Anda di halaman 1dari 15

A.

Sejarah Tulisan
Sistem tulisan atau aksara adalah ciptaan manusia yang paling
berguna. Dengan tulisan manusia dapat menembus batas-batas
waktu dan ruang. Dengan tulisan manusia juga dapat menyimpan
akal budinya. Tidak diketahui kapan manusia pertama kali
menggunakan tulisan. Para ahli linguistik pada umumnya mengira
tulisan bermula dari gambar seperti yang ditemukan di gua
Altamira, Spanyol Utara. Gambar itu kemudian benar-benar
menjadi tulisan atau piktogram. Piktogram secara langsung
menggambarkan benda yang dimaksud. Tulisan piktogram dipakai
di kalangan orang-orang Indian Amerika, orang Yukagir di Siberia,
dan di Pulau Paska (Pasifik Timur). Hingga kini piktogram masih
dipakai dalam tanda lalu lintas internasional dan pada tanda-tanda
kamar kecil untuk lelaki dan perempuan.

Pada perkembangan selanjutnya piktogram tidak hanya


menunjukkan gambar benda yang dimaksud, melainkan juga sifat-
sifat benda itu atau konsep-konsep yang berhubungan dengan
benda itu. Sebagai contoh, tulisan hieroglif Mesir yang dipakai
4000 tahun sebelum Masehi. Dalam tulisan tersebut ada gambar
tongkat Fir’aun. Gambar tongkat tersebut berarti memerintah.
Begitu pula gambar air keluar dari kendi. Itu berarti ‘segar’ atau
‘dingin’. Gambar yang tidak hanya menunjukkan gambar benda
yang dimaksud, melainkan juga sifat-sifat benda itu atau konsep-
konsep yang berhubungan dengan benda itu disebut ideogram.
Dalam sejarahnya yang panjang piktogram dan ideogram
disederhanakan sehingga tidak tampak lagi hubungan antara
gambar dan apa yang dimaksud.

Salah satu contoh dapat dilihat dari aksara paku yang dipakai oleh
bangsa Sumeria 4000 tahun sebelum Masehi. Sistem tulisan
Sumeria tersebut kemudian diambil alih oleh Persia (600-400 s.M),
tetapi bukan untuk menggambarkan gambar atau gagasan atau kata,
melainkan untuk menggambarkan suku kata (aksara silabis). Dalam
waktu yang hampir bersamaan orang Mesir juga mengembangkan
tulisan yang menggambarkan suku kata.

Aksara silabis mempengaruhi sistem tulisan bangsa-bangsa lain,


termasuk bangsa Fenisia yang hidup di pantai Timur Laut Tengah
(sekarang Libanon). Aksara Fenisia membuat 22 suku kata, setiap
tanda melambangkan satu konsonan diikuti oleh vokal.
Pada abad ke-10 s.M. tulisan silabis orang Fenisia dipinjam oleh
orang Yunani. Namun, karena bahasanya berlainan, sifat silabisnya
ditinggalkan dan orang Yunani mengembangkan tulisan bersifat
alfabetis. Tulisan alfabetis menggambarkan setiap vokal dan
konsonan dengan satu huruf. Aksara Yunani kemudian diambil alih
oleh orang Romawi dan dalam abad pertama Masehi aksara
Romawi atau Latin menyebar ke seluruh dunia dan sampai di
Indonesia sekitar abad ke-16 bersamaan dengan penyebaran agama
Kristen. Aksara Romawi ini (Latin) sampai hari ini masih kita
pakai). Sebelum aksara Romawi dikenal di Indonesia, pelbagai
bahasa di Indonesia sudah mengenal aksara, yaitu bahasa Jawa,
Sunda, Madura, Bali, Sasak, Lampung, Bugis, Makasar, dan Batak.

Jenis aksara bahasa-bahasa tersebut diturunkan dari aksara Pallawa


dipakai di India Selatan pada abad ke-4 Masehi. Tulisan itu
disebarkan di Indonesia bersamaan dengan penyebaran agama
Hindu dan Budha. Aksara Palawa sendiri diturunkan dari tulisan
Brahmi yang asal muasalnya dapat ditelusuri ke tulisan Semit. Jadi,
aksara India itu sebenarnya seasal dengan aksara Ibrani, Parsi, dan
Arab.

Kedatangan Islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya aksara


Arab yang dikenal di Indonesia berlainan sedikit dengan aksara
Arab di negeri Arab. Perbedaan itu karena aksara Arab di Indonesia
mendapat pengaruh dari aksara Arab Parsi. Aksara Arab yang
dipakai dalam bahasa Melayu dikenal sebagai aksara Jawi. Bahasa
Jawa juga menggunakan tulisan Arab, khususnya yang dipakai
dalam karya-karya yang bersangkutan dengan Islam. Tulisan Arab
untuk bahasa Jawa dikenal sebagai aksara Pegon.

B. Proses Pertumbuhan Tulisan


a. Tulisan gambar
Sebagai salah satu hasil budaya, bagaimanakah awalnya tradisi
menulis itu bermula pada suatu kelompok masyarakat
manusia?. Sebagaimana telah dikemukakan pada bahagian
terdahulu bahwa tumbuhnya suatu budaya adalah karena
adanya tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam
kehidupan. Kebutuhan akan tulisan bagi masyarakat tradisional
(primitif), dirasakan setelah komunikasi lisan tidak lagi
memadai di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan itu
timbullah ide-ide sederhana untuk melambangkan setiap apa
yang bisa mereka ucapkan. Tuntutan ini pada awalnya
melahirkan bentuk-bentuk lambang sederhana dan rumit, yaitu
dengan cara menggambarkan setiap benda yang diucapkan.
Perlambangan dengan gambar. Kemudian mengalami
keterbatasan-keterbatasan. Oleh karena penggambaran itu
hanya akan dapat dilakukan terhadap pengucapan-pengucapan
yang berwujud kata benda atau mungkin kata kerja. Sedangkan
untuk pengucapan yang bersifat abstrak, seperti kata sifat atau
keadaan, tentu penggambarannya akan sulit dilakukan.

Tulisan gambar, di samping memiliki keterbatasan, juga sangat


rumit. Karena sudah barang tentu untuk satu baris tulisan (satu
kalimat) saja mungkin akan terdiri dari berpuluh-puluh jejeran
gambar. Ini mengakibatkan tulisan itu sulit untuk dipahami
serta penulisannya memakan tempat yang luas, di samping itu
tidak semua orang yang bisa menggambar. Namun demikian,
tulisan gambar setidaknya adalah proses pertama dari
timbulnya tulisan pada masyarakat kuno, seperti Mesir,
Sumeria, China dan lain-lain, yang dianggap telah melahirkan
bermacam-macam jenis tulisan yang ada di dunia hingga saat
ini.

b. Tulisan Rumus
Perkembangan selanjutnya dari tulisan gambar ialah tulisan
rumus (Zainuddin,1974:295). Upaya pertama yang dilakukan
adalah penggambaran terhadap pengucapan yang abstrak,
seperti kata sifat dan keadaan, yaitu dengan cara
menggabungkan beberapa buah gambar benda dan ditujukan
untuk satu pengertian sifat atau keadaan; seperti untuk
penulisan karta 'siang' digunakan gambar matahari yang
sedang memancarkan sinarnya, untuk melukiskan kata 'lapar',
digambarkan sebuah tangan yang terletak didepan mulut.
Menurut sementara ahli, sebagai proses kedua setelah tulisan
gambar, adalah Pictographic Writing (Zainuddin,1974:20),
yaitu tulisan gambar yang telah dipermudah cara
pembuatannya (disederhanakan), dimana penggambaran
benda-benda atau peristiwa diwakili oleh tanda kanji tertentu
dan masih bersifat konkrit.

a. Tulisan Potongan
Proses Pictographic Writing seperti disebutkan diatas, oleh
Naji Zainuddin, adalah merupakan proses ketiga, yang ia sebut
dengan Tulisan Potongan. Menurutnya tulisan ini masih
berbentuk gambar (bersifat konkrit), akan tetapi sudah
dipotong untuk kebutuhan pengungkapan satu suku kata,
seperti gambar 'tangan ' untuk menuliskan kata yang berawalan
yad ('yad' artinya : tangan ) (Zainuddin,1974:20). Kata Yadhas,
Yadha dan semacamnya, memakai tanda kanji yang sama yaitu
'tangan' dengan tambahan lambang pada susku kata berikutnya.
b. Tulisan bunyi
Perkembangan selanjutnya ialah Tulisan Bunyi, yaitu tulisan
yang mempergunakan gambar sebagai lambang bunyi
permulaan suatu sukukata pada kalimat. Proses ini juga disebut
sebagai proses abstraksi yang pada dasarnya menemukan sifat
atau peristiwa bunyi dan detail satu bunyi diujudkan dengan
suatu tanda. Pada tahap ini, lambang yang semula merupakan
lambang bunyi suku kata pertama menjadi lambang bunyi awal
suku kata tersebut. Perubahan ini melahirkan lambang-
lambang konsonan.
c. Alphabetis
Meningkatnya cara berfikir manusia, pada gilirannya telah
menuntut perubahan-perubahan pada tulisan yang digunakan,
setelah mana tulisan yang digunakan dirasakan kurang efektif
lagi. Proses alphabetis (hijaiy), merupakan tingkat
pengabstraksian lebih lanjut dari proses-proses sebelumnya.
Pada tingkat ini mulai dilakukan pemisahan tanda terhadap
bunyi yang berbeda pada suatu suku kata itu. Pembedaan tanda
bunyi suku kata pada tingkat ini telah melahirkan tanda-tanda
vokal, di mana sebelumnya yang ditandai pada awal suku-kata
adalah bunyi-bunyi konsonan saja. Kemudian karena sulitnya
membedakan bunyi awal suku kata yang sama, dilakukan pula
usaha untuk membedakan bunyi-bunyi itu dengan memberi
tanda-tanda tertentu. Tanda inilah yang disebut huruf-huruf
vokal.

Dengan proses ini menjadi lengkaplah tercipta lambang dari


setiap bunyi yang keluar dari mulut (lambang oral). Lambang-
lambang itu kemudian kemudian disusun sedemikian rupa dan
dibedakan antara lambang-lambang konsonan dan lambang-
lambang vokal. Susunan lambang-lambang ini disebut dengan
alphabet.

Penemuan pola perlambangan oral dalam bentuk tulisan --pada


proses terakhir itu--, ternyata telah menuntun kemajuan yang
banyak dalam hal ini. Huruf-huruf yang merupakan lambang
bunyi, semakin lama semakin disederhanakan ; lambang-
lambang yang terlalu banyak dan rumit diperkecil jumlahnya
dan dipermudah cara pembuatannya. Hal ini memberi
pengaruh yang besar terhadap pembakuan pola penulisan, yang
justru dengan itu pula, semakin kecil kemungkinan terjadinya
kekeliruan dan perbedaan penggunaan lambang-lambang
dalam menulis akibat dari terlalu banyaknya jumlah lambang
yangdigunakan.

Berbeda dari apa yang telah diuraikan terdahulu, ada lagi


tahapan proses yang berkembang dari tulisan gambar yang
tidak mengarah kepada terbentuknya alphabet, akan tetapi
tetap mempertahankan cara-cara pengungkapan dengan
gambar. Penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan
dalam perkembangannya hanyalah penyederhanaan gambar-
gambar saja, yaitu dari bentuk yang rumit dan pelik kepada
bentuk yang makin sederhana, dengan kata lain, lambang
gambar yang semula masih bersifat konkrit, diabstraksikan ke
bentuk lambang yang mudah dibuat, tetapi pemahamannya
tetap pada pengertian gambar yang dimaksudkan. Contoh satu-
satunya untuk proses ini adalah tulisan yang digunakan oleh
orang-orang Tionghoa purba. Bahkan di wilayah-wilayah yang
berkebudayaan Tionghoa, seperti Jepang Korea, Taiwan dll.
Hingga saat ini masih tetap memakai cara penulisan seperti itu.

Dengan uraian diatas, setidaknya ada dua alur proses yang


secara umum telah ditempuh oleh masyarakat klasik dalam
pengembangan pola penulisan mereka. Yang disebut pertama
adalah perkembangan tulisan yang mengarah kepada
pembentukan huruf-huruf alphabetis dan didasarkan pada nilai
bunyi (phonetis). Sedangkan proses kedua adalah
pengembangan tulisan yang tidak menekankan pada nilai
bunyi dan tidak mengarah kepada pembentukan alphabeth,
akan tetapi tetap didasarkan pada lambang gambar dengan
pemahaman makna dan pengertian lambang yang digambarkan
disebut dengan pictografis ideografis.

C. Tulisan-Tulisan Tertua
Gambaran tentang proses terciptanya tulisan seperti diuriakan
terdahulu adalah proses yang secara umum telah dilalui oleh
masyarakat purba dalam pengembangan komunikasi tulis mereka.
Proses ini tentunya berjalan secara evolusi dan memakan waktu
yang panjang. Penggalian-penggalian arkeolog pada beberapa situs
yang dianggap sebagai pusat peradaban tertua, telah memberikan
informasi-informasi yang sangat penting tentang sistem tulisan
yang digunakan oleh masyarakat purba serta tahap-tahap
perkembangannya. Dari inskripsi-inskripsi yang ditemukan itu,
diketahui bahwa ulisan-tulisan yang dianggap tertua terpulang
kepada masa 1.k 4000 tahun sebelum Masehi. Diantara tulisan-
tulisan tertua itu adalah: tulisan Sumeria pada wilayah lembah
Mesopotamia, Tulisan Mesir kuno dan tulisanTionghoa yang
digunakan oleh masyarakat Tiongkok di wilayah propinsi Honan di
sebelah utara sungai kuning. Pada subbahasan ini akan
dikemukakan jenis-jenis tulisan tertua itu beserta perkembangannya
hingga melahirkan beberapa jenis tulisan penting yang dipakai
hingga saat ini.
a. Tulisan Sumeria
Dari penemuan-penemuan tertulis disekitar wilayah lembah
Mesopotamia telah membuktikan bahwa orang-orang Sumeria
yang mendiami wilayah ini beberapa ribu tahun sebelum
Masehi, telah menggunakan sejenis tulisan gambar. Tulisan ini
digunakan oleh orang-orang Sumeria dan mendapatkan
perkembangan dizaman Babylonia sebagai pewaris peradaban
Sumeria, kemudian oleh bangsa Assyiria yang
menggantikannya.

Penemuan 'kitab' undang-undang Hammurabi, telah membuka


pengetahuan kita tentang tulisan yang digunakan di kerajaan
Babylonia, setidaknya pada masa pemerintahan Hammurabi,
yang besar itu. Undang-undang Hammurabi ini ditemukan oleh
seorang sarjana Perancis pada tahun 1901
(Mansur,tt:157;Gottschalk,1986:86). Undang-undang ini ditulis
pada sebuah tugu batu bersegi delapan dengan ketinggian 20
meter dan berisikan undang-undang dan peraturan yang terdiri
dari 282 bab. Studi-studi yang dilakukan terhadap tugu batu itu
pada akhirnya berhasil menyingkapkan misteri tulisan yang
mirip jejak-jejak paku yang berjejer pada setiap segi dari tugu
ini. Para ahli berhasil membaca dan menemukan beberapa
informasi yang sangat penting bagi penelitian sejarah
selanjutnya tentang peradaban masyarakat di lembah
Mesopotamia.

Penemuan tugu batu undang-undang Hammurabi beserta


penemuan-penemuan lainnya tidak saja telah memberikan
informasi tentang kehidupan masyarakat purba, akan tetapi juga
telah memberikan kesimpulan-kesimpulan tentang tradisi
menulis pada masyarakat ini semenjak beberapa ribu tahun
sebelum Masehi. Tulisan Paku setidaknya adalah merupakan
proses ketiga setelah sebelumnya digunakan tulisan gambar.
Tulisan ini sudah merupakan lambang bunyi, walaupun masih
ditemukan unsur-unsur pictografisnya. Naji Zainuddin
mengatakan bahwa bentuk awal dari tulisan paku adalah
campuran antara tulisan gambar (pictografis) dengan tulisan
bunyi. Akan tetapi pada bahagian lain ia memberikan ilustrasi
tentang tulisan paku sebagai lambang bunyi
(Zainuddin,1974:296)Sedangkan C. Israr cendrung mengatakan
bahwa tulisan paku termasuk tulisan gambar (pictogram), tanpa
memberikan keterangan yang terperinci tentang itu;
(C.Israr,1985:6)

Di sini penulis lebih cendrung mengkalsifikasikan tulisan paku


ini kepada tulisan yang mengemban nilai bunyi (fonetis), karena
istilah tulisan paku ( al-Mismary = Arab, Cuneiform=Inggeris)
digunakan untuk bentuk tulisan yang ditulis menyerupai paku
(bukan penggambaran paku itu sendiri). Perubahan dari tulisan
gambar kepada tulisan paku terjadi pada masa Babylonia,
sedangkan sebelumnya belum berbentuk paku. Inilah yang
agaknya tergolong pada tulisan gambar atau campuran seperti
pendapat penulis terdahulu. Amat disayangkan mereka tidak
memberikan batasan yang jelas dari istilah tulisan paku itu
(Bandingkan dengan : Easton,1955:79;Mario Pei,1971:80). Jadi,
dengan demikian dipastikan bahwa dalam waktu yang jauh
sebelum itu, mereka telah menggunakan tulisan gambar dalam
sistem komunikasi mereka. Salah satu kebiasaan bagi
masyarakat di lembah Mesopotamia adalah menulis di atas
tanah liat lembab yang telah didatarkan terlebih dahulu. Alat
tulis yang digunakan adalah semacam baji (paku) (Mario
Pei,1971:79). Paku tersebut ditekan-tekankan pada tanah liat
yang masih lembab itu dan setelah itu dikeringkan, dijemur atau
dibakar. Di wilayah lembah Mesopotamia banyak sekali
dijumpai tapan-tapan tanah liat yang ditulis dengan tulisan paku
itu dalam ekskavasi yang dilakukan oleh kalangan arkeolog
pada masa akhir-akhir ini. Tapan-tapan tanah liat ini ternyata
hampir menyerupai batu serta tahan, meskipun telah terbenam
dalam masa yang cukup panjang. Para ahli menyebut tapan
tanah liat itu dengan tablet cuneiform. Pada dasarnya tulisan
paku juga berawal dari tulisan gambar (pictografis).
Perubahannya kepada kepada tulisan yang melambangkan
bunyi, sangat mungkin terjadi seiring dengan perubahan bentuk
lambang ; dari gambar yang telah disederhanakan kepada bentuk
paku. Perubahan ini baru terjadi pada masa kerajaan Babylonia
yang pertama, lebih dari kurang 2000 tahun

Sedangkan orang-orang Sumeria yang mendiami lembah


Mesopotamia ini diperkirakan telah mempergunakan tulisan
dalam sistem komunikasi mereka semenjak 3300 tahun
sebelumnya.

b. Tulisan Mesir Kuno


Mesir, setidaknya dalam waktu yang hampir bersamaan dengan
peradaban di wilayah Mesopotamia, juga telah mencapai puncak
peradaban yang tinggi. Dari beberapa penggalian arkeologis
yang dilakukan di daerah-daerah lembah sungai Nil telah
membuktikan bahwa rakyat Mesir pada masa lebih kurang 3000
tahun sM. telah maju dalam segala lapangan kebudayaan. Salah
seorang perwira Insinyur yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte
ke Mesir, Kapten M. Boussard, melakukan penggalian di dekat
pelabuhan Rasyid (Rosetta). Ia menemukan sekeping batu
berukir yang panjangnya 3,5 kaki, lebar 2,5 kaki dan dengan
ketebalan 1 kaki. Batu ini kemudian dikenal dengan Batu Rasyid
(Rosetta Stone).

Batu ini menjadi lebih penting setelah dilakukan penelitian


terhadap ukiran-ukiran yang ada di dalamnya, ternyata ada tiga
kelompok tulisan yang terdiri dari : pada bahagian bawahnya
adalah huruf-huruf Greek sebanyak 54 baris dan dua kelompok
tulisan Mesir Kuno pada bahagian atasnya. Huruf-huruf Greek
itu dapat dikenali dengan baik. Ia berisikan sebuah dekrit yang
bertarikh 18 Mesir (27 Maret) tahun 196 sM. Dekrit ini ditulis
oleh pendeta-pendeta kuil Memphis sebagai penghormatan
mereka terhadap pengusaha Greek di tanah Mesir saat itu, yaitu
Ptolemy Ephipanes (205-181 sM.).
Sementara kelompok huruf yang terdapat pada batu ini terdapat
kurung membujur dan pada beberapa bagian terdapat tulisan
yang membentuk cakar ayam. Pada masa kemudian beberapa
orang sarjana, seperti G. Zoega (Denmark) dan Dr. Thomas
Young (Inggeris) berhasil mengeja huruf-huruf pada kurung
membujur itu dan diketahui bahwa itu adalah nama Ptolemy
Ephipanes.

Pada waktu Inggris berhasil merebut Mesir dari tangan Perancis


tahun 1801, Batu Rasyid ini dibawa ke Inggeris dan disimpan di
British Moseum. Namun demikian sarjana-sarjana Perancis tetap
melakukan penelitian-penelitian yang sekasama terhadap tulisan
Mesir kuno itu. Jean Francois Champollion menghubungkan
tulisan-tulisan yang terdapat ada Batu Rasyid itu dengan
inskripsi yang terdapat pada tiang Obelisk yang ditemyukannya
di pulau Philae, sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah
sungai Nil. Berkat studinya yang tak kenal lelah, akhirnya ia
dapat memecahkan rumus-rumus tulisan Mesir kuno yang dua
macam itu. Kelompok tulisan pada bahagian atas adalah tulisan
Hierogliph, sedangkan kelompok tulisan pada bagian tengahnya
adalah tulisan Demotic. Kedua bentuk tulisan ini dipakai secara
bersamaan oleh rakyat Mesir untuk penggunaan yang berbeda.

Dengan ditemukannya rahasia huruf-huruf Hioerogliph telah


mengundang ekspedisi-ekspedisi ilmiah lebih lanjut untuk
menggali peninggalan-peninggalan kuno bangsa Mesir. Denga
demikian dinasti demi dinasti dari kekuasaan Pharao
terungkapkan sejarahnya. Para ilmuan membanjir datang ke
Mesir untuk meneliti lebih jauh situs-situs peradaban bangsa
Mesir kuno, terutama pada tiang-tiang Obelisk, ukiran-ukiran
pada pyramid, patung-patung serta papyrus-papyrus tua yang
bertebaran. Dari hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa
inskripsi tertua terdapat pada pyramid Unas (kuburan raja
terakhir dinasti kelima atau lebih kurang 300 tahun sebelum
Masehi. Inskripsi ini ditemukan di wilayah Kobtos.

Studi-studi tentang sejarah kebudayaan Mesir purba yang


dilakukan oleh ahli-ahli sesudahnya, telah pula membuka mata
lebih jauh tentang tulisan yang digunakan di Mesir. Ada tiga
jenis tulisan yang dipakai oleh rakyat Mesir purba dan masing-
masing digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda. Di
antara jenis tulisan itu adalah : pertama, Hieratic, yaitu tulisan
yang biasanya digunakan untuk penulisan-penulisan resmi
(official script ). Jenis kedua adalah Demotic, yang bentuk dan
cara penulisannya berbeda dengan jenis pertama. Tulisan ini
digunakan sehari-hari oleh rakyat biasa. Kedua jenis tulisan
yang telah disebutkan biasanya ditulis di atas kertas papyrus.

Berbeda dengan kedua jenis tulisan tersebut, ada lagi tulisan


yang disebut denga Hieroghliph, yang merupakan tulisan
gambar dan lebih konkrit dalam penonjolan gambarnya
dibanding dengan dua tulisan terdahulu. Hierogliph ini biasanya
digunakan secara khusus untuk menulis-teks-teks suci yang
bersifat ritual/sacral (Easton,1971:70). Karena itu, jenis ini tidak
dapat digunakan untuk keperluan komunikasi biasa. Tulisan
Hierogliph ini banyak sekali dijumpai pada makam-makam
Pharao (Fir'aun), yaitu dalam piramid-piramid pada situs-situs
peradaban masyarakat Mesir purba.
Seperti juga tulisan Cuneiform di Mesopotamia, tulisan Mesir
kuno ini juga berawal dari tulisan gambar, meskipun pada saat
ditemukan sudah tidak lagi merupakan lambang gambar, akan
tetapi sudah melambangkan bunyi. Proses peralihan fungsi
lambang ini berjalan dalam waktu yang lama dan secara
berangsur-angsur. Lambang "matahari" --yang oleh rakyat Mesir
disebut dengan "re"--, dalam perkembangannya akhirnya
berubah fungsi dari pengertian matahari itu sendiri menjadi
lambang bunyi suku kata yang berbunyi "re" (Mario
Pei,1971:80). Lambang-lambang yang menunjukkan bunyi
suku- kata inilah yang banyak dijumpai pada ketiga jenis tulisan
yang telah disebutkan terdahulu.

Pada awalnya tulisan kuno di Mesir ini ditulis secara vertikal


dari atas ke bawah dan sewaktu-waktu ditulis secara horizontal
dari kiri ke kanan dan diikuti dari kanan ke kiri. Sedangkan pada
masa terakhir, diketahui bahwa tulisan Hierogliph ditulis dari
kiri ke kanan (Zainuddin,1974:297). Penggunaan papyrus
sebagai media tulis adalah sangat umum, terutama untuk tuisan
Hieratic dan Demotic, sementara tulisan Hierogliph biasanya
ditulis/diukir di atas batu

c. Tulisan Tionghoa
Pengetahuan tentang peradaban bangsa Tionghoa purba
terungkap dengan dilakukannya penggalian-penggalian
arkeologis oleh sejumlah ahli di wilayah ini. Pada awal abad
kedua puluh ini telah dilakukan penggalian di daerah Honan,
sebuah daerah tua yang terletak di bagian utara sungai Kuning
(Hoang Ho). Di daerah ini terdapat sebuah timbunan tanah yang
oleh bangsa Tionghoa disebut dengan "Timbunan Tanah Yin".
Sejumlah benda-benda purbakala, seperti tulang-belulang serta
piring-piring yang terbuat dari kulit penyu, berhasil ditemukan
pada penggalian ini.

Hasil penemuan ini menjadi penting, setelah diketahui bahwa


goresan-goresan yang menghiasi tulang belulang dan piring-
piring kulit penyu itu adalah merupakan tulisan yang digunakan
oleh masyarakat Tionghoa purba di lembah sungai Hoang Ho
itu. Tulisan ini ditulis oleh para ahli nujum yang meramalkan
kejadian-kejadian yang bakal terjadi. Berbagai aspek kehidupan
masyarakat, seperti perjalanan, perburuan, panen, pemerintahan
dan sebagainya dapat diketahui dari goresan-goresan itu. Ini
pada umumnya adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh orang-orang yang membutuhkan bantuan
(ramalan) dari para ahli nujum itu.
Tulisan yang berupa goresan-goresan ini akhirnya dapat
dirumuskan dan diklassifikasikan sebagai tulisan gambar, karena
ternyata sebagian dari lambang-lambang yang dipakai masih
berupa gambar konkrit, meskipun ada juga terdapat lambang
gambar yang sudah disederhanakan. Penemuan ini akhirnya
berkesimpulan bahwa tulisan seperti ini digunakan di masa
dinasti Syang (1550-1050 sM.).

Penggunaan kulit penyu dan tulang belulang sebagia media tulis,


pada waktu ini, merupakan gambaran yang khas dari peradaban
masyarakat purba di kawasan Timur Jauh ini, setidaknya pada
satu priode tertentu dalam perjalanan sejarah bangsa Tionghoa.
Pada masa dinasti Syang, peranan ahli nujum dalam kehidupan
sosial, agaknya sangat besar sekali. Oleh sebab itu banyak sekali
masalah-masalah kemasyarakatan yang digantungkan pada
ramalan mereka, mulai dari masalah pribadi sampai kepada
masalah ketatanegaraan dan kekuasaan.

Semua jawaban atas pertanyaan itu dituangkan pada media kulit


penyu dan tulang belulang itu. Media ini terlebih dahulu
dilicinkan dan diberi lobang-lobang. Kemudian dengan
memasukkan besi yang sudah dipanaskan, maka lobang-lobang
itu akan menimbulkan retakan-retakan. Dari retakan itulah ahli
nujum mengembangkan menjadi bentyuk-bentuk tertentu,
mungkin berupa gambar binatang, tumbuh-tumbuhan, serta
gambar-gambar benda, dan dari gambar yang dihasilkan itulah
dipahami pengertian tentang apa yang bakal terjadi, seperti
panen yang akan melimpah ruah atau kekuasaan yang akan
hancur dan sebagainya.

Cara-cara pelambangan gambar untuk mengungkapkan sesuatu


pengertian, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli nujum ini
ternyata membawa dampak positif bagi perkembangan tulisan
Tionghoa untuk masa-masa selanjutnya. Penggunaan gambar
untuk melambangkan suatu pengertian ucapan, sampai saat ini
masih tetap digunakan. Sekalipun cara penggambarannya sudah
semakin disederhanakan, namun tidak mengubah fungsi
lambang itu sendiri sebagai lambang pengertian ucapan. Tidak
dapat dielakkan pula bahwa sistem ini menuntut penggunaan
lambang yang sangat banyak, karena satu gambar mengemban
satu pengertian ucapan. Akan tetapi, sebaliknya, sistem ini
memiliki keuntungan lain pula, yaitu tulisan gambar
(pictografis) ini, dapat dibaca oleh setiap kelompok masyarakat
yang menganut sistem ini, meskipun ada perbendaan-perbedaan
bunyi ucapan di antara kelompok -kelompok itu.

Penggunaan media kulit penyu dan tulang-belulang, ternyata


juga menuntun kemajuan yang lebih cepat dalam bidang
penggunaan media tulis pada masyarakat Tionghoa. Belahan-
belahan bambu dan kayu akhirnya menggantikan kulit penyu
dan tulang, namun tetap dengan menggunakan besi panas
sebagai alat tulisnya. Setelah bambu dan kayu dirasakan kurang
praktis dan berat, maka orang-orang Tionghoa beralih ke
penggunaan kain sutera, setelah sebelumnya mereka
menemukan cara-cara pembuatan tinta, yaitu dengan
menggunakan minyak rengas yang diberi warna hitam dengan
jelaga.

Pada abad pertama Masehi, masyarakat Tionghoa telah meramu


kertas untuk menggantikan sutera yang dirasakan terlalu mahal.
Bahan baku bagi pembuatan kertas ini adalah pakaian bekas,
jerami dan kulit kayu. Bahan ini terlebih dahulu dihancurkan,
kemudian disaring dan dituangkan pada wadah yang datar, dan
beberapa waktu kemudian, mereka pun berhasil memutihkan
kertas yang sudah jadi itu.
Kepandaian membuat kertas ini dipelajari oleh orang-orang
Islam dari Tionghoa, terutama pada saat pesatnya kegiatan
dagang antara Timur Tengah dengan wilayah ini. Pabrik kertas
pertama didirikan oleh umat Islam di Samarkand dan pada
masa-masa selanjutnya diikuti pula oleh wilayah-wilayah Islam
lainnya. Orang-orang Barat, seperti Perancis dan Italia
memperoleh kepandaian ini dari Spanyol sekitar tahun 1200 M.
Pada saat Eropa mulai mengembangkan pembuatan kertas ini,
orang Tionghoa telah mengembangkan teknologi percetakan. Ini
sudah mereka rintis penggunaannya semenjak tahun 770 M.
dengan menggunakan cetakan kayu.

Anda mungkin juga menyukai