Disusun oleh:
1. Aika desta syahrani 21742011092
2. Anggie kurnia nur abidin 21742011093
3. Lines suraya 21742011106
4. Nalendra aji mahandaru 21742011117
5. Septian dwi anggraini 21742011120
Fakultas Hukum
Ilmu Hukum
Universitas Bojonegoro
Tahun Akademik 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia terkenal sebagai negara multikultur yang memiliki banyak budaya,
karena terdiri dari beragam etnis dan ras, kepercayaan dan budaya. Konsep
multicultural merupakan perilaku terbuka yang ditandai adanya penerimaan atas
perbedaan (Dasrun, Kusowro, Zubair, & Hafiar, 2017). Keragaman budaya negeri ini
dapat dilihat dari macam bentuk, seperti milai, norma, alat music tarian, bahasa, adat
pernikahan, kematian, kealahiran, upacara, ritual, dan sebagainya. Keanekaragaman
budaya ini yang menjadikan Indonesia mempunyai keunggulan dalam potret
kebudayaan yang lengkap (Rahmansyah, 2016).
Menurut Alo Liliweri, kebudayaan dapat dibedakan berdasarkan wujudnya,
yaitu budaya material dan budaya non - material. Budaya material adalah semua objek
material yang dibuat, dihasilkan, dan dipakai oleh manusia, mulai dari benda
sederhana seperti alat rumah tangga, pakian, dan makanan hingga desain arsitektur,
teknologi computer dan kapal terbang. Budaya material merupakan segala sesuatu
yang diciptakan manusia dan dapat ditangkap oleh panca indra. Sedangkan budaya
non - material digunakan sebagai rujukan kelompok masyarakat, karena buda non -
material hanya ada dalam bentuk gagasan atau ide yang diikuti dengan penuh
kesadaran dalam bentuk nilai, norma, dan kepercayaan (Liliweri, 2009)
Suku Minahasa terletak di Provinsi Sulawesi Utara yang beribukota Manado,
Suku Minahasadiperkirakan telah dihuni sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Berdasarkan asumsi peneliti suku bangsa Suku Minahasa berasal dari Formosa
Taiwan, Keturunan bangsa-bangsa Austronesia dari Formosa Taiwan yang tengah
dalam pejalanan panjang yang melalui Filipina dan terus ke Sulawesi. Suku Minahasa
menurut etimologi maknanya. Sebutan “Suku Minahasa” sebenarnya berasal dari
kata, “Mina” yang berarti telah diadakan/telah terjadi dan Asa/Esa yang berarti satu
(Jefry Herry Tamboto, 2010: hal 5), jadi Suku Minahasa berarti telah diadakan
persatuan atau mereka yang telah bersatu, jadi Suku Minahasa berarti telah diadakan
persatuan atau mereka yan telah bersatu.
A. Sistem Pemerintahan
Menurut Yoan Friska Angel Tulena (2014:78), pemimpin Minahasa zaman dahulu
terdiri dari dua golongan, yakni Walian dan Tona’as. Walian berasal dari kata
„wali‟ yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan.
Golongan ini yang memimpin setiap upacara agama asli Minahasa, dan mereka
disebut juga golongan Pendeta. Mereka memiliki keahlian luar biasa, seperti
membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan
matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang. Mereka
dianggap terpandang di tengah masyarakat karena keahlian dan perannya itu.
Sejak zaman dahulu di Minahasa tidak dikenal kerajaan atau tidak mengangkat
raja sebagai kepala pemerintahan. Dalam masyarakat Minahasa terdapat empat
kategori tokoh masyarakat, yaitu:
1) Walian: pemimpin agama serta dukun
2) Tona’as: orang keras, ahli bidang pertanian, kewanuaan, mereka yang
dipilih menjadi kepala walak
3) Teterusan: penglima perang, dan
4) Potuasan: penasehat (Yoan Friska Angel Tulena, 2014:79) Lebih
lanjut Yoan menjelaskan bahwa kepala pemerintahan di Minahasa adalah
kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Pati’an yang sekarang kita
kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang
berarti orang tua yang melindungi.
B. Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan yang dianut oleh suku Minahasa terbagi menjadi dua,
yaitu:
2) Bangsal
Dari perkawinan terbentuklah keluarga besar yang meliputi beberapa bangsal.
Kompleks bangsal penduduk yang berhubungan kekeluargaan dinamakan
Taranak. Pimpinan Taranak dipegang oleh Aman dari keluarga cikal bakal yang
disebut Tu’ur. Tugas utama Tu’ur melestarikan ketentuan adat.
D. Paesa in Deken
Menurut Jefry Herry Tamboto (2010:62), Paesa in Deken berarti tempat
mempersatukan pendapat. Di Suku Minahasa tidak pernah ada pewarisan
kedudukan, bila seseorang Tu’ur meninggal dunia, para anggota Taranak, baik
wanita maupun pria yang sudah dewasa akan mengadakan musyawarah untuk
memilih pemimpin baru. Dalam pemilihan, yang menjadi sorotan adalah kualitas.
Kriteria kualitas itu ada tiga (Pa’eren Telu), yaitu:
1. Tari Maengket
Maengket dari kata dasar engket yang artinya mengangkat tumit turun naik
Fungsinya sebagai rangkaian upacara petik padi. Penarinya membentuk lingkaran
dengan langkah-langkah yang lambat, disebut Maengket Katuanan (Woro
Aryandini: 2011:54). Ada tiga macam Tari Maengket yaitu:
a) Tari Maowey Kamberu, bagaimana masyarakat berdoa atas hasil panen
b) Marambak adalah pengucapan syukur atas selesainya ramah baru
c) Lalayaan mengekspresikan kegembiraan masyarakat
Pemimpin tari adalah wanita sebagai ‘Walian in uma’, pemimpin upacara
kesuburan pertanian dan kesuburan keturunan, dibantu oleh ‘Walian im
penguma’an’, lelaki dewasa. Pemimpin golongan Walian atau golongan agama
asli (agama suku) disebut ‘Walian Mangorai’, seorang wanita tua yang hanya
berfungsi sebagai pengawas dan penasehat dalam pelaksanaan upacaraupacara
kesuburan. Untuk memulai tarian maka si pemimpin tarian Maengket menari
melambai-lambaikan saputangan mengundang Dewi Bumi
(Lumimu’ut) dan setelah kesurupan Dewi Bumi, Ada tiga orang leluhur Suku
Minahasa yang bergelar Muntu-untu dan isterinya bernama Lingkanwene. Yang
pertama kemungkinan hidup pada abad ke-9, yang kedua abad ke-12, yang ketiga
abad ke-15-16. (Woro Aryandini, 2011:59)
2.5 Kuliner
1. Nasi jaha
Nasi jaha menjadi makanan wajib yang ada dalam tradisi pengucapan. Nasi
jaha berbahan dasar beras ketan dan santan, dibalut dengan daun pisang. Aroma
dan rasa nasi jaha sangat kuat karena campuran rempah dan bumbu dalam nasi
yang dimasak dengan cara unik. Proses memasak nasi jaha, dimasukan ke dalam
sebuah batang bambu yang kemudian akan dibakar dalam bara api. Batang bambu
yang didalamnya berisi nasi Jaha, kemidian harus dibuka. Selongsong nasi jaha
akan dipotong-potong sekitar 8-10cm agar lebih mudah saat membagi nasi
2. Sup brenebon
Santu merupakan alat musik tradisional dari Sulawesi Utara dan Tengah. Alat
musik satu ini terbuat dari bahan bambu, rotan, dan kayu yang berbentuk bulat
memanjang.
Kulit ari yang terdapat pada badan bambu dibentuk empat dan pada bagian badan
dibuat lubang yang berfungsi sebagai resonator.
Santu dapat dimainkan dengan dua cara, yaitu dipetik dan dipukul dalam posisi
duduk bersila. Tangan kiri memegang alat pada bagian tengah dengan posisi
miring atau ditidurkan di atas paha.
Tangan kanan memetik atau memukul santu dengan menggunakan kayu bulat
berukuran kecil.
Santu seringkali dimainkan pada saat merayakan pesta panen para petani ataupun
sekedar untuk mengisi waktu senggang bagi para remaja.
2. Yori
Yori merupakan alat musik yang termasuk kedalam jenis harpa mulut,
memiliki ukuran yang relatif kecil seperti karindik yang merupakan alat music
jawa barat
Alat musik tradisional ini terbuat dari bahan bambu, kulit pelepah enau, dan tali
dari kulit kayu.
Bagian lidah-lidah di tengah yori berfungsi sebagai vibrator, rongga mulut sebagai
resonator, sedangkan tali pada alat tersebut berfungsi sebagai pengatur nada.
Yori dimainkan pada saat gerhana bulan atau gerhana matahari pada
masyarakat bangsa Kulawi.
Yori dimainkan sekedar untuk menghibur diri, suara yang dihasilkanya pun tidak
terlalu keras.
3. Salude
4. Kolintang
Bila kita berbicara tentang alat musik tradisional yang berasal dari Sulawesi
Utara, maka kebanyakan orang akan menyebut kolintang yang cukup populer di
telinga masyarakat luas. Alat musik yang berasal dari daerah Minahasa ini adalah
alat musik perkusi.
Nama kolintang berasal dari suara yang dihasilkanya, tong (nada
rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada normal) yang disebut mangemo
kumolintang yang berarti mari kita lakukan tong, ting, tang yang akhirnya
berubah menjadi kolintang.
Kolintang dimainkan dengan cara dipukul pada kayu-kayu yang telah disusun
menurut tangga nadanya menggunakan alat pukul yang sudah dilapisi bahan yang
empuk seperti kain atau karet.
Kolintang terbuat dari bahan kayu lokal yang cukup ringan seperti kayu telur,
wenuang, cempaka, waru dan sejenisnya yang mempuyai serat paralel.
5. Bansi
Bansi dalam bahasa Minahasa berarti suling, yang dimainkan dengan cara
ditiup seperti suling pada umumnya. Bansi terbuat dari bahan bambu yang
mempunyai beberapa lubang sebagai pengatur nada.
Bansi berfungsi sebagai melodi pada sebuah pertunjukan musik. Suara yang
dihasilkan oleh alat musik ini tergantung pada kepiawayan pemain memainkan
jemari tangan dan cara meniup yang benar agar menghasilkan bunyi dan suara
merdu yang khas.
6. Momongan
Momongan adalah alat musik tradisional yang menyerupai gong yang dipukul
menggunakan kayu atau tongkat.
Seperti gong pada umumnya, momongan terbuat dari bahan logam kuningan atau
perunggu.
Pada zaman dahulu, alat musik ini dimainkan pada saat acara-acara tertentu saja
seperti hiburan rakyat atau sebagai pengiring seni tradisional Minahasa.
7. Oli
Alat musik tradisional yang berasal dari Sulawesi Utara satu ini sudah sangat
langka dan hampir punah.
Alat musik yang terbuat dari bahan dasar bambu ini bahkan diminta untuk
menjadi salah satu mata pelajaran seni musik pada kurikulum Sulawesi Utara
sebagai salah satu langkah pelestarian budaya.
Oli dimainkan dengan cara ditiup dan rongga mulut sebagai resonatornya. Oli juga
seringkali dimainkan pada pagelaran musik yang memainkan lima alat musik
sekaligus, yang terdiri dari:
Sebagai salah satu upaya pemerintah untuk melestarikan budaya, oli seringkali
tampil dan dimainkan pada upacara budaya ucapan syukur Tulude di daerah
Sangihe yang diadakan rutin setiap tahunnya.
8. Tetengkoren
Tetengkoren merupakan alat musik yang cukup sederhana, hanya terbuat dari
bambu yang cukup panjang dan memiliki bentuk seperti kentongan. Alat musik ini
berfungsi sebagai alat komunkasi antar warga atau masyarakat dan juga sebagai
alat pengusir hama di sawah seperti burung.
Namun pada zaman sekarang, tetengkoren digunakan dan ditampilkan pada
kegiatan besar kenegaraan seperti menerima tamu. Layaknya Gubernur dan
Wailikota Manado saat membuka kegiatan atau acara Manado Fiesta beberpa
waktu kemarin.
9. Sasesahang
Sasesahang merupakan alat musik tradisional yang sangat unik yang terbuat
dari ruas bambu yang dipotong dan dibentuk seperti paruh burung.
Sasesahang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tongkat yang sudah
dilapisi oleh karet agar tidak menghasilkan suara kasar.
Nada atau bunyi yang dihasilkan oleh alat musik ini tergantung pada panjang
pendeknya ujung ruas bambu yang berbentuk paruh burung tersebut. Jadi setiap
ruas bambu memiliki panjang yang berbeda agar menghasilkan nada yang
beragam.
10. Arababu
Di urutan terakhir terdapat alat musik yang disebut arababu. Arababu
merupakan instrumen musik sejenis rebab namun hanya memiliki satu dawai atau
senar dan memiiki ukuran relatif lebih kecil dibandingkan dengan rebab.
Arababu terbuat dari setengah bagian tempurung kelapa dan kulit binatang yang
berfungsi sebagai resonator dan bambu sebagai tempat untuk membentangkan
dawai atau senar.
Arababu dimainkan dengan cara digesek menggunakan alat khusus yang terbuat
dari bambu dan dawai yang terbuat dari bahan serat pisang Hote, yang merupakan
salah satu jenis tanaman pisang yang cukup umum di Sulawesi Utara.
2.7 Tradisi
b. Mupuk Im Bene
Mupuk Im Bene adalah upacara adat berupa pengucapan syukur pallen pactio
dimana masyarakat membawa atau mempersembahkan segantang/sekarung padi
bersama hasil ladang lainnya disuatu tempat (lapangan atau dirumah gereja) untuk
didoakan. (Woro Aryandini, 2011:49). Dan setiap rumah/ keluarga menyiapkan
beragam makanan dan makan bersama dengan para tamu dengan sukaria
c. Metipu
Metipu merupakan upacara adat dari berupa penyembahan kepada
Sang Pencipta alam semesta yang disebut “benggona langi duatan saluran”,
dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan
asap membumbung kehadirat-Nya (Woro Aryandini, 2011:53). Upacara ini
dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta dan berkah yang
selalu didapat setiap saat
d. Watu Pinawetengan
Suku Minahasa. Pada penanggalan Masehi itu digelarlah upacara adat Watu
Pinawetengan, sebuah upacara penuh makna bagi persatuan masyarakat setempat.
Watu Pinawetengan sebagai warisan leluhur Suku Minahasa dan merupakan bukti
bahwa demokrasi dan persatuan sudah ada sejak dahulu. Berdasarkan cerita
rakyat, terdapat sebuah batu besar yang disebut Tumotowa yakni batu yang
menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas.
Johann Albert Traugoti Schwarz, (2000:25) seorang misionaris Belanda keturunan
Jerman, pada tahun 1888 berinisiatif melakukan penggalian di bukit Tonderukan
yang sekarang masuk wilayah kecamatan Tompaso, Suku Minahasa, Sulawesi
Utara (Sulut). Ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang
membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para
pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan gambar
yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus
bicara, serta cara beribadat dan sudah mengenal asaas demokrasi.
f. Upacara Perkawinan
Upacara Perkawinan adat Suku Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah
pengantin pria ataupun wanita. Di Lawongan – Totemboan, upacara dilakukan
dirumah pihak pengantin pria, atau di TomohonTombulu di rumah pihak
pengantin wanita. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana
kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan.
Orang Suku Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai
kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan
makan malam. Orang Suku Minahasa di kotakota besar seperti Kota Manado,
mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Suku Minahasa di luar Suku
Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut
membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Suku Minahasa, menyatukan
seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari
(Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
(Sinta Debora Dkk, 2013:10)
Kain tenun Suku Minahasa telah dari Suku Minahasa Sulawesi Utara sekitar
hampir 200 tahun lalu, ialah kain yang ditenun dengan menggunakan benang
kapas dan diberi bahan pewarna alam.Umumnya kain tenun Suku Minahasa pada
saat itu, ditenun dalam bentuk Pasolongan (bundar, seperti kain sarung namun
tanpa sambungan/jahitan).Pembuatan kain tenun Bentenan ini sangat sulit (teknik
menenun yang tinggi), sehingga memakan waktu berbulan-bulan.Itu sebabnya,
kain ini mempunyai nilai tinggi. Tapi bukan saja karena teknik pembuatannya
yang mengakibatkan nilainya sangat tinggi, namun juga pada saat menenun,
didendangkan lagu-lagu ritual dan dengan doa yang dipanjatkan sebelum
penenunan dimulai. Oleh karenanya, pada waktu itu kain ini dipakai sebagai emas
kawin. (Raturandang, 2007:41)
Karena cara pembuatannya yang cukup sulit sehingga, kain tenun Bentenan,
saat itu hanya digunakan oleh orang-orang tertentu pada acaraacara tertentu pula,
seperti oleh para pemimpin adat (Tonaas) dan pemimpin agama/sukt (Walian)
dalam upacara adat dan upacara agama. Kain tenun bentenan berperan utama
dalam lingkaran kehidupan manusia, seperti lahir, menikah dan meninggal. Bayi
lahir dibungkus dengan kain tenun bentenan. Pada upacara perkawinan juga
menggunakan kain tenun bentenan. Bahkan upacara pemakaman pun kain tenun
Bentenan digunakan untuk membus jenazah. Para pemimpin masyarakat
menggunakan kain tenun Bentenan di kursi tamu dan dinding ruang tamu sebagai
simbol status sosial Menurut Fong dalam Samovar (2010:184),
Kain tenun Bentenan yang paling tinggi nilainya digunakan untuk upacara
adat ialah Tinonton Mata symbol leluhur pertama orang Suku Minahasa yaitu
Toar-Lumimuut. Sedangkan kain tenun Bentenan yang bernilai tinggi sebagai alat
tukar menukar adalah motif ragam hias kain Patola India, seperti motif Kaiwu
Patola. Motif Kaiwu Patola, Tinonton Mata, Tinompak Kuda yang sudah bisa
diproduksi kembali (Raturandang, 2007:54)
Keberadaan kain Bentenan yang sudah diterima masyarakat secara luas, harus
diupayakan agar keberadaan kain ini semakin diketahui masyarakat, seperti asal-
usulnya,cara pembuatannya, dan arti dari setiap motif atau gambar yang ada pada
gambar di kain Bentenan sehingga masyarakat lebih paham dan menghayati kain
Bentnan. (Hera Lotulung: 2012:350)
Pada jaman dahulu busana sehari-hari wanita Suku Minahasa terdiri dari baju
sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu), memakai gaun yang disebut
pasalongan rinegetan yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Kaum pria
memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam
terbuat dari ijuk. (Sinta Debora Dkk, magazine: 2013:14).
Sinta Debora Dkk, menjelaskan lebih lanjut bhawa Busana Tona’as Wangko
merupakan baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus,
berkancing tanpa saku. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi berwana merah
dihiasi dengan motif bunga padi warna kuning keemasan pula. Busana Walian
Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju
Tona’as Wangko. Warna putih dengan hiasan corak bunga padi, dilengkapi topi
porong nimiles, terbuat dari lilitan dua kain berwana merah hitam dan kuning
emas, melambangkan penyatuan langit dan bumi, alam dunia dan alam baka.
Busana Walian Wangko panjang tanpa kerah dan kancing, berwarna putih dan
ungu dengan hiasan bunga terompet, kain sarong batik warna gelap dan topi
mahkota (kronci), selempang warna kuning dan merah, selop, kalung leher dan
sanggul (Sinta Debora Dkk, magazine: 2013:14)
3. Rumah Walewangko
Rumah adat khas Suku Minahasa disebut dengan Walewangko. Rumah adat
ini berdiri di atas tiang dan balok-balok yang mendukung lantai, dua di antaranya
tidak boleh disambung. Kolong Rumah Pewaris digunakan untuk menyimpan
hasil bumi (godong). Pintu rumah terletak di depan, tetapi tangga naik terdapat di
kiri dan kanan serta bagian tengah belakang rumah. Ruang paling depan, disebut
lesar, tak berdinding, tempat kepala suku atau kepala adat memberikan maklumat
kepada rakyat. Ruang tengah, disebut pores, tempat untuk menerima tamu yang
masih ada ikatan keluarga serta tempat menerima tamu wanita. Di ruang tengah
ini terdapat kamar-kamar tidur. Ruang makan keluarga serta tempat kegiatan
sehari hari wanita berada di bagian belakang, bersambung dengan dapur. Rumah
Pewaris memiliki dua buah tangga. Letaknya di sisi kiri dan kanan bagian depan
rumah. Dua buah tangga tersebut dimaksudkan untuk mengusir roh jahat. Jika roh
jahat yang naik dari salah satu tangga, maka ia akan kembali turun di tangga
sebelahnya.
Kelebihan dari rumah panggung Suku Minahasa adalah sudah terbukti tahan
gempa dan gampang sekali untuk bongkar pasangnya sehingga kalau
dipindahpindah sangat praktis. Ciri khas dari rumah adat Suku Minahasa juga
adalah warna kayunya dibiarkan secara alami dan tidak dicat disentuh cat baik
luar maupun dalam, jadi secara ekologi sangat ramah lingkungan (Sinta
Debora Dkk: 2013:21)
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman suku yang
sangatlah banyak maka dari itu Indonesia disebut sebagai dengan negara kebudayaan.
Kebudayaan merupakan salah satu warisan busaya dari pada nenek moyang yang
sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat.
Minahasa merupakan salah satu suku yang mengutamakan persatuan, ini
tercermin dari pengertian awal nama “minahasa” bukanlah nama etnis melainkan
“persatuan’’ dari sejumlah suku/sub-etnis tersebut dan juga mapalus(tolong-
menolong) yang ada pada suku minahasa.