Anda di halaman 1dari 7

TUGAS I FILSAFAT KEBUDAYAAN

OLEH

PETRUS CHARLY FRANS GOKOK

611 19 055

FAKULTAS FILSAFAT

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG

2020
1
JATI DIRI

Petrus Charly Frans Gokok adalah seorang pria keturunan Lembata. Ia lahir di Kupang
pada tanggal 4 juni 1999. Charly adalah buah hati dari pasangan Bartholomeus Kia dan Sintia
Paula Parera (almh). Charly adalah seorang pria berdarah Lembata-Rote. Ayahnya berasal dari
Lembata sedangkan ibunya berdarah Rote-Maumere. Sejak lahir ibunya sudah berdomisili di
Kupang. Sejak lahir ia sudah berdomisili di Kupang, sehingga ia tidak begitu mengenal bahasa
dan budaya lokal dari kedua orangtuanya.

PETRUS CHARLY FRANS GOKOK. Nama yang diberikan oleh orangtua kepadanya
mempunyai arti tersendiri. Petrus, merupakan nama yang diberikan sebagai nama pelindung
yang di ambil dari nama St. Petrus, rasul. Charly, merupakan nama yang diberikan sebagai nama
sapaan. Fransiskus, merupakan nama yang diberikan sebagai penghormatan kepada oyangnya,
tradisi penurunan nama ini biasa disebut narang. Gokok, merupakan nama suku dari mana
ayahnya berasal. Nama suku yang diturunkan kepada anak-anak biasanya diambil dari nama
kakek/opa, bukan dari nama suku ayahnya. Itu sebabnya Charly dan ayahnya Bartholomeus Kia
memiliki nama suku yang berbeda.

Ketika Charly berumur 2 tahun, ibunya meninggal dunia. Saat itu, umurnya masih begitu
kecil sehingga ia tidak mengenal wajah ibunya. Ia hanya mengenal wajah ibunya melalui foto-
foto yang masih tersimpan dalam album keluarga. Ibunda Charly meninggalkan 3 orang anak.
Anak pertama bernama Yosep Rinandi Sule Gokok, dan anak kedua bernama Hildagardis
Silviani Doa Gokok. Setelah kepergian ibunya, Charly dan kedua saudaranya hanya diasuh oleh
ayahnya selama 2 tahun. Menjelang umurnya yang ke 4 tahun ayahnya menikahi seorang wanita
yang bernama Yustina Tifaona. Wanita ini berasal dari kampung ayahnya yakni Desa Imulolong-
Lembata. Dari pernikahan kedua ini, ayahnya dikaruniai 2 orang anak yang bernama Cyntia
Bunda Paula Gokok dan Stanis Silvester Yusto Gokok.

Charly berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya adalah seorang guru musik di
salah satu sekolah negeri di Kota Kupang. Ibunya seorang pegawai di SMAK Giovanni-Kupang,
sedangkan ibu tirinya adalah seorang ibu rumah tangga. Penghasilan setiap bulannya mampu
memenuhi segala kebutuhan dalam keluarganya. Walaupun terkadang ekonomi menjadi salah
satu pemicu masalah dalam keluarga, namun segala kebutuhan biasa terpenuhi.

2
Dengan latar belakang keluarga yang sederhana, Charly tak pernah menuntut lebih dari
orangtuanya, karena ia tahu dari keluarga mana dia berasal. Walaupun lingkungan dimana ia
tinggal adalah lingkungan orang-orang yang mempunyai penghasilan yang besar, namun ia tetap
bersyukur dengan apa yang keluarganya miliki. Sebab, baginya harta material bukanlah jaminan
untuk kehidupan yang bahagia, melainkan hidup rukun dan damai dalam keluargalah sumber
kebahagiaan dalam hidup.

Charly dilahirkan sebagai seorang Katolik. Namun, bila ditelusuri lebih jauh sebenarnya
ia bukan dilahirkan dalam keluarga yang 100% Katolik. Kakek dan nenek dari ibunya melakukan
perkawinan campur Protestan-Katolik. Kakeknya Bernama SIMON PANDIE adalah seorang
Protestan yang sangat radikal. Persoalan agama pernah menjadi permasalahan yang cukup berat
dalam keluarga dari ibunya. Kakeknya yang berasal dari suku Pandie-Rote ini bertindak keras
agar anak-anaknya harus dibabtis dalam gereja protestan. Namun, hal ini tidak di indahkan oleh
neneknya, sehingga neneknya membawa ketiga anaknya untuk tinggal bersama keluarga
maumere di kelurahan Oeba. Hal inilah yang menyebabkan ibunya Charly tidak menggunakan
nama Pandie sebagai marga.

3
Laki-laki: Ti’ilangga sebagai topi, Selimut yang diselempangkan di bahu kanan, Selimut (hafa)
yang dililitkan di pinggang, dan Habas yang dikalungkan di leher.

Perempuan: Bula Molik (bulan sabit) dipakai di kepala, Selempang, Sarung, Pendi terbuat dari
perak/emas, dan Habas yang dikalungkan di leher.

Menurut sejarah, fungsi kain tenun ikat atau dalam Bahasa Rote disebut Lave Rambik
bagi masyarakat Pulau Rote Ndao adalah untuk upacara adat dan digunakan sebagai upeti.
Sedangkan untuk pakaian sehari-hari, mereka mengenakan kaloro, atau bahkan tidak berpakaian.

Lave Rambik awalnya hanya berupa kain polos tanpa motif. Motif dalam tenunan Rote
bisa dikatakan baru, karena baru pada periode tahun 1940-an pengrajin tenun di sana membuat
motif pada kain tenunan. Umumnya, motif yang dibuat tersebut terinspirasi dari mata
pencaharian dan kepercayaan agama masyarakat setempat.

Kombinasi beberapa warna, yakni warna hitam, putih, kuning, dan merah. Warna-warna
itu memiliki arti khusus bagi masyarakat Ba’a, seperti merah artinya keberanian untuk
memperjuangkan, mempertahan hidup hidup, dan kerja keras. Warna hitam artinya kesabaran,
kerendahan hati, dan setia. Warna putih artinya dalam usaha atau kerja harus dengan niat dan
pikiran yang bersih, ikhlas, dan suci. Dan warna kuning artinya segala usaha atau kerja untuk
kelangsungan hidup dengan tekun, sabar, setia serta dengan niat dan pikiran yang bersih pasti
dapat memperoleh hasil yang memuaskan.

4
1. Motif Lafa Langgak. Merupakan ciri khas seluruh tenun Rote yang berupa kepala
selimut yang berupa lambang kombinasi dari lilin dan salib. Makna yang berhubungan
dengan kepercayaan agama yang banyak dianut masyarakat lokal.

2. Motif Henak Anan. Bermakna anak pandan

3. Motif Lamak Nen. Merupakan corak bentuk anak belalang, hewan yang banyak


berkeliaran di sekitar tempat berladang.

4. Motif Ngganggu Dok. Menggambarkan daun kangkung dan daun daun kecil lain yang
biasanya menjadi makanan belalang.

5. Motif Hua Ana Langi. Motif raja yang spesial karena dianggap keramat. Corak hua ana
langi tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Bila ada rakyat biasa ketahuan mengenakan
motif raja, maka kain tenun tersebut akan dimusnahkan saat itu juga dengan cara
dipotong potong kecil lalu dibakar.

6. Motif Roa`ju atau Su`u Dok. Berupa motif daun-daun besar yang dalam bahasa Ndao


disebut roa`ju, sedangkan dalam bahasa Ba`a disebut su`u dok.

7. Motif Hua Ana Langi. Motif yang mempunyai makna ikan Garagahing.

8. Motif Mada Karoko. Berupa gambar duri laut atau tek.

9. Motif Su’u Dok. Motif yang berasal dari bentuk daun sukun karena sukun adalah
makanan rakyat Ba’a ketika zaman perang melawan penjajah.

Kain tenun ikat Rote Ndao memiliki perbedaan antar etnis apabila dilihat secara teliti.
Perbedaan itu terletak pada pengembangan motif geomeris berupa bunga-bunga. Tenunan Rote
bagian barat umumnya didominasi dengan benang berwarna puith di atas warna dasar hitam.
Walaupun terdapat perbedaan ada beberapa kesamaan dala bentuk tenunan di Rote Ndao di
setiap tenunan untuk pria dari semua sub etnis yakni pada bagian ujungnya terdapat raga hias
tumpal atau pucuk rebung yang dikenal dengan motif patola. Hal ini karena ada sebuah
kesepakatan antara kepala-kepala suku antar Nusak pada masa lampau.

5
Motif Pucuk Rebung mempunyai makna nilai persatuan dan rasa kekeluargaan yang dalam
antar warga dari ujung timur pulau Rote hingga ujung barat pulau Rote, yang terdapat 17
kelompok etnis.

Motif “Hua Ana Langi”. Secara leksikal Ana Langi berarti ikan Gergahing. Ana Langi
adalah suatu motif yang memiliki nilai sakral karena dipercaya bahwa motif ini merupakan
pemberian Dewa Laut. Dalam legenda turun temurun, pada masa dahulu orang Rote hanya bisa
menenun kain berwarna polos tanpa adanya motif-motif. Pada suatu malam, seorang penenun
menyimpan benang yang sudagg di rentang di depan rumah. Keesokan harinya pada rentangan
benang tersebut sudah ada bentuk motif yang tergabar menggunakan air liur binatang. Binatang
itu berbentuk bintang laut yang disebut Ana Langi. Di kalangan orang Ndao, motif ini dipandang
sebagai sesuatu yang sangat sakral, karena apabila terdapat kesalahan dala menenunnya akan
berakibat kematian. Motif ini pun hany bisa dikerjakan oleh orang Ndao saja.

Anda mungkin juga menyukai