Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KELOMPOK 4

SASTRA ANGKATAN TAHUN 50 AN

Dosen pengampu Drs. Saharudin Barasandji, M.Pd

Disusun oleh :

Nurmadina_A40120243

Muh Hafidz Abrar_A40120227

Fitri A. Pongga_A40120253

Aldions potoe_A40120264

Fatin nabila_A40120242

Intan nuri yana_A40120352

Widya ningsih_A40120240

Hartati_A40120221

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2020
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pada tahun 1950-an, ada orang yang mengatakan bahwa ada krisis kesusastraan. Namun, ada
juga orang yang mengatakan bahwa tidak ada krisis kesusastraan. Orang tidak akan
mengatakan ada yang tidak dilihatnya ada, atau yang menurut anggapannya tak ada. Adanya
kebenaran pada kedua pihak yang bertentangan dengan itu, ternyata pula dari bukti-bukti
yang masing-masing dapat dikemukakan.

Dalam angkatan 50-an  terdapat banyak perbedaan pendapat dari tokoh-tokoh angkatan itu.
Perbedaan pandangan, prinsip, bahkan ada atau tidaknya krisis kesusastraan pada saat itu
perlu ditemukan dan dibahas kembali.

Perkembangan sastra Indonesia periode 1953-1961 adalah Masa Perkembangan, menurut


Ajip Rosidi. Olehnya, pembabakan ini digunakan istilah periode dan bukan angkatan karena
terdapat kekacauan dalam penggunaan istilah angkatan. Dalam periode 1953-1961 terdapat
beberapa gejolak sastra yang salah satu di antaranya merupakan istilah atau sebutan Angkatan
Terbaru pada masa itu.

TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan perkembangan dunia sastra pada tahun
1950-an yang di kala itu terdapat berbagai masalah yang berpengaruh pada kehidupan sastra
pada masa itu. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas
kuliah Perkembangan Sastra Indonesia.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perkembangan dunia sastra pada masa itu?


2. Bagaimana penjelasan tentang masalah-masalah sastra pada masa itu?
BAB II

PERISTIWA DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA

TAHUN 1950-AN

Krisis Sastra Indonesia

Lingkungan kebudayaan Gelanggang Seniman Merdeka mulai kehilangan vitalitasnya setelah


Chairil Anwar meninggal dunia. Dua orang, Asrul Sani dan Rivai Apin, yang diharapkan
dapat melanjutkan kepeloporan Chairil Anwar justru menjadi pasif dalam berkarya.

Pada saat itu pula, situasi nasional memburuk. Banyak pemimpin yang mulai kehilangan
semangat mengisi kemerdekaan. Keberanian untuk korupsi dan manipulasi mulai mengotori
pikiran dan tindakan para pemimpin. Kepentingan golongan pun mulai ditonjolkan.

Pada April  1952 diselenggarakan sebuah simposium tentang kesulitan-kesulitan zaman


peralihan sekarang di Jakarta. Simposium ini diselenggarakan oleh golongan-golongan
kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan Pujangga Baru.
Beberapa di antara pembicaranya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, M. Said, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, dan St. Sjahrir. Dalam simposium itu
dilontarkan istilah krisis akhlak, dan krisis ekonomi.

Pada tahun berikutnya, 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah simposium tentang


kesusastraan Indonesia. Asrul Sani, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Prof. Dr. Wertheim
bebicara pada simposium itu. Di sinilah untuk pertama kali dibicarakan impasse (kemacetan)
dan krisis sastra Indonesia sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia. Persoalan tentang
krisis pun semakin ramai dibicarakan ketika terbit majalah Konfrontasi pada pertengahan
tahun 1954. Soedjatmoko menulis sebuah esai yang berjudul Mengapa Konfrontasi dan
dimuat di majalah tersebut. Dalam esainya ia melihat tanda-tanda bahwa krisis dalam sastra
sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia juga berkata bahwa sastra Indonesia
mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil, sedangkan roman-roman
besar tiada ditulis.

Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, dan Boejoeng Saleh secara tandas menolak penamaan
krisis sastra. Bagi mereka sastra Indonesia sedang hidup dengan subur. Begitu juga H.B.
Jassin mengemukakan sebuah prasaran berjudul Kesusastraan Indonesia Modern Tidak Ada
Krisis dalam simposium sastra pada Desember 1954. Jassin tidak setuju dengan
sebutan impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.

Sitor Situmorang pun berpendapat bahwa sastra Indonesia bukan mengalami krisis sastra,
melainkan krisis ukuran menilai sastra. Pendapat itu ia kemukakan dalam sebuah tulisannya
yang berjudul Krisis H.B. Jasssin di majalah Mimbar Indonesia pada 1955. Sitor menganggap
krisis dalam  diri H.B. Jassin karena ukurannya tidak matang. Pada masa ini pula banyak
pengarang yang meragukan kualitas penilaian H.B. Jassin. Hal tersebut sangat terlihat dari
beberapa penolakan hadiah dari penerima hadiah yang diberikan oleh majalah Sastra  yang
saat itu H.B. Jassin sebagai juri pemberian hadiah. Mereka, di antaranya adalah Motinggo
Boesje dan Virga Belan, melakukan penolakan atas hadiah yang diberikan oleh Sastra.

Penolakan itu mereka sampaikan dengan surat yang ditujukan kepada ketua redaksi Sastra,
H.B. Jassin. Motinggo Boesje yang kala itu menjadi pemenang kedua untuk jenis cerpen
mengatakan H.B. Jassin secara sadar atau tidak sadar memberikan hadiah seperti orang
pulang dari rumah judi dalam keadaan mengantuk. Boesje juga berkata bahwa penolakan itu
merupakan isyarat agar Jassin bangun dari kantuknya, terutama adar sastra Indonesia,
sastrawan Indonesia, para sarjana kaum intelektual sastra bangun dari kantuknya untuk
melihat kenyataan dan hari depan sastra Indonesia pada tujuaannya.

Sastra Majalah

Sejak tahun 1953, Balai Pustaka kedudukannya tidak menetu. Penerbit ini berkali-kali
mengalami perubahan status. Ditambah lagi, penempatan pimpinan yang bukan ahli serta
anggaran yang tidak mencukupi, menyebabkan kemacetan produksi. Oleh karena itu,
aktivitas sastra terutama hanya dalam maja;ah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar
Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru.

Karangan-karangan yang dapat dimuat pun akhirnya hanya dalam bentuk sajak, cerpen, dan
karangan lain yang tidak begitu panjang sesuai kebutuhan majalah. Para pengarang pun lebih
produktif berkarya di sektor tersebut. Keadaan seperti itu menyebabkan munculnya istilah
sastra majalah yang pertama kali dipopulerkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya
Situasi 1954 yang dimuat di majalah yang dipimpinnya, Kompas.

Para pengarang setelah Angkatan 45 menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak


menguntungkan kehadirannya. Meskipun mendapat tempat di halaman-halaman majalah,
ruang kreativitas mereka tetap terbatas, terutama untuk mencari identifikasi diri dan kawan-
kawannya. Hal itu disebabkan oleh redaksi majalah-majalah pada saat itu dipimpin oleh para
pengarang Angkatan 45.
Majalah Kisah yang eksis pada 1953 hingga 1956 memiliki peranan cukup besar karena
banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang
berawal dalam majalah ini. Selain itu, terdapat majalah mahasiswa Kompas yang setelah
dipimpin oleh Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan
dan karya-karya sastra. Kemudian, ada majalah Prosa pimpinan Ajip Rosidi, ruangan
kebudayaan Genta dalam majalah Merdeka asuhan S.M. Ardan, majalah Seni,
majalah Konfrontasi, majalah  Tjerita,  dan majaah Budaya serta beberapa majalah yang
sudah lama, seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, dan Indonesia.

Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia

Istilah Angkatan Terbaru muncul pada tahun 1960. Beberapa pendapat mengatakan istilah ini
mencuat disebabkan oleh Ajip Rosidi yang memberikan prasaran Sumbangan Angkatan
Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia di dalam
Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa 1960. Padahal, di dalam prasaran itu telah
Ajip kemukakan dengan tegas bahwa judul prasaran dan istilah Angkatan Terbaru adalah
perumusan pihak panitia simposium, tepatnya orang itu adalah Nugraha Notosusanto. Secara
eksplisit pun Nugroho pernah mengemukakan pendapatnya mengenai soal krisis dalam
kesusastraan Indonesia dengan kelahiran angkatan baru sesudah Angkatan 45 dalam sebuah
karangan yang ditujukan kepada sahabatnya, Ramadhan K.H

Manipol di Kongres BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional)

Dalam kongres BMKN bulan Juli 1960 di Bandung, tercatat merupakan kongres terakhir,
Orang-orang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mengajukan sebuah usul resolusi yang
intinya agar BMKN menerima Manipol (Manifesto Politik) dan Usdek sebagai landasan
kegiatan kerjanya di masa depan.

Heboh masalah usul resolusi seputar Manipol membawa dampak yang menarik perhatian dari
para peserta kongres. Pada sidang terakhir pleno Kongres BMKN 1960 beredar selebaran
stensilan berbentuk sebuah puisi. Ini merupakan usul resolusi lain mengenai Manipol dan
Usdek yang telah diajukan kepada sidang rapat pleno. Resolusi dalam Puisi ditandatangani
oleh lima penyair, yaitu Dodong Djiwapradja, Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Toto Sudarto
Bachtiar, dan Saini K.M.

Tokoh dan Peran Tokoh

Iwan Simatupang menunjukkan tren baru dan membawa udara baru bagi dunia sastra, dengan
memperlihatkan corak yang unik dengan pemikiran yang bernas dan orisinal. Warta
Harian edisi 5 Agustus 1970 menulis Pribadinya penuh idealisme bahkan optimisme, tetapi
dalam hidupnya sering menunjukkan paradoks dengan jalan pemikirannya sendiri.

Iwan Simatupang gagal menjadi dokter dan tidak jadi rahib juga, walaupun dia pintar dan
jenius, itu menjadi inspirasi dan dituangkan ke novel Merahnya Merah.

Pada Juni 1953 dilaksanakan simposium di Amsterdam tentang kemunduran, impas, krisis
dalam seni dan kesusastraan. Berbeda dengan eksistensi Pramoedya Ananta Toer yang
sedang meningkat dengan penerbitan buku-bukunya.karyanya mendapat hadiah pertama
sayembara yang diadakan Balai Pustaka, Dia jang Menjerah, yang diterbitkan ole Pustaka
Rakyat, Pertjikan Revolusi, Gapura.

Aris Siswo adalah pengarang cerita pendek yang pandai menggunakan peristilahan-
peristilahan dari dunia penerbangan (Majalah Kisah 1954), selain istilah-istilah ilmiah juga
banyak istilah musik, seni lukis dan lain-lain. Banyak pula metafor baru dibentuk dari
peristilahan cabang-cabang kesenian tersebut.

Pada tahun 50-an, filsafat barat dan timur berpengaruh pada kebudayaan Indonesia baru.
Keduanya membentuk pandangan hidup yang diperlukan manusia. Ini disebabkan oleh
keterbukaan dan kesempatan yang diberikan kepada keduanya untuk berkembang di
Indonesia. Kedua filsafat menyebabkan pendangkalan, yaitu tidak adanya hubungan dengan
Tuhan, hingga kesusastraan hanya berupa lukisan manusia sebagai manusia.

Dalam karangannya Ke Mana Arah Perkembangan Puisi Indonesia dalam Bahasa dan


Budaya Th.II Nomor2, Desember 1953, Slametmuljono menganggap dengan positif filsafat
eksistensialisme yang mempengaruhi kesusastraan Indonesia satu bahaya. Kata
Slametmuljono, filsafat ekstensialisme memutuskan hubungan manusia denga Tuhan, yang
berakibatny adalah kedangkalan hidup.

Rosihan Anwar dalam tajukrencana Pedoman 7 Desember 1954 mengatakan bahwa H.B


Jassin memujikan pengarang-pengarang baru yang banyak memberi harapan dan menarik
batas pemisah antara pengarang-pengarang baru itu dengan angkatan pengarang sebelumnya.

H.B. Jassin menyatakan bahwa Nugroho yang menerangkan pembagian 45-50 dan 50-54
dalam majalah Kompas. Dinyatakan bahwa tahun 50-51-52 diduga dimaksudkan oleh
simposium di Amsterdam  ditandai oleh krisis, tahun-tahun yang dimaksudkan melahirkan
hasil-hasil, juga tahun-tahun sesudahnya, baik yang berupa buku maupun yang termuat di
majalah-majalah. H.B. Jassin tidak membandingkan tahun-tahun sesudah 50 dan sebelum 50,
satu hal yang disesalkan oleh Beb Vuyk. Rosihan mengatakan alangkah tepatnya peralihan
dari satu angkatan ke angkatan berikut, seolah H.B. Jassinlah yang menentukan angkatan.
Angkatan maupun pengarang perseorangan menyatakan dirinya sendiri dan jika terjadi
demikian, ia akan menyatakannya.

Rosihan menunjukkan adanya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat karena masyarakat


baru sampai pada kulitnya saja dari Barat, belum sampai pada intinya dan menjadikannya
darah daging milik masyarakat sendiri. Ketegangan-ketegangan itulah menurut Rosihan yang
disebut juga krisis, krisis yang terdapat di segala lapangan, termasuk juga krisis di lapangan
kesusastraan.

Mengenai kuantitas pada umumnya orang-orang berpendapat sama bahwa ada kegiatan
tahun-tahun 1950 dan sesudahnya, kecuali Beb Vuyk dalam Indonesia Raya pada tahun
1954, menyatakan bahwa yang hendak menindaknya dengan mengatakan bahwa karangan-
karangan Pramoedya yang dikemukakan H.B. Jassin sebelumnya, begitu juga karangan-
karangan pengarang lain yang terbit di masa itu menurut Beb Vuyk ditulis sebelum 1950.
Dengan demikian, Beb Vuyk hendak mengatakan bahwa tahun 50-51-52 memang tahun-
tahun yang kosong sama sekali. Dia adakan perbedaan antara tahun terbit suatu buku dan
kapan selesainya ditulis oleh pengarang, dan jika dia hendak lebih teliti lagi dia dapat adakan
perbedaan pula mengenai kapan bermainnya cerita, apakah bermain di masa revolusi, di
waktu Jepang atau di zaman kolonial dan misalnya hanya menghitung apa yang bermain di
masa revolusi.

Menurut Beb Vujk : dengan memakai hasil-hasil Pramoedya Ananta Toer, Jassin mencoba
membuktikan bahwa tidak ada krisis kesusastraan. Dalam tahun 1949 diterbitkan tidak
kurang dari 7 hasil-hasil karangannya, satu produksi yang hebat dan dapat dimengerti sebagai
reaksi seorang seiman terhadap revolusi dan perang. Beberapa bulan sebelum penyerahan
kedaulatan, Pram dibebaskan dan ketika itu selesai manuskrip-manuskrip beberapa novel dan
dalam bulan-bulan kemudian dia menulis seakan ada satu demam penciptaan.

Dalam karangannya Krisis H.B. Jassin, dimuat dalam Mimbar Indonesia Th. IX No.2-3, 15


Januari 1955, Sitor Situmorang berpendapat bahwa krisis kesusastraan tidak ada dan tidak
pernah ada, hanya yang ada ialah krisis ukuran. Sitor memberikan karakterisasi tentang H.B.
Jassin sebagai kritikus dan bagi H.B. Jassin agak sukar untuk membicarakan dirinya sendiri.
Perbedaan H.B. Jassin dengan Sitor cukup jelas, di mana ukuran Sitor adalah ukuran seniman
dan seni, berdasarkan pula satu pandangan hidup tertentu, sedang bagi H.B. Jassin tidak
hanya nilai seni yang dicari tetapi banyak lagi analisis-analisis lain yang menentukan nilai.
Selain itu, ukuran seni pun tidak hanya satu dan ditinjau seperti ini terus-meerus ada krisis
ukuran dari sudut salah satu aliran yang hanya mengakui ukuran sendiri.

Tahun 1959 buku Muhammad Ali berjudul Hitam atas Putih sesudah naskahnya yang
pertama dikirimkan tujuh tahun sebelumnya kepada Balai Pustaka.

Salah satu penerbit yang mencoba menerbitkan buku-buku bernilai sastra ialah N.V.
Nusantara, berkedudukan di Bukittinggi-Jakarta-Medan. Tahun 1956 terbit dari penerbit ini
dalam Seri Denai Robohnya Surau Kami karangan A.A. Navis dan Dua Dunia Nh Dini.
Namun usaha tersebut patah di tengah jalan.

Trisnojuwono memberikan harapan-harapan baik dengan bukunya Laki-laki dan Mesiu juga


menyodorkan kumpulan Angin Laut yang jauh di bawah nilai pada masyarakat yang mulai
mengaguminya. Keduanya terbit pada Pembangunan berantara satu tahunm yang pertama
terbit tahun 1957 dab yang ekdua tahun 1958.

Rijono Pratikto tertarik pada kesusastraan tatkala muncul karangan-karangan Idrus dan
tidaklah mengherankan jika karangan-karangannya yang pertama banyak dipengaruhi oleh
Idrus. Cerita Rijono yang pertama berjudul Api pada Januari 1949, dimuat dalam Mimbar
Indonesia. Saat Belanda baru melancarkan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19
Desember 1948 yang dihentikan oleh Dewan Keamanan dan suasana antara Belanda dan
Indonesia. Seperti Chairil Anwar dalam Krawang-Bekasi, Rijono mengidentifikasikan diri
dengan roh orang yang mati.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kehidupan sastra tahun 1950-an memiliki isi yang pastinya amat berpengaruh kepada
periode-periode berikutnya. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena dilihat dari rentang
waktunya yang cukup singkat namun memiliki banyak masalah dalam sastra yang terjadi kala
itu.
Pada periode ini pula banyak membuka wawasan pembaca tentang masalah-masalah yang
pernah menjadi hiasan  sastra pada masa tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan
sastra sekarang ini dibesarkan oleh pemikiran-pemikiran dan masalah-masalah pada
kehidupan sastra masa 1950-an.
DAFTAR PUSTAKA

Rampan, Korrie Layun. 1985. Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia. Jakarta: Yayasan Arus.
Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Jakarta: PT Gunung Agung.
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Moeljanto, D.S., dan Taufiq Ismail. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Bandung: Mizan.
Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya.

Anda mungkin juga menyukai