Anda di halaman 1dari 16

BAB V

PERIODE 1933 – 1942

Dalam bab ini dibicarakan karya-karya yang terbit pada periode 1933- 1942, terurut
secara kronologis. Terbitnya majalah Pujangga Baru, beberapa pengarang dan karyanya
dibicarakan riwayat hidupnya secara singkat, dengan tujuan untuk bisa membantu
memahami karya-karyanya. Riwayat hidup pengarang yang sudah dibicarakan pada bab IV
tidak diulangi di sini sekalipun pengarang yang bersangkutan tetap berkarya pada periode
ini.

5.1 Majalah Pujangga Baru

Majalah Pujangga Baru merupakan sebuah momentum penting dalam perjalanan


sejarah sastra Indonesia. Majalah Pujangga Baru dapat diartikan sebagai majalah yang
aslinya tertulis Poejangga Baroe, yaitu sebuah gerakan kebudayaan Pujangga Baru tahun
30-an yang tidak terpisahkan dari tokoh-tokoh pemuda terpelajar pada masa tersebut.
Majalah Pujangga Baru terbit pertama kali pada Mei 1933, dengan tujuan (a) menumbuhkan
kesusastraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya dan (b) mempersatukan para
sastrawan dalam satu wadah karena sebelumnya cerai berai sana sini.
Sebenarnya usaha menerbitkan suatu majalah kesusastraan sudah muncul pada tahun
1921, 1925, dan 1929, tetapi selalu gagal. Baru pada tahun 1933 atas usaha S. Takdir
Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane dapat diterbitkan majalah bernama Pujangga
Baru. Tujuannya tampak pada keterangan resmi yang berbunyi, “majalah kesusastraan dan
bahasa serta kebudayaan umum” kemudian berubah menjadi “pembawa semangat baru
dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”, dan berganti lagi
menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan
persatuan Indonesia” (Rosidi, 1969: 35).
Menurut Mantik (2006:4) subjudul “Majalah Kesusastraan dan Bahasa serta
Kebudayaan Umum” berlangsung tahun 1933-1934, kemudian berubah menjadi “Majalah
Bulanan Kesusastraan dan Bahasa serta Seni dan Kebudayaan” tahun 1934-1935, dan pada
tahun 1935-1936 menjadi “Pembawa Semangat Baru dalam Kesusastraan, Seni,
Kebudayaan, dan Soal Masyarakat Umum”. Pada penerbitan selanjutnya subjudulnya
adalah “Majalah Bulanan Pembimbing Semangat Baru yang Dinamis untuk Membentuk
Kebudayaan Persatuan Indonesia”. Dengan demikian, tujuan yang semula terbatas
kesusastraan dan bahasa meluas ke masalah kebudayaan umum sejalan dengan makin
maraknya kesadaran nasional untuk membangun kebudayaan Indonesia baru. Hal itu dapat
dipahami karena pada 28 Oktober 1928 telah tercetus Sumpah Pemuda yang merupakan
momentum penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Tentu saja pada waktu itu belum
terdengar atau tertulis kata-kata Indonesia Raya, apalagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jadi, semangat mereka masih terbatas pada harapan membangun masyarakat
yang makin sadar pada nasionalisme.
Terbitnya majalah ini menjadi perlambang betapa besar keinginan para pengarang
dan budayawan muda Indonesia untuk memiliki media sendiri. Sebelumnya memang telah
terbit beberapa majalah yang juga memuat karangan cerita, sajak, serta bahasan tentang
sastra, yaitu majalah Sri Pustaka (1919-1942), Panji Pustaka (1919-1942), Jong Java (1920-
1926), Timbul (1930-1 933).
Majalah Timbul mula-mula terbit dalam bahasa Belanda. Mulai tahun 1932 terbit
juga edisi dalam bahasa Indonesia. Redakturnya adalah Sanusi Pane. Ketika St. Takdir
Alisjahbana masih bekerja di Balai Pustaka, Ia membuka rubrik “Menuju Kesusastraan
Baru” dalam majalah Panji Pustaka, mulai tahun 1932. Majalah tersebut diterbitkan oleh
Balai Pustaka.
Ajip Rosidi (1969:35-41) membicarakan berdirinya dari perkembangan majalah
Pujangga Baru dengan panjang lebar. Terbitnya majalah Pujangga Baru didorong oleh
semangat yang tertuang dalam pernyataan para pendirinya : “Dalam zaman kebangunan
sekarang inipun kesusasteraan bangsa kita mempunyai tanggungan dan kewajiban yang
luhur. Ia menjelmakan semangat baru yang memenuhi masyarakat kita, ia harus
menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati segala bangsa Indonesia
yang yakin akan tibanya masa kebesaran itu”

Majalah Pujangga Baru mendapat sambutan hangat dari Sejumlah terpelajar, seperti:
Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman
Panji Tisna, J. E. Tatengkeng, Karim Halim, L. K. Bohang, Muhamad Dimjati,
Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di
sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik
keras oleh para guru yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Kata mereka, majalah
tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.
Majalah itu bertahan terbit hingga tahun 1942, kemudian dilarang oleh penguasa
militer Jepang karena dianggap kebarat-baratan dan progresif. Akan tetapi, setelah
Indonesia merdeka dapat diterbitkan lagi pada tahun 1949-1953 di bawah kendali S. Takdir
Alisjahbana dengan dukungan tenaga-tenaga baru, seperti Achdiat K. Mihardja, Asrul Sani,
Chairil Anwar, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowardojo, dan Rivai Apin. Tentu saja
semangatnya sudah berbeda dengan semangat tahun 1930-an karena kondisi sosial politik
pun sudah berubah.
Sumbangan Pujangga Baru terhadap perkembangan pemikiran kebudayaan
Indonesia pantas dihargai tinggi karena memberikan kesempatan para sastrawan dan
budayawan untuk menyalurkan pendapat-pendapatnya sehingga berkembang polemik yang
semarak sebagaimana tampak pada buku Polemik Kebudayaan susunan Achdiat K.
Mihardja (1977). Tokoh-tokoh yang terlibat dalam polemik itu antara lain S. Takdir
Alisjahbana, Sanusi Pane, R.M. Ng. Poerbatjaraka, Dr. Sutomo, Adinegoro, Dr. M. Amir,
dan Ki Hadjar Dewantara. Identitas mereka itu dapat dibaca pada bagian akhir Polemik
Kebudayaan, sedangkan kelengkapannya dapat dirunut pada pelbagai sumber lain.
Pujangga baru mula-mula terbit dengan semboyan “ majalah kesusasteraan dan
bahasa serta kebudayan umum”. Mulai tahun 1935 diubah menjadi “pembawa semanngat
baru dalam kesusasteraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum”. Mulai tahun 1936
diubah lagi menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk
kebudayaan persatuan Indonesia”.

Masa jaya majalah Pujangga Baru surut karena datangnya bala tentara Jepang pada
Maret 1942. Janganlah dibayangkan kejayaan majalah tersebut seperti majalah sastra
Horison yang dewasa ini tercetak bagus dan tersebar luas. Menurut pengakuan H.B. Jassin
sebagaimana disampaikan dalam wawancara Wahyu Wibowo dan Kasijanto yang termuat
di Basis Juli 1983 (halaman 263-270), majalah Pujangga Baru tidak terdukung modal
keuangan dan sedikit saja peminatnya. Pada zaman itu tercetak paling banyak 400
eksemplar dengan persebaran terbatas ke kalangan guru dan mereka yang dianggap
memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan dan kesusastraan. Pernah juga dikirimkan
kepada para sultan, tetapi tidak disambut hangat. Di antara yang terbatas itu ada juga yang
sampai ke Malaya sehingga ikut berpengaruh terhadap perkembangan sastra Melayu di
sana.
Majalah Pujangga Baru ternyata tidak menyediakan honorarium untuk para
penyumbang, bahkan tidak juga menggaji redaksinya, termasuk. H.B. Jassin yang pada
tahun 1940-1942: menjadi Sekretaris Redaksi. Namun, pengaruhnya terhadap semangat
para penulis dan pengarang pantas dibanggakan, terbukti banyak tulisan yang mengalir ke
redaksi Pujangga Baru. Kebanyakan tergugah oleh tulisan-tulisan Takdir Alisjahbana yang
pada waktu itu selalu bersemangat menawarkan gagasan-gagasan menuju Indonesia baru.
Di mata Jassin, majalah yang profilnya sederhana itu ibarat perambah jalan atau pelopor.
Kesederhanaan majalah Pujangga Baru masih dapat dinikmati atau disaksikan di Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta. Perihal ketergantungannya kepada sumbangan
pembaca dapat disimak dalam salah satu edisi sebagai berikut.
Kepada pelanggan Pujangga Baru (jang) yang belum mengirimkan sumbangannya
untuk kwartal kedua tahun ini, bersama ini kami kirimkan postwissel-formulier. Setelah
diisi haraplah segera kirimkan kepada kami kembali. Sudilah mengingatkan bahwa
Pujangga Baru semata-mata bergantung kepada bantuan orang (jang) yang cinta kepada
bahasa dan kesusasteraan Indonesia dan hendak menolong berdaya upaya memberi
kedudukan (jang) yang selayaknya kepadanya di antara bahasa dan kesusasteraan bangsa
lain di duma ini. Disisi itu kami berharap kepada segala pembaca menolong memperluas
jumlah teman Pujangga Baru agar lambat laun madjalah kita dapat diperbaiki seperti
semestinya. (Pujangga Baru Nomor 9 Tahun I Maret 1934)
Apa pun riwayatnya, selama hampir sepuluh tahun Pujangga Baru bertahan terbit (1933-
1942) telah berjejak kesuksesan yang pantas dibanggakan. Menurut Faruk H.T., majalah
tersebut telah memberi dasar bagi terbentuknya masyarakat sastra dan bahasa Indonesia.
Lewatnyalah sesungguhnya masyarakat bahasa dan kesusastra-an Indonesia yang
berikutnya belajar. Penemuan-penemuan bahasa seperti misalnya pemasukan kata-kata
asing, kata-kata Melayu kuno, dan kata-kata dan ragam bahasa sehani-hani, telah
memberikan kemungkinan baru bagi masyarakat bahasa dan sastra Indonesia yang
kemudian, Tugas masyarakat yang berikutnya tinggal memperkaya lebih banyak lagi
kemungkinan-kemungkinan bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan kebutuhan yang
timbul pada zaman mereka sendiri.
Kesuksesan majalah Pujangga Baru karena terpenuhinya semangat idealisme dan
kemampuan membaca kenyataan di atasjuga telah memungkinkan terbangunnya konsep
kebudayaan Indonesia yang bani. Konsep ini penting karena bagaimanapun masyarakat
Indonesia waktu itu berada dalarn perubahan sosial yang besar dan ganda. (Faruk H.T,
1983: 263).
Mungkin posisi majalah Pujangga Baru yang sederhana pada waktu itu hanya di celah-
celah sekian surat kabar dan majalah umum yang lebih populer. Kalaupun kemudian
semangatnya ternyata menembus zaman adalah bukti bahwa semangat dan pemikiran
budaya yang berwawasan jauh ke depan sungguh merupakan roh kehidupan masyarakat.
Semangat atau roh itulah yang eksistensinya lebih kekal daripada hingar-bingar kehidupan
sesaat. Jadi, wajarlah apabila nama Angkatan Pujangga Baru pun menjadi mapan dalam
sejarah sastra Indonesia karena telah mewariskan semangat kebudayaan baru melalui
roman, puisi, drama, kritik, dan esai.
Perubahan bunyi moto atau semboyan itu mencerminkan terjadinya perluasan dan
sekaligus penajaman dalam merumuskan cita-cita orang-orang yang “berhimpun” dalam
Pujangga Baru. Pada kenyataanya memang majalah tersebut berhasil menjadi media tempat
berhimpunya pelbagai gagasan dari pelbagai pihak dan golongan. Nama-nama penulis
makin banyak bermunculan, dari pelbagai daerah dan lingkungan etnis. Hal itu tidak
mengandung arti bahwa mereka selalu sepaham. Diantara para penulis itu telah terjadi
polemik, yang pada umumnya berorientasi ke masa depan. Keadaan ini merupakan
dorongan baru dalam mematangkan gagasan-gagasan kebangsaan. Sumbangannya bagi
perkembangan sastra Indonesia menjadi lebih konkrit karena arah perkembangannya makin
diperjelas.
Menurut Takdir Alisjahbana, istilah Indonesia telah dipergunakan secara luas dengan
pengertian yang kabur sehingga tidak secara tegas menunjuk pada semangat keindonesiaan
yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Keindonesiaan baru itu
tumbuh setelah bangsa atau masyarakat Nusantara bertemu dengan kebudayaan Barat yang
ditandai dengan kesadaran kaum intelektual untuk membangun suatu kehidupan baru yang
semangatnya berbeda dengan masa lampau sebelum abad ke-19 yang disebutnya sebagai
pra-Indonesia, bahkan disebut sebagai zaman jahilliah keindonesiaan yang hanya mengenal
sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan
lain-lain. Takdir Alisjahbana menegaskan bahwa pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus
bebas dari zaman pra-Indonesia agar tidak timbul perselisihan tentang landasannya, apakah
Melayu, Jawa, dan sebagainya. Semangat keindonesiaan yang baru itu seharusnya berkiblat
ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektualnya sehingga wajahnya berbeda
dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia.
Pendapat yang teoretis dan idealis itu dikritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa
keindonesiaan itu sebenarnya sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni.
Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu
sebenarnya sudah ada walaupun belum terwujud. Sanusi Pane berpendapat bahwa
kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak
dengan sendirinya istmewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga
orang harus berpikir dan bekerja keras juga. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki
keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani karena urusan jasmani sudah
dimanjakan oleh alam yang serba berlimpah. Tawaran Sanusi Pane adalah mempertemukan
semangat intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur seperti mempertemukan
Faust dengan Arjuna.
Pendapat tersebut di mata Takdir Alisjahbana masih kabur dalam soal istilah Indonesia
karena Sanusi Pane dianggap mencampuradukkan arti Indonesia yang dipakai ahli ilmu
bangsa-bangsa (etnologi) dengan konsep yang dipakai kaum politik di awal kebangkitan
nasional. Takdir menegaskan bahwa di zaman Majapahit, Diponegoro, Teuku Umar, belum
ada keindonesiaan yang disadari oleh masyarakat.
Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada
dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah
sehingga orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan
datang.
Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan
Indonesia baru, termasuk kesusastraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh
yang telah lebih dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar
apabila kemudian mereka disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki
kesamaan visi atau pandangan tentang kesusastraan yang menawarkan nilai-nilai baru
dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi perseorangan.

5.2 Daftar Karya

Karya-karya sastra yang dihasilkan pada periode ini secara kronologis adalah
sebagai berikut.
Pada tahun 1934 terbit lima buah buku : 3 buah novel, I buah cerita drama, dan 1
buah kumpulan sajak. Ketiga buah novel itu adalah Hulubalang Raja karangan Nur St.
Iskandar, novel Sebabnya Rafiah Tersesat karya Dt. Aman Madjoindo bersama
Hardjosumarto, dan Si Cebol Rindukan Bulan karya Aman Dt. Madjoindo. Cerita drama
yang terbit adalah Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin, sedangkan
kumpulan sajak adalah Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng.
Hulubalang Raja adalah sebuah novel sejarah. Novel ini merupakan karya terpenting
pengarang Nur St. Iskandar. Ceritanya dirakit berdasarkan hasil penelitian sejarah H.
Kroeskamp. Peristiwa yang dilukiskan adalah yang terjadi di daerah Sumatra Barat pada
periode tahun 1665-1668. Komposisi cerita disusun dengan sangat baik, disertai gaya
penceritaan yang memikat. Karena pengetahuan pengarangnya tentang lingkungan
setempat, gambaran peristiwa itu menjadi sangat menarik; tentang bagaimana hubungan
antara Minangkabau, Aceh, dan Belanda pada masa itu.
Novel Sebabnya Rafiah Tersesat ditulis berdua. Novel ini merupakan kerja sama
kedua antara pengarang Nur St. Iskandar dan Hardjosumarto yang berasal dari Jawa. Novel
Si Cebol Rindukan Bulan merupakan novel Aman Dt. Madjoindo untuk orang dewasa,
Pengarang ini lebih dikenal sebagai penulis cerita anak-anak. Alur cerita novel ini terasa
lemah, tetapi gaya penulisannya serta kemampuan pengarang dalam mengamati kehidupan
sangat baik.
Seperti terlihat dari judulnya, drama Ken Arok dan Ken Dedes menyajikan cerita
sejarah. Kedua nama itu adalah tokoh sejarah dalam sejarah lama kerajaan Jawa.
Sajak-sajak yang terkumpul dalam Rindu Dendam merupakan sebagian saja dari
seluruh karya J.E. Tatengkeng. Ia banyak memuat sajak-sajaknya dalam majalah, di
antaranya dalam Pujangga Baru. Ia juga menulis kritik dan esai. Struktur sajaknya serta
bahasanya agak berlainan dari penyair lain yang berasal dari Sumatra. Sajak-sajaknya
banyak bernada keagamaan. J.E. Tatengkeng (1907-1968) dilahirkan di Sangihe. Ia
pemeluk agama Kristen yang taat.
Pada tahun 1935 terbit lima buah novel, yaitu novel Katak Hendak Jadi Lembu
karangan Nur St. Iskandar, novel Dewi Rimba masih karya Nur St. Iskandar yang ditulisnya
berdasarkan naskah M. Dahlan Idris, novel Kehilangan Mestika karya Fatimah H. Delais,
novel Pembalasan karya H.S.D. Muntu, dan novel Ni Rawit Ceti Penjual Orang karya I.GN.
Pandji Tisna. Novel Katak Hendak Jadi Lembu menceritakan seorang priyayi Sunda di
Sumedang. Ia bekerja pada kantor pemerintah di sana. (Ia memimpikan kedudukan dan
kehidupan yang jauh di atas jangkauannya. Karena itu, anak istrinya dianggapnya sebagai
beban dan tidak menunjang cita-citanya. Kebahagiaan hidup tidak dirasakannya. Manakala
segala harapannya ternyata gagal, ia hidup menanggung derita dan penyesalan.
Novel Dewi Rimba adalah cerita tentang sepasang muda-mudi yang percintaannya
digagalkan oleh orang tua mereka. Tempat cerita berlangsung di daerah Sumatra Selatan.
Mahluk halus orang bunian turut berperan dalam memecahkan masalah ini. Kedua tokoh
utama berubah wujud, sehingga terlepas dari perkawinan yang hendak dipaksakan oleh
orang tuanya. Peristiwa cerita seperti ini mengingatkan kita pada corak cerita lama.
Novel Kehilangan Mestika adalah rangkaian cerita penderitaan seorang wanita.
Ketika masih remaja Ia mengikuti pendidikan di sekolah guru. Ayahnya mendidiknya
dengan cara yang lebih bebas. Tidak lama kemudian ayahnya meninggal. Setelah ayahnya
meninggal, la pun kehilangan kekasihnya. Guru muda ini menyadari bahwa masyarakatnya
masih belum bisa menerima wanita yang “berdiri sendiri”. Akhirnya, ia mau dikawinkan
dengan laki-laki yang sebenarnya tidak dicintainya. Karena bertahun-tahun tidak juga
mempunyai anak, Ia terpaksa mengizinkan lain.
Cerita novel Pembalasan berlangsung di daerah Goa, Sulawesi Selatan, sekitar tahun
1905, ketika daerah itu mulai dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Dengan demikian,
novel ini tergolong ke dalam novel sejarah. Ceritanya adalah mengenai penghianatan
seorang pembantu terhadap tuannya. Sebelum meninggal, Daeng Mapata berpesan kepada
seorang pembantunya agar mau mengurus kedua anaknya yang masih kecil-kecil beserta
segala harta kekayaan yang akan ditinggalkannya. Pembantu itu menyanggupinya, berpura-
pura setia. Tetapi kenyataannya, Ia malah bersekongkol dengan penyamun untuk
membunuh anak itu, agar bisa menguasai harta warisan yang banyak itu.
Novel Ni Rawit Ceti Penjual Orang adalah cerita yang berlatar belakang masyarakat
Bali. Pengarangnya sendiri memang berasal dari Bali. Novel ini bercerita tentang seorang
ibu yang hidupnya hanya memikirkan materi yang bakal diperolehnya. Sikap dan
perbuatannya itu tanpa disadari telah menjual anak gadisnya sendiri. Nasib malang yang
dialaminya merupakan hukuman atas segala perbuatan buruk yang telah dilakukannya pada
masa lalu. Suasana cerita terasa keras dan kejam, serta terasa adanya kritik pengarang
terhadap beberapa cara dan kepercayaan yang ketika itu masih hidup dalam masyarakat
Bali.
Pada tahun 1936 terbit lima buah buku: 3 buah novel, 2 buah kumpulan sajak.
Ketiga novel itu adalah Sukreni Gadis Bali karangan I.G.N. Pandji Tisna, novel Layar
Terkembang karya St. Takdir Alisjahbana, dan Di bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka.
Kedua kumpulan sajak masing-masing berjudul Tebaran Mega karya St. Takdir
Alisjahbana, dan Kisah Seorang Pengembara karya A. Hasjmy. Novel Sukreni Gadis Bali
adalah novel IG.N. Pandji Tisna yang kedua. Cerita ini juga dengan latar suasana yang sama
dengan novel yang pertama, penuh dengan kekerasan dan petualangan.
Novel Layar Terkembang bercerita tentang dua tokoh wanita kakak beradik, Tuti
dan Maria. Tuti adalah perwujudan gadis berpaham kaum muda modern yang aktif dalam
gerakan kewanitaan. la seorang guru. Kegiatan-kegiatannya di luar tugas utama tidak lain
karena ia merasa terpanggil untuk membela kaumnya. Ia seperti melupakan dirinya sendiri,
yang sebagai wanita muda tentu mendambakan seorang suami. Maria, adiknya, adalah
seorang gadis periang, lincah. Perhatian seperti kakaknya tidak terlihat.
Kedua gadis itu berkenalan dengan Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran. Ia
kemudian jadi kekasih Maria, meskipun sebelumnya ia lebih tertarik kepada Tuti. Mereka
tidak sampai menikah karena Maria jatuh sakit, dan kemudian meninggal. Sebelum
meninggal, Maria pernah berpesan agar Yusuf menikahi Tuti.
Novel Di bawah Lindungan Ka’bah bercerita tentang percintaan yang tersembunyi
antara sepasang muda-mudi yang sudah bersahabat sejak masa anak-anak. Si gadis akhirnya
dikawinkan dengan laki-laki lain, pasangan yang cocok menurut pilihan orang tua. Gadis itu
mula-mula menolak, namun akhirnya luluh hatinya oleh nasihat pemuda yang disayanginya
itu. Pemuda itu kemudian pergi ke Mekah, mencari ketentraman di bawah lindungan kabah.
Ia meninggal di Mekah.
Kumpulan sajak Tebaran Mega merupakan nomor khusus majalah Pujangga Baru.
Dalam sajak-sajaknya ini terasa adanya kebangkitan sebuah semangat. Sajak-sajaknya
tergolong terang, kadang-kadang terasa prosaik.
Kumpulan sajak Kisah Seorang Pengembara berisi 35 buah sajak, kebanyakan
berbentuk soneta dan sajak empat seuntai. lsinya merupakan gambaran pengembaraan
seorang pemuda, melukiskan pengalaman-pengalamannya, menghadapi kesukaran,
kesedihan, kegembiraan.
Pada tahun 1937 terbit tiga buah buku: 2 novel, I kumpulan sajak. Kedua novel itu
adalah Naraka Dun/a karangan Nur St. Iskandar dan Pengaruh Keadaan karangan Selasih.
Kumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah yang pertama.
Novel Naraka Dunia bercerita tentang sebuah keluarga muda di Jakarta yang
hidupnya terancam oleh penyakit kotor. Penderitaan itu sebagai akibat perilaku sang suami
pada masa sebelumnya. Ketegangan terlukis dari rasa takut dan khawatir yang menghantui
kehidupan mereka.
Novel Pengaruh Keadaan bercerita di tanah Sumatra. Cerita dimulai dengan
rangkaian kesengsaraan dan kemalangan gadis Yusnani yang hidupnya di bawah tekanan
ibu tirinya. Keadaan itu berubah karena kemudian gadis itu diambil oleh saudaranya, serta
ditolong oleh Syahruddin sahabat saudaranya itu. Yusnani akhirnya menikah dengan
pemuda penolong itu.
Kumpulan sajak Nyanyi Sunyi berlatarbelakangkan pengalaman hidup Amir
Hamzah sendiri. Ia terpaksa meninggalkan studinya, meninggalkan teman-temannya
sepergerakan, meninggalkan Pulau Jawa, dan konon juga kekasihnya, karena Ia harus
pulang ke Langkat. Rasa kesunyian itu rupanya yang kemudian mendorong timbulnya
renungan-renungan mendalam. Sebuah di antaranya dipetik di bawah ini.

Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau petik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - - bukan giliranku
Mati hari -- bukan kawanku...

Pada tahun 1938 terbit lima buah buku: 4 buah novel, I buah kumpulan cerita
pendek. Keempat buah novel itu adalah I Swasta setahun di Bedahulu dan Dewi Karuna,
keduanya karangan l.G.N. Pandji Trisna, novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan
Karena Fitnah, kedua-duanya karangan Hamka. Kumpulan cerita pendek yang diterbitkan
itu benjudul Kawan Bergelut karya Suman Hs.
Novel I Swasta Setahun di Bedahulu merupakan novel ketiga dari l.G.N. Padji
Trisna. Novel ini bercerita tentang kehidupan Bali pada abad kesepuluh. Karena itu, dapat
digolongkan sebagai novel sejarah. Akan tetapi, keadaan masyarakat jaman itu tidak
tergambarkan. Novel ini adalah sebuah cerita percintaan. Tokoh I Swasta, keturunan
Manorbawa, terpaksa harus mengalah terhadap I Lastya dalam memperebutkan gadis I
Nogati. Kekalahan ini sebagai akibat peristiwa masa lalu. Manorbawa diceritakan pernah
merebut Kekasih I Kulup Bok, leluhur I Lastya. Dosa Kakeknya terpaksa harus ditebus
dengan pengorbanan I Swasta. Hukum karma seperti tidak pernah lengah dengan
kekuasaannya.
Novel Dewi Karuna atau Dewi Karuna, Salah Satu Jalan Pengembara adalah sebuah
novel pendek yang diterbitkan di Medan. Novel ini adalah sebuah cerita alegoris mengenai
kehidupan seorang manusia : Perjuangan hidupnya, berbagai godaan, serta tanggung
jawabnya. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk adalah cerita tentang seorang pemuda
yang berayah orang Minangkabau, ibunya dari Makasar. Manakala Ia datang ke tanah
leluhur ayahnya, ternyata Ia hanya dianggap sebagai anak pisang. Lingkungan
masyarakatnya tidak menerima sepenuhnya, padahal selama berada di sana Ia telah
menjalin percintaan dengan seorang gadis. Akhirnya ia terpaksa pergi, meninggalkan
gadisnya dari tanah leluhur ayahnya. Gadis yang dicintainya itu mengalami musibah, kapal
laut yang ditumpanginya tenggelam. Tahun 1962 timbul tuduhan bahwa cerita ini hasil
plagiat dari cerita berbahasa Arab karya Mustafa Luthfi al-Manfaluthi pengarang Arab-
Mesir. Mustafa sendiri menyadur cerita ini dari karya Jean Baptiste Alphonse Karr
pengarang Prancis.
Novel Karena Fitnah adalah cerita memilukan tentang seorang perempuan
Minangkabau. Ia difitnah dan dipaksa harus meninggalkan kampung halamanya. Akhirnya
sampai ke Jawa dengan segala penderitaan yang harus dialaminya. Secara langsung, atau
tidak langsung, dalam cerita ini terasa kritik pengarang atas adat yang menjadi tradisi
masyarakat pada masa itu.
Judul Kawan Bergelut untuk kumpulan cerita pendek ini menyiratkan bahwa cerpen-
cerpen yang terdapat di dalamnya bernada segar, mengajak bercanda, atau sekalipun berisi
kritik adalah sindiran yang tidak menyakitkan. Gaya bahasa Suman Hs. dalam buku ini
terasa lebih lincah dan lebih hidup, sama seperti dalam karya-karyanya yang lain.
Pada tahun 1939 terbit sepuluh buah buku: 6 buah cerita novel, 4 buah kumpulan
sajak. Keenam novel itu adalah Cincin Stempel karangan Ardi Soma, Menjaga Kehormatan
karya Sh. Dwarsoprasonto. Tebusan Darah novel karya Suman Hs. yang kelima, novel Tuan
Direktur dan Merantau ke Deli keduanya karya Hamka, dan Zaman Gemilang karangan
Matu Mona. Keempat kumpulan sajak itu adalah Jiwa berjiwa karya Armijn Pane, Pantun
orang Muda dan Sebab Aku Terdiam - keduanya karya Or. Mandank dan Setanggi Timur
kumpulan sajak terjemahan Amir Hamzah.
Cerita Cincin Stempel juga adalah cerita yang terjadi di lingkungan masyarakat
Minangkabau. Seorang guru muda terpaksa menikahi gadis yang tidak dicintainya karena ia
harus membayar jasa orang-orang yang telah membiayainya semasa Ia sekolah. Perkawinan
itu tidak membawa kebahagiaan. Sang guru berpendapatan kecil, sementara istrinya
mengharapkan kehidupan serba ada. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun tiga puluhan
menyebabkan mereka terpaksa bercerai. Setelah melalui berbagai peristiwa lagi, guru muda
itu akhirnya menikah dengan gadis yang dahulu pernah dicintainya.
Novel Menjaga Kehormatan adalah cerita tentang seorang gadis yang terpaksa hidup
menyembunyikan diri untuk menjaga kehormatannya. Akhirnya Ia ditemukan serta
diselamatkan oleh kekasihnya yang baik budi.
Novel Tebusan Daerah adalah karya Suman Hs yang kelima. Buku ini diterbitkan
bukan oleh Balai Pustaka.
Novel Tuai Direktur bercerita mengenai perbedaan atau petentangan antara dua
tokoh. Yang satu adalah seorang pengusaha yang selalu kerja keras, dan yang paling
penting adalah uang dan kekayaan. Yang satu lagi adalah seorang muslim yang bijak,
bernarna Yasin. Ia berusaha membina masyarakat yang taat akan ajaran agama, masyarakat
yang merdeka. Tokoh pertama merupakan korban ambisinya, sementara kehidupan Yasin
bertambah baik.
Dalam novel Merantau ke Deli Hamka bercerita tentang tokoh Leman, pemuda
Minangkabau, yang menikah dengan Poniem gadis Jawa. Keluarga ini berangsur sukses
dalam usahanya, terutama karena peranan istri yang mau bekerja keras penuh semangat.
Tetapi kemudian, rumah tangga mereka menjadi berantakan. Leman dipanggil pulang ke
kampung halamannya untuk dikawinkan dengan seorang gadis yang bersifat egois. Poniem
kemudian menikah dengan salah seorang pegawainya yang dulu bekerja pada Leman.
Mereka memulai lagi membuka usahanya dengan penuh perjuangan. Sementara itu, Leman
mengalami kegagalan hidup. Di sini terlihat kritik halus Hamka akan adat berjodoh yang
sedang dipertahankan oleh kaum tua di Iingkungan masyarakatnya.
Novel Zaman Gemilang karya Matu Mona diterbitkan di Medan. Ceritanya
berlatarbelakangkan peristiwa sejarah, pada masa jaya Hindu Budha di Indonesia, kerajaan
Majapahit. Matu Mona adalah nama samaran Hasbullah Parinduri (lahir tahun 1910 di
Medam). Ia seorang wartawan.
Kumpulan sajak Pantun Orang Muda dan Sebab Aku Terdiam adalah karya Or.
Mandank. Ia adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki,
tanggal 1 Januari 1913). Sajak-sajaknya dalam kumpulan yang kedua banyak menyindir
kelakuan sebagian ulama. Apa yang mereka kerjakan sering berlainan dengan petuah-
petuahnya sendiri. Or Mandank seperti merasa berkewajiban untuk mengingat pars
pemimpin. Tetapi sarannya tidak terlalu jelas.
Kumpulan sajak Setanggi Timur bukan karya asli Amir Hamzah, melainkan
terjernahan, Sajak-sajak yang diterjemahkannya adalah dari negeri-negeri timur, yang
bernafaskan timur pula, misalnya dari Jepang, India, Arab, Persia.
Kumpulan sajak Jiwa Berjiwa karya Armijn Pane sebenarnya tidak terbit berupa
buku, melairikan sebagai nomor istimewa majalah Pujangga Baru. Sebuah kumpulan sajak
lainnya karya Armijn Pane diterbitkan jauh lebih kemudian (1960) dengan judul Gemelan
Jiwa.
Pada tahun 1940 terbit enam buah buku: 2 bush novel, I buah kumpulan cerita
pendek, 2 buah cerita drama, dan I buah kumpulan sajak. Kedua novel itu adalah Karena
Anak Kandung karangan M. Enni, dan novel Belenggu karya Armijn Pane. Kumpulan
cerita pendek yang terbit adalah di dalam Lembah Kehidupaan karangan Hamka. Kedua
buah buku cerita drama adalah Pembalasannya karya Saadah Alim dan Manusia Baru karya
Sanusi Pane. Dari kumpulan sajak yang terbit itu adalah Dewan Sajak karya A. Hasjmy.
Novel Karena Anak Kandung bercerita dengan latar masyarakat Minangkabau.
Sebuah keluarga yang bahagia menjadi berantakan karena sang istri terhasut orang lain yang
masih kerabatnya. Ia memimpikan kehidupan yang berlimpah kekayaan, sementara sang
suami berbekal kesabaran dan kejujuran. Tekanan yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi
menyebabkan mereka bercerai. Tetapi kemudian, Si istri menyesali kesalahannya serta
menyadari bahwa perbuatannya itu telah menyengsarakan kehidupan anaknya. Suaminya
tidak mau mengambilnya kembali. Walaupun ada kesempatan, ia tidak juga mau
memperistri gadis yang dahulu pernah dicintainya sebelum Ia menikah.
Novel Belenggu mula-mula dimulai dalam majalah Pujangga Baru. Pada saat mulai
diterbitkannya cerita ini mendapat reaksi pro dan kontra. Belenggu bercerita tentang sebuah
rumah tangga yang berakhir dengan keretakan. Dokter Sukartono merasa kurang mendapat
perhatian dari istrinya sehingga Ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Sebaliknya,
istrinya pun merasa dirinya diabaikan oleh suaminya. Pengolahan permainan rasa amat kuat
dalam cerita ini. lstrinya, Tini, berusaha untuk mengubah sikapnya. Sementara itu, hati
suaminya sudah mulai terbahagiakan oleh perempuan lain. Cerita berakhir dengan
perpisahan di antara ketiga tokoh itu. Novel ini dianggap novel yang paling berhasil dari
pengarangnya, serta paling penting pada periode ini.
Kumpulan cerita pendek Di dalam Lembah Kehidupan menunjukkan sebuah
keahilian lain dari pengarang Hamka, yang namanya sebenarnya lebih dikenal sebagai
penulis novel. Pengarang ini sebenarnya tidak dibesarkan dengan pendidikan barat.
Kemampuan dan minatnya lebih banyak terbentuk oleh pengaruh sastra Arab modern.
Cerita Pembalasannya adalah sebuah komedi pendek. Temanya adalah perkawinan
yang dipaksakan oleh pihak orang tua terhadap anaknya. Saadah Aiim, pengarangnya, juga
menulis cerita pendek.
Cerita drama Manusia Baru karya Sanusi Pane agak berlainan dengan drama-drama
lainnya, terutama dalam suasananya. Tempat peristiwanya adalah di India, menyajikan
problem sosial, hubungan antara buruh dan pimpinan, serta tanggung jawab seseorang
dalam kedua sisi itu. Drama ini merupakan wadah pengarang tentang gagasannya mengenai
Timur dan Barat. Dalam hubungan itu, kita bisa memahami bila drama ini tergolong kloset
drama; untuk dibaca, agak sulit dipanggungkan.
Kumpulan sajak Dewan Sajak adalah buku A. Hasjmy yang kedua. Kumpulan sajak
ini dibagi atas tujuh bagian. Setiap bagian memuat sajak-sajak yang memiliki suasana dan
motif yang sama. A. Hasjmy banyak menulis sajak, yang dimuatnya dalam majalah-
majalah. Tahun 1941 terbit sembilan buah buku: 3 buah novel, 1 buah kumpulan cerita
pendek, 4 kumpulan sajak atau puisi, dan 1 cerita drama. Ketiga novel tersebut adalah
Andang Teruna karya Soetomo Djauhar Arifin, Karena Kerendahan Budi karya H.S.D.
Muntu, dan Cinta dan Kewajiban karya L. Wairata yang disunting oleh Nur St. Iskandar.
Kumpulan cerita pendek berjudul Taman Pen ghibur Hati karya Saadah Alim. Kumpulan
sajak atau puisi yang terbit adalah Buah Rindu karya Amir Hamzah, Senandung Hidup
karya Samadi, Kata Hati karya Rifa’i Ali, dan Puisi Lama sebuah antologi puisi lama yang
dikumpulkan dan dibicarakan oleh St. Takdir Alisjahbana.
Novel Andang Teruna bercerita tentang seorang pemuda Jawa yang berpendidikan
modern. Tokoh ini mengalami dua kali gagal dalam bercinta dengan gadis pilihannya.
Akhirnya ia menemukan segala sifat yang diidamkannya itu pada gadis yang telah menjadi
saudara angkatnya. Dalam cerita ini terlihat, contoh adaptasi nilai-nilai budaya tradisional
dengan kehidupan modern. Orang tua tampak lebih bijak daripada anak muda.
Novel Karena Kerendahan Budi adalah cerita yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Gadis Nuripah yang sedang bersekolah di Jakarta dipanggil pulang oleh orang tuannya
untuk dikawinkan dengan Arung Maflawa, seorang kepala daerah. Tokoh Arung Mallawa
yang sudah berusia tua ini memiliki watak yang kuat. Serta berpegang teguh pada moral
tradisi. Rumah tangga mereka berantakan. Sang istri merasa lebih terpelajar, kehidupannya
dirasakan tidak cocok dengan tingkat pendidikan yang telah diterimanya. Ia meninggalkan
suaminya, tetapi kehidupannya kemudian lebih menyulitkan, sampai akhirnya membuat ia
terjerumus ke dalam kehidupan yang hina.
Novel Cinta dan Kewajiban adalah cerita tentang gadis Annie yang penyabar, yang
selalu dengan setia mendampingi ibunya. Dari ibunyalah ia memperoleh pendidikan
kemuliaan hati. Pada akhirnya gadis ini mendapatkan kebahagian setelah melewati pelbagai
penderitaan.
Kumpulan cerita pendek Taman Penghibur Hati berisi cerita-cerita yang bernada
mempermasalahkan perubahan kehidupan pergaulan. Pengarangnya cenderung berpihak
kepada mempertahankan tradisi dan adat lama.
Buah Rindu adalah salah satu kumpulan sajak Amir Hamzah. Sajak-sajak yang
terkumpul dalam buku ini diduga ditulis lebih dahulu daripada dalam Nyanyi Sunyi.
Bagaimana kemampuan Amir Hamzah dalam merakit kekayaan purwakanti serta
keunggulan imajinya terlihat pada sajak berikut.
Berdiri Aku

Berdiri aku di senja senyap


Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju
Karya Samadi berjudul Senandung Hidup diterbitkan di Medan. Samadi adalah
nama samaran. Nama sebenarnya Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November
1918). Ia pernah lama menjadi kepala sekolah, kemudian juga bekerja sebagai redaktur
majalah. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam buku ini ditulisnya antara tahun 1935-1941.
Dalam sajak-sajaknya itu tak pernah terlepas nada keagamaan. Sebuah contoh dipetik di
bawah ini.

Betapa Gerang Akan Jadinya?

Betapa gerang akan jadinya,


Bila sedang bersuka ria
Nyawa pun cerai dari badan,
Sedang lupa kepada Tuhan.
Sebab ajal tiadalah tentu,
Boleh tiba sebarang waktu.
Betapa gerang akan jadinya,
Bila durhaka di atas dunia,
Mabuk membilang-bilang rela
Gila dilambung gelombang alpa,
Bukankah neraka putusan diri,
Di negeri baka kemudian hari?

Kumpulan sajak Kata Hati berisi sajak-sajak yang berlandaskan agama (Islam).
Rifa’i Ali, pengarangnya, lahir di Padang Panjang pada tahun 1909. Isi sajak-sajaknya
menanggapi kehidupan modern, serta memperbandingkannya dengan ajaran agama.
Dalam buku Puisi Lama St. Takdir Alisjahbana menghimpun dan membicarakan
puisi lama. Ia menandaskan puisi lama sebagai pancaran masyarakat lama, dan puisi baru
sebagai pancaran masyarakat baru. Terjadinya perubahan pada masyarakat akan
menimbulkan perubahan pula pada sastranya.
Cerita drama Gadis Modern adalah sebuah komedi ringan. Cerita itu berpangkal
pada tema konvensional, kekeliruan dalam masalah cinta.
Berdasar pada daftar karya di atas, diketahui bahwa jumlah karya yang dihasilkan
pada periode 1933-1942 ini tidak kurang dari 48 judul. Jumlah ini tidak terlalu menyolok
peningkatannya bila dibandingkan dengan jumlah karya yang dihasilkan pada periode 1900-
1933. Dan 48 judul buku itu 29 buah di antaranya berbentuk novel, 13 buah kumpulan
cerita drama.
Dalam hubungan ini, yang perlu mendapat perhatian adalah meningkatnya jumlah
kumpulan sajak dan munculnya kumpulan cerita pendek. Gejala ini ada hubungannya
dengan makin besarnya peranan majalah sebagai media karya sastra pada masa itu. Majalah
merupakan media yang lebih cepat untuk menyajikan karya-karya baru bila dibandingkan
dengan penerbitan buku. Bentuk karangan yang paling cocok untuk dimuat dalam media itu
adalah cerita pendek dan sajak. Dari segi ini, antara lain, kita bisa memahami mengapa pada
periode ini penulisan karya sastra dalam bentuk sajak berkembang pesat.
Para pengarang yang berkarya pada periode ini tidak kurang dari 28 orang, Berturut-
turut adalah (disusun menurut alfabet) A. Hasjmy, Adlin Affandi, Aman Dt. Madjoindo,
Armijn Pane, Amir Hamzah, Ardi Soma, Fatimah H. Delais, Hamka, H.S.D. Muntu, l.G.N.
Pandji Trisna, J.E. Tatengkeng, I. Wairata, M. Enri, Matu Mona, Muhamad Yamin, Nur St.
Iskandar, Or. Mandank, Rifa,i Ali, Saadah Alim, Samadi, Sanusi Pane, Selasih, Sh.
Dwarsoprasonto, Soetomo Djauhar Arifin, St. Takdir Alisjahbana, dan Suman Hs. Dari
daftar itu terlihat bahwa di antara nama-nama itu adalah pengarang-pengarang yang sudah
aktif pada periode sebelumnya.
Sebuah “perkembangan” dalam segi ini adalah bahwa para pengarang baru sudah
mulai muncul dari luar lingkungan Sumatra. Sejalan dengan itu, tema-tema cerita pun mulai
menunjukkan warna lain.
Menurut Takdir Alisjahbana, istilah Indonesia telah dipergunakan secara luas dengan
pengertian yang kabur sehingga tidak secara tegas menunjuk pada semangat keindonesiaan
yang baru sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Keindonesiaan baru itu
tumbuh setelah bangsa atau masyarakat Nusantara bertemu dengan kebudayaan Barat yang
ditandai dengan kesadaran kaum intelektual untuk membangun suatu kehidupan baru yang
semangatnya berbeda dengan masa lampau sebelum abad ke-19 yang disebutnya sebagai
pra-Indonesia, bahkan disebut sebagai zaman jahilliah keindonesiaan yang hanya mengenal
sejarah Oost Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah Banjarmasin, dan
lain-lain. Takdir Alisjahbana menegaskan bahwa pandu-pandu kebudayaan Indonesia harus
bebas dari zaman pra-Indonesia agar tidak timbul perselisihan tentang landasannya, apakah
Melayu, Jawa, dan sebagainya. Semangat keindonesiaan yang baru itu seharusnya berkiblat
ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa intelektualnya sehingga wajahnya berbeda
dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesia.

Pendapat yang teoretis dan idealis itu dikritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa
keindonesiaan itu sebenarnya sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni.
Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu
sebenarnya sudah ada walaupun belum terwujud. Sanusi Pane berpendapat bahwa
kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk kehidupan jasmani tidak
dengan sendirinya istmewa karena terbentuk oleh tantangan alam yang keras sehingga
orang harus berpikir dan bekerja keras juga. Sementara itu, kebudayaan Timur pun memiliki
keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani karena urusan jasmani sudah
dimanjakan oleh alam yang serba berlimpah. Tawaran Sanusi Pane adalah mempertemukan
semangat intelektual Barat dengan semangat kerohanian Timur seperti mempertemukan
Faust dengan Arjuna.
Pendapat tersebut di mata Takdir Alisjahbana masih kabur dalam soal istilah Indonesia
karena Sanusi Pane dianggap mencampuradukkan arti Indonesia yang dipakai ahli ilmu
bangsa-bangsa (etnologi) dengan konsep yang dipakai kaum politik di awal kebangkitan
nasional. Takdir menegaskan bahwa di zaman Majapahit, Diponegoro, Teuku Umar, belum
ada keindonesiaan yang disadari oleh masyarakat.
Sementara itu, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sumbangan kesejarahan itu sudah ada
dan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang jalannya sejarah
sehingga orang bisa menengok ke belakang sebagai landasan mengatur hari-hari yang akan
datang.
Dengan pandangan yang segar mereka tampil sebagai pemikir-pemikir kebudayaan
Indonesia baru, termasuk kesusastraan, sehingga membedakan posisinya dengan para tokoh
yang telah lebih dahulu menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Oleh karena itu, wajar
apabila kemudian mereka disebut Angkatan Pujangga Baru sebab mereka memiliki
kesamaan visi atau pandangan tentang kesusastraan yang menawarkan nilai-nilai baru
dengan gaya bahasa yang memperlihatkan potensi perseorangan.

5.3 Para Pengarang

Di bawah ini disajikan keterangan singkat tentang beberapa orang pengarang pada
periode ini.
Aman Dt. Mojoindo dilahirkan pada tahun 1896 di Solok, Sumatra Barat. Ia bekerja
beberapa tahun sebagai guru, kemudian pindah ke Balai Pustaka di Jakarta. Mula-mula
sebagai korektor, kemudian sebagai redaktur, sampai pensiun dari sana. Ia menulis beberapa
novel, tetapi lebih dikenal sebagai penulis anak-anak.
Armijn Pane adalah saudara kandung Sanusi Pane. Ia dilahirkan pada tahun 1908.
Tahun 1923 Ia masuk sekolah kedokteran, kemudian pindah mempelajari bahasa dan satra
Barat. di Solo. Ia aktif di surat kabar dan pergerakan kebangsaan. Bersama St. Takdir
Alihsjahbana dan Amir Hamzah, Ia menerbitkan majalah Pujangga Baru. Selain menulis
novel Belenggu yang membuat namanya terkenal, ia juga menulis kumpulan cerita pendek
Kisah Antara Manusia pada tahun 1953, menerbitkan cerita drama Jinak-jinak Merpati pada
tahun 1954, dari kumpulan puisi Gamelan Jiwa pada tahun 1960.
Amir Hamzah (1911-1946) adalah keturunan bangsawan Langkat di Sumatra Timur.
Ia menuntut ilmu di Fakuftas Hukum di Pulau Jawa, dibiayai oleh pamannya yang menjadi
Sultan Langkat. Ia aktif dalam gerakan kebangsaan. Bersama Armijn Pane dan St. Takdir
Alisjahbana, Ia menerbitkan majalah Pujangga Baru. Sebelum menyelesaikan studinya, Ia
dipanggil pulang ke Langkat untuk dikawinkan dengan putri kesultanan. Ketika terjadi
revolusi sosial di sana, pada tahun 1946, Amir Hamzah diculik kemudian dibunuh. Ia
tergolong penyair religius. Karena karya-karyanya Ia dijuluki “ Raja Penyair Pujangga Baru
“.
Hamka adalah inisial dari nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Pendidikannya hanya sampai kelas II sekolah dasar, tetapi kemudian ia mendapat
pendidikan agama bahasa Arab Sumatra Thawalib, di Bukittinggi, dan dari ayahnya. Tahun
1924 Hamka pergi ke Jawa, belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya.
Tahun 1927 Ia naik haji ke Mekkah. Sepulang dari sana menjadi guru agama di Padang,
turut pula memimpin pergerakan Muhammadiyah. Selama tinggal di Medan Ia aktif dalam
bidang jurnalistik.
H.S.D. Muntu nama lengkapnya adalah Haji Said Daeng Muntu. Ia adalah
pemimpin Muhammadiyah yang terkenal di Sulawesi. Ketika masih kecil, ia pernah
dibuang oleh pemerintah jajahan Belanda ke Sumatra Barat. IGN. Pandji Trisna nama
Iengkapnya adalah I Gusti yoman Pandji Trisna. Namanya kemudian adalah Anak Agung
Pandji Trisna. Ia adalah anak bangsawan Bali, dilahirkan di Singaraja pada tahun 1908.
Kemudian ia memeluk agama Kristen.

Anda mungkin juga menyukai