Nim: 225110701111025
I. Prosa Melayu
Sastra Melayu klasik adalah jenis karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu dan pertama kali
muncul pada abad ke-14. Istilah "klasik" digunakan karena sastra ini mencerminkan konteks waktu ketika
itu diciptakan. Sastra Melayu Klasik menggunakan bahasa Melayu kuno dan dipengaruhi oleh pemikiran,
adat istiadat, situasi sosial, dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat saat itu. Karya sastra Melayu
klasik tersebar di berbagai wilayah Melayu, termasuk Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.Sastra
Melayu Kuno, yang awalnya berbentuk sastra lisan, pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-13
bersamaan dengan masuknya agama Islam. Peninggalan sastra Melayu kuno dapat ditemukan dalam
bentuk dua bait sastra pada batu nisan seorang Muslim di Minye Seven, Aceh. Selain itu, Sastra Melayu
Kuno juga merupakan bagian dari karya sastra Indonesia yang berkembang antara tahun 1870 hingga
1942. Sastra ini tumbuh di berbagai lingkungan masyarakat Sumatera seperti Langkat, Tapanuli,
Minangkabau, serta di komunitas Tionghoa dan Indo-Eropa.
1. Gurindam
Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama akhir
yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
2. Hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang
kisah, cerita, dan dongeng
3. Karmina
Karmina atau pantun kilat adalah pantun yang terdiri dari dua baris
4. Pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama pantun terdiri atas empat larik Pantun pada mulanya
merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
5. Seloka
Seloka adalah bentuk puisi Melayu klasik yang berisikan pepatah dengan maksud senda gurau, sindiran
bahkan ejekan.
6. Syair
Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam
perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga syair di desain sesuai
dengan keadaan dan situasi yang terjadi.
7. Talibun
Talibun adalah sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi lebih dari 4
baris (mulai dari 6 baris hingga 20 baris).
Karya sastra penulis peranakan Tionghoa yang berkembang dari akhir abad ke-19 hingga
pertengahan abad ke-20 adalah bagian penting dari sejarah sastra Melayu Tionghoa. Menurut Claudine
Salmon, seorang peneliti Perancis yang mempelajari sastra Melayu Tionghoa, selama hampir 100 tahun
(1870-1966), sastra Melayu Tionghoa melibatkan 806 penulis dan menghasilkan 3.005 karya. Namun,
meskipun berkembang di Indonesia, sastra Melayu Tionghoa sering kali tidak diakui sebagai bagian dari
sastra Indonesia. Ketidakakuanan ini terkait dengan pandangan masyarakat saat itu terhadap komunitas
Tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada waktu itu belum dianggap sebagai
warga negara Indonesia. Selain itu, bahasa Melayu Rendah yang digunakan dalam karya-karya sastra
Melayu Tionghoa dianggap bukan sebagai sumber bahasa Indonesia. Karya sastra yang menggunakan
bahasa Melayu Rendah dianggap memiliki kualitas rendah, sementara hanya karya sastra yang
menggunakan bahasa Melayu Tinggi, yang dianggap sebagai sumber bahasa Indonesia, yang diakui
sebagai sastra Indonesia.Oleh karena itu, sastra Indonesia modern sering dianggap dimulai pada periode
Balai Pustaka, di mana karya-karyanya menggunakan bahasa Melayu Tinggi. Hal ini menjadi alasan
mengapa sastra Indonesia pada periode tersebut dianggap sebagai awal dari sastra Indonesia yang diakui
secara resmi.
Berdasarkan forum Apresiasi Sastra (FAS) yang mengadakan bincang bincang tentang
sastra Peranakan berbahasa Tionghoa pada 26 Juni 2019, yang mengundang Sunlie Thomas
Alexander, seorang penulis Tionghoa Indonesia yang tentu saja telah menulis beberapa buku
sendiri. Menurut dia, salah satu kendala yang dihadapi adalah sastra peranakan Tionghoa tidak
mendapatkan reputasi bahasa Tionghoa yang telah merintis tata nusantara melalui perkembangan
sastra Tionghoa-Melayu. Ia juga menyatakan bahwa sastra ini telah berkembang sejak tahun
1870-an dan sastra Melayu-Cina berubah menjadi tulisan dalam bahasa Melayu dan bahasa Cina
perantauan.
Berdasarkan e-book Kontribusi Awal Sastra Indonesia Tionghoa (Claudine Salmon). Selama
hampir 100 tahun (1870-1960) sastra Melayu-Cina menyumbang 806 pengarang dengan 3005
karya yang dihasilkan. Dan dalam kurun waktu tersebut juga sudah banyak penulis Cina yang
menyumbangkan karya-karyanya untuk perkembangan sastra di tempat asal kita. Contohnya
termasuk Tjio Peng Hong, Im Yang Tjoe, Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, Tan Sioe Tjhoan,
Oen Bo Tik.
Liang Liji menjelaskan fenomena kesastraan yang muncul pada masa itu sebagai masa peralihan
dari masyarakat jajahan feodal yang berdasarkan ekonomi alam menuju masyarakat jajahan yang
disatukan oleh tata ekonomi dan administrasi yang sama. Sesuai dengan proses peralihan itu maka
lahirlah bahasa yang dapat digunakan oleh semua suku bangsa diHindia Belanda yang kemudian
melahirkan sastra yang mencerminkan realitas masyarakat zaman itu. Jika dilihat dari kondisi zaman
peralihan itu, keturunan Tionghoa merupakan satumasyarakat yang lebih mampu memenuhi panggilan
zaman dalam melakukan kerja cipta sastra,terutama karena kedudukan ekonomi dan taraf pendidikan
mereka yang relatif lebiih baik.
Refrensi:
Liang Li Ji, O. (1987). Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra
Sunda. Archipel, 34(1), 165-179.
Salmon, Claudine. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Jakarta: Balai Pustaka, 1985