Anda di halaman 1dari 10

REPRESENTASI NILAI-NILAI SPIRITUAL DARI RITUAL YANG DILAKUKAN PARA

PENARI KUDA LUMPING

Abstrak

Tulisan ini mengulas tentang nila-nilai spiritualitas yang tampak dalam kesenian kuda
lumping. Sebagai sebuah kesenian warisan budaya leluhur indonesia, kesenian kuda lumping
sering dikaitkan dengan hal-hal mistis dan magis. Anggapan tersebut muncul karena adanya
aksi kesurupan dalam setiap pertunjukkan kuda lumping. Selain itu ada pula ritual-ritual
khusus yang dilakukan para penari. Namun selain mistik dan gaib, terdapat pemaknaan
sendiri terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para penari kuda lumping.

Keyword : Kesenian, Kuda Lumping, Spiritualitas


PENDAHULUAN

Indonesia sangat kaya akan budaya, dari sabang sampai merauke terdapat ras dan
suku
bangsa yang memiliki budaya tersendiri. Perbedaan inilah yang menyebabkan negara
Indonesia kaya akan kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil karya manusia dalam
mempertahankan serta meningkatkan taraf hidup, juga sebagai proses adaptasi lingkungan.
Kebudayaan memiliki sifat dinamis atau selalu berubah-ubah. Tidak ada kebudayaan yang
tidak mengalami perubahan secara mutlak, artinya bagaimanapun keadaanya kebudayaan
selalu mengalami perubahan.

Salah satu bentuk kebudayaan adalah kesenian. Kesenian yaitu bagian dari
kebudayaan dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam
jiwa manusia. Banyak kesenian jaman dahulu yang masih dilestarikan, namun banyak juga kesenian
yang hilang akibat tidak adanya generasi penerus yang tidak mau melestarikannya. Berbagai bentuk
kesenian daerah tersebar di seluruh pelosok negeri Indonesia. Kesenian daerah yang tersebar di
Indonesia, khususnya didaerah Jawa seperti kuda lumping,atau juga dikenal sebagai jathilan atau
jaranan

Kuda lumping atau dikenal juga dengan sebutan Jaran Kepang atau Jathilan
merupakan salah satu kesenian rakyat yang eksistensinya telah ada sejak bergenerasi-generasi
silam. Sebagai sebuah kesenian, Kuda Lumping sering dipertunjukkan kepada khalayak luas
dalam berbagai perhelatan-perhelatan tertentu. Meski tak lagi banyak dijumpai, namun
kesenian Kuda Lumping memiliki eksitensi yang hingga kini masih terus dipertahankan.
Seperti halnya kesenian rakyat pada umumnya, kesenian Kuda Lumping kedudukannya di
masyarakat memiliki tiga fungsi, yaitu ritual, pameran atau festival kerakyatan, dan tontonan
atau bersifat entertainment, yaitu kepuasan batin semata (Hadi, 2005:206).

Dalam fungsinya sebagai ritual, Kuda Lumping memiliki berbagai macam simbol
yang bernilai ritual, baik yang berupa fisik seperti uborampen atau alat kelengkapan ritual,
pakaian, perhiasan dan lain-lain yang berupa gagasan/cita-cita, seperti mantra maupun berupa
perilaku (gerakan maupun bunyi-buyian). Untuk kepentingan pameran/festival, akan tampak
pengaruh besar memopulerkan kreativitas; sedangkan untuk kepentingan kesenangan atau
kepuasan batin, akan menjadi sarana yang bersifat use atau kegunaan yang bermanfaat.
Kesenian pedesaan sebagian besar hidup dalam pola pelembagaan ritual. Pola
pelembagaan kesenian ritual itu sesungguhnya masih mewarisi budaya primitif yang bersifat
mistis maupun magis. Seperti tari yang menirukan binatang atau animal mime atau animal
dance pada masyarakat primitif sampai sekarang masih dapat ditelusuri peninggalannya.
Sodarsono (dalam Minarto, 2002) menjelaskan bahwa Jathilan/ jaran kepang dari Jawa
diperkirakan merupakan salah satu warisan jenis tarian ritual dari budaya purba/primitif.
Bukan rahasia umum lagi bahwa para penari yang mempertunjukkan atraksi Kuda Lumping
umumnya akan berada dalam kondisi kerasukan roh, sehingga para penari mampu melakukan
atraksi seperti makan rumput dan padi, minum air comberan, dan sebagainya. Di lain pihak,
perilaku penari yang kalap itu akan membentuk image magis ketika ia makan bunga,
kemenyan menyala atau bersifat akrobatik, seperti makan beling, memecah kelapa dan
sebagainya.

Tulisan ini akan mengulas bagaimana kondisi kerasukan yang dialami oleh penari
kuda lumping memiliki pemaknaan spiritual yang kemudian menjadi nilai yang diterapkan
dalam kehidupannya sehari-hari.
PEMBAHASAN

Kesenian sebagai karya atau hasil simbolisasi manusia merupakan sesuatu yang
misterius. Namun demikian, secara universal, jika berbicara masalah kesenian, orang akan
langsung terimaginasi dengan istilah indah . Filsuf Jerman Alexander Baumgarten
berpikir bahwa kesempurnaan di dunia dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu, das
Wahre (kebenaran), das Gute (kebaikan) dan das Shone (keindahan, Soedarso,
1998, Hadi, 2006). Ketiga domain gejala manusiawi itu sebenarnya memiliki wilayahnya
masing-masing; keindahan berada dalam cakupan tangkapan indrawi, kebaikan dalam
cakupan tangkapan moral atau hati nurani, sementara kebenaran bersangkutan dengan
tangkapan rasio. Untuk memahami konsep kesenian dalam pembicaraan ini, Abdullah
(1981:8-12) mengemukakan bahwa bentuk seni adalah komunikatif. Seni adalah satu dari
berbagai cara untuk mengomunikasikan sesuatu . Seniman berkarya bertujuan menularkan
dan mengomunikasikan kesan dan pengalaman subjektif yang berharga kepada audience. Ini
bermula dari imaginasi kreatif yang dituangkan ke dalam suatu bentuk yang ber isi , sehingga
tersamar dalam satu kesatuan.

Kuda lumping sebagai hasil karya seni merupakan sistem komunikasi dari bentuk dan
isi . Bentuk yang berupa realitas gerak, musik, busana, property, dan peralatan (ubarampen)
secara visual tampak oleh mata (oleh Lavi Strauss ini dinamakan struktur lahir atau surface
structure (Ahimsa, 2001:61). Namun, isi yang berupa tujuan, harapan, dan cita-cita adalah
komunikasi maya yang hanya dapat dipahami oleh masyarakat

Sebagai sebuah bentuk kesenian tradisional yang erat hubungannya dengan hal-hal
mistik dan magis, Kesenian Kuda Lumping memiliki persyaratan yang perlu dilakukan oleh
para penarinya sebelum melakukan pertunjukkan. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah
bentuk ritual yang memiliki tujuan tertentu, diantaranya adalah memohon keselamatan
kepada roh leluhur agar selama pelaksanaan pertunjukkan kuda lumping para penari yang
nantinya akan berada dalam kondisi kesurupan bisa dipulihkan seperti sedia kala dan tidak
terjadi sesuatu yang diluar harapan.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Sudaryanto (2006) yang mengatakan bahwa
kesenian kuda lumping dipentaskan dengan maksud agar masyarakat mendapatkan
perlindungan, keselamatan, serta kesejahteraan dari Tuhan. Dengan begitu, tradisi kesenian
kuda lumping ini sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai spiritual, dan bukan semata-mata
berisi hal-hal yang sifatnya magis dan mistik.

. Menurut Nelson (2009) spiritualitas memiliki fungsi integratif dan harmonisasi yang
melibatkan kesatuan batin dan keterhubungan dengan manusia lain serta realitas yang lebih
luas yang memberikan kekuatan dan kemampuan pada individu untuk menjadi transenden.

Tuhan merupakan realitas yang lebih luas untuk dimaknai secara spiritual. Hal inilah
yang mendorong manusia sebagai individu senantiasa meletakkan harapan dan permohonan
kepada Tuhan mengingat manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan.
Perlindungan,keselamatan, kesejahteraan, serta apa apa yang tidak sepenuhnya dapat
dikendalikan oleh manusia diserahkan kepada Tuhan dalam berbagai munajat manusia
sebagai bentuk interaksi spiritualnya.

Momen ketika para penari Kuda Lumping mengalami kesurupan atau trance
merupakan salah satu momen yang menarik dan membuat pertunjukkan menjadi semakin
meriah Maryati (2002) menyebut kesurupan atau trance sebagai istilah untuk melukiskan
keadaan seseorang yang kesadaran dirinya dikuasai oleh alam kesadaran lain, alam kesadaran
lain ini dalam kesenian kuda lumping dinamakan kerasukan roh atau danyang.

Bagi sebagian masyarakat, kondisi kesurupan seringkali dikait-kaitkan dengan hal


gaib. Sebab dianggap seseorang yang berada dalam kondisi kesurupan berarti berada dalam
kendali makhluk-makhluk gaib yang tak kasat mata. Namun dalam kesenian Kuda Lumping,
kondisi kesurupan justru memiliki filosofi sendiri.

Dikatakan bahwa pada zaman dahulu ketika orang-orang masih belum mengenal
agama, para tokoh agama seperti wali songo perlu melakukan pendekatan yang tepat dan
dimengerti oleh masyarakat pada zaman itu. Seperti dengan menjadikan budaya dan seni
sebagai jalan untuk berdakwah, atau menyampaikan nilai-nilai keagamaan. Dari nilai-nilai
yang terdapat dalam budaya dan seni, seperti kondisi kesurupan yang dialami oleh penari
kuda lumping dijadikan sebuah penjelasan filosofis kepada masyarakat dengan menunjukkan
bahwa sekuat apapun makhluk gaib berusaha menguasai manusia akan tetap tidak mampu
mengimbangi kekuatan Tuhan yang menguasai segalanya. Ajaran agama yang dibawa oleh
para wali sering digunakan sebagai penyembuhan untuk para penari kuda lumping yang
mengalami kondisi kesurupan agar kembali seperti sedia kala.

Dari sini kemudian berkembanglah nilai-nilai spiritual kuda lumping, yang semula
mengandalkan leluhur dan roh-roh nenek moyang, kemudian dipadukan dengan ajaran agama
yang mengajarkan pemahaman kepada Tuhan yang maha Esa. Yang hanya kepada-Nya
semua perkara diserahkan dan sebagai manusia harus menaati perintah-Nya agar tidak
dimurkai.

Dalam melakukan ritual, para pemain kuda lumping bersama dengan pawang akan
melakukan ritual sebagai syarat yang harus dilaksanakan yang bertujuan untuk meminta ijin
dan memohon kelancaran saat pertunjukan. Menurut Koentjaraningrat (1985) ritual
merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh
sekelompok umat beragama, yang di tandai dengan adanya berbagai macam unsur dan
komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam
upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara.

Ritual yang dilakukan oleh para penari kuda lumping secara umum adalah melakukan
puasa mutih, ziarah ke makam-makam para leluhur setempat, dan mandi pada waktu malam
hari di sumber mata air desa. selama menjalani ritual puasa mutih, mengunjungi makam-
makam leluhur dusun bersama pawang, aktivitas yang dilakukan adalah berdoa dan
memohon ijin supaya diberikan kelancaran saat pentas kuda lumping. Bagi pemain yang
berhasil menjalani ritual akan mendapatkan mimpi, mimpi tersebut menggambarkan roh yang
akan hadir dan masuk dalam diri pemain Menurut cerita pawang, mimpi yang dialami oleh
penari tersebut akan menggambarkan diri penari saat mengalami kesurupan atau trance, dan
para penari yang mengalami kesurupan atau trance dimasuki oleh roh leluhur yang
tergambarkan dalam mimpinya. Bagian terakhir dari ritual adalah mandi bersama di sumber
mata setempat, bertujuan untuk menyucikan diri para pemain yang akan tampil, dan
dipercaya mampu menjaga keseimbangan pada tubuh agar tidak mudah lelah serta terlihat
menarik ketika menari di depan para penonton.

Selama mengikuti prosesi ritual, para penari akan menerima sugesti-sugesti dari
pawang dalam bentuk cerita sejarah leluhur ketika mendatangi makam-makam para leluhur.
Ritual membuat diri para pemain kuda lumping mampu menyadarkan diri mereka untuk bisa
berbuat kebaikan, membuat diri mereka menjadi suci dan mempengaruhi kondisi kejiwaan
para pemain kuda lumping. Salah satunya adalah berpengaruh dalam kondisi spiritualitas para
penari kuda lumping.

Penari kuda lumping melakukan kegiatan ritual didampingi oleh pawang. Selama
proses ritual para penari banyak mengalami perubahan dalam diri mereka. Perubahan-
perubahan yang terjadi adalah mampu berbuat baik dengan orang lain, merasa mempunyai
hubungan yang harmonis kepada Sang Pencipta, merasa lebih percaya diri dalam menjalani
kehidupan sehari-hari, mampu bersosialisasi dan berbuat baik terhadap orang lain
Ritual dalam seni kuda lumping yang dilakukan oleh para penari Kuda Lumping
merupakan ritual yang telah turun temurun. Perilaku yang dijalankan oleh para penari Kuda
Lumping merupakan perilaku yang telah diadopsi dari pawang yang menjadi pendamping
saat menjalani ritual dalam seni kuda lumping. Kegiatan ritual dilakukan supaya para penari
bisa mengalami kesurupan atau trance saat sedang pentas kuda lumping. Selain itu, dalam
ritual terdapat unsur religi yang membuat para penari Kuda Lumping memiliki rasa syukur,
keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan atas perlindungan dan berkat dalam menjalani
ritual hingga pementasan kuda lumping.

Serangkaian kegiatan ritual yang dilakukan oleh para penari ditujukan hanya kepada
Tuhan dan sebagai syarat untuk bisa mengalami kesurupan dan tampil maksimal saat pentas
kuda lumping. Ketika awal pertunjukan, para penaii menjalani ritual doa bersama dengan
pawang dan juga pemain lain, tujuannya adalah untuk mendapatkan perlindungan,
mengurangi perasaan yang menggangu konsentrasi kedua partisipan, dan bisa mengalami
kesurupan atau trance.
KESIMPULAN

Kebudayaan merupakan warisan serta tradisi yang sudah ada dan diturunkan dari
generasi ke generasi. Di dalamnya terdapat nilai-nilai yang menjadi semangat untuk
menjalani hidup sesuai dengan kodrat manusia di muka bumi.

Kuda lumping menjadi salah satu warisan budaya dalam bentuk


kesenian.Pertunjukkan kuda lumping seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang sifatnya mistik
dan magis dikarenakan banyak ritual-ritual serta kondisi kesurupan yang dialami oleh penari
kuda lumping yang menampilkan pertunjukkan

Namun, disamping memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dianggap magis tersebut,


kesenian kuda lumping sejatinya juga memiliki nilai-nilai spiritualitas yang tampak dari
tujuan dilakukannya ritual serta pemaknaan-pemaknaan didalamnya.

Nilai-nilai spiritual tersebut bisa berupa bentuk permohonan keselamatan pada Tuhan
yang maha Esa. Memohon perlindungan serta keselamatan. Dan juga menjadi pemaknaan
bagi para penari kuda lumping untuk senantiasa menjalani perintah Tuhan dan berperilaku
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1980/1981. Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis


Kebudayaan.2: 8 12.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Putri Fatmasari Agustin1 , Joko Wiyoso.Ritual pada Paguyuban Kuda Lumping


Wahyu Turonggo Panuntun di Desa Legoksari Kecamatan Tlogomulyo Kabupaten
Temanggung https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jst/article/view/31257/13717

https://www.kompasiana.com/rinmuna0416/5bd5b45cc112fe77a26ce822/filosofi-kerasukan-
tari-kuda-lumping

ADI ASA. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENARI KUDA LUMPING WANITA


GRUP MUNCAR DI DESA KARANGREJO, KECAMATANKARANGGAYAM, KABUPATEN
KEBUMEN. https://core.ac.uk/download/pdf/33521079.pdf

Anda mungkin juga menyukai