Disusun oleh:
1.Vira parahita adha (10119042)
2019/2020
Makalah Suku Minahasa
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
sederhana ini dengan tepat waktu dengan judul Kebudayaan Suku Minahasa. Adapun tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Studi Masyarakat
Indonesia sehingga nantinya dapat membantu kita memahami tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan kebudayaan suku minahasa. Penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan kepada penulis sehingga
tersusunnya makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
atas keterbatasan pengetahuan penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.....................................................................................................................1
Rumusan Masalah................................................................................................................1
Tujuan penulisan..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
Sistem religi...........................................................................................................................6
Upacara adat...........................................................................................................................6
Mata pencaharian....................................................................................................................6
Sistem kekerabatan.................................................................................................................1
Bahasa....................................................................................................................................1
Pemerintahan........................................................................................................................11
Sistem teknologi.....................................................................................................................1
Kesenian.................................................................................................................................2
Kesimpulan...............................................................................................................................iii
Saran.........................................................................................................................................iii
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masyarakat indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki
keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan di
dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita
pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang menjadi sumber
kekayaan bagi bangsa Indinesia.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula sebaliknya
tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat sehingga kebudayaan dengan
masyarakat sangatlah berkaitan.
Melihat realita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka akan terlihat
pula adanya berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa iniliah yang kemudian
mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda-beda.suku Minahasa merupakan salah satu
suku bangsa yang ada di pulau Sulawesi. Sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, suku
Minahsa memiliki kharakteristik yang membedakannya dengan suku lain. Keunikan
kharakteristik suku Minahasa ini tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari
segi agama, mata pencaharian, kesenian dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal-usul Orang Minahasa
Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh
manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. orang Austronesia awalnya dihuni
China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan,
dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya,
keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh),
Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan
dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka
bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka
bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-
nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan
bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan
sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini
berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian
dibangun.
Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan
wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera
beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa
dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.
Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan),
Ponosakan, Babontehu, Bantik.
Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.
Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa berperang melawan Bolaang
Mongondow. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Bolaang
Mongondow adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa
Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow,
Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay). Dalam peperangan
sebelumnya, Tarumetor (Opo Retor) dari Remboken mengalahkan Ramokian dari Bolaang
Mongondow di Mangket.
2.Mupuk Im Bene
Upacara adat dari daerah Minahasa berupa pengucapan syukur pallen pactio
Masyarakat membawa/mempersembahkan segantang/sekarung hasil padi bersama asil ladang
lain nya disuatu tempat (lapangan atau dirumah,gereja) untuk didoakan. Dan setiap
rumah/keluarga menyiapkan beragam makanandan makan bersama dengan para tamu dengan
suka ria
3.Metipu
Merupakan upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan
kepadaSang Pencipta alam semesta yang disebut BENGGONA LANGI DUATAN
SALURAN,dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan
asap membumbung kehadirat-Nya.
4.Watu Pinawetengan
Tanggal tujuh bulan tujuh tahun dua ribu tujuh saat istimewa bagi
sebagianmasyarakat Minahasa. Pada penanggalan Masehi itu digelarlah upacara adat
WatuPinawetengan, sebuah upacara penuh makna bagi persatuan masyarakat setempat.
WatuPinawetengan adalah warisan leluhur Minahasa dan merupakan bukti bahwa
demokrasidan persatuan sudah ada sejak dahulu.Berdasarkan cerita rakyat, terdapat sebuah
batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai
berdiriny permukiman suatu komunitas. Johann Albert Traugott Schwarz, seorang
misionaris Belanda keturunan Jerman, pada tahun 1888 berinisiatif melakukan penggalian di
bukit Tonderukan yang sekarang masuk wilayah kecamatan Tompaso, Minahasa, Sulawesi
Utara (Sulut). Ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur
ke barat. Johan Gerard Friederich Riedel yang lahir di Tondano pada tahun
1832,menyebutkan bahwa batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur
melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung.
Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikankeputusan
(dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok
pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.Latar belakang itu memberi arah
bahwa sudah ada demokrasi pada jaman dulu. Sejumlah persoalan diselesai- kan dengan
musyawarah sehingga mereka yang terlibat persoalanmeninggalkan Watu Pinawetengan
dengan damai. Inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata' esa
eneyakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah
Toar Lumimut menganarkan bagian peta tanah Minahasatempat tinggalnya dan meletakkan
dibagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentaliakolintang, penegasan
tekad itu disampaikan satu per satu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa.
Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ketanah tiga kali. Pada penghujung
acara para pelaku upacara bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan
Reranian: Royorz endo."Royor endo, ezo e, Maesa-esa lalan ni kita e, Royor endo, ezo e, Sei
si nimalewo,Ya wana ni mengasa- ngasaranmo, Royor endo, ezo e, Mengale-ngalei
umanPakatuan pakalawirenom, Royor endo, ezo e"(Persatukanlah jalan kita. Janganlah ada
yang merusakkan ataupun hanya berpura-pura.Mari memohonkan usia lanjut dan lestari).
5.Upacara Pemakaman
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam
terlebihdulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan
dalam kebiasaan menggunakan daun woka .Kebiasaan di bungkus daun ini berubah dengan
mengganti wadah ronggga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal dimasukkan
ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX Suku Minahasa mulai
menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan pada posisi menghadap
keutara dan didudukkan dengan tumitkaki menempel pada pantat dan kepala mencium lulut.
Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa
berasal dari bagian Utara. Sekitar tahun1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda
menguburkan orang meninggal dalam waruga. Kemudian di tahun1870, Suku Minahasa
mulai membuat peti mati sebagai pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit
berbagai penyakit, di antaranya penyakit tipus dan kolera.Dikhawatirkan, si meninggal
menularkan bibit penyakit tipus dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan
waruga dan cungkup waruga. Bersamaan dengan itu pula, agama kristen mengharuskan
mayat dikubur di dalam tanah mulai menyebar di minahasa. Waruga yang memiliki ukiran
dan relief umumnya terdapat diTonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa
jasad yang tersimpan dalam waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata
pencaharian orang tersebut. Pada awalnya waruga tersebar di seluruh Minahasa. Saat ini
waruga yang tersebar tersebut dikumpulkan di desa Sawangan - Minahasa, yaitu sebuah desa
yang terletak diantara Tondano (ibu kota kabupaten Minahasa) dengan Airmadidi(ibu kota
kabupatenMinahasa Utara). Sampai saat ini waruga merupakan salah satu tujuan wisata
sejarah diSulawesi Utara. (Bagian utara Minahasa).
6.Upacara Pernikahan
Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami
penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman.Misalnya ketika proses perawatan calon
pengantin serta acara “Posanan” (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum
perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-
mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi,karena tidak
ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat
"Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon
pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarangini, semua acara / upacara
perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan
pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memaka imahkota dan topi pengantin
untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi kecatatan sipil
atau departemen agama dan melaksanakan pengesahan /pemberkatan nikah(di gereja), yang
kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara
pperkawinan adat,diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian
dengan iringan musik tradisional, seperti tari Mengket, Katrili,Polineis,diiringi musik bambu
dan musik kolintang.
Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci
rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair
tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional
ataupun hanya sekedar simbolisasi.Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah
parutan kulit lemong nipis ataulemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai
pewangi; air lemong popontolen(citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit
kepala; daun pondang (pandan)yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga
manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan
dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan
rambut dicampur dengan sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan
ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu
dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan. Simbolisasi : Semua bahan-bahan
ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam
air hangat, lau kantong tersebut diremas dan Air nya ditampung dengan tangan, kemudian
digosokkan kerambut calon pengantin sekedar simbolisasi. Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin
disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis
bunga yang berbau wangi, dengan memakai gayung sebbanyak sembilan kali disiram diatas
leher kebawah. Secara simbolis dapat dilakukan dengan sekedar membasuh muka oleh
pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkan nya dengan handuk yang bersih dan belum
pernah digunakan sebelumnya.
7.Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin
pria ataupun wanita. Di Langowan Tontemboan , upacara dilakukan dilakukan dirumah pihan
pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini
mempengaruhi prosesi perjalan pengantin. Misalnya pengantin pria kerumah pengantin
wanita lalu keGereja dan kemudian ketempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan
dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga priamaupun keluarga wanita, maka pihak yang
menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada
perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh
mapalus warga desa, seperti di desa Tombulan. Orang Minahasa penganut agama Kristen
tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara
kebaktian dan makan malam. Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado,
mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut
Kawanua.
Pola hidupmasyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat
perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang
dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta,Prosesi
Upacara Adat di pelaminan). Contoh proses upacara adat perkawinanyang dilaksanakan
dalam satu hari :Pukul 09.00 pagi, upacara Tonki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin
wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan
beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin
pria,mengetuk pintu tiga kali. Pertama :Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh
wali pihak wanita. Lalu dilakukan dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian
pengantin pria mengetok pintu kamar wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari
kamarnya, diadakan jamuan makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke Gereja. Pukul 11.00-
14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus di nikahkan oleh negara, (apabila
petugas catatan sipil dapat datang kekantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak
lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja. Pukul 19.00 : Acara
resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin , namun menggunakan gedung /hotel.
Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upaccara adat perkawinan, ada
sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang daat melaksanakan nya. Dan prosesi upacara adat
dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa,hal ini tergantung dari keinginan atau
usul keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea,Tombulu,Tontemboan atau pun Sub-
enis Minahasa lainnya. Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit,
dilanjutkan dengankata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara
salaman, makan dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa yang dimulai dengan
Polineis.
2.6 Bahasa
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Tomohon selain menggunakan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah Minahasa.
Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari delapan macam jenis bahasa daerah yang
dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll.
Bahasa daerah yang paling sering digunakan di Kota Tomohon adalah bahasa Tombulu,
karena memang wilayah Tomohon termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa percakapan
di atas, ada juga masyarakat di Minahasa dan Kota Tomohon khususnya para orang tua yang
menguasai Bahasa Belanda karena pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah
zaman dahulu yang menggunakan Bahasa Belanda. Bahasa daerah Minahasa terdiri dari:
1) Tountemboan,
2) Tombulu Tonsea,
3)Toulour (Tondano),
4)Tonsawang,
5) Ratahan,
6)Pasan,
7)Ponosakan,
8)Bantik.
2.7 Pemerintahan
Sejak awal bangsa Minahasa tidak pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat
seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang
gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum
Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi.Ukung artinya
kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil
Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat
dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya
sendiri. Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus
dengan mapalus. Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut
Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng. Di Minahasa tidak dikenal
sistim perbudakan, sebagaimana lazimnya di daerah lain pada zaman itu, seperti di kerajaan
Bolaang, Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian
Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagairaja. seperti raja Bolaang, raja
Ternate, raja Sanger) yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan
rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa
walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di
seluruh Minahasa oleh golongan rakyat/Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat
pemerintahan yang diturunkan OpoToar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan
sewenang-wenang. Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak
menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar
keluarga. Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu
mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori
olehTonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.Luas Minahasa pada
jaman ini adalah dari pantai Likupang, Bitung sampai ke muarasungai Ranoyapo ke gunung
Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar,
Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow,
sampai kira-kira abad ke-14. Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar
Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota
Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea mereka bertugas untuk
konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.
2.9 Kesenian
A. Tarian
1. Tari Mahambak
Tari Mahambak adalah salah satu seni tradisional Bantik — sebuah anak suku yang
memiliki banyak kekhasan . Seni tari yang menjadi sarana pengungkapan peasaan komunal
orang Bantik. Dengan terpencarnya mereka kedalam sejumlah pusat pemukiman-pemukiman
antaranya di Malayang (arah tenggara dari manado), Molas (diutara manado), Ongkaw dan
Boyong (di minahasa selatan), dan lain-lainmereka amat saling merindu. Perjumpaan,
persatuan dan kerukunan menjadi nilai-nilai yang sangat dirayakan serta dijunjung setinggi-
tingginya oleh orang Bantik dari generasi ke generasi.
Nilai-nilai persatuan dan kerukunan itu tercermin sangat jelasnya dalam bait-bait syair
yang dinyanyikan dalam Tari Mahambak. Syair-syair yang digubah para leluhur,
yang karena di zaman dulu itu masih sangat terbatas sarana perhubungan dan apalagi
telekomunikasi, sehingga mereka menghayati keterpencaran komunitas mereka sebagai
masalah sangat besar, mencemaskan, membahayakan, dan amat menyedihkan. Arti harfiah
mahambak ialah begembira dan bersukacita. Bergembira menyambut perjumpaan dan
persatuan. Tari mahambak kemudian menjadi bagian dari setiap upacara atau perayaan yang
membahagiakan, seperti “naik rumah baru”, panen hasil bumi yang melimpah, dan lain-lain.
2. Tari Maengket
Maengket adalah paduan dari sekaligus seni tari, musik dan nyanyi, serta seni sastra
yang terukir dalam lirik lagu yang dilantunkan. Sejumlah pengamat kesenian bahkan
melihat maengket sebagai satu bentuk khas sendratari berpadu opera. Apapun, maengket
memang merupakan sebuah adikarya kebudayaan puncak yang tercipta melalui proses
panjang penyempurnaan demi penyempurnaan.
Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian
terutama menanam padi di ladang. Kalau dulu nenek moyang Minahasa, maengket hanya
dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, maka
sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tariannya tanpa
meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya.
Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu:
Maowey Kamberu
Marambak
Lalayaan.
Maowey Kamberu Adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur
kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat
ganda/banyak. Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan (mapalus),
rakyat Minahasa bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka
diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji
kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampung diundang dalam pengucapan syukur.
Lalayaan adalah tari yang dilakukan saat bulan purnama Mahatambulelenen, para muda-mudi
melangsungkan acara Makaria’an — mencari teman hidup.
3. Tari Kabasaran
Kabasaran adalah tari perang. Mengangkat atau memuliakan perang ke dalam karya
estetika, itu memberi gambaran tentang masyarakat itu sendiri. Itu ungkapan dari watak dan
nilai-nilai budaya masyarakat.
Ya, berperang memang diluhurkan sebagai krida sangat mulia bagi masyarakat yang
gagah berani serta kokoh membela kebenaran dan keadilan. Dr. A.B.Meyer, seeorang peneliti
sosio-budaya masyarakat Minahasa, dalam sebuah laporannya sampai menarik kesimpulan.
Perang adalah bagian dalam format kebudayaan Minahasa lama.
Seni Tari Kabasaran pun mengabadikan ritual yang di masa lampau memang
dilaksanakan leluhur tou Minahasa setiap kali mereka hendak berperang. Tari Kabasaran
sedemikian akrab dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minahasa lama. Tarian
keprajuritan ini menyemarakkan hampir semua upacara dalam daur hidup manusia. Mulai
dari kelahiran, mengusir roh-roh jahat, perkawinan, hingga pemakaman orang mati.
Demikian pula untuk penjemputan dan pengawalan secara adat bagi petinggi pemerintahan
ataupun tokoh masyarakat. Juga dalam mengantar para pekerja Mapalus menuju tempat kerja.
4.Tari Maselai
Mesalai adalah salah satu jenis tarian tradisional yang berasal dari Provinsi Sulawesi
Utara. Kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Kepulauan Sangihe Talaud
ini dahulu merupakan bagian dari suatu upacara ritual sebagai perwujudan rasa syukur
kepada Genggona Langi Duatung Saluruang (Tuhan Yang Maha Tinggi Penguasa Alam
Semesta) atas segala anugerah yang telah diberikan-Nya. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman dan masuknya agama-agama baru, tari mesalai saat ini juga digunakan
sebagai pelengkap upacara adat dan syukuran, seperti: khitanan, perkawinan, mendirikan
rumah baru, peresmian perahu baru dan lain sebagainya.
Alat Musik
1.Alat Musik Tradisional Kolintang
Alat musik Kolintang adalah alat musik tradisional yang terkenal di daerah Minahasa,
Provinsi Sulawesi Utara. Bahan untuk membuat alat musik tradisional kolintang ini adalah
kayu. Ada Kolintang yang dibuat dari bahan kayu bernama kayu bandaran, kayu wenang, dan
lain sebagainya. Umumnya kayu yang dibuat untuk membuat Kolintang ini adalah kayu-kayu
ringan, namun memiliki serat kayu yang padat. Alat musik kolintang dimainkan dengan cara
dipukul. Bahkan Kolintang ini terkenal dapat mengeluarkan bunyi yang khas karena bisa
digunakan untuk mengeluarkan bunyi nada rendah maupun nada tinggi. Salah satu fungsi
Kolintang adalah mengiringi tari tradisional dari Sulawesi Utara yaitu Tari Lenso dan Tari
Tatengesan.
2. Alat Musik Tradisional Salude
Alat musik yang identik dengan Sulawesi Utara adalah Kolintang. Namun sebenarnya
masih ada alat musik tradisional yang menjadi ciri khas masyarakat Minahasa. Namanya
adalah Salude.
Salude adalah sejenis alat musik tradisional yang dibuat dari seruas bambu. Pada
bagian tengah badan bambu terdapat lubang yang memiliki fungsi sebagai resonator dan
diatasnya dipasang 2 senar yang juga dibuat dari serat ari bambu.
Cara membunyikan alat musik salude adalah dengan cara dipetik atau dipukul dengan
pelepah pinang. Alat musik Salude ini merupakan alat musik sejenis sitar tabung yang
termasuk dalam kelompok ido-kardofon.
3. Alat Musik Tradisional Tetengkoren
Tetengkoren adalah merupakan salah satu alat musik pukul (Diophone) yang terbuat
dari bambu berbentuk tabung bambu. Alat musik ini dipergunakan untuk mengiringi tari
tradisional seperti tari tatengesan atau tari tetengkoren namun secara umum dipergunakan
pula sebagai alat komunikasi didaerah kebun di Sulawesi Utara.
4. Alat Musik Tradisional Momongan
Momongan adalah merupakan alat musik tradisional dari Sulawesi Utara yang lebih
kita kenal dengan nama Gong. Alat musik momongan ini terbuat dari perunggu yang
dibunyikan dengan cara dipukul. Alat musik momongan dipergunakan untuk mengiringi
berbagai tari tradisional dari Sulawesi Utara. Selain alat musik diatas, masih ada beberapa
alat musik tradisional yang dipergunakan masyarakat Sulawesi Utara seperti Tambur dan
Suling.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://randyefferputra.blogspot.com/2012/08/mengenal-suku-bangsa-minahasa.html
http://www.scribd.com/doc/34171303/Kebudayaan-Minahasa-Budaya-Nusantara
http://ahmadroihan8-jendelailmu.blogspot.com/2012/06/makalah-suku-minahasa.html
https://id.m.wikipedia.org/wiki/minahasa?wasRedirected=true
http://dokumen.tips/documents/kebudayaan-minahasa.html
https://indraboham.wordpress.com/2012/11/26/tari-daerah-sulawesi-utara-2/
http://www.tradisikita.my.id/2015/08/alat-musik-tradisional-sulawesi-utara.html
https://wongkai.wordpress.com/2014/02/03/125/
http://dokumen.tips/documents/kebudayaan-minahasa.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Minahasa