2
C.) A. Teeuw
Pendapat Teeuw mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern dapat kita baca dalam
bukunya Sastra Baru Indesia 1 (1980) Agak dekat dengan tahun yang diajukan Ajip Rosidi,
Teuuw pun berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920.
Alasan Teeuw adalah : “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai
menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berberda dengan perasaan dan ide yang
pada dasarnya berbedea daripada perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat
yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya
menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik
lisan maupun tulisan. Alasan lainnya menurut Teeuw ialah : “Pada tahun-tahun itulah untuk
pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Oleh karena itu mereka dilarang
memasuki bidang politik, maka mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra
baik pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru yang telah mengalir dalam diri
mereka.Berdasarkan pemikiran tersebut, Teeuw menyatakan lahirnya kesusastraan Indonesia
pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan bentuk soneta yang
digunakan pengarang.
3
Melayu seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi,
Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya Sastra Melayu seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu
Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia.
Di akhir abad ke-20, terbit novel Saman karya Ayu Utami yang menghebohkan‘ dunia sastra
Indonesia. Kehebohan dunia sastra Indonesia pada masa ini terlihat dari cetak ulang yang
cepat dan banyak pada tahun pertama penerbitannya. Di samping itu, timbul pro dan kontra
atas penerimaan masyarakat sastra tentang kehadiran buku tersebut. Demikian juga pro dan
kontra penilaian para kritikus sastra tentang kehebatan buku tersebut. Bahkan dari kalangan
ahli pendidikan sampai ada yang mengatakan, ―Kalau saja buku tersebut terdapat di
perpustakaan sekolah saya, akan saya bakar buku itu. Tetapi sebaliknya ada pembaca yang
mengatakan bahwa buku tersebut biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Novel ini adalah
novel populer saja sebagaimana novel-novel pop lainnya. Inilah pro dan kontra penerimaan
masyarakat sastra terhadap novel Saman pada masa itu. Tahun 70-an terbit novel-novel
Trilogi Iwan Simatupang, Merahnya Merah(1968) , Ziarah(1969) dan Kering (1970) yang
dianggap novel absurd, sarat falsafah, yang sulit dipahami, karena berbeda dengan pola-pola
cerita pada novel-novel tahun-tahun sebelumnya. Jauh sebelumnya, pada tahun 40-an terbit
novel Belenggu yang dianggap mengusik keindahan sastra dengan ̳menelanjangi‘ kehidupan
kaum elit yang diwakili oleh keluarga dokter Sukartono. Keluarga dokter yang dianggap
sebagai wakil sosok kalangan kaum bangsawan ternyata tidak lepas dari masalah
perselingkuhan yang selama ini tidak pernah terungkap di dalam dunia sastra. Novel ini pun
menghebohkan dunia sastra Indonesia. Bukan hanya itu, teknik penceritaan novel ini yang
tidak memberikan penyelesaian pada akhir cerita, merupakan gaya bercerita tersendiri yang
belum pernah ada sebelumnya. Pembaca dibiarkannya berpikir sendiri untuk menemukan
kesimpulan cerita. Pada tahun 20-an, lahir novel Sitti Nurbaya yang sangat laris pada masa
itu sehingga melampaui kelarisan novel-novel yang lahir sebelumnya seperti Azab dan
Sengsara, bahkan sampai karya –karya sastra yang berada pada masa itu dinamakan dengan
nama Angkatan Sitti Nurbaya. Di kalangan perpuisian, pada tahun 70-an muncul puisi
Sutardji Calzoum Bahri yang dianggap absurd yang ̳menghebohkan‘ pula dunia perpuisian
Indonesia pada masa itu, yang juga diikuti oleh sejumlah penyair yang bentuk puisinya
senada dengan bentuk puisi Sutardji. Puisinya dikenal
dengan puisi mini kata, penuh lambang, tetapi sarat makna. Sedangkan sebelumnya, pada
4
masa puisi-puisi Chairil Anwar, puisi-puisi Angkatan 45, ataupun puisi-puisi penyair masa
Pujangga Baru peranan diksi, atau peranan kata dalam penulisan puisi sangat tinggi.
Perjalanan kesastraan Melayu di mulai sejak abad pertama masehi. Daerah melayu menjadi
tempat persinggahan para pedagang dari timur dan barat. Karena daerahnya yang strategis
inilah maka masyarakat Melayu semenjak abad pertama masehi telah memiliki
perkembangan sastra lisan yang tinggi.
Hubungan masyarakat Melayu dengan kebudayaan India menjadi dasar lahirnya sastra tulis
Melayu. Sejak masa-masa awal masehi, hindu telah masuk dalam masyarakat Melayu.
Daerah pertama yang menganut kebudayaan hindu di Semenanjung Malaka yaitu di dekat
tanah genting Kra. Sekitar abad ke 2 di kawasan ini telah berdiri negara-negara kota :
Langkasuka, Kedah, Tambralingga dan lainnya. Dari sumber Cina disebutkan juga bahwa
sekitar abad ke 5 - 6 muncul negara-negara kota di daerah Kelantan dan Trengganu
para pembesar Brahma. Di luar kawasan para penguasa terbentang wilayah para pengrajin
yang melayani kebutuhan istana, mereka ini adalah rakyat. Pada abad ke 7 negara-negara
kota ini kemudian diambil alih kekuasaannya oleh kerajaan Sriwijaya. Sebuah kerajaan
Hindu-budha yang kuat angkatan lautnya. Di masa kejayaannya, kerajaan Sriwijaya
memegang kekuasaan.
Seiring dengan persebaran bahasa Melayu di Nusantara yang mungkin berlangsung sejak
abad ke-7 M, tersebar pula sastra Melayu di Nusantara. Sastra Melayu pada mulanya
merupakan tradisi lisan, yakni sastra yang dilisankan, dibacakan, dinyanyikan, atau
didongengkan. Baru dalam perkembangannya kemudian, yaitu sekitar abad ke-15, sastra
Melayu menjadi tradisi tulis. Yakni karya sastra yang ditulis, tidak hanya dilisankan. Di
samping itu, sastra Melayu mula-mula bersifat anonim, tak diketahui penulisnya.
Di antara sastra Melayu yang juga bersifat anonim adalah hikayat, misalnya Hikayat Amir
Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiah. Diperkirakan, dua hikayat ini pada mulanya
5
merupakan tradisi lisan, yakni kisah yang didongengkan kepada khalayak. Baru dalam
perkembangkannya kemudian hikayat tersebut dituliskan, lalu menyebar ke Nusantara, tidak
hanya dalam bahasa Melayu, melainkan juga dalam banyak bahasa daerah ---dengan berbagai
variannya.
Melayu Klasik
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di
daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di
masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu
berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan
sastra Melayu.
Memasuki awal abad 20, kesadaran warga bumi putra Hindia Belanda bahwa mereka sedang
dijajah mulai bangkit. Tulisan-tulisan bernada kritik terhadap Pemerintah Belanda sudah
mulai beredar. Pemerintah kolonial punya cara cerdik untuk meredam hal itu, dengan
menerbitkan tulisan-tulisan yang membuat rakyat lupa kalau mereka tengah diajajah. Bacaan
itu mereka terbitkan lewat Balai Pustaka.
Balai Pustaka dibuat untuk menerbitkan buku, majalah, dan koran. Semua jenis tulisan
berkesempatan untuk diterbitkan di Balai Pustaka kecuali satu: tulisan yang mengandung
unsur perjuangan/membangun semangat kemerdekaan.
Pasalnya, kebanyakan karya yang diterbitkan Balai Pustaka adalah jenis bacaan yang dapat
meredam para pribumi. Dengan kata lain, Belanda ingin sebuah pengalihan untuk rakyat
pribumi agar mereka lupa bahwa mereka tengah dijajah.
Keinginan Belanda agar rakyat lupa bahwa tengah dijajah bukannya tidak mendasar. Saat itu
koran bumiputra sudah beredar luas di masyarakat. Kritikan disalurkan melalui tulisan-tulisan
yang ada pada koran.
Masyarakat saat itu sudah mulai berani menunjukkan ketidakpuasannya terhadap rezim
Hindia Belanda. Keberanian rakyat yang mengeluarkan keresahan lewat tulisan, membuat
Pemerintah Hindia Belanda lebih resah. Atas dasar itulah Balai Pustaka didirikan Belanda.
Nama Balai Pustaka mengalami perubahan pada masanya. Setelah nama Commissie voor de
Volkslectuur, nama 'Balai Pustaka' digunakan pada 1917. Ketika Jepang mulai menginvasi
Indonesia, namanya berubah menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku. Balai Pustaka
6
sempat berpindah ke tangan ke Belanda pada Juli 1947. Namun pada 1949, Balai Pustaka
dikembalikan setelah secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Hingga kini,
nama Balai Pustaka-lah yang digunakan.