itu dikarenakan cuaca yang terkadang tidak menentu. Pulau ini
berbentuk unik menyerupai ikan paus. Luasnya sekitar 190.625 hektar.
Layaknya beranda. Pulau yang dihuni hanya 1000- an jiwa ini seolah menjadi anjungan
yang sempurna untuk menjamu ramah setiap tetamu sebelum memasukihalaman
sesungguhnya. Keindahan alam dan keramahan warganya menyatu sempurna. Mayoritas
penduduk beretnis Melayu. Mereka yang menyandarkan hidupnya pada hasil laut ini
menyambut kami dengan hangat saat kami menjelajah pemukiman menuju pantai. Senyum
bersahabat terlontar dari orang-orang yang asik bercengkrama di atas beranda kayu hingga
ibu-ibu yang sibuk menjemur sotong (sejenis cumi-cumi) di halaman rumah.
Panorama menawan yang tersajipun seolah ikut menyapa kami. Deretan pohon nyiur
melambai di sepanjang pantai landai berpasir putih disisi lain pulau. Airnya bening.
Menggoda untuk membenamkan tubuh. Selain berenang di sini anda juga dapat melakukan
snorkeling atau memancing. Kabarnya banyak pelancong asal negara tetangga yang dating
berkunjung dan sengaja menginap beberapa malam di rumah kelong (rumah ditengah laut
untuk menangkap ikan) di sini. Mereka ingin merasakan sensasi yang tidak di dapat di negeri
asalnya.
Saat berinteraksi dengan penduduk lokal, suasana unikpun terasa. Bentuk rumah dan
perkampungan, cara bertutur (bahasa) hingga budaya yang terlihat seolah berada di negeri
jiran. Dialek Melayu begitu kental. Jika tidak melihat sang merah putih berkibar bangga
diantara rumah-rumah panggung di tepi laut, barangkali saya tidak merasa masih di bumi
NKRI. Sebuah kalimat dengan logat melayu kental menyapa saya. “Nak cube rase tamban
salai tak? Tak usah bayar bang,ambik aje ni “ (Mau coba Tamban Salai? Silahkan ambil. Tak
usah bayar kok bang.) Tawar seorang bapak kepada saya ketika  memperhatikannya
mengasapi ikan-ikan. Ia lalu menyodorkan seekor tamban berwarna kuning keemasan ditusuk

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
55
lidi bambu. Sesudahnya saya juga disuguhi air kelapa muda segar dicampur gula merah.
Terasa nikmat.
Warga pulau ini memang begitu ramah dan terbuka. Tidak afdol rasanya mengunjungi
kawasan Pulau Benan bila tidak menyambangi Pulau Katang Lingga. Sebuah pulau mungil
dimana kita bisa menikmati keindahan terumbu karang. Airnya begitu jernih. Bahkan dapat
dinikmati hanya dari atas kapal tanpa perlu harus menyelam. Spot ini adalah salah satu
andalan wisata di Lingga.
Keindahan tak hanya berhenti disini. Pulau lain yang kami kunjungi berikutnya yaitu
Pulau Pena’ah juga menawarkan pesona yang nyaris sama. Masih di wilayah yang sama yaitu
Kecamatan Senayang. Pantai terbentang panjang berkontur landai di pulau seluas 24 hektar
ini. Airnya jernih berwarna hijau ke biru- biruan dan berombak tenang. Disekitar pulau ini
pun kita dapat menikmati keindahan taman bawah laut. Pulau ini juga dikenal sebagai
surganya para pemancing karena banyak terumbu karang sebagai tempat berlabuh untuk
memancing.
Lautnya kaya akan beragam spesies ikan seperti jenis kaci, kerapu, gelam, sampai ikan
kawan seperti jenis selar, selikur, dan ikan ikur kuning. Tak heran saat musim memancing
banyak orang berdatangan ke Pena’ah. Oleh pemerintah setempat setiap tahun digelar
“Lingga Fishing Festival”. Sebuah festival memancing modern internasional yang diikuti
peserta dari Indonesia, Singapore, dan Malaysia. Bisa dibilang ini adalah even utama di
Lingga. Sekaligus menjadi etalase memperkenalkan Lingga ke dunia luar.
Keseriusan pemkab Lingga dalam mendatangkan turis disini terlihat nyata. Pulau ini
didesain menjadi desa wisata. Sejumlah bungalow dibangun. Sebagian jalan setapakpun telah
dicor semen. Banyak aktifitas yang dapat dilakukan di Pulau Penaah dan sekitarnya
diantaranya diving atau Snorkeling di Pulau Pena’ah Kecil (Kecil), mengamati kehidupan
suku laut yang eksotik, menjelajah hutan mangrove di Pulau Kongki Besar atau menyaksikan
penyu bertelur di Pulau Kongki Kecil. Benan dan Pena’ah sebenarnya hanya sebagian kecil
dari tawaran keindahan Lingga. Masih banyak pulau-pulau lain yang belum terekspose.
Budaya dan Sejarah Bunda Tanah Melayu
Linggapun tak hanya menawarkan pesona ciptaan Tuhan. Tapi juga kekayaan budaya
ciptaan manusia. Sejarah mencatat Lingga adalah pusat Kerajaan Melayu yang berpengaruh di
Selat Malaka pada masa lalu. Yaitu pada masa kepemimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah
III yang menjadikannya pusat kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Lingga juga mempunyai
peranan penting dalam perjalanan sejarah budaya melayu, ditandai dengan warisan seni

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
56
budaya, situs bersejarah, pola hidup hingga bahasa yang kini menjadi cikal bakal bahasa
Indonesia.
Lingga adalah pusat kelahiran sekaligus berkembangnya budaya Melayu. Sehingga
Lingga dikalungi julukan “Motherland of Malay” atau Bunda Tanah Melayu demikian bahasa
tempatan menyebutkan. Bukti-bukti kebesaran kerajaan ini dapat kita liat di kota Daik.
Kamipun berencana menyambanginya. Saat sore beranjak kami tiba di ibukota kabupaten
yang berada di pulau terbesar itu. Kami memutuskan bermalam meski tak banyak opsi
penginapan. Maklum Daik adalah kota kecil. Meski bergelar ibukota kabupaten kota ini
terbilang hening. Penduduknya tak sampai 20.000 jiwa sehingga terasa begitu lenggang.
Meski sunyi, kota ini cukup fotogenik karena berlatar panorama alamnya yang cantik
yaitu Gunung Daik yang puncaknya bercabang tiga. Gunung yang bertengger di ketinggian
1.165 meter diatas permukaaan laut ini (mdpl) mempertontonkan keindahan sekaligus misteri.
Konon diyakini warga sekitar puncaknya dihuni masyarakat halus yang disebut bunian. Dari
bincang-bincang dengan petugas hotel memang gunung ini menyimpan sejuta kisah berbau
misteri itu. Banyak pendaki yang hilang saat mendaki puncak gunung yang menyerupai gigi
naga itu.
Namun tak menyurutkan semangat pencinta alam yang datang dari berbagai daerah
hingga  mancanegara. Keinginan merengkuh paras gunung ini seolah menggeser kisah seram
yang membalutnya. Gunung yang menjadi ikon Lingga ini juga yang turut menyumbang
sejarah nama Lingga. Dalam bahasa Tiochiu sebuah rumpun bahasa Sino-Tibet yang mirip
bahasa Hokkien, Lingga itu berarti gigi naga. “Ling” artinya naga. “Ga” artinya gigi. Istilah
itu konon muncul saat para saudagar Cina berlayar ke Indonesia melintasi daerah ini. Di hulu
sungai yang berada di kaki gunung ini jugalah berdiri pusat kesultanan Riau-Lingga di masa
lalu. Sebelum dipindahkan ke Pulau Penyengat di seberang Tanjung Pinang pada tahun 1900
oleh Sultan Abdulrahman Muasyamsyah. Kerajaan yang cukup termashyur di wilayah Selat
Malaka kala itu. Tapak-tapak sejarah kebesaran Kerajaan Lingga itu masih bisa ditelusur
lewat berbagai peninggalan yang tersisa. Kami berencana menyambanginya di hari berikut.
Keesokannya harinya cuaca cerah menyambut. Saya lebih dahulu berangkat memotret
sekaligus menikmati sunrise di Pelabuhan Tanjung Buton. Sebuah Pelabuhan yang baru
direnovasi. Dermaganya Berdiri kokoh dibalut beton menggantikan dermaga lama yang masih
sederhana berbahan kayu. Siap menyambut kapal-kapal besar yang datang dan pergi dari
berbagai daerah. Pagi itu, matahari terbit tidak hanya mengelir langit kuning kemerahan tetapi

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
57
juga menerpa halus sisi Gunung Daik di kejauhan sehingga tampak seperti dipoles penata rias
alam. Cantik sekali.
Sejumlah warga terlihat mulai beraktifitas. Mulai dari yang berangkat kerja di pulau-
pulau sekitar ataupun berangkat sekolah. Pompong (perahu kayu) hilir mudik mengalirkan
denyut nadi pagi yang mulai bergerak. Usai sarapan mulailah kami menjelajah pulau seluas
889 kilometer ini. Dengan prioritas menyambangi aneka situs sejarah. Agenda utama kami
adalah mengunjungi Museum Mini Linggam Cahaya. Sebuah museum yang menyimpan
sumber sejarah Melayu hingga beragam koleksi peninggalan kerajaan Riau-Lingga. Beberapa
barang yang dipamerkan di Museum yang berdiri sejak 2003 ini antara lain : naskah kuno,
senjata, alat kesenian, uang logam, peralatan kerja, paha (tempat meletak makanan/lauk
pauk), keto (tempat membuang sampah/ludah),dll. Koleksi itu terus bertambah seiring dengan
terus ditemukannya benda-benda kuno yang sebagian besar diserahkan masyarakat.
Tak jauh dari sini terdapat situs penting lain yaitu Istana Damnah, yang merupakan eks
bangunan istana yang dibangun 1860, pada masa pemerintahan Sultan Badrul Alamsyah II.
Sayangnya kondisi istana ini memang tidak lagi utuh alias tinggal reruntuhan.  Sehingga di
bangunlah replika istana ini di sebelahnya. Kami juga sempat mampir di Masjid Jamik Sultan
Lingga yang berada di Kampung Darat. Sebuah masjid tua yang berdiri tahun 1800.
Arsitekturnya didominasi warna kuning dan hijau khas etnis Melayu. Di pekarangan masjid
terdapat makam Sultan Mahmud Riayatsyah III beserta istri dan keturunannya. Semula kami
berencana melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Resun di desa Resun, Kecamatan Lingga
Utara.
Namun, akses jalan ditutup karena sedang mengalami perbaikan,kamipun mengurungkan
rencana menyambangi air terjun yang menurut forum diskusi dari beberapa situs backpacker
termasuk 10 buah air terjun terindah di Indonesia. Kami hanya menyempatkan mampir di
pemandian Lubuk Papan yang berlokasi pada aliran sungai Tanda. Pemandian ini kabarnya
memiliki kaitan erat dengan sejarah Lingga saat Daik menjadi ibukota kerajaan. Karena
merupakan lokasi aktifitas keseharian warga kerajaan.Lokasinya tak jauh dari Istana Damnah.
Usai berkeliling Daik yang banyak dipenuhi bangunan rumah-rumah asli Melayu, kami
menyeberang ke Pulau Mepar. Pulau kecil yang juga terkait sejarah Lingga. Untuk
menjangkaunya dapat menggunakan Pompong (kapal motor ukuran kecil). Hanya memakan
waktu 15 menit menyeberang ke pulau seluas sekitar 5000m2 dengan penduduk berkisar
400jiwa. Pulau ini selain menyimpan keindahan alam juga terdapat situs bersejarah berupa
benteng pertahanan yang berdiri diatas Bukit Cening . “Dulunya benteng ni berguna

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
58
menghalau serdadu Belanda dengan meriam”. Ujar seorang pemuda lokal yang menemani
kami mendaki bukit. Dari atas memang terlihat hamparan laut luas di hadapan deretan meriam
tua yang masih berdiri kokoh. Suasananya seolah melontarkan benak saya ke masa perang
Riau (1782-1784).
Saat daerah ini tidak henti dikoyak desing peluru dan asap mesiu. Saat kaum imperialis
mencoba mencengkramkan kuku di perairan yang merupakan jalur perdagangan penting.
Terbayang kepulan asap membumbung tinggi dari kapal-kapal Belanda yang beradu kekuatan
dengan meriam dari benteng ini. Bayangan suara dentuman keras akibat muntahan bola-bola
besi serasa terdengar kembali di telinga sebelum sebuah tepukan hangat dari sang pemuda
sambil berkata. “Yuk kita ke sebelah sana” mengajak saya berjalan menurun ke arah belakang
benteng berbatasan dengan salah satu rumah warga dimana terdapat komplek pemakaman
Keluarga Tumenggung Jamaluddin dan Datuk Kaya Montel. Menurut literatur adalah tokoh
yang diberi tugas Kesultanan Lingga sebagai Panglima. Tokoh Melayu yang terkenal hingga
semenanjung Malaysia. “Banyak peziarah dari Malaysia, Singapura dan Brunei yang
berkunjung kesini” Tambahnya.
Lepas dari Pulau Mepar kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Singkep. Pulau besar yang
berada di selatan pulau Lingga. Destinasi ini memiliki obyek wisata terkenal Pantai Batu
Bedaun. Dinamakan demikian karena di salah satu sudut pantai terdapat sebuah bongkahan
batu besar yang tumbuh sebuah pohon. Pantainya cantik membentang ke arah tenggara dan
ciri khas butiran pasir halus berwarna putih. Berjarak hanya 4 km dari kota Dabo, kota
teramai di Lingga. Kota ini bila diperhatikan secara fisik relatif lebih maju dari ibukota
kabupatennya sendiri, Daik di pulau tetangga. Terlihat dari infrastruktur yang lebih lengkap.
Mulai dari jalan raya, prasarana listrik/ air, rumah sakit, bangunan dll. Maklum pulau ini dulu
adalah penghasil timah terbesar setelah Pangkal Pinang (Bangka) dan Tanjung Pandan
(Belitung).
Dabo-pun memiliki bandara yang dapat didarati pesawat jenis Fokker-27 yang umumnya
berangkat dari Batam. Namun sejak penutupan tambang oleh UPTS (Unit Penambangan
Timah Singkep) tahun 1992 kota ini seolah bergerak mundur. Karena lambat laun ditinggal
penghuninya yang bermigrasi mencari peruntungan di pulau-pulau lain disekitar seperti
Batam, Tanjung pinang, Jambi, dan sebagainya. Maklum masyarakat Dabo kala itu sebagian
besar menyandarkan hidup pada Timah. Dabo kini dihuni oleh 70.000 jiwa penduduk.
Banyak bangunan megah tua eks PT Timah yang kini beralih menjadi aset Pemkab. Salah
satunya Gedung Pagoda di tengah danau buatan yang kini dijadikan Tourism Information

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
59
Center oleh Pemkab Lingga. Wisatawan yang ingin mendapat informasi lengkap wisata
Lingga dapat mengunjungi gedung ini. Kejayaan penambangan timah juga meninggalkan
jejak historis arus kedatangan tenaga kerja dari daratan Cina. Terbukti dengan banyak
kelenteng berusia tua di kota ini. Diantaranya adalah Kelenteng Cetiya Dharma Ratna yang
diperkirakan berusia 100 tahun lebih.
Usai mengunjungi Kepulauan Lingga. Tanpa terasa rasa cinta saya dengan Indonesia
yang begitu luas ini semakin menebal. Lingga tidak hanya menawarkan keindahan gugusan
kepulauan tapi juga kekayaan sejarah. Betapa di muara salah satu selat pelayaran penting di
dunia ini terbukti pernah menjadi pusat budaya sekaligus yang melahirkan budaya paling
berpengaruh di kawasan asia tenggara yaitu budaya Melayu. Tanpa perlu harus saling klaim
dengan negeri tetangga.
Perjalanan pulang kembali ke Batam saya terus terbayang kisah kebesaran yang terjadi di
perairan ini sambil sesekali membayangkan kenikmatan kuliner khas Melayu yang membuat
saya rindu untuk kembali. Rindu melihat pantainya yang berombak tenang, rindu keramahan
warganya.
Bunda Tanah Melayu, Warisan Kebudayaan dan Kemauan Politik
Tulisan ini merupakan pokok pikiran dari makalah yang penulis sampaikan pada seminar
tentang Revitalisasi Kerajaan Riau-Lingga, di Tanjungpinang, Kamis (29/8-2013) lalu.
Penulis menilai ada beberapa pokok pikiran yang penting untuk direnungkan dan
dijadikan pertimbangan kebijakan ke depan bagi Lingga dan Provinsi Kepulauan Riau.
Beberapa poin penting itu, di antaranya:
Pertama, klaim bahwa sebagai Bunda Tanah Melayu dalam visi dan misi masa depan
Lingga dan juga Kepulauan Riau, bukan tidak beralasan. Paling tidak kawasan ini yang
berada pada pusaran jatuh bangunnya Selat Malaka, adalah bahagian dari jatuh bangun sebuah
imperium besar, yaitu imperium Melayu. Lebih 500 tahun.
Dimulai dari Bintan, lalu ke Singapura, Malaka, Johor, sampai berakhir di Lingga.
Sebuah mata rantai sejarah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaaan yang panjang yang
diakui  telah melahirkan salah satu tamaddun besar di dunia, yaitu tamaddun Melayu, di mana
Lingga dan Kepulauan Riau telah ikut memberi warna bagi tamaddun besar tersebut, dan
mewarisi jejak-jejak kebesarannya.
Kedua, memang tidak terdapat cukup banyak bukti fisik dan tinggalan sejarah untuk
menandai jejak sejarah itu di Lingga maupun Kepulauan Riau, karena selain tidak terawat
dan  telah punah digerus waktu, juga karena ditelantarkan.

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
60
Tapi catatan-catatan tertulis dalam bentuk kronik, hikayat, dan naskah-naskah dan tulisan
kajian lainnya, telah menunjukkan Lingga dan Kepulauan Riau berada dalam pusaran itu,
berperan dan menentukan warna tamaddun tersebut sejak abad 14, dan lebih banyak bukti
tertulis yang dapat dikumpulkan, menjelang akhir imperium tersebut, awal abad 19.
Dalam Hikayat Hang Tuah misalnya, ketika Malaka berada dalam puncak kebesarannya,
Laksamana termasyhur itu, dikatakan pernah singgah ke Lingga, sebuah wilayah yang
dianggap sebagai bahagian dari Kerajaan Malaka. Juga dalam Sejarah Melayu.
Di zaman Kerajaan Johor, beberapa sultannya, telah menjadikan Lingga sebagai salah
satu tujuan dan ibukota sementara ketika menyingkir dari serbuan para musuh mereka
(Kerajaan Aceh, Portugis, dan lainnya ).
Juga ketika era  Riau-Lingga berperan sebagai pusat kekuasaan sendiri, sebuah kerajaan,
sebagai salah satu penerus Malaka. Buku Sejarah Riau misalnya, memuat banyak informasi di
sana, meskipun harus dibaca dengan hati-hati dan kritis.
Ketiga, banyak kawasan di pusaran Selat Malaka, sebagai bahagian dari imperium
Melayu itu, yang memiliki kesadaran sejarah dan budaya, yang telah menjaga, merawat, dan
mendaya gunakan warisan Imperium Melayu untuk menjadi bahagian dari kekuatan dan
kebesaran mereka kini, khususnya dalam bidang sosial ekonomi sehingga jejak sejarah dan
kebesaran imperium itu masih terasa dan berguna. Malaysia adalah yang paling piawai dan
cerdas.
Di negara bagian Malaka misalnya , mereka bukan saja berani memaklumatkan sebagai
kota sejarah, tetapi menjadikan semua warisan sejarah mereka yang diberikan oleh imperium
dan tamaddun Melayu itu sebagai warisan yang terus berbicara dan berperan, dan tidak terbiar
menjadi batu, artifak bisu, atau naskah-naskah kuno dalam perpustakaan.
Festival Sungai Malaka misalnya, adalah bahagian dari tradisi untuk mengenang dan
merawat ingatan tentang warisan sejarah ini. Bahkan terhadap warisan dari sang penjajahnya,
Portugis dan Belanda. Mereka mengibarkan bendera pariwisata sebagai jalan terhormat untuk
memberi tempat bagi melawan kelupaan kepada sejarah.
Keempat, mengapa Kepulauan Riau, khususnya Lingga, kawasan yang paling akhir
sebagai pewaris imperium itu, tidak menunjukkan kecerdasan yang memadai untuk memaknai
warisan sejarah besar itu dan menjadikan warisan tersebut terus bersuara, terus hidup, dan
memberi sumbangan-sumbangan baru yang kelak akan terus dikenang?  
Inilah tragedi Indonesia, karena kealpaan dan ketegaan membiarkan warisan peradaban
besar terlupakan, berkecai-kecai, terjadi hampir di mana-mana di negeri yang kita cintai ini .

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
61
Kita telah menyepakati bahwa kebudayaan Indonesia itu adalah kebudayaan yang terdiri dari
puncak-puncak kebudayaan daerah. Dan puncak-puncak kebudayaan itu tampak megah, dan
indah, bila kekuasaan yang melindungi, membesarkan serta memberi maknanya, adalah
kekuasaan dari salah satu puncak kebudayaan yang ada.
Kebudayaan itulah yang selalu kelihatan menjulang, besar dan berkembang, karena
memiliki sumber daya untuk membesarkananya. Sedangkan puncak-puncak kebudayaan lain
akan senantiasa kelihatan redup, jauh, karena tidak ada access power untuk membesarkannya.
Bahkan untuk mempertahankkanya dari keruntuhan zaman pun hampir tak berdaya. Itulah
tragedi sentralistis, karena kekuasaan di daerah-daerah tidak berdaya, tidak memiliki cukup
sumber untuk menjadikan sejarah dan warisannya sebagai sesuatu yang mulia dan berharga
untuk masa depan.
Beruntunglah kemudian muncul era otonomi dan desentralisasi. Era yang memberi
kekuasaan kepada para penguasa daerah untuk memutuskan mau diapakan artifak, naskah
kuno, makam tua, dan jejak tamaddun yang tersisa itu  untuk kepentingan masa depan
daerahnya.
Beruntunglah Lingga, beruntunglah Kepulauan Riau, beruntunglah Riau, kawasan-
kawasan yang menjadi tempat sisa-sisa terakhir tamaddun itu, yang memasukkan kesadaran
sejarah dan kebudayaan itu sebagai visi dan misi pembangunan hari depan mereka.
Sebuah kesadaran politik, sebuah keputusan politik yang arif. Meskipun berat dan
memerlukan waktu yang panjang, tetapi ini adalah modal yang sangat besar. Itulah yang
dilakukan Malaysia di awal kemerdekaan mereka, diawal pembangunan ekonomi dan
kebudayaan mereka.
Mereka telah memutuskan kemelayuan dan seluruh warisan sejarah dan tamaddunnya,
menjadi harta dan modal utama mereka sebagai bangsa dan negera. Dan mereka lebih cepat
dan konsisten menjaga kemelayuan dan tamaddunnya, karena sejak awal mereka adalah
negara federal, di mana negara-negara bagian mereka memiliki otonomi penuh, dan
kekuasaan besar untuk menghitamputihkan warisan sejarah dan kebudayaan mereka. Maka
tak heran, sebuah gedung warisan portugis pun dirawat dan dijaga sebagai artifak sejarah.
Makam-makam dijadikan objek wisata. Diberi bumbu legenda dan sejarah, dan lain-lain
gimmic marketing wisata.
Bagaimana di Lingga dan Kepri? Banyak gedung warisan Belanda sudah jadi taman dan
ruko. Fotonya saja sulit dicari. Makam-makam tua para peletak jejak sejarah Kerajaan Riau-

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
62
Lingga, misalnya, nyaris punah. Lihatlah makam Sultan Ibrahim, pembangun pusat
Pemerintahan Johor di Ulu Riau.
Sebentar lagi akan masuk ke dalam tongkang dan dijual sebagai biji aluminium. Zalim
terhadap sejarah, zalim terhadap tamaddun, zalim terhadap masa depan. Tak ada masa depan
tanpa masa lampau, dan dari masa lampaulah kita belajar. Mengabaikan masa lampau, adalah
kebodohan dan kesombongan manusia yang harus terus menerus dilawan. Bangsa yang
mengabaikan sejarah, adalah bangsa yang bebal.
Kelima,  bagaimana masa depan warisan imperium Melayu yang ada di Kepulauan Riau,
khususnya di Lingga, Bintan, Penyengat, Batam dan lainnya agar tetap terus memberi makna
dan sumbangan bagi masa depan pembangunan di kawasan ini? Bagaimana semangat Riau-
Lingga itu tetap hidup dan memberi sumbangan yang baru bagi perdaban Melayu ke depan,
paling tidak di Kepulauan Riau?
Belajarlah dari Malaysia, belajarlah dari Malaka, belajarlah cara dan politik memelihara
dan menyelamatkan warisan perdababan. Belajar membangun sebuah kebijakan sosial
ekonomi, berbasis warisan sejarah dan kebudayaan. Belajar membangun sektor wisata dari
mata rantai sejarah.
Hanya ada dua sektor penting pembangunan ekonomi dunia ke depan: Yakni pariwisata
dan teknologi, karena kedua-duanya bersumber dari kreativitas, sumber kehidupan 
kemanusiaan yang tak pernah kering. Sumber daya yang menjadikan manusia beradab dan
mewariskan kebudayaannya.
Semakin kreatif sebuah bangsa, semakin hebat dan cemerlang mereka. Kedua sektor ini
adalah bahagian dari kreativitas yang tak mengenal krisis. Kedua sektor ini tak mengenal
habis dan terus menerus bisa diperbaharui. Yang diperlukan hanya: Kesadaran politik dan
Kemauan Politik.
Dan Kepri dan Lingga sudah ada kedua-duanya karena sudah dituangkan dalam Perda
dan menjadi visi dan misi. Tuhfat an Nafis, Gurindam XII, masjid dari telur dan lainnya, itu
lahir dari kesadaran politik dan kemauan politik penguasa Riau Lingga ketika itu, dan kita
mewarisi dengan bangga. Warisan sejarah itu lahir dari proses kreativitas di sebuah pulau
kecil yang tak diperhitungkan dalam bentangan nusantara yang berpuluh ribu pulau.
Apa yang kita hasilkan secara historis dan menumental dari sana sekarang? Mungkin
sebuah Centre of Excelent (Pusat Keunggulan Intelektual), yang menjadi pusat kajian dan
kreativitas intelektual untuk menghasilkan konsep-konsep, gagasan dan pikiran-pikiran
cemerlang bagi masukan para penguasa dan kekuasaan di Kepulauan Riau, Lingga, Bintan,

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
63
dan lainnya dalam menjalankan kebijakannya untuk mewariskan masa depan kebudayaan dan
ekonomi yang cemerlang.
Paling tidak untuk mengenang kecerdasan para elit politik zaman Kerajaan Riau-Lingga
dulu yang mendirikan Rusdiyah Club, sebagai simbol dari pusat keunggulan dan pemikiran
Riau-Lingga ketika itu. Dari lembaga inilah pemberontakan kultural Riau Lingga melawan
Belanda dimulai dan digerakkan. Paling tidak, Centre of Excelent itu untuk mengenang
Kepahlawanan Megat Sri Rama.
Kalau dia tidak mendurhaka dan membunuh Sultan Mahmud II, maka belum tentu ada
Kerajaan Riau-Lingga itu, karena Kerajaan Johor belum tentu akan pindah ke Ulu Riau lagi,
belum tentu akan pindah ke Lingga, belum tentu akan berakhir tragis di Pulau Penyengat.
Pendurhakaan Megat Sri Rama itu, bukan hanya soal membunuh sultan, tapi lebih dari itu
adalah sebuah proses keputusan sejarah. Maka, belajarlah dari masa lampau, dan jangan zalim
terhadap sejarah.***

F. SOAL LATIHAN:
1. Deskripsikan secara kmprehensif kejayaan peradapan Maritim
2. Mendeskripsikan hakekat peradapan melayu
3. Mendeskripsikan peradapan dan adat istiadat Melayu
4. Jelaskan dan berikan contaoh actual berkaitan adat istiada melayu !
5. Deskripsikan keemasan melayu di Nusantara
6. Mengapa Kepulauan Riau disebut bunda tanah Melayu?

.
TAMADUN DAN TUNJUK AJAR MELAYU
disusun oleh:
TIM PENYUSUN BUKU.
64

Anda mungkin juga menyukai