Anda di halaman 1dari 7

Materi kelompok 1

Sastra Indonesia, Melayu, Angkatan Balai Pustaka

Kelahiran dan Periode Sastra Indonesia

Pengertian Sastra Indonesia


Mengenai sejarah Sastra Indonesia tentunya wajib dipahami dahulu konsep pengertian sastra
Indonesia. Beberapa macam pendapat mengungkapkan pengertian yang berbeda. Oleh sebab
itu, perlu banyak sekali kesepakatan normative tentang pengertian tadi. Untuk kepraktisan
pengajaran maka pengertian tadi dapat dirumuskan bahwa Sastra Indonesia ialah sastra
berbahasa Indonesia yang sudah berkembang abad ke-20 sebagaimana tampak penerbitan
pers (surat kabar dan majalah) dan buku, baik berasal dari usaha swasta maupun pemerintah
kolonial. Dengan demikian penulisan Sejarah Kesusastraan Indonesia pada buku ini tidak di
mulai oleh penerbitan-penerbitan Balai Pustaka tetapi ditarik mundur ke tahun 1850-an
semenjak hadirnya karya-karya para aktivis pergerakan nasional yang dikenal dengan bacaan
liar serta penulis para Tionghoa yang dikenal Sastra Indonesia Tionghoa atau sastra Melayu
Tionghoa. Konsep tersebut tentunya terbuka untuk di perdebatkan oleh siapa saja baik
peneliti, sastrawan, serta penikmat sastra. Pengertian ini ditawarkan untuk kemudahan
pengajaran serta dapat direvisi pada masa yang akan datang.

Beberapa Pendapat Kelahiran Sastra Indonesia


Pembicaraan tentang Sejarah Sastra Indonesia dimulai dengan pertanyaan kapan kesusastraan
Indonesia lahir? Jawaban pertanyaan tersebut memunculkan berbagai pendapat dari beberapa
pakar yaitu sebagai berikut.

A.) Umar Junus


Umar Junus mengungkapkan lahirnya Kesuastraan Indonesia Modern pada karangannya yang
di muat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960). Beliau berpendapat bahwa : sastra
ada sesudah bahasa ada. “ Sastra X baru ada setelah bahasa X ada, yang berarti bahwa
sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada,” katanya. Dan karena bahasa
Indonesia baru ada pada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah Pemuda), maka Umar Junus
pun beropini bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928”.
Adapun karya yang terbit sebelum tahun 1928 – yang lazim digolongkan pada karya
sastra Angkatan ’20 atau angkatan Balai Pustaka—menurut Umar Junus tidaklah dapat
dimasukkan “ke dalam golongan hasil sastra Indonesia”, melainkan hanya “sebagai hasil
1
sastra Melayu Baru/Modern”. Alasan Umar Junus: Karya-karya itu “bertentangan sekali
dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”.
Dengan dasar pemikiran itu, Umar Junus membagi sastra Indonesia dengan
a) Pra Pujangga Baru atau Pra Angkatan ’33 (1928-1933),
b) Pujangga Baru atau angkatan ’33 (1933 – 1945),
c) Angkatan ’45, dan seterusnya

B.) Ajip Rosidi


Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia dapat kita baca dalam
bukunya “Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir” yang dimuat dalam bukunya Kapankah
Kesusastraan Indonesia Lahir (1985). Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin
ada tanpa bahasa. Akan tetapi, sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa
itu sudah ada sebelumnya dan sudah pula dipergunakan orang. Oleh sebab itu, Ajip tidak
setuju diresmikannya suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini
sastra Indonesia). Di pihak lain, Ajip berpendapat bahwa kesadaran kebangsaanlah
seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan kebangsaan ini, menetapkan bahwa lahirnya
Keusasraan Indonesia Modern adalah tahun 1920/1921 atau 1922. Mengapa Ajip memilih
tahun-tahun itu?
Tahun 1922 adalah lahirnya kesusastraan Indonesia dengan alasan : Ajip memilih tahun
1920/1921 bukan karena pada tahun itu terbit Azab dan Sengsara maupun Siti Nurbaya
melainkan karena pada tahun itu para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin, Mohammad
Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak
kebangsaaan dalam majalah Jong Sumatra (diterbitkan oleh organisasi Jong Sumatra).
“Pabila buku Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya dianggap bersesuaian dengan sifat
nasional, (hal yang patut kita mengerti mengingat yang menerbitkannya pun adalah Balai
Pustaka, organ pemerintah kolonial), tidaklah demikian halnya dengan sajak-sajak buah
tangan para penyair yang saya sebut tadi. Sifatnya tegas berbeda dengan dengan umumnya
hasil sastra Melayu, baik isi maupun bentuknya. Puisi lirik bertemakan tanah air dan bangsa
yang sedang dijajah adalah hal yang tidak biasa kita jumpai dalam khazanah kesusastraan
Melayu”, demikian Ajip. Dan Ajip memilih tahun 1922 karena pada tahun itu terbit
kumpulan sajak Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Kumpulan sajak ini pun,
menurut Ajip, mencerminkan corak/semangat kebangsaan, yaitu tidak ada/tampak pada
pengarang-pengarang sebelumnya

2
C.) A. Teeuw
Pendapat Teeuw mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern dapat kita baca dalam
bukunya Sastra Baru Indesia 1 (1980) Agak dekat dengan tahun yang diajukan Ajip Rosidi,
Teuuw pun berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920.
Alasan Teeuw adalah : “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai
menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide yang
pada dasarnya berbedea daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat
yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya
menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik
lisan maupun tulisan. Alasan lainnya menurut Teeuw ialah : “Pada tahun-tahun itulah untuk
pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Oleh karena itu mereka dilarang
memasuki bidang politik, maka mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra
baik pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru yang telah mengalir dalam diri
mereka.Berdasarkan pemikiran tersebut, Teeuw menyatakan lahirnya kesusastraan Indonesia
pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan bentuk soneta yang
digunakan pengarang.

D.) Slamet Mulyana


Slamet Mulyana melihat kelahiran Kesusatraan Indonesia dari sudut lain. Beliau melihat dari
sudut lahirnya sebuah negara Indonesia adalah sebuah negara di antara banyak negara di
dunia. Bangasa Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa itu lahirlah negara baru di muka
bumi ini yang bebas dari penjahan Belanda, yaitu negara Republik Indonesia. Secara resmi
pula bahasa Indonesia digunakan/diakui sebagai bahasa nasional, bahkan dikukuhkan dalam
UUD 45 sebagai undang-undang dasar negara. Karena itu Kesusastraan Indonesia baru ada
pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang resmi sebagai bahasa negara.
Kesusastraan sebelum kemerdekaan adalah Kesusastraan Melayu, belum Kesusastraan
Indonesia.

E.) Sarjana Belanda


Hooykass dan Drewes, dua peneliti Belanda menganggap bahwa Sastra Indonesia merupakan
kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur). Perubahan “Het Maleis” menjadi “de
bahasa Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan demikian
Kesusastraan Indonesia sudah mulai sejak Kesuastraan Melayu. Karena itu pengarang

3
Melayu seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi,
Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya Sastra Melayu seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu
Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia.

Di akhir abad ke-20, terbit novel Saman karya Ayu Utami yang menghebohkan‘ dunia sastra
Indonesia. Kehebohan dunia sastra Indonesia pada masa ini terlihat dari cetak ulang yang
cepat dan banyak pada tahun pertama penerbitannya. Di samping itu, timbul pro dan kontra
atas penerimaan masyarakat sastra tentang kehadiran buku tersebut. Demikian juga pro dan
kontra penilaian para kritikus sastra tentang kehebatan buku tersebut. Bahkan dari kalangan
ahli pendidikan sampai ada yang mengatakan, ―Kalau saja buku tersebut terdapat di
perpustakaan sekolah saya, akan saya bakar buku itu. Tetapi sebaliknya ada pembaca yang
mengatakan bahwa buku tersebut biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Novel ini adalah
novel populer saja sebagaimana novel-novel pop lainnya. Inilah pro dan kontra penerimaan
masyarakat sastra terhadap novel Saman pada masa itu. Tahun 70-an terbit novel-novel
Trilogi Iwan Simatupang, Merahnya Merah(1968) , Ziarah(1969) dan Kering (1970) yang
dianggap novel absurd, sarat falsafah, yang sulit dipahami, karena berbeda dengan pola-pola
cerita pada novel-novel tahun-tahun sebelumnya. Jauh sebelumnya, pada tahun 40-an terbit
novel Belenggu yang dianggap mengusik keindahan sastra dengan ̳menelanjangi‘ kehidupan
kaum elit yang diwakili oleh keluarga dokter Sukartono. Keluarga dokter yang dianggap
sebagai wakil sosok kalangan kaum bangsawan ternyata tidak lepas dari masalah
perselingkuhan yang selama ini tidak pernah terungkap di dalam dunia sastra. Novel ini pun
menghebohkan dunia sastra Indonesia. Bukan hanya itu, teknik penceritaan novel ini yang
tidak memberikan penyelesaian pada akhir cerita, merupakan gaya bercerita tersendiri yang
belum pernah ada sebelumnya. Pembaca dibiarkannya berpikir sendiri untuk menemukan
kesimpulan cerita. Pada tahun 20-an, lahir novel Sitti Nurbaya yang sangat laris pada masa
itu sehingga melampaui kelarisan novel-novel yang lahir sebelumnya seperti Azab dan
Sengsara, bahkan sampai karya –karya sastra yang berada pada masa itu dinamakan dengan
nama Angkatan Sitti Nurbaya. Di kalangan perpuisian, pada tahun 70-an muncul puisi
Sutardji Calzoum Bahri yang dianggap absurd yang ̳menghebohkan‘ pula dunia perpuisian
Indonesia pada masa itu, yang juga diikuti oleh sejumlah penyair yang bentuk puisinya
senada dengan bentuk puisi Sutardji. Puisinya dikenal
dengan puisi mini kata, penuh lambang, tetapi sarat makna. Sedangkan sebelumnya, pada

4
masa puisi-puisi Chairil Anwar, puisi-puisi Angkatan 45, ataupun puisi-puisi penyair masa
Pujangga Baru peranan diksi, atau peranan kata dalam penulisan puisi sangat tinggi.

Perjalanan sastra Melayu

Perjalanan kesastraan Melayu di mulai sejak abad pertama masehi. Daerah melayu menjadi
tempat persinggahan para pedagang dari timur dan barat. Karena daerahnya yang strategis
inilah maka masyarakat Melayu semenjak abad pertama masehi telah memiliki
perkembangan sastra lisan yang tinggi.
Hubungan masyarakat Melayu dengan kebudayaan India menjadi dasar lahirnya sastra tulis
Melayu. Sejak masa-masa awal masehi, hindu telah masuk dalam masyarakat Melayu.
Daerah pertama yang menganut kebudayaan hindu di Semenanjung Malaka yaitu di dekat
tanah genting Kra. Sekitar abad ke 2 di kawasan ini telah berdiri negara-negara kota :
Langkasuka, Kedah, Tambralingga dan lainnya. Dari sumber Cina disebutkan juga bahwa
sekitar abad ke 5 - 6 muncul negara-negara kota di daerah Kelantan dan Trengganu

para pembesar Brahma. Di luar kawasan para penguasa terbentang wilayah para pengrajin
yang melayani kebutuhan istana, mereka ini adalah rakyat. Pada abad ke 7 negara-negara
kota ini kemudian diambil alih kekuasaannya oleh kerajaan Sriwijaya. Sebuah kerajaan
Hindu-budha yang kuat angkatan lautnya. Di masa kejayaannya, kerajaan Sriwijaya
memegang kekuasaan.

Seiring dengan persebaran bahasa Melayu di Nusantara yang mungkin berlangsung sejak
abad ke-7 M, tersebar pula sastra Melayu di Nusantara. Sastra Melayu pada mulanya
merupakan tradisi lisan, yakni sastra yang dilisankan, dibacakan, dinyanyikan, atau
didongengkan. Baru dalam perkembangannya kemudian, yaitu sekitar abad ke-15, sastra
Melayu menjadi tradisi tulis. Yakni karya sastra yang ditulis, tidak hanya dilisankan. Di
samping itu, sastra Melayu mula-mula bersifat anonim, tak diketahui penulisnya.

Di antara sastra Melayu yang juga bersifat anonim adalah hikayat, misalnya Hikayat Amir
Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiah. Diperkirakan, dua hikayat ini pada mulanya

5
merupakan tradisi lisan, yakni kisah yang didongengkan kepada khalayak. Baru dalam
perkembangkannya kemudian hikayat tersebut dituliskan, lalu menyebar ke Nusantara, tidak
hanya dalam bahasa Melayu, melainkan juga dalam banyak bahasa daerah ---dengan berbagai
variannya.

Melayu Klasik
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di
daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di
masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu
berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan
sastra Melayu.

Sejarah Balai Pustaka

Memasuki awal abad 20, kesadaran warga bumi putra Hindia Belanda bahwa mereka sedang
dijajah mulai bangkit. Tulisan-tulisan bernada kritik terhadap Pemerintah Belanda sudah
mulai beredar. Pemerintah kolonial punya cara cerdik untuk meredam hal itu, dengan
menerbitkan tulisan-tulisan yang membuat rakyat lupa kalau mereka tengah diajajah. Bacaan
itu mereka terbitkan lewat Balai Pustaka.

Balai Pustaka dibuat untuk menerbitkan buku, majalah, dan koran. Semua jenis tulisan
berkesempatan untuk diterbitkan di Balai Pustaka kecuali satu: tulisan yang mengandung
unsur perjuangan/membangun semangat kemerdekaan. 

Pasalnya, kebanyakan karya yang diterbitkan Balai Pustaka adalah jenis bacaan yang dapat
meredam para pribumi. Dengan kata lain, Belanda ingin sebuah pengalihan untuk rakyat
pribumi agar mereka lupa bahwa mereka tengah dijajah.

Keinginan Belanda agar rakyat lupa bahwa tengah dijajah bukannya tidak mendasar. Saat itu
koran bumiputra sudah beredar luas di masyarakat. Kritikan disalurkan melalui tulisan-tulisan
yang ada pada koran.

Masyarakat saat itu sudah mulai berani menunjukkan ketidakpuasannya terhadap rezim
Hindia Belanda. Keberanian rakyat yang mengeluarkan keresahan lewat tulisan, membuat
Pemerintah Hindia Belanda lebih resah. Atas dasar itulah Balai Pustaka didirikan Belanda.

Nama Balai Pustaka mengalami perubahan pada masanya. Setelah nama Commissie voor de
Volkslectuur, nama 'Balai Pustaka' digunakan pada 1917. Ketika Jepang mulai menginvasi
Indonesia, namanya berubah menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku. Balai Pustaka

6
sempat berpindah ke tangan ke Belanda pada Juli 1947. Namun pada 1949, Balai Pustaka
dikembalikan setelah secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Hingga kini,
nama Balai Pustaka-lah yang digunakan. 

Anda mungkin juga menyukai