Bagian ini membahas periode yang cukup panjang, yaitu 1850 – 1933.
Dalam bab yang telah disajikan sebelumnya terlihat bahwa pada umumnya ada
perbedaan yang mendasari suatu pembabakan. Pembabakan sejarah sastra
Indonesia dalam buku ini didorong ke tahun yang lebih awal, yaitu 1850. Dalam
hal ini, awal tersebut diacu dengan dasar munculnya teknologi baru dalam
penyebarluasan gagasan, yaitu mesin cetak. Permasalahan teknologi ini sama
sekali tidak diperhitungkan dalam periodesasi sejarah sastra Indonesia
sebelumnya.
Untuk melengkapi kekosongan tersebut, penulis mengusulkan agar teknologi
juga diperhitungkan. Munculnya teknologi baru akan selalu berdampak pada
berbagai perubahan sosial di dalam masyarakat. Penggunaan mesin cetaklah yang
memungkinkan kritik-kritik Suwardi Suryaningrat dapat tersebar di kalangan
masyarakat luas pada tahun 1908. Mesin cetak pula yang memungkinkan
dihasilkannya karya-karya sastra stensil Melayu-Tionghoa dan bacaan liar. Upaya
ini tentunya masih memerlukan pengujian lebih lanjut baik dari rekan-rekan
pemerhati sejarah sastra maupun para mahasiswa.
Salah satu karya penting berbicara kesadaran politik ialah Max Havelaar, of
de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar, atau
Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda) ditulis oleh Multatuli (artinya “aku
banyak menderita”), nama samaran Eduard Douwes Dekker, orang Belanda yang
humanis dan menaruh simpati besar terhadap penderitaan rakyat Indonesia,
khususnya Jawa.
Ditulis dalam waktu sebulan disebuah kamar loteng di Brussel diterbitkan
tahun 1860. Buku ini bercerita tentang kesewenangan Bupati Lebak dan
begundalnya”. Cerita ini diterjemahkan oleh HB Jasin (yang kemudian diundang ke
Belanda selama setahun dan mendapat penghargaan Martinus Nijhoff).15
Mantan Asisten Residen Lebak dipecat karena melaporkan penindasan
Bupati Lebak. Ia hidup berpidah-pindah karena hidupnya yang boros (pernah
ditolak orang tua gadis walau sempat berpindah agama dari Protestan menjadi
Katolik). Ia hidup dalam kemiskinan dan terlunta-lunta hingga kemudian bertekad
menyampaikan segala penderitaan rakyat terjajah kepada pemerintah Belanda.
Buku ini juga menjadi bacaan wajib dan karya dunia. Berkat buku ini
pemerintah Belanda mengubah sistem tanam paksa menjadi Politik Etis. Politik
etis adalah suatu kebijaksanaan penting yang dicanangkan tahun 1901. Politik ini
merupakan hasil dari perubahan dalam parlemen di Belanda, yaitu kemenangan
koalisi partai-partai kristen di Belanda, yang terdiri dari Partai Katolik, Partai
Perkumpulan Kristen dan Partai Anti Revolusioner. Dengan kemenangan koalisi
ini, berdasarkan kepercayaan moral, mereka merasa perlu memperbaiki kondisi
hidup di Hindia melalui pendidikan, irigasi dan transmigrasi.
Namun semua kebijaksaan politik ini, senantiasa dijalankan untuk
kepentingan negeri induk. Politik Etis dapat dikatakan demi kepentingan
komoditas, dalam pengertian pendidikan sebagai salah satu elemen politik etis
tidak diterapkan untuk seluruh lapisan masyarakat di seluruh Hindia--pendidikan
di Hindia dilelang mahal. Politik Etis ini merupakan momen dalam suatu critical
period ketika rakyat Hindia memasuki dunia modern dan pemerintah berusaha
memajukan rakyat bumiputra dan sekaligus menjinakkannya.
Bersamaan dengan itu, negara kolonial, untuk meredam konflik yang lebih
tajam antara aparat negara dan rakyat, merasa berkewajiban secara moral untuk
mengajar para aristokrat dan menjadikannya partner dalam kehidupan budaya
dan sosial. Partner semacam ini diharapkan akan menutup jurang pemisah antara
negara dan masyarakat kolonial. Dr. Snouck Hugronje salah seorang ilmuwan
orientalis mendambakan dibangunnya suatu ikatan Belanda Raya (Pax
Nerderlandica). Untuk itu rakyat Hindia harus dituntun agar bisa berasosiasi
14
Bakri Siregar, Sejarah Sastra Indonesia Modern. (Jakarta : Akademi Sastra Multatuli, 1964) hlm.10
15
Buku ini menurut Pramodya Ananta Toer adalah “Buku yang membunuh kolonialisme”. Sedangkan
menurut D.H. Lawrence, “Max Havelaar senada Uncle Tom’s Cabin. Buku yang paling menggelisahkan.”
Marco tokoh pergerakan nasioanl secara sadar memperoleh pengetahuan dari Multatuli bahwa
keberanian untuk menyelamatkan semua manusia. Dan dengan keberanian itu diharapkan semua
manusia bisa damai.
3
Siregar, op cit . hal. 33
17
Jacob Sumardjo, Lintasan Sejarah Sastra Indonesia (Bandung : Citra Aditya, 1992) hal. 13
18
Sutan Takdir Alisjahbana, “Perjuangan Budaya dan Pengalaman Pribadi Selama di Balai Pustaka”
dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka (Jakarta, 1992) hlm. 22
Melihat berbagai pendapat pro dan kontra tentang peran Balai Pustaka
dalam perkembagnan kesuastraan Indonesia tidak perlu ditetapkan mana yang
benar. Dalam hal ini kita melihat objektif bahwa Balai Pustaka telah memberikan
kesempatan kepada pengarang dan editor Indoesia sebagai penerbit yang luas
jaringannya sehingga terbukalah pendidik yang luas jaringannya sehingga
pendidikan dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia.
19
A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, (Jakarta : Yayasan Pembangunan,
1952) hlm. 120 - 121
Budiman, Arief. Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan. Jakarta : Wacana Bangsa. 2007.
Damono, Sapardi Djoko. Sihir Rendra : Permainan Kata. Jakarta : Pustaka Firdaus.
1999