Anda di halaman 1dari 5

Nama : Aldilla Natasya Gunawan

NIM : 13010119130057

Lahirnya Sastra Indonesia Modern dan


Kesusastraan Melayu Tionghoa
Sebelum jauh membahas tentang lahirnya Sastra Indonesia Modern dan
Kesusastraan Melayu Tionghoa, ada baiknya kita lebih dulu mengenal apa itu
Sastra Indonesia?
Sastra Indonesia adalah sastra yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai
medianya. Sastra Indonesia mulai berkembang pada abad ke-20, hal tersebut
dibuktikan dengan mulai tampaknya penerbitan pers seperti majalah dan surat
kabar maupun buku.
Lahirnya Sastra Indonesia Modern masih sering diperdebatkan, hal itu
disebabkan oleh adanya teori-teori yang bermunculan dari para ahli. Umar Junus
menyebutkan bahwa “sastra ada sesudah bahasa ada” (1960). Sehingga ia
berpendapat bahwa sastra Indonesia ada setelah bahasa Indonesia ada. Umar
Junus merujuk pada lahirnya bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Sehingga ia berpendapat bahwa sastra Indonesia ada sejak tanggal 28 Oktober
1928.
Ajip Rosidi berpendapat bahwa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern
dimulai sejak tahun 1920/1921 hal itu ditandai dengan adanya kesadaran
masyarakat akan sastra. Saat itu, para pemuda Indonesia menerbitkan sajak-sajak
mereka. Salah satunya adalah puisi “Tanah Air” oleh M. Yamin. A. Teeuw
memiliki pendapat yang sama dengan Ajip Rosidi, ia berpendapat bahwa Sastra
Indonesia Modern dimulai pada tahun 1920. A. Teeuw menyebutkan pada tahun
itu, para pemuda Indonesia mulai menulis puisi baru Indonesia.
Sedangkan Bakri Siregar berpendapat bahwa Sastra Indonesia Modern lahir
pada tahun 1915, yang ditandai dengan munculnya roman Hikajat Kadiroen
(Semaun). Pendapat lain menyebutkan bahwa Sastra Indonesia Modern lahir
setelah berdirinya Balai Pustaka tahun 1920 dan ditandai dengan terbitnya novel
Merari Siregar yang berjudul Azab dan Sengsara Seorang Gadis.
Di sisi lain, banyak juga pendapat yang menyebutkan bahwa Sastra Indonesia
Modern sudah ada sejak tahun 1985. Munculnya karya-karya sastra dengan
menggunakan bahasa Melayu-Rendah yang dikenal dengan bacaan liar dari para
penulis keturunan Tionghoa. Sastra ini disebut sebagai Sastra Melayu-Tionghoa.
Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai Sastra Lingua Franca.
Sastra Melayu-Tionghoa selalu diperdebatkan. Apa sebenarnya Sastra
Melayu-Tionghoa itu? Apakah sastra ini sastra yang menggunakan setengah
bahasa Melayu dan setengah bahasa Tionghoa? Atau apakah ada kaitannya
dengan dari etnis atau bangsa apa pengarang yang menerbitkan Kesusastraan
Melayu-Tionghoa?
Sastra Melayu-Tionghoa merupakan sastra yang sudah ada sebelum Balai
Pustaka didirikan. Sastra ini ditulis menggunakan bahasa Melayu-Rendah atau
bahasa pasar yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat untuk mempermudah
komunikasi. Bahasa ini merupakan bahasa yang sifatnya campuran, baik
campuran dari bahasa Melayu, bahasa Tionghoa, maupun bahasa daerah seperti
bahasa Sunda.
Pengarang Kesusastraan Melayu-Tionghoa merupakan keturunan atau
Peranakan Tionghoa. Bangsa Tionghoa sudah lama melakukan penyebaran ke
penjuru dunia, termasuk ke wilayah Nusantara. Mereka melakukan penyebaran
salah satunya untuk berniaga atau berdagang. Tidak sedikit dari mereka yang
memilih untuk menetap di daerah yang mereka kunjungi. Pada saat itu, keturunan
Tionghoa menaruh minat lebih pada dunia sastra, sehingga Kesusastraan Melayu-
Tionghoa cukup berkembang.
Kehadiran Kesusastraan Melayu-Tionghoa dapat dikatakan banyak
jumlahnya. Sastra ini cukup berkembang pada masanya. Salah satu Kesusastraan
Melayu-Tionghoa yang populer pada saat itu adalah Drama di Boven Digoel dan
Boenga Roos dari Tjikembang karya Kwee Tek Hoay.
Sayangnya, Kesusastraan Melayu-Tionghoa yang jumlahnya banyak itu
kurang mendapat perhatian terutama dari pemerintah pada masa itu. Ketatnya
seleksi dalam penerbitan Balai Pustaka menjadikan Kesusastraan Melayu-
Tionghoa sulit untuk semakin berkembang. Penerapan taraf yang tinggi
menjadikan Kesusastraan Melayu-Tionghoa ditolak untuk terbit di Balai Pustaka
yang pada saat itu di bawah pimpinan Kolonial.
Kesusastraan Melayu-Tionghoa dinilai tidak sesuai karena beberapa alasan.
Di antaranya yaitu karena Kesusastraan Melayu-Tionghoa ditulis menggunakan
bahasa Melayu-Rendah. Bahasa tersebut dianggap tidak sesuai karena Balai
Pustaka hanya menerbitkan karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu-
Tinggi. Hal itu disebabkan karena bacaan-bacaan tersebut ditujukkan untuk elit
tinggi dan kaum terpelajar. Bahasa Melayu-Rendah dianggap sebagai bahasa yang
rendahan.
Selain itu, alasan lainnya adalah karena masalah pengarangnya. Hal ini
merujuk pada siapa pengarangnya dan dari ‘bangsa’ mana pengarang karya
tersebut. Meskipun banyak Peranakan Tionghoa yang memilih untuk
berkebangsaan Indonesia (hal tersebut dilakukan agar mendapat pengakuan dari
bangsa Indonesa), tetapi mereka masih dianggap sebagai ‘perantau’. Selain itu,
mereka juga mendapat perlakuan yang tidak adil, karena mereka masih keturunan
dari Tionghoa. Meskipun diperlakukan secara tidak adil, semangat penulis para
Peranakan Tionghoa tetap berkobar. Mereka masih rajin menulis karya-karya
sastra lainnya.
Meskipun Kesusastraan Melayu-Tionghoa mengandung “semangat ke-
Indonesiaan” tetapi hal itu dirasa masih belum cukup. Bahkan karya sastra yang
ditulis oleh orang pribumi dan menggunakan bahasa Melayu-Tinggi juga ditolak
apabila isinya dianggap memberontak.
Kesusastraan Melayu-Tionghoa ditolak sebagai tonggak lahirnya Sastra
Indonesia Modern. Hal tersebut memiliki alasan yang serupa yakni karena bahasa
yang digunakan adalah bahasa Melayu Lingua Franca atau bahasa Melayu-
Rendah dan merujuk pada etnis pengarang yang merupakan peranakan Tionghoa.
Terlebih lagi, bangsa Indonesia sudah memiliki sikap apatis serta pandangan yang
negatif terhadap bangsa Tionghoa.
Meskipun begitu, kedua alasan tersebut tidak begitu kuat. Seperti contohnya
yang berkaitan dengan bahasa. Bahasa Melayu-Rendah tidak bisa jadi tolak ukur
karena tidak bisa dijadikan sebagai awal mula lahirnya Sastra Indonesia Modern.
Seperti halnya novel Ronggeng Dukuh Paruk yang menggunakan bahasa
campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Masalah siapa pengarang dari Kesusastraan Melayu-Tionghoa juga tidak bisa
menjadi penghalang bahwa Kesusastraan Melayu-Tionghoa merupakan awal mula
lahirnya Sastra Indonesia Modern. Hal tersebut dikarenakan pengarang dari
keturunan Tionghoa sudah menjadi warga negara Indonesia.
Karena sikap apatis bangsa Indonesia yang sudah ada sejak zaman kolonial,
sulit untuk mengakui keberadaan Kesusastraan Melayu-Tionghoa. Kesusastraan
Melayu-Tionghoa dapat dikatakan sebagai sastra yang terpinggirkan atau
terlupakan. Status Kesusastraan Melayu-Tionghoa juga tidak memiliki ‘identitas
bangsa’ mana yang memiliki sastra tersebut. Hal itu dikarenakan keberadaannya
tidak diakui oleh bangsa Indonesia.
Akhir dari Kesusastraan Melayu-Tionghoa dimulai ketika masa Orde Baru.
Pada masa ini, Presiden Soeharto melarang bahasa/aksara Tionghoa dan
melakukan pembubaran Sekolah Tionghoa pada tahun 1967. Peristiwa 65
mengakibatkan trauma, karena tidak hanya menghilangkan tubuh manusia, juga
dapat menghilangkan bahasa manusia termasuk bahasa Lingua Franca.
Setelah membaca artikel-artikel mengenai Kesusastraan Melayu-Tionghoa,
saya berpendapat bahwa kesusastraan tersebut mirip dengan kesusastraan populer
Indonesia yang saat ini marak di pasaran. Sastra Indonesia Populer saat ini juga
banyak yang menggunakan bahasa yang populer, ringan, banyak campuran bahasa
lain, dan tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia. Sehingga, saya berpikir
bahwa Kesuastraan Melayu-Tionghoa memiliki kesamaan dengan Sastra
Indonesia Populer saat ini. Hanya saja terdapat perbedaan, Sastra Indonesia
Populer diakui sebagai Sastra Populer, sedangkan Kesusastraan Melayu-Tionghoa
tidak diakui.
Memang pada dasarnya Kesusastraan Melayu-Tionghoa tidak dapat dikatakan
sebagai Sastra Indonesia Modern. Sebagai rujukan Sastra Indonesia adalah sastra
yang menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan Kesuasatraan Melayu-Tionghoa
menggunakan bahasa Lingua Franca. Sehingga tentu saja tidak bisa dikatakan
sebagai Sastra Indonesia Modern.
Meskipun begitu, menurut saya Kesusastraan Melayu-Tionghoa dapat
dijadikan sebagai pelopor lahirnya Sastra Indonesia Modern atau awal munculnya
Sastra Indonesia Modern. Hal itu dapat dikatakan karena jenis Sastra Indonesia
Modern itu sama seperti novel, puisi, maupun karya sastra lain yang ada pada
Kesusastraan Melayu-Tionghoa. Sehingga kontribusi Peranakan Tionghoa itu
sangat besar dan berpengaruh pada Sastra Indonesia Modern.
Perdebatan pro-kontra mengenai sejarah lahirnya Sastra Indonesia Modern
yang ditandai dengan terbitnya Kesusastraan Melayu-Tionghoa mengakibatkan
kesusastraan itu harus dikaji ulang. Apakah pengarang dalam karya sastra tersebut
adalah Peranakan Tionghoa yang sudah berkebangsaan Indonesia atau bukan?
Serta apakah nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut mengandung
‘Kebangsaan Indonesia’?

Sumber Referensi :
Bandel, Katrin. 2011. “Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia”.
https://boemipoetra.wordpress.com/2011/11/21/kesastraan-melayu-
tionghoa-dan-kebangsaan-indonesia/. (diakses pada 08 September 2020).
Banua, Raudal Tanjung. 2018. “Sastra Melayu Rendah: Lahirnya Bahasa dan
Sastra Indonesia Modern”. https://langgar.co/sastra-melayu-rendah-
lahirnya-bahasa-dan-sastra-indonesia-modern/. (diakses pada 08
September 2020).
Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Teguh, Irfan. 2018. “Kwee Tek Hoay di Tengah Dunia Sastra Peranakan
Tionghoa”. https://tirto.id/kwee-tek-hoay-di-tengah-dunia-sastra-
peranakan-tionghoa-cJuJ. (diakses pada 08 September 2020).

Anda mungkin juga menyukai