Anda di halaman 1dari 27

“WAIRON DAN WAIMANSUSU : TEKNOLOGI PERAHU TRADISIONAL ORANG BIAK;

WARISAN SEJARAH DAN BUDAYA MARITIM DI PAPUA”.

Oleh :
Albert Rumbekwan, S.Pd. M.Hum
Apner Krey, S.Sos., M.Si
Dosen : Program Studi Pendidikan Sejarah Fkip Uncen
dan Dosen Jurusan Antropologi Fisip Uncen

Abstrak

Teknologi maritime perahu tradisional orang Biak yang dikenal ada 4 jenis antara lain:
Wairon, Waimansusu, Waisik, dan Waikarures. Keempat jenis perahu tersebut menjadi
sarana transportasi utama dalam pelayaran-pelayaran orang Biak di Pesisir Pantai Utara
Papua pada Abad VIII sampai dengan Abad XIX. Masyarakat pesisir dan kepulauan di
Papua, memeliki berbagai jenis perahu tradisional, dengan ciri khasnyanya masing-masing
berdasarkan latar belakang adat budayanya. Bagi Orang Biak, kedua jenis perahu yang sangat
artistic dan bermakna adalah Wairon dan Waimansusu. Kedua jenis perahu ini menjadi
sarana transportasi, penghubung dan kejayaan suku Biak di masa lalu.
Dewasa ini, keberadaan bahkan pembuatan kedua jenis perahu tersebut sudah sangat
jarang dijumpai di perairan Pulau Biak, Numfor dan Supiori, bahkan dipesisir pantai utara
Papua. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah perkembangan
teknologi pembuatan perahu modern berbahan viber yang mudah dan praktis diperoleh
dewasa ini. Namun pada tahun 2018 silam, seorang budayawan Biak, Dennis Koibur
membuat salah satu perahu tradisional orang Biak, yaitu perahu Wairon. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan pembuatan perahu tradisional Wairon dan Waimansusu
Suku Biak, sebagai Warisan Sejarah dan Kearifan Lokal. Penelitian ini menggunakan
pendekatan sejarah dengan 4 (empat) metode sejarah yaitu : Heuristik, Kritik Sumber,
Interpretasi dan Historiografi

Kata Kunci : Wairon, Waimansusu, Maritim Orang Biak, Papua

A. Pendahulan
Perahu merupakan sarana transportasi yang tertua, yang belum banyak diketahui
sejarahnya. Sarana transportasi tertua di dunia tersebut mulai muncul pada masa prasejarah. Bukti-
bukti tentang peninggalan perahu pada masa prasejarah dapat dijumpai dalam bentuk lukisan,
gambar, pahatan dan lain-lain1) Temuan bukti-bukti ini terjadi di Indonesia maupun kawasan di
luar. Perkembangan tentang bentuk perahu dapat diketahui secara runtut dari masa ke masa, karena
dari berbagai periode data tersebut ditemukan. Perahu merupakan sarana untuk memudahkan
bergerak dalam mencari kebutuhan akan makanan (mencari ikan di rawa, laut dan sungai),
merupakan sarana transportasi dan rekreasi. Barang-barang dagangan yang dihasilkan dari suatu

1
daerah harus dibawa dari tempat satu ke tempat lain 1.Dalam hal perdagangan atau pemindahan
(migrasi) penduduk dari satu tempat ke tempat lain perahu memegang peranan penting. Bahkan
perahu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk keperluan magis
religius. Bentuk perahu Nusantara dari masa ke masa dapat diketahui melalui bukti arkeologis
maupun bukti dari perahu-perahu sekarang yang dimiliki oleh berbagai etnis di Indonesia. Perahu
tradisional Indonesia sangat penting artinya bagi penelitian arkeologi, sejarah, antropologi bahkan
teknologi serta ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Hal ini disebabkan perahu memegang peranan di
segala aspek kehidupan manusia. Perahu-perahu dari masa prasejarah dapat menopang dalam
usaha pengungkapan tentang cara hidup manusia prasejarah, bagaimana cara mencari makanan,
bagaimana cara berdagang sampai dengan cara mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Dengan ditemukannya data tentang perahu dari masa prasejarah seperti di gua-gua dan ceruk
sangat membantu dalam merekonstruksi aspek kehidupan di masa lalu tersebut.
Proses migrasi manusia secara langsung atau tidak langsung telah merangsang dan
mendorong untuk mengadakan pengkajian bagaimana kemampuan suatu bangsa dalam menguasai
teknologi pembuatan perahu. Tidak mungkin terjadi persebaran budaya dari satu tempat ke tempat
yang lain, tanpa sarana transportasi yang dapat menunjang terjadi migrasi bangsa tersebut.
Persebaran suatu bangsa dan budayanya telah banyak diteliti oleh para ahli. Kondisi geografis di
kepulauan Indonesia yang terdiri dari lautan dan pulau-pulau dengan gelombang besar telah
memberikan pelajaran yang sangat berharga akan tumbuh dan berkembangnya teknologi
pembuatan perahu tradisional di tanah air. Perahu tradisional Nusantara telah dikenal dan
dimanfaatkan sejak dari jaman prasejarah, datangnya pengaruh kebudayaan India, di awal masa
perkembangan Islam dan berkembang begitu subur sampai masa kini. Rangkaian perubahan
tentang bentuk dan peranan perahu bagi kehidupan masyarakat dari masa ke masa perlu untuk
diketahui. Perahu tradisional Nusantara terdapat di berbagai wilayah di Indonesia. Perahu
tradisional dimaksud adalah perahu yang cara-cara pembuatannya dikerjakan melalui pengalaman-
pengalaman "getok tular" yang diwariskan oleh leluhurnya. Di samping itu perahu tradisional
Nusantara dibuat dengan bahan baku kayu yang dapat diperoleh secara mudah di berbagai tempat
di Indonesia2.
Sedangkan sebutan "Perahu Nusantara" mengacu pada keberadaan (eksistensi) perahu
tersebut yang dapat ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Setiap pulau atau etnis tertentu yang
hidup di dekat pantai, danau, dan sungai tentu memiliki perahu tradisional. Perahu tradisional
Nusantara yang menurut para ahli berasal dari perahu-perahu bangsa Austronesia dalam bentuk
perahu-perahu cadik terus berkembang secara perlahan-lahan sesuai dengan alam lingkungan di
mana perahu itu berada. Perahu tradisional Nusantara sangat menarik bukan hanya karena perahu
tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan transportasi dalam menunjang kemudahan
untuk bergerak (baik untuk mencari makanan, berdagang, menangkap ikan, mutiara maupun hasil
laut lainnya), tetapi penting pula dalam kaitannya dengan konsepsi kepercayaan. Perahu biasanya
dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa perjalanan arwah setelah arwah tersebut meninggalkan
raganya3.
Penduduk Papua yang mendiami daerah pesisir tanah besar, teluk dan kepulauan di
bagian utara, telah lama melakukan pelayaran-pelayaran dengan perahu-perahu tradisional
bercadik untuk berdagang, berperang dan bermigrasi ke berbagai daerah. Peristiwa-peristawa
pelayaran tersebut telah berlangsung jauh sebelum masuknya para pelaut dari Nusantara, Asia dan

1Haris Sukendar,1998/1999, Pustaka Wisata Budaya, Perahu Tradisional Nusantara,


(Tinjauan melalui bentuk dan fungsi), Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Hal.1
2Ibid, Hal. 3
3Ibid.

2
Eropa tersebut, orang Biak, orang Yapen dan Waropen telah melakukan pelayaran lebih dulu di
wilayah Teluk Cenderawasih, dan wilayah pesisir Utara Papua, akibatnya pengaruh masing-masing
suku sangat kuat dalam kehidupan dan interaksi di antara suku-suku di wilayah pesisir. Pelayaran
Orang Biak di Pesisir Utara Papua telah berlangsung dalam tiga tahap; pertama dimulai pada Abab
ke-8 sampai Abad ke-16. Periode kedua, Abad ke-16- abad ke-19 dan Periode ke-3, Sesudah Abad
ke-19 hingga pertengahan Abad ke-20. Dalam rentang periode tersebut, orang Biak telah berjumpa
dengan para pelaut Nusantara, Cina dan orang Eropa, melalui hubungan perdagangan barter,
berbagai jenis-jenis komoditi seperti; menukar para budak, burung cenderawasih, burung beo, kulit
kayu massoy, dengan komoditi dagang berupa; benda-benda logam dan porselin cina, kain sutra
dan manik-manik, dari para pelaut tersebut 4. Akibatnya kebudayaan suku bangsa Biak banyak
mendapat pengaruh dari kesultanan Ternate dan Tidore yang pada Abad XVI telah berkuasa atas
beberapa wilayah Raja Ampat dan beberapa daerah dipesisir Utara Nieuw Guinea5.
Kemampuan orang Biak dalam membuat perahu tradisonal sebagai produk industri
maritim yang baik, sangat mendukung aktifitas pelayaran dan perdagangannya di Teluk
Cenderawasih maupun ke seluruh pesisir Tanah Nieuw Guinea. Informasi sejarah pembuatan
perahu suku bangsa Biak-Numfor di Schouten-Eilanden pertama kali tertuang dalam kisah Mite
Koreri. Dikisahkan bahwa Mansar Manarmaker mendapat ilham dari Sampari/Kumesri, ketika
diberikan sejenis daun kayu yang bila menceritakan proses pembuatan perahu atau “way” oleh
Manseren Manggundi/Kayan Biak (Nama lain dari Mananarmaker dalam Mite Koreri), ketika
hendak melakukan pelayaran dari pulau Wundi. Pada waktu itu, Manseren Manggundi, Insoraki
dan anaknya Konori atau Manarbew hendak keluar mencari sanak kerabatnya, Manarmaker
menggambar perahu dengan sepotong kayu pemberian Koemeseri (bintang pagi). Jenis-jenis
perahu yang di gambar di atas pasir, pertama adalah perahu “Mansusu” dan menendangnya ke laut
namun tidak berhasil, lalu dibuatnya perahu kedua yaitu “Waisik/Wairon”, namun belum berhasil
juga, maka perahu ketiga yang digambar yaitu perahu “Karures” dan mendorong pasir itu dengan
kakinya lalu berlabuhlah suatu perahu dengan layar dan anak buahnya. 6 Tiga jenis perahu yang
disebutkan dalam mite Koreri itu, yakni; Wai Mansusu, Wairon dan Wai Karures itulah yang
digunakan oleh Orang Biak dalam melakukan pelayaran dan perdagangan di pesisir Teluk
Cenderawasih selamat berabad-abad sebelum masuknya teknologi kapal uap, dan perahu motor
jhonson.
Untuk pelayaran jauh perahu ini juga dilengkapi dengan layar dari anyaman daun
tikar (pandanus sp), yang diskors pada tiang, berbentuk kaki tiga (tripod), dengan dua kaki tetap ke
samping kiri dan kanan dengan pin, yang bekerja seperti engsel, dan tiang ketiga adalah
menyelinap atau tersangkut di tumpuan atas dan diikat dekat batang. Ketiga kaki atau tripot ini,
bukan menjadi sebuah perlengkapan tetap atau paten, dan mudah dilepas sehingga tidak
menghalangi aktifitas di perahu, maupun dapat dipasang secara cepat apabila musim angin dan
jurumudi memerintahkan untuk berlayar. Tiang tripod ini biasanya terbuat dari bambu, tapi
adapula terbuat dari kayu. Krieger (1899) mengatakan bahwa di Teluk Geelvink orang dapat
melakukan perjalanan mereka dengan layar kano besar pada tingkat 5 sampai 7 knot di angin yang
baik, dan bisa pergi sejauh 100 mil sehingga tidak nampak pulau-pulau atau perkampungan
4Johszua R. Mansoben, 1995, Sistem Kepemimpinan Tradisional Di Irian Jaya,
Penerbit LIPI, Jakarta, Hal. 270-271, Lihat juga, F.Ch. Kamma, Ajaib Di Mata Kita Jilid 1,
Hal 60-61
5Rosmaida Sinaga, Masa Kekuasaan Belanda di Papua, 1898-1962, Penerbit

Komunitas Bambu, Jakarta, 2013, Hal. 36


6Johszua R. Mansoben, Ibid, Hal. 87, Lihat juga F.Ch.Kamma, Kamma, F.Ch. 1972;

De Mesiaanse Koreri – Bewegingen In Het Biaks-Noemfoorse Cultuurgebied, di Indonesiakan


oleh Kaleb Mnubepiom, dengan judul: “Gerakan Messianis di Daerah Berbudaya Biak-
Numfor, The hague-martinus Nijhoffm.Hal. 43

3
mereka. Di dalam perahu terdapat sebuah tempat duduk (Er atau tuan/pemimpin pelayaran),
dimana dibuat suatu pondok, disampingnya terdapat tempat perapian atau dapur (pafen) yang
terbuat dari tanah liat, dan juga dilengkapi dengan dayung (kabores) yang digunakan oleh para
pendayung untuk menggerakan perahu7.
Daerah Biak-Numfor dan Supiori yang memiliki potensi wisata bahari yang menarik
yang memberi peluang mendatangkan wisatawan luar negeri dan lokal di wilayah tersebut.
Keberadaan perahu tradisional dalam sebuah festival budaya Munara Wampasi akan menjadi daya
tarik tersendiri. Seperti yang berlangsung pada tahun 2018, sebuah perahu tradisional orang Biak,
“Wairon”, dibuat oleh Denis Koibur, alumni Antropologi Uncen. Perahu Wairon Swandibru
berukuran panjang 34,9 meter, dibuat untuk diikutsertakan dalam fastival Perahu Perang dan Tifa
di Kepulauan Alotau, Provinsi Milne Bay Papua New Guinea. Kelangkaan konstruksi perahu
tradisional jenis Wairon dan Waimansusu dalam kebudayaan Biak saat ini akan menghilangkan
sebuah identitas budaya maritim dimasa lalu. Orang Biak yang dijuluki sebagai ; “The Viking from
Geelvinkbaai” tidak lagi memiliki kemampuan untuk membuat perahu tradisionalnya sebagai
symbol kejayaan maritim di pesisir utara pulau Papua. Dengan demikian penelitian ini sangat
penting untuk mendeskripsikan dan merekonstruksi kembali peristiwa sejarah pelayaran maritim
dengan perahu tradisional Wairon dan Waimansusu, sebagai sumber referensi bagi generasi
selanjutnya. Maka berdasarkan latarbelakang di atas, penelitian ini mengambil judul : “WAIRON
DAN WAIMANSUSU : TEKNOLOGI PERAHU TRADISIONAL ORANG BIAK; WARISAN
SEJARAH DAN BUDAYA MARITIM DI PAPUA”. Pertanyaan-pertanyaan analisis untuk
mengkaji rumusan judul di atas adalah; 1. Bagaimana cara pembuatan perahu tradisional orang
Biak? 2. Bagaimana pentingnya perahu tradisional Wairon dan Waimansusu bagi kehidupan
maritime orang Biak?,

B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk merekonstrusi kembali peristiwa sejarah
yang berfokus pada;” :“WAIRON DAN WAIMANSUSU : TEKNOLOGI PERAHU
TRADISIONAL ORANG BIAK; WARISAN SEJARAH DAN BUDAYA MARITIM DI
PAPUA”.. adalah metode Sejarah yakni; Heuristik, Kritik Sumber; Kritik Internal dan
Eksternal, Interpertasi dan Historiografi. Proses Heuristik Kegiatan Observasi Lapangan
Peneliti melakukan pencarian data lapangan secara khusus menemui pelaku Budaya Bapa
Denis Koibur sebagai budayawan Biak yang sudah membuat perahu tradisional “Wairon”
Peneliti juga melakukan telaah pustaka, pelacakan Foto, dokumen, gambar, Arsip dan
surat kabar yang memuat tentang teknologi perahu tradisional orang Biak. Proses telaah
pustaka ini, penulis mencara data di Perpustakaan online, jurnal, dokumen-dokumen
berbahasa Belanda, Inggris berbahasa Indonesia, daftar buku pribadi. Kritik Sumber
:Setelah tahapan Heuristik, peneliti melakukan kritik sumber yang terdiri dari Kritik
Eksternal dan Kritik Internal. Kritik sumber ini bertujuan untuk melihat kesahian dan
kebenaran dari sumber-sumber primer dan sekunder yang diperoleh pada tahapan
heuristik. Interpertasi atau Penafsiran :Setelah proses kritik sumber, penulis melakukan
penafsiran atau interpretasi terhadap bukti-bukti tertulis dan lisan, agar selanjutnya
penulis melakukan tahapan historiografi. Historiografi/Penulisan Kembali Pada tahapan

7Ibid, Hal. 331-332, Lihat Juga Feulletau de Bruyn, Bruyn, W.K.H. Feulletau de,

1920, Medeelinggen Encyclopaedische Bureau Aflevering XXI Schouten en Padaido Eilanden,


Javasche Boekhandel & drukkerij Batavia, di Indonesiakan oleh L. Jembise, dengan judul;
Kepulauan Naik Maju Supori-Byak-Numfoor-Padaido, 2004, Hal. 108

4
ini peneliti melakukan rekonstruksi kembali hasil kajian, menjadi laporan penelitian
lengkap untuk dipublikasikan

C. Pembahasan
1. Prehistori Perahu di Nieuw Guinea
Perahu merupakan sarana transportasi yang tertua, yang belum banyak
diketahui sejarahnya. Sarana transportasi tertua di dunia tersebut mulai muncul pada masa
prasejarah. Bukti-bukti tentang peninggalan perahu pada masa prasejarah dapat dijumpai
dalam bentuk lukisan, gambar, pahatan dan lain-lain. Perkembangan tentang bentuk
perahu dapat diketahui secara runtut dari masa ke masa, karena dari berbagai periode data
tersebut ditemukan. Perahu merupakan sarana untuk memudahkan bergerak dalam mencari
kebutuhan akan makanan (mencari ikan di rawa, laut dan sungai), merupakan sarana
transportasi dan rekreasi. Barang-barang dagangan yang dihasilkan dari suatu daerah harus
dibawa dari tempat satu ke tempat lain. Dalam hal perdagangan atau pemindahan (migrasi)
penduduk dari satu tempat ke tempat lain perahu memegang peranan penting. Bahkan
perahu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk keperluan
magis religious8. Bentuk perahu Nusantara dari masa ke masa dapat diketahui melalui
bukti arkeologis maupun bukti dari perahu-perahu sekarang yang dimiliki oleh berbagai
etnis di Indonesia. Perahu tradisional Indonesia sangat penting artinya bagi penelitian
arkeologi, sejarah, antropologi bahkan teknologi serta ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Hal ini disebabkan perahu memegang peranan di segala aspek kehidupan manusia. Perahu-
perahu dari masa prasejarah dapat menopang dalam usaha pengungkapan tentang cara
hidup manusia prasejarah, bagaimana cara mencari makanan, bagaimana cara berdagang
sampai dengan cara mereka berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan
ditemukannya data tentang perahu dari masa prasejarah seperti di gua-gua dan ceruk
sangat membantu dalam merekonstruksi aspek kehidupan di masa lalu tersebut 9.
Dalam hubungan ini, hipotesis untuk kekunoan perahu (kano) cadik ganda di
Asia Tenggara berkisar dari pra-Austronesia (>4.000 tahun yang lalu) (Horridge, 1987:
155; Irwin, 2010: 132) hingga Austronesia (<2.000 tahun yang lalu) (Doran , 1974: 135).
Tiga baris bukti menunjukkan penggunaan kano cadik di Selat Torres kembali ke
setidaknya 2.500 tahun yang lalu dan penggunaan perahu kembali ke 9.000 tahun yang
lalu. Sementara sisa-sisa arkeologi kano telah ditemukan dalam konteks pulau Pasifik
seperti gua pemakaman (misalnya Ballard et al., 2003) dan kano dan barang-barang kano
seperti dayung diketahui terawetkan dalam lumpur di sepanjang Teluk Papua (David et al.,
2005, 2008), tidak ada sisa arkeologi kano yang ditemukan di Selat Torres. Namun,
berbagai bukti arkeologis lainnya untuk kegiatan yang membutuhkan perahu
mengisyaratkan kemungkinan zaman kuno kano di wilayah tersebut. Haddon (1935: 313)
menulis bahwa sampan bercadik ganda adalah pengenalan awal ke wilayah yang
mengikuti jalur difusi yang dimulai di Indonesia ('di mana cadik ganda hampir universal')
dan bergerak ke arah timur di sepanjang pantai utara New Guinea sebelum berbelok ke

8Ibid
9Haris Sukendar,1998/1999, Log Cit.1

5
barat di sepanjang pantai selatan Papua ke Selat Torres dan ke selatan di sepanjang pantai
utara Queensland.
Jenis kano ini kemudian digantikan oleh kano cadik tunggal di sebagian besar
Melanesia. Davidson (1935: 71) juga mengemukakan difusi kano cadik ke Selat Torres
dari New Guinea tetapi berhipotesis bahwa 'cadik tunggal menyebar lebih awal daripada
jenis ganda' di sepanjang pantai Queensland. Golson (1972) berhipotesis bahwa sekitar
6.000-5.000 tahun yang lalu orang-orang Papua pindah ke Selat Torres menggunakan apa
yang dia anggap sebagai bentuk kuno kano cadik ganda yang memiliki attachment boom-
to-float langsung (yaitu pelampung cadik yang terpasang langsung ke akhir ledakan).
Selanjutnya, orang-orang berbahasa Austronesia yang menggunakan sampan cadik ganda
dengan sambungan boom-to-float tidak langsung (yaitu pelampung cadik yang dipisahkan
dari ujung boom oleh tongkat vertikal) pindah ke wilayah tersebut dalam 2.000 tahun
terakhir. Moore (1979: 308-313) dengan cara yang sama menyatakan pendudukan
sebagian Selat Torres pada 6.500 tahun yang lalu tetapi membatasi pengenalan kano cadik
ke serbuan Austronesia dari timur New Guinea sekitar 2.000 tahun yang lalu. Tanggal
2.000 tahun yang lalu yang dikutip oleh Golson dan Moore didasarkan pada bukti
arkeologi yang ada untuk migrasi masyarakat pengguna tembikar (Austronesia) di
sepanjang pantai selatan Papua Nugini pada waktu yang sama (misalnya Allen, 1972;
Vanderwal, 1973). Bukti terbaru untuk migrasi masyarakat pembuat tembikar ke Selat
Torres dari timur New Guinea sekitar 2.500 tahun yang lalu dengan kemungkinan
hubungan leluhur Austronesia (David et al., 2011; Mc Niven et al., 2006, 2011) mungkin
juga menandai pengenalan ganda kano cadik ke wilayah tersebut dan pengembangan apa
yang disebut Barham (2000) sebagai 'Kompleks Budaya Selat Torres' sekitar 2.500 tahun
yang lalu10. Dukungan tidak langsung untuk pengenalan kano cadik ke Selat Torres sekitar
2.500 tahun yang lalu berasal dari pantai Queensland. Misalnya, Beaton (1985)
mendokumentasikan jurusan peningkatan intensitas pekerjaan di wilayah Teluk Putri
Charlotte yang terletak hampir 500 km di selatan Selat Torres dimulai sekitar 2.500 tahun
yang lalu. Dia menyimpulkan bahwa: 'Penggunaan pulau-pulau 2.500 tahun yang lalu
mungkin harus menunggu pengenalan sampan cadik asal Papua-Melanesia' (Beaton, 1985:
18). Hipotesis Beaton tidak mungkin karena penggunaan pulau lepas pantai di sepanjang
pantai Queensland sejak itu terbukti telah berlangsung lebih dari 5.000 tahun (Barker,
2004; McNiven et al. 2014; Rowland, 2008). Untuk pantai tengah Queensland, Barker
(2004: 146) berpendapat bahwa sampan cadik, sebagai bagian dari paket yang lebih luas
dari 'teknologi kelautan khusus' yang mencakup tombak dan kail ikan, 'hadir hanya setelah
3000 BP ... atau bahkan mungkin kemudian, setelah 520 BP [c. 600 tahun yang lalu]’ (lihat
juga Mc Niven, 2006a; Rowland, 1987)11.
Lukisan seni cadas kano memberikan wawasan unik tentang zaman kuno dan
bentuk perahu di wilayah tersebut. Brady (2005: 449) mencatat 41 lukisan sampan di enam
pulau di sepanjang rantai pulau barat – Dauan, Pulu, Badu, Mua, Zurath dan Kirriri, dan di
daratan yang berdekatan di Somerset dekat Cape York. Untuk sebagian besar, usia lukisan-

10Ian J. Mc Niven and Garrick Hitchcock, 2015; Goemulgaw Lagal: Natural and

Cultural Histories of the Island of Mabuyag, Torres Strait. Memoirs of the Queensland
Museum | Culture Volume 8, Part 1, Published By Order Of The Board, Hal.131-132
11Ibid

6
lukisan ini tidak diketahui. Namun, penanggalan radiokarbon dari arang yang ditemukan
terkait dengan fragmen pigmen oker merah yang digali di bawah panel seni cadas dengan
dua dan mungkin tiga kano di Kabadul Kula di Dauan menunjukkan bahwa lukisan itu
dibuat sekitar 1.200-1.400 tahun yang lalu (Mc Niven et al., 2004a; McNiven et al., 2009).
Dalam beberapa tahun terakhir, sejarah jangka panjang perahu di wilayah tersebut telah
menjadi fokus oleh kesadaran bahwa kolonisasi Sahul (gabungan daratan Australia dan
New Guinea) selama Pleistosen akhir merupakan bukti tak terbantahkan paling awal untuk
penggunaan perahu laut yang sengaja dibuat oleh manusia modern (Balme et al., 2009;
Bednarik, 2003; Macauly et al., 2005). Dalam hal perahu air Pribumi yang dikenal secara
historis di Australia, kano Aborigin dan Penduduk Kepulauan Selat Torres di Queensland
utara memiliki minat khusus mengingat mereka mewakili satu-satunya contoh kano
dengan cadik yang diketahui. Secara umum diyakini bahwa konsep sampan cadik
menyebar ke timur laut Australia dari Melanesia di mana jenis sampan serupa biasa
terjadi12. (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Lukisan Perahu Prasejarah di Nieuw Guinea

Gambar 4 : https://app.cnnindonesia.com/Lukisan purba berupa perahu layar dan cicak di dinding


Batu Situs lukisan prasejarah di Raja Ampat Teluk Mayalibit, kawasan Misool Selatan.

Arsitektur maritim sebagai sebuah proses interaksi kreatif antara manusia


dengan material yang ada lingkungan sungai, pesisir dan laut di Indonesia sangat
ditentukan perkembangannya oleh budaya belajar masyarakatnya. Sebelumnya, selama
berabad-abad, arstitektur maritim telah berkembang secara organik dan konvivial sehingga
menghasilkan beragam karya rumah pesisir tropis dan perahu-perahu Nusantara yang
menginspirasi dunia bahkan sebelum zaman Mesir kuno. Kedua jenis artefak ini
merupakan respons kreatif dan jenial dari manusia Nusantara sebagai respons atas
tantangan yang dibawa oleh iklim tropis, lingkungan sungai, pesisir dan laut. Budaya

12Ibid., Hal.133

7
maritim adalah kumpulan tata nilai, cara pandang dan sikap hidup yang berpusat pada air
sebagai sumber kehidupan. Karena massa air di planet bumi ini kebanyakan di laut, maka
budaya maritim diartikan lebih berdimensi laut terutama laut sebagai ruang kehidupan
(lebensraum)13. Dari uraian di atas maka jelas bahwa perahu sangat bermantaat bagi ilmu
pengetahuan dan oleh karena perahu belum banyak ditulis oleh para peneliti maka penulis
tertarik memililih obyek penulisan tentang perahu Suku Biak, sebagai warisan nenek
moyang panting bagi usaha untuk memupuk kesadaran budaya dan harga diri dan cinta
tanah air.

D. Arti dan Makna Wairon dan Waimansusu bagi Orang Biak


Suku bangsa Biak, pada masa lalu memiliki kurang lebih 4 jenis perahu, namun
terdapat dua jenis perahu yang sangat terkenal dan sangat penting bagi aktifitas pelayaran
dan perdagangannya di perairan Teluk Cenderawasih dan pesisir Utara Papua, yaitu;
Wairon dan Waimansusu. Secara etimologi Biak, wai; perahu dan roon, asal tempat
perahu itu dibuat dari wilayah pulau Roon/Wandamen (sekarang Kab. Teluk Wondama),
sedang kata Wai (perahu), man-susui kata; perahu bentuk leher burung. Perahu bagi suku
Biak memiliki makna yang berkaitan erat dengan dominasi Kebudayaan Biak yaitu
Kebudayaan Kemaritiman. Khususnya bagi masyarakat Pesisir dan di Kepulauan, makna
dan nilai Perahu merupakan salah satu alat transportasi segala-galanya bagi kehidupan
orang Biak.
Perahu didalam lingkungan kebudayaan Biak itu adalah segala-galanya bagi
orang Biak. Sehingga perahu itu ada, maka mereka bisa dapat melakukan segala
aktivitasnya. Baik melakukan pelayaran perdagangan, perang dan perahu juga sebagai peti
mati. Perahu sangat bermakna bagi kebutuhan pangan kehidupan mereka. Ada beberapa
makna yaitu: makna ekonomis, makna politis, makna religious, dan Budaya14. 1). Makna
Ekonomis : Kehidupan masa lalu, diantara mereka siapa yang memiliki perahu, dia bisa
melakukan pelayaran dalam hal perdagangan untuk mendapatkan perlengkapan hasil
makanan. 2). Makna Politis : Secara politik, akan menimbulkan gengsi (nama besar] dan
juga memberikan ekonominya menjadi lipat ganda bahkan membuat mereka bisa menjadi
terkenal dimana-mana.3) Makna Religius Selain perahu digunakan sebagai alat
transportasi dalam pelayaran, perdagangan, dan perang, digunakan juga sebagai peti mati
di kuburan masa purba. 4) Makna Budaya : Secara budaya, perahu dengan keunikan
aksesorisnya pada perahu memiliki makna yang melekat dengan identitas budaya yang
membedakannya aksesoris budaya suku bangsa lain.
Dengan demikian, perahu tradisional suku bangsa Biak sangat penting dalam
keberlangsungan siklus hidupnya, bila mana seorang/kelompok keret Biak keluar berlayar
dengan perahunya, ia dapat berjumpa dengan kerabatnya, atau kelompok suku lain di
seberang lautan, ia pergi untuk memperdagangkan produk komuditasnya, membangun
manibob (sahabat dagang), ia akan pulang dengan berbagai sumber makanan dan hasil
dagang, ia pergi menandai jejak pada suatu daerah untuk generasi Biak akan datang atau
13Daniel Mohammad Rosyid, Apridar,et al, 2016, Menuju Kedaulatan Maritim
Indonesia; Gugusan Gagasan dan Pemikiran Segenap Pejuang Intelektual untuk Negara
Maritim Indonesia, Penerbit. Graha Ilmu & Graha Literata, Jogjakart, Hal. 28-29
14Wawancara, Bapak Denis Koibur, 47th, Budayawan Biak, Jayapura, 9-10 Agustus

2021

8
membawa pulang kejayaan, namun ia juga akan menjalin hubungan yang akrab, untuk
kehidupan bersama dan menjadi agen perubahan di dunia barunya, mengembangkan
pengetahuan barunya untuk kemandiriannya dan orang lain. Dunia pandang orang Biak,
laut adalah jembatan penyeberangan untuk mencapai tujuannya. Hal-hal tersebut di atas
sangat berkaitan dengan posisi geografis pulau Biak-Numfor dan Supiori, di posisi utara
Papua, pandangannya dapat tertujuh ke arah selatan, timur, dan barat Papua. Sehingga
perahu adalah sarana pelintas di atas laut yang bergelora, dengan dukungan angin dan
bintang di malam hari sampailah ia disetiap daerah-daerah baru.

E. Konstruksi Perahu Tradisional Wairon dan Waimansus


Teluk Geelvink membujur dari Tanjung D'Urville atau Amberno di timur (137°
50') hingga Tanjung Saweba atau Veakke di barat (sekitar-130°). Satu-satunya tempat
daratan yang disebutkan adalah Kwatisore di fundus teluk (135 °), pantai Wandamen di
sisi timur Teluk Wandamen, dan Manokwari (Dore, Dorey, dll.) di barat laut. Di mulut
teluk pulau-pulau yang menjadi perhatian kita di sini adalah: Kepulauan Schouten
(Misore), termasuk Supiori (Suk) dan Wiak (Biak). Desa Wari berada di pantai utara
Wiak, desa Mokmer di pantai selatannya, dan desa Bosnik di ujung timurnya. Desa Korido
berada di pantai selatan Supiori; mungkin ini adalah Kordo dari Uhle. Di tengah teluk
adalah Japen ( Jobi), di pantai Utara yang Pom dan Sirewen dan di pantai selatan Serui,
Teluk Wooi, dan pulau kecil Ansus. Numfur (Nufoor, Mafur) terletak di antara Wiak dan
Manukwari. Guillemard (1889, p. 406) menulis tentang kano Ansus (gbr. 18i) 15: Asal-usul
nama perahu yang digunakan oleh orang Biak-Numfor, dalam pelayaran dan perdagangan
telah dikisahkan dalam Mite Koreri, bahwa: “Yawi Nusahado atau Mananarmaker, memiliki
“rahasia”, mengukir kayu dan mengarang lagu (sajak/puisi). Rahasia tersebut diperoleh ketika ia
menangkap Sampari di atas pohon kelapa, saat Sampari turun meminum saguwer buatannya.
Sampari menawarkan salah satu jenis pohon, kepada Manarmakeri, bahwa; jika daunnya dibawa
dan digantung ditubuhmu (maksudnya dimakan) atau dimuka rumahnya, ia akan menjadi pembuat
perahu yang hebat dan terkenal sampai ke tempat yang jauh lalu orang akan berlomba-lomba
membeli perahunya. Sampari juga memberikan sepotong kayu kepada Manarmaker, yang
berfungsi untuk membuat apa saja, menggunakan sepotong kayu tersebut, menggambar di atas
pasir, maka akan terjadi. Dengan sepotong kayu tersebut, diciptakannya beberapa jenis perahu,
digambar di atas pasir pantai lalu ditendang dan jadilah sebuah perahu; pertama dibuatnya perahu
mansusu, namun tidak berhasil, lalu dibuatnya perahu kedua yaitu waisik/wairon, namun belum
berhasil juga, maka dibuatlah perahu yang ketiga yaitu Karures di atas pasir dan mendorong pasir
itu dengan kakinya lalu berlabuhlah suatu perahu dengan layar dan anak buahnya”.
Distribusi perahu di Teluk Cenderawasih sampai Tanjung D'Urville atau
Amberno di sebelah Timur dan Cape Saweba atau Veakke di Barat, berasal dari daerah
Kwatisore di Teluk Fundus, Pantai Wandamen di sisi Timur dari Teluk Wandamen, dan
Manokwari (Doré, Dorey, dll) di Barat Laut. Daerah atau kampung pendistribusian perahu
tradisional di wilayah Biak-Numfor terdapat dipesisir Utara Biak, kampung Wari dan
Mokmer di pantai Selatan, serta Bosnik bagian Timur Biak, dan Desa Korido, Sowek di
pantai Selatan pulau Supiori dan pulau Numfor (Nufoor, Mafur) yang terletak antara Biak
15Haddon, A.C and James Hornell, 1975 (reprint) Canoes of Oceania, Bishop Museum

Press, Honolulu, Hawai'i. © Bishop Museum Press, Use of any part of this publication for
any purpose must be acknowledged , Hal. 320

9
dan Manokwari. Serta teknologi perahu dari jajaran kepulauan Yapen, yakni; Yobi, Pom,
Serewen di pantai Utara dan di pantai Selatan Serui, Teluk Wooi, dan Kampung Ansus.
Jenis-jenis perahu tradisional di wilayah Teluk Cenderawasih, umumnya memiliki
kesamaan; jenis bahan, bentuk badan perahu, kardam atau cadik, layar, rumah perahu dan
bentuk penggayu, hanya cara penyebutan jenis asesoris dan ukiran penghias bagian-bagian
perahu tersebut yang berbeda. Di Biak-Numfor, bahan pembuatan perahu tradisional
menggunakan jenis kayu Morf atau Adai (albizzia Moluccana Mig), kayu Morem (litsea
tuberculata), Moref (palaquium amboinucum), Adoi (adenanthera microsperma), Ainus
(litsea ampla merr), Muruwai (toona sureni), Mansamoi (ficus adenosperma), Manjau
(sterculia parkinsonii), Barnesem (macaranga tanarius), Sner (manilkara), Kabuy (intsia
bijuga), Are (pometia curiacea dan pometia acuminnata), Marempiam (litsea odorofera
vall), dan Aimamur (baringtonia sp), disamping jenis kayu tersebut diatas ada pula bahan
lain seperti rotan (calamus sp), yang digunakan sebagai pengikat16.
Cara pembuatan perahu tradisonal: Wai Mansusu (Perahu Dagang), Waisik atau
Wairon (Perahu Perang) dan Wai Karures (Waipapan), maupun sebuah perahu bercadik
tunggal untuk aktivitas sehari-hari17. Tidak bisa dikerjakan oleh sembarang orang, Esau
Rumbrawer menjelaskan bahwa : “Untuk menentukan seseorang yang dapat membuat perahu,
tidaklah sembarang menunjuk seseorang, seorang mananwir mnu-lah yang akan memberi
keputusan bijak, ketika melihat dan memperhatikan setiap anak muda dikampungnya, yang
memiliki bakat, setelah itu seorang anak muda tersebut, dibawa kepada seorang tua yang memang
memiliki keahlian dalam membuat perahu, untuk mengajarkan keahlian itu kepada anak tersebut.
Dan jika anak itu dilihat berbakat membuat perahu, ia akan diberikan semacam “daun” untuk di
makan, agar anak muda tersebut benar-benar ahli dalam membuat perahu. Keahlian membuat
perahu dan “Daun perahu” ini biasanya diturunkan dari seorang “om” atau paman”.
Pengerjaan perahu ini dilakukan oleh kaum laki-laki, proses awal dimulai dengan
memilih jenis kayu yang kuat (tidak mudah pecah), lurus, tidak bercabang-cabang dan
berongga, dan mudah dibentuk, kemudian menebangnya, sesuai bagian yang ditetapkan
menjadi posisi atas pada saat proses pengerjaannya. Alat-alat yang digunakan antara lain;
kapak, parang (sumber), desel atau marmer (mangarwar). Pohon kayu yang telah
ditebang, kulitnya dibuang lalu dijemur kurang lebih 3-4 hari, agar mempercepat
pengeluaran cairan atau getah kayu dari dalamnya, itupun tidak boleh terlalu kering karena
dapat menyebabkan pecah pada kayu tersebut18.
Proses pembentukan badan perahu dimulai dengan cara mematok sebagian isi
kayu, dan membentuknya setengah jadi, agar badan perahu lebih terbentuk,
dilakukanlah proses pengasaran atau pembakaran bagian bawah perahu, sedang bagian
yang telah dikeluarkan isinya dimasukan air, kemudia di bakar dari bagian bawah
secara merata, agar terjadi pelebaran pada bagian perahu sesuai keinginan pembuat.
Setelah itu didalam perahu dipasang beberapa nok yang di pahat atau semacam paku
kayu dari kayu besi yang disebut “pasrif”, berukuran satu jari, dan di bagian atas bodi
perahu ditambahkan papan pada sisi kiri dan kanan serta celah yang terdapat antara

16Feulletau de Bruyn, Ibid, Hal. 111 dan Albert Rumbekwan, 2014, Tesis : Pelayaran
dan Perdagangan Orang Biak di Teluk Cenderawasih Abad XIX, Jurusan Sejarah, FIB-
Universitas Indonesia, Hal.65
17F.Ch. Kamma, “Koreri…”:, Op.Cit, Hal. 44
18 Feulletau de Bruyn, Ibid, Hal. 108.

10
badan perahu ditutup dengan getah dari gaba-gaba (metroxylon rumpii)19.Setelah badan
perahu selesai dikerjakan, dilanjutkan kemudian dengan pemasang semang dan naju
sebagai penyeimbang. Panjang sebuah perahu, 12-15 meter dan lebar badan perahu
disesuaikan dengan besarnya diameter kayu yang diperoleh, karena lebaridak merata,
maka perahu itu berbentuk lesung. Panjang semang atau najung, dapat mencapai 4-5
meter lebar cadiknya dan dilengkapi dengan dua atau tiga semang (manjau), ukurannya
disesuaikan dengan panjang perahu. Dalam lambung kano atau perahu terdapat
penopang lurus yang memanjang dari sisi ke sisi dan di bagian atas kano ini dipasang
sepasang lutut dan tungkai horizontal yang tumpang tindih dan diikat bersama-sama.
Kano ini juga terdapat punggung membujur perforasi dalam tepi atas ruang istirahat dan
sepanjang bagian bawahnya 20. Jenis-jenis peralatan pembuatan perahu, peralatan yang
sangat vital yang digunakan dalam proses pembuatan sebuah perahu tradisional adalah
Manggarwai. Sedangkan kapak dan parang itu digunakan pada saat penebangan dan
menguliti bagian dari luar kayu. Ada juga pahat dan sekap, sekap untuk menghaluskan
bagian bodinya, dan pahat digunakan untuk memahat ukiran. Ada 2 jenis
Manggarwai21: Manggarwai yang diputar, Manggarwai satu posisi (Desel), Kapak,
Parang, Sekap, Pahat
Dari beberapa alat yang sudah disebutkan, Manggarwai merupakan alat yang
wajib dimiliki oleh setiap tukang. Dan juga bagi yang tidak menjadi tukang pun, harus
memilikinya. Ketika diantara mereka yang bukan tukang, mau ambil tukang untuk
kerjakan perahunya. Kemudian tukang tersebut, lupa atau rusak alatnya, maka alat
tersebut yang diberikan kepada tukang untuk digunakan. Bagian mana yang harus dibuat
dan bagaimana tahapan pembuatan?. Tergantung pada setiap kreatifitas tukang yang
mengerjakan perahu tersebut. Tidak menjadi suatu keharusan yang akan dikerjakan oleh
tukang perahu. Biasanya ada yang stel bodi bagian luar, kemudian menggali bagian
dalam, ada juga yang menggali bagian dalam setelah itu, stel bagian luar. Ketika proses
pembentukkannya sudah selesai, dan tahapannya di dinding dengan papan (arsen),
dipasang najun (yas), pasak (fakok), seman (manjau), di ukir (karere/famanggor) dan
dipasang layarnya. Tahapan sebagai berikut22 (Lihat gambar 1),: Dinding papan (Arsen),
Najun (Yas), Pasak (Fakok), Seman (Manjau), Layar (ayun), Ukiran
(Karere/Vamanggor) Waktu yang dibutuhkan untuk membuat perahu tidak dapat
ditentukan secara pasti yaitu dua minggu sampai dua bulan. Hal ini disebabkan karena
pekerjaan membuat perahu merupakan pekerjaan sambilan, sehingga pekerjaan ini hanya
dilakukan jika ada waktu luang. Namun jika mendapat pesanan maka pekerjaan ini dapat
diselesaikan dalam dua minggu 23.
Dalam pembuatan perahu tradisional orang Biak terdapat ritual karena magic,
yang tidak berkaitan dengan penunggu-penunggu. Dalam magic-magic produktif,
perempuan dianggap kotor dan sistem prediknya perempuan merupakan bumi dan laki-
laki adalah langit. Hal-hal berkaitan dengan magic produktif itu adalah melarang

19 Albert Rumbekwan, ibid


20Haddon, A.C and James Hornell, Op.Cit, Hal. 331-322
21Denis Koibur, Ibid
22Ibid
23Ibid

11
perempuan, mendekati perahu, tidak boleh memegang peralatan kerja. Dengan alasan
bahwa, perempuan itu dilarang dari awal pembuatan perahu, karena perahu itu mau
digunakan untuk menangkap ikan jahat. Sehingga proses ritual magic itu lebih sakti. Hal
ini merupakan perempuan dianggap sebagai pemali dalam proses pembuatan perahu.
Butuh berapa waktu untuk menyelesaikan sebuah perahu tradisional24.
Gambar 1 :
Desain Konstruksi Perahu Tradisiona Wairon dan
Waimansusu Suku Biak

Sumber : Desain oleh Albert Rumbekwan, 2021

Perahu-perahu tersebut kemudian diberi hiasan, seni ukir di bagian depan dan belakang
perahu, dan juga di bagian buritan. Misalnya jenis perahu Wairon dan Wai Mansusu diberi
ukiran Snober atau Snifer, yang berbentuk ukiran patung, diikat dengan aren dan diberi hiasan
bulu kasuari, ada pula motif ukiran naga, buaya, dan ada motif yang penggambarannya berwujud
serangga, seperti belalang sembah atau praying mantis, atau binatang laut sejenis udang pasir
(ryas) 25. Hiasan snober atau snifer perahu ini terbuat dari batang pohon yang berwarna kuning
muda, dan tipis di bagian kedua sisi ditekan hingga menjadi sangat datar, lalu bagian atas diberi
pengait, di ujung atasnya cabang-cabangnya tidak bergaris melengkung tetapi bergaris lurus
secara vertikal, dan terbagi dua, sebagian berbentuk ikal, dan lainnya lagi berbentuk gelombang,
panjangnya 92 cm, lebar 20 cm. Masyarakat Biak-Numfor memiliki 3 warna dasar yakni; merah,
24Ibid
25Armold AP., Seni Ukir Teluk Geelvink, dalam Don. A.L. Flassy (ed), Refleksi Seni

Rupa Di Tanah Papua, Penerbit. Balai Pustaka, Jayapura, 2007, Hal. 60

12
putih dan hitam, namun kadang-kadang terdapat pula warna kuning dan hijau, yang lasim
digunakan dalam pewarnaan snober atau snifer26. Lukisan dan ukiran dalam masyarakat Biak-
Numfor umumnya berbentuk lipatan dan kebanyakan ditempatkan pada perahu (sara) dan pada
patung (amfianir). Motif dasar ini diilhami oleh pucuk pakis atau mampenas muda yang
berlipatan dan juga kerang (koromboa) yang sedang merayap mengeluarkan lidah, seperti antene
yang ujungnya terlipat, lainnya lagi adalah kerang triton atau k’bur, baik warna kulit maupun
ujung antenanya selalu berbentuk lipatan. Kerang koromboa tersebut biasanya diikatkan pada
haluan perahu (sara wairon) sebagai benda hias selain mengandung nilai magis guna menolak
bala yang sekiranya ditimbulkan oleh kuasa-kuasa laut27.
Gambar 2 : Perahu Tradisional Orang Biak

Sumber : Koleksi foto Papua Tempoe Doloe (Albert Rumbekwan)

Kapasitas angkut sebuah perahu bisa mencapai 1000-1600 kg atau 1600-2500 kg,
dengan jumlah pendayung untuk perahu kapasitas besar, berjumlah 30-40 orang,
ditambah dengan tuan perahu (er) dan keluarga (er), jurumudi, seorang ahli nujum
(peramal) yang biasa melakukan ramalan menggunakan sebuah korwar untuk meminta
petunjuk sebelum melakukan pelayaran. Harga pembelian perahu dengan kapasitas
angkut yang disebutkan di atas, berkisar antara f 75-f 150 gulden atau f 150-f 300/f600.28
Secara historis, ketiga jenis perahu ini; wairon, waimansusu dan waikarures, memiliki
kenangan yang kuat dalam tradisi pelayaran maritim orang Biak pada masa lalu, karena
dengan perahu-perahu tersebut orang Biak melakukan pelayaran jauh, untuk berdagang,
mengayau, berinteraksi dan membangun hubungan dengan sesama suku di Papua dan
suku-suku dari luar. Dari proses pewarisan dan rasa tanggung jawab mengenai perahu,
maka jangan hanya bercerita saja. Tetapi harus melakukan, sehingga dengan bukti maka
orang yang mendengar cerita, melihat bentuk perahu, maka bisa mengerti bahwa perahu
adat orang Biak modelnya seperti begitu. Faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya
perahu adat; 1). Tidak mempercayai Agama Adat., 2). Ukiran sudah susah untuk
digambar, 3).Kayu perahu sudah susah, dan 4). Masalah ongkos tenaga kerja.29

F. Pelayaran Orang Biak Bersama Wairon Dan Waimansusu


a. Pelayaran Orang Biak di Masa Lalu
Kedudukan kepulauan Biak-Numfor di perairan Utara Papua yang berbatasan
langsung dengan Laut Pasifik, nampak seperti titik pusat sebuah payung. Dari titik pusat

26Feulletau de Bruyn, Log.Cit. Hal. 109, Lihat juga, Haddon, A.C and James Hornell,
Hal. 326, dan F.S.A de Clerq, Hal. 95-95.
27Arnold Ap, Op.Cit, Hal. 60, dan A. Mampioper, Lukisan dinding batu Gua di Tanah

Papua, Dalam, Don. A.L. Flassy, Hal. 52-54.


28Feulletau de Bruyn, Ibid, Hal. 111
29Denis Koibur, Ibid.

13
tersebut orang Biak berdiri di tepi pantai dan memandang keseluruh penjuru mata angin
pesisir pantai Utara Papua, beserta gugusan pulau-pulau lain yang tersebar dari wilayah
Timur ke Barat. Kemudian orang Biak berusaha menjangkau semua wilayah di pesisir
pantai Utara Papua melalui aktivitas pelayaran, dengan dukungan teknologi perahu
tradisional dan pengetahuan astronomis yang baik, orang Biak dapat berlayar kearah
mana saja, yang menjadi tujuan pelayaran. Dan aktifitas pelayaran tersebut disebabkan
karena beberap faktor: Keadaan geografis, Ekonomi, Sosial-Budaya, Mite Koreri dan
Pergerakan Koreri yang disebarkan oleh para Konor, serta perang antar suku di kepulauan
Biak maupun di Teluk Cenderawasih. Orang Biak-Numfor, dalam dunia pandangnya;
“melihat laut sebagai jembatan”, yang dapat mempertemukan mereka dengan sanak
keluarganya30.
Persebaran suku bangsa Biak-Numfor ke berbagai kampung dan pulau di
pesisir Utara Papua, Zendeling Geissler dalam laporannya bahwa; “Setiap keturunan klan
Biak-Numfor mempunyai perahunya sendiri, dan dengan perahu itu mereka membuat
perjalanan-perjalanan laut yang jauh, yang menaikkan wibawa masing-masing. Orang
Biak dan Numfor dahulu melakukan pelayaran-pelayaran sampai jauh ke pulau-pulau
Maluku, bahkan Gorontalo (Sulawesi Utara) danTimor disebut-sebut pula. Juga Seram,
Nusa Laut, Buru dan Salayar dikunjungi. Ke Timur pelayaran ini mula-mula membentang
sampai ke pulau-pulau Arimoa dan Kumamba, kemudian hari sampai ke teluk Humboldt.
Dapat dipastikan bahwa sudah pada pertengahan Abad ke-15 orang-orang Biak dan
Numfor sampai ke Barat (kepulauan Maluku), sedangkan orang-orang Biak telah
mengunjungi Tidore. Mungkin salah satu klan mereka inilah, yaitu orang Sawai, yang
menetap di Halmahera dan kemudian di Seram Utara31.
Hal yang sama pun diceritakn oleh van Hasselt, (1899) ketika mengunjungi
pulau Biak-Numfor, berjumpa dengan orang-orang dari kepulauan ini, Ia pun menulis
bahwa; “orang Papua” (orang Biak) suka bepergian, dalam tahun-tahun yang sudah lama
berlalu, mereka berangkat dengan perahu-perahu besar keluar ke tempat-tempat yang
jauh dari Papua, sampai ke Seram, Timor dan Sulawesi. Mereka bepergian bisa
berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, mereka suka berangkat dari satu tempat ke
tempat yang lain dan tinggal sementara waktu dimana-mana32.
G.J. Held, mengatakan bahwa pengaruh kebudayaan kelompok Numfor Biak,
di wilayah Teluk Cenderawasih, meliputi wilayah kepulauan Haarlem dan Moor, pulau
Nau di bagian Timur, pulau Kurudu, menuju kepulauan Padaido, hingga wilayah
kepulauan Yapen, khususnya bagian Utara dan Yapen Barat, hingga mencakup wilayah
Barat Daya Manokwari (Mansinam dan Teluk Doreh), ke Selatan pulau Rumberpon dan

30Albert Rumbekwan. Ibid


31F.Ch.Kamma, 1981, “Dit Wonderlijke Werk” di sadur dan diterjemahkan oleh Th. Van den
End dan Koesalah Soebagiyo Toer, dengan judul; Ajaib Di Mata Kita, Masalah
komunikasi antara Timur dan Barat, Dilihat Dari Sudut Pandang Pengalaman Selama
Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid 1, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, , Hal. 60
32F.J.F. van Hasselt,
2003 .In Het Land Van Op Papoea, (Di Tanah Orang Papua),
diterjemahkan oleh. Zet Rumere dan Ot. Loupati, Penerbit Yayasan Timotius Papua,
Hal. 33

14
Roon, dan Semenanjung Vogelkop wilayah Sorong33. Pengaruh budaya Biak-Numfor,
terlihat dalam penggunaan bahasa Biak dalam berkomunikasi dan nama-nama kampung
atau tempat yang menggunakan bahasa Biak, dan kesamaan marga atau keret. Misalnya di
daerah kepulauan Roon, Dusner, dan Teluk Doreh, suku-suku di wilayah tersebut
menggunakan bahasa Biak-Numfor, dan dalam prosesi perkawinan diatur berdasarkan
sistem perkawinan adat Biak-Numfor, misalnya marga Rumaikewi di pulau Kurudu, di
Biak jadi marga Rumaikew, marga Imbur di Wondama, jadi marga Imbir di Biak dan
Raja Ampat, Marga Rumayom di Biak-Timur, menjadi marga Rumayomi di Waropen34.
Komunikasi awal penduduk pesisir Teluk Cenderawasih yang berbeda suku
dan bahasa adalah melalui tradisi lisan dan simbol-simbol tertentu. Sebagai contoh cara
komunikasi symbol menggunakan simpulan tali, antara orang Numfor-Biak dengan
orang-orang Arfak, penduduk asli Manokwari, di pesisir Teluk Doreh, berikut kisahnya;
“Sejak bertahun-tahun di pesisir Teluk Doreh beberapa perahu nelayan dari Biak-Numfor
menyinggahi pesisir tersebut. Suatu ketika, para pelaut dari Numfor-Biak ini sandar ditepi pantai
Teluk Doreh dan bermalam disana, mereka melihat teluk ini sangat menarik, karena dimanapun
tidak terdapat pelabuhan alam yang begitu aman terhadap semua angin dan badai, daerah ini
memiliki perairan yang luas dan kaya dengan ikan dan tanahnya subur, berbeda dengan
kampungnya di Numfor-Biak, yang panas dan tidak cocok untuk berkebun. Sementara duduk
diseputar tungku api sambil mengasar ikan, mereka mendiskusikan tempat ini, tiba-tiba mereka
melihat seekor anjing keluar dari dalam hutan, mungkin terpancing oleh bau ikan asar. Orang
Numfor-Biak ini berkesimpulan bahwa: “Dimana ada anjing pasti ada manusia!”, maka timbullah
pirpikiran bahwa seandainya bisa bersahabat dengan penduduk yang berdiam disitu, diberi izin
untuk menetap disitu, maka itu akan memberi harapan baru bagi masa depannya, dan hatinya akan
menjadi lega daripada daerah mereka di Numfor-Biak. Segaralah mereka mendapatkan sepotong
tali, diikatnya tulang ikan pada tali tersebut, lalu dibuatnya tiga “knop”, disimpul pada tali,
kemudian diikatkan pada leher anjing. Lalu anjing itu disuruh masuk kembali ke dalam hutan.
Pemilik anjing itu tahu bahwa ada nelayan-nelayan di pantai yang mengundang mereka untuk
bertemu sesudah malam yang ketiga. Pada hari yang ditentukan orang-orang yang berdiam di
hutan datang ke pantai dan mungkin orang-orang Numfor menggunakan isyarat untuk
menyampaikan keinginannya kepada meraka. Keinginan itu disetujui, lalu terjadilah tukar-
menukar kecil-kecilan, dan lahirlah persahabatan antara kedua pihak, dan mereka saling
menjanjikan perlindungan dan bantuan. Sesudah itu menyusullah kepindahan keluarga
Rumbruren ke Teluk Doreh, pada paru waktu Abad ke-18”.35
Deskripsi singkat terjadinya kontak awal antar orang Biak dengan orang-orang
di Teluk Doreh ini memberi gambaran bahwa, suku bangsa Biak-Numfor memiliki
kemampuan yang sangat baik, sehingga mereka dapat melakukan pelayaran jauh,
berkomunikasi dengan suku-suku lain dengan menggunakan symbol-simbol tertentu,
serta menilai dan memilih setiap daerah-daerah cocok untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dan kelangsungan hidupnya di masa datang. Dengan kemampuan itu, orang
Biak-Numfor mencipta rute pelayaran yang menghubungkan mereka dengan suku-suku
lain, di wilayah Teluk Cenderawasih dan daerah-daerah lain, membangun kontak dagang,

33G.J.Held, 2006,. The Papuas Of Waropen, “Waropen Dalam Khasana Budaya


Papua”, dialih bahasakan: Dr. Dharmojo, M.Pd., Penerbit Pedati, Hal. 1-2
34Albert Rumbekwan, 2014, (Tesis), Pelayaran Orang Biak di Teluk Cenderawasih
Abad IX, Jurusan Ilmu Sejarah, FIB-Universitas Indonesia, Hal.93-94.
35J. Rauws, Ibid, Hal. 8-9

15
dan juga dalam rute-rute pelayaran tersebut terjadi konflik di antara mereka.

b. Pelayaran Dagang dan Perang dengan Wairon dan Waimansusu


Hubungan perang itu dengan berbagai alasan yang menimbulkan, adanya
kerugian dan hinaan. Tetapi kalau kegiatan peperangan yang dilakukan pada masa lalu,
jangankan suku-suku kecil yang ada di muka bumi ini saja, bahkan kerajaan-kerajaan
besar di Eropa maupun Cina mereka pun akan pergi mencari dan mencari wilayah-wilayah
baru untuk melakukan invansi militernya sebagai memperluaskan wilayah kekuasaannya.
Namun peperangan yang dilakukan oleh suku-suku kecil di Papua, merupakan perang
ritual. Dan perahu, selamanya sangat penting bagi orang Biak, karena perburuan kepala.
Hal yang lebih konyol, banyak orang beranggapan bahwa kedua jenis perahu “Mansusu
dan Wairon” adalah perahu perang dan dagang. Begitu pula sebaliknya. Kita harus melihat
bahwa, keberadaan perahu Mansusu dan Wairon. Mansusu adalah transport yang
berhaluan ganda, sehingga pergi dan pulang bisa menggunakan muka dan
belakang.Wairon merupakan perahu berhaluan tunggal, sehingga bagian depannya saja
yang berfungsi. Menurut Denis Koibur:
“Pelayaran Orang Biak merupakan Pelayaran Semi Perampok”. Sehingga
kedua jenis perahu Wairon dan Mansusu digunakan sesuai dengan kerabadaan. Dalam
adat orang Biak, perahu Wairon adalah Salib. Secara ritual magic religi pembuatan
perahu Wairon/adat, untuk menghalangi kekuatan laut menjadi murka. Untuk
menghadapi kenyataan, mengapa orang Biak lebih cenderung mengatakan bahwa perahu
Mansusu itulah perahu perang, karena efektitasnya untuk menghindari medan perang itu.
Dibandingkan dengan Wairon yang hanya karena berhaluan tunggal, sehingga tidak
sering digunakan untuk kegiatan perang, hanya untuk kegiatan berdagang. Suku Biak
adalah suku pemburu kepala tengkorak, oleh sebab itu daerah yang disurvei, dinyatakan
bahwa setiap mayat yang ditemukan tidak utuh dengan kepalanya. Peperangan mereka
pada saat itu, sangat brutal. Musuh-musuh diwilayah yang disergapi di dalam peperangan
itu, mambri-mambri kebanyakan harus mengambil pulang kepala tengkorak”36.
F.C. Kamma, mengatakan bahwa “Laksana bahaya yang mengancam, pulau
biak nampak di cakrawala jauh di sebelah Timur Laut”. Namaya saja, mampu membuat
penduduk di pulau-pulau sekitarnya sungguh kaku ketakutan. Orang-orangnya tersogok
didaratannya, karena suka mengayau, mereka tangguh tak gentar menghadapi bahaya.
Para Zending juga menggambarkan bahwa, orang Biak sebagai orang kafir yang liar, dan
pulau Biak sebagai tempat iblis bertahkta. Sekitar Tahun 1700 an, sebelum datangnya
kedua penginjil di tanah papua, orang Biak sudah mengenal meriam dan senapan api.
Hasil dari perampokkan mereka tidak hanya kepala tengkorak, bahkan mereka
menangkap budak-budak. Ada budak laki-laki sebagai pelengkap ekonominya, dan
budak perempuan dijadikan sebagai isteri. Pada masa-masa permulaan injil, para
zending-zending sangat kesusahan. Ada zending yang mengatakan bahwa, mereka adalah
para pembunuh yang tidak tahu malu, yang memamerkan kebodohan, ketololan,

36 Denis Koibur, Ibid

16
kejahatan, dan dosa. F.C. Kamma mengatakan bahwa karena pengertian dari
penduduklah Injil itu dia bisa beredar37.

G. Manajemen Wairon dan Waimansusu


Pemilik perahu sendiri bisa menjadi pemimpin dalam pelayarannya. Dan
berlayar itu, hanya pada pemimpin pelayaran bersama anak-anak, kemanakan, dan cucu.
Sudah tentu mereka semua akan mendengarkan kepada pemimpin pelayaran tersebut
(karena dia yang tertua dalam keret). Tetapi juga, ada perahu yang di sewa. Misalnya, tiga
keret meminjam perahu ke satu keret (pemilik perahu], dengan manajemen, keret ke II
meminjam perahu di keret pemilik perahu, kemudian keret ke III dan IV yang
menggunakan perahu itu. Hal ini menyebabkan ketiga keret ini mempunyai perhitungan
karena perahu itu dipinjam. Bagaimana ketiga keret mengatur terutama keamanan perahu
yang dipinjam, sebab meminjam perahu itu bukan hal yang gampang. Begitu pula pada
saat pengembalian perahu, tidak dikembalikan dengan kosong, tetapi harus
mengembalikan perahu dengan sesuatu berupa (makanan atau uang). Waktu itu mereka
sudah mengenal mata uang Belanda, sehingga sudah standar untuk pembayaran sewa
perahu, dan sewa tenaga dayung38.
Begitu pula sesudah zaman Belanda dan sebelum adanya Jonson di Biak,
khususnya di kepulauan, masyarakatnya sudah mengenal dengan istilah Taksi Laut. Taksi
Laut ini merupakan perahu, yang berada satu pulau, tetapi perahu itu muat penumpang
antar pulau. Hal ini bukan berlaku pada zaman kuno, tetapi berlaku pada zaman sesudah
zaman Belanda. Manajemen perahu itu ada kualifikasi orang sebagai pemimpin atau
nakhoda. Hal-hal penting yang perlu di utamakan oleh pimpinan pelayaran ialah :
Keamanan, dan tenaga dayung. Masa-masa pelayaran pada zaman kuno, setiap keret sudah
tentu masing-masing akan memiliki perahu dan tidak meminjamkan perahu kepada keret
lain, hal ini terjadi karena, setiap keret tempat tinggalnya masih di satu rumah. Ada perahu
yang digunakan untuk ekspedisi pelayaran jarak jauh sebagai perdagangan atau juga
perang. Begitu pula ada perahu yang digunakan untuk jarak dekat. Pelayaran-pelayaran
masa itu, bahwa berlayar itu mempunyai resiko, pelayarannya diterjang badai,
ombak/gelombang, perahu tenggelam. Untuk menerima kenyataan ini, para mambri
kadang belum siap karena selain rugi, sesuatu yang sangat mengerihkan itu ialah
“memalukan”39.
H. Tujuan dan strategi pelayaran dan perdagangan
Salah satu tujuan pelayaran Orang Biak adalah membayar upeti kepada Sultan
Tidore. Pembayar upeti ini dipandang sebagai sesuatu bergensi dan bernilai prestise,
untuk mengangkat status sosialnya dalam komunitasnya. Namun pelayaran pembayaran
upeti, biasanya ditentukan masing-masing Kapara (Pemimpin), melalui kekuasaannya
Kapara wilayah yang juga menunjuk kapara-kapara Mnu. Menunjuk Kapara-kapara Mnu,
untuk melakukan pelayaran ke Tidore, dalam rangka membayar upeti kepada Sultan
Tidore. Komoditi bayar upeti adalah : Burung Cenderawasih, Getah Damar, Mutiara,

37F.C.Kamma, 1953, .Kruis en Korwar”Een honderdjarig vraagstuk op Nieuw Guinea,


J. N. Voorhoeve - Den Haag, Hal. 60
38Denis Koibur, Op.Cit
39Ibid

17
Uang Golden, Budak, Senapan Api dan Bia Lola. Dalam melakukan ekspedisi-ekspedisi
perang maupun pelayaran dagang pada waktu itu, sebelumnya mereka sudah harus duduk
bersama dalam “Kankain Kakara Mnu/Syer Mnu” untuk mengatur pelayaran yang akan
dilakukan40. Aturan wajib yang ditaati oleh para pelaut sebelum dan sesudah melakukan
pelayaran dan perdagangan, Orang Biak pada masa lampau lebih menjunjung tinggi nilai-
nilai budaya yang di anggap keramat, dibandingkan orang Biak yang pada saat sekarang
ini. Burung Cenderawasih (Mambefor) yang seharusnya dianggap sebagai binatang-
binatang yang keramat, tidak boleh digunakan dikepala seorang laki-laki pada saat
membayar mas kawin. Karena burung Cenderawasih itu sendiri, menurut kebudayaan
Suku Biak digunakan sebagai ritual peneguhan Mambri dari tua-tua adat. Binatang-
binatang dianggap keramat itu adalah: 1). Burung Cenderawasih., 2). Buaya yang
dianggap sebagai Faknik 41.
Kebiasaan para Mambri yang dulu, hiasan terbesar digunakan sebagai mahkota
raja atau makhota tertinggi dalam suatu etnis maupun bahkan satu wilayah. Simbol-
simbol yang menunjukkan status. Kebudayaan Biak hiasan paling tertinggi adalah
“lambang pembunuhan” sebagai mambri, dengan simbol bulu-bulu putih dari burung
Cenderawasih. Sebagai bukti kelayakan memakai bulu putih sebagai mahkota tertinggi
itu, maka seorang Mambri harus mengambil kepala tengkorak musuh dari peperangan
yang ia lakukan. Masa pekabaran Injil muncul, di satu sisi orang Biak terlalu puji diri
bahwa mereka yang menerima injil, mereka agung-agungkan perbuatan mambri, dan di
sisi lain mereka katakan bahwa mencuri itu hal yang sangat hina bagi mereka. Tetapi
harus di sadari bahwa, Mambri itu adalah perampok laut yang berlayar pergi membunuh
orang, bakar kampung, dan jara barang-barang orang lain. Apa perbedaan Perampok dan
Pencuri?. Menurut definisi bahwa mencuri ialah mengambil barang milik orang lain tanpa
sepengetahuan dari pemilik. Sedangkan, perampok itu ialah mengambil barang milik
orang dengan paksaan. Konsep-konsep ini merupakan konsep yang tidak sehat logikanya,
sehingga kita berpikir untuk menggunakan standar terima injil maka mereka akan sadari
bahwa, perampok dan pencuri itu bedanya dimana, justru perampok itu yang paling tidak
baik. Dalam hal ini, akan ditaruhkan konsep-konsep ini di pemahaman masing-masing,
maka jangan serampangan untuk mengucapkan hal-hal itu.
Suku etnis Biak memiliki pelayaran dagang, pelayaran dagang itu terdiri dari dua
manajemen yaitu : 1. Fyaduren., 2. Wadwai. Fyaduren : merupakan salah satu
manajemen yang di bangun oleh para Kapara untuk kebutuhan kehidupan dalam keretnya.
“Manibob” adalah Kapara (Pemimpin). Mereka tidak sekedar untuk mencari keuntungan,
tetapi memiliki tanggung jawab moral yang sudah diharuskan untuk dilakukan. Seorang
Manibob/Kapara bisa menjadi pemimpin atau nahkoda. Sistem kepemimpinan orang Biak
ialah “sistem campuran”. Sistem campuran, dalam arti bahwa sistem ini mengikuti situasi.
Wadwai :Di samping fadaduren, pada musim kemarau panjang, juga dilakukan pelayaran
untuk mencari tahu kemungkinan adanya sumber bahan pangan disuatu daerah. Aktivitas
ini disebut Wadwai. Wadwai seringkali dilakukan hingga jauh dari kepulauan Biak-
Numfor.

40Ibid
41Ibid

18
I. Pelayaran dengan Perahu Tradisional Wairon di Masa Kini
Pelayaran dagang maritim orang Biak menggunakan perahu tradisionalnya
jenis Wairon maupun Waimansusu, banyak dicatat dalam laporan-laporan para Zending
maupun para gubernur Belanda yang berkuasa di Maluku, dan juga laporan kesultanan
Ternate-Tidore. Dan aktivitas tersebut telah berlangsung di antara abad XV-XIX.
Sedangkan pelayaran menggunakan menggunakan kedua jenis perahu tradisional Biak
tersebut di Abad XXI, yang pernah berlangsung di Papua, pada tahun 2009 dalam
peringatan 100 tahun Injil di Tanah Tabi, 10 Maret 2009, kelompok orang Biak dari
Kampung Sowek melakukan pelayaran dengan Waimansusu dari Supiori, Biak menyusur
pantai Utara Mamberamo-Tabi, dan tiba di Jayapura. Kemudian pelayaran berikutnya
menggunakan Wairon berlangsung pada tahun 2018, yang dilakukan oleh Denis Koibur
dan rekan-rekannya dari Pulau Biak, Tanah Tabi, menuju Oro Provins di Papua Nugini.
Kedua aktifitas pelayaran tersebut terdapat beberapa perbedaan dengan aktifitas pelayaran-
pelayaran di masa lalu, antara lain; pelayaran di masa lalu digerakan oleh kekuatan para
pendayung dengan layar Pandang, sedangkan pelayaran yang dilakukan pada Abad XXI
digerakan oleh motor Jhonson dengan layar yang dibuat dari terpal, yang suatu waktu
dikembangkan pada saat angin bertiup sangat baik.
Gambar 3 : Perahu Waimansusu dari Sowek, 2009

Ket. Perahu Waimansusu yang membawa Obor Injil dari Sowek ke Tanah Tabi pada saat Perayaan
100 thn Injil, 10 Maret 2009. (Dok. Albert Rumbekwan 2009)

Perjalanan Wairon dari Papua Barat menuju Festival Perahu dan Tifa di Papua
Nugini (PNG). Dalam sebuah tabloid lokal di Jayapura, Tabloid Jubi memuat laporan
tentang perjalanan perahu Wairon dari Papua Barat menuju Papua Nugini42, berikut
deskripsinya : - “Perahu Wairon berukuran panjang 34,9 meter akhirnya tiba di Provinsi
Milne Bay, sebuah provinsi terujung di Pulau Nugini, terdapat salah satu kota di pulau
terluar Papua New Guinea, kota Samarai. Kota ini adalah setitik pulau di ujung selatan
daratan Provinsi Milne Bay. Pada masa kejayaan kolonial, kota Samarai merupakan
pelabuhan terpenting di kawasan itu, dengan kapal-kapal dari Tokyo-Shanghai-Samarai-
Brisbane yang berlabuh di pelabuhan Samarai karena termasuk perairan dalam. Perahu
Wairon yang tiba di Jayapura pada 2 Oktober setelah delapan hari berangkat dari Biak
dan akhirnya berlabuh sementara di Abe Pantai. Selama beberapa minggu di Jayapura
akhirnya berangkat ke Papua New Guinea, menelusuri 100 tahun jalur moyang mereka ke

42https://tabloidjubi.com/artikel-21531-perahu-wairon-dan...Gubernur Provinsi Oro

ikut dalam perahu Wairon - Jubi/IST, di Unduh Agustus 2021

19
PNG. Tepat, Minggu 21 Oktober 2018, perahu Wairon dan rombongan dibawah pimpinan
Denis Koibur plus tujuh pendayung termasuk Mananwir Apolos Sroyer dan delapan awak
lainnya tiba di Kampung Yako, Provinsi Sandaun, PNG. Setiba di sana mereka disambut
dengan upacara adat dan juga perlengkapan bahan makanan guna melanjutkan perjalanan
ke Wewak dan Provinsi Morobe. Denis Koibur, antropolog dan juga pengukir tifa,
sebelumnya kepada wartawan di Jayapura, menuturkan mereka menempuh perjalanan
dari Kampung Mokmer, Biak pada 28 September 2018. Selanjutnya singgah di Pulau
Nusi, lalu ke Yapen, bermalam dan berlabuh lagi ke Kampung Krudu ke muara
Mamberamo, terus bermalam dua hari di kota ombak Sarmi ke Depapre dan berlabuh di
Jayapura, menunggu izin berangkat ke Papua New Guinea. Kapten perahu Wairon,
Koibur, menambahkan tujuan pelayaran ini adalah untuk memenuhi undangan Festival
Perahu Perang dan Tifa di Alotau, provinsi Milne Bay. Dua perahu adat dari masyarakat
Pulau Kar kar sudah menanti mereka untuk sama-sama berlayar ke Alotau, Milne Bay43.
Laporan dari Rosa Moiwen menyebutkan di Kar Kar Island, warga di sana
menyambut mereka dengan tarian dan upacara adat. Bahkan masyarakat membawa bahan
makanan berupa sayur-sayuran dan ubi serta tandang pisang. Para kru Wairon juga
mempraktekkan masakan ala Papua, sayur bunga pepaya plus daun petatas tumis, selama
singgah untuk memperbaiki perahu Wairon. Rute yang sudah ditetapkan, kata Dennis
Koibur, sampai ke Port Moresby, kampung Gaba-gaba Provinsi Milne Bay. Kata Koibur,
jalur yang sekarang Wairon gunakan pernah dilayari oleh para leluhur orang Byak yaitu
Sanadi Pasanwanma sampai ke perbatasan Australia44. Selanjutnya, pada 25 November
2018, tim perahu Wairon sudah berada di perairan Provinsi Oro. Kapten dan kru Wairon
sempat bermalam di Buna. "Semua kru dalam kondisi sehat dan baik. Mereka titip salam
untuk keluarga. Mohon maaf belum bisa kontak keluarga. Sinyal telepon sulit dijangkau,"
pesan Rosa Moiwen, melalui akun Facebook-nya. Provinsi Oro juga disebut Provinsi
Utara dengan ibukotanya adalah Popondetta. Saat perahu Wairon tiba, semua kru
disambut Gubernur Provinsi Oro, Gary Zuffa. Bahkan Gary Zuffa ikut naik ke perahu
Wairon saat mereka hendak bertolak ke Milne Bay, ujung timur pulau Nugini. Tak lupa
pula semua kru Wairon mengucapkan terima kasih kepada hon. Gary Juffa atas
dukungannya dan keramahan serta menjadi tamu spesial bersama para awak perahu
Wairon. Selanjutnya dari Provinsi Oro, para awak perahu Wairon menuju ke Provinsi
Milne Bay di ujung paling timur Nugini. Bagian terluar dari Provinsi Milne Bay terdapat
sebuah pulau yang dikenal dengan nama Samarai.

43Ibid
44Ibid

20
Gambar 4 : Denis Koibur bersama Kru Wairon tiba di
Provinsi Oro Papua Nugini, 2018

Ket : Denis Koibur bersama Kru Wairon ketika tiba dan disambut oleh
gubernur Provinsi Oro dengan naik ke atas Wairon, 2018 (Dok. Foto : Denis Koibur, 2018)

Provinsi Milne Bay: Provinsi Teluk Milne atau Milne Bay dengan ibukotanya,
luasnya sekitar 14.345 km² darat dan 252.990 km² dari laut. Terdapat sebanyak 600 pulau,
sekitar 160 di antaranya berpenghuni. Provinsi ini memiliki sekitar 276.000 penduduk,
berbicara dengan 48 bahasa, yang sebagian besar berasal dari cabang Melayu-Polinesia
Timur dari keluarga bahasa Austronesia. Secara ekonomi provinsi ini tergantung pada
pariwisata, kelapa sawit, dan pertambangan emas di Pulau Misima. Sekitar 435 pulau-
pulau mengelilingi daratan utama Teluk Milne. Umumnya orang-orang Teluk Milne
sebagian besar pelaut dan nelayan.Upacara cincin kula merupakan upacara tukar-menukar
sebuah warisan budaya terkaya di Pasifik. Perahu Wairon akhirnya tiba di Provinsi Milne
Bay ini dengan sambutan upacara tradisi masyarakat adat Milna Bay. Apalagi misi perahu
ini mewujudkan perjalanan panjang dari Sorong, provinsi Papua Barat, ke Samarai,
Provinsi Milna Bay, Papua New Guinea. Festival Tifa dan Perahu Perang atau Cano
Festival dan Kundu selalu dilakukan setiap tahun di Provinsi Milna Bay. Perahu Wairon
tiba di penghujung Festival Perahu Perang dan Tifa, mudah-mudahan sempat tampil
sebagai bintang tamu dalam festival di Provinsi Milna Bay. Biasanya perahu perang akan
berkumpul sehari sebelum pembukaan festival di Pulau Wagawaga, kemudian mereka
konvoi dan pawai dengan perahu ukiran warna-warni menuju Alotau ibukota Provinsi
Milna Bay untuk acara pembukaan festival 45.

45Ibid

21
Tantangan dan pengalaman Perjalanan bersama Wairon: Pengalaman Denis
berlayar bersama Wairon adalah yang pertama kalinya dilakukan dengan rute pelayaran
jarak jauh. Pada waktu melakukan pelayaran, Ia selaku pemimpin pelayaran, mengatakan
bahwa perasaannya sangat lengkap pada saat itu, dimana; ada rasa sedih, kecewa, takut,
marah, putus asa, stress, mengeluh, dan menyesal. Menurut Denis, orang melihat dan
katakan bahwa dia sangat hebat karena melakukan hal-hal yang luar biasa. Tetapi, dibalik
itu mereka tidak tahu bahwa apa perasaan yang dirasakan dan itu membuat kaka sering
duduk menangis dengan situasi. Ia juga sempat marah, seandainya perahu Wairon itu
milik kepala desa Mokmer, pasti Ia lari/pergi dan tinggalkan perahu itu. Karena perahu
Wairon itu membuat banyak orang bicara menghina, mengejek dan mencemohnya. Tetapi
menurutnya, perahu itu milik Sinan Bepon, sehingga dengan segala perasaan yang
dialami, tetap saja Ia jalani itu dengan penuh kesabaran dan ketabahan hati.
Lebih lanjut diceritakan oleh Denis, bahwa pada saat perahu Wairon akan tiba
di Jayapura, Mananwir Manfun yang lengkap dengan baju adat lalu tanpa meminta izin
dari kaka Denis, yang sedang stel layar. Mananwir itu datang dengan speet boat, dan
Numpang di perahu Wairon untuk mendarat di pantai depan kantor Gubernur. Hal ini
merupakan peranan penting dari para Mananwir terkait melestarikan kebudayaan itu
sangat kurang. Bukan saja hal itu, tetapi ada juga para aktivis yang mengkritik kaka
dengan krunya hanya karena mereka tancapkan bendera merah putih di atas perahu
Wairon. Mereka katakan bahwa, Denis merupakan orang Biak nasionalis yang sedang
mengkampanyekan nasionalisme Indonesia. Tapi Ia juga mengatakan bahwa, setiap
perahu harus punya bendera sama dengan di kantor-kantor. Dan perahu Wairon ini milik
dari Pemerintah Kabupaten Biak Numfor (Aset Pemda), Pemda Biak juga adalah bagian
dari NKRI maka kami tancap bendera merah putih itu. Bahkan Ia masih mendapat hinaan
di media sosial yang membuatnya menjadi sakit hati dan kecewa dengan perbuatan-
perbuatan itu. Namun masih saja mereka tidak paham tentang apa yang sedang dilakukan
oleh Denis adalah suatu kepentingan kebudayaan kita yang tak lama lagi menjadi punah
ini yang di angkat kembali.
Hal-hal ini membuat Ia sangat kecewa. Ia hanya mengeluh kepada Sinan
Bepon yang mempercayakan kepada Ia untuk membuat dan melakukan pelayaran dengan
perahu adat. Dan mereka menjawab keluhan dari Denis bahwa “Bagi kami, perahu tidak
terlalu penting untuk kami mendidik kau. Tetapi hal ini mampu membuat kau bisa melihat
bahwa cemohan, hinaan, caci maki, keraguan itu adalah yang terpenting bagi kau.
Bahwa itulah kenyataan yang membuat kesatuan faktor yang menyebabkan kebudayaan
kita akan hilang (punah). Jadi kau seharusnya bersyukur”. Denis merasa kecewa
terhadap orang Biak yang menjadi pejabat besar di Kota Jayapura, untuk membantu Ia
dalam hal tenaga mesin yang ukuran besar supaya bisa menambah dua buah motor
jhonson 15 PK yang dipakai sehingga dapat mempercepat perjalanan pelayaran menuju
PNG. Tetapi kenyataannya, tidak sesuai dengan harapan dan permintaannya. Hal itu
membuat, Ia mengeluh kepada Sinan Bepon lagi. Sinan Bepon mengatakan bahwa;
“Kami melindungi kau dengan 15 PK itu, supaya orang tidak akan pernah lagi membuat
perahu dengan seukuran begitu dengan melakukan perjalanan jarak jauh dengan mesin
kecil seperti itu, dan kami menopang kau bahwa adalah yang pertama dan terakhir
dalam periode ini dan kamu akan menunggu masa berikut”. Hal-hal di atas

22
menimbulkan, sikap iri hati, egois, dan rasa tersaingi. Denis mengatakan bahwa, Ia
sangat kecewa dengan kebudayaan kita. Oleh sebab itu, harus mempelajari kebudayaan
itu jangan hanya hal-hal positifnya, tetapi hal yang negatifnya juga, karena itu akan
menjadi setan atau batu sandungan untuk kita.
Tantangan dan pengalaman selama pelayaran: Perjalanan pelayaran yang
dilakukan oleh Denis dan krunya, mengalami banyak tantangan yang mereka hadapi.
Selama Pelayaran yang dilakukan oleh Denis Koibur dan kru dikatakan bahwa:
“Pelayaran mereka adalah pelayaran Mujizat”. Karena biarpun banyak tantangan dan
rintangan yang dihadapi mereka, namun bisa tiba dengan selamat ditempat tujuan (Papua
Nugini). Lebih lanjut Denis mengatakan,…dalam sejarah hidup pertama kali Ia baru
rasakan tantangan berat saat melakukan pelayaran jarak jauh. Ia dengan krunya diterpa
ombak gelombang yang sangat dahsyat di laut Sarmi. Menurut Denis, selama di perairan
banyak hambatan, terutama saat ombak besar menabrak perahu dari samping, seketika
perahu goyang, apalagi saat ombak besar datang mengkangkat tinggi perahu. Tidak hanya
itu saja yang kaka Denis dengan anak buahnya hadapi. Perjalanan pelayaran di lautan
pasifik juga membuat kaka denis menjadi sangat takut dan stres. Cerita dari kaka denis
bahwa, di laut Vanimo menuju ke Aitape, lautan itu tidak ada satu pulau. Nanti sampai di
Aitape, baru ada pulau yang berada dibagian laut dari Aitape. Pulau itu yang disinggahi
oleh kaka dengan krunya, untuk beristirahat dan bermalam sampai pagi, lalu kaka mereka
melanjutkan pelayaran. Dari sekitar wilayah Aitape itu juga tidak ada pulau-pulau,
sampai dekat dengan Wewak, baru ada pulau-pulau, dan itu yang membuat kaka menjadi
trauma.
Jarak dari Vanimo-Aitape dan Aitape-Wewak, Wairon berlayar dari Vanimo
jam 06.00 pagi, tiba di Aitape 07.00 malam, dan dari Aitape jam 06.00 pagi, tiba di
Wewak 03.00 sore. Padahal jarak dari Aitape-Wewak lebih jauh dibandingkan Vanimo-
Aitape. Ini yang merupakan penyebab cepat dan lambat waktu yang ditempuh dalam
perjalanan dari tempat berlayar ke tujuan, karena kaka dan krunya mengalami ombak
buritan yang kencan dengan karakter ombaknya sangat berdempetan yang naik dari
belakang Wairon. Dengan adanya rasa takut dan stres yang terlalu menekan Denis,
sehingga kaka mengambil keputusan, dan berbicara kepada para krunya, bahwa
kemungkinan untuk mereka lolos dengan perahu Wairon itu, sangat kecil, dan kaka
beritahu juga kepada mereka, supaya mereka akan mempersiapkan barang-barang
penting, ketika perahu Wairon kenapa-kenapa, maka kalian cari selamat ke speat boat.
Dan Denis Koibur, memutuskan untuk tetap tinggal di atas perahu, karena tidak mau lolos
ke darat dan akan mendapatkan malu. Tantangan yang lebih bahaya, ketika perjalanan
pelayaran Wairon berlayar di perbatasan Meide Provins dan Morobe Provins, Wairon
akan lewati tempat pemali namanya Bombonggara. Sebelumnya tempat ini sudah di
beritahu masyarakat di Vanimo dan masyarakat pesisir lainnya. Bahwa kalau Denis
dengan krunya berada ditempat itu, dilarang jangan, ribut, makan minum, palu air, dan
jangan lakukan kegiatan apapun diatas perahu ketika mereka masih berada di tempat itu,
mereka harus duduk diam seperti patung sampai bisa lewat dari tempat itu, bahkan tempat
itu tidak ada tempat berlindung. Menurut Denis, banyak tantangan yang dihadapi dari
mereka merupakan Warning khusus pemali-pemali untuk pemali-pemali dari Wairon.
Bombonggara bukan Irbor, hanya sebagai lautan biasa, tetapi tempat itu sudah dianggap

23
pemali dari orang-orang yang berada di Vanimo maupan wilayah lain. Denis sampaikan
bahwa, pelayaran ia dengan krunya sudah disertai oleh Tuhan. Sehingga bisa kaka
bersama krunya bisa melewati tempat pemali itu.
Banyak hal-hal yang membuat kaka menajdi stres dan pikiran. Pikir ukiran
yang geser, bodi perahu retak, dan mesin yang membantu mereka, apakah bisa mereka
tiba atau tidak. Karena ombak/gelombang yang mengancam perahu Wairon itu, naik dari
pagi sampai jam 4 sore, bahkan kaka juga berpikir bahwa, mungkin mereka melewati satu
tanjung, dibelakang tanjung tersebut akan menjadi teduh, tetapi kenyataannya tidak
seperti itu, malah gelombagnya lebih bahaya. Wairon tiga kali naik dok untuk diperbaiki.
Setelah itu, kaka dan krunya di sambut di Morobe Provins, kemudian Wairon lanjut
berlayar ke Oro Provinsi. Dari wilayah itu baru, kaka dengan krunya bisa dapat lautan
yang agak teduh, karena posisinya sudah terlalu belok atau putar kebawa (ekor) dari pulau
Papua. Denis katakan juga bahwa, perjalanan pelayaran yang mereka lakukan ini, tanpa
menggunakan Kompas, Peta, bahkan Eskot yang sebagai pemandu pelayarannya. Mereka
hanya menggunakan navigasi Daratan/Pesisir dan dibantu juga dengan Matahari sebagai
pentunjuk arah pelayarannya.

J. Wairon dan Waimansusu Diambang Kepunahan


Di masa lalu, hal pembuatan perahu sangatlah susah. Sebab alasannya karena
kayu yang baik untuk akan digunakan, sudah jarang didapatkan pada tempat yang akan
dekat ke tepi pantai. Namun itupun tetap saja mereka harus kerjakan, sebab perahu itulah
adalah salah satu alat transportasi penting bagi kehidupan masyarakat yang hidupnya di
pesisir dan kepulauan.
Pada masa kini, perahu adat ataupun perahu yang sering digunakan untuk
mencari, sudah tidak banyak di jumpai di pesisir atau kepulauan-kepulauan. Hal ini di
sebabkan, karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi: Agama Adat sudah tidak
di percayai, kayu sudah susah di cari, ukiran susah digambar, munculnya perahu praktis
(viber), dan perhitungan pada setiap ongkos yang akan dikeluarkan. Perubahan terknologi
perahu tradisional orang Biak pada saat ini dapat terlihat misalnya di Kampung Sowek,
Distrik Kepulauan Aruri, Supiori Selatan, Supiori Utara, Kepulauan Padaido, Bosnik,
daerah Sorido, teluk Samber, Biak Barat, Biak Utara dan Pulau Numfor, saat ini
keberadaan perahu Tradisional Orang Biak jenis Wairon dan Waimansusu, sudah tidak
ada lagi. Jenis perahu yang dapat dilihat adalah perahu bercadik dua dan perahu kecil
bercadik satu, perahun jenis viber dan speadboot, yang banyak digunakan oleh orang
Biak sebagai sarana transportasi laut dan mencari ikan serta berdagang.
Keberadaan jenis-jenis perahu viber dan speadboot, lambat laun membuat
hilangnya daya kreatifitas budaya orang Biak dalam pembuatan perahu tradisionalnya.
Orang Biak pada saat ini hanya dapat membuat miniature perahu tradisionalnya sebagai
kebutuhan asesoris budaya, pameran dan penghias museum. Maka perlu ada program
pelestarian secara kontiniu dalam setiap kebudayaan orang Papua khusus orang Biak.

24
Gambar 5: Jenis Perahu Tradisional dan Perahu Modern

Ket : Jenis Perahu tradisional dengan Layar Pandanus, dan rumah atap sagu dan Jenis
Perahu Viber dan Speadbout (Sumber :Koleksi foto Nieuw Guinea tempoe doloe, Albert
Rumbekwan)

K. Kesimpulan
Pulau Biak-Numfor terdiri dari (3) tiga pulau besar dan puluhan pulau-pulau
kecil, dengan luas keseluruhannya kira-kira 3200 km². Wilayah Sup Byaki (kepulauan
naik maju) terbagi menjadi 4 (empat) wilayah antara lain : Biak Utara, Biak Barat, Biak
Selatan, dan Biak Timur. Gugusan kepulauan yang dinamakan oleh William Schouten
dengan nama Schouten eilanden, merupakan pulau dengan luas wilayah laut lebih besar
dari pada luas daratan. Kepulauan yang berada di bagian utara Teluk Cenderawasih
(Dulu : Geelvinkbay), Pulau Papua, sarana paling penting yang di wajib dimiliki oleh
Suku Biak adalah Perahu/Wai. Orang Biak memiliki beberapa jenis perahu yang lasim
dipergunakan sesuai fungsinya masing-masing, antara lain: pertama : Wairon (perahu
perang); jenis perahu dengan hiasan snober tunggal di muka perahu, adalah jenis perahu
layar bercadik dua yang digunakan untuk pelayaran-pelayaran pengayauan dan perang di
laut. Kedua Waimansusu (perahu dagang) adalah jenis perahu layar bercadik dua yang
biasa digunakan untuk pelayaran-pelayaran dagang. Kedua perahu ini fungsinya sangat
fleksibel sesuai dengan kondisi alam dan situasi keamanan ketika orang Biak melakukan
perjalanan jauh dari Pulau Biak-Numfor dan Supiori menuju wilayah Timur, Selatan dan
Barap Papua. Selain kedua perahu tersebut, orang Biak juga memiliki jenis perahu yang
lain, yaitu: Waikarures/waipapan, dan waisik. Waikarures, merupakan jenis perahu
bercadik dua, dengan dinding papan, perahu ini biasa digunakan untuk berdagang,
angkutan barang dan manusia. Perahu/waisik adalah jenis perahu kecil bercading
tunggal, perahu ini sering digunakan untuk memancing atau menjaring di laut dangkal
dan tenang.

25
Perahu tradisional suku Biak, jenis wairon dan waimansusu pada masa lalu
sangat penting dalam aktifitas pelayaran dan perdagangan di pesisir utara, timur dan
barat Pulau Papua, Orang Biak membangun hubungan dagang maupun melakukan
pengayauan dan perang sampai ke wilayah Ternate dan Tidore, untuk membayar upeti ke
Sultan Tidore, tapi juga dengan perahu tersebut orang Biak membangun hubungan
dagang (manibob) dengan suku bangsa lain di pesisir tanah besar pulau Papua. Strategi
dan tujuan dagang Orang Biak adalah Faduren dan Wadwai, strategi dan kebijakkan
seorang pemimpin pelayaran dalam situasi genting atau bahaya.Dengan Wairon dan
Waimansusu orang Biak mencapai puncak kejayaan maritimnya sejak Abad VIII, hingga
abad XIX, ketika Zending hadir di Papua, pelayaran-pelayaran orang Biak mulai
berkurang. Dan hingga abad XX-XXI, jenis perahu tradional dan pelayarannya hampir
tidak pernah dilakukan. Pelayaran dengan perahu tradisional wairon dan waimansusu di
masa kini, pernah terjadi pada tahun 2009, dalam rangka peringatan 100 tahun Injil di
Tanah Tabi, 10 Maret 2009, kelompok orang Biak dari Kampung Sowek melakukan
pelayaran dengan Waimansusu dari Supiori, Biak menyusur pantai Utara Mamberamo-
Tabi, dan tiba di Jayapura. Kemudian pelayaran berikutnya menggunakan Wairon
berlangsung pada tahun 2018, yang dilakukan oleh Denis Koibur dan rekan-rekannya
dari Pulau Biak, Tanah Tabi, menuju Oro Provins di Papua Nugini.
Pada masa kini, perahu adat ataupun perahu yang sering digunakan untuk
mencari, sudah tidak banyak di jumpai di pesisir atau kepulauan-kepulauan. Hal ini di
sebabkan, karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi: Agama Adat sudah tidak
di percayai, kayu sudah susah di cari, ukiran susah digambar, munculnya perahu praktis
(viber), dan perhitungan pada setiap ongkos yang akan dikeluarkan. Perubahan
terknologi perahu tradisional orang Biak pada saat ini dapat terlihat misalnya di
Kampung Sowek, Distrik Kepulauan Aruri, Supiori Selatan, Supiori Utara, Kepulauan
Padaido, Bosnik, daerah Sorido, teluk Samber, Biak Barat, Biak Utara dan Pulau
Numfor, saat ini keberadaan perahu Tradisional Orang Biak jenis Wairon dan
Waimansusu, sudah tidak ada lagi. Jenis perahu yang dapat dilihat adalah perahu
bercadik dua dan perahu kecil bercadik satu, perahun jenis viber dan speadboot, yang
banyak digunakan oleh orang Biak sebagai sarana transportasi laut dan mencari ikan
serta berdagang.
Berdasarkan simpulan di atas maka melalui tulisan ini penulis hendak
memberi beberapa saran; 1). Keberadaan perahu tradisional orang Biak jenis Wairon dan
Waimansusu, sangat penting untuk dilestarikan kembali sebagai symbol kejayaan orang
Biak dalam pelayaran Maritim di masa lalu. 2). Wairon dan Waimansusu perlu
diproduksi untuk menjadi saran pariwisita dan budaya di wilayah Biak, Numfor, Supiori
maupun Papua pada umumnya.3). Perlu ada kajian komprehensip terkait jenis-jenis
perahu tradisional di Papua, dan perlu didirikan sebuah museum Maritim Papua, agar
museum tersebut dapat menyimpan memori kebudayaan maritim orang Papua. 4).
Pemerintah perlu membuat program melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas
Kelautan dan Perikanan, untuk membantu para seniman dan budayawan Papua dalam
melestarikan budaya maritim.

26
DAFTAR PUSTAKA

AP. Armold Seni Ukir Teluk Geelvink, dalam Don. A.L. Flassy (ed), Refleksi Seni Rupa Di Tanah
Papua, Penerbit. Balai Pustaka, Jayapura, 2007
Abdurahman, Dudung 2007..Metodologi Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz Media,
Azir, Siradjuddin Michael Menufandu, et.al, 2002, Biak, Tanah Damai, (Final Draff), Dinas
Pariwisata Kabupaten Biak Numfor.
Bruyn, W.K.H. Feulletau de, 1920, Medeelinggen Encyclopaedische Bureau Aflevering XXI Schouten
en Padaido Eilanden, Javasche Boekhandel & drukkerij Batavia, di Indonesiakan oleh L.
Jembise, dengan judul; Kepulauan Naik Maju Supori-Byak-Numfoor-Padaido, 2004
Budjang, Anis 1963 “Orang Biak-Numfor”, dalam, “Penduduk Irian Barat”, Koentjaraningrat dan
Harja W. Bacthiar, Penerbit Universitas.
Gelpke, Frits Sollewijn, 2001,, Biak Pada Awal Abad Jet, dalam, Pim Schoorl, Belanda di Irian Jaya,
Amtenar dimasa penuh bergejolak 1945-1962, Penerbit, Garba Budaya dan KILTV Press
Haddon, A.C and James Hornell, 1975 (reprint) Canoes of Oceania, Bishop Museum Press, Honolulu,
Hawai'i. © Bishop Museum Press, Use of any part of this publication for any purpose must
be acknowledged.
Kamma, F.Ch. 1972; De Mesiaanse Koreri – Bewegingen In Het Biaks-Noemfoorse Cultuurgebied, di
Indonesiakan oleh Kaleb Mnubepiom, dengan judul: “Gerakan Messianis di Daerah
Berbudaya Biak-Numfor, The hague-martinus Nijhoffm.
_________, 1981. “Dit Wonderlijke Werk” Ajaib Di Mata Kita, Masalah komunikasi antara Timur
dan Barat, Dilihat Dari Sudut Pandang Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian
Jaya, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, Jilid 1.
Lapian, A.B. “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16-17, Penerbit Kobam, 2008.
________ 2009.Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX,
Komunitas Bambu, Jakarta,
Mampioper, A. 2007, Lukisan dinding batu Gua di Tanah Papua, Dalam, Don. A.L. Flassy, Penerbit.
Balai Pustaka, Jayapura,
Mansoben, Johszua R. 1994, “Ritus K’bor, dalam masyarakat Biak-Numfor di Teluk Cenderawasih”.
Dalam Koentjaraningrat, Dkk, Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk Penerbit:
Djambatan, Jakarta.
Niven Ian J. Mc and Garrick Hitchcock, 2015; Goemulgaw Lagal: Natural and Cultural Histories of
the Island of Mabuyag, Torres Strait. Memoirs of the Queensland Museum | Culture
Volume 8, Part 1, Published By Order Of The Board.
Pranoto Suhartono W. 2010, Teori dan Metodologi Sejarah,(Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu,
Sinaga, Rosmaida 2013. Masa Kekuasaan Belanda di Papua, 1898-1962, Penerbit Komunitas
Bambu, Jakarta,
Sukendar,Haris 1998/1999, Pustaka Wisata Budaya, Perahu Tradisional Nusantara, (Tinjauan
melalui bentuk dan fungsi), Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Yambeyabdi Ester, 2010. Diktat Metode Penelitian Sejarah Pendidikan Sejarah”, FKIP-Uncen
Jayapura,
Daftar Tesis
Rumbekwan, Albert 2014, (Tesis), Pelayaran Orang Biak di Teluk Cenderawasih Abad IX, Jurusan
Ilmu Sejarah, FIB-Universitas Indonesia,
Daftar Website
https://tabloidjubi.com/artikel-21531-perahu-wairon- dan...Gubernur Provinsi Oro ikut dalam perahu
Wairon - Jubi/IST, di Unduh Agustus 2021
Daftar Narasumber
Wawancara, Bapak Denis Koibur, 47th, Budayawan Biak, Jayapura, 9-10 Agustus 2021

27

Anda mungkin juga menyukai