NIM : F1D221033
TUGAS : WAWASAN KEMARITIMAN
A. Sejarah
Sejarah mencatat bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Dengan
alat navigasi seadanya, mereka telah mampu berlayar ke utara, lalu ke barat memotong
lautan Hindia hingga Madagaskar dan berlanjut ke timur hingga pulau Paskah. Dengan
kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong
munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak Maritim dan memiliki armada
laut yang besar. Memasuki masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Nusantara
adalah Negara besar yang di segani di kawasan Asia maupundi seluruh dunia. Sebagai
kerajaan maritime yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah
mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan
serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang di gunakan sebagai pangkalan kekuatan
lautnya. Tidak hanya itu, ketangguhan maritime kita juga ditunjukkan oleh Singasari di
bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut yang
tiada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari
kekerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat
menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukan
Bali dalam ekspedisi laut ke timur. Puncak kejayaan maritime Nusantara terjadi pada masa
Kerajaan Majapahit (1293-1478 M). Di bawah pimpinan Raden wijaya, Hayam wuruk dan
Patih Gaja Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan Nusantara.
Bangsa indonesia sudah di kenal dunia sebagai bangsa maritim yang maju. bahkan
bangsa indonesia perna mengalami masa keemasan sejak awal masehi menggunakan kapal
bercadik mereka berlayar mengelilingi dunia dan menjadi bangsa yang disegani
berbekalan alat navigasi seadanya bangsa indonesia mampu ke utaramemotong laut hindia
sampai magadastar dan berlanjut ketimur hingga pulau paska. Seiring perjalanan waktu
mendorong adanya mynculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang memiliki armada laut
yang besar. Bangsa indonesia terlahir sebagai bangsa maritim dibuktikan dengan adanya
temuan-temuan situs prasejarah di beberapa belahan pulau. penemuan situs prasjarah di
gua-gua pulau muna, seramdan arguni yang dipenuhi dengan lukisan perahu-perahu layar
menggambarkan bahwa nenek moyang bangsa indonesia merupakan bangsa seorang
pelaut. selain itu ditemukan kesamaan benda-benda sejarah antara suku aborigin
diaustralia dengan dijawa. ini menandakan bahwa nenek moyang bangsa indonesia telah
memiliki hubungan dengan bangsa lain.
C. Bukti Sejarah Maritim
Dalam perjalanan budaya bangsa Indonesia, para pakar sejarah maritim menduga
perahu telah lama memainkan peranan penting di wilayah nusantara, jauh sebelum bukti
tertulis menyebutkannya (prasasti dan naskah-naskah kuno). Dugaan ini didasarkan atas
sebaran artefak perunggu, seperti nekara, kapak, dan bejana perunggu di berbagai tempat
di Sumatera, Sulawesi Utara, Papua hingga Rote.Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pada
masa akhir prasejarah telah dikenal adanya jaringan perdagangan antara Nusantara dan
Asia daratan. Pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan peradaban
antara nusantara dan India.Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar dari India
(Arikamedu, Karaikadu dan Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa Barat (Patenggeng)
dan Bali (Sembiran).Keberadaan barang-barang tersebut diangkut menggunakan perahu
atau kapal yang mampu mengarungi samudera. Bukti tertulis paling tua mengenai
pemakaian perahu sebagai sarana transportasi laut tercetak dalam Prasasti Kedukan Bukit
(16 Juni 682 Masehi).Pada prasasti tersebut diberitakan Dapunta Hiya bertolak dari
Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan perbekalan sebanyak 200
peti naik perahu
Pada masa yang sama, dalam relief Candi Borobudur (abad ke-7-8 Masehi)
dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi
dugaan bentuk-bentuk perahu atau kapal yang sisanya banyak ditemukan di beberapa
tempat nusantara, misalnya Sumatera.
Dari lahan rawa basah ini pada Agustus 1987 ditemukan sisa-sisa perahu kayu.Sisa
perahu yang ditemukan terdiri dari sembilan bilah papan dan sebuah kemudi. Dari
sembilan bilah papan tersebut, dua bilah di antaranya berasal dari sebuah perahu, dan tujuh
bilah lainnya berasal dari perahu lain.
Sisa perahu yang ditemukan tersebut dibangun secara tradisional di daerah Asia
Tenggara dengan teknik yang disebut “papan ikat dan kupingan pengikat” (sewn-plank
and lashed-lug technique), dan diperkuat dengan pasak kayu atau bambu. Papan kayu yang
terpanjang berukuran panjang 9,95 meter dan terpendek 4,02 meter; lebar 0,23 meter; dan
tebal sekitar 3,5 cm.Pada jarak-jarak tertentu (sekitar 0,5 meter), di bilah-bilah papan kayu
terdapat bagian yang menonjol berdenah empat persegi panjang, disebut tambuko. Di
bagian itu terdapat lubang yang bergaris tengah sekitar 1 cm. Lubang-lubang itu tembus ke
bagian sisi papan.Tambuko disediakan untuk memasukkan tali pengikat ke gading-gading.
Papan kayu setebal 3,5 cm kemudian dihubungkan bagian lunas perahu dengan cara
mengikatnya satu sama lain. Tali ijuk (Arenga pinnata) mengikat bilah-bilah papan yang
dilubangihingga tersusun seperti bentuk perahu.Selanjutnya, dihubungkan dengan bagian
lunas perahu hingga menjadi dinding lambung.Sebagai penguat ikatan, pada jarak tertentu
(sekitar 18 cm) dari tepian papan dibuat pasak-pasak dari kayu atau bambu. Adapun,
kemudi perahu yang ditemukan mempunyai ukuran panjang 6 meter. Bagian bilah
kemudinya berukuran lebar 50 cm. Kemudi ini dibuat dari sepotong kayu, kecuali bagian
bilahnya ditambah kayu lain untuk memperlebar. Di bagian atas dari sumbu tangkai
kemudi terdapat lubang segi empat untuk memasukkan palang.
Di bagian tengah kemudi terdapat dua buah lubang yang ukurannya lebih kecil untuk
memasukkan tali pengikat kemudi pada kedudukannya.Bentuk kemudi semacam ini
banyak ditemukan pada perahu-perahu besar yang berlayar di perairan Nusantara,
misalnya perahu pinisi. Kedua, situs Kolam Pinisi. Situs ini terletak di kaki sebelah barat
Bukit Siguntang, sekitar 5 km ke arah barat dari kota Palembang. Ekskavasi yang
dilakukan pada 1989 ditemukan lebih dari 60 bilah papan sisa sebuah perahu kuno.
Meskipun ditemukan dalam jumlah banyak, namun keadaannya sudah rusak akibat
aktivitas penduduk di masa lampau untuk mencari harta karun. Papan-papan kayu tersebut
pada ujungnya dilancipkan kemudian ditancapkan ke dalam tanah untuk memperkuat
lubang galian. Papan-papan kayu yang ditemukan berukuran tebal sekitar 5 cm dan lebar
antara 20-30 cm. Seluruh papan ini mempunyai kesamaan dengan papan yang ditemukan
di Situs Samirejo, yaitu tembuko yang terdapat di salah satu permukaannya, dan lubang-
lubang yang ditatah pada tembuko-tembuko tersebut seperti halnya pada tepian papan
untuk memasukkan tali ijuk yang menyatukan papan perahu dengan gading-gading, serta
menyatukan papan satu dengan lain. Pada bagian tepi terdapat lubang-lubang yang
digunakan untuk menempatkan pasak kayu atau bambu untuk memperkuat badan
perahu.Pertanggalan karbon C-14 menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631
Masehi.
D. Bukti Arkeologi
Arkeologi maritim menemukan banyak bangkai kapal di bawah laut negeri ini,
dengan tahun pembuatan mulai dari abad 7 SM, memiliki teknologi pembuatan yang
belum ada duanya di dunia.Catatan-catatan dari para penjelajah, geographer, atau
sejarawan berbagai belahan dunia (Mesir, Yunani, China), menggambarkan tentang
penjelajahan pelaut-pelaut Nusantara, dengan kapal, hasil bumi, dan hasil budaya tinggi,
ke berbagai sudut dunia.
Sumber transportasi pada masa lampau adalah perahu. Namun belum ada data yang
meenyebutkan nenek moyang bangsa indonesia menegnal pembuatan perahu. hanya
sedikit data arkeologi dan sejarah yang berhasil mengungkapkan teknologi pembangunan
perahu adalah dari lukisan gua. Bentuk perahu pada masa itu dapat dikatakan sangat
sederhana. Sebatang pohon yang mempunyai gris tengah batang pohon cukup besar
mereka tebang. kemudian bagian tengah dikeruk dengan menggunakan alat sederhana
seperti beliung dari batu. Teknologi pembuatan perahu yang ditemukan antara lain teknik
pasak kayu atau bambu, teknik gabungan ikat dan pasak kaayu atau bambu serta
perpaduan teknik pasak kayu dan paku besi.
Masyarakat Pesisir meyakini bahwa lautan yang dimiliki oleh mereka berdasarkan
pembagian kawasan laut yang disahkan oleh Raja Desa itu merupakan suatu sumber daya
alam yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan lebihnya dijual untuk
keuntungannya.
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakterisik masyarakat agraris
atau petani. Dari segi penghasilan, petani mempunyai pendapatan yang dapat dikontrol
karena pola panen yang terkontrol sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki
dapat ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan. Berbeda halnya
dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya didominasi dengan pelayan.
Pelayan bergelut dengan laut untuk mendapatkan penghasilan, maka pendapatan yang
mereka inginkan tidak bisa dikontrol. “Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat
open acces dan beresiko tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti
nelayan memiliki karakter yang tegas, keras, dan terbuka”
Selain itu, karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek
diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat
dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek
moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka
menggunakan rasi bintang.
G. Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha
manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di
atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang
dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian
terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering
diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang
sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan
antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi
yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi
tempat seseorang dapat menyusun hubunganhubungan face to face dalam lingkungannya.
Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-
nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi
acuan tingkah-laku mereka. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang
muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan
lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama (Tiezzi et al). Proses
evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan
lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk
hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak
sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu
mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan
lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat.
Oleh karena itu, sangat beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas
yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.