Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR...

DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN..

A.Latar Belakang...

B.Tujuan...

C. Manfaat.

BAB II PEMBAHASAN..

A.Identitas Buku..

B.Ringkasan Isi Buku Utama..

C.Ulasan Isi Buku...........

1.Buku Utama....

2.Buku Pembanding...

BAB III PENILAIAN BUKU..

A Buku Utama...

1.Kelebihan.....

2.Kekurangan...

B.Buku Pembanding...

1.Kelebihan...

2.Kekurangan...

BAB IV PENUTUP....

A.Kesimpulan.

B.Saran

DAFTAR PUSTAKA..
BABI PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sastra Indonesia adalah istilah yang mencakup berbagai karya sastra di Indonesia. Sastra Indonesia
sendiri dapat merujuk pada sastra yang tercipta di wilayah kepulauan Indonesia. Hal ini juga sering
disebutkan secara luas dalam karya sastra yang bahasa aslinya didasarkan pada bahasa Melayu (yang
merupakan turunan bahasa Indonesia).

Masa sastra adalah suatu jangka waktu perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu.
Artinya setiap periode (periode) mempunyai ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan periode lainnya.
Pada masa divergensi sastra Indonesia, sastra Indonesia terbagi menjadi dua bagian utama, lisan dan
tulisan. Secara kronologis terbagi menjadi Kelas Penyair Lama, Kelas Balai Pustaka, Kelas Penyair
Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950-1960, Angkatan 1966-1970, Angkatan 1980-1990, Angkatan
Reformasi, Angkatan 2000.

B. Subyek

1. Latihan resensi buku lengkap untuk mata kuliah pengantar sejarah sastra.

2. Meningkatkan kemampuan menganalisis buku

3. Meningkatkan kemampuan memahami kritik buku.

C. Manfaat

1. Meningkatkan pemahaman sejarah sastra.

2. Mengetahui kelebihan dan kekurangan buku.

3. Tentang pertimbangan pembaca dalam memilih buku


BAB II PEMBAHASAN

A. Identitas Buku Buku Pertama (Buku Utama)

1. Judul buku: Pengantar Sejarah Sastra Indonesia

2. Penulis YUDIONO KS

3. Penerbit PT GRASINDO

4. Tahun terbit 2007

5. Kota terbit JAKARTA

6. Tebal buku 380 HALAMAN

7. ISBN :9789797598495

Buku Kedua (Buku Pembanding)

1. Judul buku: Sejarah Sastra Indonesia

2. PENULIS: Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar

3.PENERBIT:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Tahun terbit 2011

5. Kota terbit JAKARTA

6. Tebal buku 97 HALAMAN

7. ISBN: 9786028606981
B.Ringkasan Isi Pokok Buku

Sejarah Sastra Indonesia

Teeuw menjelaskan bahwa pembahasan awal sastra Indonesia tentunya berkaitan dengan sejarah
perkembangan bahasa Melayu mulai abad ke-7 hingga menjadi bahasa Melayu. Indonesia pada
awalnya. Abad 20. Bisa dibayangkan keadaan pada masa itu agak rumit karena selain bahasa Melayu,
ada juga bahasa daerah penting seperti Jawa, Sunda, dan Belanda. Lan juga dibawa ke kalangan
terpelajar. Menurut Teeuw, proses melahirkan anak Indonesia dari Melayu tidak lepas dari tangan
tokoh-tokoh gerakan nasionalis dan generasi muda terpelajar, seperti Muhammad Yamin, Rustam
Effendi, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Armijn Pane dan J.E. Tatengkeng. . Saat itu
mereka dianggap sebagai pionir, pionir lahirnya sastra Indonesia, karena dari tangan merekalah lahir
karya sastra dengan bentuk dan semangat yang berbeda dengan tradisi sastra tradisional. gerakan
budaya puitis.

Pada masa penjajahan Belanda abad ke-19, belum ada bahasa Indonesia, namun berkembang
bahasa daerah seperti Melayu, Sunda, Jawa, dan Bali. Perkembangan sastra tentunya berasal dari
berbagai bahasa daerah, adapun yang memegang peranan penting adalah bahasa Jawa, Melayu, dan
Sunda. Selain itu, ada satu lagi bahasa yang digunakan oleh masyarakat kota-kota besar di Indonesia,
yaitu bahasa Melayu Hilir yang mayoritas penuturnya adalah etnis Tionghoa. Sejarah menunjukkan
perkembangan sastra yang pesat di kalangan Tionghoa Melayu rendahan, antara mereka dan
sebagian besar masyarakat terpelajar Indonesia. Sementara itu, sastra daerah yang mulai
bersentuhan dengan budaya Barat belum mampu menjangkau khalayak yang lebih luas karena
kendala bahasa. Kesimpulan singkatnya, perkembangan sastra Indonesia memang tidak terlepas dari
dinamika sosial budaya para penganutnya pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Dinamika tersebut
dapat dikaji penelitian dari berbagai sudut pandang, seperti politik, budaya, bahasa. , masyarakat,
dan penerbitan.

Masa Perkembangan Sastra Indonesia 1900-1945


Jejak pengaruh Islam di nusantara harus dianggap penting, khususnya dalam bidang sastra,
sebagaimana ditunjukkan dengan berkembangnya tradisi sastra Islam sejak abad ke-17 yang
menunjukkan jejak pengaruh agama Hindu dan Buddha yang semakin berkembang pada abad
terakhir. abad. Kebanyakan literatur Islam ditulis dalam aksara Arab-Melayu atau aksara Jawi. Perlu
diketahui bahwa sastra Islam juga mencakup sastra Nusantara atau sastra klasik Indonesia yang
merupakan khazanah budaya pemegangnya dan untuk selanjutnya harus dianggap eksklusif sebagai
khazanah budaya masyarakat suku Indonesia.

Masyarakat nusantara yang kemudian menjadi bangsa Indonesia mempunyai tradisi sastra yang
besar

selama berabad-abad dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman hingga awal abad ke 20.
Masa perubahan ditandai dengan munculnya sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah
kolonial Belanda dengan sistem dan muatan yang berbeda dengan pesantren dan sekolah Kristen.
Dari buku Ajip Rosidi, Masa Depan Budaya Daerah:

Kasus Bahasa dan Sejarah Sunda (2006:

20-21), diperoleh catatan bahwa sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda pada
zaman itu adalah sekolah untuk orang Belanda, sekolah untuk orang asing timur, dan sekolah untuk
orang pribumi. Setelah tersebarnya sekolah-sekolah umum itu terjadi perubahan sosial pada
masyarakat nusantara yang akhirnya menimbulkan kekhawatiran pemerintah kolonial yang merasa
terancam ke mapannya, lebih-lebih setelah muncul surat kabar atau pers pribumi dan peranakan
Cina yang ternyata besar pengaruhnya terhadap berkembangnya nasionalisme dan sastra modern.
Menurut Yuliati, sejarah pers di Indonesia bermula ketika VOC memerlukan media cetak untuk
keperluan administrasinya gambaran kehidupan sastra Melayu Rendah pada awal abad ke-20 yang
telah ditulis jakob sumardjo menegaskan besarnya kontribusi sekolah dan pers terhadap
pertumbuhan sastra modern sebagai dunia baru yang semangatnya sudah berbeda dengan tradisi
sastra klasik yang secara perlahan terdesak ke dunia lama masyarakat pribumi. Kalaupun kemudian
segala macam cerita itu disebut gejala awal sastra modern, urusannya lebih banyak berada di tangan
para pakar sastra. Tidak ada kasus ataupun tindakan keras seperti pelarangan yang dianggap
menimbulkan kerugian di bawah di pihak pemerintah sehingga dipilih kebijakan baru di bidang
pengajaran dan bacaan berupa pengadaan bacaan yang semangatnya dapat menjamin kesetiaan dan
kepercayaan terhadap segala yang baik-baik dari pemerintah kolonial Belanda, dengan
Kebijakan ini menyebabkan terbentuknya Komite Sekolah dan Baca Rakyat Bumiputra

pada tahun 1908, yang kemudian menjadi Balai Pustaka


.
Balai Pustaka adalah salah satu penerbit terkemuka yang memproduksi berbagai macam
buku. Nama Balai Pustaka sudah ada lebih dari 90 tahun. Secara teoritis, Balai Pustaka dapat
dikatakan dapat mewakili banyak permasalahan selama ini. yang jelas ada isu-isu inti di Balai
Pustaka yang secara historis tidak terbantahkan. Kapanpun seseorang perlu menulis, Balai
Pustaka didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda berdasarkan keputusan gubernur pada
tanggal 14 September 1908, dan pada tahun 1917 dikukuhkan sebagai perpustakaan. Perlu
diketahui, Perpustakaan Balai selama ini menerbitkan beberapa novel, seperti Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Salah Asuhan karya Abdul
Muis. yang dibaca banyak orang. Teeuw memandang perpustakaan sebagai lembaga
penerbitan yang telah melayani penulis Indonesia dengan sangat baik, meski ada keberatan
di sana-sini. Saat itu, sasaran perpustakaan adalah siswa dan guru biasa yang tersebar di
kota-kota kecil dan daerah, pegawai negeri sipil berpangkat rendah, dan petani. oleh karena
itu penerbitannya dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Pada tahun 1930-an,
perpustakaan Balai menjadi penting karena didukung oleh pemerintah sehingga mampu
mendistribusikan produknya ke seluruh nusantara.
Seperti halnya Balai Pustaka, Pujangga Baru juga merupakan momen penting dalam sejarah
sastra Indonesia. Kata tersebut dapat dipahami sebagaimana jurnal Poedjangga Baroe
pertama kali ditulis. Dan dapat dimaklumi juga bahwa gerakan kebudayaan Pujangga Baru
tahun 1930-an yang tidak terlepas dari tokoh-tokoh muda terpelajar sebenarnya mencoba
merujuk pada majalah sastra yang terbit pada tahun 1921, namun selalu gagal. Baru pada
tahun 1933, berkat upaya S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane dapat dimuat
di majalah Pujangga Baru. Jurnal ini juga mendapat sambutan hangat dari sejumlah
akademisi. Namun di sisi lain, majalah tersebut tidak mendapat tanggapan dari kalangan
bangsawan Melayu, bahkan mendapat kecaman keras dari para guru setia pemerintah
kolonial Belanda. Majalah tersebut bertahan hingga tahun 1942 ketika dilarang oleh
pemerintah militer Jepang karena dianggap Barat dan progresif. Kontribusi Pujangga Baru
terhadap perkembangan pemikiran kebudayaan Indonesia patut diapresiasi karena
memberikan kesempatan kepada para penulis dan tokoh budaya untuk menyampaikan
pandangannya.
pandangannya, sehingga berkembanglah polemik yang meriah seperti yang tersaji dalam
buku The Cultural Argument. Penyair generasi baru tersebut adalah S. Takdir Alisjahbana,
Amir Hamzah, Armijn Pane, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, J.E.
Tatengkeng, Asmara Hadi dan lain-lain.
Keimin Bunka Shidoso adalah suatu badan atau organisasi yang didirikan oleh pemerintah
pendudukan Jepang dengan tugas mengerahkan berbagai potensi seni dan budaya untuk
kepentingan Perang Asia Timur yang diprakarsai oleh Jepang. Pada awalnya, dia diterima
dengan hangat oleh para seniman seiring komitmen Jepang terhadap kemerdekaan.
Diantaranya Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, Karim Halim, Usmar Ismail dan lain-lain.
Namun tidak lama kemudian mereka menyadari janji-janji manis Jepang itu palsu. Pada
masa ini, banyak seniman yang tidak tertarik dengan Keimin Bunka Shidoso dan tidak dapat
mempublikasikan karyanya pada saat itu sehingga baru muncul setelah kemerdekaan.
Kehidupan masyarakat pada masa itu sangat sulit, semangat dan kreatifitas penulis tidak
kalah. Rosihan Anwar kemudian terkenal sebagai tokoh jurnalis atau jurnalis, Usmar Ismail
dikenal sebagai pionir sinema Indonesia, Chairil Anwar dinobatkan sebagai pionir generasi
ke-45, dikenal sebagai pionir pelafalan sederhana dalam sastra Indonesia dan Jassin dikenal
sebagai tokoh pustakawan. Sedangkan karya para pelaut pada masa pendudukan Jepang
yang tersebar di beberapa jurnal, disusun oleh Jassin dalam Sastra Indonesia Masa Jepang
dan Gema Kampung Halaman 1.
Masa Pergantian Pergerakan Sastra Indonesia 1945-1965
Kebangkitan Kebudayaan dan Ide-ide sastra dapat dicermati dalam penerbitan jurnal-jurnal
yang terbit sesaat setelah proklamasi kemerdekaan. Ventilasi. Hal ini menunjukkan semangat
para seniman dan budayawan yang terlibat dalam mencapai kemerdekaan dengan
pembangunan kebudayaan yang tidak kalah pentingnya dengan pembangunan politik dan
militer yang saat itu begitu mendesak. Sama seperti kelompok Pujangga Baru yang
memperdebatkan konsep baru kebudayaan Indonesia, para seniman dan budayawan
revolusi pertama juga sempat melakukan refleksi terhadap konsep kebudayaan Indonesia
sebagai landasannya.
kemudian dikenal sebagai "Tape Trust Letter". Disebut demikian karena konsep atau
rumusan tersebut dimuat dalam ruang kebudayaan “Gelanggang” di jurnal Siasat pada
tanggal 22 Oktober 1950. Yang jelas terbitnya karya sastra Indonesia pada periode 1945
hingga 1950-an bukan sekadar bagian dari perjalanan sejarah. . yang kelanjutannya semakin
menarik dengan hadirnya Lembaga Kebudayaan Rakyat dan Manifes Kebudayaan, hingga
tragedi nasional 30 September 1965.

Peristiwa penting dan berpengaruh terhadap dinamika kehidupan sastra Indonesia yang
menjadi landasan Gerakan Rakyat . Lembaga. Lembaga Kebudayaan (Lekra) pada tanggal 17
Agustus 1950 di tangan perorangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meski di balik organisasi
ini ada PKI, namun namanya tidak berkonotasi komunis. Baru pada tahun 1961 Lekra
dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan "politik adalah
panglima" dan membela realisme atau seni sosialis untuk rakyat. Lekra didirikan lima tahun
setelah pecahnya Revolusi Agustus, pada saat revolusi digagalkan oleh hambatan besar:
persetujuan meja bundar. I.ekra didirikan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut, karena
mereka menyadari bahwa tugas revolusi tidak hanya berada di tangan para politisi tetapi
juga para pekerja budaya. Dari foto-foto tersebut terlihat Lekra sedang
mengimplementasikan ide-ide seninya kepada masyarakat. Namun, isi masyarakat terbatas
pada konsepsi ideologis mereka sendiri. bukan orang pada umumnya. Oleh karena itu, jelas
Lekra memang tidak bisa dipisahkan dari PKI. Mikroorganisme ini bergabung dengan serikat
buruh, petani, organisasi pemuda, mahasiswa, akademisi dan pihak-pihak lain dalam bentuk
protes untuk melemahkan kekuatan lawan politiknya. Mereka juga menerbitkan pertunjukan
buku-buku sastra seperti antologi puisi, kumpulan cerpen, dan lakon yang menarik perhatian
banyak penulis. Cara lain yang dilakukan Lekra adalah dengan menghancurkan kredibilitas
tokoh-tokoh yang berbeda pandangan atau lawan politik. Situasi politik saat itu membuat
masyarakat sulit untuk mandiri atau non-partisan. Namun, banyak penulis dan intelektual
tetap independen melalui Monthly Acts, sebuah publikasi sastra yang mengutamakan cerita
pendek.
Majalah Cerita menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah
sastra pertama yang mengutamakan cerita pendek. Majalah ini berdiri selama hampir lima
tahun, dari Juli 1953 hingga Maret 1957, dan menjadi tolok ukur hak cipta. Semangatnya
adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga penulis terpacu untuk
menghasilkan esai yang berkualitas dan penuh rasa tanggung jawab. Padahal majalah
tersebut hanya eksis selama 5 tahun
Alasannya antara lain maraknya hiburan sastra yang cabul, sehingga cerita tersebut tidak
mampu bersaing secara komersial. Apa yang terjadi pada masa itu akan terkesan baru jika
dilihat dari sudut pandang sejarah, termasuk soal ekspresi budaya.
Berbeda dengan Lekra. Manifesto Kebudayaan bukanlah organisasi kebudayaan melainkan
suatu konsep atau pemikiran dalam ranah kebudayaan seperti Sertifikat Arena.
Kemunculannya tidak dikaitkan dengan partai politik atau ideologi tertentu, melainkan
respons terhadap penganiayaan budaya yang dilakukan masyarakat Lekra saat itu. Dalam
waktu singkat, Manifes Kebudayaan mendapat sambutan hangat dan dukungan dari
berbagai pihak yang merasa terancam dan tertekan dengan agresi kelompok Lekra. Namun,
di sisi lain, hal itu menjadi alasan yang baik bagi Lekra untuk membinasakan siapa saja yang
tidak sependapat. Manifesto Kebudayaan yang dituduh anti-politik dan kontra-revolusioner
disingkirkan dari wajah Indonesia. Sementara itu, para tokoh Manifesto Kebudayaan
mengadakan konferensi Pegawai Penulis Indonesia (KKPI) di Jakarta pada bulan Maret 1960
dan mendirikan Persatuan Pegawai Penulis Indonesia (PKPI). Namun organisasi ini tidak
sempat beroperasi karena pada tanggal 8 Mei 1964, Manifes Kebudayaan dilarang oleh
Presiden Soekarno. Pelarangan Manifesto Kebudayaan disusul dengan tindakan politik untuk
lebih memonopoli Manifesto Kebudayaan, yaitu pelarangan buku-buku karya penulis yang
berafiliasi dengan Deklarasi, apapun isi dan tanggal penulisannya, sementara Maratua
semakin banyak. sastra yang mengusung realisme sosialis dari beberapa penulis Lekra.
Masa paparan sastra Indonesia 1965-1998
Setelah mengalami ketegangan selama beberapa bulan untuk menumpas PKI, pada bulan
Juli 1966 dimulailah kegiatan kebudayaan berupa penerbitan majalah Horison dengan nama
Majalah Horison.Disutradarai oleh Mochtar Lubis, sedangkan redaksinya adalah H.B. Jassin,
Zaini, Taufik Ismail, Soe Hok Djin dan D.S. Moeljanto. Penerbitnya adalah Yayasan Indonesia
yang didirikan pada tanggal 31 Mei 1966, yang semangat atau visinya bermula dari krisis
kebudayaan yang telah berlangsung puluhan tahun, dengan harapan akan berkembang
semangat baru untuk memperjuangkan demokrasi dan martabat. di Indonesia. Majalah
Horison mengedepankan sastra dengan kesadaran penuh bahwa bidang sastra ditempatkan
secara strategis sebagai mesin pemikiran kreatif, baik secara individu maupun antar
Bangsa. Bagian penting dari publikasi pertama Horizon adalah pernyataan Force 66 dari H.B.
Jassin diterbitkan di Horison n°2, Agustus 1966. Dengan demikian, lahirnya Force 66
merupakan puncak dari perlawanan berkepanjangan terhadap tirani. Kontroversi yang
berlandaskan ideologi politik dan partisan, seperti masa keemasan demokrasi Lekra, juga
dimanfaatkan untuk mengarah pada kediktatoran, sementara kemanusiaan yang adil dan
beradab menimbulkan permusuhan terhadap negara lain. Namun, dalam bidang sastra
mempunyai standar tersendiri, semangat ini diungkapkan dalam hasil seni atau sastra.
Selain polemik dan penelitian ilmiah, nama atau nama Blok 66 dalam literatur Indonesia juga
sangat populer, seperti Blok 45, Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Ciri generasi ini adalah
semangat Pancasila yang menuntun hati nurani manusia untuk memperjuangkan kebenaran,
keadilan, hati nurani moral dan agama.
Ternyata peruntungan Horison tak berlaku bagi Majalah Sastra yang bisa diibaratkan saudara
kandung yang kecerdasan dan editorialnya tak lepas dari nama besar H.B. Jason. Majalah
sastra terbit pertama kali pada | Mei 1961 dan berlangsung hingga Maret 1964. Sejak
pertama kali diterbitkan, penjualan tersebut telah menjadi sasaran hinaan, hasutan, dan
fitnah, serta kelompok Lekra yang menginginkan seluruh aktivitas kebudayaan, termasuk
sastra, berada di bawah pengaruh dan kekuasaannya. Tekanan semakin meningkat setelah
pengumuman Menteri Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 yang memaksa majalah Sastra
berhenti terbit setelah terbit Maret 1964. Dalam sejarahnya, majalah Sastra tak lepas dari
nama besar H.B. Jassin, sosok yang memiliki dedikasi dan pengabdian besar terhadap
kebudayaan. Sastra Indonesia sungguh luar biasa. Warisannya tidak hanya terletak pada
gagasan-gagasan yang terkandung dalam sejumlah buku dan esai kritis, tetapi juga pada
karya sastra yang kemudian dikelola oleh Yayasan Pusat Dokumen Sastra H.B. Jason di
Jakarta. Faktanya, perjalanan sastra terakhir ini bukanlah perjalanan yang diharapkan banyak
orang karena baru diterbitkan antara bulan Mei dan Oktober 2000; Harapan-harapan baru
terus tumbuh di berbagai bidang dengan maraknya berbagai kegiatan yang semakin
menjelaskan dinamika sastra Indonesia menuju jalur kreatif. pengajaran dan penelitian.
Salah satu lembaga dan organisasi penting di bidang penelitian adalah Pusat Bahasa .
Pusat Bahasa merupakan lembaga yang melaksanakan tugas di bidang penelitian dan
pengembangan bahasa di bawah Kementerian Pendidikan Nasional. Namanya pernah
terkenal
dengan Pusat Pembinaan dan Pembinaan Bahasa yang merupakan kelanjutan dari lembaga
kecil bernama Institut Bahasa pada tahun 1950. Kantornya yang relatif sederhana terletak di
Jalan Daksinapati Barat IV. Rawamangun di Jakarta Timur terletak di sebelah kampus
Universitas Negeri Jakarta yang dulu bernama IKIP Negeri Jakarta. Pusat Bahasa terus
mendorong staf di pusat dan daerah untuk meningkatkan pendidikannya melalui program
studi pascasarjana di dalam dan luar negeri
Salah satu fasilitas seni di kampus Anggota sekolah yang telah memberikan kontribusi besar
terhadap sastra Indonesia selama 30 tahun terakhir adalah Art Jakarta. Dewan (DKJ). DKJ
diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tanggal 3 Juni 1968, menampilkan 25
seniman budaya terkemuka. Tujuannya adalah merumuskan konsep pembangunan budaya
yang memberi ruang gerak leluasa bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan bangsa
DKJ adalah lembaga atau organisasi kesenian yang menjadi mitra kerja gubernur DKI Jakarta
dalam perencanaan pembangunan kesenian. Tugasnya antara lain menyiapkan usulan
program pengembangan kesenian, memantau perkembangan kehidupan kesenian,
mengevaluasi pelaksanaan program tahunan, dan menjalin kerjasama dengan pihak-pihak
lain. Langkah gubernur Ali Sadikin pada waktu itu dipandang sebagai angin segar bagi
pengembangan kebudayaan yang hingga akhir tahun 1965 telah diwarnai perdebatan dan
perseteruan yang berlatar belakang politik. Langkah itupun sejalan dengan harapan
masyarakat kebudayaan yang mulai merasakan tersisihnya pembangunan kebudayaan di
tangan orde baru yang menjanjikan modernisasi dan industrialisasi. Peranan dikaji semakin
penting pada awal tahun 1980 sebagai model pembentukan dewan kesenian di sejumlah
provinsi setelah terjadi kontak dan pendekatan melalui musyawarah dewan kesenian se-
Indonesia di Malang dan Makassar
Majalah Horison, Sastra, Pusat Bahasa, fakultas sastra, dan Dewan Kesenian Jakarta
mengisyaratkan lingkungan yang serius dan resmi untuk kegiatan sastra yang berupa
penciptaan, penelitian, dan pengembangan, sedangkan di luar lingkungan tersebut
berkembang pesat penciptaan sastra yang kemudian disebut sastra populer sejalan dengan
maraknya penerbitan koran dan majalah umum yang terbit di kota-kota besar Indonesia.
Meningkatnya jumlah penerbitan di berbagai kota besar di Indonesia memberikan
kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan kuantitas karya sastra Indonesia. Dari sudut
pandang komersial atau penerimaan masyarakat pembaca, kita melihat bahwa sejarah sastra
pers, yang dengan sendirinya berimplikasi pada sastra populer, telah melalui masa-masa
yang naik turun dalam kurun waktu tertentu.
Banyaknya fiksi populer mengaburkan batas dengan fiksi sastra, yang telah menjadi ceruk
pasar. Permasalahan ini dibahas oleh para kritikus sastra yang bertugas menilai baik
buruknya sebuah karya sastra. Beberapa karya kritik sastra Indonesia kini telah terbit
termasuk puluhan judul dengan warna, gaya, dan genre berbeda. KARENA ITU. perlu
dibangun landasan-landasan dasar kritik sastra Indonesia modern, termasuk teori dan
bentuk penerapannya, termasuk perdebatan-perdebatan atau angka-angka yang terjadi
sepanjang sejarahnya. . Selamat Tahun 1985, Persatuan Sastra Indonesia menyebut kritik
sastra dalam rangka pendinginan dari gagasan Arif Budiman yang berharap agar sastra
Indonesia cocok dengan konteks kehidupan masyarakat. dengan cepat mengajukan sastra
sosiologi sebagai pendekatan baru terhadap kritik sastra Indonesia. Sementara itu, perlu
diketahui juga bahwa gagasan untuk mencari model kritik sastra Indonesia telah dibahas
dalam seminar sastra di Universitas Bung Hatta Padang (1988) dan selanjutnya dibacakan
usulan-usulan teori seperti psikoanalisis, feminisme, strukturalisme genetik, semiotika, dan
lain-lain bercampur dengan perkembangan sastra populer, kritik surat kabar, dan jurnal yang
terbit di kota-kota besar di Indonesia. Banyak seminar sastra yang telah menghasilkan
ratusan artikel kritik sastra yang memperkaya khazanah kritik sastra dan esai Indonesia yang
merupakan bidang tersendiri bagi para sarjana sastra.
Perlu diketahui, selama ini dunia sastrawan Indonesia ternyata tumpang tindih atau
bercampur dengan dunia penulis esai dan kritikus. Terbukti banyak penulis yang dikenal
sebagai penulis esai dan kritikus, bahkan terkadang lebih terkenal dibandingkan sarjana
sastra di kampus universitas. Seringkali, kehebatan atau reputasi seorang pakar dikaitkan
dengan pekerjaannya, dipandang sebagai simbol dari pakar tersebut, atau pada posisi atau
aktivitas yang mempengaruhi dinamika budaya studi pada saat itu. Selain itu, nama-nama
biasa yang sudah punya nama selalu disebutkan, sedangkan ratusan nama baru yang
muncul cenderung dikesampingkan hingga muncul dengan kapasitas tertentu. Sebutkan
nama-nama besar :
Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Nh. Dini, Sapardi Djoko
Damono, Subagio Sastrowardojo, Taufik Ismail. Renda dan lain-lain. Sementara itu, ratusan
penyair, penulis esai, dan kritikus terus bermunculan di surat kabar dan majalah terbitan
Jakarta.
dan kota-kota besar di Indonesia. Melalui penerbitan surat kabar dan majalah, sejumlah
nama potensial telah dicantumkan. beberapa di antaranya kemudian berproduksi di bawah
bimbingan sastra dan banyak lagi yang kemudian beralih ke bidang lain.
Pembebasan Sastra Indonesia 1998-
Krisis multidimensi merupakan istilah populer saat ini yang mengacu pada berbagai
permasalahan yang menjerat kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia pasca
revolusi Indonesia.Reformasi Mei 1998 berujung pada resesi hampir di semua sektor. aspek
kehidupan. Asal muasalnya adalah krisis ekonomi dan politik sekitar tahun 1998,
sebagaimana ditulis para ahli dalam puluhan judul buku. Keprihatinan masyarakat luas juga
terlihat pada Konferensi Penulis Indonesia tahun 1997 di Bukittinggi dan Padang yang
mengungkapkan rasa malu yang meluas atas kemandulan sastra Indonesia dalam konteks
kemandulan yang sangat besar di seluruh bidang dan bidang kehidupan masyarakat. Refleksi
dan dorongan para sastrawan Indonesia pada Konferensi Penulis Indonesia tahun 1997
mengungkap jalinan halus yang terjalin dengan semangat Pujangga Baru tahun 1930-an,
Pengakuan Iman Gelanggang tahun 1940-an, dan Manifesto Kebudayaan tahun 1930-an.
1960.
Istilah Sastra Pembebasan muncul mengacu pada kenyataan bahwa sastra pasca Reformasi
dapat dipandang sebagai sarana pembebasan dari berbagai kekurangan dan keterbatasan
yang muncul pada akhir masa Orde Baru. . Pada saat yang sama, kehidupan mahasiswa di
kampus juga dibatasi oleh sejumlah peraturan, sementara jurnalisme dan seni juga tunduk
pada tekanan dan pembatasan. Fenomena ini menghapus banyak kegiatan yang telah
dilakukan sebelum renovasi, namun menambah kemegahan sekolah. dinamisme sastra
Indonesia di banyak tempat dan banyak terbitan. Semangat baru juga terlihat dari kegiatan
berkala Hiski yang berlangsung dari tahun ke tahun, yang semangat motivasinya adalah
untuk membebaskan masyarakat dari kebekuan membaca yang selama puluhan tahun
terhalang oleh larangan dan pelarangan. Di tengah maraknya penerbitan sastra generasi
terkini, muncul fenomena menarik dari penulis kondang Pramoedya Ananta Toer. Fenomena
Pramoedya Ananta Toer mampu menarik perhatian publik, karena ia dianggap sebagai
simbol protes Orde Baru, tepatnya gudang karya sastra yang ditulis selama pengasingannya
di Pulau Buru. .
Nampaknya masa depan sastra Indonesia tidak lagi hanya terbatas di Jakarta dan kota-kota
besar di Pulau Jawa, melainkan merambah ke pelosok tanah air. Masa depan yang akan
datang harus dikembangkan pengkajian sastra Indonesia lokal. Sementara itu, tercatat
komunitas penerbitan sastra yang memperlihatkan trend tersendiri di samping penerbitan
yang sudah lazim berlangsung di penerbit-penerbit sebelumnya.
C. Ulasan Isi Buku

1. Buku Utama Buku ini memaparkan tentang sejarah sastra di Indonesia, periodisasinya dan
bagaimana perkembangannya secara detail dan mendalam. Buku ini dengan jelas
menerangkan awal mula suatu angkatan terbentuk dan berbagai hal lain yang
mempengaruhi angkatan tersebut bisa ada. Buku ini banyak memasukkan sumber- sumber,
tokoh, dan contoh karya di dalam isiannya.

2. Buku Pembanding

Buku ini memaparkan tentang sejarah sastra Indonesia dan periodisasinya secara umum juga
menjelaskan banyak jenis karya sastra baru yang bermunculan. Buku ini mengikutsertakan
banyak pendapat para pakar yang ahli di dunia kesusastraan sebagai penunjang materi yang
dijelaskan agar semakin lengkap. Secara keseluruhan buku ini telah berhasil memaparkan
periodisasi sastra Indonesia secara singkat dan padat.
BAB III PENILAIAN BUKU
A. Buku Utama
1. Kelebihan
a. Penjelasan buku sangat mendetail sehingga dapat jelas diketahui proses yang dialami
suatu angkatan, tokoh-tokohnya, dan karya-karyanya.
b. Buku ini sangat banyak memasukkan pendapat-pendapat tokoh tertentu dan kutipan dari
buku terkenal sehingga semakin memperjelas kebenaran isi buku.
c. Di setiap akhir bab buku selalu ada soal yang diberikan untuk menguji pemahaman
pembacanya.
2. Kekurangan
a. Buku ini terlalu banyak memuat contoh karya sehingga buku ini semakin tebal dan
pencetakannya pun lebih mahal.
b. Buku ini banyak terfokus pada momen-momen tertentu yang dinilai tidak terlalu penting
untuk dipaparkan
c. Di dalam buku ini banyak kalimat yang tidak efektif sehingga dapat membuat
pembacanya salah paham dan sulit mengartikan bacaan yang sedang dibacanya.
B.Buku Pembanding
1. Kelebihan
a. Buku ini menjelaskan materinya secara ringkas dan padat sehingga tidak terjadi
pemborosan terhadap tebal buku.
b. Buku ini banyak memuat catatan kaki sehingga ketika membaca bagian tertentu
dari materi yang ada di dalam buku, maka pembaca dapat mengetahui sumber yang lebih
jelas.
c. Contoh-contoh karya yang dipaparkan cukup sesuai dengan kebutuhan
pemahaman pembaca.
2. Kekurangan
a. Buku ini secara keseluruhan berisi dengan teks sehingga mudah membuat bosan
pembacanya.
b. Masih ada banyak typo dan kalimat yang tidak efektif sehingga mengganggu
kenyamanan membaca dan menyebabkan kesalahpahaman makna
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesusastraan di Indonesia telah ada sejak lama dan diawali dengan sastra lama yang karya-
karyanya berupa sastra lisan (dari mulut ke telinga). Periodisasi sastra Indonesia dimulai dan
Angkatan Pujangga Lama dan kemudian terus berkembang pesat sehingga lahirlah angkatan-
angkatan sastra yang baru dengan aspek-aspek kehidupan sebagai pendukungnya. Di tiap-
tiap angkatan pula ada ciri khas tertentu yang menjadi pembeda antarangkatan

B. Saran

Banyak penulis, penyair, dan profesi lainnya yang bergerak di dunia kepenulisan namun tidak
mengetahui sejarah dari bidang yang digelutinya itu. Jadi, alangkah baiknya bila sejarah
sastra Indonesia ini semakin disebar luaskan dan semakin sering diperkenalkan pada orang-
orang agar mereka tahu bahwa banyak karya kepenulisan yang sering mereka nikmati
merupakan hasil pejuang-pejuang satsra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Yudiono K.S. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo

Erowati, Rosida & Ahmad Bahtiar. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai