Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Singkat Aksara di Nusantara

Aksara Nusantara merupakan beragam aksara/tulisan yang pernah digunakan di


Nusantara sebelum dikenalnya abjad Arab dan alfabet Latin. Digunakannya
aksara-aksara ini oleh leluhur Bangsa Indonesia dapat dirunut hingga sekitar abad
ke-4, dengan ditemukannya prasasti-prasasti dan naskah peninggalan kerajaan-
kerajaan terdahulu.
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara ini berupa tujuh buah yupa
(tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti
mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja Kutai
di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan
Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf
Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut
dibuat pada sekitar Abad IV.
Ada pendapat sebelum hadir aksara Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim
dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian
kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India.
Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara para sarjana (pribumi dan asing)
hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir
sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buda) dari India yang datang dan
menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat.
Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya
dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan
pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis
1975).
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga
pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Prancis bernama
Louis Charles Damais (l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli
tersebut belum benar-benar menegaskan darimana dan bagaimana awal kehadiran
serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak
hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya.
Aksara-Aksara di Nusantara (Dwipantara)
Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya)
disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha, jenis aksara yang
semula dipergunakan untuk menulis ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks
dengan jenis aksara yang dipakainya disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham.
Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati
1978).
Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya
terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet,
materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat (bakar atau terracotta) atau
dijemur dan dikeringkan matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak
atau jarang disertai unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya
secara tepat. Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan
tipe, gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet,
meterai atau stupika yang ditemuakan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar
abad pertama sampai ketiga Masehi (A.D). Di Nusantara benda-benda seperti ini
ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskrta.
Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti)
Pallava (India selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), Juga memiliki
kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti
tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang
diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan
Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara
Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskrta dengan gaya khas inovasi-nya. Prasasti-
prasasti masa Tarumanagara (tujuh) dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti
Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi (sungai) Cisadane dan
Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka)
Sanskrta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran.
Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu sebagai
bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters, conch-shell-script atau aksara
sangkha. Sejauhmana kebenarannya, yang jelas pilin, pilin gandha ataupun sulur-
suluran merupakan citra gaya seni geometris yang paling tua dikenal manusia di
bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).
Gaya pahatan aksara-persegi ini selanjutnya mendasari gaya aksara-aksara di Jawa
Timur (abad XI-Masehi) dengan berbagai variasinya juga, baik yang dipahatkan
tipis dan halus, bahkan berpadu dengan inovasi gaya Bali sekalipun yang
dipahatkan menonjol ke luar, sangat tebal dengan ukuran cukup besar acapkali
raya dengan hiasan (sulur-suluran) sehingga bentuk aksaranya sulit dipahami
yakni aksara Kwadrat, khusus dipakai menuliskan semboyan-semboyan tertentu,
prasasti yang beraksara kwadrat lebih sering dipahatkan pada prasasti-prasasti
pendek dan sangat khas pada masa Kadiri.
Gaya ini kemudian menjadi dasar menuju perkembangan aksara abad IX Masehi
penanda utama adalah hadirnya serif (=kuncir) yang ditemukan di bagian kepala
aksara-aksara khusus aksara terbuka ke atas. Tanda ini tidak ditemukan pada
aksara aksara di India. Tampaknya remeh namun kehadiran kuncir di sini justru
merupakan petunjuk paling penting yang secara tegas (significant) tentang inovasi
selain pengaruh India yakni Kamboja. Pemakaiannya mendominasi aksara-aksara
prasasti-prasasti yang ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali bahkan menjadi ciri
khas hingga ke masa Singhasari-Majapahit.
Periode perkembangan tulisan di Nusantara :
Zaman Klasik : Aksara Pallawa, Aksara Kawi, dll.
Zaman Pertengahan : Aksara Buda, Aksara Sunda Kuna, dll.
Zaman Kolonial : Aksara Batak, Aksara Lampung, Aksara Jawa, Aksara
...Bali, dll.
Zaman Modern : Aksara Sunda Baku, Huruf Latin ( Romawi).

1. Aksara Zaman Klasik
Aksara Pallawa
Aksara Pallawa kadangkala ditulis sebagai Pallava adalah sebuah aksara yang
berasal dari India bagian selatan. Aksara ini sangat penting untuk sejarah di
Indonesia karena aksara ini merupakan aksara dari mana aksara-aksara Nusantara
diturunkan.
Di Nusantara bukti terawal adalah Prasasti Mulawarman di Kutai, Kalimantan
Timur yang berasal dari abad ke-5 Masehi. Bukti tulisan terawal yang ada di di
Jawa Barat dan sekaligus pulau Jawa, yaitu Prasasti Tarumanagara yang berasal
dari pertengahan abad ke-5, juga ditulis menggunakan aksara Pallawa.
Nama aksara ini berasal dari Dinasti Pallava yang pernah berkuasa di selatan India
antara abad ke-4 sampai abad ke-9 Masehi. Dinasti Pallava adalah sebuah dinasti
yang memeluk aliran Jainisme.








Gbr.Perubahan Aksara Pallawa ke Aksara Nusantara Gbr.Aksara Pallawa di Yupa

Aksara Kawi
Kawi (juga dikenal dengan nama Kavi) adalah nama untuk sistem penulisan atau
aksara yang berasal dari Jawa dan digunakan di sekitar Semenanjung Malaya
dalam berbagai prasasti dan tulisan dari abad ke-8 hingga sekitar tahun 1500 M.
[1]

Kawi juga merupakan nama dari bahasa, yaitu Bahasa Kawi yang digunakan
dalam prasasti dan tulisan tersebut di atas, namun lebih umum disebut sebagai
Bahasa Jawa Kuna. Aliran sastra yang ditulis dengan aksara ini disebut Kakawin.
Aksara Kawi berasal dari "Aksara Pallawa" menurut para ahli Studi Asia
Tenggara seperti George Coedes
[rujukan?]
and D. G. E. Hall
[rujukan?]
sebagai dasar
dari beberapa sistem penulisan atau aksara di Asia Tenggara.
Tulisan beraksara Kawi paling awal diketahui berasal dari zaman Kerajaan
Singasari di Jawa. Sedangkan yang lebih baru ditemukan dalam masa Kerajaan
Majapahit, juga di pulau Jawa dan Bali, Kalimantan dan Sumatera.
Huruf Kawi termasuk jenis abugida, yang artinya huruf-huruf dibaca dengan
vokal yang menyertainya. Tanda diakritik digunakan untuk membunyikan vokal
dan mewakili konsonan murni, atau mewakili vokal-vokal lain.





Gbr. Aksara Kawi
2. Zaman Pertengahan
Aksara Buda
Aksara Buda atau Aksara Gunung adalah sejenis Hanacaraka yang arkhais.
Aksara ini dahulu digunakan di Pulau Jawa. Jenis aksara ini dinamakan aksara
Buda karena dianggap berasal dari zaman pra-Islam yang dalam bahasa Jawa
disebut sebagai Zaman Buda. Kata Buda bedasarkan kata Buddha. Naskah-naskah
yang berisikan tulisan menggunakan aksara Buda biasa ditemukan di daerah
pegunungan. Karena itu jenis aksara ini juga disebut dengan istilah "Aksara
Gunung".
Aksara Sunda Kuna
Aksara Sunda Kuna merupakan aksara yang berkembang di daerah Jawa Barat
pada Abad XIV-XVIII yang pada awalnya digunakan untuk menuliskan Bahasa
Sunda Kuna. Aksara Sunda Kuna merupakan perkembangan dari Aksara Pallawa
yang mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan
naskah-naskah lontar pada Abad XVI.
Penggunaan Aksara Sunda Kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai
pada prasasti-prsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali,
Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi.
Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan Aksara Sunda Kuna sudah
begitu lama tergeser karena adanya ekspansi Kerajaan Mataram Islam ke wilayah
Priangan kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu itu para menak Sunda lebih
banyak menjadikan budaya Jawa sebagai anutan dan tipe ideal. Akibatnya,
kebudayaan Sunda tergeser oleh kebudayaan Jawa. Bahkan banyak para penulis
dan budayawan Sunda yang memakai tulisan dan ikon-ikon Jawa.













Gbr. Aksara Sunda Kuna

3. Zaman Kolonial
Aksara Batak
Surat Batak adalah nama aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa Batak.
Surat Batak masih berkerabat dengan aksara Nusantara lainnya. Aksara ini
memiliki beberapa varian bentuk, tergantung bahasa dan wilayah. Secara garis
besar, ada empat varian surat Batak di Sumatra, yaitu Karo, Toba, Dairi,
Simalungun, dan Mandailing. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu, yaitu
orang yang dihormati oleh masyarakat Batak karena menguasai ilmu sihir, ramal,
dan penanggalan. Kini, aksara ini masih dapat ditemui dalam berbagai pustaha,
yaitu kitab tradisional masyarakat Batak.
Surat Batak adalah sebuah jenis aksara yang disebut abugida, jadi merupakan
sebuah perpaduan antara alfabet dan aksara suku kata. Setiap karakter telah
mengandung sekaligus konsonan dan vokal dasar. Vokal dasar ini adalah bunyi
[a]. Namun dengan tanda diakritis atau apa yang disebut anak ni surat dalam
bahasa Batak, maka vokal ini bisa diubah-ubah. Surat Batak zaman dahulu kala
digunakan untuk menulis naskah-naskah Batak yang di antaranya termasuk buku
dari kulit kayu yang dilipat seperti akordeon. Dalam bahasa Batak buku tersebut
dinamakan pustaha. Pustaha-pustaha ini yang ditulis oleh datu (dukun) berisikan
penanggalan dan ilmu nujum.








Gbr. Aksara (Surat) Batak
Aksara Lampung
Aksara Lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang
memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya
fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab
dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di
baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan
menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama
tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf
Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong,
Aksara Rejang Bengkulu, aksara Sunda, dan aksara Lontara. Had Lampung terdiri
dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat
lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah Kaganga
ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya
Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan
sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di
sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.
Aksara Jawa

Anda mungkin juga menyukai