Anda di halaman 1dari 22

ARTIKEL

Sastra Indonesia Modern

DOSEN PENGAMPU :

Harista Hidayah Syaifuddin. S.Fil.I.. MA. E19042

DISUSUN OLEH :

Nabila Rodhiyah Robani (07020620048)

Putri Muttoharoh (07040620094)

Siti Khoiriyah (07020620058)

PROGRAM STUDI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA

2020
ABSTRAK

Sastra Indonesia Modern sering juga disebut dengan sastra baru merupakan sastra yang muncul
dan berkembang setelah Sastra Indonesia Klasik. Bisa dikatakan bahwa sastra modern dimulai
ketika terjadi perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap sifat dan ciri khas sastra yang
digunakan masyarakat. Bisa dikatakan pula bahwa lahirnya sastra modern adalah ketika mulai
terjadi perubahan penggunaan media yang digunakan yaitu dari media lisan yang bersifat kuno
menjadi menggunakan media tulisan yang lebih modern.

PENDAHULUAN

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra
Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu, tampak
bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan
dan perkembangan suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa sejarah sastra itu bisa
menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.

Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan
Indonesia, mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai dengan masa perkembangannya.

Munculnya sastra di Indonesia sebagai salah satu bukti perjuangan bangsa Indonesia dalam
perjuangan kemerdekaan. Diawali dari berdirinya Boedi Oetomo hingga Kongres Pemuda yang
menghasilkan Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda juga disebutkan bahwa Bahasa
Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa.

Berbicara tentang sejarah perkembangan sastra, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
mengenai upaya menyusun periodisasi sejarah sastra sebagai salah satu kegiatan dalam
pengkajian sejarah sastra. Periodisasi sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan
pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.

Sastra Indonesia berkembang dari waktu ke waktu, bahkan sebelum bahasa Indonesia diresmikan
pada tanggal 28 Oktober 1928. Sementara itu pondasi pendirian sastra Indonesia baru tegak
berdiri pada tahun 1920-an dengan munculnya Balai Poestaka. Sejak saat itu sastra Indonesia
berkembang sampai saat ini.

Oleh sebab itu untuk lebih mengetahui periodisasi sastra Indonesia maka dalam makalah ini akan
dijelaskan tentang periodisasi sastra Indonesia modern.

ISI

A. Pengertian Sastra Indonesia modern

1) Arti Modern

Kata modern pada sastra Indonesia modern dipergunakan tidak dalam pertentangan dengan kata
klasik. Bahkan sebenarnay, istilah sastra Indonesia klasik sebagai pertentangan dengan sastra
Indonesia modern tidak ada. Kata modern dipergunakan sekedar menunjukanbetapa intensifnya
pengaruh barat pada perkembangan dan kehidupan kesusastraan pada masa itu.

Sebelum berkembangnya sastra Indonesia modern kita mengenal sastra Melayu atau sering
disebut pula sastra melayu lama/klasik untuk membedakan dengan sastra melayu modern yang
berkembang di Malaysia.

2) Pengertian Sastra Indonesia

Ada beberapa pendapat mengenai apa yang di sebut sastra Indonesia. Ada yang berpendapat
bahwa suatu karya sastra dapat dinamakan dan digolongkan kedalam pengertian kesusastraan
indonesai apabila:

- Ditulis buat pertama kalinya dalam bahasa Indonesia

- Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya harus masalah-masalah Indonesia

- Pengarangnya harus bangsa Indonesia (Soemadiwagyo, 1966:2)

Berdasarkan pendapat di atas, pengertian sastra Indonesia mencakup tiga unsure persyaratan
yaitu bahasa, masalah yang dipersoalkan, dan pengarangnya. Ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa “sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia, mengingat sastra erat
dan saling berjalin (Enre, 1963: 10). Berdasarkan pendapat ini persyaratan cukup dibatasi pada
pembahasannya.

Pendapat lain juga menyatakan sastra Indonesia ialah sastra yang aslinya ditulis dalam Bahasa
Indonesia yang isinya memancarkan sikap dan watak Bangsa Indonesia. Jadi, unsure persyaratan
ada dua yaitu:

- Media bahasanya bahasa Indonesia dan

- Corak isi karangannya mencerminkan sikap watak Bangsa Indonesia didalam memandang
suatu masalah

B. Ciri-ciri Sastra Indonesia modern


 Masyarakat sentris, yaitu : tema yang diangkat seputar permasalahan dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari
 Dinamis, yaitu mudah berkembang sesuai perkembangan zaman
 Mencantumkan nama pengarangnya
 Menggunakan bahasa sehari-hari
 Tema karangan bersifat rasional

C. Periodisasi Sastra Indonesia Modern

1. Periodisasi Sastra Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)

Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak
pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari
Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi
putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche
School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan
dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang
menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai
Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:

1. merekrut dewan redaksi secara selektif


2. membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis

3. menentukan kriteria literer

4. mendominasi dunia kritik sastra

Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih
baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para
lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu
Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana.
Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin
paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa
pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:

- Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.

- Alur : Alur Lurus.

- Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).

- Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.

- Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu
kelancaran teks.

- Corak : Romantis sentimental.

- Sifat : Didaktis (pendidikan)

- Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.

- Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.

- Puisinya berbentuk syair dan pantun.

- Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
- Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.

2. Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)

a) Latar belakang terbitnya Pujangga Baru

Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai
(antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam
Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku
pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan-
angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah
angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian
sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan
yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan
dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya Achdiat K.
Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru,
padahal para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan ‘45.

Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka
terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.

Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal
sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga
Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para
pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu
Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan
atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah
kemajuan.

Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi
oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang
berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan
Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem
Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang
beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.

Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih
dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane
lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang
pengarang mistikus ke-Timuran.

Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir
Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya
jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn
Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern.

Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih
banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro,
A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru
tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.

Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat
membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat
bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga
Baru.

b) Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru

- Dinamis

- Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau
romantik angkatan Siti Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif
romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa
yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
- Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu modern dan sudah meninggalkan
bahasa klise. Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan kata,
Penggabungan ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga
dianggap terlalu dicari-cari.

Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri:

- Bentuk puisi yang memegang peranan penting adalah soneta, disamping itu ikatan-
ikatan lain seperti quatrain dan quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah suku kata
dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para Pujangga
Baru mengubah sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup beberapa bait saja. Sajak-
sajak yang agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah”
karya Amir Hamjah.

- Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda dengan
adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan dan
pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisyahbana

- Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan tema
kesadaran nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah dan ada pula yang semata-
mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.

3. Periodisasi Sastra Angkatan 45

a) Sejarah Lahirnya Angkatan 45

Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan ‘45 bisa dikatakan
sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru Indonesia, setelah angkatan Balai
Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra Angkatan ‘45 yang
dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna baru pada khazanah kesusastraan
Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sastra Indonesia baru lahir dengan
adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir
Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra
Melayu.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan
Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru
pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan ‘45.
Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.
Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum
dirumuskan.

Baru pada tahun 1950 “Surat Kepercayaan Gelanggang” dibuat dan diumumkan. Ketika itu
Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang
menjadi dasar pegangan perkumpulan “Selayang Seniman Merdeka”. Masa Chairil Anwar
masih hidup. Angkatan ‘45 lebih realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang
romantik idealistik.

Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin dari
sebagian besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut. Beberapa karya
Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya
yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan
keprofesionalannya masih eksis menghasilkan karya-karya terutama mengenai perjuangan
mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih
digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu banyak orang yang memproklamasikan
kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ‘45, sebanyak itu pulalah yang
menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini hanyalah lanjutan belaka dari
apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Sutan
Takdir Alisyahbana pun berpendapat demikian.

b) Beberapa Pendapat Tentang Angkatan ‘45

- Armijn Pane: Pujangga Baru menentang adanya Angkatan ‘45 dan menganggap bahwa
tak ada yang disebut Angkatan ‘45.

- Sutan Takdir Alisyahbana: Angkatan ‘45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
- Teeuw: Memang berbeda Angkatan ‘45 dengan Angkatan Pujangga Baru, tetapi ada
garis penghubung, misalnya Armijn Pane dengan Belenggu-nya. (puncak-puncak
kesusastraan Indonesia).

- Sitor Situmorang: Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan,
sedangkan Angkatan ‘45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan antara Barat dan
Timur, tetapi yang penting hakikat manusia. Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian
dan ilmu pengetahuan.

- Pramoedya Ananta Toer: Angkatan Pujangga Baru banyak ilmu pengetahuannya tetapi
tidak banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan ‘45 kurang dalam ilmu
pengetahuan (karena perang) tetapi sadar akan kehidupan.

c) Karakteristik Karya Angkatan 45

- Bercorak lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik-
idealistik.

- Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai karya sastrawan


Angkatan ’45.

- Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.

- Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.

- Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).

- Bertujuan universal nasionalis.

- Bersifat praktis.

- Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan” .

4. Periodisasi Sastra Angkatan 1950

a) Sejarah Lahirnya Periode ‘50


Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan 50 hanyalah pelanjut
(successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan yang mendalam dan menyeluruh
membuktikan bahwa masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:

a. Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada
tahun 1945.

b. Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional
lebih lanjut). Periode ‘50 tidak hanya pengekor (epigon) dari angkatan ‘45, melainkan
merupakan survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan. Adapun ciri-cirinya yang lebih
rinci adalah sebagai berikut:

- Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas daerahnya hampir
di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.

- Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah dalam


menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.

- Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih
kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan
ukuran nasional.

b) Ciri-ciri Periode 50-an

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jasin. Ciri
angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kumpulan puisi.
Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya.
Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya berupa sastra majalah Pada angkatan ini
muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berkonsep sastra realisme sosialis. Timbullah perpecahan
antara sastrawan sehingga menyebabkan mandegnya perkembangan sastra, karena masuk ke
dalam politik praktis, sampai berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30 S/PKI di
Indonesia.

Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:


a. Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;

b. Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;

c. Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;

d. Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.

c) Masalah yang Dihadapi Periode 50

- Angkatan ’50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai


Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini
bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam waktu yang
singkat dan tidak menentu, di tambah penempatan pemimpin yang bukan ahli, sehingga
tidak dapat mengelola anggaran yang tersedia yang berakibat macetnya produksi karya.

- Setelah Balai Pustaka yang mengalami kesulitan penerbitan, penerbit yang lainnya
pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas.

- Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti
Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya
yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang pendek-
pendek, sesuai dengan kebutuhan majalah-majalah tersebut, maka tak anehlah kalau para
pengarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang
pendek-pendek. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah sastra majalah.
Istilah ini dilansir dan diperkenelkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya Situasi
1954 yang dimuat di majalah Kompas yang dipimpinnya.

5. Periodisasi SastraAngkatan 60-an

Sejarah Sastra Indonesia ini disusun berkaitan dengan kecenderungan karya sastra yang
dihasilkan. Karya sastra pada masa ini berisi tema-tema politik. Dengan gaya penceritaan yang
semakin tegas dan beragam. Dalam masa periodisasi sejarah sastra Indonesia ini, ditandai juga
dengan perselisihan antar sastrawan  Perselisihan dan pertentangan bahkan berupa penyerangan
karakter muncul seiring perbedaan pilihan politik dan sikap politik para sastrawan.
Pada masa ini ditandai dengan adanya lembaga-lembaga sastra yang berafiliasi dengan partai
politik, seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berafiliasi dengan PKI. Ada pula
LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) berafiliasi dengan Partai NU.
6. Periodisasi Sastra Angkatan 70-an

Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan setelah
mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan gebrakan-
gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten dengan memperbincangkan
agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula
karya yang bersifat absurd mulai tampak.

Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka
dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai sekarang
adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra dan membuka
ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki kreativitas
dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan, maupun karya
urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat
digambarkan sebagai berikut:

- Kritik Rezim Orde Baru

- Wacana Urban dan Adsurditas

- Kritik Pemerintah terus berjalan

- Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.

- Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang

- Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram
yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.

Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak akan
dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan
karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari paten
normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang diimbangi
dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali memiliki
keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan
absurditas.

7. Periodisasi Sastra Angkatan 2000-an sampai sekarang

Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasih muncul, namun tidak berhasil
dikukuhkan karna tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar
wacana tentang lahirnya “Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang angkatan 2000 yang
disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis,
novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam angkatan 2000, termasuk mereka
yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmad Yosi Herfanda, dan
Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada 1990-an seperti Ayu Utami, dan Dhorotea Rosa
Herliany.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000

a. Ayu Utami

- Saman (1998)

- Larung (2001)

b. Seno Gumira Ajidarma

- Atas Nama Malam

- Sepotong Senja Untuk Pacarku

Biola Tak Berdawai

c. Dewi Lestari

- Supernova 1: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh (2001)

- Supernova 2.1: Akar (2002)

- Supernova 2.2: Petir (2004)

d. Raudal Tanjung Banua


- Pulau Cinta di Peta Buta (2003)

- Ziarah Bagi Yang Hidup (2004)

- Perang Tak Berulu (2005)

- Gugusan Mata Ibu (2005)

e. Habiburrahman El Shirazy

- Ayat-ayat Cinta (2004)

- Di Atas Sajadah Cinta (2004)

- Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)

- Pudarnya Pesona Cleopatra(2005)

- Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)

- Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)

- Dalam Mihrab Cinta (2007)

f. Andrea Hirata

- Laskar Pelangi (2005)

- Sang Pemimpi (2006)

- Edensor (2007)

- Maryamah Karpov (2008)

- Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)

g. Ahmad Faudi

- Negeri Lima Menara (2009)

- Ranah Tiga Warna (2011)


h. Tosa

- Lukisan Jiwa (puisi) (2009)

- Melan Conis (2009)

Lembaga Kebudayaan Rakyat

Mukaddimah

Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan bahwa


pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada hari 17
Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di
tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan yang sebagai hasil keseluruhan daya upaya
manusia secara sadar untuk memenuhi, setinggi-tingginya kebutuhan hidup lahir dan batin,
senantiasa maju dengan tiada putus-putusnya.

Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa bersejarah ini,
seperti halnya di dalam seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah rakyat, Rakyat Indonesia
dewasa ini adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan. Revolusi
Agustus adalah usaha pembebasan diri rakyat Indonesia dari penjajahan dan peperangan,
penjajahan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana,
jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang
bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan
untuk kemerdekaan tanah air dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat
kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta rakyat.

Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan
kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana
pekerja-pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa
terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar
mengabdikan daya cipta, bakat serta keahlian mereka guna kemajuan Indonesian, kemerdekaan
Indonesia, pembaruan Indonesia.
Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah melahirkan
putra-putra yang baik, di lapangan kesusastraan, seni bentuk, musik, maupun di lapangan-
lapangan kesenian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa kita terdiri dari suku-suki yang
masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa kita ini
menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta
seindah-indahnya.

Lekra tidak hanya menyambut setiap sesuatu yang baru; Lekra memberikan bantuan yang
aktif untuk memenangkan setiap yang baru maju. Lekra membatu aktif perombakan sisa-sisa
“kebudayaan” penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah pada
bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita,
mempelajari saksama segala-gala segi peninggalan-peninggalan itu, seperti halnya mempelajari
dengan saksama pula hasil-hasil ciptaan klasik maupun baru dari maupun bangsa lain yang mana
pun, dengan dengan ini berusaha meneruskan secara kreatif tradisi agung dari sejarah dan bangsa
kita, menuju penciptaaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah, Lekra menganjurkan kepada
anggota-anggotanya dan pekerjaa kebudayaan di luar Lekra, untuk secara dalam mempelajari
kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada
kenyataan dan kebenaran.

Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan yang


berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan memahami gerak
perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat yang maju,
dan menganjurkan hal itu, baik untuk cara kerja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di
lapangan kesenian. Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif, mendorong kebenaran dan
selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya.

Singkatnya, dengan menolak sifat anti-kemanusian dan anti-sosial dari kebudayaan


bukan-rakyat, dengan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai keindahan,
Lekra bekerja untuk membantu pembentukan manusia baru yang memiliki segala kemampuan
untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis.

Di dalam kegiatan Lekra menggunakan cara saling bantu, saling kritik dan diskusi-
diskusi persaudaraan di bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat,
adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerjaan
kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil yang tahan uji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan
tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa pun,
untuk bekerja sama dalam pengabdian ini.

Disahkan dalam Kongres Nasional Pertama

Lembaga Kebudayaan Rakyat

Di Solo, tanggal 22—28 Januari 1959

Berdasarkan mukadimah ini, ada beberapa jargon yang dianggap lekat dengan Lekra seperti
“seni untuk rakyat, politik adalah panglima, realisme sosial serta ideologi di atas seni”.
Bagi Lekra, sastra hanya dipandang sebagai alat, sedangkan ilhamnya sudah disediakan
oleh ideologi. Penghayatan dan pengalaman pribadi sastrawan harus dibendung selama tidak ada
sangkut pautnya dengan revolusi sosialis. Dan pada kesempatan lain, yakni dalam Kongres
Kebudayaan Indonesia tahun 1951, ia mengatakan, “ Perkembangan kesusastraan adalah sejarah
pertarungan dua kekuatan yang bertentangan kepentingannya di lapangan kesusastraan, antara
kekuatan yang mempertahankan kekolotan dan kekuatan yang mengusahakan kemajuan.” Dalam
pandangan Lekra penganut aliran realisme sosialis, kebudayaan bukan saja tak dapat dipisahkan
dari politik, melainkan kebudayaan merupakan bagian dari politik. Dengan demikian sastra juga
merupakan bagian dari politik. Pandangan ini menempatkan sastra hanya sebagai alat politik.
Sastra harus menerapkan paham Marxisme- Lenimisme, termasuk di dalamnya teori dan kritik
sastra. Paham realisme sosialis ini memang pernah diterapkan dalam beberapa karya sastra
Indonesia, malahan diantara yang berbau anti Muslim, seperti dalam karya Utuy Tatan Sontani
Si Kampeng dan dalam karya Pramudya Ananta Toer : Si Manis Bergigi Emas, yang
menggambarkan para kyai dan haji sebagai tokoh penghisap rakyat.
Pada intinya PKI memandang Pancasila hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika
tujuan tadi sudah tercapai PKI akan mengkhianati Pancasila (Notosusanto, 1985: 8). Tanggal 17
Agustus 1963 mereka yang anti-PKI mengeluarkan pernyataan kebudayaan yang disebut
“Manifes Kebudayaan”. Manifes Kebudayaan ditandatangani oleh 20 nama: 16 penulis, 3
pelukis, 1 komponis (Gunawan Mohammad, 1988: 4). Secara rinci nama-nama itu sbb: H.B.
Jassiin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohammad, A.
Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.s. Moeljanto, RasSiregar, Hartojo Andangdjaya,
Syahwil, Jufri Tanissan, Binsar Sitompul, Taufik Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi Afn,
Poernawan Condronagoro, Boes S. Oemaryati. Manifes Kebudayaan itu diumumkan pertama
kali dalam surat kabar Berita Republik dalam ruang Forum Sastra dan Budaya No.1 Th I tanggal
19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III 1963. Pendirian Manifes Kebudayaan:
Pancasila adalah falsafah kebudayaan. Selain Itu Manifes Kebudayaan juga menyebut bahwa
falsafah demokrasi Pancasila menolak tujuan menghalalkan cara. Oleh golongan kiri, Manifes
Kebudayaan itu diperolok dengan istilah mani kebo. Sebenarnya, pada saat itu terjadi perbedaan
dalam memandang seni. Kelompok Manifes Kebudayaan mendukung humanisme-universal,
Kelompok kiri (baca:Lekra) mendukung humanisme-realisme atau realisme-sosialisme (baca:
komunis) (Moeljanto, 1995:11). Dalam bahasa yang lain: saat itu terjadi pertentangan antara
ideologi Pancasila (Manifes Kebudayaan) melawan komunis (Lekra). Maret 1964 pendukung
Manifes Kebudayaan yang notabene anti komunis mengadakan konferensi Karyawan Pengarang
se-Indonesia (KKPI). Konferensi itu menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia
(PKPI). Namun, sebelum PKPI berjalan Manifes kebudayaan telah dilarang terlebih dahulu
(Rosidi, 1991:168) 8 Mei 1964 Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan. Pelarangan
ini dengan alasan: demi keutuhan dan kelurusan jalannya revolusi dan demi kesempurnaan
ketahanan Bangsa (Moeljanto,1995: 48, 355).
Berkenaan dengan itu, H.B. Jassin tanggal 10 Mei 1964 mengundurkan diri dari Fakultas
Sastra UI dan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (Moeljanto,1995: 48, 362). Istilah Manikebu
menjadi populer untuk menuduh seseorang yang kontra revolusi, anti- manipol, anti-nasakom.
Majalah Sastra, termasuk yang lainnya, yang merupakan terompet golongan Manifes
Kebudayaan dituntut supaya dilarang terbit (Rosidi,1991: 168). Mulai saat itu para penulis
Manikebu mulai menggunakan nama samaran --- bahkan untuk sajak tentang alam (Gunawan
Mohammad, 1988: 29). Adanya protes sosial dan politik menyebabkan H.B. jassin
memproklamirkan lahirnya 'Angkatan 66' di Horison (1966). Oleh Rachmat Djoko Pradoppo hal
itu disambut dengan angkatan 66 sastra Indonesia (dalam Horison 1967).
Sehingga, Tanggal 12 Maret 1966 Letjen Soeharto atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi ABRI/ Mandaris MPRS menandatangani Surat Keputusan Presiden/Pangti/Mandataris
MPRS/PBR No.1/3/1966 yaitu pembubaran PKI dan organisasi-organisasi yang bernaung dan
berlindung di awahnya serta menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah
kekuasaan Negara Republik Indonesia (SNRI, 1994:139). Tindakan Pemerintah ini kemudian
disahkan oleh MPRS berdasarkan TAP MPRS No.XXV/MPRS/ 1966. (SNRI, 1994: 165).


ANALISIS

…………..

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan materi yang sudah di uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa Periodisasi sastra
adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai
dengan perkembangannya.

Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan
Indonesia, mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai dengan masa perkembangannya.

Periodisasi sastra Indonesia modern yaitu:

- Periodisasi sastra angkatan Balai Poestaka (1920-1933)

- Periodisasi sastra angkatan Pujangga Baru (1933-1942)

- Periodisasi sastra angkatan 1945

- Periodisasi sastra angkatan 1950-an

- Periodisasi sastra angkatan 1966

- Periodisasi sastra angkatan 1970-an

- Periodisasi sastra angkatan 2000-an sampai sekarang

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan penulisan makalah ini maka dikemukakan saran sebagai berikut..

- Periodisasi sastra Indonesia modern sangatlah penting dipelajari karena merupakan bagian
dari perkembangan sejarah sastra Indonesia
- Sejarah sastra Indonesia perlu diketahui perkembangannya dari waktu ke waktu.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/doc/21785947/Sejarah http://www.scribd.com/doc/13800606/Periodisasi
sastra Indonesia Modern

http://community.gunadarma.ac.id/user/blogs/view/name_pinkers/id_10943/title_Periodisasi
sastra secara umum

http://ronald-koeman.blogspot.com/2012/10/perkembangan-Sastra.html

http://sekeping-episode-kehidupan.blogspot.com/2012/06/sejarah-perkembangan-Sastra
-indonesia.html

Irwanto ali, menelusuri-konflik-kesusastraan-indonesia-lekra-vs-manikebu. Diunggah dalam


laman wordpress.com. diakses pada tanggal 12 Desember 2020 pukul 21.04

Anda mungkin juga menyukai