Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN FILSAFAT DAN SASTRA

Claudia Larassati
160211601870

ABSTRAK

Karya sastra adalah hasil ciptaan rasa dan karsa manusia.


Pada karya sastra, baik secara disadari ataupun tidak, sebenarnya
banyak sekali memuat pemikiran-pemikiran si penulis. Karya
sastra yang banyak berisikan mengenai pandangan dan falsafah
hidup dapat mejadi refleksi bagi si pembaca. Filsafat adalah
sekumpulan sikap, pemikiran, dan kepercayaan terhadap problema-
problema yang berlangsung dalam masyarakat. Sastra sering
dikatakan sebagai ‘tulisan yang indah’, juga dikatakan sebagai
‘pembentuk budi pekerti’. Hubungan sastra dan filsafat laksana dua
sisi mata uang; permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari
permukaan yang lainnya, bersifat komplementer, saling
melengkapi.

Kata kunci: karya sastra, sastra, dan filsafat.

PENDAHULUAN

Kehidupan yang dijalani manusia selalu bergerak dinamis. Dinamika


tersebut tercipta karena daya rasa, karsa, dan cipta manusia yang menghasilkan
berbagai macam pemikiran manusia. Rata-rata, setiap manusia memiliki
kecenderungan untuk berusaha menampilkan perasaannya melalui hasil
ciptaannya. Ide-ide tersebut dituangkan dalam wujud yang nyata atau konkrit,
sehingga dapat diapresiasi oleh khalayak ramai.

Karya sastra merupakan contoh dari hasil cipta manusia atas rasa dan karsa
yang dimilikinya. Baik secara langsung maupun tidak langsung, karya sastra
mengandung ide-ide dan pemikiran dari si penulis. Bagi penulis, karya sastra
adalah cerminan atas refleksi dirinya, manifestasi ideologi, dan perwujudan atas
pemikiran-pemikiran yang ia miliki. Melalui karya sastra, setiap pemikiran-
pemikiran manusia dapat dituangkan dengan nilai-nilai bahasa yang estetis,
sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar pembaca
dapat dengan mudah untuk memahami isi yang tekandung dalam karya sastra
tersebut. Baik secara tersurat maupun tersirat.

Hampir setiap karya sastra, baik berupa prosa, puisi dan naskah drama
memiliki nilai-nilai perenungan atas kehidupan. Rata-rata, karya-karya sastra
banyak memuat hakikat mengenai suatu hal. Perenungan-perenungan inilah yang
termuat dalam kerangka filsafat. Hasil dari perenungan yang dialami oleh manusia
adalah paham-paham dan ideologi manusia sebagai falsafah kehidupan. Ideologi-
ideologi inilah yang berusaha untuk dituangkan oleh penulis dalam karya
sastranya.

Oleh sebab itu, filsafat dikenal cukup dekat dengan sastra. Sebab, dari
sastra itulah pembaca banyak mengambil falsafah hidup atas hakikat kehidupan
yang sebenarnya. Pembaca dapat mengambil dan menilai mengenai pemikiran
seseorang tentang satu topik, namun memiliki berbagai macam variasi pemikiran
atas pemecahannya. Karya sastra seolah-olah telah menjadi refleksi contoh yang
dibingkai dalam kisa-kisah fantasi yang memikat dan mudah dipahami oleh
pembaca.

Bagi seorang penulis, karya sastra tidak hanya sekedar menjadi media
penuangan hasil pemikirannya saja, tapi bisa jadi sebagai wadah krirtik sebagai
hasil dari buah pemikirannya. Karya sastra mugkin saja menjadi penanda atas
ideologi yang dimilikinya dalam karya sastra tersebut. Namun, lebih dari itu,
karya sastra menjadi suatu wadah yang murni bagi para penulis untuk
membangun refleksi-releksi baru di kalangan masyarakat.

Seringkali banyak orang menilai sastra sebagai suatu bentuk filsafat


dengan cara yang berlebihan. Sastra seringkali dinilai sebagai suatu bentuk filsafat
yang terbungkus dalam bentuk khusus, yakni dituliskan dengan gaya bahasa yang
memiliki nilai estetisnya tersendiri. Jadi, banyak orang yang menganalisis suatu
karya sastra untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Namun,
kesalahannya adalah mereka tidak pernah mengetahui dasar dari pemikiran dan
sastra tersebut. Oleh sebab itu, filsafat dan sastra sesungguhnya merupakan dua
topik yang saling berhubungan dan menarik untuk dibahas dann dikaji.

PEMBAHASAN

Hakikat Filsafat

Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yakni
philos, philia, philien yang artinya senang, teman dan cinta. Sedangkan sophos,
sophia dan sophien yang artinya kebenaran, keadilan, dan bijaksana atau
kebijaksanaan. Pengertian filsafat secara etimologis dapat disimpulkan adalah
cinta kebenaran atau cinta kebijaksanaan/kearifan.

Kata filsafat juga berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Sedangkan dari
bahasa Inggris yaitu philosophy. Selain itu kata filsafat juga berasal dari bahasa
Indonesia yaitu filsafat (kata sifat filsafati) atau filosofi (kata sifat filosofis).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:277), filsafat dapat didefinisikan


sebagai berikut:

1. Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala


yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.

2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.

3. Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistimologi.

4. Falsafah.

Selain definisi KBBI, berikut ini diturunkan lima definisi filsafat sebagaimana
yang dihimpun oleh Titus, dkk., (1979). Kelima definisi ini menunjukan ragam
pemahaman manusia dan pengunaan terhadap kata filsafat.

1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan


alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan
dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.

3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.

4. Filsafat adalah sebagian analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang
arti kata dan konsep.

5. Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat


perhatian dari manusia dan yang di carikan jawabannya oleh ahli-ahli
filsafat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah sekumpulan sikap, pemikiran, dan
kepercayaan terhadap problema-problema yang berlangsung dalam masyarakat.

Hakikat Sastra

Sastra sangat berkait dengan istilah ‘filologi’. Filologi sebagai kajian


budaya mencakup sastra, bahasa, seni, politik, agama, dan adat istiadat. Satra
boleh juga disebut bagian dari filologi. Sastra sering dikatakan sebagai ‘tulisan
yang indah’, juga dikatakan sebagai ‘pembentuk budi pekerti’. Perkataan ini
banyak mengacu pada Horace, yakni dulce et utile yang memberikan penegasan
bahwa sastra sebagai karya yang indah dan bermanfaat bagi pembaca. Masyarakat
yang melakukan pembacaan terhadap karya sastra akan mendapatkan kesenangan
dari tulisan yang indah dan mengharukan, juga mendapatkan pengetahuan-
pengetahuan yang tidak pernah disadari keberadaannya di sekeliling.

Sastra memang hasil kreativitas pengarang yang mencermati realitas,


namun untuk memahaminya dibutuhkan ilmu mengenai sastra itu sendiri. Sastra
tidak hanya menampilkan rekaan untuk menghibur, melainkan ada sisi ‘tanda’
yang terwujud di dalamnya. Tanda itu terkait dengan gejala sosial yang secara
sadar ataupun tidak sadar mewujud pada teks sastra. Satra sebagai hasil kreativitas
merepresentasikan ‘gejala sosial’ yang dicermati oleh sastrawan, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Hakikat karya sastra yang menampilkan sisi universal sekaligus khusus
merupakan perkembangan dari konsep pemahaman terhadap sastra itu sendiri.
Sastra yang terus mengalami perubahan menjadikan teori-teori yang pernah
dituliskan pada masa dulu menuntut untuk terus diperbaharui. Hanya saja, teori-
teori yang agung dan diungkapkan dengan kecermatan masih dipertahankan
karena adanya keselarsan dengan zaman. Hakikat karya sastra yang terus
mengalami perubahan perlu dicermati pada keterhubungan antarilmu sastra.
Hubungan antarilmu tersebut merupakan pengetahuan untuk memasuki dunia
sastra yang penuh dengan tanda. Untuk memahami hakikat karya sastra, perlu
terlebih dahulu memahami cabang-cabang ilmu sastra dan hubungannya sebagai
elemen yang saling mengisi dan mentransformasikan sisi-sisi sastra yang terus
mengalami perubahan.

Cabang-cabang ilmu sastra itu diantaranya adalah sejarah sastra, kritik


sastra, dan teori sastra. Sulit membicarakan satu dan melepaskan yang dua.
Ketiganya merupakan satu jalinan. Jelas bahwa sulit memisahkan antara teori
sastra dari kritik dan sejarah sastra, maupun sebaliknya. Teori sastra tak mungkin
dapat disusun tanpa kritik dan sejarah sastra. Kriteria, kategori, skema (teori sasta)
tak mungkin dibuat tanpa pijakan studi karya sastra (kritik dan sejarah sastra).
Sebaliknya, tak mungkin ada kritik sastra dan sejarah sastra tanpa sistem
pemikiran dan generalisasi (teori sastra). Teori dan praktik selalu mempengaruhi.

Sastra tidak dapat dilepaskan dari unsur pengarang., masyarakat, dan


pembaca. Karya sastra ditulis oleh seorang pengarang. Karya sastra dapat pula
merupakan potret kehidupan masyarakat. Karya sastra ditulis tentu untuk
diapresiasi pembaca. Sebagai pribadi, pengarang adalah seorang warga
masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik
dan sosial yang penting, serta mengikuti isu-isu zamannya (Wellek dan Austin,
1989: 114). Sebagai warga masyarakat, pengarang cenderung berusaha
menyuarakan aspirasi masyarakat dalam karya-karyanya. Oleh karena itu,
membicarakan karya sastra sesungguhnya tidak terlepas dari masyarakat. Seni
dapat dikaitkan dengan biografi, psikologi, filsafat, maupun masyarakat. Karya
seni dapat diteliti melalui biografi pengarang, psikologi yang dianut pengarang,
filsafat yang mempengaruhi karya sastra, maupun masyarakat atau dunia tempat
pengarang berada.

Hubungan Filsafat dan Sastra

Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan yang
satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya, bersifat komplementer,
saling melengkapi. Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia.
Demikian juga filsafat, betapapun penekanannya pada usaha untuk
mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara
pada manusia sebagai objeknya.

Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan


refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan
refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan
filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan
radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di antaranya,
yang membedakan karya sastra dan filsafat.

Masalah hubungan sastra dan filsafat sesungguhnya bukanlah masalah


baru. Sejak manusia mengenal cerita-cerita mitologis, sejak iu pula sesungguhnya
hubungan sastra dengan filsafat dalam pengertian yang lebih luas sulit
dipisahkan. Seperti halnya cerita klasik semacam Mahabharata, Ramayana, karya
sastra atau karya filsafat; karya filsafat yang disuguhkan dalam bentuk karya
sastra dan karya sastra yang berisi ajaran-ajaran filsafat.

Sejumlah karya sastra lainnya yang secara tematik memperlihatkan


gagasan filsafat tertentu yang dianut atau yang sengaja disodorkan pengarangnya.
Hal tersebut tidak hanya mempertegas, betapa sastra dan filsafat begitu erat
hubungannya, tetapi juga tidak sedikit filsuf yang secara sadar menyam-paikan
gagasan filsafatnya dengan mengemasnya ke dalam bentuk karya sastra.

Sungguhpun demikian, harus diakui pula, bahwa di antara karya-karya


sastra yang sejenis itu, ada yang cenderung lebih berat ke filsafat daripada ke
karya sastranya, atau sebaliknya, atau juga kedua-duanya. Dalam kesusastraan
Indonesia modern, karya yang semacam ini kita temukan pada novel-novel
Danarto (Godlob), Budi Darma (Rafilus) atau Kuntowijoyo (Khotbah di atas
Bukit).

Dalam konteks itu, perlu diingatkan bahwa gagasan filsafat yang


dibungkus ke dalam kemasan sastra, tetaplah mesti ditempatkan sebagai karya
sastra. Artinya, bahwa karya itu tidak dapat begitu saja meninggalkan konvensi
kesastraannya. Gagasan filsafat yang terkandung dalam karya itu seyogianya
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur kesastraan lainnya.
Dengan demikian, gagasan filsafat itu akan lebur menjadi salah satu unsur yang
justru ikut membangun nilai-nilai estetika karya bersangkutan.

Kecenderungan sastrawan yang terbawa oleh hasrat besarnya untuk


berfilsafat dan mengabaikan nilai estetika kesastraan, akan tergelincir jatuh pada
karya yang lebih dekat ke karya filsafat daripada ke karya sastra. Akibatnya, karya
itu akan kehilangan daya tarik dan gregetnya sebagai karya sastra, karena ia lebih
mementingkan gagasan filsafatnya daripada nilai estetiknya. Karya Sutan Takdir
Alisjahbana, Grotta Azzura, misalnya, merupakan contoh betapa karya itu
menjadi kurang menarik karena Alisjhbana lebih menekankan dialog-dialog
panjang mengenai filsafat daripada kepaduan unsur-unsur novel itu sebagai
kesatuan estetik. Dengan demikian karya itu boleh jadi lebih tepat ditempatkan
sebagai karya filsafat daripada karya sastra.

Begitulah, betapapun karya sastra berbeda dengan filsafat, dalam semua


karya sastra yang bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah
menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema
karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam
pula kandungan filsafatnya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-
nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat
wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra
yang agung, dan bukan pada karya sastra picisan.
Contoh Analisis Karya

Karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat,


penekanannya ada pada usaha untuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan
manusia. Jadi, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Karya
sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan
manusia. Hanya saja, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat
merupakan refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis
yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut
hakikat dan keberadaan manusia. Sedangkan yang diungkapkan pada karya sastra
adalah penilaian atau nilai-nilai tentang hakikat dan keberadaan manusia. Itulah
yang membedakan karya sastra dan filsafat.

- Atheis – Achdiat K. Mihardja

Roman ini bertutur tentang kisah manusia yang tengah mencari penegasan
identitas diantara modernitas dan tradisi serta agama. Ditunjukkan lewat tokoh
Hasan yang dibesarkan seorang Muslim yang saleh dan kemudian mulai
meragukan kepercayaannya setelah pengaruh dari sahabat kecilnya dan kenalan-
kenalan lain di Bandung.

Melalui novel ini, Achdiat K. Mihardja menumpahkan segala isi


pikirannya, yang bisa jadi merupakan kritik sosial dan politiknya dengan
berlandaskan pada realita yang ada. Ia mengemukakan bahwa novel Atheis ini
merupakan realita. Dibuktikan dengan bagaimana ia menceritakan ideologi-
ideologi baru seperti, radikalisme dan anarkisme yang pernah menjadi popular di
kalangan masyrakat kala itu.

- AKU – Chairil Anwar

Sementara dalam puisi, sajak Aku karya Chairil Anwar jelas-jelas


bercorak eksistensialis. Kalimat “Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya
terbuang.” adalah pengumuman eksistensialis dari Chairil Anwar. Menurut Herry
Dim, Aku Chairil Anwar tersebut merupakan upaya ke arah penegasan eksistensi
diri. Manusia sebagai persona, sebagai individu yang total, guna menegaskan hak-
hak manusia perorangan.

Pada wilayah eksistensialis, hal tersebut merupakan pemberontakan


terhadap Sosialisme yang tengah jadi maintrend dalam diskursus intelektual
masyarakat Indonesia saat itu. Alhasil, adanya gagasan atau pemikiran dalam
sebuah karya sastra dapat dianggap sah. Dalam hal ini menunjukkan bahwa, karya
sastra merupakan hasil refleksi evaluatif atas realita yang ada. Sehingga
memungkinkan pernyataan bahwa, seni tidak saja untuk seni tapi juga untuk
sesuatu yang lain, semisal perubahan masyarakat.

- Sumur Tanpa Dasar – Arifin C. Noer

Drama ini, dalam perspektif filsafat menjabarkan tentang paham-paham


Materialisme, Kapitalisme, dan paling fokus pada konteks Fanatisme terhadap
eksistensi harta. Hal ini digambarkan lewat tokohnya yang merupakan seorang
pedagang kaya bernama Jumena Martawangsa yang mengalami konflik imajinasi
negatif karena tindakannya yang mengagungkan materi bernama harta, Jumena
yakin bahwa kebahagiaan tertinggi ada pada harta benda namun pada
kenyataannya, ia tidak pernah tentram akan kepemilikan harta tersebut dan bahkan
tumbuh pemikiran dari imajinasi liarnya yang menciptakan sikap egois dan
kecurigaan pada setiap orang disekitarnya yang dikiranya terus mencoba merebut
hartanya bahkan pada keluarganya sendiri.

Dari gambaran tokoh tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kegalauan


manusia saat ini terhadap eksistensi dirinya, merupakan problematik masyarakat
modern yang selalu berpandangan bahwa manusia seharusnya mengolah habis-
habisan nasib dan suratan takdir hidupnya.

Bertutur tentang konflik antara iman dan eksistensi diri. Dari situ terlihat
upaya Arifin untuk melakukan pembongkaran terhadap nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai etik religiusitas dan
kebebasan manusiawi. Selain itu, karya-karya Arifin pun dapat dikaitkan dan
dilacak hingga zaman romantisme yang banyak berbicara tentang perjalanan
hidup manusia, kemunafikan, moralitas, dan anti kemapanan. Namun sebagai
seorang muslim, Arifin tentu tidak dapat keluar dari kerangka normatif
keagamaannya. Pikiran-pikirannya tidak dapat dikatakan murni eksistensialis.
Dengan sendirinya, masalah-masalah eksistensialis mendapat muatan religius.

Seperti ditunjukkan dalam Sumur Tanpa Dasar, manusia modern telah


terjebak pada jenis kepercayaan yang baru, yakni pikiran alias dirinya sendiri.
Karena itu, modernitas lebih berpihak pada materialisme. Manusia modern
akhirnya jadi manusia yang perkasa namun menyedihkan. Ia sibuk dengan
kalkulasi matematis yang serba rasional, sambil mengubur dirinya sebagai
makhluk spiritual. Pada tingkat yang lebih mendasar, modernisme tidak saja
mengancam moralitas. Ia juga jadi ancaman bagi, kedirian. Jika sudah demikian,
di mana makna hidup ditempatkan?

RINGKASAN

Karya sastra merupakan contoh dari hasil cipta manusia atas rasa dan karsa
yang dimilikinya. Baik secara langsung maupun tidak langsung, karya sastra
mengandung ide-ide dan pemikiran dari si penulis. Melalui karya sastra, setiap
pemikiran-pemikiran manusia dapat dituangkan dengan nilai-nilai bahasa yang
estetis, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat. Oleh sebab itu, filsafat dikenal
cukup dekat dengan sastra. Sebab, dari sastra itulah pembaca banyak mengambil
falsafah hidup atas hakikat kehidupan yang sebenarnya.

filsafat adalah sekumpulan sikap, pemikiran, dan kepercayaan terhadap


problema-problema yang berlangsung dalam masyarakat. Sedangkan, sastra sering
dikatakan sebagai ‘tulisan yang indah’, juga dikatakan sebagai ‘pembentuk budi
pekerti’. Hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang; permukaan
yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya, bersifat
komplementer, saling melengkapi. Jadi, karya sastra membicarakan dunia
manusia. Demikian juga filsafat, penekanannya ada pada usaha untuk
mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia. Jadi, sumbernya tetap
bermuara pada manusia sebagai objeknya. Karya sastra maupun filsafat,
sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia.
DAFTAR RUJUKAN

Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1977. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani

Budiarta. 2014. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sariban. 2009. Teori dan Penerapan Penelitian Sastra. Surabaya: Lentera

Cendikia.

Sutardi. 2011. Apresiasi Sastra: Teori, aplikasi, dan pembelajarannya.

Lamongan: Pustaka Ilalang.

Mahayana. Maman S. 2008. Hubungan Sastra dan Filsafat. (Online),

(http://mahayanamahadewa.com/2008/11/27/hubungan-sastra-danfilsafat/),
diakses 7 Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai