Anda di halaman 1dari 8

C.

Bahasa Sanskerta dan Huruf Pallawa


Bahasa Sanskerta mulai dikenal di Indonesia sejak zaman peradaban Hindu masuk ke
wilayah Indonesia yang dibawa oleh pendeta dari India dan sekitarnya pada abad ke-5 M.
Kemudian budaya Hindu mencapai kejayaan pada abad ke-7 yang ditandai dengan
banyaknya kerajaan Hindu yang berdiri di nusantara. Itulah kenapa bahasa sanskerta menjadi
bahasa pertama yang berpengaruh terhadap perkembangan bahasa di nusantara.
Bahasa sanskerta diyakini sebagai bahasa yang 'tinggi' dan dipakai untuk keperluan agama
dan ilmiah. Sehingga di India bahasa Sanskerta menjadi penanda status sosial seseorang
karena hanya diajarkan pada mereka yang berasal dari kasta tinggi. Kata Sanskerta, dalam
bahasa Sanskerta artinya adalah bahasa yang sempurna. Maksudnya, lawan dari bahasa
Prakerta, atau bahasa rakyat.
Bahasa ini sebenarnya merupakan rumpun dari bahasa Indo-Eropa paling tua yang
disebut-sebut sebagai bahasa klasik India. Bahasa Sanskerta kemudian berkembang dan
memberikan pengaruh terhadap bahasa di anak benua India. Bahasa yang berasal dari Indo-
Eropa tersebut kemudian menjadi cikal bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang kita pakai
sehari-hari.
Kontak multilateral Indonesia dengan bangsa lain menyebabkan terserapnya kata-kata
dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Selain diperkaya oleh kata-kata dari bahasa-
bahasa daerah di nusantara, kosakata bahasa Indonesia juga diserap dari bahasa asing antara
lain Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, China, dan lain sebagainya.
Banyak orang mengira, kata-kata seperti agama, durhaka, surga, neraka, pahala, dan dosa
berasal dari bahasa Arab.  Tidak semua orang Indonesia menyadari bahwa sesungguhnya
kata-kata tersebut diserap dari bahasa Sanskerta, yang memang lebih dulu masuk
mempengaruhi bahasa-bahasa di nusantara.
Memang, dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ini, kata-kata serapan dari
bahasa Sanskerta banyak dipakai untuk ranah penting, resmi, dan pada tataran atas. Misal
dasar negara Pancasila, semboyan integrasi nasional Bhineka Tunggal Ika, semboyan TNI
Swabuana Paksa, Jala Sena Stri, Jalesveva Jayamahe, nama gedung Bina Graha, Graha
Wiyata, Samapta Kridha Graha.  
Nama penghargaan nasional dari negara seperti Parasamya Kertanugraha, Pataka
Parasamya Purnakarya Nugraha, Anugerah Adipura, Satya Purnabhakti Kencana, diserap dari
kata-kata bahasa Sanskerta.
Aksara Pallawa atau kadang kala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang
berasal dari India bagian selatan dengan bahasanya yang bernama bahasa Sanskerta.[1] Aksara
ini muncul dari aksara Brahmi. Istilah aksara Pallawa awalnya dipakai oleh ahli arkeologi
Belanda, Nicolaas Johannes Krom. Nama aksara ini berasal dari Dinasti Pallava yang pernah
berkuasa di selatan India (sekitar Madras) antara abad ke-4 sampai abad ke-9 M. Dinasti
Pallava adalah sebuah dinasti yang memeluk aliran Jainisme.
Aksara Pallawa menyebar ke Asia Tenggara dan dipakai antara lain untuk menuliskan
Bahasa Melayu Kuna. Di Nusantara, akksara ini digunakan bersama tumbuhnya kerajaan
bercorak Hindu-Buddha. Transformasi dari aksara Pallawa, yang disebut aksara Pasca-
Pallawa, muncul di berbagai tempat Asia Tenggara. Di Indocina, aksara Pasca-Pallawa
berkembang menjadi Khmer kuno yang kelak menurunkan aksara Thai dan Lao. [3] Di pulau
Jawa, aksara Pasca-Pallawa kemudian disebut aksara Kawi yang berasal dari bahasa
Sansekerta yang artinya penyair.
Di Nusantara bukti terawal keberadaan aksara ini adalah Prasasti Mulawarman
di Kutai, Kalimantan Timur yang berasal dari abad ke-5 Masehi. Bukti tulisan terawal yang
ada di Jawa Barat dan sekaligus pulau Jawa, yaitu Prasasti Tarumanagara yang berasal dari
pertengahan abad ke-5, juga ditulis menggunakan aksara Pallawa.
Para brahmana dari India mengawali tradisi menulis di Nusantara dengan memperkenalkan
aksara Pallawa. Pallawa merupakan dinasti di India Selatan yang berkuasa dari abad ke-4
hingga abad ke-8. Aksara Pallawa menyebar ke Asia Tenggara, seperti Burma, Laos,
Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Indonesia di Kalimantan, Sumatra, Jawa, dan Bugis.
Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Mimi Savitri, mengatakan di wilayah lain, aksara
Pallawa tidak banyak berubah, sedangkan di Nusantara mengalami perubahan. Di tempat
asalnya, Pallawa berbahasa Sanskerta. Sedangkan di Nusantara, ketika Pallawa berubah jadi
Jawa Kuno, bahasanya Jawa Kuno. Walaupun ada juga Jawa Kuno berbahasa Sanskerta.
Aksara Jawa Kuno banyak digunakan dalam prasasti-prasasti pada masa Mataram Kuno
hingga Majapahit.
"Karena masyarakat Nusantara bisa mengubah Pallawa ke Jawa Kuno dan kadang bentuk
aslinya tak tampak, apakah sebelumnya mereka sudah bisa menulis tapi tidak
terdokumemtasi?" kata Mimi dalam diskusi "Mengenal Aksara Jawa Kuno" via
aplikasi zoom yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta dalam rangkaian acara Hari
Purbakala 14 Juni 2020.
Dihubungi secara terpisah, Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional menjelaskan, tulisan dalam prasasti di Sumatra dan Kalimantan sama dengan di
Jawa. Bedanya dalam pemakaian bahasa dan cara menulis.
 "Itu aja. Nanti kita bisa tahu, ini tulisan dari Sumatra Kuno bukan Jawa Kuno," kata Titi.
Sejauh ini, bukti tradisi menulis tertua di Nusantara ditemukan di Kalimantan bagian timur
dari abad ke-4, yaitu Prasasti Yupa yang dikeluarkan Kerajaan Kutai. Prasasti sezaman
ditemukan di Jawa bagian barat, yaitu beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan
Tarumanegara. Prasasti dari Kutai dan Tarumanegara menggunakan aksara Pallawa dan
bahasa Sanskerta.
Menurut Titi, orang-orang di Nusantara mengambil aksara Pallawa berbahasa Sanskerta
karena mendatangkan para brahmana dari India. Bahasa Sanskerta hanya dikenal oleh
kalangan terbatas, misalnya kaum brahmana Hindu agar ajarannya tak bocor.
"Kebiasaan menulis belum banyak. Mungkin yang pertama kali juga brahmana. Di India
cuma brahmana yang bisa menguasai bahasa dan tulisan," kata Titi.
Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Jawa Kuno berbahasa Jawa
Kuno, seperti digunakan pada prasasti Mataram Kuno, Kadiri (abad ke-12), Singhasari,
hingga Majapahit. Kendati demikian, ada pula aksara Jawa Kuno berbahasa Sanskerta, seperti
digunakan pada prasasti-prasasti awal Kerajaan Mataram Kuno dan Kanjuruhan.
"Lama kelamaan kita bisa menulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan masih bahasa
Sanskerta, ke sini lagi sudah berbahasa Jawa Kuno. Dari tahun 760-an mulai memakai Jawa
Kuno," kata Titi.
Aksara Jawa Kuno kemudian berkembang menjadi aksara Bali Kuno (abad ke-8-13) dan
Sunda Kuno (abad ke-14-16). Aksara Jawa Kuno berkembang lagi menjadi aksara Jawa Baru
atau dikenal dengan hanacaraka.
Penanda Masa Perubahan aksara yang dipakai pada masa Mataram Kuno hingga
Majapahit juga mengalami perkembangan. Setiap masa memiliki gaya tulisan masing-
masing. Ada aksara Kawi (Jawa Kuno, red.) awal standar yang biasanya dipakai pada prasasti
masa Mataram Kuno periode Jawa Tengah, yaitu masa pemerintahan Balitung (abad ke-8
sampai ke-9) hingga abad ke-10. "Tulisannya rapi, bagus, jelas," kata Titi. Bentuk tulisannya
berubah pada masa Mpu Sindok yang memerintah Mataram Kuno periode Jawa Timur.
Tulisannya cenderung persegi.

D. Seni Sastra dan Seni Pertunjukan


1) Seni Sastra
Wiracarita atau kisah kepahlawanan India yang memasyarakat di Indonesia dan
memengaruhi kehidupan serta perkembangan sosial budaya adalah cerita
Mahabharata dan Ramayana. Kitab Mahabharata terdiri atas delapan belas jilid
(parwa). Setiap jilid terbagi lagi menjadi beberapa bagian (juga disebut parwa) yang
digubah dalam bentuk syair. Cerita pokoknya meliputi 24.000 seloka. Sebagian besar
isi kitab ini menceritakan peperangan sengit selama delapan hari antara Pandawa dan
Kurawa. Kata Mahabharatayudha sendiri berarti peperangan besar antarkeluarga
Bharata. Menurut cerita, kitab ini dihimpun oleh Wiyasa Dwipayana. Akan tetapi,
para ahli sejarah beranggapan bahwa lebih masuk akal jika kitab itu merupakan
kumpulan berbagai cerita brahmana antara tahun 400 SM sampai 400 M.
Kitab Ramayana dikarang oleh Walmiki. Kitab ini terdiri atas tujuh jilid (kanda)
dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 24.000 seloka. Kitab ini berisi perjuangan
Rama dalam merebut kembali istrinya, Dewi Sinta (Sita), yang diculik oleh Rahwana.
Dalam perjuangannya, Rama yang selalu ditemani Laksmana (adiknya) itu mendapat
bantuan dari pasukan kera yang dipimpin oleh Sugriwa. Selain itu, Rama juga dibantu
oleh Gunawan Wibhisana, adik Rahwana yang diusir oleh kakaknya karena
bermaksud membela kebenaran (Rama). Perjuangan tersebut menimbulkan
peperangan besar dan banyak korban berjatuhan. Di akhir cerita, Rahwana beserta
anak buahnya gugur dan Dewi Sinta kembali kepada Rama.
Akulturasi di bidang sastra dapat dilihat pada adanya modifikasi cerita-cerita asli
India dengan unsur tokoh-tokoh Indonesia serta peristiwa-peristiwa yang seolah-olah
terjadi di Indonesia. Contohnya adalah penambahan tokoh punakawan (Semar,
Bagong, Gareng, Petruk) dalam kisah Mahabharata. Bahkan, dalam literatur-literatur
keagamaan Hindu-Buddha di Indonesia sulit kita temukan cerita asli seperti yang ada
di negeri asalnya. Pengaruh kebudayaan India yang dipertahankan dalam 
kesusastraan adalah gagasan, konsep, dan pandangan-pandangannya.

Karya Sastra Indonesia yang Dipengaruhi Kebudayan Hindu Buddha antara lain
adalah:
a. Arjunawiwaha, karya Mpu Kanwa yang disusun pada masa pemerintahan
Airlangga.
b. Bharatayudha, karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh disusun pada zaman kerajaan
Kediri.
c. Gatotkacasraya, karya Mpu Panuluh disusun pada kondusif kerajaan Kediri.
d. Arjuna Wijaya dan Sutasoma, karya Mpu Tantular yang disusun pada zaman
kerajaan Majapahit.
e. Negarakertagama, karya Mpu Prapanca disusun pada zaman kerajaan Majapahit.
f. Wretta Sancaya dan Lubdhaka, karya Mpu Tanakung yang disusun pada zaman
kerajaan Majapahit.

2) Seni Pertunjukan Wayang


Seni pertunjukan,terutama seni wayang sampai sekarang merupakan
salah satu bentuk seni yang masih populer di kalangan masyarakat Indonesia.Seni
wayang beragam bentuknya seperti wayang kulit,wayang golek,dan wayang
orang.Seni pertunjukan wayang tampaknya telah dikenal oleh bangsa Indonesia sejak
zaman prasejarah.Pertunjukan wayang pada masa ini selalu dikaitkan dengan fungsi
magis religius yaitu sebagai bentuk upacara pemujaan pada arwah nenek moyang
yang disebut Hyang . Kedatangan arwah nenek moyang diwujudkan dalam bentuk
bayangan dari sebuah wayang yang terbuat dari kulit. Lakon wayang pada masa ini
lebih banyak menceritakan tentang kepahlawanan dan petualangan nenek moyang,
seperti lakon-lakon “Dewi Sri” atau “Murwakala”.
Pertunjukan wayang diadakan pada malam hari di tempat tempat yang dianggap
keramat. Pada masa Hindu-Buddha, kebudayaan pertunjukan wayang ini terus
dilanjutkan dan lebih berkembang lagi dengan cerita-cerita yang lebih kaya. Cerita-
cerita yang dikembangkan dalam seni wayang kemudian sebagian besar mengambil
epik yang berkembang dari agama Hindu-Buddha terutama cerita Ramayana dan
Mahabharata. Meskipun demikian, tampaknya cerita yang dikembangkan dalam seni
pertunjukan wayang tidak seluruhnya merupakan budaya atau cerita yang sepenuhnya
berasal dari India. Unsurunsur budaya asli memberikan ciri tersendiri dan utama
dalam seni wayang.Hal ini terlihat dengan dimasukkannya tokoh-tokoh baru yang kita
kenal dengan sebutan Punakawan.
Tokoh-tokoh punakawan seperti Bagong, Petruk dan Gareng (dalam seni wayang
golek disebut Astrajingga atau Cepot, Dewala dan Gareng) tidak akan kita temukan
dalam cerita-cerita epik populer India seperti Ramayana dan Mahabharata, sebab
penciptaan tokoh-tokoh tersebut asli dari Indonesia. Munculnya tokoh Punakawan ini
untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Mpu Panuluh yang hidup pada aman
kerajaan Kediri. Dalam karya sastranya yang berjudul Ghatotkacasraya, Mpu Panuluh
menampilkan unsur punakawan yang berjumlah tiga, yaitu Punta, Prasanta dan Juru
Deh sebagai hamba atau abdi tokoh Abhimanyu, putra Arjuna. Dalam karyanya
tersebut, Mpu Panuluh masih menggambarkan tokoh punakawan sebagai tokoh
figuran yang kaku dan porsi cerita terbesar masih dipegang oleh tokoh-tokoh utama.
Pada perkembangan selanjutnya tokoh punakawan ini menjadi tokoh penting
dalam seni pertunjukan wayang, sebab memberikan unsur humor dan lelucon yang
dapat membangun cerita wayang lebih menarik lagi. Dimasukkannya tokoh-tokoh
punakawan juga seakan-akan untuk menggambarkan hubungan antara bangsa India
dengan penduduk asli. Pembauran budaya asli dengan budaya Hindu-Buddha terlihat
juga pada pencampuradukan antara mitos-mitos lama dengan cerita-cerita baru dari
India. Misalnya dalam kitab Pustaka Raja Purwa menggambarkan dewa-dewa agama
Hindu yang turun ke bumi dan menjadi penguasa di tanah Jawa. Sang Hyang Syiwa
menjadi raja di Medang Kamulan, Sang Hyang Wisnu menggantikan kedudukan
Prabu Watu Gunung dengan gelar Brahma Raja Wisnupati.
E. Sistem Kalender
Kalender Saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan
sebuah penanggalan syamsiyah qomariyah (candra surya) atau kalender lunisolar, maksudnya
sistem kalender yang menggunakan periode bulan mengelilingi bumi untuk satuan bulan,
namun untuk penyesuaian dengan musim dilakukan penambahan satu bulan atau
beberapa hari (interkalasi), setiap beberapa tahun.  Berhubung bulan-bulan dalam kalender
Saka hanya terdiri dari 30 hari, maka tahun baru harus disesuaikan setiap tahunnya untuk
mengiringi daur perputaran matahari.
Penggunaan kalender Saka tidak hanya oleh masyarakat Hindu di India saja, kalender ini
juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Di Bali kalender Saka yang telah
ditambahi dengan unsur-unsur lokal dipakai sampai sekarang, begitu pula di beberapa daerah
di Jawa, seperti di Tengger yang masih banyak penganut agama Hindu. terutama untuk
menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.
Kalender Saka Di India Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah
yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku
bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa
tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa
tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka
benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan,
dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan
dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan
kebudayaannya benar-benar memasyarakat.
Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan
di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku
bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai
untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk
merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak
kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).
Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi
mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Sejak itu pula, kehidupan
bernegara, bermasyarakat, dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu, peringatan
Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan
(persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan hari kedamaian sekaligus hari kerukunan
nasional. Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang
mengikuti penyebaran agama Hindu.
Awal setiap bulan adalah saat konjungsi, sehingga tanggal kalender Saka umumnya lebih
dahulu sehari dari tanggal kalender Hijriyah yang diawali munculnya hilal. Setiap bulan
dibagi menjadi dua bagian yaitu suklapaksa (paro terang, dari bulan mati sampai purnama)
dan kresnapaksa (paro gelap, dari selepas purnama sampai menjelang bulan mati). Masing-
masing bagian berjumlah 15 atau 14 hari (tithi). Jadi kalender Saka tidak mempunyai tanggal
16. Misalnya, tithi pancami suklapaksa adalah tanggal lima, sedangkan tithi
pancami kresnapaksa adalah tanggal dua puluh.
Konsep sunya (kosong) dalam ajaran Hindu mendasari kalender Saka untuk menghitung
tahun dari Nol. Tanggal 1 Caitra tahun Nol bertepatan dengan tanggal 14 Maret 78. Tahun
baru 1 Caitra 1932 jatuh pada tanggal 16 Maret 2010. Di Indonesia kita mengenal tahun baru
Saka sebagai Hari Raya Nyepi.
Kalender Saka Di Bali Kalender saka berkembang dan menyebar sampai ke Indonesia
khususnya ke Bali, hanya saja kalender ini setelah sampai di Bali mengalami berbagai
perubahan dalam sistematikanya., sehingga terjadi perbedaan. Karena perbedaan itulah maka
kalender Saka yang ada di Bali lebih populer dengan nama kalender Saka Bali.
Kalau dilihat dari sejarahnya, kalender Saka Bali ini belum bisa dipastikan siapa
penciptanya dan tahun berapa mulai berlakunya. Namun apabila ditinjau dari adanya
penerbitan kalender Saka Bali, maka akan ditemukan peristisnya yaitu I Gusti Bagus Sugriwa
dan I Ketut Bambang Gde Rawi. Kedua orang inilah yang telah menyusun dan menerbitkan
kalender Saka Bali yang dapat kita warisi sampai sekarang.
Di dalam penentuan awal dan akhir tahun kalender Saka Bali berpedoman dengan
kalender matahari yaitu pada saat matahari tepat berada di bawah khatulistiwa. Akhir
tahunnya ada pada tilem (New Moon) kesanga pada saat bulan mati yang terjadi antara bulan
Maret- April, dan merupakan tilem yang terdekat dengan tanggal 21 Maret. Pada saat itu
diadakan upacara Tawur Kesanga dan besoknya dimulai tahun baru yang dirayakan umat
Hindu yang terkenal dengan nama Hari Raya Nyepi (penanggalan 1 Sasih Kedasa).
Sedangkan dalam menentukan umur bulan kalender Saka Bali berpedoman pada
kalender bulan (Lunar Kalender) yaitu antara tilem dengan tilem berikutnya,
dimana tilem dalam kalender Hijriyah adalah ijtima’ (kongjungsi). Dalam 1 bulan candra atau
sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari 15 hari menjelang purnama disebut penanggal
atau suklapaksa, diikuti dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem)
disebut panglong atau kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu
purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah purnama, kembali
siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem)
menggunakan warna hitam. Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering
dipakai titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan mati. Angka
1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16 sampai 30 mewakili angka 1 sampai
15 angka berwarna hitam atau panglong.
F. Kehidupan Masyarakat
Pulau Bali merupakan sebuah provinsi yang menjadi tetangga dari Jawa Timur dan
dikenal sebagai daerah yang mayoritas dihuni masyarakat pemeluk Agama Hindu. Oleh
karena itu, tidak heran kalau Anda akan menjumpai sistem kasta masyarakat Bali. Hanya
saja, sistem kasta masyarakat Hindu Bali memiliki bentuk yang lebih sederhana dibandingkan
dengan sistem kasta Hindu di India.
Selain itu, penerapan sistem kasta masyarakat Bali juga tidak membuat aktivitas sosial
mengalami gangguan. Apalagi, wialayah Bali terkenal sebagai daerah yang memiliki tingkat
toleransi tinggi di Indonesia. Toleransi tersebut tak hanya antar umat beragama, tetapi juga
dengan sesama pemeluk Hindu Bali.
Pembagian Sistem Kasta Masyarakat Bali
Secara umum, Anda akan menemukan sebanyak 4 kasta yang ada dalam penerapan
sistem kasta masyarakat Bali. Empat kasta tersebut adalah:
1. Brahmana
Brahama menjadi kasta tertinggi yang ada dalam sistem kasta masyarakat Bali.
Tingkatan ini ditujukan kepada mereka yang termasuk sebagai seorang ahli ataupun
pemuka Agama Hindu. Para pemuka agama tersebut, menjalankan tugasnya dengan
memimpin upacara keagamaan. Anda pun bisa mendapati anggota kasta brahmana
yang berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan.
2. Kesatria
Tingkatan kasta yang berikutnya adalah mereka yang ada dalam kasta kesatria. Kasta
kesatria secara khusus diberikan kepada mereka yang menjadi abdi kerajaan, seperti
para senopati, prajurit, ataupun mereka yang menjadi abdi negara.
3. Wasya
Kaum wasya menjadi jenis kasta yang bisa didapatkan oleh mereka yang terlibat
dalam industri perdagangan. Intinya, mereka yang masuk dalam golongan ini adalah
orang-orang yang berperan penting sebagai penggerak ekonomi kerajaan ataupun
negara.
4. Sudra
Golongan keempat atau yang paling rendah dalam sistem kasta masyarakat Bali
adalah sudra. Fungsi utama dari keberadaan golongan sudra adalah untuk melayani 3
kasta yang berada di atasnya. Dalam sistem modern seperti sekarang, para buruh serta
petani merupakan anggota dari golongan sudra.

Pengaruh Sistem Kasta Masyarakat Bali Pada Penggunaan


Sistem kasta masyarakat Bali memberi pengaruh dalam berbagai kehidupan sosial.
Bahkan, nama dari orang yang masuk dalam kasta sudra memiliki perbedaan dibandingkan
dengan mereka yang masuk dalam kasta kesatria ataupun kasta lain di atas sudra. Secara
umum, tata penamaan nama masyarakat Bali adalah Nama menempatkan gelar di bagian
pertama, urutan lahir, lalu nama pemberian orang tua di akhir nama.
Perbedaan yang paling mencolok adalah pada penggunaan nama gelar. Pada kasta
brahmana, gelar yang diberikan adalah Ida Bagus ataupun Ida Ayu. Sementara itu, gelar
Anak Agung atau Anak Agung Ayu merupakan gelar untuk kasta kesatria. Untuk kasta
wasya, ada 3 jenis gelar yang biasa disematkan, yakni gusti, dewa, dan desak. Sementara itu,
golongan sudra menjadi masyarakat yang paling dominan di Bali, dengan persentasi
mencapai 90%. Mereka yang masuk dalam kasta sudra, tidak punya gelar khusus. Pembedaan
dalam kasta ini hanya dari pemakaian I serta Ni di bagian depan.
Dengan memperhatikan sistem penamaan tersebut, Anda tidak bisa memanggil
seorang Bali dengan nama Wayan ataupun Made. Bisa dipastikan, bakal banyak orang yang
menoleh. Sebagai gantinya, Anda bisa memanggil orang Bali itu dengan panggilan Artanadi,
Widyana, Mahendra, ataupun Iriawan, sesuai dengan embel-embel nama paling belakang.
Meski penggunaan sistem kasta sudah tidak seketat dulu, tetapi masyarakat Bali tetap
berupaya menggunakan tradisi nama yang telah diturunkan oleh para leluhur. Bagi mereka,
itu adalah upaya untuk menjaga budaya yang telah berusia ratusan tahun.

G. Sistem Pemerintahan
Sejak masuknya agama Hindu dan Buddha di Indonesia, pengaruh India
termasuk sistem pemerintahan juga menyebar. Akibatnya muncullah kerajaan-kerajaan
mengikuti pola pemerintahan dari India.
Sistem kerajaan ini menggantikan sistem kesukuan dan desa yang sebelumnya
diterapkan. Sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Buddha misalnya, orang Jawa hidup
dalam desa-kecil yang dipimpin seorang kepala desa. Kemudian setelah masuknya pengaruh
India mulailah muncul kerajaan di Jawa.
Kerajaan yang dipengaruhi ajaran Hindu Buddha ini menganut paham devaraja atau
kultus dimana sang raja didewakan atau dianggap titisan dewa di bumi.
Konsep ini terkait erat dengan konsep Chakravartin atau penguasa semesta dalam
pemerintahan kerajaan di India.
Sebagai perwujudan kekuasaan raja, setelah meninggal para raja ini akan diperabukan
dan abunya disemayamkan di candi-candi. Dengan masuknya agama Hindu dan Buddha, para
pemimpin di Indonesia mulai menggunakan gelar-gelar kebangsawanan dan nama dari
bahasa Sansekerta. Misalnya di Kutai, raja pertama adalah Kudungga yang menggunakan
nama asli Kutai, namun keturunannya mulai menggunakan nama bahasa Sansekerta
yaitu Aswawarman dan Mulawarman.
Sistem pengangkatan raja pada masa kerajaan Hindu Budha dilakukan mengikuti
garis keturunan, umumnya dari ayah ke anak, yang membentuk suatu dinasti atau Wangsa.
Misalnya, Dinasti Sanjaya adalah sebuah dinasti Jawa kuno yang memerintah kerajaan
Mataram.
Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia mengubah sistem pemerintahan
yang ada di nusantara. Awalnya, sistem pemerintahan bercorak kesukuan dan kerakyatan
menjadi monarki dengan hirarki (tingkatan) yang jelas.
Struktur pemerintahan monarki berlaku umum disemua kerajaan Hindu-Budha yang
pernah muncul di Indonesia mulai dari Kutai sampai Majapahit, artinya pemimpin tertinggi
pemerintahan adalah raja. Dimana, raja dipilih berdasarkan faktor keturunan dari dinasti yang
berkuasa dan dikukuhkan oleh kasta Brahmana atau kasta yang paling disegani dalam
masyarakat Hindu.

Anda mungkin juga menyukai